PARADIGMA PASAR BARU SENI RUPA YOGYAKART

PARADIGMA PASAR BARU SENI RUPA
Oleh Jajang Kawentar

Wawancara Bersama Aa Nurjaman, Pengamat Seni, Kurator
JK: Bagaimana Perubahan Paradigma Seni Rupa Saat ini?
AA: Terjadi perubahan paradigma, dari seni yang idealis menjadi seni yang bermedan pasar,
semakin tinggi karya, semakin tinggi harga karya itu maka dianggap semaki berkualitas, itu
terjadi karena peran kurator-kurator, yang bagaimana menjadikan seniman biasa biasa
menjadikan seniman yang luar biasa. Kurator-kurator itu ngomongnya art now art now art
now.
JK: Apa Sebetulnya Penyebab Terjadinya Paradigma dari Seni Idealis ke Seni Berorientasi
Pasar?
AA: Sementara matinya medan kritik itu menjadi penyebab utama terjadinya paradigma
pasar, bukan paradigma museum lagi. Kurator yang mestinya bertugas menyeleksi karya di
museum, itu sekarang menjadi ujung tombak para kavital. Untuk menjadikan seorang
seniman sangat biasa menjadi seniman yang luar biasa. Dengan isunya art now. Maksud art
now, ya seni yang sekarang. Art now.
Itu seniman yang akan menjadi hebat adalah seniman yang memiliki wawasan. Paling tidak
dia tahu dunia luar dan harus melihatnya sendiri. Dan seni yang jaya adalah seni yang
mengedepankan isu globalisme. Itu yang ada di medan pasar. Peran kurator dengan seniman
itu lebih banyak senimannya. Kuratornya hanya bisa nulis saja. Tetapi dia kebanyakan

wawasanya kurang dibanding para senimannya. Karenanya para kavital itu lebih banyak
menanamkan modalnya ke seniman bukan ke pada kurator atau galeri, apa lagi ke museum
itu sudah sangat tidak penting lagi untuk sekarang.
JK: Sejak Kapan Bergesernya Paradigma dari Seni Idealis ke Seni Berorientasi Pasar?
AA: Jadi paradigma ini terjadi dari tahun 1997. Yang awalnya seni berkualitas itu bertumpu
di museum, kemudian bergeser menjadi di medan pasar. Sehingga karya-karya old master
yang melegenda seperti karya Affandi, Sudjojono, Dullah itu terlewati oleh seniman sekelas
Masriadi, S. Teddy D, Ubruk, para perintis seni Abstrak seperti Sri Soedarsono, Ahmad Sadali,
itu juga terlibas oleh abstrak-abstrak yang ada sekarang, seperti Dedi Supriadi, seperti AT
Sitompul, itu karena mereka lebih berjaya di medan pasar. Jadi itu yang menjadi
keprihatinan seni yang terjadi sekarang ini.
Terus lama-lama kolektor seni itu mengetahui bagaimana peran para kurator yang
menjadikan seniman biasa – biasa menjadi luar biasa. Akhirnya para klektor itu berhenti
menanamkan modal di dunia kesenian. Terutama seni yang ada di indonesia yang kiprahnya

itu antara seni rupa jogjakarta, Bandung dan Bali. Nah karena berhentinya para kolektor itu,
para seniman menjadi berjubel, chaos, akhirnya menjadi ambruk semua. Kelaparan semua.
Nah kemudian yang masih bisa hidup itu yang berwawasan internasional. Karena sadar akan
adanya residensi, sadar akan adanya koneksi, menjadikan kantong-kantong seni yang cukup
potensial untuk membina kerjasama, tarolah untuk jogja sekarang Perahu Art Conection itu

menjadi nomor satu dalam bidang residensi. Sulit mencari tandingan meskipun dirintis
Cemeti tapi Cemeti sudah mulai berhenti. Kedai kebun berhenti, IAM juga ngos-ngosan, yang
lain-lain juga sudah gulung tikar.
JK: Mengapa Perahu Art Conection itu berjaya di bidang residensi?
AA: Mengapa ya karena dia mendirikan asosiasi kolektor Asia yang berjumlah 10 orang, dari
Filiphina, Malaysia, Singapore dan Jogjakarta atau Magelang. Nah tugas kolektor-kolektor itu
mengoleksi karya-karya yang berwawasan international. Tarolah Dadi Setiadi, Lugas Sylabus,
Dedi Supriadi, Dipo Andi, Nasirun, Ubruk, itu menjadi medan pembelian kolektor asosiasi
itu, nah itu artinya bahwa lubang tikus itu cuman ada 10 orang untuk se Asia itu dan kurator
yang paling berperan itu antara lain, Hendro Wiyanto, Edi Sutriyono, itu bisa dikatakan
sangat sedikit kurator yang berperan di bidang internasional.
JK: Kurator lainnya pada tiarap ya?
AA: Sementara yang ketinggalan itu bagaimana mencari pasar baru. Pasar baru itu bisa
diciptakan dengan membina koneksi melalui chanel-chanel yang dikenal, antara lain yang
sadar akan peran disain interior. Misalnya sekarang pembangunan kota-kota baru, sangatsangat banyak kota-kota bari. Hampir di setiap kota, seperti di Malang ada blimbing raya, di
Tangerang ada Alam Sutra, ada Serpong bukan Pondok Indah lagi yang berperan. Tapi orangorang interior yang ada di sana. Nah orang-orang interior itu, itu masih ribuan jumlahnya
dan mereka itu tidak tahu tentang masalah seni, yang tahunya lukisan dapat menimbulkan
rasa bagus, pantes di pajang dan mereka memang doyan mengoleksi dan digunakan secara
langsung di rumahrumahnya apakah sebagai hadiah , apakah sebagai souvenir itu jangan
dipedulikan dulu yang penting seniman ini bisa tertolong dulu untuk bisa menciptakan

idealisasi yang baru.
JK: Apa manfaat di jaman Chaos ini bagi seniman?
AA: Di jaman chaos ini keuntungannya bahwa si seniman itu bisa kembali lagi ke
idealismenya masing masing, menciptakan jati dirinya masing-masing. Kalau di jaman
Booming itu seragam kalau seorang menggambar cabai besok bisa 300 seniman
menggambar cabai, menggambar batu, menggambar air, apel, mentimun, pisang. Nah
sekarang menggambar lukisan-lukisan semacam itu sudah mulai ditinggalkan . ada yang
abstrak, ada yang bikin pemandangan, ada yang bikin ya macammacamlah. Pokoknya rasarasa baru yang tumbuh sesuai dengan idealisasi seniman.

JK: Apakah cukup dengan Idealisasi Seniman saja?
AA: Hal yang lebih lagi yang berwawasan internasional itu, dia akan mengankat budaya
lokalnya, kemudian dieksplorasi menjadi sebuah karya yang menggabungkan ikon-ikon
populer dengan ikon-ikon lokal. Anggaplah di sana ada Lugas Sylabus, memang dia paling
hebat dalam menciptakan ikon-ikon. Maksudnya menggabungkan soal kratifitasnya saya kira
bisa dibilang paling sepuluh persen (10%) untuk menciptakan ikon-ikon, banyaknya Hello
Kity, terus juga ada SponBob digabung-gabungkan dengan ikon-ikon cerita-cerita dari Lahat,
dari Pagaralam, ya macam-macamlah. Pokoknya cerita-cerita yang kerakyatan yang di
digabung-gabungkan dengan ikon-ikon yang sangat populer di dunia. Kemudian Dadi Setiadi
itu dengan teknik Aproviasinya mengkopi lukisan lama dijadikan gaya baru. Itu saya kira
kreatifitas yang saya sebut kebelinger.

JK: Bagaimana dengan membangun pasar baru itu?
AA: Hanya untuk menciptakan pasar baru mereka memang masih berpandangan bahwa
kolektor itu adalah dewa. Jadi sangat tergantung pada pesan kolektor bukan pada
pendidikannya, sementara dalam pasar baru harus ada kesadaran. Bahwa semua idealis,
semua pengetahuan, semua latar belakang dan semua potensi diri itu sangat tidak penting
untuk berperan di pasar baru. Tetapi yang penting menyadari bahwa tempat baru itu
membutuhkan seni yang pertamanya, tapi meraka itu masih meyakini level galery, misalnya
habis dari taman budaya, harus lari ke bentara budaya,dari bentara budaya harus lari ke
galeri nasional, dari galeri nasional nanti akan lari ke geleri komersial yang memang
berkualiatas. Dari galeri komersial kemudian lari ke universitas yang terkenal misalnya di luar,
apakah di Ghuan zhou, apakah di Taipe, apakah di Bresben atau apakah di Milan. Itu
keyakinan seniman-seniman yang berwawasan internasional.
Tetapi mereka lupa bahwa justru yang sekarang yang paling sangat berperan itu justru para
di sainer, para arsitek, mereka itu yang penting bisa berkarya bisa bikin event, bisa
menawarkan diri dan bekerja sama. Seandainya itu bisa diciptakan oleh seniman dan bisa
dibina oleh seniman dengan bekerjasama dengan orang-orang itu, kesenian Indonesia atau
Jogjakarta khususnya atau Bandung juga itu gak bakalan kehabisan nafas.
Terus bagaimana cara menciptakan pasar itu? pembinaan itu ya melalui pembinaan itu
antara lain harus tahu hari-hari besar, hari valentine, hari Natal, atau hari apa? Nah di
sanalah harusnya bikin event-event itu. karena orang-orang yang sesungguhnya memiliki

modal besar dan bingung bagaimana membelanjakan modalnya begitu biasanya berkeliaran
di hari-hari besar itu. begitu, apalagi kira-kira.
JK: Ini jamannya sedang Chaos, pasar seni atau apanya yang Chaos?
AA: Ya semuanya. Kalau misalnya datang proposal ke saya. Itu seniman mengajukan
pameran, terus saya minta bikin proposal, kemudian mereka membawa proposal. Di
proposalnya itu kan gak ada tujuan utama, adanya apresiasi, adanya mengangkat budaya,

adanya apalah yang sangat bagus. Tapi tujuannya tidak di cantumkan keinginan mereka yang
sesungguhnya, menjual lukisan. Seandainya tujuan itu dicantumkan juga saya akan menjalin
kerja sama yang baik, dengan seniman itu dan itu menuntut kreatifitas tinggi bagaimana bisa
menjual lukisan dan itu jujur-jujur saja harusnya ada. Nah itukan kenapa Chaos kan karena
mereka selalu berbicara tentang idealis, tetapi sesungguhnya itu mereka ingin menjadikan
karya seni itu menjadi Duit.
Nah idealis di sini kalau untuk pasar berbeda dengan idealis yang untuk pendidikan, untuk
museum, untuk ciri khas kenegaraan, untuk politik. Tapi untuk politik disini bersifat
bagaimana mengangkat senimannya sendiri, bagaimana mengangkat daerahnya sendiri, itu
sangat berbeda. Kalau memang mau bekerjasama dengan pasar ya bagaimana caranya
supaya kesenian itu sifatnya dipahami oleh orang-orang yang punya modal.
JK: Apakah Inti seniman memamerkan karyanya itu menjual karyanya, bukan sekedar
apresiasi?

AA: Ya mereka mengatakan sekarang berganti, kalau dulu kan paresiasi itu kan istilahnya
penghargaan. Banyak penghargaan seni itu lewat prestasi apakah itu lewat kompetisi,
apakah itu lewat penghargaan dengan terpajang di museum, apakah lewat pengangkatan di
buku-buku seni, publikasi yang baik. Tapi sekarang kan apresiasi itu kan kalau orang beli itu
berarti mengapresiasi. Jadi paradigma itu juga sudah sangat berubah. Tapi yang anehnya itu
seniman-seniman itu tidak mampu bekerja sama dengan para pemodal.
Maksudnya begini, para pemodal itu mempercayakan kepada satu orang. Nah
mempercayakan kepada satu orang untuk mengelola sesuatulah datang ke seniman. Nanti
senimannya itu dikelola pada tahap awal, mungkin event pertama berjalan mulus, event
kedua pasti berantakan karena seniman yang sudah tau jalannya dia akan datang sendiri ke
pemodal itu dengan mengatakan dengan berbagai daling bahwa berkeseniannya itu
memang berkualitas. Padahal tidak begitu bekerjasama dengan pemodal itu, pemodal itu
tidak mungkin dia mngumbar-umbar no telpon, mengumbar alamat di instagram,
mengumbar bagaimana identitas dirinya. Tapi yang jelas itu berdasar atas kepercayaan.
Kalau misalnya kurator menjadi penghubung lidah para kavital ya itu kurator senimannya
harus dekat dengan kuratornya. Tapi kalau senimannya langsung ke kavital, ya kavital gak
bisa apa-apa lagi gak bisa mempercayai orang lagi. Nah seniman yang datang sendiri ke sana
dengan membawa karya yang bagus-bagus menurut senimannya, itu akan mampus ketika
berhadapan dengan kavital. Karena dia tidak sembarangan mempercayai orang mungkin tiga
tahun atau empat tahun baru bisa percaya membina huungan dengan seseorang. Sementara

sekali jumpa seniman ‘GR’ kemudian dia datang dengan membawa karya yang bagus
disamping itu juga dengan menjelek-jelekan pihal-pihak lain yang menjadi penyambung
lidahnya. Dan itu terjadi sangat umum, gak tahu kota lain kayak Bandung, Jakarta, Bali, ya
mungkin gak adalah seniman seperti itu di kota lain. Harapannya gak ada. Itu yang terjadi itu.
JK: Bagaimana mengatasi persoalan seniman seperti itu?

AA: Bagaimana mengatasi semua itu ya berarti bersifat profesional. Profesional itu sama
seniman itu bagaimana senimannya dibayar. Apakah senimannya dibawa secara politis untuk
bikin event, supaya dipercaya orang, bagaimana bisa meng hargai kerja orang lain dan juga
dihargai dengan cara beramah tamah dengan membina kepercayaan dulu. Membikin event
bagus tetapi tidak mengharap pamrih, itu pada awalnya bisa. Tetapi sesungguhnya setelah
event habis itu mintanya dibayar. Jadi profesionalitasnya ke seniman itu harus lewat
pembayaran. Di luar itu perjanjian apapun,tidak berlaku. Itu khusus untuk seniman-seniman
jogja mudah-mudahan untuk kota lain gak ada. Itu yang terjadi di sini.
JK: Jadi sebaiknya seperti apa supaya seniman menyadari bahwa berkarya yang
berkualitas, dan karyanya tidak pasaran?
AA: Ya sadar prosedur. Pertama dari pihak kurator juga mesti memiliki kelembagaan, apakah
itu lembaga organiser, apakah memang lembaga kurator yang memberikan hak untuk
menerbitkan sertifikat, terus senimannya sendiri sadar sertifikat itu, pentingnya sertifikat itu
sadar si senimannya itu. misalnya ketika pameran ada karyanya laku dibikinkan sertifikat itu

nanti kalau bisa senimannya bikin sendiri. Itu kesadaran prosedur, ada kemandirian di pihak
kurator bagaimana mengatur sebuah event tanpa ketergantungan seniman, karena kalau
ketergantungan kerja baik seniman, nanti senimannya minta duit pada akhirnya. Tetapi juga
di kesadaran seniman bagaimana karyanya bisa dihargai orang lain pertama itu dengan
penampilan yang bagus apakah itu packingnya, dan yang paling terakhir itu dengan
sertifikatnya yang jelas. Tarolah sertifikat ini berupa ajuan sertifikat sehingga ketika ada yang
menggugat bisa dibawa ke pengacara, seniman tidak harus membikin lembaga dulu. Sudah
cukup dengan tanda tangan dia itu sudah cukup sadar prosedur. Itu yang terjadi sekarang.
Kalau melihat, disini seniman inginnya diopeni, karya dibungkuskan, diantarkan,
dikembalikan kemudian kalau seniman yang putus asa itu. itu kalau mau dibalikin karyanya
itu, “ya di sana dulu disimpen dulu, ya barangkali mungkin ada yang laku atau mungkin
bagaimana. Padahal itu sangat tidak profesional. Nah itulah. Itu dari sisi jeleknya.
JK: Ada gak dari sisi yang baiknya?
AA: Ya ada juga. Ada beberapa seniman yang sadar akan potensi dirinya, bahwa mereka
harus punya wawasan, mendirikan kantong-kantong seni, terus bekerjasama dengan pihak
universitas, dengan pihak museum, karena kalau bekerjasama dengan pihak galeri itu sangat
tidak mungkin. Misalnya untuk pergi melancong ke dunia luar, apakah event residensi,
apakah event pameran, nah itu ada beberapa seniman yang sadar untuk mendirikan kantong
seni membawahi beberapa seniman yang menjadi anggotanya. Kemudian dia
diberangkatkan untuk mencari wawasan.

Nah cilakanya karena senimannya yang diangkat juga bukan seniman yang berpengalaman,
biasanya baru pulang dari luar negri itu jumawa. Wah udah internasional, ngomongnya udah
lain, laganya sudah lain, wah pokoknya kacaulah. Harga karyanya juga sedah lain karena
mungkin melihat harga karya di sana. Sebenarnya bukan itu yang dimaksud cita-cita katong

seni itu. jadi bagaimana dia bisa mengeksplorasi keadaan budaya lokal, kekuatan dirinya,
kekuatan skillnya digabungkan dengan pengetahuan di luarnya yang tidak langsung. Jadi
kalau untuk jumawa, untuk bersombong itu bukan tujuannya. Itu yang terjadi, setiap
kantong seni mengalami itu.
JK: Apakah terus ada efek lain?
AA: Efek lainnya itu adalah tingkat profesional. Seorang atau dua orang kavitalis yang sadar
akan bahwa ke majuan sebuah negara itu dilihat dari karya seninya kemudian dia mendirikan
galeri itu ditanggapinya oleh seniman itu ditanggapi dengan gembira karena dia bisa menjual
karyanya. Tetepi yang cilakanya itu tingkat profesional seniman itu gak ada. Lain dengan
ketika ada event, misalnya Bienalle, terus ada IAA misalnya, event Indonesia Art Award, terus
misalnya ada event kompetisi Bank Mandiri, atau UOB, itu seniman dengan berlomba-lomba
membikin packing, konsep, judul yang bagus, diantarakan ke sana, ada yang diantar sendiri,
terus eventnya dia datang,
Tetepi ketika ada satu orang, atau dua orang, atau tiga orang yang mendirikan galeri itu
mereka itu gak mau mereka itu mengurus karyanya sendiri. Jadi profesionalnya itu gak ada di

sana. Saya bukan kecewa tapi ya kenyataannya ya seperti itu. padahal kedisiplinan itu kunci
dari pada seorang seniman itu untuk bisa maju.
JK: Bagaimana supaya kondisi pasar itu berubah dari yang Chaos menjadi lebih baik atau
menciptakan pasar seni rupa yang stabil?
AA: Kalau kita berbicara masalah pasar itu yang pertama akan di temui adalah labil dan
mungkin untuk stabil itu sangat tidak bisa ditebak atau tidak bisa dimungkinkan. Tetapi yang
jelas itu bahwa peran seniman di sini itu menyadari bahwa keberadaan karya-karya mereka
itu berperan penting dalam ranah kehidupan masyarakat itu yang jauh lebih ditekankan,
tarolah adanya pendidikan seni, adanya peran penting seniman di tengah masyarakat.
bagaimana menularkan skillnya dia ke generasi yang akan meneruskan itu perlu seniman
mengadakan hal-hal seperti itu. jangan terus berpolotis, bagaimana dia menjdi dikenal
orang, atau bagaimana dia. Itu sebetulnya peran-peran seperti itu sangat berperan di pasar.
Tapi sekarang mereka lupa, di dunia pendidikan juga itu butuh seni, seperti di museum,
seperti di macam-macam.
Dan kemarin waktu terjadi isu danais keistimewaan itukan sebenarnyakan pemerintah mau
memperhatikan seniman, ada untuk kehidupan seniman mau diperhatikan, pendidikan
seniman mau diperhatikan. Tapi ketika para kurator berkumpul dia minta dana itu untuk
bikin event, event bienale, event apa-apa. Nah itu kan digunakan dengan ngawur. Jadi
artinya tujuan pemerintah itu tidak tercapai. Terus dia nuduh karena peran pemerintah ga
ada. Dianak tirikan kesenian kita, padahal sudah jelas itu dana keluar sudah sangat banyak,

tetapi kurator-kuratornya sendiri yang bagaimana membongkar dana itu untuk kepentingan
mereka sendiri. Bukan untuk kehidupan seniman. Itu juga rawan di sini, jadi susah untuk bisa
stabil. Kemudian ketika ada pasar bagus mereka berjubel, berlomba mendapatkannya dan

saling menuding. Bagaimana caranya supaya temennya sendiri itu mampus dan jatuh.
Bagaimana caranya. Terus tidak profesional itu. inginnya diopeni, sama orang yang ngopeni
juga akhirnya juga menuntut yang lain-lain. Pembayaranlah, apalah, itu yang banyak terjadi
di sini.
Nah untuk bisa stabil itu justru nsi seniman itu harus menciptakan atmosfir yang positif lah
atmosfirnya. Misalnya yang mereka bekerjasama dengan dunia pendidikan semacam
museum, kemudia skillnya diperkuat, ciri khasnya diperkuat, eventnya juga dijadikan tidak
untuk menjadi lebih tinggi, ditata lagi dari bawah. Gak harus berlomba-lomba begitu, jadi
berperannya ganda di sini. Kurator-kurator juga gak harus bikin event-event fantastis kayak
kompetisi Bank Mandiiri, UOB, Indonesia Art Awad, itu malah menghancurkan semua.
JK: Solusinya bagaimana?
AA: Bagaimana ya justru dia akan kembali ke museum, pemerintah juga membangun
museum di setiap kota seni. di Jogjakarta kan belum ada museum yang berperan yang
sesungguhnya. dulu ada gedung Seni Sono berperan, tapi kan sekarang jadi gak. Terus ada
Jogja nasional museum jadi tempat dodolan kan aneh. terus lembaga pendidikan tinggi
seperti ISI itu kan punya galeri yang besar tapi gak pernah di pakai apa-apa, padahal
berperan sebagai museum sangat mungkin, banyak profesor seni, banyak doktor seni tapi
mereka juga wawasannya gak lebih dari pada seniman dan tidak lebih juga dari pada para
kurator wawasannya doktor-doktor itu. sehingga tidak mampu mereka untuk, jangankan
mendirikan museum mengelola museum itu gak mampu doktor-doktor seni di ISI Jogjakarta
yang demikian hebat namanya di internasional.
Mungkin di ITB itu juga sama saja. Para pendidik seni itu, memang tidak memeiliki
kemampuan apa-apa. Jauh di bawah Plato, padahal kan kalau lihat jamannya sudah berapa
ribu tahun dari Plato ke sini. Tapi makin menurun saja wawasannya. Itu salah satu hal yang
memprihatinkan. yang ke dua yang menjadikan ketidakstabilan itu justru pendidikan
manajemen seni.
Jadi di ISI itu kan ada sekarang, pendidikan manajemen seni tapi manajemen seni yang ada
itu dari jaman saya dulu sampai sekarang sama saja dengan manajemen koperasi, dengan
manajemen alfa mart, dengan manajemen perusahaan itu sama. Dia tidak mempedulikan
manajemen psikoanalisis, bagaimana secara psikologi itu bahwa di dalam manajemenj seni
itu yang penting psikologisnya bukan sistemnya, pendekatannya yang jauh lebih penting di
sana. Rasanya yang jauh lebih penting, bagaimana membina hubungan dengan orang lain,
bagaimana memahami karakter orang lain, bagaimana seniman itu bisa bermasyarakat
dengan baik, bagaimana masyarakat juga bisa menanggapi si seniman dengan baik,
bagaimana kavital itu punya kepentingan dengan seniman, dan si seniman juga punya
kepentingan kepada kavital. Itu gak digali dalam manajemen seni. yang digali itu cuma
bagaimana bikin event yang baik, membikin hal-hal yang spektakuler, kemudian

menghasilkan karya-karya bagus, dan menghasilkan pasar-pasar bagus sehingga yang timbul
itu event-event besar skala international. Seperti art stage, art hongkong, art sidney, art now.
Karena manejemen seni ISI Jogjakarta juga bagi saya amat dangkal sistemnya, karena mereka
juga dibikin oleh orang-orang yang tidak tahu tentang seni tahunya ilmu manajemen yang
diadopsi dari buku-buku manajemen, dan cilakanya itu dicomot secara acak dari buku-buku
itu juga. Itu yang terjadi. Apakah ini tuduhan, apakah ini benar aku sendiri merasakannya.
Yogyakarta, 19 Maret 2015