Tugas Akhir Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana S-1 Program Studi Sastra Indonesia

  RITUAL NGGAYUH WAHYU DI PERTAPAAN BANG LANPIR : KAJIAN FOLKLOR Tugas Akhir Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana S-1 Program Studi Sastra Indonesia Oleh MATHEUS NASTITI NURCAHYO WIJAYA NIM : 044114006 PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

  RITUAL NGGAYUH WAHYU DI PERTAPAAN BANG LANPIR : KAJIAN FOLKLOR Tugas Akhir Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana S-1 Program Studi Sastra Indonesia Oleh MATHEUS NASTITI NURCAHYO WIJAYA NIM : 044114006 PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

   

MOTTO Hidup akan lebih bahagia kalau kita dapat menikmati apa yang kita miliki

  Karena itu bersyukur merupakan kualitas hati yang tertinggi.

  Bersyukurlah ! Bersyukurlah bahwa kamu belum siap memiliki segala sesuatu yang kamu inginkan . Seandainya sudah, apalagi yang harus diinginkan?

  Bersyukurlah ! Bersyukurlah apabila kamu tidak tahu sesuatu . Karena itu memberimu kesempatan untuk belajar .

  Bersyukurlah ! Bersyukurlah untuk masa-masa sulit . Karena Di masa itulah kamu tumbuh …

  Bersyukurlah ! Bersyukurlah untuk keterbatasanmu . Karena itu memberimu kesempatan untuk berkembang .

  Bersyukurlah untuk setiap tantangan baru . Karena itu akan membangun kekuatan dan karaktermu .

  Bersyukurlah untuk kesalahan yang kamu buat . Itu akan mengajarkan pelajaran yang berharga .

  Bersyukurlah bila kamu lelah dan letih . Karena itu kamu telah membuat suatu perbedaan .

  Mungkin mudah untuk kita bersyukur akan hal-hal baik… Hidup yang berkelimpahan datang pada mereka yang juga bersyukur akan masa surut…

  Rasa syukur dapat mengubah hal yang negatif menjadi positif … Temukan cara bersyukur akan masalah-masalahmu dan semua itu akan menjadi berkah bagimu …

  Jika kita melayani, maka hidup akan lebih berarti

   

HALAMAN PERSEMBAHAN

 

  

 

   

  

Skripsi ini aku persembahkan kepada:

kedua orangtuaku Bapak L. Danis Subroto dan A. Titi Savitri,

  Kakak dan adikku R.B.N Diyan Wijanarko (Chataq) dan N. Eksi Prana Wijayanti (Eksi),

dan untuk kekasihku

  

Sinarku (Odilia Kunthi Wulandari)

Aku sangat mencintai kalian semua

   

ABSTRAK

Wijaya, Matheus Nastiti Nurcahyo. 2011. Ritual Nggayuh Wahyu di Pertapaan

  Bang Lanpir: Kajian Folklor. Skripsi Strata 1 (S-1). Program Studi Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.

  Skripsi ini membahas tentang mistik kejawen ritual nggayuh wahyu di Pertapaan Bang Lanpir: kajian folklor. Studi ini mempunyai tiga tujuan yaitu (1) Mendeskripsikan sejarah ditemukannya Pertapaan Bang Lanpir sebagai tempat diterimanya wahyu, (2) Mendeskripsikan bagaimana ritual di Pertapaan Bang Lanpir, (3) Menjelaskan nilai budaya di Pertapaan Bang Lanpir.

  Judul ini dipilih karena studi mengenai ritual nggayuh wahyu di Pertapaan

Bang Lanpir sepanjang pengetahuan penulis belum pernah dilakukan. Ritual

nggayuh wahyu memiliki nilai budaya yang sangat penting yaitu mengajarkan

keselarasan hidup dan hubungan yang harmonis antara diri sendiri, lingkungan

sekitar dan dengan Sang Pencipta.

  Pendekatan yang digunakan dalam studi ini adalah pendekatan Folklor. Penelitian ini menggunakan empat teknik pengumpulan data yaitu teknik wawancara, observasi, kepustakaan, dan dokumentasi.

  Hasil penelitian mengenai ritual nggayuh wahyu yang dilaksanakan di Bang Lanpir adalah sebagai berikut : (1) Sejarah Pertapaan Bang Lanpir yang terdiri dari sejarah Dinasti Mataram Islam, sejarah Bumi Mentaok, sejarah Bang Lanpir sebagai tempat diterimanya wahyu kelapa, sejarah bangunan Bang Lanpir, sejarah nama bang Lanpir. (2) Ritual nggayuh wahyu di pertapaan Bang Lanpir. Penulis memberikan dahulu penjelasan tentang komponen ritualnya yaitu juru kunci, ritualis, sesaji dan maknanya, waktu dan tempat ritual dan tata cara ritual. Selain itu, hal yang dipandang cukup penting adalah tentang larangan yang terdapat di Bang Lanpir. Dari semua hal itu terselip nilai-nilai budaya. Nilai budaya yang terkandung dalam Pertapaan Bang Lanpir dan ritualnya adalah nilai ekonomi, nilai sosial, nilai estetika dan nilai agama. Semua nilai yang terkandung, merupakan sarana untuk menerapkan pendidikan kepada masyarakat.

   

ABSTRACT

Wijaya, Matheus Nastiti Nurcahyo. 2011. Ritual Nggayuh Wahyu di Pertapaan

  Bang Lanpir: Kajian Folklor. Skripsi Strata 1 (S-1). Program Studi Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.

  This thesis is about the mystical Javanese ritual Discussing nggayuh wahyu in the Hermitage Bang Lanpir: study of folklore. This study has three objectives: (1) Describe the history of the discovery of Bang Lanpir Hermitage as a place of receipt of wahyu, (2) Describe how the ritual in the Hermitage Bang Lanpir. (3) Explain the value of culture in the Hermitage Bang Lanpir.

  The title was chosen because the study of ritual nggayuh wahyu along the Hermitage Bang Lanpir authors knowledge has not been done. Ritual

  

nggayuh wahyu has a very important cultural value that is taught harmony of

  life and a harmonious relationship between ourselves, the environment and with the God.

  The approach used in this study is the approach of Folklore. This study used four data collection techniques of interviewing techniques, observation, literature, and documentation.

  Results of research on rituals nggayuh wahyu which was held in Bang Lanpir are as follows: (1) History of the Hermitage Bang Lanpir which consists of the history of Islamic Mataram dynasty, Mentaok Earth's history, history as the place of receipt Bang Lanpir coconut wahyu, historical buildings Lanpir Bang, the history of the name Lanpir bang. (2) Ritual nggayuh wahyu in the hermitage Bang Lanpir. The author gives first an explanation of the ritual component of caretaker, ritualist, offerings and its meaning, time and place of rituals and procedures of other ritual.hal deemed important enough is about the prohibition contained in Bang Lanpir. Of all the things that stuck cultural values. Cultural values contained in the Hermitage Bang Lanpir and rituals are of economic value, social value, aesthetic value and religious value. Of all the values contained, all is as a means to apply the education to the public.

   

KATA PENGANTAR

  Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah Bapa di Surga karena berkat karuniaNya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Ritual

  

Nggayuh Wahyu di Pertapaan Bang Lanpir: Kajian Folklor ” yang disusun

  sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Program Studi Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

  Penulis menyadari bahwa studi ini tidak akan mungkin terselesaikan tanpa bantuan dari berbagai pihak yang telah diberikan dengan segala ketulusan dan keiklasan. Dengan segala kerendahan hati penulis menyampaikan ucapan syukur dan semoga bantuan dan perhatian yang telah diberikan oleh berbagai pihak kepada penulis akan selalu diberkati oleh Tuhan yang selalu memberikan cinta kasihNya kepada semua umatNya. Dalam kesempatan ini pula dari hati yang paling dalam penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :

  Ibu S. E. Peni Adji, S.S, M. Hum selaku pembimbig I, dengan segala perhatian dan kebijakan serta kebaikannya yang begitu tulus. Beliau memberikan arahan dan masukan yang sangat berharga dan berarti bagi penulis dan koreksi untuk perbaikan-perbaikan skripsi ditengah waktu yang sangat berharga dan kesibukan tugas beliau sehari-hari. Dengan segala ucapan dan nasehat beliau sangat menyejukkan hati dan menentramkan di saat penulis menghadapi masa akhir studi dengan sesuatu yang mencemaskan, sehingga membuat penulis lebih percaya diri. Pengalaman berbincang-bincang dengan beliau sangat bermanfaat bagi penulis.

   

  Ibu Dra. Fr. Tjandrasih Adji, M. Hum, Pembimbing II. Beliau dengan penuh kearifan telah memberikan masukan dan arahan yang sangat berharga.

  Dengan kesibukan masih meluangkan waktu untuk penulis di saat waktu yang terbatas beliau telah memberikan motivasi agar cepat menyelesaikan penulisan ini. Segala bimbingan dan nasehat beliau sangat bermanfaat untuk penulis demi kemajuan studi.

  Bapak Drs. Hery Antono, M. Hum Kaprodi Sastra Indonesia USD,

  dengan segala kesibukan telah meluangkan waktu untuk membimbing saya dengan masukan yang sangat bermanfaat untuk kemajuan penulis selanjutnya.

  Beliau dengan telaten ngelingke penulis dan ngoyak-oyak supaya penulis bisa cepat menyelesaikan studi. Dengan ketulusan hati telah memberikan dorongan moril kepada penulis untuk selalu sabar dalam penulisan Skripsi ini. Dengan senyum dan keramahannya beliau semangat pada penulis. Untuk itu semua penulis menghaturkan terima kasih dan semoga penulis dapat belajar dari keramahan dan ketulusan beliau selama ini.

  Terima kasih juga saya ucapkan kepada Bapak Drs. Yapi Taum, M. Hum, Bapak Dr. I. Praptomo Baryadi, M.Hum, Bapak Drs. P.Ari Subagyo, M.Hum, Drs. B. Rahmanto, M. Hum, Pak Santosa. Juga kepada Pak Arwan (alm), terima kasih atas masukan mengenai topik penelitianku ini. Tak lupa staf sekretariat Mbak Ros dan Mas Tri.

  Kepada narasumber, Pak Sarjono, Pak Kadi, Pak Tris dan GBPH Joyokusumo. Terima kasih atas waktu yang diberikan untuk berbagi cerita mengenai filsafat Jawa. Semua yang telah kalian ceritakan adalah harta yang tak ternilai bagiku.

   

  Selanjutnya secara khusus terima kasih dan bakti serta harapan disampaikan penulis untuk : Bapak R.L Danis Subroto dan Ibu Anastasia Titi Savitri yang telah memberikan segala hal baik buruk dan segala hal mengenai ajaran cinta kasih.

  Penulis mengucapkan terima kasih atas segala pengorbanan untuk mengasuh, mendidik dan memberikan teladan untuk hidup secara sederhana dan takut dan taat kepada firman Tuhan, untuk itu semua penulis mengucapkan terima kasih. Penulis berdoa bapak dan ibu akan selalu ada dalam lindungan kasih Kristus.

  Bulik-bulik, Bu Nani dan Bu yanti yang sudah seperti orang tua angkat penulis, beliau telah mendidik dan mengasuh semasa kecil hingga besar, juga membantu kehidupan ekonomi keluargaku. Untuk itu penulis ucapkan terima kasih dan doa semoga mendapatkan limpahan kasih Kristus.

  Kepada kakak yang tercinta mas Diyan dan adikku yang kucintai yang selalu mendukung selama penulis studi selama ini dengan selalu bertanya,

  kapan rampunge?, kapan luluse?, meh ujian kapan?

  Seseorang kekasih yang bernama Odilia Kunthi Wulandari yang telah menjadi teman dan sahabat di saat duka dan suka, yang selalu mendukung dengan penuh kasih, setia menunggu ketika diriku kehilangan arah dan yang mengisi hari-hari dengan penuh warna…(”Makasih udah mengajarkan untuk

  

bersabar…mengajarkan pengampunan, kesetiaan dan kenyataan bahwa

semua akan bisa takluk hanya karena kasih”)

  Ucapan terima kasihku juga kuucapkan kepada kawan-kawan Siesen Insadha, mudika St. Anna, Daemon Aerish, Duff dan Mellow. Kalian adalah pengisi jiwaku yang sepi. Tanpa kalian aku adalah sepi.

   

  Spesial dan takkan lupa terima kasih untuk teman-teman Sastra Indonesia angkatan 2004. ”Kawan-kawan, ternyata aku tak bisa lulus tepat waktu”.

  Yogyakarta,

  15 Juni 2011 Penulis

  Matheus Nastiti Nurcayho W

    DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL .............................................................................................................. i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................................. ii HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................................ iii HALAMAN PERNYATAAN ............................................................................................... iv MOTTO .................................................................................................................................. v PERSEMBAHAN .................................................................................................................. vi ABSTRAK .............................................................................................................................. vii

  1.6.3 Wahyu ................................................................................................................. 11

  2.4 Sejarah Bang Lanpir versi Juru Kunci ......................................................................... 31

  2.3 Sejarah Bimi Mentaok ................................................................................................ 27

  

2.1 Pengantar ..................................................................................................................... 21

2. 2 Sejarah Dinasti Mataram Islam ................................................................................... 21

  BAB II SEJARAH PERTAPAAN BANG LANPIR ............................................................... 21

  1.8 Sistemetika penyajian ............ ......................................................................................20

  1.7 Metode Penelitian ....................................................................................................... 15

  1.6.4 Nilai Budaya ....................................................................................................... 15

  10

  ABSTRACT ............................................................................................................................. viii KATA PENGANTAR ............................................................................................................ ix DAFTAR ISI .......................................................................................................................... xii

  

1.6.1 Folklor ................................................................................................................ 7

1.6.2 Mistik Kejawen...................................................................................................

  

1.6 Landasan Teori ............................................................................................................ 7

  

1.4 Manfaat Penelitian ...................................................................................................... 6

1. 5 Tinjauan Pustaka ............ ............................................................................................ 6

  1.3 Tujuan Penelitian ......................................................................................................... 6

  

1.2 Perumusan Masalah ..................................................................................................... 5

  

1.1 Latar Belakang ............................................................................................................. 1

  BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................................... 1

  2.5 Sejarah Bangunan Bang Lanpir .................................................................................. 35

   

  2.6 Sejarah Nama Bang Lanpir ........................................................................................... 43

  BAB III KOMPONEN DAN TATA CARA RITUAL NGGAYUH WAHYU DI PERTAPAAN BANG LANPIR ........................................................... 47

  3.1 Pengantar ...................................................................................................................... 47

  3.2 Juru Kunci ................................................................................................................... 48

  

3.3 Ritualis ........................................................................................................................ 49

  3.4 Sesaji Dan Maknanya .................................................................................................. 51

  3.5 Waktu dan Tempat Ritual ........................................................................................... 55

  3.5.1 Waktu Ritual .................................................................................................... 55

  3.5.2 Tempat Ritual ................................................................................................... 56

  3.6 Tata Cara Ritual .......................................................................................................... 58

  

3.7 Larangan ...................................................................................................................... 63

  BAB IV NILAI BUDAYA DALAM RITUAL NGGAYUH WAHYU DI PERTAPAAN BANG LANPIR ........................................................... 65

  4.1 Niai Budaya .................................................................................................................. 66

  4.1.1 Nilai Teori ........................................................................................................ 66

  4.1.2 Nilai Ekonomi .................................................................................................. 67

  4.1.3 Nilai Sosial ........................................................................................................ 67

  

4.1.4 Nilai Estetika ..................................................................................................... 68

  4.1.5 Nilai Agama ...................................................................................................... 68

  

BAB V PENUTUP ..................................................................................................................... 69

  5.1 Kesimpulan .................................................................................................................. 69

  

5.2. Saran............................................................................................................................ 72

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................. 73

BAB I PENDAHULUAN I. 1 Latar Belakang Masalah Mistik kejawen adalah suatu upaya (laku) spiritual ke arah pendekatan

  diri terhadap Tuhan yang dilakukan oleh sebagian masyarakat Jawa. Upaya tersebut bisa digolongkan dalam kelompok yang disebut ”mistisme” yang berusaha untuk mempersatukan jiwa manusia dengan Tuhan. Golongan ini sejalan dengan teori kebatinan yang dikemukakan Mulder yang bertitik tolak dari pandangan umum, bahwa segala sesuatu yang hidup itu satu atau tunggal. Manusia dipandang sebagai percikan dari Zat Hidup yang meliputi segala sesuatu, manusia mempunyai dua segi, lahir dan batin. Melalui segi batin manusia dapat mencapai persatuan dengan Zat Hidup (Imam, 2005: 88).

  Secara khusus tempat yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah

  

petilasan Ki Ageng Pemanahan dan Panembahan Senapati, Pertapaan Bang

Lanpir di Desa Girisekar, Kecamatan Panggang, Kabupaten Gunung Kidul.

  Tempat ini merupakan pertapaan Ki Ageng Pemanahan ketika mencari wahyu keraton Mataram. Banyak alasan mengapa tempat ini banyak dikunjungi, salah satunya adalah karena tempat ini dipercaya sebagai cikal bakal dinasti Mataram Islam, yaitu tempat munculnya Wahyu Mataram pertama kali.

  Wahyu sebelum Ki Ageng Pemanahan berkuasa dan mendirikan kerajaan yang dikenal dengan Mataram Islam.

  Dalam keyakinan orang Jawa dikatakan bahwa raja sebagai kinarya

  

wakiling Hyang Agung (wakil dari Tuhan di dunia). Raja bertugas memelihara

  hukum dan keadilan. Untuk itu setiap rakyat harus taat kepada raja, barang

  

Hyang Agung (menentang kehendak Tuhan yang maha besar), maka siapa pun

  yang mengabdi harus taat kepadanya tanpa syarat atau lebih dikenal dengan

  

ngawula Gusti dalam masa sekarang ini kita kenal orang-orang yang

  mengabdi ini desebut dengan abdi dalem. Sebuah kerajaan yang diyakini orang Jawa adalah dinasti Mataram. Sampai saat ini masih terdapat sisa kekuasaan Mataram yang terbesar yaitu Kraton Kasunanan Surakarta, Kraton Kasultanan Yogyakarta, Kraton Pura Mangkunegaran Surakarta, dan Kraton Pura Pakualaman Yogyakarta (Purwadi, 2007: 156).

  Untuk mencapai sebuah kekuasaan dan menjadi seorang raja yang dianggap sebagai kinarya wakiling Hyang Agung (wakil dari Tuhan di dunia) maka, sesorang harus mendapatkan pulung, wahyu dan ndaru yang harus dicapai melalui laku spiritual (Purwadi, 2007: 158).

  Kekuasaan dalam budaya Jawa diperoleh melalui proses turunnya

  

pulung, wahyu, dan ndaru. Ketika seseorang mampu mencapai tingkatan

  tertentu, dirinya akan mudah menerima apa saja dari Tuhan. Termasuk di dalamnya, adalah pulung, wahyu, dan ndaru (Purwadi, 2007: 158).

  Endraswara dalam bukunya Mistik Kejawen ( 2003: 215) menjelaskan bahwa Pulung adalah cahaya berwarna biru cerah dan hijau terang, yang merupakan perpaduan cahaya emas, permata, dan timah. Orang yang menerima pulung, biasanya akan mendapatkan kabegjan (keberuntungan) yang telah seukur dengan dirinya. Tanda-tanda orang akan mendapatkan

  

pulung berupa wahyu, yaitu cahaya berwarna putih dan kuning cerah,

  perpaduan dari cahaya permata, perak, dan timah. Wahyu tersebut akan diterimakan melalui laku (nenepi). Orang yang menerima wahyu, akan berbingar-bingar dan lebih berwibawa dalam hidupnya. Dia akan menerima ndaru pada malam hari, biasanya di waktu dua pertiga malam.

  Sewaktu terjadi pemilihan kepala desa (pilkades), para calon kades itu biasanya saling berebut pulung. Mereka datang ke dukun-dukun, orang tua, atau tempat keramat atau kuburan leluhur hanya demi keinginannya untuk mendapatkan pulung kekuasaan tersebut (Purwadi, 2007: 61).

  Penulis menyimpulkan bahwa dalam konsep kepercayaan orang Jawa, untuk menjadi seorang raja atau penguasa, wahyu adalah hal yang paling pokok. Tanpa wahyu, sang raja maupun sang penguasa tak diakui keberadaannya oleh rakyat dan tak akan menjadi kuat.

  Bermacam-macam definisi dari wahyu. Ada yang menyebut bahwa wahyu adalah karunia Tuhan. Wahyu dari Tuhan dipercaya tak akan turun ke lebih dari satu orang, maka banyak orang yang saling berebut wahyu untuk mendapatkan kekuasaan atau dalam bahasa Jawa sering disebut sebagai jimat,

  

kemat, pangkat. Jimat biasa kita sebut sebagai sesuatu hal yang kita bawa

  dan dipercaya membawa sebuah kekuatan bagi yang memegang. Kemat, maksudnya adalah kehormatan atau wibawa, dan pangkat adalah sebuah jabatan tertentu (Subroto, wawancara pribadi, 20 Oktober 2008)

  Proses turunnya wahyu, pulung atau ndaru biasanya diperoleh melalui jalan atau laku mistik, salah satu cara yakni dengan bertapa. Endraswara ( 2003: 215) menjelaskan bahwa jika pelaku mistik melakukan semedi atau bertapa akan merasa heneng, hening,eling, lalu sampai tingkatan mayangkara (untuk pria) dan mayang sakara (untuk wanita). Keduanya sering disebut

  

mayang gaseta . Mayang artinya cinta suci dan gaseta berarti Gusti. Mayang tingkatan itu, dirinya akan mudah menerima apa saja dari Tuhan. Termasuk di dalamnya adalah pulung, wahyu, dan ndaru.

  Proses semedi atau bertapa hingga mencapai heneng, hening,eling itu sering disebut orang Jawa sebagai klenik. Menurut pendapat Probosutedjo via Artha (2007: 15), klenik itu disampaikan dengan cara berbisik-bisik atau

glenikan . Oleh sebab itu, disebut ilmu klenik atau ilmu kebatinan.

  Probosutedjo menggambarkan ilmu klenik seperti saat kita membaca buku di tempat ramai, atau di dalam kereta atau di atas bus, tidak diucapkan melainkan hanya dengan batin.

  Penjelasan mengenai mistik kejawen demi mendapatkan wahyu yang dilakukan para penganut kejawen jelas memiliki tujuan yang mulia. Tujuan utamanya adalah memperoleh ngelmu sejati yang akan menjadi bekal

  

manunggaling kawula Gusti, mereka mampu berkonsentrasi membentuk

  benteng diri untuk menghadang angkara murka pribadi dan selalu berserah diri kepada Tuhan. Dengan bekal itu manusia akan dapat menjalankan kewajiban hidup luhur dengan rasa tenang (Endraswara, wawancara pribadi, 19 September 2008)

  Pertapaan Bang Lanpir merupakan tempat yang dianggap keramat dan para pelakunya pun melakukan laku mistik Kejawen untuk nggayuh wahyu.

  Hal yang menarik adalah, bagaimana asal mula Pertapaan Bang Lanpir dan praktik mistik kejawen nggayuh wahyu itu terjadi. Hal-hal tersebutlah yang memotivasi penulis untuk melakukan studi lapangan untuk memaparkan dan mengungkapnya secara tuntas.

  Ada beberapa alasan penulis memilih topik ‘Wahyu di Pertapaan Bang Istimewa Yogyakarta sebuah kajian folklor’. Pertama, berkaitan dengan tempat objek penelitian, yaitu Pertapaan Bang Lanpir yang dipercaya sebagai awal dan saksi sejarah terbentuknya kerajaan Mataram Islam, sepengetahuan penulis belum pernah ada penelitian yang mengaji mengenai hal ini.

  Alasan ke dua, banyak yang datang untuk nggayuh wahyu di pertapaan Bang Lanpir dengan harapan mendapatkan jimat, kemat, dan pangkat. Peneliti ingin mengungkap proses terjadinya wahyu dan laku spiritualnya.

  Alasan ketiga, banyak orang yang memaknai istilah mistik Kejawen sebagai sesuatu yang negatif dan bersifat irasional. Pemikiran negatif ini melekat karena mistik Kejawen selalu melekat dengan kata ”klenik. Mistik

  

kejawen selalu identik dengan sesaji untuk roh halus, padahal laku mistik

Kejawen bukanlah hal yang negatif. Peneliti ingin membantu masyarakat

  meluruskan pandangan laku mistik Kejawen yang sering dianggap negatif.

  

Mistik Kejawen adalah cara berdoa orang Jawa yang diungkapkan dengan

simbol sesaji kepada Tuhan dan laku spiritual dengan cara semedi.

  Berdasarkan uraian di atas, masalah-masalah yang dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

  I.2.1 Bagaimana sejarah Pertapaan Bang Lanpir sebagai tempat nggayuh

  wahyu ?

  I.2.2 Bagaimana komponen dan tata cara ritual nggayuh wahyu di Pertapaan Bang Lanpir?

  I.2.3 Bagaimana Nilai budaya dalam ritual di Pertapaan Bang Lanpir?

  Berdasarkan latar belakang masalah dan rumusan masalah di atas, penelitian ni bertujuan untuk :

  I.

  I.

  3. 2 Mendeskripsikan bagaimana komponen dan ritual nggayuh wahyu di Pertapaan Bang Lanpir.

  I.

  3. 3 Mendeskripsikan nilai budaya di Pertapaan Bang Lanpir.

   I. 4 Manfaat Penelitian

  Hasil penelitian ini berupa deskripsi tentang Sejarah Pertapaan Bang Lanpir dan komponen ritual yang digunakan di pertapaan itu. Dalam bidang sastra lisan atau folklore, Penelitian ini dapat menambah wawasan mengenai tradisi lisan yang ada di sekitar kita. Dalam bidang sejarah, penelitian ini dapat menambah wawasan mengenai cerita asal usul wahyu yang didapatkan para pemimpin sebelum mereka bertahta. Hasil penelitian ini juga menambah referensi baru tentang situs religi dan budaya di Indonesia.

  I. 5 Tinjauan Pustaka

  Penelitian yang berkaitan dengan mistik kejawen memang bukan hal baru dalam ilmu budaya. Hadiwidjono (1984) dalam bukunya Kebatinan Jawa

  

dalam Abad Sembilan Belas lebih terfokus pada deskripsi kehidupan aliran

kebatinan saja.

  Dalam buku Sufisme Jawa yang ditulis oleh Simuh (1995) ditekankan penelitian ini hanya terfokus pada pembahasan terhadap karya-karya R. Ng Ranggawarsita.

  Fokus penelitian yang telah dilakukan di atas jelas berbeda dengan penelitian ini yang lebih difokuskan pada laku mistik kejawen demi mendapatkan wahyu. Hal yang berbeda di Pertapaan Bang Lanpir ini adalah orang-orang biasanya mencari restu untuk kenaikan pangkat ataupun jabatan.

  Belum ada penelitian mengenai Pertapaan Bang Lanpir dari perspektif mana pun. Hanya saja dalam situs resmi Rumah Budaya Tembi dituliskan Bang Lanpir merupakan petilasan Ki Ageng Pemanahan yang terletak di Desa Girisekar, Kecamatan Panggang, Kabupaten Gunung Kidul. Tempat ini merupakan pertapaan Ki Ageng Pemanahan ketika mencari wahyu kraton Mataram (http://www.tembi.org/mataram/mataram02.htm)

  Teori ini akan dipakai untuk menjelaskan laku mistik nggayuh wahyu di Pertapaan Bang Lanpir. Banyak hal yang akan dijelaskan adalah berkaitan dengan sejarah, bagaimana laku mistik pengunjung, dan motif para pelaku datang ke Pertapaan Bang Lanpir seperti apa yang dibicarakan di masyarakat selama ini.

  Folklor berasal dari kata folklore (bahasa Inggris). Jika dieja menjadi

  

folk artinya ‘rakyat’ dan lore artinya ‘tradisi’. Folk adalah kelompok atau

  kolektif yang memiliki ciri-ciri pengenal kebudayaan yang membedakan dengan kelompok lain. Lore merupakan wujud tradisi dari lore. Tradisi tradisi rakyat yang sebagian disampaikan secara lisan, yaitu kelisanan menjadi pijakan folklor (Endraswara, 2005: 11).

  Folklor adalah kebudayaan kolektif yang tersebar dan diawariskan turun-temurun secara tradisional dalam versi yang berbeda baik dalam bentuk lisan maupun tulisan (Danandjaja, 1984: 2). Folklor Indonesia yang berjenis lisan ada dua jenis, yaitu kepercayaan rakyat dan permainan rakyat (Danandjaja, 1984: 153).

  Folklor berasal dari dua kata dasar folk dan lore. Folk artinya “sekelompok orang yang memiliki ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan sehingga dapat dibedakan dari kelompok lainnya. Sedangkan lore adalah ‘tradisi folk’ yaitu sebagian dari kebudayaan yang diwariskan turun temurun secara lisan atau melalui contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat. Jadi, folklor adalah sebagian kebudayaan yang kolektif dan diwariskan secara turun temurun secara lisan, baik yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat” (Danandjaja, 2002 : 1-2).

  Menurut Brunvand via Danandjaja (2002 : 21-22) folklor dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok besar berdasarkan tipenya: (1) folklor lisan (verbal fololore), (2) folklor sebagian lisan (partly verbal folklore), (3) folkor bukan lisan (non verbal folklore). Folklor lisan adalah folklore yang bentuknya memang murni lisan. Bentuk-bentuk (genre) folklor yang termasuk ke dalam kelompok besar ini antara lain (a) bahasa rakyat (folk speech) seperti logat, julukan, pangkat tradisional, dan titel kebangsawanan; (b) ungkapan tradisonal, seperti peribahasa, pepatah, dan pemeo; (c) pertanyaan tradisonal, seperti tekateki; (d) puisi rakyat, seperti pantun, gurindam dan syair; (e) cerita lisan juga mempunyai fungsi sebagai penghibur atau senagai penyalur perasaan yang terpendam Folklor bukan lisan adalah folklor yang bentuknya bukan lisan, walaupun cara pembuatannya diajarkan secara lisan. Kelompok besar ini dapat dibagi menjadi dua subkelompok, yakni yang material dan yang bukan material. Yang tergolong material antara lain: arsitektur rakyat (bentuk asli rumah daerah, bentuk lumbung padi, dan sebagainya), kerajinan tangan rakyat; pakaian dan perhiasan tubuh adat, makanan dan minuman rakyat, dan obat- obatan tradisional. Sedangkan yang termasukyang bukan material antara lain: gerak isyarat tradisional (gesture), bunyi isyarat untuk komunikasi rakyat (kentongan), dan musik rakyat.

  Menurut Budiaman (1979: 14-15) betapa pentingnya kita mempelajari folklor dalam rangka mengenal kebudayaan masyarakat tertentu karena fungsi yang terkandung di dalamnya, yaitu sebagai sistem proyeksi yang dapat mencerminkan angan-angan kelompok, sebagai alat pengesahan pranata- pranata dan lembaga kebudayaan, sebagai alat pendidikan anak, dan sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat dipatuhi.

  Dari yang saya uraikan di atas, folklore merupakan salah satu sarana yang berperan penting dalam masyarakat tradisional dalam menjaga kelestarian adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat. Skripsi ini membahas tentang ritual nggayuh wahyu di Pertapaan Bang Lanpir. Ritual nggayuh

  

wahyu di Pertapaan Bang Lanpir masuk ke dalam kelompok folklor lisan,

  sebagian lisan dan bukan lisan. Sampai sekarang ritual nggayuh wahyu di Pertapaan Bang Lanpir masih dilaksanakan baik dari pihak Kraton Yogyakarta ritual nggayuh wahyu di Pertapaan Bang Lanpir sampai saat ini masih beredar turun temurun dan masih mempertahankan identitas Jawa.

  Hadiwidjono via Endraswara (2006: 228) menjelaskan bahwa istilah mistik kejawen pada dasarnya merujuk pada wacana budaya spiritual yanag dianut oleh sebagian besar masyarakat Jawa. Budaya spiritual yang dimaksud sebenarnya merupakan sinkriteisme antara agama Siwa, Budha, Hindu, dan Islam yang diramu menjadi bentuk kebatinan Jawa. Dalam hal ini Koentjaraningrat (1984: 312) juga menyatakan bahwa sinkreteisme telah diolah dan disesuaikan dengan adat istiadat Jawa, lalu dinamakan agama Jawa atau Kejawen dan selanjutnya menjadi tradisi rakyat.

  Penulis akan menggunakan teori menurut Prawirohardjono via Endraswara (2006: 229) untuk menjelaskan proses laku mistik kejawen yang dilakukan oleh para pengunjung Pertapaan Bang Lanpir. Dimulai dari awal

  

laku hingga hasil dari ritual dan semua komponen yang terlibat. Tata cara

  yang dilakukan oleh pelaku mistik untuk melakukan ritual mistik menurut Prawirohardjono adalah sebagai berikut :

  (1) sebelum melakukan penghayatan ritual: sesuci, dengan mencuci muka, tangan, kaki dan sebagainya, dan jika memungkinkan lebih utama mandi terlebih dahulu, (2) pakaian ritual: asal bersih, rapi dan sopan, bisa menggunakan warna putih berjubah, (3) tempat ritual: sembarang, di mana saja, (4) perlengkapan ritual: alas, lilin, (5) sikap: duduk saja terus-terusan, sambil memejamkan mata, tangan bebas dan serasi, sikap kepala/ muka menunduk, dapat berdiri, di kursi, (6) arah

  penghayatan : bebas dan serasi, (7) upacara doa dan ritual:

  mengucapkan doa dalam hati, mengucap kata tertentu dengan tujuan membersihkan batin/ menguatkan iman, mengucapkan doa bersuara berisik atau bergumam

  Dari uraian tersebut dapat dinyatakan bahwa tata cara mistik kejawen nomer (1) sampai (6), baru menunjukkan syarat terkait dengan sikap perilaku seseorang melakukan meditasi. Nomor (7) telah menggambarkan bagaimana proses seseorang melakukan mistik kejawen.

  Menurut Pigeaud via Hadisiswaya (2009: 18) wahyu diartikan sebagai ruh atau kekuatan ilahi berupa petunjuk dari Tuhan. Bagi masyarakat Jawa,

  

wahyu atau pulung dianggap sebagai rahmat atau karunia untuk suatu

  kedudukan tertentu. Selanjutnya, wahyu ini dibedakan dengan pulung yang berarti bintang kebahagiaan sebagai dasar kekuasaan. Wahyu ini diharapkan hadir bagi priyayi-gung, yaitu bangsawan tingkat tinggi dan diberlakukan pula bagi masyarakat luas sebagai manusia terpilih dalam suatu lingkungan tertentu pula. Pulung cenderung berlaku umum untuk semua golongan masyarakat sejak tingkat bawah hingga tingkat tinggi, sehingga tidak memiliki batas atas kuasa Ilahi, Tuhan. Biasanya wahyu atau pulung ini berkaitan secara langsung dengan bidang kerohanian dan keagamaan, sehingga keduanya tidak dapat dipaksakan ataupun dipindahkan dari manusia satu kepada manusia lainnya, karena bersifat pribadi atau ruh. Untuk itu, keduanya tidak hanya diisyaratkan untuk satu agama dan kepercayaan tertentu, atau hanya etnis tertentu, kaya atau miskin, tua atau muda, dan seterusnya. Wahyu yang telah lama dikenal masyarakat Jawa ketika diperintah oleh raja-raja tidak dapat terpisahkan oleh petunjuk-petunjuk Sang pencipta jagad, Tuhan yang Maha Esa.

  Dijelaskan pula mengenai wahyu oleh Endraswara dalam bukunya kehidupan manusia dibagi menjadi tiga, yaitu (1) alam gaib, (2) alam rame atau alam mudita, dan (3) alam sunya ruri. Alam gaib, adalah alam ketika manusia Jawa belum ada. Manusia masih berada dalam alam yang sulit dijangkau oleh panca indera. Yakni alam ketika manusia belum ada secara

  

wadhag (ujud). Alam rame atau alam mudita, adalah alam makhluk

  perempuan dan laki-laki. Keduanya adalah pengisi dunia. Kedua makhluk ini adalah penghias dunia. Sedangkan alam sunya ruri, berasal dari kata sunya (sepi) atau kosong dan ruri adalah suasana gelap gulita. Keadaan saat manusia mencapai tingkat kesunyian.

  Dalam menjalankan semedi, pelaku mistik ingin mencapai Alam sunya

  

ruri , yakni alam yang suwung, tanpa batas, yang ada tetapi tak ada. Alam

sunya ruri sebagai witing rame saka sepi, witing gumelar seka sonya, artinya

  alam ramai yang berasal dari sepi dan mulainya ada berasal dari sepi. Orang yang berhasil mencapai alam sepi itu akan sampai kasunyatan. Alam

  

kasunyatan , ibarat dambaan orang Jawa ketika semedi (nutupi babahan hawa

sanga ) seperti sedang mencari tapake kontul nglayang, nggoleki galiheing

kangkung . Logikanya, tapak kaki kuntul atau bangau yang sedang terbang

  tentu tidak ada. Begitu pula kalau manusia mencari galih batang kangkung yang tengahnya berlubang, tentu ada tetapi tak ada (Endraswara, 2003: 215).

  Pada waktu orang semedi akan merasa heneng, hening, eling, lalu sampai tingkatan mayangkara (untuk pria) dan mayang sarkara (untuk wanita). Keduanya sering disebut juga mayang gaseta. Mayang artinya cinta suci dan gaseta berarti Gusti. Mayang gaseta berarti cinta kepada Tuhan.

  Ketika seseorang mampu mencapai tingkatan tersebut, dirinya akan mudah menerima apa saja dari Tuhan. Termasuk di dalamnya, adalah pulung, wahyu, dan ndaru (Endraswara, 2003: 215).

  Pulung adalah cahaya berwarna biru cerah dan hijau terang, yang

  merupakan perpaduan cahaya emas, permata, dan timah. Orang yang menerima pulung, biasanya akan mendapatkan kabegjan (keberuntungan) yang telah seukur dengan dirinya. Tanda-tanda orang yang akan mendapatkan

  

pulung berupa wahyu, yaitu cahaya berwarna putih dan kuning cerah,

  perpaduan dari cahaya permata, perak, dan timah. Wahyu tersebut akan diterimakan melalui laku (nenepi). Orang yang menerima wahyu, akan berbingar-bingar dan lebih berwibawa dalam hidupnya. Dia akan menerima

  

ndaru pada malam hari, biasanya di waktu dua pertiga malam (Endraswara,

2003: 216).

  Wahyu ada tiga wujud, yaitu: (a) wahyu nurbuwah, yaitu wahyu keraton. Wahyu ini akan menandakan siapa yang kuat menjadi raja. Ia akan menjadi raja utama, berwibawa, dan terhormat. Namun, hal ini juga bisa dikiaskan bagi segala bentuk kekuasaan. Jadi, siapa saja yang mendapatkan wahyu jenis ini akan mendapatkan kedudukan tertentu. Orang tersebut akan bertambah wibawa dan sangat dihormati; (b) wahyu kukumah, yaitu berupa cahaya berwarna kuning keemasan. Ini sebagai wahyu seseorang yang akan menjadi raja adil paramarta dan (c) wahyu wilayah, yaitu wahyu yang diterima oleh seorang wali. Jika menerima wahyu ini, dia berhak menyebarkan wahyu Tuhan (Endraswara, 2003: 216).

  Sebagai tanda kalau seseorang telah mendapatkan wahyu, akan menerima ndaru. Ndaru adalah cahaya kuning seperti kunyit sebesar buah

  

pulung, wahyu, maupun ndaru akan nampak melalui tanda-tanda misalkan

  saja berupa teja (cahaya). Teja tersebut nampak adakalanya di tempat yang puncak dan sepi. Hal ini hanya dapat dimengerti oleh orang yang telah memiliki daya linuwih sehingga pandai menggunakan ngelmu titen (Endraswara, wawancara pribadi, 18 September 2008)

  Dalam wawancara pribadi (25 Desember 2010) Joyokusumo menjelaskan jika orang telah merasa khidmat dalam menjalani proses liyep-

  

layap ing ngaluyup dalam semedi, pulung, wahyu, dan ndaru akan mudah

  diraih. Bahkan, pelaku akan memahami tiga hal, yaitu: (a) pangrasa, yaitu alat untuk menghayati baik dan buruk, (b) pranawa, yaitu sarana batin untuk menghayati kesenangan, dan (c) prawasa, batin untuk memahami rasa susah. Perpaduan tiga hal tersebut, pelaku mistik akan sadar kosmis, sehingga tahu asal mula kejadiannya.

  Dalam tradisi filsafat Islam, wahyu bahkan bertindak sebagai sumber pengetahuan (Bakar via Boy Perdana 1997). Pengetahuan manusia yang diperoleh melalui wahyu memiliki status yang spesifik, karena seorang penerima pengetahuan melalui wahyu adalah orang yang memiliki otoritas keagamaan tinggi yang sering diistilahkan dengan Nabi. Sementara manusia biasa menerima keberadaan wahyu sebagai rukun iman yang harus dipercayai secara taken for granted atau apa adanya. Para filosof berusaha untuk mendudukkan wahyu sebagai realitas keilmuan yang bisa dikaji secara teoretis.

  I. 6. 4 Nilai Budaya

  Allport, vernom dan Lindzey via Suriasumantri (1995: 263) mengidentifikasikan enam nilai dasar dalam kebudayaan yakni nilai teori, ekonomi, estetika, sosial, politik dan agama. Nilai teori adalah hakikat penemuan kebenaran lewat berbagai metode seperti rasionalisme, empirisme dan metode ilmiah. Nilai ekonomi mencakup kegunaan dari berbagai benda dalam memenuhi kebutuhan manusia. Nilai estetika berhubungan dengan keindahan dan segi-segi artistik yang menyangkut antara lain bentuk, harmoni dan wujud kesenian lainnya yang memberikan kenikmatan manusia. Nilai sosial berorientasi kepada hubungan antarmanusia dan penekanan segi kemanusiaan yang luhur. Nilai politik berpusat kepada kekuasaan dan pengaruh baik dalam kehidupan bermasyarakat maupun dunia politik. Sedangkan nilai agama atau religi merengkuh penghayatan yang bersifat mistik dan transcendental dalam usaha manusia untuk mengerti dan memberi arti bagi kehadirannya di muka bumi karena anugrah Tuhan yang harus disyukuri.

  I.7 Metode Penelitian

  Metode merupakan cara dan prosedur yang akan ditempuh oleh peneliti dalam rangka mencari pemecahan masalah (Santosa, 2004: 8). Tulisan ini disajikan menggunakan metode deskriptif analisis. Metode ini dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis. Dalam hal ini analisis tidak semata-mata menguraikan, melainkan juga memberikan penjelasan dan pemahaman secukupnya (Ratna, 2006: 53).

  Penelitian ini menggunakan tiga jenis teknik pengumpulan data yaitu teknik analisis data, dan teknik penyajian data. Penulis melakukan pengumpulan data dengan teknik observasi, teknik wawancara mendalam, teknik dokumentasi, penelusuran data online dan studi pustaka. Skripsi ini menggunakan metode kualitatif untuk menganalisis.

  Sutrisno Hadi via Sugiyono (1999 :139) mengemukakan bahwa observasi merupakan suatu proses yang kompleks, suatu proses yang tersusun dari pelbagai proses biologis dan psikologis. Dua di antara yang terpenting adalah proses-proses pengamatan dan ingatan. Teknik Pengumpulan data dengan observasi digunakan bila penelitian berkenaan dengan perilaku manusia, proses kerja, gejala-gejala alam dan bila responden yang diamati tidak terlalu besar.