Stagnansi Confidence Building Measures Sebagai Salah Satu Instrumen Penyelesaian Konflik di Asia Tenggara Tahun 1994-2014

  

Stagnansi Confidence Building Measures Sebagai Salah Satu

Instrumen Penyelesaian Konflik di Asia Tenggara

Tahun 1994-2014

  2 Ni Komang Desy Arya Pinatih Abstract

  This article examines strategy of confidence building measures (CBM) scheme

implementation in Southeast Asia region. CBM is one of the main pillars in ASEAN

Regional Forum (ARF) other than preventive diplomacy dan conflict resolution that

was initiated in 1994. In general, CBM concept refers to the development of mutual

trust between both countries in the bilateral, regional or multilateral scheme. There are

four (4) aspects for measuring the implementation of a CBM such as: communication

measures, constraint measures, transparency measures and verification measures. This

paper shows that the implementation of CBM in the Southeast Asian region is not

maximized due to the implementation stalled at the level of communication measures,

constraint measures and transparency measures, while very minimal verification

measures carried out. Another interesting finding is that the level of transparency

measures activity of CBM only limited to exchange of intelligence information and the

publication of defense white paper, whereas for military exercises and joint military

operation ASEAN countries tend to preferring with other countries outside the region

such as the United States and China that shows implications for the weak trust building

to support the success of CBM. Lack of mutual trust was later implicated in the absence

of a common security perspective in the Southeast Asian region and the fact that some

ASEAN countries are spoiled by a security umbrella established with countries outside

the region (intrusive system).

  Keywords : confidence building mesures, mutual trust, ASEAN, ASEAN Regional Forum.

  Pendahuluan

  Dinamika keamanan kawasan tidak bisa dilepaskan dari perubahan konstelasi sistem internasional pasca Perang Dingin. Perspektif keamanan tradisional yang lebih menekankan pada keamanan negara dan penggunaan kapabilitas militer perlahan telah bergeser ke arah keamanan yang lebih luas yang dimotori oleh The Copenhagen School meliputi aspek-aspek keamanan non tradisional seperti ekonomi, sosial dan lingkungan.Apa yang menjadi adagium keamanan yang lazim diungkapkan dengan

  ‘security against us’ menjadi

‘security with us dimana hal ini dimaknai sebagai suatu keniscayaan bahwa

  urusan keamanan bukan lagi menjadi domain satu atau dua negara saja tetapi

  Penulis adalah Staf Pengajar pada Program Studi Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya adanya interdependensi keamanan telah membuat urusan keamanan menjadi tanggung jawab bersama negara-negara dalam suatu kawasan. Implementasi ini dapat dilihat pada pola-pola aliansi yang menjadi karakteristik utama dinamika keamanan kawasan pada masa Perang Dingin perlahan telah berubah kearah interdependensi keamanan yang kemudian lebih banyak diwarnai dengan pembangunan security community di beberapa kawasan. Secara tidak langsung perubahan ini juga turut menjadi faktor penyebab semakin berkembangnya skema-skema keamanan regional, khususnya untuk menjawab tantangan penciptaan kondisi yang damai dan relatif stabil di level regional.

  Di kawasan Asia Tenggara upaya-upaya untuk membangun suatu komunitas keamanan bersama demi terciptanya kawasan yang stabil dan damai diinisasi oleh Association of Southeast Asian Nation (ASEAN). ASEAN sendiri sebagai salah satu wadah bertemunya negara-negara di kawasan Asia Tenggara sangat memahami potensi kawasan Asia Tenggara yang secara geografis dan politis sangat strategis sebagai suatu simpul pertemuan kekuatan-kekuatan besar yang rentan terhadap gejolak dan konflik,bahkan Amerika Serikat dan Uni Sovyet sendiri pada masa itu memiliki serangkaian kebijakan yang khusus diarahkan ke kawasan Asia Tenggara sebagai salah satu sphere of influence-nya.

  Sejak awal masa pembentukannya pada 8 Agustus 1967, secara implisit ASEAN telah berulangkali menyebut tujuan penciptaan kawasan yang damai, stabil dan netral antar negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Hal ini dipandang wajar mengingat pada periode awal pembentukannya, Asia Tenggara merupakan salah satu kawasan yang tidak terlepas dari dampak Perang Dingin sehingga upaya-upaya untuk meminimalisir dampak Perang Dingin terus digagas dan dilakukan. Dalam perkembangannya, isu keamanan menjadi salah satu isu utama di forum-forum ASEAN. Dalam perkembangannya kemudian diinisiasi lahirnya Zone of Peace, Freedom and Neutrality (ZOPFAN) dalam pertemuan khusus para Menteri Luar Negeri ASEAN di Kuala Lumpur pada tanggal 27 November 1971 ditetapkan deklarasi Kuala Lumpur atau Deklarasi ZOPFAN dianggap telah menjadi tonggak dalam sejarah kerja sama politik dan keamanan ASEAN, yang menetapkan ASEAN sebagai wilayah yang damai, netral, dan bebas dari intervensi asing. Meskipun antar negara-negara anggota ASEAN sebelumnya telah tergabung dalam kemitraan-kemitraan strategis baik secara bilateral maupun trilateral, Deklarasi ZOPFAN adalah awal dari bentuk kerja sama anggota ASEAN secara regional. Di sisi lain, penguatan institusi kelembagaan ASEAN juga dilihat sebagai respon atas dinamika regional dan global diantaranya semakin terekskalasinya beberapa konflik perbatasan intra- ASEAN serta menguatnya peran China di kawasan Asia Tenggara sehingga tuntutan untuk membangun kemitraan yang lebih implementatif tidak lagi dapat dielakkan.

  Kemudian melalui KTT ASEAN di Bali pada 24 Februari 1976, dihasilkan dokumen Treaty of Amity and Cooperation in South East Asia (TAC) yang menegaskan mengenai penggunaan cara-cara damai dalam menyelesaikan persengketaan intra-regional. Cara-cara damai inilah yang kemudian menjadi prinsip dasar hubungan antar negara-negara ASEAN. Menariknya, dokumen TAC dengan jelas menekankan tujuan jangka panjang ASEAN yaitu dengan membangun kawasan yang damai dan netral dengan mengharapkan partisipasi tidak saja hanya dari negara-negara anggota ASEAN tetapi juga dari negara non anggota. TAC memberikan penekanan pada supremasi kedaulatan nasional, dimana setiap negara yang berada di kawasan Asia Tenggara harus menghormati kedaulatan nasional masing-masing negara sehingga konflik dan persengketaan antar negara dapat dicegah.

  CBM pertama kali diperkenalkan dalam First Meeting ASEAN Regional

  

Forum (ARF) yang diselenggarakan di Bangkok pada bulan Juli 1994. ARF

  sendiri lahir sebagai implikasi logis dari berakhirnya sistem bipolar di Asia Pasifik (Andrea, 1996:77). Berakhirnya sistem bipolar yang ditandai dengan runtuhnya Uni Sovyet pada medio 1990-an telah mengharuskan negara-negara di kawasan Asia Pasifik merumuskan ulang serta mencari pendekatan baru mengenai masalah-masalah keamanan di kawasan Asia Pasifik. ARF juga sekaligus menjadi terobosan ASEAN dalam merealisasikan pembentukan forum dialog multilateral pertama di kawasan Asia Pasifik. ARF bertujuan untuk menjadi forum dialog dalam mendiskusikan dan menyatukan perspektif bersama khususnya di bidang keamanan, sehingga terbentuk rasa saling percaya dan kepentingan bersama tentang masalah keamanan regional di Asia Pasifik.

  ARF memiliki sasaran utama yaitu membangun rasa saling percaya (confidence buildng measure (CBM), preventive diplomacy, dan conflict

  

resolution (Luhulima, 1999). CBM ditempuh dengan memperkuat kemitraan

  strategis antar negara di Asia Pasifik, yang di dalamnya mencakup transparasi militer, pertukaran informasi intelijen, prosedur manajemen krisis, pembentukan pasukan penjaga perdamaian, dan unit keamanan maritim untuk menjaga perairan kawasan. Preventive diplomacy dicapai dengan cara meningkatkan pengelolaan dialog-dialog keamanan sehingga dapat menghasilkan langkah- langkah kerja sama yang konkret. Sementara conflict resolution ditempuh dengan cara-cara nonkonfrontatif dan pendekatan constructive engagement yang selama ini telah dipakai ASEAN dalam menyelesaikan berbagai konflik yang telah terjadi seperti konflik Thailand-Kamboja. Di sisi lain, ARF juga mendukung setiap forum yang membahas tentang pelucutan senjata internasional seperti NPT, CWC, BWC, CCW, dan CTBT. Hal ini menunjukkan bahwa ARF memiliki perhatian yang sangat besar kepada stabilitas keamanan kawasan.

  Dalam perkembangan selanjutnya ketiga pilar utama ARF tersebut yaitu : CBM, preventive diplomacy, dan conflict resolution telah menjadi instrumen- instrumen utama yang dipilih dalam mengatasi konflik antar negara-negara di kawasan ASEAN. Seperti yang telah disampaikan di awal, CBM pertama kali diinisasi ketika pembentukan ARF pada tahun 1994 dan hingga kini masih berjalan. Penulis akan memfokuskan tulisan ini kepada upaya-upaya yang dilakukan ASEAN dalam rangka membangun mutual trust dan meminimalisasi konflik antar negara-negara anggotanya melalui skema CBM dalam kurun waktu sejak diinisiasinya CBM yaitu tahun 1994 hingga tahun 2014 dikarenakan masih ada beberapa implementasi CBM yang masih berjalan hingga saat ini. Untuk lebih jelasnya, tulisan ini akan dibagi ke dalam 4 (empat) pembabakan utama yaitu : Bagian pendahuluan dimana bagian ini akan memberikan gambaran umum mengenai dinamika keamanan di kawasan Asia Tenggara pasca Perang Dingin serta upaya-upaya ASEAN melalui berbagai skema untuk membangun kawasan yang damai, stabil dan netral; Bagian Tinjauan Literatur yang memuat tentang sejarah dan pembabakan CBM secara konseptual dengan mengedepankan kepada 4 (empat) aspek utama dalam kajian CBM yaitu

  

communication measures, constraint measures, transparency measures serta

verification measure ; Bagian Pembahasan yang akan mengupas mengenai

  operasionalisasi keempat konsep utama CBM tersebut yang pada akhirnya pembahasan dalam bagian ini akan diarahkan untuk pertama, memetakan dan mengidentifikasi hingga sejauh mana implementasi CBM di kawasan Asia Tenggara, dan kedua, tulisan ini akan diarahkan untuk mencoba menjawab pertanyaan apa yang menjadi faktor-faktor yang mempengaruhi stagnansi pelaksanaan CBM di level tertentu di kawasan Asia Tenggara; Bagian Kesimpulan akan memuat mengenai temuan dan simpulan akhir dari penelitian ini serta diperkaya dengan saran untuk penelitian lanjutan.

  Tinjauan Literatur

  Bagian ini akan memuat pembabakan konseptual confidence building

  

measures (CBM) serta beberapa konsep-konsep tambahan yang terkait langsung

  dengan CBM. Berbicara tentang CBM tentunya tidak dapat dilepaskan dari prakondisi atau faktor-faktor determinan yang menjelaskan tentang dinamika keamanan kawasan sehingga pelaksanaan CBM menjadi suatu keharusan demi tercapainya stabilitas keamanan regional.

  Kondisi keamanan regional pasca Perang Dingin yang diwarnai ketidakpastian (uncertainity) yang kemudian berimplikasi kepada tingginya

  

security dilemma di beberapa kawasan di dunia. Ketidakpastian ini menurut Ken

  Booth dan Nicholas J. Wheeler dapat terjadi karena 2 (dua) hal yaitu dari faktor material dan faktor psikologis (Williams, 2008:134). Pertama, ketidakpastian dari faktor material secara jelas merujuk kepada sifat-sifat ambigu dari sistem persenjataan itu sendiri, apakah ofensif ataupun defensif. Dalam kondisi struktur sistem internasional yang diyakini anarki, pembangunan kapabilitas militer dianggap menjadi respon paling rasional atas ketidakpastian tersebut. Sementara di sisi lain, pembangunan kapabilitas militer yang sedianya untuk mencapai keamanan bagi suatu negara dapat dipersepsikan sebagai ancaman bagi negara lain. Disinilah kemudian interpretasi terhadap karakter persenjataan apakah dibangun dalam kerangka ofensif ataupun defensif menjadi sangat krusial. Kedua, faktor psikologis merujuk kepada apa yang lazim disebut sebagai ‘the other minds problem’ yaitu kondisi dimana decision maker dari masing- masing negara tidak bisa yakin 100% motif dari negara lain sehingga sangat rentan menimbulkan mispersepsi. Di dalamnya termasuk juga mispersepsi dalam dialog-dialog keamanan dan menginterpretasikan informasi intelejen. Kedua hal ini sangat menentukan tingginya derajat dilema keamanan yang mewarnai dinamika keamanan regional pasca Perang Dingin. Berikut adalah pembabakan model ketidakpastian (uncertainity) :

  Bagan 1 : The Unresolvable Uncertainity

  Secara sederhana security dilemma dapat didefinisikan sebagai

  “A two

level strategic predicament in relations between states and other actor, with

each level consisting of two related dilemmas which force decision maker to

choose between them”(Williams, 2008:138). Dari definisi tersebut dapat ditarik

  kesimpulan bahwa security dilemma adalah dilema keamanan yang mewarnai pola hubungan negara-negara dalam suatu kawasan tertentu yang terdiri atas dua level yaitu dilemma of interpretations dan dilemma of response. Security

  

dilemma ini terjadi karena tiadanya mutual trust antar negara-negara dalam suatu

  kawasan sehingga kondisi ini sangat rentan memicu perlombaan persenjataan (arms race) yang kemudian bisa menyebabkan konflik. Sehingga dilakukanlah upaya-upaya untuk membangun rasa saling percaya tersebut melalui beberapa skema salah satunya adalah melalui confidence building measures (CBM).

  

Sumber : Wheeler, K. B. (2008). In . D. Williams, Security Studies : An Introduction Menurut The CSCAP Working Group on CBMs Confidence building

  measures adalah “…both formal and informal measures, whether unilateral, bilateral or multilateral that address, prevent or resolve uncertainities among states, including both military and political elements. Such measures contribute to a reduction of uncertainity, misperception and suspicion.” (CSCAP,

  1995:1) Senada dengan definisi CSCAP diatas Itty Abraham, memaparkan CBM sebagai

  “a set of unilateral, bilateral and multilateral actions or procedures that act to reduce military tensions between a set or sets of states before, after or during conflict.” (Abraham)

  Dari dua definisi diatas, secara sederhana CBM dapat dimaknai sebagai upaya-upaya pembangunan rasa saling percaya antar negara baik di level unilateral, bilateral, maupun multilateral yang dilakukan sebelum, selama dan pasca konflik dengan tujuan utama yaitu mereduksi ketegangan, mispersepsi dan ketidakpastian antar negara-negara yang terlibat di dalamnya.

  Konsep CBM pertama kali diperkenalkan di Eropa pasca Perang Dunia I ketika beberapa negara Eropa memberikan akses kepada personel militer negara lain untuk menjadi observer dalam latihan militernya. Berikutnya dalam Treaty

  

of Versailles , juga dibahas mengenai pendampingan personel militer dalam

  rangka meningkatkan kohesivitas personel militer negara-negara yang tergabung dalam aliansi militer. Pelaksanaan CBM di generasi pertama ini mencapai momentum ketika pada tahun 1955 ketika Presiden Amerika Serikat Dwight D. Eisenhower mengajukan tawaran kepada Uni Soviet melalui skema Open Skies

  

Treaty yang di dalamnya memuat regulasi mengenai penggunaan akses udara

untuk menjangkau basis-basis pangkalan militer kedua Negara (Glaser, 2014).

  Dalam perkembangan selanjutnya, terdapat beberapa kemitraan strategis yang menunjukkan betapa CBM sudah mulai dikembangkan sebagai salah satu instrumen utama untuk mempromosikan transparansi militer dan membangun rasa saling percaya antar negara. Hal ini dapat dilihat dari Helsinki Final Act pada tahun 1975 yang digagas oleh Conference on Security and Cooperation in

  

Europe (CSCE) yang memuat tentang institusionalisasi CBM untuk mencapai keamanan regional di kawasan Eropa. Selanjutnya melalui penandatanganan The

  

Document of Stockholm Conference pada tahun 1986 implementasi CBM di

  level teknis dengan 5 pilar utama mulai diterapkan. Diantaranya notifikasi aktifitas militer, observasi aktifitas-aktifitas militer, agenda rutin dialog, verifikasi serta kepatuhan dari negara-negara yang terlibat dalam CBM (Glaser, 2014:5). Sejak digagas pada tahun 1950an CBM terbukti mampu mereduksi potensi-potensi terjadinya konflik di kawasan Eropa.Keberhasilan negara-negara Eropa melaksanakan CBM inilah yang kemudian menjadikannya sebagai role bagi implementasi CBM di berbagai belahan dunia lainnya.

  model

  Dong Wang dan Xin Jiang dalam tulisannya yang berjudul

  ‘Confidence Building Measures : European Experiences and Asia Pacific Practice’

  berpendapat bahwa CBM tidak hanya dilakukan di ranah militer, namun juga di ranah politik, ekonomi dan sosial kultural dalam jangkauan yang lebih luas baik di level unilateral, bilateral maupun multilateral. Berkaca dari pengalaman negara-negara di kawasan Eropa, Amerika Latin, Timur Tengah dan Asia Pasifik, Wang dan Jiang menambahkan adalah penting untuk memetakan karakteristik konfliknya terlebih dahulu sebelum memutuskan model CBM seperti apa yang ideal untuk diterapkan (Wang, 2009:3). Sementara itu Higgins mengidentifikasi 4 (empat) area untuk melihat implementasi skema CBM, keempat aspek tersebut adalah : communication measures, constraint measures,

  

transparency measures serta verification measures (Baviera, n.d:2). Berikut

  adalah tabel operasionalisasi konsep CBM di ranah militer yang diturunkan hingga ke level indikator untuk memudahkan penulis memetakan dan menganalisa sudah sejauh mana implementasi CBM di kawasan Asia Tenggara dilakukan.

  Bagan 2 Operasionalisasi Konsep CBM

  Konsep Variabel Indikator Parameter

  Communication Establish contacts Dialog baik formal measures between 2 parties maupun informal

  antar negara- negara yang terlibat konflik

  Assign military Pertukaran representatives to personel militer serve as liasons yang

  diperbantukan sebagai LO

  Constraint measures Establish Pembangunan demilitarized zone zona-zona khusus

  demilitarisasi di wilayah-wilayah konflik tersebut,

  BM

  khususnya zona- zona perbatasan

  s of C Limited force of Pembatasan a deployment zones penggelaran

  kekuatan militer di

   Are

  4

  zona demilitarisasi

  Transparency Military data Pertukaran measures exchange informasi militer

  dan intelejen.

  Voluntary Observasi dan observations of latihan militer

  bersama

  another state’s military exercices &joint military exercise

  Verification measures On site inspection Inspeksi-inspeksi visits to factories & militer gabungan military bases atau dengan pihak ketiga.

  

Sumber : Diolah dari Baviera dalam Holly Higgins, Applying Confidence Building Measures in

a Regional Context , Institute for Science and International Security.

  Dari bagan diatas dapat kita lihat ada empat aspek yang dapat digunakan untuk melihat implementasi CBM, Pertama, Communication measures merujuk kepada pembangunan saluran-saluran komunikasi langsung (hotline) antar kedua/lebih negara yang terlibat dalam konflik serta komitmen untuk melaksanakan CBM melalui public statement kepala negara. Saluran komunikasi ini memungkinkan kepala negara masing-masing pihak untuk berkomunikasi secara langsung sehingga dapat meminimalisir mispersepsi;

  

Kedua , constraint measures merujuk kepada aturan penggelaran kekuatan

  militer dalam rentang jarak yang disepakati bersama khususnya di sepanjang perbatasan negara-negara yang terlibat konflik termasuk pembuatan

  

demilitarized zone . Tujuannya adalah untuk membuat basis-basis militer yang

  tetap netral selama pelaksanaan CBM berlangsung; Ketiga, transparency yang mengatur tentang usaha-usaha yang dilakukan untuk menjamin

  measures

  terciptanya transparansi militer antar kedua belah pihak, khususnya pada aspek

  

military capability dan military operation; Keempat, adalah verification

measures adalah suatu bentuk tindakan verifikasi yang dilakukan oleh kedua

  belah pihak maupun pihak ketiga untuk memastikan unsur kepatuhan yang tertuang dalam skema CBM itu dijalankan. Bentuknya bisa berupa inspeksi kekuatan militer antar pihak yang tujuannya adalah untuk mengkonfirmasi dan memverifikasi informasi-informasi yang sudah didistribusikan dalam tahapan

  transparency measures sebelumnya.

  Pembahasan

  Sebelum penulis mulai memaparkan bagaimana implementasi CBM sebagai salah satu instrumen penyelesaian konflik di ASEAN, ada baiknya kita terlebih dahulu mengidentifikasi karakteristik beberapa konflik antar negara- negara di kawasan Asia Tenggara.

  Sejak didirikan pada 8 Agustus 1967, ASEAN tiada henti didera konflik baik antar negara-negara anggotanya maupun dengan negara di luar anggota.Menurut Naureen Nazar dalam tulisannya yang berjudul

  ‘Chronology of Conflict and Cooperation in Southeast Asia Post-

Cold War Era’ konflik-konflik

  yang terjadi di kawasan Asia Tenggara mayoritas dilatarbelakangi oleh motif politik, walaupun terdapat beberapa konflik yang dilatarbelakangi oleh motif ekonomi maupun sosial. Berikut adalah data mengenai kronologi beberapa konflik di Asia Tenggara :

  Bagan 3 Kronologi Konflik di Kawasan Asia Tenggara Tahun Jenis Konflik 1975 Aneksasi Timor Timur oleh Indonesia 1988 Konflik Perbatasan Thailand-Laos 1989 Perang Vietnam-Kampuchea (Kamboja) 1992 Konflik illegal migrants Myanmar-Thailand 1999 Konflik Indonesia-Timor Timur 2000 Konflik insurgensi Myanmar 2002 Perebutan Teritori Indonesia-Malaysia (pulau Sipadan dan Ligitan) 2004 Konflik insurgensi Thailand Selatan 2005 Konflik mengenai illegal migrants Thailand-Malaysia 2008 Konflik perbatasan Thailand-Kamboja

  

Sumber : Diolah dari Naureen Nazar, Chronology of Conflict and Cooperation in Southeast Asia

Post-Cold War Era.

  Dari tabel diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa mayoritas konflik yang terjadi di Asia Tenggara pasca berdirinya ASEAN lebih banyak didominasi oleh konflik teritori dan insurgensi. Permasalahan utama terletak pada pengelolaan garis batas antar negara-negara yang perbatasannya dikelola bersama, khususnya Thailand, Kamboja, Laos, Vietnam dan Malaysia sehingga pendekatan CBM yang paling sesuai untuk membangun mutual trust di Asia Tenggara adalah melalui military CBM. Mengutip Dong Wang dan Xin Jiang dalam

  ‘Confidence

Building Measures : European Experiences and Asia Pacific Practices’ bahwa

  pemetaan karakteristik konflik ini penting dilakukan agar pendekatan CBM yang digunakan bisa diimplementasikan dengan tepat. Konflik yang terbatas pada sengketa teritori wilayah atau pengelolaan bisa diselesaikan dengan military CBM namun untuk konflik-konflik dengan motif ekonomi dan sosial, implementasi CBM bisa diterapkan kearah economic CBM, socio-cultural CBM, political CBM bahkan hingga ke level people-to-people CBM.

  Communication Measures

  Aspek utama dan paling krusial dalam implementasi CBM adalah

  

communication measures, aspek ini memungkinkan dibukanya saluran-saluran

  komunikasi antar pihak-pihak yang berkonflik baik melalui hotline antar kepala negara atau dialog dalam forum-forum formal maupun informal. Diharapkan dengan adanya komunikasi maka mispersepsi bisa direduksi atau bahkan dieleminasi sama sekali. Di sisi lain, pencapaian dalam aspek communication

  

measures ini juga seringkali digunakan sebagai tolak ukur untuk melanjutkan

  CBM ke tahapan berikutnya. Pelaksanaan aspek communication measures dalam implementasi CBM di Asia Tenggara dapat dikatakan sudah maksimal. Hal ini dapat dilihat dari Chairman's Statement The Second Meeting Of The

  

Asean Regional Forum yang menyatakan bahwa pelaksanaan CBM untuk

  membangun mutual trust di kawasan Asia Tenggara sudah berjalan efektif dan harus dilanjutkan. Selain itu ada beberapa forum-forum dialog yang sudah diinisasi dan sedang berjalan. Dalam konflik perbatasan Thailand-Kamboja telah dilaksanakan dua kali forum dialog yang diprakarsai oleh pihak ketiga yaitu Indonesia. Dialog pertama digagas pada 7-8 February 2011 dengan agenda pemaparan komitmen bersama dan penjajakan kemungkinan komunikasi lanjutan (Waging Peace, 2011). Kemudian pada 8 Mei 2011 dengan dimediatori Indonesia, kedua belah pihak kembali melakukan pertemuan di sela-sela ASEAN Summit 2011. Dialog juga menjadi langkah awal CBM dalam konflik Thailand-Malaysia melalui dibuatnya Malaysia-Thailand Annual Consultation pada 2008 (www.thaibizmalay.com). Menariknya forum-forum komunikasi yang lebih intensif lebih banyak diidentifikasi dalam implementasi CBM pada konflik Laut China Selatan yang didalamnya melibatkan Filipina dan Vietnam. Terhitung ada dua kali skema dialog yang dilaksanakan dalam kerangka CBM di Laut China Selatan yaitu melalui ASEAN Summit 4 November 2002 yang menghasilkan Declaration on The Conduct of Parties in The South China

  

Sea dan ASEAN Regional Forum Meeting pada 2012 yang menghasilkan Six-

Point Principles on the South China Sea . Selain itu, tahapan ini juga

  mengidentifikasi adanya pengiriman personel militer aktif yang diperbantukan sebagai liaison officer dalam dialog-dialog yang membahas isu keaanan kedua negara.Pada konflik Thailand-Kamboja, skema ini dilaksanakan melalui pendirian General Border Committee antara kedua belah pihak pada tahun 1995 hingga bulan Mei 2013 dengan pengiriman perwakilan masing-masing negara untuk bertemu dalam annual meeting (www.ebcworldnews.com). Sementara pengiriman delegasi menteri pertahanan dalam ARF Meetings menjadi salah satu agenda tetap dalam Meetings of the ARF Inter-sessional Support Group on Confidence Building Measures.

  Pembangunan saluran komunikasi ini menjadi pijakan awal kelangsungan pelaksanaan CBM. Komunikasi, walaupun masih dipandu dan diinisiasi oleh pihak ketiga diharapkan bisa lebih simultan sehingga kemungkinan terjadi kesalahpahaman atau mispersepsi bisa diminimalisir sama sekali. Walaupun dari segi kuantitas forum-forum dialog ini belum bisa dikatakan masif, namun ini menunjukkan pertama, adanya komitmen antar negara-negara yang terlibat dalam konflik untuk membangun komunikasi; kedua, ini menunjukkan bahwa pelaksanaan CBM dapat dilanjutkan ke jenjang berikutnya.

  Constraint measures

  Secara umum constraint measures merujuk kepada regulasi penggelaran kekuatan militer (military deployment) antar pihak-pihak yang bersengketa khususnya di daerah perbatasan. Karena tujuan utamanya adalah untuk membuat basis-basis militer tetap netral selama CBM dilaksanakan, maka constraint

  

measures ini juga memuat regulasi tentang pembangunan demilitarized zone dan

  kesepakatan mengenai jumlah kapabilitas militer yang diijinkan untuk berada di sekitar zona tersebut. Dari 2 konflik intra-ASEAN dan 1 konflik yang melibatkan negara-negara anggota ASEAN dalam kurun waktu 1994 hingga 2014 tercatat telah terjadi beberapa aktifitas yang mengarah ke constraint

  

measures . Pada konflik perbatasan Thailand-Kamboja, demilitarized zone

  dibangun atas desakan dari International Court of Justice (ICJ)dengan mengeluarkan ‘provisional measurement’ dan menentukan wilayah demiliterisasi sekitar wilayah konflik dengan memerintahkan kedua belah pihak untuk menarik pasukannya di sekitar wilayah tersebut pada tanggal 18 Juli 2011. Sementara untuk konflik perbatasan

  Thailand-Malaysia sampai saat ini kedua pihak belum merasa perlu untuk membangun demilitarized zone. Yang menarik adalah di konflik Laut China Selatan, dimana tidak ada kesepakatan khusus untuk membangun demilitarized

  

zone namun inisiatifnya datang sendiri dari Taiwan dan Filipina (Scott Snyder,

  2001). Minimnya perjanjian untuk membangun demilitarized zone ini juga berimplikasi terhadap penggelaran kekuatan militer di daerah-daerah perbatasan. Pada konflik Thailand-Kamboja, penggelaran kekuatan militer pada

  demilitarized zone dapat dilihat pada bagan berikut :

Bagan 4 Provisional Demilitarized Zone Thailand and Cambodia

  Sumber : International Court Of Justice, Annex to Press release 2011/22

  Sementara pada konflik Thailand-Malaysia, dikarenakan belum memiliki

  

demilitarized zone maka penggelaran kekuatan militer hanya sebatas berpatroli

  di masing-masing teritori terluar kedua negara saja.Namun di sisi lain, hal ini berpotensi menambah ketegangan kedua pihak yang berkonflik karena tidak adanya regulasi tentang pembatasan military deployment sehingga masing- masing pihak bebas untuk menginterpretasikan ketiadaan regulasi ini. Hal ini nampak ketika Thailand berupaya menambah personil militernya di perbatasan dan mendapat protes keras dari Pemerintah Malaysia . Sementara dalam konflik Laut China Selatan, walaupun pembangunan

  

demilitarized zone hanya diinisiasi oleh beberapa negara saja, namun upaya- upaya pengelolaan sementara kawasan Laut China Selatan melalui patroli bersama (joint operation) diikuti oleh semua pihak yang terlibat di dalamnya termasuk China (www.bbc.com).

  Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa tahapan constraint

  

measures menjadi salah satu perhatian utama dalam implementasi military CBM

  selain karena ini adalah salah satu aspek yang berhubungan langsung dengan teknis operasi militer, tahapan ini juga menunjukkan bahwa pembuatan

  

demilitarized zone menunjukkan kesediaan pihak-pihak yang terlibat konflik

  untuk membuat zona-zona tertentu tetap bersifat netral dan bebas tindakan- tindakan provokasi dimana hal ini dipandang sangat krusial untuk menunjang terbangunnya trust building demi kesinambungan pelaksanaan CBM.

  Transparency measures

  Pelaksanaan CBM di Asia Tenggara pada aspek transparency measures dinilai merupakan salah satu aspek yang paling sukses dilaksanakan. Terdapat tiga sebaran implementasi CBM pada aspek ini diantaranya pada level unilateral, bilateral dan multilateral.Di level unilateral transparansi militer ditunjukkan melalui publikasi buku putih pertahanan antar masing-masing pihak yang berkonflik. Sejauh ini Singapura, Malaysia, Thailand dan Filipina sudah menerbitkan buku putih pertahanan masing-masing secara terpisah. Publikasi buku putih pertahanan tidak hanya menunjukkan kesediaan negara untuk lebih terbuka namun konten buku putih itu sendiri yang memuat tentang pemetaan lingkungan strategis, persepsi ancaman, capaian dan evaluasi agenda-agenda pertahanan serta postur pertahanan menunjukkan adanya itikad baik untuk menjamin transparansi militer.Di level bilateral, implementasi CBM diarahkan kepada observasi latihan militer dan tukar-menukar informasi intelejen.Dalam pendirian General Border Committee antara kedua belah pihak pada 1995 yang telah disampaikan sebelumnya, terdapat persetujuan untuk berbagi informasi utamanya di bidang keamanan yang meliputi informasi strategis dan dan data intelejen (www.ebcworldnews.com). Di level regional, pada 29 Juli 2005, ARF sendiri sudah mengatur tentang transparansi militer melalui ASEAN Regional

  

Forum Statement on Information Sharing and Intelligence Exchange and

  

Document Integrity and Security in Enhancing Cooperation to Combat

Terrorism and OtherTransnational Crimes yang tidak hanya memuat tentang

  pertukaran informasi hanya di aspek keamanan saja saja namun juga mencakup penanganan terorisme dan kejahatan transnasional (www.asean.org).

  Indikator lainnya dalam level bilateral adalah observasi latihan militer bersama, termasuk di dalamnya operasi militer bersama (joint operation). Di level bilateral, bisa dikatakan bahwa joint operation sangatlah minim dilakukan kecuali joint operation terkait pengamanan Selat Malaka.Hal ini kemudian yang membuat ASEAN mengambil peran yang lebih aktif dalam skema-skema latihan militer bersama.Seperti latihan bersama penanganan terorisme, bajak laut dan penanganan bencana (www.thejakartapost.com). Namun sayangnya aktifitas latihan militer bersama antara negara-negara ASEAN dengan negara di luar ASEAN bisa dikatakan sangat massif termasuk di dalamnya military exercise antara Singapura-Amerika Serikat, Malaysia-Amerika Serikat dan Filipina- China (www.defensenews.com). Terakhir di level multilateral, transparency

  

measures hendaknya menjamin keluarnya buku putih yang dipublikasikan

bersama. Namun sampai saat ini hal ini belum dilakukan oleh ASEAN.

  Walaupun disampaikan di awal bahwa diantara keempat aspek CBM lainnya, transparency measures dikatakan paling maju disbanding ketiga aspek lainnya, kesimpulan yang didapat dari penjabaran implementasi transparency

  

measures menunjukkan bahwa bahkan di level ini pun terdapat beberapa

  indikator yang belum berjalan secara maksimal. Transparency measures yang dilakukan dalam kerangka CBM di Asia Tenggara hanya terbatas pada publikasi buku putih di level unilateral dan tukar menukar informasi intelejen di level bilateral. Minimnya latihan militer bersama dengan negara-negara anggota ASEAN menjadi salah satu indikator tidak efektifnya pelaksanaan CBM di Asia Tenggara.Hal ini salah satunya disebabkan karena negara-negara ASEAN lebih memilih untuk melaksanakan joint operation dengan negara-negara di luar kawasan (intrusive system). Hal ini menunjukkan kecenderungan beberapa negara ASEAN yang masih belum bisa melepaskan diri dari payung-payung keamanan (security umbrella) baik dalam bentuk mutual security act ataupun

  

defense cooperation agreement yang diberikan oleh negara-negara besar seperti AS dan China sejak bertahun-tahun lalu. Fakta ini berimplikasi kepada semakin kuatnya penetrasi dari intrusive system dan semakin melemahnya trust building antar negara-negara di kawasan.

  Verification measures

  Aspek terakhir dalam pelaksanaan CBM adalah verification measures yang secara sederhana dapat dimaknai sebagai suatu bentuk tindakan verifikasi yang dilakukan oleh kedua belah pihak maupun pihak ketiga untuk memastikan unsur kepatuhan yang tertuang dalam skema CBM itu dijalankan. Dari ketiga

  

sample konflik dan pelaksanaan CBM yang diteliti oleh penulis, hanya konflik

  Thailand-Kamboja saja yang mencapai tahapan keempat ini. Inspeksi-inspeksi militer yang dilakukan oleh Kepala Angkatan Bersenjata kedua belah pihak di masing-masing perbatasan dan demilitarized zon . Tahap terakhir dari implementasi CBM ini sangat penting untuk dilakukan karena ini merupakan implementasi puncak dari tahap-tahap sebelumnya (www.voacambodia.com). Verifikasi yang dilakukan dengan inspeksi militer antar pihak-pihak yang berkonflik selain dapat digunakan sebagai sarana untuk memverifikasi data yang telah didistribusikan dalam aspek transparansi militer sebelumnya juga untuk mengecek unsur kepatuhan yang telah disepakati dalam perjanjian-perjanjian sebelumnya.

  Penutup

  Secara garis besar, implementasi CBM di Asia Tenggara yang didentifikasi dari sample 3 konflik baik intra ASEAN maupun inter ASEAN menunjukkan bahwa :Pertama, implementasi CBM yang dioperasionalkan melalui 4 (empat) aspek utama belum semuanya dilaksanakan dengan maksimal dan hanya operasional di level tertentu, padahal demi tercapainya tujuan CBM semua aspek mutlak untuk dioperasionalkan. Pada aspek communication

  

measures yang meliputi dialog-dialog formal maupun informal serta public

statement yang menyatakan komiten kepala negara untuk berperan aktif dalam

  CBM sudah dilakukan. Walaupun beberapa dialog masih diprakarsai oleh pihak ketiga namun hal ini menunjukkanadanya komitmen antar pihak-pihak yang berkonflik untuk mulai membangun saluran komunikasi. Aspek kedua, yaitu

constraint measures juga menunjukkan kemajuan yang cukup signifikan.

Diantaranya adalah pembangunan demilitarized zone dan regulasi tentang pembatasan penggelaran kekuatan militer di zona-zona perbatasan. Ini menunjukkan keseriusan pihak-pihak yang berkonflik untuk tetap menjaga wilayah-wilayah tertentu yang dinilai rentan terhadap kemungkinan konflik terbuka agar tetap netral selama implementasi CBM dijalankan.Temuan menarik diidentifikasi dari aspek ketiga yaitu transparency measures. Terdapat kesenjangan yang cukup dalam antar dua indikator utama dalam transparency

  

measures, di satu sisi adanya kemajuan yang cukup pesat dalam hal transparansi

  militer baik melalui tukar menukar informasi intelejen maupun publikasi buku putih pertahanan. Namun indikator lainnya yaitu latihan militer bersama dan

  

joint military operations intra ASEAN masih sangat minim dilakukan.Hal ini

  dikarenakan beberapa negara-negara ASEAN cenderung lebih memilih untuk melakukan latihan militer bersama dan joint military operations dengan negara- negara lain di luar ASEAN.

  Kecenderungan untuk melakukan kemitraan strategis dengan negara- negara intrusive system ini menunjukkan bahwa belum adanya perspektif keamanan yang solid antar negara-negara di kawasan Asia Tenggara sehingga hal ini dikhawatirkan dapat mereduksi kemajuan trust building yang merupakan salah satu pilar utama dalam CBM. Aspek lainnya yang implementasinya belum dilakukan dengan maksimal yaitu verification measuresdimana hasil identifikasi penulis menunjukkan bahwa rata-rata pelaksanaan CBM di kawasan Asia Tenggara berhenti di level transparency measures. Padahal urgensi dari trust

  

building itu sendiri terletak pada verification measures dimana pada tahapan ini

  masing-masing pihak melakukan verifikasi dan pengecekan unsur kepatuhan dari perjanjian-perjanjian yang telah disepakati pada tahapan sebelumnya.

  

Kedua, perlunya peran ASEAN khususnya ASEAN Regional Forum sebagai

  satu-satunya institusi yang mewadahi negara-negara di kawasan Asia Tenggara untuk lebih aktif lagi dalam operasionalisasi CBM hingga ke level teknis, bukan hanya sebatas pernyataan sikap (normatif) semata. Ketiga, perlunya mengaktifkan peran-peran pihak ketiga (third party) sebagai salah satu unsur yang turut menjamin keberhasilan pelaksanaan CBM, karena seringkali inisiatif- inisiatif untuk memulai dialog dan tahapan pertama dalam CBM digagas oleh pihak ketiga seperti peran Indonesia pada konflik Thailand dan Kamboja. Diharapkan dengan semakin aktifnya peran ASEAN dan pihak-pihak ketiga ini, cita-cita untuk membangun kawasan yang damai dan stabil melalui pembangunan security community yang berbasis mutual trust di Asia Tenggara bisa dicapai.

  REFERENSI Buku

ASEAN Regional Forum, Chairman's Statement The Second Meeting Of The Asean

Regional Forum , Brunei Darrusalam, 1 Agustus 1995.

Baviera dalam Holly Higgins, Applying Confidence Building Measures in a Regional

Context , Institute for Science and International Security.

CSCAP, Asia Pacific and Confidence Security Building Measures, CSCAP

Memorandum No. 2, June, 1995.

Dong Wang, Confidence Building Measures : European Experiences and Asia Pacific

   Practices , makalah disampaikan dalam The 4th Berlin Conference On Asian Security 28-30 Oktober 2009, German Institute On International and Security Affairs Stiftung Wissenschaft und Politik, Berlin.

  

Itty Abraham dalam Holly Higgins, Applying Confidence Building Measures in a

Regional Context , Institute for Science and International Security.

Ken Booth & Nicholas J. Wheeler dalam Paul D. Williams, Security Studies : An

Introduction , Chapter 10, Roudledge, New York, 2008.

Luhulima,CPF, Confidence Building Measures and Preventive Diplomacy in Southeast

   Asia , makalah disampaikan dalam Diklat Caraka Utama, Departemen Luar Negeri RI, 28 September 1999.

  

Naureen Nazar, Chronology of Conflict and Cooperation in Southeast Asia Post-Cold

War Era, Area Study Center Far East and Southeast Asia , University of Sindh, Jamshoro, Sindh, Pakistan, 2006, hal. 11.

  

Scott Snyder, Brad Glosserman, and Ralph A. Cossa, Confidence Building Measures in

theSouth China Sea, Issues and Insights , No.2 (01), Pacifif Forum CSIS, Honolulu, Hawaii, 2001.

  Internet:

ASEAN Secretariat, ASEAN Regional Forum Statement on Information Sharing and

Intelligence Exchange and Document Integrity and Security in Enhancing