Pemanfaatan Sampah Padat Sebagai Bahan B

Pemanfaatan Sampah Padat Sebagai Bahan Bakar Pembangkit
Listrik untuk Menjaga Konservasi Lingkungan dan
Meningkatkan Ketahanan Energi Indonesia

Laporan MS 4101
Aspek Lingkungan pada Teknik Mesin

Disusun oleh :
Verdian

(13113004)

Freddy Kurniawan

(13113027)

Albert

(13113100)

Obert


(13113132)

Irwanto Suganda

(13113146)

PROGRAM STUDI TEKNIK MESIN
FAKULTAS TEKNIK MESIN DAN DIRGANTARA
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2016

ABSTRAK
Indonesia merupakan Negara yang memiliki luas wilayah dan jumlah penduduk
yang sangat besar. Aktivitas penduduk yang cukup banyak menghasilkan sampah
dalam jumlah yang cukup besar. Sampai saat ini sampah yang menunpuk dan
tidak terurus di Negara Indonesia menjadi masalah karena dapat mencemari
lingkungan. Salah satu solusi untuk mengurangi jumlah sampah yaitu dengan
memanfaatkan sampah tersebut sebagai bahan bakar untuk membangkitkan energi
listrik atau biasa disebut sebagai PLTSa.


Kata kunci: Indonesia, sampah, PLTsa

LATAR BELAKANG
Berdasarkan definisi World Health Organization (WHO), sampah merupakan
sesuatu yang sudah dibuang atau tidak terpakai lagi yang umumnya berasal dari
aktivitas manusia. Secara umum, sampah adalah sumber daya yang belum siap
untuk dipakai. Sampah dapat dikategorikan menjadi tiga jenis yaitu sampah
organik, sampah anorganik dan sampah bahan berbahaya dan beracun (B3).
Sampah organik atau yang biasanya disebut sebagai sampah basah adalah sampah
yang bisa terurai secara alami seperti sisa-sisa makanan. Sampah anorganik atau
sampah kering merupakan sampah yang terbuat dari bahan yang memerlukan
penanganan lebih lanjut dalam proses penguraian/penghancurannya seperti
Styrofoam dan kaca. Sedangkan sampah bahan berbahaya atau beracun

merupakan limbah yang dihasilkan oleh pabrik (Daniel, 2009).
Jumlah sampah di dunia diperkirakan akan terus meningkat setiap tahunnya
(Thomson, 2012). Data statistik sampah di Indonesia menunjukkan bahwa
Indonesia menduduki peringkat kedua negara penghasil sampah plastik terbesar di
dunia setelah Cina. Pada tahun 2014, produksi sampah plastik Indonesia mencapai

5,4 juta ton per tahun dan diprediksikan bahwa pada tahun 2019, jumlah sampah
plastik akan mencapai 6,71 ton tiap tahunnya (Syafputri, 2014). Jumlah tersebut
hanyalah jumlah sampah yang terurus. Sedangkan, menurut Badan Pusat Statistik
Indonesia (2014), total jumlah sampah yg terbelangkai atau tidak dipilah sebesar
76.31%. Data tersebut menunjukkan masih minimnya manajemen sampah di
Indonesia, sehingga sebagian besar sampah terbengkalai di Tempat Pembuangan
Akhir (TPA).
Jumlah sampah yang dihasilkan per harinya bergantung pada jumlah penduduk
yang tinggal di daerah tersebut. Semakin banyak penduduk yang tinggal di suatu
daerah maka jumlah sampah yang dihasilkan per harinya semakin banyak. Hal
tersebut dapat dilihat dari data Indonesian Domestic Solid Waste Statistics yang
mencantumkan pulau Jawa yang merupakan pulau dengan populasi paling besar
di Indonesia sebagai pulau penghasil sampah terbanyak di Indonesia dengan
produksi 21,8 juta ton sampah per tahun (lebih dari 50% produksi sampah
Indonesia). Dari sekian banyak sampah yang dihasilkan, sampah tersebut

didominasi oleh sampah organik dengan persentase 58% dari total sampah
(Indonesian Domestic Solid Waste Statistics). Sampah organik merupakan sampah
yang dapat dibakar. Besarnya produksi sampah per tahun di Indonesia membuat
negara ini memiliki potensi yang besar untuk memanfaatkan sampah sebagai

bahan bakar.
Indonesia merupakan negara dengan populasi terbesar ke-4 di dunia sehingga
konsumsi energi terutama energi listrik domestik sangatlah besar. Seiring dengan
berkembangnya zaman, Indonesia terus meningkatkan produksi listrik domestik
untuk memenuhi kebutuhan akan energi listrik. Pada tahun 2013, hanya 75,2%
kebutuhan listrik yang dapat dipenuhi. Hal tersebut menunjukkan Indonesia masih
defisit energi listrik. Dengan adanya permasalahan defisit energi listrik ini dan
ditambah permasalahan besarnya produksi sampah domestik, muncul suatu
gagasan untuk memanfaatkan sampah padat sebagai bahan bakar untuk
pembangkit listrik.

TUJUAN
Beberapa tujuan yang ingin dicapai dari laporan ini:

 Menentukan daerah yang berpotensi untuk dibangun PLTSa (Pembangkit
Listrik Tenaga Sampah)

 Menghitung besar potensi listrik yang bisa dihasilkan PLTSa tersebut
 Mengetahui kelebihan dan kekurangan dari PLTSa
RUANG LINGKUP

Untuk penulisan laporan yang lebih terarah, maka perlu kiranya dibuat suatu
batasan masalah. Adapun ruang lingkup permasalahan yang akan dibahas dalam
penulisan laporan skripsi ini, yaitu :




Tinjauan yang dilakukan untuk menentukan lokasi PLTSa dibatasi hanya
di wilayah Indonesia
Membahas PLTSa dari sisi lingkungan dan energi

TEORI DASAR
Pembangkit Listrik Tenaga Sampah atau PLTSa adalah salah satu dari berbagai
jenis pembangkit listrik thermal dengan uap superkritik dan menggunakan sampah
sebagai bahan bakarnya. Sampah digunakan sebagai bahan bakar dengan cara
dibakar untuk menghasilkan panas yang digunakan untuk memanaskan air pada
boiler superkritik. Air yang dipanaskan akan menjadi uap superkritik yang
kemudian akan digunakan untuk menggerakkan turbin yang tersambung dengan
dynamo sehingga dapat menghasilkan listrik. Daya yang dihasilkan umumnya
relatif kecil jika dibandingkan dengan pembangkit listrik jenis lainnya yakni

sekitar 500kW sampai 10 MW.

Gambar Skema PLTSa pada umumnya

Tahapan-tahapan proses kerja PLTSa:
1. Proses pengumpulan dan pemilahan sampah
Limbah dan sampah-sampah kota dikumpulkan terlebih dahulu pada tempat
pembuangan akhir (TPA). Sampah dan limbah kemudian dipilah berdasarkan
kebutuhan PLTSa dan sampah-sampah yang bisa langsung didaur ulang dan
dimanfaatkan. Setelah itu, sampah dibawa ke PLTSa dan ditempatkan pada
bunker dengan teknologi RDF (Refused Derived Fuel). Teknologi ini berguna

untuk mengurangi kadar air pada sampah untuk meningkatkan nilai kalor dari
sampah yang telah dikumpulkan.

2. Proses pembakaran sampah
Sampah yang telah mengering kemudian akan diangkut ke ruang bakar dengan
menggunakan mesin derek (Crane). Sampah akan dibakar pada saat tungku
bersuhu sekitar 850C - 900C. Pembakaran sampah akan menghasilkan gas
panas yang digunakan untuk memanaskan air sampai menjadi uap superkritik.

Uap ini kemudian akan menggerakkan turbin yang terhubung ke dinamo
sehingga dapat menghasilkan listrik.

3. Proses pengolahan sisa sampah dan gas buang
Pembakaran sampah akan menghasilkan gas pembakaran yang bercampur
dengan partikulat serta abu terbang (flue gas and fly ash) dan abu padat
(bottom ash). Gas hasil pembakaran akan diproses terlebih dahulu untuk
memisahkan gas (flue gas) dengan partikulat-partikulat dengan menggunakan
mesin electrostatic precipitator. Gas keluaran proses pemisahan ini kemudian
harus dibersihkan dari SOx maupun zat-zat logam sisa dengan menambahkan
lime maupun carbon pada gas buang. Gas buang kemudian dimasukkan
kedalam bag filters untuk dikontrol emisi-emisi partikulatnya agar sesuai
dengan aturan dan standar emisi gas buang yang berlaku. Setelah melewati
bag filters, gas buang kemudian akan dilepas ke lingkungan. Partikulatpartikulat yang telah terkumpul di electrostatic precipitator maupun abu padat
(bottom ash) dikumpulkan kemudian akan dipilah-pilah. Padatan metal
maupun non-metal akan didaur ulang sedangkan abu padat lainnya dapat
dipakai oleh industri-industri bangunan untuk dijadikan batako ataupun bahan
bangunan lainnya.

DATA


 Rasio Elektrifikasi Tiap Provinsi di Indonesia

Rasio elektrifikasi menandakan tingkat perbandingan jumlah penduduk yang
menikmati listrik dengan jumlah total penduduk di suatu wilayah atau negara.
Data dari International Energy Agency, rasio elektrifikasi Indonesia hanya sekitar
60%, artinya 40% penduduk Indonesia belum menikmati listrik. Rasio
elektrifikasi ini sangat berhubungan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi suatu
wilayah.

Pada beberapa daerah di Indonesia , seperti Riau , Sulawesi Selatan dan Tenggara,
NNT & NTB masih memiliki nilai rasio elektrifikasi yang sangat rendah yakni
masih dibawah 50% sehingga kondisi perekonomian di beberapa daerah tersebut
masih rendah dibandingkan dengan daerah lain . Namun , jika kita lihat juga
bahwa provinsi di Jawa-Bali-Madura pun masih kalah dibandingkan dengan
kondisi di Tarakan dan Batam.

 Kondisi Sistem Kelistrikan Nasional
Kondisi kelistrikan nasional hingga akhir 2014 berdasarkan catatan yang
ada di Kementerian energi dan sumber daya mineral hingga akhir 2014

menunjukkan total kapasitas terpasang pembangkit 53.585 MW. 37.280
MW (70%) disumbangkan oleh PLN, Independent Power Producer (IPP)
sebesar 10.995 MW (20%), Public Private Utility (PPU) sebesar 2.634
MW (5%), Izin Operasi Non BBM (IO) sebesar 2.677 MW (5%).

Pada skema diatas dapat dilihat ada beberapa warna , pembagian warna
adalah sebagai berikut :
1. Hijau, dimana cadangan kelistrikan cukup / berada di level aman.
2. Kuning, siaga dimana cadangan yang dihasilkan lebih kecil dari yang
dihasilkan pembangkit terbesar.
3. Merah, defisit masih terjadi pemadaman secara bergilir di daerah
tersebut.

 Rencana Pembangunan

Infrastruktur Tenaga Listrik 2015-

2019.

Di setiap pulau di Indonesia akan dicanangkan proyek pembangunan

tenaga listrik karena ternyata masih banyak daerah-daerah yang
kekurangan energy maupun masih berada di level siaga. Dengan demikian
pemerintah sendiri memiliki usaha-usaha untuk memenuhi semua itu ,
yaitu dengan rencana pembangungan seperti pada skema di atas.

ANALISIS
Analisis daerah yang berpotensi untuk didirikan PLTSa
Untuk mendirikan pembangkit listrik di Indonesia , maka daerah yang paling
berpotensi untuk didirikan pembangkit tersebut adalah di Jawa Barat ,
pertimbangan tersebut dikarenakan :

 Kota-kota penghasil sampah terbesar berada di Jawa Barat ,yaitu Jakarta
dan Bandung yang total produksi sampah per-harinya dapat mencapai
9.045 ton/hari . Selain itu luas wilayah di Jakarta dan Bandung lumayan
luas.

 Daerah-daerah defisit listrik di Indonesia berada di sekitar Jawa Barat ,
seperti Sumatera Selatan , Bengkulu , Lampung dan beberapa daerah yang
berada di daerah siaga seperti Lombok , Bima Sumbawa, NTT . Dengan
demikian jika pembangunan pembangkit dapat berada di daerah strategis

itu maka distribusi listrik lebih mudah.

 Dikarenakan lebih mudah mendistribusikan listrik yang dihasilkan
daripada mendistribusikan sampah ke pembangkit listrik , maka atas
pertimabngan tersebut pembangunan pembangkit listrik harus dibangun di
wilayah dengan penghasilan sampah terbesar di Indonesia, yaitu Jawa
Barat.

Analisis Energi Listrik yang dapat dihasilkan

Potensi energi yang dapat dibangkitkan:

Q
Q
฀

in

= NK x m

= Daya panas yang dihasilkan dari pembakaran sampah (MW)

in

NK

= nilai kalor sampah
฀ terendah (2500 kcal/kg)

m

= Massa sampah (9500 ton/hari)

Q

Q
฀

in

฀

=

= NK x m

2500 kcal / kg  4.19 kJ / kcal  9500 ton / hari  1000 kg / ton
24 jam / hari  3600 s / jam
฀
Qin = 1.151 MW

Efisiensi PLTSa:

in

฀
=

W
Q

net

, dimana

in



฀

W
Q

net

in

= efisiensi PLTSa (15%)
฀
= Daya netto yang bisa dimanfaatkan (MW)
= Kalor yang didapatkan (MW)

฀

=

W
฀

฀

net

฀

=  x

W
Q

net

in

Q

in

= 15% x 1.151 MW

฀Wnet = 0.172 MW

Kelebihan dan Kekurangan PLTSa
Keuntungan utama dari pembangunan PLTSa :
1. Penurunan volume MSW ( Municipal Solid Waste ) sampai dengan 90 %
2. Penurunan berat MSW sampai dengan 75 %
3. Penghematan lahan yang sangat besar dibanding jika hanya untuk
membuat TPA (Tempat Pembuangan Akhir)
Keuntungan diatas dapat terlihat dari negara yang telah mengaplikasikan
pemanfaatan sampah menjadi energy atau WTE ( Waste To Energy ) yaitu negara
Singapura. Berikut data berat sampah yang dibuang dan dimanfaatkan di negara
Singapura per tahunnya.

Data diatas diambil dari website National Environment Agency Singapura
(www.nea.sg) dan merupakan info terbaru yang telah di-update pada tanggal 26
April 2016. Dari data diatas, kita dapat melihat bahwa pengembangan dari WTE

Singapura menyebabkan sampah yang dibuang ke TPA menurun tiap tahun
sampai akhirnya tersisa sekitar 188,3 ribu ton di tahun 2015. Penurunan dari
sampah yang dibuang ke TPA berkurang meski total sampah yang dibuang
bertambah setiap tahun ( 2792,5 menjadi 3066,9 ribu ton di tahun 2015)
Keuntungan lain dari pembangunan pembangkit WTE ( Waste To Energy ) adalah
terdapat logam ferrous dari abu hasil pembakaran sampah sehingga dapat dijual
dan di daur ulang guna mengkonservasi energi. Abu hasil pembakaran ditampung
di IBA ( Incinerator Bottom Ash ) kemudian dipisahkan logam ferrous dari abu
dengan pemisah elektromagnetik.Tarif listrik yang menurun juga dapat menjadi
keuntungan apabila pembangkit WTE dibangun di negara atau kota yang telah
memiliki ketersediaan listrik yang tinggi. Ini juga dapat mengurangi pemakaian
batubara pada pembangkit PLTU atau PLTGU yang merupakan energi tak
terbarukan. Untuk Negara atau kota yang mengalami defisit listrik, kebutuhan
listrik semua penduduk dapat terpenuhi meski tarif tetap ( ketersediaan listrik
meningkat ) terutama untuk negara seperti Indonesia yang masih kekurangan
listrik di daerah tertentu.

Dari gambar yang diambil dari satelit saat malam terlihat cahaya paling terang dan
banyak hanya di pulau Jawa dan sekitar Jakarta. Padahal , jika dilihat Papua,
Maluku,NTT,NTB masih sangat kekurangan listrik karena gelap gulita pada
malam hari.

Kelemahan dari penggunaan WTE yaitu :
1. Tidak semua sampah dapat dibakar
Selain ada sampah yang tidak dapat dibakar, terdapat sampah yang susah
terbakar Karena kandungan air pada sampah padat yang termasuk tinggi
sekitar 40-70% . Oleh sebab itu, sampah padat yang kering juga harus
banyak untuk mencegah pembakaran tidak sempurna atau pembakaran
tidak berlanjut.
2. Kontrol emisi yang tidak terkendali
Dengan membakar sampah, kita menghilangkan CH4 (metana) sebagai gas
utama yang dihasilkan dari MSW namun membentuk CO2 dari hasil
pembakaran. Masalah ini masih menjadi perdebatan banyak negara apakah
CO2 yang dihasilkan sebanding , lebih banyak, lebih sedikit dari CH4
karena emisi CO2 yang merupakan salah satu gas rumah kaca yang
menyebabkan pemanasan global. Belum lagi terdapat raksa (mercury) dan
dioxin yang dihasilkan akibat pembakaran sampah yang tidak sempurna
atau tidak pada temperatur yang cukup tinggi. Terdapat juga timbal dari
pembakaran sampah ini yang merupakan logam berat
3. Efisiensi yang rendah karena butuh sampah yang jumlahnya sangat banyak
untuk menghasilkan listrik dengan daya yang relatif kecil
4. Biaya operasional yang tinggi karena teknologi yang canggih
5. Perlu operator yang ahli dalam mengoperasikan pembangkit WTE

Emisi
Emisi yang dikeluarkan dari PLTSa telah menjadi debat dan kontroversi di
beberapa negara karena membahayakan kesehatan manusia serta menyebabkan
pemanasan global. Emisi yang dikeluarkan incinerator antara lain NOx, SO2,
mercury, timbal, CO2, dan dioxin serta partikulat. Partikulat pada PLTSa
dihasilkan lebih sedikit dibanding PLTU dari hasil pembakaran batu bara
sehingga tidak menjadi masalah. PLTSa milik Singapura (Tuas) sudah
menggunakan electrostatic precipitation yang dapat menghilangkan 99,5% dari

partikulat hasil pembakaran. NOx dan SO2 yang dapat menyebabkan hujan asam
dinetralkan dulu pada dry lime reactor atau lime scruber pada cerobong sebelum
gas buang keluar ke atmosfer. Namun, penetralan gas asam ini tetap akan
menyisakan sebagian kecil NOx dan SO2 terlepas ke udara bebas. Dioxin yang
terbentuk akibat pembakaran dengan temperature yang tidak cukup tinggi. Dioxin
bersifat sangat beracun dan dapat menyebabkan gangguan kesehatan. Efek yang
paling parah dari dioxin adalah menyebabkan kanker. Di India tepatnya Delhi,
akibat gas yang ditimbulkan dari incinerator ini, penderita kanker paru-paru di
sekitar pembangkit meningkat secara drastis. Mercury yang dihasilkan dari
incinerator juga sangat berbahaya bagi kesehatan saraf manusia. Menghirup

terlalu banyak mercury dapat menyebabkan gangguan fisik dan mental pada
manusia. Timbal yang merupakan logam berat juga tidak baik untuk lingkungan
dan kesehatan manusia. Senyawa-senyawa inilah yang menyebabkan perdebatan
beberapa negara terkait pembangunan PLTSa. Emisi CO2 yang tidak terkontrol
dan tidak jelas akibat pembakaran sampah dengan jumlah yang berbeda-beda juga
masih menjadi perdebatan apakah CO2 yang dihasilkan incinerator lebih
memberikan dampak pemanasan global atau CH4 dari sampah meskipun CH4
memberikan potensi pemanasan global 2 kali CO2 untuk jumlah sampah yang
sama.

KESIMPULAN
Beberapa kesimpulan yang dapat didapatkan dari hasil analisis:




Daerah yang paling berpotensi dibangun PLTSa adalah Jawa Barat



0.172 MW



sampah yang tidak terpakai

Daya listrik yang dapat dihasilkan dari PLTSa yang ditinjau adalah sekitar

PLTSa dapat menjadi salah satu alternatif solusi untuk mengurangi jumlah

PLTSa menghasilkan emisi dioxin yang merupakan zat beracun

SARAN




Meninjau kebijakan pemerintah di Indonesia mengenai PLTSa
Meninjau lebih dalam mengenai proses distribusi sampah hingga dapat
dimanfaatkan di PLTSa

DAFTAR PUSTAKA
 https://en.wikipedia.org/wiki/Waste-to-energy#cite_note-autogenerated3-20

 http://vangelinc.com/green-and-sustainability/the-waste-to-energy-controversy

 http://www.ecoideaz.com/expert-corner/waste-to-energy-plant-a-controversialinnovation

 http://www.nea.gov.sg/energy-waste/waste-management/

 http://greentumble.com/waste-incineration-advantages-and-disadvantages/

 http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs225/en/