Kelas Reguler Angkatan 2014 - 2015

RINGKASAN
AHMADRISWAN NASUTION. Peran Modal Sosial terhadap Pengurangan Kemiskinan
Rumah Tangga Perdesaan di Indonesia. Dibimbing oleh ERNAN RUSTIADI, BAMBANG
JUANDA, dan SETIA HADI.
Selama lebih dari 30 tahun, Indonesia menerapkan model pembangunan yang
menekankan pada pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita. Tahun 2013, Produk
Domestik Bruto Indonesia (PDB) mencapai sekitar Rp.9,09 ribu triliun dengan nilai PDB per
kapita sebesar Rp.36,5 juta. Berdasarkan pencapaian ini, Indonesia termasuk kelompok
negara maju G-20. Namun ada kontradiksi, dimana tingkat kemiskinan masih relatif tinggi
dan penurunannya cenderung melambat.
Pemerintah Indonesia telah menerapkan berbagai program percepatan pengurangan
kemiskinan yang dijalankan oleh berbagai kementerian dan lembaga. Program-program
tersebut disamping tidak terintegrasi juga masih fokus pada pengembangan infrastruktur
(modal fisik), bantuan kredit (modal keuangan) dan bantuan pendidikan (modal manusia).
Padahal, kemiskinan merupakan permasalahan yang kompleks yang melibatkan banyak
faktor termasuk kelembagaan lokal dan modal sosial.
Pembangunan perdesaan dapat direalisasikan karena adanya perubahanperubahan
organisasi sosial dan sistem nilai. Sedangkan, produktivitas sistem ekonomi dan pengelolaan
sumberdaya di perdesaan dikondisikan oleh budaya dan kelembagaan lokal yang ada di
daerah. Dengan demikian, pembangunan di perdesaan perlu mendorong berkembangnya
lembaga-lembaga sosial yang memungkinkan terbentuknya modal sosial yang berpotensi

mengurangi kemiskinan dalam jangka panjang.
Bertitik tolak dari uraian dan permasalahan di atas, penelitian memiliki empat tujuan:
(1) menganalisis dampak modal sosial terhadap pengeluaran per kapita rumah tangga di
perdesaan; (2) menganalisis dampak modal sosial terhadap peluang rumah tangga menjadi
miskin di perdesaan Indonesia; (3) menganalisis hubungan kausal dua-arah antara modal
sosial dan kemiskinan di perdesaan Indonesia; dan (4) merumuskan kebijakan pengembangan
modal sosial dalam pengurangan kemiskinan di perdesaan Indonesia.
Pengukuran modal sosial dalam penelitian ini menggunakan dua pendekatan, yaitu
indeks modal sosial dan partisipasi dalam kegiatan sosial. Pengukuran kemiskinan
menggunakan pendekatan pengeluaran per kapita rumah tangga dan status kemiskinan rumah
tangga berdasarkan garis kemiskinan absolut yaitu sebesar US$ 2 PPP (purchasing power
parity) tahun 2012 atau setara dengan Rp.402.528 per kapita per bulan.
Untuk menjawab tujuan di atas, penelitian ini menerapkan metode analisis, yaitu
analisis deskriptif, ordinary least squares (OLS), pendugaan variabel instrument, Two stage
least squares (2SLS), Two-stage probit least squares (2SPLS), dan model pendugaan duatahap non-rekursif. Adapun sumber data penelitian ini menggunakan data berskala nasional
hasil survei BPS, yaitu Survei
Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Tahun 2012 dan Pendataan Potensi Desa (Podes) Tahun
2011.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) modal sosial berpengaruh positif terhadap
pengeluaran per kapita rumah tangga; (2) akses terhadap modal sosial berkaitan dengan

penurunan peluang rumah tangga menjadi miskin; (3) partisipasi rumah tangga dalam
kegiatan sosial sebagai proksi modal sosial berpengaruh positif terhadap peningkatan
pengeluaran per kapita rumah tangga, sehingga mengurangi kemiskinan. Sebaliknya,
peningkatan pengeluaran per kapita rumah tangga berpengaruh positif terhadap peluang
rumah tangga berpartisipasi dalam kegiatan sosial, sehingga menunjukkan adanya hubungan
kausal dua-arah antara modal sosial dan kemiskinan di perdesaan Indonesia; dan (4) dari hasil

temuan di atas, pemerintah diharapkan memfasilitasi rumah tangga miskin berpartisipasi pada
kegiatan sosial dan mendorong berkembangnya organisasi-organisasi sosial untuk
pengembangan modal sosial dalam upaya mempercepat pengurangan kemiskinan di
perdesaan Indonesia.
Kata kunci: hubungan kausal dua-arah, Indonesia, kemiskinan rumah tangga, modal sosial,
perdesaan

RINGKASAN
AMARULLAH. Model Pengembangan Wilayah Berkelanjutan di Selat Sebuku, Kabupaten
Kotabaru, Kalimantan Selatan. Dibimbing oleh SETIA HADI, TRIDOYO KUSUMASTANTO
dan ACHMAD FAHRUDIN.
Selat Sebuku memiliki sumberdaya pesisir yang produktif baik sumberdaya yang bisa
diperbaharui (renewable resource), sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui (non-renewable

resource) maupun jasa-jasa lingkungan (environment services). Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis nilai ekonomi total sumberdaya pesisir, menganalisis trade off interaksi stakeholders
dalam pengelolaan sumberdaya pesisir, mengidentifikasi status indeks keberlanjutan dan
membangun model dinamis pengembangan wilayah di Selat Sebuku.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah valuasi ekonomi Selat Sebuku
meliputi: Production Approach, benefit transfer method (BTM) dan traffic cost method (TCM),
pendekatan Game theory pada permainan yang kooperatif menggunakan landasan pareto optimum dan
analisis keberlanjutan terhadap kawasan Selat Sebuku menggunakan metode Multi Dimentional
Scalling (MDS) yang diadopsi dari Rapfish (Rapid Appraisal of Fisheries) yang dalam penelitian
ini disebut dengan Rap-Sebuku serta model sistem dinamik dengan menggunakan tools powersim
constructor 2.5.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Nilai Ekonomi Total (NET) Selat Sebuku sebesar
Rp. 1.708.910.394.788 yang terdiri dari: nilai manfaat ekonomi ekosistem mangrove Rp.
540.906.453.028, nilai manfaat ekonomi ekosistem terumbu karang sebesar Rp. 14.857.423.616,
kawasan perairan sebesar Rp. 3.299.852.400, kawasan pantai sebesar sebesar Rp. 71.558.003.826
dan areal tambang batubara sebesar 1.078.459.655.919. Berdasarkan hasil analisis diperoleh untuk
strategi pengelolaan sumberdaya yang optimal antara : 1). Pemerintah dan Swasta, pemerintah harus
limited access dengan swasta bertindak sustainable, Pemerintah melalui strategi limited acces
memperoleh pay off sebesar Rp. 1.271.382.286.300, sedangkan swasta melalui strategi sustainable
memperoleh pay off sebesar Rp. 1.446.137.883.052 ; 2). Pemerintah dan Nelayan, pemerintah harus

limited access dengan nelayan bertindak sustainable. Pay off paling besar masing-masing pemain
diperoleh dari strategi limited acces bagi pemerintah sebesar 632.579.184.900 sedangkan nelayan dengan
strategi sustainable memperoleh pay off sebesar 659.992.193.290 ; 3). Swasta dan Nelayan, nelayan dan
swasta harus bekerjasama dalam pengelolaan sumberdaya akan menghasilkan pendapatan masing-masing
Rp. 945.582.505.287 tiap tahunnya untuk swasta dan nelayan akan mendapatkan tambahan pendapatan
Rp. 83.413.897.290 tiap tahunnya. Berdasarkan hasil penilaian bobot tingkat kepentingan setiap

dimensi terhadap kinerja kawasan Selat Sebuku menunjukkan bahwa bobot dimensi ekologi
50,70, ekonomi 50,59, sosial kelembagaan 52,74 dan teknologi 51,95 dan dengan
memperlihatkan bahwa keempat dimensi pengembangan wilayah Selat Sebuku rata-rata berada
pada nilai indeks 51,50 pada skala keberlanjutan 0-100, sehingga berstatus cukup berkelanjutan.
Berdasarkan kondisi eksisting, kawasan Selat Sebuku cukup berkelanjutan dengan 17 atribut
yang sensitif berpengaruh terhadap nilai indeks keberlanjutan. Untuk meningkatkan status
keberlanjutan ke depan (jangka panjang), dilakukan melalui perbaikan secara menyeluruh
terhadap atribut yang sensitif. Keberlanjutan yang diharapkan dapat mengikuti tipe indikator
kondisi dan indikator trend yang menggambarkan kecenderungan linier dari perkembangan
sumberdaya sampai pada batas optimal. Hasil simulasi penelitian menunujukkan bahwa pada
kondisi existing jumlah penduduk yang terus akan meningkat hingga mencapai 740.245 jiwa
yang akan sangat berpengaruh pada kegiatan ekonomi perikanan dan pariwisata, dimana
produksiv perikanan 3.512,44 ton/tahun pada tahun 2013 meningkat hingga mencapai 4.500


ton/tahun pada tahun 2023, tetapi setelah tahun 2023 akan terus turun dan jumlah wisatawan
15.300 orang tahun 2013 naik mencapai 1.3 juta orang pada tahun 2054. Skenario adanya
kegiatan tambang di Selat Sebuku akan mempengaruhi kegiatan perikanan, produksi ikan hanya
1.967 ton tahun 2013 dan terus meningkat sampai tahun 2029 mencapai 3.528 ton/tahun, tetapi
setelah tahun 2029 produksi ikan terus turun sampai hanya 1.084 ton/tahun. Skenario adanya
eksploitasi tambang batubara sebesar 445,1 juta ton dan penambahan area tangkapan ikan ke
Selat Makasar atau Laut Jawa, diperoleh produksi ikan sebesar 4.109,55 ton/tahun dan terus
meningkat sampai tahun 2023 mencapai 5.325,07 ton/tahun, tetapi setelah tahun 2023 produksi
ikan terus turun sampai hanya 349,62 ton/tahun. Penambahan wilayah tangkapan ikan bagi
nelayan sesuai dengan RTRW Kabupaten Kotabaru Tahun 2012/2032.
Pengembangan wilayah Selat Sebuku berdasarkan pertimbangan hasil valuasi ekonomi,
analisis untuk trade off dan analisis keberlanjutan yang dibangun dalam suatu model dinamik
diperoleh skenario terbaik, yaitu skenario 3 (tiga). Skenario 3 (tiga) melalui pemanfaatan
perikanan, wisata bahari dan tambang batubara 445,1 juta ton merupakan skenario yang memiliki
potensi kontribusi paling besar terhadap pendapatan masyarakat, Pendapatan Asli Daerah (PAD)
dan PDRB, dengan tetap memperhatikan aspek sosial dan lingkungan.
Key Word : Selat Sebuku, sumberdaya pesisir, pengembangan wilayah, keberlanjutan.

RINGKASAN

BUDI WARDONO. Model Pengembangan Perikanan Tangkap Skala Kecil Untuk
Mendukung Perekonomian Wilayah. Dibimbing oleh AKHMAD FAUZI, ACHMAD
FAHRUDIN, dan AGUS HERI PURNOMO
Perikanan skala kecil mempunyai peranan penting dalam perekonomian baik dalam
aspek makro maupun mikro. Dalam perspektif sosial ekononomi, masyarakat pesisir sebagian
besar tergantung pada sumber daya perikanan laut, dimana mata pencahariannya rentan
terhadap guncangan dan perubahan mendadak. Memahami kondisi tersebut, merupakan hal
yang penting untuk lebih memperhatikan nelayan skala kecil dan mengembangkan kebijakan
direktif yang lebih baik dimasa depan. Pemahaman meliputi bagaimana karakteristik sumber
daya perikanan, bagaimana nelayan skala kecil mengatasi ketidakpastian dan biaya
operasional yang tinggi, bagaimana nilai tambah, dan bagaimana jaringan sosial di
masyarakat pesisir.
Penelitian ini dilakukan di dua lokasi yaitu nelayan Desa Weru Komplek di
Kabupaten Lamongan, Jawa Timur dan nelayan di Pelabuhanratu, Kabupaten Sukabumi.
Sumberdaya perikanan di Lamongan sebagian besar adalah jenis pelagis kecil dan demersal,
sedangkan di Pelabuhanratu sebagian besar sumberdayanya pelagis besar. Pemilihan lokasi
juga berdasarkan kriteria sosial ekonomi dari dua lokasi tersebut. Lamongan dengan jumlah
produksi lebih 70 ribu ton (18% dari total produksi di Provinsi Jawa Timur), dan lebih dari
28.000 nelayan yang sebagian besar adalah nelayan kecil. Jumlah produksi di Pelabuhanratu
sekitar 8 ribu ton (4,4% dari total produksi di Provinsi Jawa Barat). Lebih dari 5.000 nelayan

yang bekerja dengan berbagai armada perikanan. Selain alasan ekonomi, nelayan di
Lamongan memiliki lembaga sosial yang dikenal dengan nama "Blandongan" yang berfungsi
sebagai "penyangga" dalam menghadapi ketidakpastian. Blandongan merupakan organisasi
nelayan yang menyuarakan kepentingan nelayan dan membangun "aturan main" untuk
memfasilitasi kepentingan nelayan. Sedangkan di Pelabuhanratu, meskipun tidak ada
organisasi tertentu seperti "Blandongan" di Lamongan, namun memiliki kelembagaan formal
dan informal seperti kelompok nelayan dan kelompok perantara yang dapat memfasilitasi
kebutuhan nelayan. Tujuan penelitian adalah melakukan analisis efisiensi alokasi sumber
daya dan analisis perubahan faktor produktifitas total; melakukan analisis indeks
ketidakstabilan perikanan tangkap; melakukan analisis value added perikanan tangkap skala
kecil; dan melakukan analisis untuk mengetahui kecenderungan nelayan skala kecil dalam
memenuhi modal untuk biaya operasional. Data yang digunakan adalah data skunder dan data
primer yang diperoleh dari pelaku usaha perikanan. Total jumlah responden sebanyak 157
orang terdiri 83 orang di Lamongan dan 74 orang di Pelabuhanratu. Analisis dilakukan
dengan menggunakan pendekatan Data Envelopement Analysis (DEA) dan analisis indeks
Malmquist (MI) untuk mengetahui kapasitas sumber daya perikanan dan tingkat perubahan
total produktifitas total perikanan. Analisis Indeks Ketidakstabilan (Coppoct Instability
Indexs/CII) untuk mengetahui tingkat ketidakstabilan. Analisis regresi multinomial logistik
digunakan untuk mengetahui kecenderungan nelayan dalam menggunakan sumber
permodalan. Model yang direkomendasikan merupakan sintesa dari analisis-analisis yang

telah dilakukan, yang merupakan saran kebijakan untuk pengembangan perikanan skala kecil.
Hasil analisis kapasitas sumber daya di Pelabuhanratu, menunjukkan alat tangkap
gillnet, alat tangkap rampus dan alat tangkap pancing ulur telah menurun (decreasing return
to scale), ketiga alat tangkap tersebut sudah terjadi gejala over capacity. Kondisi ini
menyiratkan bahwa output dari alat tangkap gill net, rampus dan pancing ulur memiliki
kecenderungan tidak responsif terhadap input. Inefisiensi dalam menggunakan input akan
menyebabkan hasil tidak optimal. Hasil analisis kapasitas sumberdaya di Lamongan

menunjukan hasil yang berbeda. Analisis di Kabupaten Lamongan menunjukkan bahwa
efisiensi skala masih menunjukkan indikator IRS (increasing return to scale) pada perikanan
skala kecil di Desa Weru Komplek. Kelebihan armada penangkapan ikan (overcapitalization)
dan under-utilization kapasitas penangkapan memberikan indikasi pemborosan bersifat
ekonomis. Hasil analisis indeks Malmquist terjadi fluktuasi faktor produktifitas total yang
sangat besar (berkisar antara 30% sampai 250 %). Hal ini disebabkan karena perubahan
faktor teknologi yang mengalami perubahan ekstrim dibandingkan dengan perubahan
efisiensinya. Analisis dengan indek ketidakstabilan (Coppock Index Instability) dapat
diketahui penyebab perubahan faktor produktifitas total dari produksi maupun dari input.
Kondisi ini disebabkan karena ternjadi fluktuasi produksi dari tahun ke tahun. Indeks
ketidakstabilan produksi sebagian berada di kuadran kanan atas yang menunjukan
pertumbuhan yang tinggi namun diikuti oleh ketidakstabilan yang tinggi. Fluktuasi produksi

yang menyebabkan ketidakstabilan bukan merupakan fenomena mandiri, kondisi tersebut
berkaitan dengan indikator lain, seperti input yang diberikan dalam perikanan. Tingkat
ketidakstabilan input BBM menunjukan karakteristik sebagian besar berada pada kondisi
tingkat pertumbuhan tinggi dengan ketidakstabilan yang tinggi yang menggambarkan resiko
yang tinggi. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa beberapa teknologi kapal armada responsif
terhadap penggunaan BBM. Hubungan tengkulak/langgan dengan nelayan berdasar
hubungan kepentingan sosial dan ekonomi, keberadaan tengkulak/ langgan memainkan peran
terutama sebagai "sosial cushion" ekonomi ketika nelayan menghadapi permasalahan biaya,
dimana kelembagaan keuangan formal tidak mampu menjalankan perannya. Kecenderungan
nelayan skala kecil untuk memanfaatkan sumber dana operasional dipengaruhi oleh lokasi,
dimana karakteristik wilayah penangkapan, dan kesenjangan antar daerah berkontribusi
terhadap keterikatan antara nelayan dengan tengkulak/langgan. Hasil analisis rantai pasok,
rantai nilai dan value added menunjukan bahwa perikanan skala kecil berperanan dalam
pembentukan nilai tambah yang sebagian besar dinikmati oleh masyarakat setempat. Sumber
daya perikanan pelagis kecil dan demersal lebih dominan diproses menjadi produk
jadi/setengah jadi yang menghasilkan nilai tambah. Sebaliknya perikanan yang didominasi
oleh sumberdaya pelagis besar nilai tambahnya lebih banyak dinikmati oleh masyarakat luar,
sehingga perannya terhadap pembangunan wilayah relatif lebih kecil.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, model yang direkomendasikan untuk kebijakan
mengembangkan perikanan skala kecil harus memperhatikan kondisi potensi sumber daya

perikanan, tingkat eksploitasi, tingkat kestabilan, hubungan para pelaku (nelayan-pemilik
modal/patron-client) dan dukungan kebijakan direktif yang fokus untuk nelayan skala kecil.
Karakteristik nelayan dan kondisi sumberdaya menentukan perilaku terhadap sumberdaya,
interaksi nelayan dengan sumber-sumber pembiayaan lebih kuat pada lokasi Lamongan
dimana masyarakat kurang mempunyai alternatif pekerjaan lain. Hubungan yang kuat antara
nelayan dan tengkulak merupakan fenomena yang kompleks, pengembangan perikanan skala
kecil harus menyertakan hubungan antara sektor perikanan, nelayan sebagai pemain dan
perantara/langgan/tengkulak yang menjembatani pelaku dalam mata pencaharian masyarakat
pesisir agar nelayan skala kecil mampu memainkan peran lebih besar dalam kehidupan
ekonomi lokal pesisir.
Kata kunci: perikanan skala kecil, langgan/tengkulak, “social cushion”, value added, DEA,
Indek Ketidakstabilan, Indeks Malmquist

RINGKASAN
DUWI YUNITASARI. Model Pengembangan Agroindustri Gula Tebu sebagai Upaya
Peningkatan Perekonomian Wilayah di Jawa Timur. Dibimbing oleh DEDI BUDIMAN HAKIM,
BAMBANG JUANDA dan RITA NURMALINA.
Jawa Timur (Jatim) merupakan daerah penghasil tebu dan gula terbanyak di Indonesia.
Pada tahun 2013, produksi tebu Jawa timur menyumbang 50,75% dan produksi gula
menyumbang sebesar 51,32% terhadap produksi Nasional. Potensi tebu sebagai bahan baku gula

dan produk derivasi tebu (PDT) memiliki potensi yang besar. Hal ini mendorong pemerintah
pusat menetapkan target produksi gula untuk Jatim sebesar 1,65 juta ton dalam rangka
mendukung program swasembada gula nasional. Produksi gula Jatim tidak bisa dipisahkan dari
peran pabrik gula (PG) sebagai tempat mengolah tebu menjadi gula. Dari 62 PG di Indonesia,
terdapat 31 PG yang ada di Jawa Timur. Fakta yang ada, sebagian besar (53%) PG di Jawa
didominasi oleh pabrik dengan kapasitas giling kecil (lebih besar dari 3.000 Ton Cane per Day),
berumur lebih dari 75 tahun, dan kurang mendapat perawatan secara memadai. Kondisi ini
menyebabkan tingkat efisiensi rendah dan biaya produksi gula per ton pada PG berskala kecil
lebih tinggi. Jika hal ini terus berlangsung, PG yang ada di Jatim akan mengalami kerugian dan
tutup. Pada masa yang akan datang, diharapkan PG bisa mengolah PDT untuk menambah
keuntungan PG.
Penelitian ini bertujuan untuk (i) menganalisis dampak agroindustri gula tebu terhadap
produksi Gula Kristal Putih (GKP), produksi PDT, Pendapatan Asli Daerah (PAD), keuntungan
PG, pendapatan petani dan perekonomian wilayah; (ii) menganalisis dampak kebijakan
Revitalisasi Industri Gula Nasional (RIGN) terhadap pengembangan PDT pada produksi GKP,
produksi PDT, keuntungan PG, pendapatan petani dan perekonomian wilayah; (iii) merumuskan
kebijakan alternatif terhadap produksi GKP, produksi PDT, PAD, keuntungan PG, pendapatan
petani dan perekonomian wilayah Jawa Timur. Untuk menjawab tujuan penelitian tersebut
digunakan pendekatan dinamika sistem. Dampak kebijakan RIGN dianalisis dengan
menggunakan 3 skenario, yaitu: (i) skenario 1, peningkatan luas areal tebu sebesar 3,2%/tahun;
(ii) skenario 2, peningkatan produktivitas tebu sebesar 1,6%/tahun; (iii) skenario 3, peningkatan
rendemen sebesar 2,41% /tahun. Sedangkan untuk menyusun alternatif kebijakan digunakan 2
skenario, yaitu: (i) skenario 4, penggabungan skenario 1,2, dan 3, peningkatan luas areal tanam
(3,5%), peningkatan produktivitas (1,6%) dan rendemen 2,41%, dan (ii) skenario 5,
penggabungan skenario 1,2, dan 3, peningkatan luas areal tanam (3,5%), peningkatan
produktivitas (1,6%) dan rendemen 6%.
Hasil analisis menunjukkan pengembangan agroindustri gula tebu mempunyai dampak
positif terhadap perekonomian wilayah Jawa Timur, produksi GKP, produksi PDT, keuntungan
PG, pendapatan petani dan PAD. Hasil simulasi model dengan menggunakan kebijakan/program
RIGN mampu meningkatkan perekonomian wilayah, produksi GKP, produksi PDT, keuntungan
PG, penerimaan petani dan PAD. Bioethanol dari ampas merupakan pengembangan PDT yang
memberikan penerimaan terbesar bagi perekonomian wilayah. Sehingga jika ingin
mengembangkan jenis PDT, maka perlu memfokuskan pada pengembangan bioethanol dari
ampas. Sumbangan tambahan peningkatan terhadap perekonomian wilayah rata-rata sebesar
1,65%, produksi GKP 1,82%, PDT 79,98%, keuntungan PG 9,17%, penerimaan petani 26,96%
dan PAD 1,68%. Peningkatan rendemen (skenario 3) menyumbang tambahan penerimaan

tertinggi bagi perekonomian wilayah Jawa Timur. Namun jika hanya mengandalkan kebijakan
peningkatan rendemen saja (skenario 3), maka target produksi GKP tidak tercapai.
Kebijakan alternatif dengan skenario 5 (gabungan peningkatan luas areal, peningkatan
produktivitas dan peningkatan rendemen) memiliki kinerja yang lebih baik dibandingkan dengan
skenario 4. Perekonomian wilayah Jawa Timur, produksi GKP, produksi PDT, keuntungan PG,
pendapatan petani dan PAD pada skenario 5 mencapai kinerja tertinggi dibanding skenario 1, 2,
3, dan 4. Pada skenario 5, target produksi GKP Jatim dapat terpenuhi pada tahun 2016 sebesar
1.738.437 ton. Sumbangan tambahan peningkatan PDRB terhadap perekonomian wilayah ratarata sebesar 2,63%, produksi GKP 6,92%, PDT 80,39%, keuntungan PG 13,69%, pendapatan
petani 33,70% dan PAD 6,40%.
Kebijakan RIGN secara simultan mampu meningkatkan produksi GKP sehingga
mencapai target sesuai program pusat untuk mendukung program swasembada gula nasional,
meningkatkan produksi PDT, PAD, keuntungan PG, pendapatan petani dan perekonomian
wilayah Jatim. Sehingga alternatif kebijakan dengan skenario 5 (gabungan peningkatan luas
areal, peningkatan produktivitas dan peningkatan rendemen) mampu mendorong perkembangan
sistem agroindustri gula tebu secara keseluruhan lebih baik dibanding skenario lainnya.
Kebijakan yang sebaiknya tetap diterapkan oleh pemerintah dalam upaya mendukung
program swasembada gula nasional dan pengembangan PDT, yaitu: 1) tetap melaksanakan
program RIGN, 2) memfokuskan pada peningkatan rendemen, karena rendemen memiliki
pengaruh yang sangat besar dalam upaya meningkatkan produksi gula, 3) memfokuskan pada
petani TR memiliki peran yang sangat besar dalam pengusahaan gula tebu, 4) mempermudah
pemberian kredit sebagai upaya meningkatkan kualitas tanaman tebu, 5) merubah sistem bagi
hasil berdasarkan rendemen, dan 6) diharapkan dapat memberikan insentif pada petani TR dalam
bentuk kepastian harga.
Kata kunci: Gula tebu, dinamika sistem, model, RIGN, perekonomian wilayah, harga.

RINGKASAN
EBED HAMRI. Analisis Pemekaran Wilayah dan Pengembangan Pusat-Pusat
Pertumbuhan Ekonomi (Studi Di Kota Baubau Propinsi Sulawesi Tenggara dan Kota
Tasikmalaya Propinsi Jawa Barat). Komisi Pembimbing EKA INTAN KUMALA PUTRI
sebagai Ketua, HERMANTO J. SIREGAR dan DEDDY SUPRIADY BRATAKUSUMAH
sebagai Anggota.
Desentralisasi dan Otonomi daerah menjadi isu yang penting sejak berlakunya
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah direvisi dengan Undang-Undang Nomor
32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Desentralisasi dan Otonomi daerah dengan
implikasi pemekaran wilayah telah mendorong menguatnya tuntutan dari daerah-daerah
untuk melakukan pemekaran wilayah, hal karena selama ini daerah-daerah merasakan terjadi
ketimpangan dan ketidak merataan hasil-hasil pembangunan, disatu sisi sistem pemerintahan
yang sentralistik membuat daerah-daerah kurang berkembang. Sehingga akibat kondisi
tersebut daerah-daerah menuntut dilaksanakan pemekaran wilayah sebagai upaya percepatan
pembangunan dan mengurangi ketimpangan pembangunan antar wilayah. Pemekaran
wilayah sebagai fenomena pembentukan propinsi, kabupaten dan kota telah menciptakan
perbedaan antara daerah, ada daerah yang penduduk/kegiatan terkonsentrasi pada suatu
tempat yang dikenal istilah kota, pusat perdagangan, pusat industri, simpul industri, pusat
perdagangan, daerah perkotaan atau daerah nodal dan ada juga yang kurang terkonsentrasi
dikenal istilah seperti daerah pedalaman, daerah pertanian, daerah pedesaan atau disebut
sebagai wilayah belakang (hinterland). Terciptanya daerah nodal tidak hanya di propinsi,
namun terjadi di kabupaten/kota, kabupaten dengan wilayah yang luas biasanya membagi dua
wilayah secara administratif, wilayah kota (kotamadya) dan wilayah kabupaten. Wilayah kota
inilah yang kemudian dijadikan sebagai pusat kegiatan ekonomi (pusat pertumbuhan), sedang
kabupaten sebagai daerah hinterland.
Penelitian ini bertujuan: 1) Mengevaluasi penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 78
tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah
khususnya faktor-faktor yang dipergunakan untuk menilai usulan pemekaran wilayah di Kota
Baubau dan Kota Tasikmalaya. 2) Menganalisis perkembangan struktur perekonomian
wilayah Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya serta sektor unggulan yang menjadi daya saing
perekonomian wilayah Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya sehingga potensial menjadi
pusat-pusat pertumbuhan dibandingkan dengan daerah sekitarnya. 3) Menganalisis
perkembangan wilayah, interaksi ekonomi dan daya tarik wilayah Kota Baubau dan Kota
Tasikmalaya terhadap daerah sekitarnya. 4) Menganalisis persepsi stakeholder dan
merumuskan kebijakan yang ditempuh pemerintah pasca pemekaran agar bermanfaat bagi
daerah.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: 1) Analisis Deskriptif, 2) Analisis
Skalogram, 3) Analisis Model Gravitasi, 4) Analisis Tipologi Klassen, 5) Analisis Diversitas
Entropy, 6) Analisis Shift Share, 6) Analisis Location Quotient, 7) Analisis Hirarki Proses.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: Evaluasi terhadap sebelas faktor-faktor
penilaian usulan pemekaran wilayah berdasarkan Peraturan Pemerintah vi Nomor 78 Tahun
2007 dengan analytical hierarchy process menunjukkan ada perbedaan prioritas terhadap
sebelas faktor pembentukan daerah otonom baru berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor
78 Tahun 2007 dengan persepsi masyarakat Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya. Struktur
perekonomian wilayah Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya lebih maju dan berkembang
dibandingkan dengan daerah hinterland terlihat dari analisis diversitas entropi. Hasil Analisis
Tipologi Klasen Kota Baubau berada pada klasifikasi daerah berkembang cepat; sedang
kabupaten sekitarnya (hinterland) yaitu Kabupaten Wakatobi dan kabupaten Buton Utara

juga berada pada klasifikasi daerah berkembang cepat, Kabupaten Muna berada pada
klasifikasi daerah maju tapi tertekan, Kabupaten Buton dan Kabupaten Bombana berada pada
klasifikasi daerah relatif tertinggal. Hasil Analisis Tipologi Klasen menunjukkan Kota
Tasikmalaya berada pada klasifikasi daerah berkembang cepat, sedang daerah sekitarnya
(hinterland) berada pada klasifikasi daerah relatif tertinggal. Hasil analisis Loqation Quotient
menunjukkan sektor perekonomian wilayah Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya lebih maju
dan unggul. Sektor-sektor unggulan yang menjadi sektor basis Kota Baubau dan Kota
Tasikmalaya adalah sektor bangunan, perdagangan, hotel dan restoran; pengangkutan dan
komunikasi; keuangan, persewaan dan jasa keuangan; dan sektor jasa-jasa. Namun pada
Analisis Shift Share dimana pada ditingkat lokal (differential shift) menunjukkan sektorsektor yang menjadi sektor basis Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya justru mengalami
pergeseran dan pertumbuhan yang lambat. Hasil Analisis Skalogram menunjukkan Kota
Baubau berada pada wilayah Hirarki II/sedang; sedangkan kabupaten hinterland yaitu
Kabupaten Buton Utara justru berada pada wilayah Hirarki I/tinggi, Kabupaten Buton, Muna
masuk kategori hirarki III/rendah. Analisis Skalogram menunjukkan Kota Tasikmalaya
berada pada wilayah hirarki I/tinggi, kabupaten/kota sekitarnya (hinterland) yaitu Kabupaten
Garut dan Kabupaten Ciamis berada pada kategori wilayah hirarki II/sedang; Kabupaten
Tasikmalaya dan Kota Banjar pada wilayah hirarki III/rendah. Hasil Analisis Gravitasi
menunjukkan interaksi ekonomi dan daya tarik wilayah Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya
dengan wilayah hinterlandnya bervariasi intensitasnya. Interaksi ekonomi dan daya tarik
wilayah Kota Baubau yang kuat adalah dengan Kabupaten Buton dan Kabupaten Muna,
sedang dengan Kabupaten Buton Utara, Kabupaten Wakatobi dan Kabupaten Bombana
sangat lemah terlihat dari nilai indeks gravitasi yang kecil. Interaksi ekonomi dan daya tarik
wilayah Kota Tasikmalaya dengan wilayah hinterlandnya yang kuat adalah dengan
Kabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten Ciamis terlihat dari indeks gravitasi yang besar,
sedang dengan Kabupaten Garut, Kota Banjar dan Kabupaten Pangandaran sangat lemah
terlihat dari indeks gravitasi yang kecil. Hasil analisis persepsi masyarakat dengan analytical
hierarchy process (AHP) secara umum menunjukkan pemekaran wilayah memberikan
manfaat yang besar bagi masyarakat baik dari sisi pendapatan, pelayanan dan ketersedian
infrastruktur maupun bagi perkembangan perekonomian daerah Kota Baubau dan Kota
Tasikmalaya. Hasil analisis AHP menunjukkan dari empat alternatif strategi dalam penelitian
ini, alternatif strategi yang menjadi prioritas utama adalah “pemekaran wilayah menciptakan
pusat pertumbuhan (PW-PP)”.
Kata kunci: Kota Baubau, Kota Tasikmalaya, desentralisasi, otonomi daerah, pusat
pertumbuhan.

RINGKASAN
ENDAH KURNIA LESTARI. Efisiensi dan Kerangka Kelembagaan Tebu Rakyat Dalam
Mendukung Perekonomian Wilayah di Kabupaten Jember. Dibimbing oleh AKHMAD
FAUZI, M. PARULIAN HUTAGAOL dan ACENG HIDAYAT.
Gula merupakan salah satu komoditas strategis dalam perekonomian Indonesia.
Upaya pengembangan industri gula sangat tergantung akan ketersediaan bahan baku yaitu
tebu sebagai bahan baku utama. Keterbatasan lahan untuk perkebunan tebu, rendahnya
kualitas bibit serta fenomena kembalinya petani tebu rakyat pada tanaman tebu keprasan yang
berulang-ulang di kabupaten Jember menjadikan peningkatan produksi gula dalam kondisi
dilemma. Untuk itu perlunya efisiensi dpada tehnologi yang sekarang dengan intensifikasi
melalui input-input produksinya Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tingkat efisiensi
tehnis, efisiensi alokatif dan efisiensi ekonomi usahatani tebu keprasan serta faktor-faktor
yang mempengaruhi, menganalisis pengaruh biaya input produksi terhadap keuntungan dan
tingkat efisiensi, mengkaji ketersediaan lahan dan target produksi tebu dan mengkaji
kelembagaan dalam pengembangan tebu rakyat.
Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Jember, Jawa Timur. Pengambilan sampel
secara purposive pada petani tebu keprasan di wilayah kerja PG Semboro. Pendekatan yang
digunakan untuk mengestimasi tingkat efisiensi usahatani tebu dengan menggunakan Data
Envelopment Analysis (DEA) (Banker, Channer, Cooper 1978).
Hasil analisis penelitian bahwa efisiensi tehnis, pada usahatani tebu masih memiliki
peluang untuk meningkatkan efisiensi teknis pada penggunaan input produksi sebesar 30% .
Rata-rata tingkat efisiensi alokatif dan ekonomi usahatani tebu keprasan relatif lebih besar
dikarenakan biaya produksi yang dikeluarkan besar dan rendahnya harga yang diterima
petani tebu. Faktor-faktor yang signifikan terhadap efisiensi teknis yaitu jumlah keprasan
tebu, status usahatani tebu dan penyuluhan.Rata-rata petani tebu keprasan memperoleh
keutungan. Biaya pupuk organik dan pupuk non organik signifikan dan positif terhadap
keuntungan, efiseinsi teknik, ekonomi dan alokatif. Ketersediaan lahan untuk mendukung
usahatani tebu dan target produksi tebu bisa dicapai dengan memperhatikan dan
memanfaatkan input tanaman tebu milik petani dan pemberdayaan petani agar hasil produksi
optimal. Secara peraturan perundangundangan petani tidak mendapat dukungan untuk
berkembang, artinya petani mempunyai kepentingan tetapi tidak mempunyai pengaruh dan
begitu sebaliknya. Sehingga perlu struktur yang baru yang memungkinkan dapat mendukung
petani tebu.
Saran implikasi kebijakan berdasarkan hasil penelitian yaitu bahwa pemerintah
diharapkan dapat memfasilitasi petani dalam penyediaan modal untuk bongkar ratoon,
sehingga petani dapat menanam tebu dengan bibit yang berkualitas dan dapat meningkatkan
produksi.
Kata kunci: tebu, efisiensi, input produksi, keuntungan, kelembagaan

RINGKASAN
ERNAWATI PASARIBU. Dampak Spillover dan Multipolaritas Pengembangan Wilayah
Pusat-Pusat Pertumbuhan di Kalimantan. Dibimbing oleh D.S. PRIYARSONO,
HERMANTO SIREGAR dan ERNAN RUSTIADI.
Pengembangan wilayah pusat-pusat pertumbuhan menjadi salah satu strategi yang
populer digunakan dalam mengatasi permasalahan ketimpangan antarwilayah. Konsep ini
pertama kali diperkenalkan oleh Perroux pada tahun 1950 dengan istilah Growth Pole (Kutub
Pertumbuhan) yang dipercaya akan dapat memberikan dampak spillover yang positif dalam
jangka panjang. Konsep ini mengalami pengembangan menjadi Growth Center (Pusat
Pertumbuhan) agar lebih konkrit dan mudah diaplikasikan dalam Ilmu Perencanaan Wilayah.
Beberapa peneliti telah melakukan pengujian terhadap dampak yang ditimbulkan dan
menghasilkan temuan yang menimbulkan pro dan kontra akan keberhasilan strategi ini.
Demikian juga terhadap dampak polarisasi yang justru mengarah pada “bencana migrasi”
karena daya tarik yang kuat kearah wilayah pusat pertumbuhan. Konsep ini masih terus
digunakan dan banyak diadopsi terutama oleh negara-negara berkembang termasuk
Indonesia.
Pembentukan pusat-pusat pertumbuhan di Indonesia baik sebagai Kawasan
Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) maupun sebagai Koridor Ekonomi Indonesia
masih belum mampu mengurangi ketimpangan antarpulau yang justru belakangan makin
membesar. Pulau Kalimantan yang dalam program Master Plan Percepatan dan Perluasan
Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) ditetapkan sebagai lumbung energi nasional
diharapkan mampu mengejar ketertinggalannya baik dari sisi pertumbuhan output, tenaga
kerja, maupun investasi. Disisi lain, penetapan Kalimantan sebagai lumbung energi nasional
dalam jangka panjang dikhawatirkan menimbulkan dampak pengurasan sumberdaya
(backwash effect) yang lebih besar dibanding dampak penyebarannya (spread effect).
Beragam cara telah digunakan untuk memperhitungkan dampak spillover pusat-pusat
pertumbuhan, baik menggunakan model statis maupun dinamis. Penggunaan model-model
tersebut dinilai belum mampu menangkap besaran dampak spillover dan multipolaritas.
Analisis spasial sangat diperlukan untuk dikembangkan dalam konsep-konsep ilmu ekonomi,
agar dapat memberikan alternatif sudut pandang baik dalam identifikasi permasalahan
maupun pemecahannya. Disisi lain, dengan memasukkan peubah spasial akan menghindari
terjadinya kesalahan spesifikasi dalam model.
Terkait dengan permasalahan tersebut, maka penelitian ini secara umum bertujuan
untuk : mengeksplorasi dampak spillover dan polarisasi pusat-pusat pertumbuhan di
Kalimantan, dengan tujuan khusus yaitu : (1) Mendeteksi pengaruh ketergantungan spasial
(spatial lag dependent) antara hinterland dengan pusat-pusat pertumbuhan di Kalimantan (2)
Mengidentifikasi faktor-faktor yang secara simultan mempengaruhi pertumbuhan output,
tenaga kerja, dan investasi di Kalimantan, dan (3) Menguji multipolaritas antar pusat-pusat
pertumbuhan di Kalimantan dan luar Kalimantan.
Dampak spillover pusat-pusat pertumbuhan di Kalimantan yang dideteksi
menggunakan Uji LM Spatial lag secara signifikan membuktikan adanya ketergantungan
wilayah baik terhadap pertumbuhan output, tenaga kerja, dan investasi. Kedekatan suatu
wilayah dengan pusat pertumbuhan akan berdampak makin baik (positif) manakala diikuti
oleh makin besarnya aliran ekonomi yang terjadi antara pusat pertumbuhan dengan wilayah
sekitarnya. Sayangnya, beberapa pusat-pusat pertumbuhan di Kalimantan yaitu Kota
Palangkaraya, Kota Pontianak, Kota Singkawang, dan Kabupaten Kapuas Hulu belum dapat
memberikan dampak spillover terhadap wilayah sekitarnya.
Pengujian secara simultan terhadap model pertumbuhan output, tenaga kerja, dan
investasi membuktikan bahwa faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan ketiganya

adalah interaksi spasial dengan pusat-pusat pertumbuhan terdekat. Pertumbuhan output dan
pertumbuhan investasi membuktikan adanya efek umpan balik, dimana pengaruh
pertumbuhan investasi terhadap pertumbuhan output justru lebih besar dibandingkan
sebaliknya. Oleh karenanya, pengembangan wilayah pusat-pusat pertumbuhan di Kalimantan
akan lebih baik bila fokus utamanya pada peningkatan investasi yang pada gilirannya juga
berdampak pada pertumbuhan output. Peningkatan investasi ini bukan semata-mata
bersumber dari investasi swasta, akan tetapi lebih menekankan efisiensi belanja modal yang
dalam penelitian ini secara nyata menunjukkan pengaruh yang negatif terhadap pertumbuhan
tenaga kerja. Sayangnya, model pertumbuhan tenaga kerja di Kalimantan belum dapat
membuktikan adanya efek umpan balik dengan pertumbuhan output.
Hasil uji multipolarisasi antar pusat-pusat pertumbuhan di Kalimantan dan luar
Kalimantan yang dikonfirmasi dengan uji spatio-temporal terhadap aliran barang dan aliran
penumpang menunjukkan hasil yang signifikan. Polarisasi masuknya barang di Kalimantan
cenderung lebih cepat, berkebalikan hasil untuk polarisasi arus penumpang ke Kalimantan.
Temuan ini menunjukkan bahwa pusat-pusat pertumbuhan di Kalimantan memiliki tuntutan
tinggi untuk barang dari luar wilayahnya, sementara penduduk yang tinggal pada pusat-pusat
pertumbuhan di Kalimantan lebih cenderung untuk bermigrasi ke pusat-pusat pertumbuhan di
luar Kalimantan.
Temuan-temuan di atas menjadi bahan untuk memberikan saran serta implikasi
kebijakan. Salah satu saran yang diberikan adalah mempercepat pembangunan jalan trans
Kalimantan, sebagai salah satu rencana komprehensif untuk pembangunan nasional secara
terintegrasi. Oleh karenanya, dukungan pemerintah baik pusat maupun daerah terhadap
MP3EI masih sangat diperlukan, utamanya dalam pembangunan infrastruktur dasar baik
secara kuantitas maupun kualitas.
Kata kunci: pusat pertumbuhan, spatial lag dependent, spatio-temporal, Kalimantan

RINGKASAN
IDA ZULFIDA. Keragaan Program Pemberdayaan dalam Pembangunan Perdesaan (Kasus
PNPM Mandiri Perdesaan di Kabupaten Bandung Provinsi Jawa Barat). Dibimbing oleh
AKHMAD FAUZI, ERNAN RUSTIADI, dan YUSMAN SYAUKAT.
Kabupaten Bandung merupakan wilayah yang strategis dan potensial. Posisi Kabupaten
Bandung bersebelahan langsung dengan Kota Bandung yang menjadi pusat perekonomian dan
pemerintahan di Jawa Barat. Namun kedekatan wilayah tersebut belum efektif menurunkan
tingkat kemiskinan di Kabupaten Bandung yang relatif masih tinggi. Berbagai program baik dari
pemerintah maupun yang bersifat lokal sudah digalakkan untuk menurunkan tingkat kemiskinan.
Salah satunya adalah Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan.
Masalah yang menjadi isu dalam penelitian ini adalah adanya kelemahan target dan fokus yang
ditandai dengan semakin meningkatnya alokasi anggaran PNPM Mandiri Perdesaan mulai dari
tahun 2008 hingga 2014, namun ada kecenderungan terjadinya perlambatan penurunan tingkat
kemiskinan di Kabupaten Bandung. Sehingga tujuan dalam penelitian ini adalah evaluasi
terhadap kinerja program sebagai salah satu cara pengurangan tingkat kemiskinan dengan
peningkatan pendapatan dan partisipasi masyarakat di perdesaan.
Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah Data Envelopment Analysis
(DEA). Penelitian ini mengeksplorasi efektivitas program yang diukur dari input dan output yang
terkait dengan program pemberdayaan dengan menggunakan data di kecamatan dan desa.
Evaluasi ini meliputi efisiensi dan total faktor produktivitas Indeks Malmquist yang diukur
selama periode 2009 hingga 2013. Metode analisis regresi linier digunakan untuk melihat
variabel-variabel yang mempengaruhi peningkatan pendapatan rumah tangga yang telah
berpartisipasi dengan kelembagaan pemberdayaan dalam kegiatan ekonomi. Selanjutnya untuk
melihat kaitan pemberdayaan dengan partisipasi maka model analisis logit digunakan untuk
melihat kecenderungan anggota rumah tangga untuk berpartisipasi dalam lembaga
pemberdayaan.
Hasil analisis DEA dengan asumsi constan return to scale (CSR) menunjukkan bahwa
kinerja PNPM Mandiri Perdesaan di Kabupaten Bandung sebagian besar (64 persen)
menunjukkan inefisiensi pada kecamatan Cikancung, Cimaung, Ciwidey, Ibun, Kertasari,
Nagreg dan Pacet. Cara mengatasi inefisiensi penyelenggaraan program yaitu dengan melakukan
solusi optimal dengan upaya peningkatan efisiensi mulai dari 10 persen untuk Kecamatan Ibun
sampai 61 persen untuk Kecamatan Nagreg. Hasil analisis dengan menggunakan asumsi variable
retutn to scale (VRS) menunjukkan ada sedikit peningkatan dalam skor efisiensi dengan rata-rata
0,850-0,925. Ini berarti bahwa dengan asumsi VRS kecamatan cenderung semakin efisien dalam
menjalankan program PNPM. Kecamatan seperti Nagreg yang sebelumnya memiliki skor
efisiensi yang rendah dengan asumsi CRS (0,619) telah mencapai efisien dengan asumsi VRS.
Kecamatan Ibun dengan asumsi CRS memiliki skor 0,91, menjadi efisien dengan asumsi VRS.
Secara keseluruhan, jika dengan asumsi CRS hanya empat kecamatan yang memiliki nilai efisien
penuh, dengan VRS terdapat enam dari sebelas kecamatan memiliki skor efisiensi penuh (lebih
dari 50 persen). Namun hasil tersebut masih menunjukkan bahwa pada umumnya semua
kecamatan masih kurang efisien dalam menjalankan program PNPM (TE 0.850 dan 0.925 TE
kurang dari 1 pada asumsi CRS dan VRS). Namun secara spasial letak antar kecamatan yang
efisien juga tidak menunjukkan adanya hubungan kedekatan wilayah.

Kecamatan-kecamatan yang inefisiensi dalam kinerja program PNPM Mandiri Perdesaan,
dapat disimpulkan menggunakan komponen input tidak optimal, yaitu sumber dana. Dengan
asumsi CRS terjadi inefisiensi anggaran mulai dari Rp 133 juta di Kecamatan Ciwidey hingga
Rp 2,17 miliar di Kecamatan Pacet. Sementara dengan menggunakan asumsi VRS inefisiensi
dapat ditekan mulai dari 132,5 juta sampai 1.91 miliar di kecamatan yang sama. Temuan ini
berbeda dengan Vennesland (2005) dimana dijumpai kelebihan dan kekurangan alokasi anggaran
di daerah-daerah yang tidak efisien sehingga kelebihan dana pada satu wilayah dapat
direalokasikan pada wilayah yang kekurangan dana. Partisipasi masyarakat ditujukkan dengan
penggunaan alokasi dana bergulir dalam kegiatan ekonomi. Dengan asumsi CRS terdapat enam
kecamatan (66,67 persen) yang telah mencapai target dalam menghasilkan output, dan hanya
empat kecamatan saja yang belum mencapai target. Solusi optimal untuk kecamatan yang belum
mencapai target adalah meningkatkan pencapaian mulai dari 33 persen (kecamatan Cikancung)
sampai dengan 45 persen (kecamatan Pacet). Dengan menggunakan asumsi VRS jumlah
kecamatan yang mencapai target dan yang belum mencapai target juga dalam posisi yang sama,
namun peningkatan pencapaian pada asumsi VRS ini lebih kecil dibandingkan dengan
menggunakan CRS yaitu mulai dari 29 persen (kecamatan Nagreg) sampai dengan 39 persen
(kecamatan Pacet). Secara umum total faktor produktivitas Indeks Malmquist kinerja PNPM
Mandiri Perdesaan selama periode 2009 hingga 2013 menunjukkan tren peningkatan sebesar
1.139.
Faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan pendapatan rumah tangga partisipan
menunjukkan variabel-variabel umur, pendidikan dan berpartisipasi dalam kelembagaan
pemberdayaan signifikan. Sementara kecenderungan anggota rumah tangga untuk berpartisipasi
dalam kelembagaan pemberdayaan dipengaruhi oleh variabel-variabel jumlah anggota rumah
tangga, lapangan usaha, dan tipe kelembagaan yang diminati masyarakat. Efek multiplier
alokasi kegiatan ekonomi dapat menciptakan perluasan tenaga kerja dan peningkatan ekonomi
rumah tangga di perdesaan. Implikasi spillover program pemberdayaan berupa pengetahuan,
peningkatan kapasitas dan keterampilan merupakan pintu masuk kebijakan dan strategi
pembangunan wilayah.
Kata Kunci: Data Envelopment Analysis (DEA), Efisiensi, Partisipasi, Pemberdayaan
masyarakat, Peningkatan pendapatan rumah tangga perdesaan.

RINGKASAN
SHERLY G JOCOM. Keterkaitan antara Modal Sosial dan Kemiskinan menurut Tahapan
Perkembangan Desa di Provinsi Gorontalo. Dibimbing oleh D.S. PRIYARSONO, BAMBANG
JUANDA dan ERNAN RUSTIADI
Di negara-negara berkembang termasuk Indonesia, kemiskinan umumnya merupakan
fenomena umum di perdesaan dan pertanian. Berbagai kajian tentang kemiskinan di Indonesia
menunjukkan bahwa penurunan kemiskinan di daerah perdesaan merupakan penyumbang
terbesar terhadap penurunan kemiskinan secara agregat, dan pertumbuhan ekonomi merupakan
salah satu komponen terpenting dari upaya pengurangan kemiskinan (poverty reduction) di
Indonesia. Sebagai salah satu provinsi baru pemekaran dari Provinsi Sulawesi Utara, Provinsi
Gorontalo berkembang pesat dan menjadi salah satu provinsi yang diperhitungkan di Kawasan
Timur Indonesia. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi ternyata tidak serta merta menurunkan
kemiskinan di Provinsi Gorontalo. Fenomena menarik yang terjadi di Provinsi Gorontalo adalah
meskipun laju pertumbuhan ekonomi meningkat dari waktu ke waktu namun tingkat kemiskinan
di Provinsi Gorontalo juga sangat tinggi dengan laju penurunan kemiskinan di daerah perdesaan
lebih cepat dibandingkan di daerah perkotaan. Himanshu et al. (2011) menawarkan solusi untuk
mengatasi persoalan kemiskinan di kawasan perdesaan dengan transformasi perdesaan melalui
diversifikasi non pertanian. Junaidi 2012 selanjutnya mengkaji transformasi perdesaan melalui
tahapan perkembangan desa yang dikemukakan oleh Rustiadi et al. (2009).
Di Indonesia, Grootaert (2001), Miller et al. (2006) dan Brata (2004) menunjukkan
bahwa modal sosial menjadi salah satu alternatif untuk mengatasi masalah kemiskinan,
kesehatan, pendidikan dan ketersediaan modal di tingkat rumah tangga. Budaya Huyula sebagai
salah satu wujud dari modal sosial di Provinsi Gorontalo mulai terkikis (Yunus, 2013). Penelitian
ini bertujuan (1) menganalisis faktor-faktor yang berkaitan dengan kemiskinan perdesaan di
Provinsi Gorontalo (2) Mengidentifikasi komponen/dimensi modal sosial yang dominan di
perdesaan Provinsi Gorontalo (3) Menganalisis pengaruh dimensi modal sosial (trust, network
dan norm) dan interaksi masing-masing dimensi terhadap kemiskinan di Provinsi Gorontalo (4)
Menganalisis keterkaitan antara modal sosial (trust, network dan norm) dan kemiskinan
perdesaan pada berbagai tingkat perkembangan desa di Provinsi Gorontalo.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah model Logit dan Model Persamaan
Struktural (Structural Equation Modeling). Data yang digunakan adalah data primer dan
sekunder. Untuk melihat pengaruh modal sosial terhadap kemiskinan, dipilih dua kabupaten
yaitu Kabupaten Gorontalo yang relatif dekat dengan ibukota provinsi dan Kabupaten Pohuwato
yang relatif jauh dari ibukota provinsi. Disamping itu Kabupaten Gorontalo dan Kabupaten
Pohuwato merupakan kabupaten dengan tingkat kemiskinan yang tinggi di Provinsi Gorontalo.
Selanjutnya di pilih dua kecamatan di masing-masing kabupaten secara sengaja yaitu Kecamatan
Tibawa dan Kecamatan Tolangohula untuk Kabupaten Gorontalo serta Kecamatan Randangan
dan Kecamatan Popayato untuk Kabupaten Pohuwato yang memiliki jumlah penduduk miskin
terbanyak serta memiliki jarak terdekat dan terjauh dari ibukota kabupaten.
Pemilihan desa kemudian dilakukan di masing–masing kecamatan sebanyak empat desa
dan masing-masing desa ditetapkan jumlah sampel sebanyak 40 responden yang terdiri dari 20
rumah tangga miskin dan 20 rumah tangga tidak miskin, sehingga total populasi adalah 640
rumah tangga. Pemilihan desa didasarkan pada tahap perkembangan desa yang dikemukakan
oleh Rustiadi dan diperbaharui oleh Junaidi (2012).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) faktor yang berkaitan dengan kemiskinan
kawasan perdesaan di Provinsi Gorontalo adalah modal manusia yang direpresentasikan dengan
umur, pendidikan kepala keluarga dan jumlah tanggungan kepala keluarga, modal fisik yaitu
akses terhadap energi listrik (PLN) dan akses terhadap telekomunikasi, modal finansial berupa
kepemilikan modal fisik, modal sumberdaya alam yaitu domisili dekat hutan serta modal sosial
yang di proxy dengan partisipasi dalam kegiatan kemasyarakatan dan jumlah jam kerja (2)
komponen dominan yang membentuk modal sosial di perdesaan Gorontalo adalah rasa percaya
(3) komponen atau dimensi yang memiliki keterkaitan dengan kemiskinan di perdesaan
Gorontalo adalah norma, jaringan dan interaksi rasa percaya dan jaringan (4) desa-desa yang
memiliki taraf perkembangan yang lebih maju dicirikan dengan keragaman bentuk-bentuk modal
sosial yang berpengaruh dalam pengurangan kemiskinan di Provinsi Gorontalo.
Kata kunci : Modal sosial, interaksi, perdesaan, model persamaan struktural

RINGKASAN
YANA TATIANA. Analisis Perwilayahan Pembangunan dan Investasi di Provinsi Bengkulu.
Ketua Komisi Pembimbing MUHAMMAD FIRDAUS, HERMANTO J. SIREGAR DAN
HIMAWAN HARIYOGA sebagai anggota Komisi Pembimbing.
Provinsi Bengkulu adalah Provinsi yang ada di wilayah Indonesia Bagian Barat tepatnya
di pulau Sumatera. Provinsi ini mengalami ketertinggalan dalam Pembangunan dibandingkan
Provinsi lain di Pulau sumatera. Salah satu penyebab ketertinggalan provinsi ini adalah karena
rendahnya kemampuan pembiayaan pembangunan yang berasal dari investasi. Minat investor di
wilayah ini relatif rendah. Share pertanian terhadap PDRB di Provinsi Bengkulu masih relatif
besar yaitu 38.34 persen, Hal ini menandakan masih belum berkembangnya pertumbuhan
ekonomi di Provinsi ini.
Tujuan dari penelitian ini adalah : (1). Kondisi di Provinsi Bengkulu dalam kaitannya
dengan struktur ekonomi, pola pertumbuhan dan penentuan sektor unggulan, dalam kaitan antar
wilayah. (2). Iklim investasi yang ada di Provinsi, sekaligus perbaikan iklim investasi dalam
kaitannya dengan usaha meningkatkan daya tarik daerah. (3). Faktor-faktor penentu yang
menjadi daya tarik investor untuk menanamkan modalnya di Provinsi Bengkulu. (4). Sektor yang
dapat mendorong percerpatan pertumbuhan ekonomi dalam kaitannya dengan usaha peningkatan
investasi. Penelitian. Metode untuk perkembangan pembangunan di Provinsi Bengkulu dianalisis
denga menggunakan Tipologi Klassen, Location Quation (LQ), Shiftshare, dan Kapasitas Fiskal.
Metode untuk model faktor penentu iklim investasi menggunakan metode analisis regresi
logistik. Metode untuk model faktor penentu investasi dianalisis dengan menggunakan metode
regresi Panel. Variabel