UMPATAN BAHASA SUMBA BARAT DALAM TUTURAN BERBAHASA INDONESIA DI MASYARAKAT LOLI KABUPATEN SUMBA BARAT Tugas Akhir Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia

  

UMPATAN BAHASA SUMBA BARAT

DALAM TUTURAN BERBAHASA INDONESIA

DI MASYARAKAT LOLI KABUPATEN SUMBA BARAT

Tugas Akhir

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

  

Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia

Disusun Oleh

Valentina Idi Roswita Wuwur

  

NIM: 094114013

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA

JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

  

2013

KATA PENGANTAR

  Puji syukur penulis haturkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena

atas berkat dan tuntunan-Nya, tugas akhir ini dapat diselesaikan sesuai dengan

waktu yang telah direncanakan. Tugas akhir ini merupakan salah satu syarat untuk

memperoleh gelar sarjana sastra pada Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas

Sastra, Universitas Sanata Dharma.

  Dalam menyelesaikan tugas akhir ini, banyak pihak telah memberikan

bantuan, baik secara moril maupun materil kepada penulis. Oleh karena itu,

penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

  1. Prof. Dr. I. Praptomo Baryadi, M.Hum. selaku pembimbing I dalam penelitian ini. Terima kasih atas bimbingan, motivasi, dan nasihat yang telah diberikan kepada saya.

  2. Fr. Tjandrasih Adji, M.Hum. selaku pembimbing II sekaligus Dosen Pembimbing Akademik angkatan 2009. Terima kasih atas perhatian dan nasihat yang telah ibu berikan selama ini, baik dalam hal perkuliahan maupun hal-hal yang menyangkut masa depan penulis.

  3. Bapak dan Ibu dosen Sastra Indonesia, Drs. Hery Antono, M.Hum., S.E. Peni Adji, S.S., M.Hum., Dr. P. Ari Subagyo, M.Hum., Dr. Yoseph Yapi Taum, M.Hum., Drs. B. Rahmanto, M.Hum., dan Drs. F.X. Santosa, M.S., terima kasih atas tuntunan dan kesempatan yang diberikan kepada saya untuk menimba ilmu dari Bapak dan Ibu sekalian selama saya menjalani studi di Program Studi Sastra Indonesia.

  

ABSTRAK

Wuwur, Valentina Idi Roswita, 2013, “Umpatan dalam Tuturan Berbahasa

Indonesia di Masyarakat Sumba Barat.” Skripsi Strata I (SI). Program studi Sastra Indonesia. Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

  Skripsi ini merupakan hasil penelitian tentang umpatan dalam tuturan

berbahasa Indonesia di masyarakat Sumba Barat. Terdapat dua permasalahan

yang dipecahkan dalam penelitian ini, yakni (i) apa saja jenis umpatan dalam

tuturan berbahasa Indonesia di masyarakat Sumba Barat berdasarkan referennya

dan (ii) apa maksud umpatan tersebut jika ditinjau dari konteks kehidupan

masyarakat Sumba Barat?

  Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan jenis-jenis umpatan dalam

tuturan berbahasa Indonesia di masyarakat Sumba Barat berdasarkan referennya,

dan mendeskripsikan maksud umpatan tersebut berdasarkan konteks kehidupan

masyarakat Sumba Barat. Penelitian ini dilakukan melalui tiga tahap, yaitu tahap

tahap pengumpulan data, tahap analisis data, dan tahap penyajian hasil analisis

data. Tahap pertama adalah tahap pengumpulan data. Objek penelitian ini adalah

umpatan. Objek penelitian berada dalam data berupa tuturan. Data diperoleh

melalui dua sumber, yakni sumber tertulis dan sumber lisan. Sumber tertulis

berupa Kamus Bahasa Daerah Sumba Barat, dan sumber lisan berasal dari

pengamatan penulis terhadap beberapa penutur langsung bahasa Sumba Barat.

Tahap kedua adalah analisis data. Metode yang digunakan adalah metode padan,

yaitu metode yang alat penentunya berada di luar, terlepas, dan tidak menjadi

bagian dari bahasa yang bersangkutan. Alat penentunya adalah kenyataan yang

ditunjukkan oleh bahasa atau referen bahasa. Hasil analisis data dalam penelitian

ini disajikan dengan menggunakan dua metode, yaitu metode formal dan metode

informal. Hasil penelitian disajikan dengan metode formal, yaitu menggunakan

tabel. Penyajian hasil analisis data secara informal, yaitu penyajian hasil analisis

data dengan menggunakan kata-kata biasa, yaitu kata-kata yang bersifat denotatif

dan bukan kata yang bersifat konotatif.

  Hasil penelitian ini adalah deskripsi jenis umpatan dalam tuturan

berbahasa Indonesia di masyarakat Sumba Barat dan maksud umpatan

berdasarkan konteks kehidupan masyarakat Sumba Barat. Jenis umpatan

berdasarkan referen terbagi menjadi empat, yaitu jenis umpatan yang memiliki

referen berupa manusia, jenis umpatan yang memiliki referen hewan, jenis

umpatan yang memiliki referen berupa tumbuhan, dan jenis umpatan yang

memiliki referen berupa benda mati. Jika dikaitkan dengan konteks kehidupan

masyarakat Sumba Barat, terdapat empat maksud yang terkandung di dalam

umpatan-umpatan tersebut, yaitu umpatan yang bermaksud bercanda, umpatan

yang bermaksud menyindir, umpatan yang bermaksud marah, dan umpatan yang

bermaksud menghina.

  

ABSTRACT

Wuwur, Valentina Idi Roswita, 2013, “Curse in Indonesian Utterance in West

Sumba Society.” An Undergraduate Thesis (SI). Department of Indonesian

  

Letters, Faculty of Letters, Sanata Dharma University, Yogyakarta.

  This thesis is a result of a research of curses in Indonesian utterance in

West Sumba society. There are two problems that will be solved in this research.

They are (i) what are the kinds of curse in Indonesian utterance in West Sumba

society based on the references, and (ii) what are the meaning of the curses in the

context of West Sumba society’s life? This research aims to describe the kinds of curses in Indonesian utterance

in West Sumba society based on the references, and to describe the meaning of

the curses based on the context of West Sumba society’s life. There are three

steps that will be used in this research. The first step is collecting data. This

research consists of curses as the object of the research. The objects are in an

utterance data. The data are taken from two sources, written and spoken sources.

The written source is Dictionary of West Sumba, and the spoken source is the

writer’s observation on the direct speakers of West Sumba language. The second

step is analyzing data. The method that is used is equal method, the method which

the determiner is outside, free, and it is not part of the pertinent language. The

determiner is the fact that is showed by the language or the language reference

(Sudayanto, 1993:13-14). The third step is the presentation of the result of

analysis data. The analysis data in this research is presented using two methods,

formal and informal method. The result of the research presented in formal

method is using some symbols, signs, abbreviations, etc. The informal

presentation of the result of presentation is using common words, which are

denotative and non connotative.

  This research produces two results, the description of the kinds of curses

in Indonesian utterance in West Sumba society and the meaning of the curses

based on the context of West Sumba society’s life. The kinds of the curses based

on the references divided into four kinds, the curses which have human as the

reference, which are divided into four small parts, human’s name, greetings, parts

of human body, and position. The next curse based on the reference is the curse

with animal reference, plants reference, and unanimated things. If they are related

to the context of West Sumba society’s life, there are four meanings consisted the

curses. The meanings are to joke, to tease, to show anger, and to insult.

DAFTAR ISI

  HALAMAN HALAMAN JUDUL…………………………………………………… i HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING……………………….. ii HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI……………………………… iii PERNYATAAN KEASLIAN KARYA……………………………….. iv PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI……………………… v KATA PENGANTAR…………………………………………………... vi

ABSTRAK………………………………………………………………. viii

ABSTRACK……………………………………………………………………….. ix DAFTAR ISI………………………………………………………….… x

BAB I PENDAHULUAN

  

1.1 Latar Belakang……….……………………………………… 1

1.2 Rumusan Masalah…….…………………………………….

  6

  

1.3 Tujuan Penelitian…………………………………………….. 6

  

1.4 Manfaat Hasil Penelitian……………………………………... 7

  

1.5 Tinjauan Pustaka……………………………………………… 8

  1.6 Kerangka Teori……………………………………………….. 12

  1.6.1.Pengertian Umpatan…………………………………… 12

  1.6.2. Teori Semantik………………………………………… 14

  1.6.2.1 Referen . ………………………………………………. 14

  1.6.2.2 Maksud ………………………………………………. 16

1.7 Metode Penelitian…………………………………………….. 16

1.7.1. Pengumpulan Data……………………………………. 16

1.7.2. Analisis Data………………………………………….. 17 1.7.3. Penyajian Hasil Analisis Data…………….…………..

  19

  

1.8 Sistematika Penelitian………………………………………... 19

BAB II JENIS UMPATAN BAHASA SUMBA BARAT DALAM TUTURAN BERBAHASA INDONESIA DI MASYARAKAT LOLI KABUPATEN SUMBA BARAT BERDASARKAN REFERENNYA

  

2.0 Dasar Kehidupan Masyarakat Sumba Barat…………………… 21

  

2.1 Umpatan yang Menunjuk Referen Manusia……………….….. 22

2.1.1. Umpatan yang Menunjuk Referen Manusia Berupa Nama Manusia……………………………………………….

  23

  2.1.2 Umpatan yang Menunjuk Referen Manusia Berupa Sapaan……………………………………………………..…. 23

  2.1.3 Umpatan yang Menunjuk Referen Manusia Berupa Bagian Tubuh Manusia…………………………………..…… 24

  2.1.4. Umpatan yang Menunjuk Referen Manusia Berupa Jabatan………………………………………………………… 27

  

2.1 Umpatan yang Menunjuk Referen Hewan………………….… 27

  

2.2 Umpatan yang Menunjuk Referen Tumbuhan……..…………. 28

  

2.3 Umpatan yang Menunjuk Referen Benda Mati……………….. 29

BAB III MAKSUD UMPATAN DITINJAU DARI KONTEKS KEHIDUPAN MASYARAKAT LOLI KABUPATEN SUMBA BARAT 3.0 Pengantar…………………………………………………….

  34

  3.1 Umpatan yang Bermaksud Bercanda………………………….. 34

  3.2 Umpatan yang Bermaksud Menyindir………………………… 38

  3.3 Umpatan yang Bermaksud Marah…………………………….. 42

  3.4 Umpatan yang Bermaksud Menghina………………………... 46

BAB IV PENUTUP

3.1 Kesimpulan………………………….………………………… 52

  3.2 Saran………………………………………………………….. 52

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………..... 54

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Tugas akhir ini membahas umpatan bahasa Sumba Barat dalam tuturan

  berbahasa Indonesia di masyarakat Loli, Kabupaten Sumba Barat. Umpatan atau makian adalah ungkapan perasaan tertentu yang timbulnya disebabkan oleh dorongan yang bersifat kebahasaan dan nonkebahasaan. Hal yang bersifat berkenan pada diri pengumpat. Sebagai tanggapan atas tindakan itu, si pengumpat melampiaskan perasaannya melalui pelbagai umpatan. Sementara itu, hal yang bersifat nonkebahasaan biasanya menyangkut perbuatan seseorang atau peristiwa tertentu. Perbuatan tertentu misalnya pemukulan dan peristiwa tertentu seperti penyesalan mengakibatkan seseorang marah, mengkal, atau kecewa. Dalam suasana seperti itu, biasanya orang terbawa luapan perasaannya yang tidak terkendali, luapan perasaan yang menegangkan saraf. Pada saat itulah, perasaan sering terungkap melalui kata-kata yang tergolong kasar. Salah satu pengungkapan tersebut adalah dengan mencaci maki penyebabnya.

  Berikut ini contoh kata atau frasa umpatan dalam tuturan berbahasa Indonesia di masyarakat Loli, Kabupaten Sumba Barat: (1) Umpatan yang Merujuk Referen Manusia (1a) Nene moyang: Memangnya ko punya nene moyang yang buat ini?

  ‘Memangnya nenek moyangmu yang membuat ini’

  (1b) Bili gila: Heh Bili gila, barenti makan! ‘Hei Bili gila, berhenti makan!’ (1c) Mortana: Dasar ko memang manusia mortana.

  ‘Dasar kau memang manusia setan.’ (2) Umpatan yang Merujuk Referen Hewan (2a) Bongga law: Bongga law di sebela yang buat dia menangis.

  ‘Bongga law di sebelah yang membuatnya menangis’ (2b) Manu beddi: Itu tua satu su macam manu beddi.

  (2c) Karabbo mai: Macam karabbo mai saja kau ini.

  ‘Sudah seperti kerbau betina saja kau ini.’ (3) Umpatan yang Merujuk Referen Tumbuhan (3a) Karokko rara: Suda otak karokko rara, masih saja buat ulah.

  ‘Sudah otak seperti karokko rara, masih saja berbuat ulah’ (3b) Rauta ka’bala: Rauta ka’bala ada duduk di sana.

  ‘Rauta ka’bala sedang duduk di sana.’ (3c) Kapoke naga: Ko pu modem macam kapoke naga saja.

  ‘Rupamu itu sudah seperti buah nagka yang kempes.’ (4) Umpatan yang Merujuk Referen Benda mati (4a) Muka cobe: Muka cobe tapi gaya di atas langit.

  ‘Muka seperti cobe tetapi gayanya di atas langit’ (4b) Taripleks: Laki-laki taripleks baru sa lewat

  ‘Laki-laki yang seperti tripleks itu baru saja lewat.’

  (4c) Watu loko: Watu loko sudah itu barang-barang.

  ‘Sia-sia saja barang-barang itu.’ Frasa nene moyang, Bili gila, dan mortana pada contoh (1a), (1b), dan (1c) adalah frasa atau kata yang sering digunakan oleh masyarakat Sumba Barat untuk mengumpat orang lain. Referen umpatan tersebut adalah manusia. Tuturan (1a) bermaksud mengumpat orang dengan memakai referen berupa nama kekerabatan, yakni nene moyang. Contoh (1b) mengandung umpatan yang berarti nama seorang yang tidak waras, yang terkenal di Sumba Barat. Nama Bili gila tersebut dipakai

  

Mortana dalam contoh (1c) berarti ‘tuan tanah’, mor dari mori ‘tuan, penjaga,

  penunggu’ dan tana yang berarti ‘tanah’. Dalam masyarakat Sumba Barat, penunggu sebuah tempat (biasanya tidak kelihatan, berupa roh) sering disebut setan. Oleh karena itu, ‘tuan tanah’ disebut setan.

  Pada contoh (2) terdapat umpatan yang memiliki referen berupa hewan, yaitu (2a) bongga law, (2b) manu beddi, dan (2c) karabbo mai. Contoh (2a) memuat umpatan bongga yang berarti ‘anjing’. Law adalah kata yang biasa digunakan untuk mengumpat kaum lelaki. Oleh karena itu, bongga law digunakan untuk mengumpat kaum laki-laki. Contoh (2b) mengandung frasa manu beddi yang berarti manu ‘burung’, beddi ‘gatal, centil, suka menggoda.’ Frasa ini sering digunakan untuk mengumpat orang yang memiliki sifat demikian. Contoh (2c)

  

Karabbo mai berarti ‘kerbau betina’. Frasa tersebut sering digunakan untuk

  mengumpat anak gadis yang memiliki sifat layaknya kerbau betina, pemalas, berbadan besar, dan cenderung lamban dalam beraktivitas.

  Frasa Karokko rara, rauta ka’bala, dan kapoke naga yang terdapat dalam contoh (3a), (3b), dan (3c) merupakan umpatan yang menunjuk referen berupa tumbuhan. Contoh (3a) mengandung frasa karokko rara yang berarti ‘labu merah’. Labu merah sering digunakan oleh masyarakat Sumba Barat untuk mengumpat orang yang berotak kosong, sama seperti labu merah, kosong di bagian tengah. Contoh (3b) mengandung umpatan yang berarti ‘rumput belalang’,

  

rauta ‘rumput’ dan ka’bala ‘belalang’. Umpatan itu biasa digunakan untuk

  mengumpat orang yang berbulu badan lebat seperti rumput belalang. Dalam Buah nangka seperti itu biasanya kempes dan mengkerut sebelum gugur. Umpatan tersebut digunakan untuk mengumpat orang yang dianggap memiliki rupa seperti

  kapoke naga.

  Contoh (4) mengandung umpatan yang memiliki referen berupa benda mati, yaitu (4a) muka cobe, (4b) taripleks,dan (4c) watu loko. Contoh (4a) digunakan untuk mengumpat orang yang dianggap memiliki rupa seperti cobek: hitam, kasar, dan abstrak. Contoh (4b) dipakai untuk mengumpat orang yang memiliki kondisi fisik seperti tripleks, panjang, tipis, dan lunglai. Contoh (4c) digunakan untuk mengumpat sesuatu hal yang dianggap sia-sia. Arti watu loko adalah ‘batu kali’. Batu kali jarang sekali digunakan dalam kebutuhan hidup orang Sumba Barat, oleh karena itu, sesuatu yang sia-sia atau tidak berguna sering disebut dengan batu kali atau watu loko.

  Ternyata umpatan yang digunakan dalam tuturan berbahasa Indonesia di masyarakat Loli, Kabupaten Sumba Barat berasal dari bahasa Sumba Barat. Umpatan-umpatan itu digunakan oleh penutur dalam berbahasa Indonesia. Pemilihan topik mengenai umpatan dalam tuturan berbahasa Indonesia di masyarakat Loli, Kabupaten Sumba Barat ini didasari banyaknya temuan penulis mengenai pemakaian satuan bahasa tertentu yang digunakan untuk mengumpat dalam tuturan masyarakat Sumba Barat. Penulis sebagai penutur tuturan berbahasa Indonesia di masyarakat Loli, Kabupaten Sumba Barat, bermaksud mendeskripsikan jenis kata atau frasa yang biasa digunakan untuk mengumpat dalam masyarakat Sumba Barat berdasarkan referennya dan mendeskripsikan Loli, Kabupaten Sumba Barat. Selain itu, melalui topik ini, penulis menggambarkan kepribadian khas masyarakat Loli, Kabupaten Sumba Barat.

  Kepribadian khas yang dimaksud adalah kepribadian khas dalam kehidupan sosial masyarakat Loli. Dalam kesehariannya, masyarakat Lilo berpegang teguh pada ajaran Marapu. Salah satu ajaran Marapu adalah bersikap jujur dan tidak munafik. Oleh karena itu, masyarakat Loli, Kabupaten Sumba Barat selalu mengungkapkan perasaan mereka secara terang-terangan, karena apabila ditutupi, dianggap munafik, berbohong, dan melanggar ajaran Marapu. Kaitannya dengan umpatan, masyarakat Loli sering menggunakan umpatan untuk mengekspresikan dan mengungkapkan perasaannya terhadap orang lain. Kurangnya kajian dan penelitian mengenai tuturan berbahasa Indonesia di masyarakat Sumba Barat juga menjadi salah satu alasan penulis memilih topik ini.

  Sumber pengetahuan dan informasi mengenai tuturan berbahasa Indonesia di masyarakat masih sangat minim. Oleh karena itu, penulis melakukan penelitian ini untuk memberikan sumbangan pengetahuan dan informasi mengenai tuturan berbahasa Indonesia di masyarakat Sumba Barat. Sumbangan tersebut dapat digunakan oleh masyarakat Sumba Barat itu sendiri maupun masyarakat luar Sumba Barat yang ingin mempelajari tuturan berbahasa Indonesia di masyarakat Sumba Barat.

  I.2 Rumusan Masalah Masalah yang dipecahkan melalui penelitian ini adalah sebagai berikut.

  Indonesia di masyarakat Loli, Kabupaten Sumba Barat berdasarkan referennya?

  1.2.2 Apa maksud umpatan tersebut jika ditinjau dari konteks kehidupan masyarakat Loli, Kabupaten Sumba Barat?

  I.3 Tujuan Penelitian

  Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan umpatan bahasa Sumba Barat dalam tuturan berbahasa Indonesia di masyarakat Loli, Kabupaten Sumba Barat Tujuan tersebut dapat dirinci sebagai berikut.

  1.3.1 Mendeskripsikan jenis umpatan bahasa Sumba Barat dalam tuturan berbahasa Indonesia di masyarakat Loli, Kabupaten Sumba Barat berdasarkan referennnya

  1.3.2 Mendeskripsikan maksud umpatan berdasarkan konteks kehidupan masyarakat Loli, Kabupaten Sumba Barat

I.4 Manfaat Hasil Penelitian

  Hasil penelitian ini adalah deskripsi jenis-jenis umpatan bahasa Sumba Barat dalam tuturan berbahasa Indonesia di masyarakat Loli, Kabupaten Sumba Barat berdasarkan referennya dan deskripsi maksud umpatan tersebut berdasarkan konteks kehidupan masyarakat Loli, Kabupaten Sumba Barat. Hasil penelitian ini memiliki manfaat teoretis dan manfaat praktis. Manfaat teoretisnya adalah menyumbangkan hal baru dalam ilmu semantik, yaitu jenis-jenis umpatan bahasa Sumba Barat dalam tuturan berbahasa Indonesia di masyarakat Loili, Kabupaten berbahasa Indonesia di masyarakat Loli yang mempunyai referen tertentu sering digunakan sebagai umpatan. Selain itu, hasil penelitian ini memberikan sumbangan teoretis dalam ilmu pragmatik, yaitu jenis-jenis maksud yang terkandung dalam umpatan berdasarkan konteks kehidupan masyarakat Loli, Kabupaten Sumba Barat. Penggunaan umpatan dalam tuturan berbahasa Indonesia di masyarakat ini mengandung maksud tertentu.

  Manfaat praktis dari penelitian ini adalah menambah pengetahuan dan pemahaman masyarakat Sumba Barat mengenai referen yang digunakan untuk mengumpat dan maksud apa yang terkandung di dalam referen tersebut. Selain itu, masyarakat non Sumba Barat juga dapat mengetahui perihal umpatan yang ada di dalam masyarakat Sumba Barat.

I.5 Tinjauan Pustaka

  Perihal umpatan pernah dibahas oleh Siswoyo (2001), Purnama (2008), Mardhikai (2012), dan Puspitasari (2013). Siswoyo (2001), dalam tugas akhirnya meneliti pemakaian kata makian yang ada di sekitar mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro. Hasil analisis penelitiannya menunjukkan bahwa pemakaian kata makian tidak hanya digunakan pada saat marah. Sembilan puluh persen dari keseluruhan jumlah data menyatakan makian juga digunakan pada situasi santai atau akrab. Selain itu, makian juga kekaguman, keheranan, dan pujian. Bentuk- bentuk makian yang ditemukan dalam penelitian tersebut ada dua, yakni makian berbentuk kata dan makian yang berbentuk frasa. Referen makiannya berupa benda, binatang, kekerabatan, makhluk halus, organ tubuh, aktivitas, pekerjaan, diskriminasi, jenis kelamin, keadaan, dan usia. Penelitian tersebut juga menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi pemakaian kata makian oleh mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya universitas Diponegoro. Faktor-faktor tersebut, di antaranya, faktor usia, status sosial, jenis kelamin, dan kedekatan emosi.

  Purnama (2008) meneliti tentang makian dalam bahasa Melayu Palembang: studi tentang bentuk, referen, dan konteks sosiokulturalnya. Menurut Purnama, makian lazim digunakan oleh penutur sebagai sarana pengungkap emosi, di mana makian tersebut terdapat dalam bahasa sehari-hari. Makian dalam bahasa Melayu Palembang digolongkan menjadi tiga, yakni berdasarkan bentuk, referen, dan konteks sosiokultural. Pertama, bentuk makian dalam bahasa Melayu Palembang.

  Bentuk makian dalam bahasa Melayu Palembang ini dibagi menjadi tiga, yaitu makian berbentuk kata, makian berbentuk frasa, dan makian berbentuk klausa. Makian yang berbentuk kata, seperti kampang ‘anak haram’, burit ‘pantat’, bengak ‘bodoh’, pilat ‘kotoran pada kelamin pria’, tai ‘hasil sisa metabolisme’. Makian yang berbentuk frasa dalam bahasa Melayu Palembang dibentuk dengan dua cara, yakni dasar + (makian), dan woi + (makian). Terdapat etnis tertentu yang sering digunakan oleh masyarakat untuk memaki. Hal itu disebabkan ketidakterimaan masyarakat Palembang terhadap suku atau etnis tersebut. Etnis atau suku yang dimaksudkan adalah Cina, Batak, dan Jawa. Pada makian berbentuk klausa, makian dibentuk dengan menambahkan pronomina di belakang makian.

  Berdasarkan referennya, makian dalam bahasa Melayu Palembang dibagi menjadi sembilan, yaitu makian yang memiliki referen keadaan, makian yang memiliki referen sifat, makian yang memiliki referen etnis, makian yang memiliki referen binatang, makian yang memiliki referen makhluk halus, makian yang memiliki referen benda, makian yang memiliki referen bagian tubuh, makian yang memiliki referen aktifitas, dan makian yang memiliki referen profesi. Referen keadaan yang dimaksud adalah keadaan mental, keadaan yang tidak sesuai dengan norma agama dan adat, dan keadaan yang berhubungan dengan hal-hal buruk.

  Makian yang memiliki referen sifat menunjuk pada sifat buruk yang dimiliki mitra tutur. Makian yang memiliki referen etnis biasanya dikaitkan dengan sifat etnis tertentu berdasarkan pandangan masyarakat Palembang. Misalnya, sifat etnis Batak yang rakus, sifat etnis Cina yang pelit, dan etnis Jawa yang suka bergaya. Referen binatang yang sering digunakan untuk memaki ialah binatang yang dipandang tidak baik, misalnya buayo ‘buaya’, beruk ‘kera besar berekor pendek dan kecil’, babi, dan anjing. Makhluk halus yang sering digunakan oleh masyarakat Palembang untuk memaki adalah belis dan taun. berupa bagian tubuh, aktifitas, dan profesi, sering dikaitkan dengan hal yang berbau seks. Misalnya pada referen bagian tubuh, masyarakat Palembang sering menggunakan organ seksual untuk memaki, yaitu kontol, peler, pepek, memek,

  

tempek, puki, dan jembut. Aktifitas seksual juga sering digunakan untuk memaki,

  yaitu kacok, ngentot, dan ngancit. Pada profesi, makian yang sering dipakai adalah lonte dan lonte lanang (gigolo).

  Pengkajian konteks sosiokultural makian bahasa Melayu Palembang mencakup agama, adat, kondisi sosial, dan status sosial.

  Mardhikai (2012) meneliti fenomena kata makian dalam film. Makian- makian yang sering ditemukan dalam film, antara lain bajingan, bodoh, goblog, tolol, babi, monyet, curut, tahi, pelacur, sundel, dasar perek, tua bangka,, dan hidung pesek. Mardhikai juga memaparkan pendapat masyarakat mengenai pemakaian makian di dalam film. Ada tiga pendapat, yakni, pemakaian kata makian itu sudah biasa terjadi di kalangan masyarakat guna menumpahkan kekesalan, kejengkelan, atau kemarahan. Pendapat kedua, kata-kata seperti itu (makian) tidak pantas untuk ditayangkan dan didengar oleh penonton film.

  Pendapat ketiga menyatakan, jika menggunakan bahasa yang baik dan benar, film tidak akan laku. Hal ini disebabkan dengan hadirnya kata-kata seperti itu, minat penonton akan bertambah, khususnya bagi penonton yang berusia remaja.

  Puspitasari (2013), meneliti “Makian dalam Bahasa Indonesia (Suatu Kajian Bentuk dan Referensi pada Komik)”. Penelitian ini menyebutkan bahwa pemakaian kata makian tidak hanya digunakan pada saat marah, tetapi juga untuk menghina, meremehkan, mengungkapkan kekecewaan, keheranan, dan simbol keakraban. Bentuk-bentuk makian yang ditemukan pada komik yang diteliti, adalah makian berbentuk kata (dibagi menjadi dua, yakni makian bentuk dasar yang berwujud kata-kata monomorfemik) dan makian bentuk kata jadian atau turunan (berbentuk polimorfemik yang dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu makian berafiks dan makian bentuk majemuk)), makian berbentuk frasa, dan makian berbentuk klausa. Pada bentuk referensi, kata makian dalam komik berupa referen benda, referen binatang, referen berupa kekerabatan, referen berupa makhluk halus, referen berupa organ tubuh, referen berupa aktivitas, referen berupa profesi, dan referen berupa keadaan.

  Berdasarkan hasil penelitian-penelitian di atas, penulis memperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut. Pertama, umpatan memiliki referen berupa manusia dan hewan. Umpatan dengan referen manusia ada empat, yaitu anggota tubuh manusia, keadaan fisik manusia, kekerabatan, dan keadaan mental manusia. Kedua, sebagian besar orang menggunakan umpatan untuk mengekspresikan emosi dan perasaan mereka. Hal baru yang ditemukan penulis dalam penelitian mengenai umpatan bahasa Sumba Barat dalam tuturan berbahasa Indonesia di masyarakat Loli, Kabupaten Sumba Barat adalah ditemukannya beberapa referen berupa tumbuhan dalam umpatan masyarakat Loli, Kabupaten Sumba Barat. Selain itu, dalam kaitannya dengan konteks kehidupan masyarakat Loli, Kabupaten Sumba Barat, penulis menemukan maksud untuk bercanda dalam

I.6 Kerangka Teori

  Landasan teori dalam penelitian ini memaparkan pengertian umpatan, referen, maksud, dan kehidupan sosial masyarakat Sumba Barat.

1.6.1 Pengertian Umpatan

  Kata umpatan atau makian merupakan ungkapan yang dapat dilihat sebagai saluran dari emosi dan sikap penutur yang menggunakan kata-kata tabu dalam cara yang nonteknis dan bersifat emotif (Ljung, dalam Yuwono, 2010). Pengertian ini menunjukkan bahasa umpatan merupakan media untuk mengekspresikan perasaan penutur.

  Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Alwi, dkk., 2008:702), ”maki” berarti mengeluarkan kata-kata (ucapan) keji (kotor, kasar, dan sebagainya) sebagai pelampiasan kemarahan atau rasa jengkel; ”memaki” berarti mengucapkan kata-kata keji, tidak pantas, kurang adat untuk menyatakan kemarahan atau kejengkelan; ”makian” berarti kata keji yang diucapkan karena marah, dan sebagainya.

  Menurut Purnama, (2008: 171), makian merupakan salah satu sarana yang dibutuhkan oleh penutur untuk mengungkapkan emosi mencakup perasaan ketidaksenangan. Makian kerap terdapat dalam bahasa Palembang sehari-hari (Palembang Sari-sari), di mana penggunaan makian dalam bahasa Palembang sehari-hari ini dikarenakan bahasa tersebut akrab digunakan dalam bertalimarga (berkomunikasi). Purnama, dalam tulisannya, juga menyatakan bahwa terdapat oleh masyarakat secara umum, misalnya kata makian jembut, kontol, bandit, babi, dan kere.

  Rosidin (2010: 27), mendefinisikan makian sebagai berikut. Makian adalah saluran dari emosi dan sikap penutur yang diwujudkan dengan pemakaian kata-kata tabu, kasar, kotor, cabul, tidak sopan, dan keji. Makian tersebut biasanya merujuk pada hal-hal yang tabu atau dipandang sebagai sesuatu yang “sensitif” dalam suatu lingkungan budaya atau masyarakat tertentu. Makian kerap digunakan untuk menyinggung harga diri orang lain dan menyakiti hati mitra tutur. Alasan makian diucapkan adalah karena adanya perasaan tidak senang, marah, terkadang, dalam konteks tertentu, makian dapat digunakan sebagai penanda keintiman atau kedekatan antara penutur dengan mitra tutur.

  Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa umpatan merupakan tuturan yang digunakan oleh penutur untuk mengekspresikan perasaannya kepada mitra tuturnya.

1.6.2 Teori Semantik

  Semantik adalah telaah makna. Semantik menelaah lambing-lambang atau tanda-tanda yang menyatakan makna, hubungan makna yang satu dengan yang lain, dan pengaruhnya terhadap manusia dan masyarakat. Oleh karena itu, semantik mencakup makna-makna kata, perkembangannya, dan perubahannya (Tarigan, 1986:18). Ilmu semantik menyebutkan, terdapat tiga elemen bahasa, yaitu bentuk, makna, dan referen. Bentuk-bentuk kebahasaan memiliki hubungan dengan makna yang yang dinyatakan. Hubungan antara bentuk dan makna bersifat hubungan kausal, logis, alamiah, ataupun historis, dan sebagainya, antata bentuk dan makna itu. Sementara itu, sifat konvensional menyarankan bahwa hubungan antara bentuk dan kebahasaan dan maknanya terwujud atas dasar konvensi atau kesepakatan bersama (Wijana, 2011: 4). Bentuk kebahasaan memiliki hubungan dengan konsep dalam pikiran manusia yang disebut makna (sense), dan konsep ini lazimnya berhubungan dengan sesuatu atau hal yang ada di luar bahasa yang disebut referen (referent) (Wijana, 2011: 4).

1.6.2.1 Referen

  Referen (referent) adalah objek atau hal yang ditunjuk: peristiwa, fakta di dalam dunia pengalaman manusia (Djajasudarma, 1993: 24). Referen merupakan salah satu bagian dari segitiga semiotik, selain simbol dan rujukan (Richards, 1923: 14). Referen tidak selalu sesuai dengan simbol, karena konsep sebuah referen dapat dipahami jika sesuai dengan rujukan. Pemikiran atau referensi sangat dipengaruhi oleh bahasa dan simbol (Martinet, 2010:78).

  PEMIKIRAN ATAU REFERENSI Simbol (kata, rangkaian kata, gambar, gerak, isyarat, dan semua representasi gambar maupun bunyi imitatif) mengarahkan secara langsung, mengorganisasi, merekam, dan mengkomunikasikan pemikiran atau referensi tersebut. Simbol- simbol yang telah diproses di dalam pemikiran atau referensi tersebut kemudian dikomunikasikan lagi dengan fakta dan kejadian. Fakta dan kejadian inilah yang kemudian disebut referen.

  Simbol dalam segitiga semiotik berfungsi untuk menggantikan referen, karena simbol melakukan pentahbisan atau investitura. Ketika seseorang memahami apa yang dikatakan, maka suatu simbol akan membuat kita melakukan suatu tindakan referensi, dan sekaligus membuat kita mengambil suatu sikap yang sesuai dengan lingkungan yang mirip atau mendekati tindakan dan sikap lokutor. Selain menggantikan referean, simbol juga memiliki satu relasi tidak langsung. Misalnya kata “anjing” tidak memiliki hubungan lain dengan “beberapa objek umum tertentu yang terdapat di jalanan” kecuali berkaitan dengan fakta yang sering kita gunakan ketika merujuk pada suatu binatang. (Martinet, 2010: 79).

1.6.2.2 Maksud

  Maksud merupakan suatu gejala luar ujaran, selain informasi. Informasi dan maksud sama-sama sesuatu yang luar ujaran. Hanya bedanya kalau informasi itu merupakan sesuatu yang luar ujaran dilihat dari segi objeknya atau yang dibicarakan; sedangkan maksud dilihat dari segi si pengujar, orang yang berbicara, atau pihak subjeknya. Di sini orang yang berbicara itu mengujarkan sama dengan maksud lahiriah ujaran itu sendiri (Chaer, 1990:35-36).

I.7 Metode Penelitian

  Penelitian mengenai umpatan dalam tuturan berbahasa Indonesia di masyarakat Sumba Barat ini dilakukan melalui tiga tahap, yaitu (i) Pengumpulan data, (ii) Analisis Data, dan (iii) Penyajian Hasil Analisis Data.

1.7.1 Pengumpulan Data

  Objek penelitian ini adalah umpatan. Objek ini berada dalam data berupa tuturan. Data yang dikumpulkan adalah umpatan yang sering digunakan oleh masyarakat Sumba Barat dalam bertutur. Data-data dalam penelitian ini diperoleh melalui dua sumber, yakni sumber tertulis dan sumber lisan. Sumber tertulis berupa Kamus Bahasa Daerah Sumba Barat, dan sumber lisan berasal dari beberapa penutur langsung bahasa Sumba Barat, yaitu Bapak Andreas Nono (54), Saudara Deristo Bili (29), Saudara Arianti Anita Umbu (22), Saudara Tanta Rambu Hara (22), dan Saudara Angela Kula (22).

  Pengumpulan data penelitian menggunakan metode simak. Metode simak adalah metode yang digunakan untuk memperoleh data dengan cara menyimak penggunaan bahasa. Bahasa yang disimak dalam metode ini tidak hanya berkaitan dengan penggunaan bahasa secara lisan, tetapi juga penggunaan bahasa secara tertulis (Mahsun, 2005: 92). Metode simak yang digunakan dalam penelitian ini ada dua, yakni metode simak berpartisipasi dan metode simak tidak berpartisipasi. berpartisipasi (sambil menyimak), entah secara aktif atau reseptif, dalam pembicaraan (Kesuma, 2007: 44). Sedangkan metode simak tidak berpartisipasi adalah pengumpulan data yang dilakukan dengan menyimak penggunaan bahasa tanpa ikut berpartisipasi dalam proses pembicaraan. Dalam teknik ini, peneliti tidak dilibatkan langsung untuk ikut menentukan pembentukan dan pemunculan calon data. Data yang disimak dengan teknik ini dapat berupa data dari sumber lisan dan sumber tertulis (Kesuma, 2007: 44). Penulis melakukan pengumpulan data dengan cara masuk ke dalam keseharian masyarakat Sumba Barat dan mengamati umpatan-umpatan yang sering mereka gunakan. Selain itu, penulis juga mengamati dan meneliti umpatan-umpatan yang sering digunakan oleh mahasiswa Sumba Barat yang tinggal di Jogjakarta.

1.7.2 Analisis Data Pada tahap analisis data, data dianalisis menggunakan metode padan.

  Metode padan disebut juga metode identitas, adalah metode analisis data yang digunakan untuk menentukan kejatian atau identitas objek penelitian (Kesuma, 2007: 47). Alat penentu data dalam metode ini berada di luar bahasa, terlepas, dan tidak menjadi bagian dari bahasa (langue). Metode padan yang digunakan adalah metode padan referensial dan metode padan pragmatis. Metode padan referensial adalah metode padan yang alat penentunya berupa referen bahasa. Metode ini digunakan untuk menentukan identitas satuan kebahasaan menurut referen yang ditunjuk (Kesuma, 2007: 48).

  Contoh penerapan metode padan referensial sebagai berikut.

  Kalimat (1) di atas dapat dipilah menjadi tiga konstituen, yaitu Luhan,

memanggil , dan Kris. Ketiga konstituen itu memiliki identitas masing-masing.

  Identitas Luhan adalah ‘pelaku’, memanggil adalah ‘perbuatan’, dan Kris adalah ‘penerima perbuatan’. Penentuan tersebut merupakanpenentuan identitas menurut metode padan referensial.

  Metode padan pragmatis adalah metode padan yang alat penentunya lawan atau mitra wicara. Metode ini digunakan untuk mengidentifikasi satuan kebahasaan menurut reaksi atau akibat yang terjadi atau timbul pada lawan atau mitra wicaranya ketika satuan kebahasaan itu dituturkan oleh pembicara (Kesuma, 2007: 49). Contoh penerapan metode padan pragmatis sebagai berikut.

  (2) Kai, tolong buatkan minum untuk adikmu! Contoh (2) di atas merupakan kalimat perintah. Penentuan tersebut dilakukan menurut jalur kerja metode padan pragmatis, yaitu contoh (2) ditentukan sebagai kalimat perintah karena bila dituturkan, mengakibatkan mitra tutur, yaitu Kai, melakukan tindakan membuatkan minum untuk adik, sehingga muncul reaksi seperti dalam (2a) atau menolak untuk membuatkan minum untuk adik, seperti reaksi dalam (2b).

  (2a) Iya, akan kubuatkan. (2b) Aku sedang malas. Suruh saja orang lain yang membuatnya.

1.7.3 Penyajian Hasil Analisis Data

  Analisis data dalam penelitian ini disajikan dengan menggunakan dua dengan metode formal adalah penyajian hasil analisis data dengan menggunakan kaidah. Kaidah tersebut dapat berbentuk rumus, bagan/diagram, tabel, dan gambar (Kesuma, 2007: 73). Penelitian ini menyajikan hasil analisis data melalui tabel.

  Sedangkan penyajian hasil analisis data dengan metode informal adalah penyajia hasil analisis data dengan menggunakan kata-kata biasa, di mana rumus-rumus atau kaidah-kaidah disampaikan dengan kata-kata biasa, kata-kata yang apabila dibaca, dapat langsung dipahami (Kesuma, 2007: 71).

I.8 Sistematika Penelitian

  Laporan hasil penelitian ini terdiri dari empat bab. Bab pertama merupakan pendahuluan. Pendahuluan berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode dan teknik penelitian, dan sistematika penyajian. Latar belakang menguraikan alasan penulis melakukan penelitian ini. Rumusan masalah memuat masalah-masalah yang ditemukan penulis dalam penelitian ini. Tujuan penelitian mendeskripsikan tujuan penulis melakukan penelitian ini. Manfaat penelitian memaparkan manfaat yang dapat diperoleh dari hasil penelitian ini. Tinjauan pustaka mengemukakan pustaka yang pernah membahas tentang semiotika. Landasan teori menyampaikan teori-teori yang digunakan sebagai landasan penelitian. Metode dan teknik penelitian merincikan metode dan teknik pengumpulan data, metode dan teknik analisis data, dan metode dan teknik penyajian hasil analisis data yang digunakan dalam penelitian ini. yakni umpatan yang mempunyai referen berupa manusia, umpatan yang mempunyai referen berupa hewan, umpatan yang mempunyai referen berupa tumbuhan, dan umpatan yang mempunyai referen berupa benda mati.

  Bab ketiga berisi uraian tentang maksud umpatan jika ditinjau dari konteks kehidupan masyarakat Sumba Barat. Maksud-maksud tersebut dibagi menjadi empat, yaitu umpatan yang bermaksud bercanda, umpatan yang bermaksud menyindir, umpatan yang bermaksud marah, dan umpatan yang bermaksud menghina. Bab keempat berisi kesimpulan mengenai penelitian dan saran.

BAB II JENIS UMPATAN BAHASA SUMBA BARAT DALAM TUTURAN BERBAHASA INDONESIA DI MASYARAKAT LOLI KABUPATEN SUMBA BARAT BERDASARKAN REFERENNYA

2.0 Dasar Kehidupan Sosial Masyarakat Sumba Barat Kehidupan sosial masyarakat Sumba Barat bertumpu pada ajaran Marapu.

  antara manusia, Sang Pencipta (Amawolo Amarawi), dan alam semesta. Marapu berasal dari kata ma yang berarti ‘yang’ dan rapu yang berarti ‘dihormati, didewakan; mengacuh kepada nenek moyang’. Jadi Marapu dapat diartikan sebagai ‘sesuatu yang dihormati dan didewakan’ (Bamualim, 2009: 31).

  Ajaran tersebut masih dipegang teguh dan dijalankan hingga kini. Hal itu dapat dilihat dari kehidupan sosial sehari-hari masyarakat Sumba Barat.