Kepahlawanan Dalam Perspektif Revolusi I

Kepahlawanan Dalam Perspektif Revolusi
Indonesia
Menurut Oxford Concise Dictionary – Tenth Edition, pahlawan adalah orang yang dikagumi karena
keberanian dan prestasi-prestasinya yang menonjol. Ada keberanian dan prestasi-prestasi yang
menonjol di satu sisi, ada kekaguman di sisi lain. Keberanian adalah jiwa pahlawan.Prestasi-prestasi
yang menonjol adalah yang “dicetak”-nya. Kekaguman adalah tanggapan orang lain terhadap
keberanian dan prestasi-prestasi menonjol yang dicetaknya.
Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan dua pengertian.Pertama, pahlawan adalah orang yang
menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran.Kedua, pejuang yang
gagah berani.Ada kebenaran yang diyakini di satu sisi. Ada keberanian dan pengorbanan di sisi lain.
Pahlawan berjuang karena meyakini kebenaran yang dianutnya. Demi kebenaran itu ia berjuang
dengan gagah berani. Demi kebenaran itu juga, bahkan, ia rela berkorban – jiwa-raga dan segala.
Bila kita menerima definisi-definisi yang diberikan oleh kedua kamus ini, kita bisa dengan aman
mengatakan bahwa kepahlawanan (=jiwa pahlawan) bersifat lintas zaman. Kepahlawanan tidak
hanya dibutuhkan di masa silam, sebutlah saat bangsa Indonesia berjuang merebut dan
mempertahankan kemerdekaan – termasuk Pertempuran Surabaya 10 November 1945.
Kepahlawanan juga dibutuhkan hic et nunc, berpuluh-puluh tahun setelah bangsa Indonesia
“merdeka.” Dengan demikian, adalah sah bila kita berbicara tentang kepahlawanan kontemporer.
Persoalannya, sekali kita berbicara tentang kekontemporeran, paling sedikit ada tiga hal yang perlu
kita cermati.Pertama, kontinuitas yang kontemporer dengan yang “telah silam.”Kedua, kekhasan
yang kontemporer itu sendiri.Ketiga, ke mana yang kontemporer itu bergulir.Ketiga hal ini jalinmenjalin.

Dari yang “telah silam” kita bisa belajar tentang “kebenaran” yang ditindaklanjuti dengan perjuangan
oleh para pahlawan.Dari yang “telah silam” kita juga bisa melihat sejauh mana yang kontemporer itu
sejalan atau tidak sejalan dengan “kebenaran” tersebut sembari meraba kemungkinan adanya
kebenaran-kebenaran lain yang seharusnya diperjuangkan.
Di sini kita perlu berpikir historis: konteks-konteks yang berbeda, yakni yang”telah silam” dan yang
kontemporer secara wajar membentuk kontinuitas dan/atau diskontinuitas perjuangan dan
kepahlawanan. Dari kajian atas kontinuitas dan/atau diskontinuitas itu kita berharap bisa mencandra
arah yang akan ditempuh bangsa Indonesia.
Yang Telah Silam
Dalam Mentjapai Indonesia Merdeka, misalnya, Bung Karno menyebut kemerdekaan sebagai
jembatan emas. Ada dua sikon yang dihubungkan oleh jembatan tersebut.Sikon yang pertama, yang
di sini, adalah “alam penjajahan.” Sikon yang kedua, yang di seberang sana, adalah “alam
kemerdekaan.” Di “alam penjajahan” yang memerintah adalah penguasa kolonial, penjajah, bangsa
asing.Di “alam kemerdekaan” yang memerintah adalah penguasa “bumiputera”, bangsane dhewe.
Berjuang dengan mengatasnamakan kaum Marhaen (“wong cilik”), yang disebutnya meliputi bagian
terbesar bangsa Indonesia, Bung Karno mengidentifikasi alam penjajahan sebagai alam kesusahan

bagi kaum Marhaen.Ia tidak rela kaum Marhaen hidup dengan satu benggol (2½ sen) sehari. Ia
ingin kaum Marhaen hidup sejahtera, makmur, sentosa.
Menurut Bung Karno, akar kemalangan kaum Marhaen adalah kapitalisme dan imperialisme. (Bila

kita menggunakan tesis V.I. Lenin, imperialisme adalah tahapan tertinggi dari
kapitalisme.Imperialisme adalah konsekuensi historis dari kapitalisme.)Karena itu, kapitalisme dan
imperialisme harus dilenyapkan dari bumi Indonesia.
Pertama-tama yang harus dilenyapkan adalah imperialisme.Itu berarti kaum Marhaen, dalam
persatuan dengan kaum feodal dan kaum borjuis nasional Indonesia, harus mengakhiri penjajahan
Belanda dan mendirikan negara Indonesia Merdeka.Dengan jalan itu, beralihlah bangsa Indonesia
dari alam penjajahan ke alam kemerdekaan.
Di alam kemerdekaan, kaum Marhaen harus memegang kekuasaan supaya biasa melenyapkan
kapitalisme dan membangun sosialisme.Jika tidak, di alam kemerdekaan pun kaum Marhaen tetap
sengsara, tak ubahnya dengan hidup di alam penjajahan. Di “seberang jembatan emas” ada dua
kemungkinan nasib bagi kaum Marhaen: hidup sejahtera, makmur, sentosa atau terus hidup dalam
kemelaratan. Dengan kata lain, kemerdekaan tidak menjamin keselamatan kaum Marhaen. Tapi
kemerdekaan mutlak perlu bagi kaum Marhaen untuk bisa mewujudkan cita-citanya, sosialisme
(dengan imbuhan “a la Indonesia”).
Jadi ada dua tahap perjuangan menurut Bung Karno.Tahap pertama perjuangan kemerdekaan dan
tahap yang kedua perjuangan sosialisme.Yang pertama adalah revolusi nasional, yang kedua
adalah revolusi sosial.Revolusi nasional bertujuan untuk mendirikan negara Indonesia yang
merdeka dan berdaulat. Kelak, Bung Karno merumuskan tujuan revolusi nasional dalam butir
pertama Amanat Penderitaan Rakyat: NKRI yang berdaulat penuh dari Sabang sampai Merauke.
Kelak dalam Trisakti ia merumuskannya lebih jauh: Berdaulat penuh secara politik, berdikari secara

ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan.
Revolusi sosial bertujuan untuk mendirikan negara Indonesia yang tidak hanya merdeka dan
berdaulat, tetapi juga adil dan makmur. Kelak, dalam butir kedua dan ketiga Amanat Penderitaan
Rakyat ia merumuskan: masyarakat Indonesia yang adil dan makmur dan berjuang demi dunia baru
yang bebas dari penghisapan manusia oleh manusia dan penghisapan bangsa yang satu oleh
bangsa yang lain (exploitation de l’homme par l’homme dan exploitation de nation par nation).
Bagi Bung Karno, revolusi nasional dan revolusi sosial merupakan arus yang tidak terputus. Bahkan
revolusi nasional belum selesai dengan penyerahan kedaulatan sebagaimana terukir dalam
Konferensi Meja Bundar 1949.Toh Republik Indonesia “hanyalah” satu negara dalam Republik
Indonesia Serikat.Toh RIS adalah bagian dari uni Indonesia-Belanda, yang mengakui kewibawaan
Ratu Belanda sebagai kewibawaan tertinggi.Toh Indonesia harus membayar biaya yang dikeluarkan
Negeri Belanda untuk memerangi rakyat Indonesia dalam rangka mengembalikan kolonialisme di
Indonesia.Toh perusahaan-perusahaan Belanda masih teguh sentosa di Indonesia.Toh Irian Barat
masih dikuasai Belanda. Revolusi nasional sama sekali belum selesai. Kelak Bung Karno berkatakata tentang the summing up of many revolutions in Indonesian Revolution.Revolusi Indonesia
adalah sebuah revolusi pancamuka, katanya, yang meliputi revolusi di bidang politik, ekonomi,
sosial, kebudayaan, dan sebagainya.
Bung Hatta tidak sependapat dengan Bung Karno soal revolusi yang belum selesai. Bagi Bung
Hatta, dengan tercapainya penyerahan kedaulatan dalam bingkai Republik Indonesia Serikat,
revolusi sudah selesai. Sekarang bangsa Indonesia memasuki era pembangunan nasional, bukan
revolusi yang terus berlanjut.Kelak, dengan tergulingnya Bung Karno dan Demokrasi Terpimpin


serta berkuasanya Jenderal Soeharto dan Orde Baru (yang merupakan varian dari Demokrasi
Terpimpin dengan pergeseran dari Bonapartisme-populis [Bung Karno] ke Bonapartisme-fasis
[Soeharto]), posisi Bung Hatta “menang”.Orde Baru menyatakan revolusi (yang dibatasi pada
“Revolusi Fisik” atau “Revolusi Kemerdekaan” 1945-1949) sudah selesai, dan mencanangkan
pembangunan nasional (dengan berkiblat dan bergantung kepada imperialisme).
Salah satu persoalan krusial dalam tesis Bung Karno tentang dua tahap revolusi (yang dalam
tulisannya,Kepada Bangsaku, jelas-jemelas bercorak Stalinis) dan “revolusi belum selesai” (yang
kedengaran mirip dengan tesis Trotsky, Revolusi Permanen, namun sesungguhnya jauh panggang
dari api, dan mungkin boleh kita namakan pseudo-Trotskyism) adalah persoalan kepemimpinan
revolusioner.
Memang Bung Karno, dalam Mentjapai Indonesia Merdeka, menegaskan bahwa kepemimpinan
revolusioner harus ada pada kaum Marhaen, baik dalam tahapan revolusi nasional maupun tahapan
revolusi sosial. Akan tetapi tidak dijelaskannya bagaimana Marhaen memegang dan melaksanakan
kepemimpinan revolusioner itu.
Bung Karno memang berkata-kata tentang partai pelopor (vanguard party) dengan cara yang
mengingatkan kita pada tesis Lenin, termasuk tentang sentralisme-demokratik. Tapi, toh konsep
Bung Karno berbeda dengan konsep Lenin. Bagi Lenin, partai pelopor adalah partainya proletariat,
representasi dari kesadaran yang paling maju dari proletariat. Partai pelopor ini diawaki oleh kaum
revolusioner profesional, yang terdidik sebagai kader-kader yang berasal dari elemen-elemen

terbaik proletariat. Dengan kata lain, partai pelopor a la Lenin adalah partai kader yang hidup dalam
kontak yang intens dengan massa, yakni massa proletariat. Dalam momentum revolusioner, partai
pelopor ini akan memobilisasi massa untuk melaksanakan tugas-tugas revolusionernya. Dalam
konteks ini berlaku prinsip sentralisme-demokratik: kebebasan tiap-tiap anggota untuk berpendapat
dan bersilang pendapat seorang dengan yang lain tentang suatu pokok strategis tertentu
(demokrasi) dan kesatuan gerak langkah dan aksi setelah keputusan tentang pokok strategis itu
diambil secara demokratis (sentralisme).
Di lain pihak, partai pelopor Bung Karno adalah wadah perjuangan bagi semua kelas dan golongan
yang menghendaki kemerdekaan Indonesia menurut asas perjuangan non-kooperasi. Partai
tersebut akan memimpin semua kelas dan golongan itu untuk memenangkan kemerdekaan
Indonesia. Partai pelopor Bung Karno bukan partai kader, melainkan partai massa. Sentralisme
demokratik berarti pemusatan kekuasaan dalam tangan pimpinan partai, yang memungkinkannya
menendang anggota-anggota yang mulai menyimpang dan mengingkari disiplin partai, serta
memberikan komando kepada segenap anggota dan massa rakyat.
Lantas siapakah pimpinan partai itu?Seorang pemimpin besar, yang kelak berjuluk Pemimpin Besar
Revolusi, Bung Karno sendiri.Sang pemimpin besar adalah seorang bapak yang maha-bijak bagi
orang-orang yang dipimpinnya.Ia memberi kesempatan kepada tiap-tiap orang untuk berbicara,
mengemukakan pendapat tentang suatu pokok strategis tertentu. Kemudian ia membuat sintesis
dari berbagai pendapat: tidak seorang pun yang pendapatnya diterima sepenuhnya, tidak seorang
pun yang pendapatnya ditolak sepenuhnya. Bung Karno menyebutnya musyawarah (untuk

mufakat). Kelak, dalam rumusan sila keempat Pancasila kita membaca “kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.” Bung Karno sendiri kelak
menamainya “Demokrasi Terpimpin.” Bung Karno menjadi bonapartis populis.
Dalam kenyataannya, kepemimpinan revolusioner ala Bung Karno tidak berhasil menuntaskan
revolusi nasional, apalagi revolusi sosial.Kepemimpinannya yang bercorak bonapartis populis itu

memuat kontradiksi kelas.Kelas feodal dan kelas borjuis nasional (yang terwakili dalam partai-partai
borjuis yang berbasis agama dan yang berbasis non-agama serta Militer) bersatu kepentingan
melawan kelas buruh dan kaum tani (yang terwakili dalam PKI dan ormas-ormas yang
menjadi onderbouw atau sekutunya). Imperialisme, yang melihat kepentingannya sejalan dengan
kepentingan kelas feodal dan kelas borjuis nasional, berkali-kali melakukan subversif – dan akhirnya
menang dengan hancurnya PKI, tergulingnya Bung Karno, dan berdirinya Orde Baru.
Dari perspektif ini, kita mendapati kepahlawanan yang terpenggal dengan berakhirnya revolusi
nasional (yang tidak sempat bertransformasi menjadi revolusi sosial). Selanjutnya, menurut
pendapat saya, kepahlawanan harus turun ke bawah tanah karena represi yang luar biasa di satu
sisi dan ilusi masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila di sisi lain – yang dua-duanya
digelar oleh Soeharto dan Orde Baru-nya. Kepahlawanan dalam perspektif “revolusi belum selesai”
seperti sirna ilang kertaning bhumi.Sebagai gantinya Orde Baru menggagas “pahlawan
pembangunan”, pahlawan setelah revolusi berakhir (dihentikan paksa), atau pahlawan tanpa
perspektif revolusioner. Dengan kata lain, pahlawan yang mengukuhkan kontra-revolusi Orde Baru.

Yang Kini
Soeharto mengambilalih Demokrasi Terpimpin-nya Bung Karno dan memodifikasinya menjadi
Demokrasi Pancasila.Gagasan Bung Karno tentang partai pelopor yang menjadi partai (tunggal)
negara dengan sentralisme-demokratik pelintiran juga diadopsi Soeharto dengan membuat Golkar
menjadi partai negara dan menyederhanakan partai-partai sekuler dan Islam menjadi dua partai
aksesoris Demokrasi Pancasila.Jelas, Soeharto memainkan peran bonapartis.Tapi bukan bonapartis
populis, melainkan bonapartis fasis.Ia memberi tempat yang sangat menentukan pada militer,
khususnya Angkatan Darat. Sebab Orde Baru mengemban mission sacre menyelamatkan
kapitalisme Indonesia yang hampir ambruk (yang dituduhkan kepada Bung Karno karena telah
membuat politik menjadi panglima kehidupan berbangsa dan bernegara), mengintegrasikan
kapitalisme-pinggiran Indonesia ke dalam kapitalisme dunia dengan relasi patron-klien, dan
menjamin komunisme tetap berada di liang kubur.
Mission sacre ini berlangsung dalam konteks Perang Dingin, AS dan NATO yang kapitalistik
(“demokratis”) versus Uni Soviet dan Pakta Warsawa yang komunistik (“totalitarian”). Dua tugas
pertama dari mission sacre Orde Baru adalah menjamin Indonesia untuk benar-benar menjadi
“hadiah terbesar di Pasifik” bagi imperialisme yang dikomandani AS.Indonesia menjadi pemasok
bahan mentah, penyedia tenaga kerja murah, pasar produk-produk imperialis, dan lahan investasi
yang sangat menguntungkan. Tugas yang ketiga adalah menjaga Indonesia dari kemungkinan
bangkitnya komunisme, yang sudah barang tentu akan merugikan kepentingan ekonomi-politik
imperialis di Indonesia.

Untuk menjalankan mission sacre itu, Orde Baru menampilkan diri sebagai Negara Kesejahteraan
Berwajah Leviathan. Dengan jalan itu ia bermaksud mengubur untuk selamanya Demokrasi
Terpimpin yang distigmatisasinya menyengsarakan rakyat, melumpuhkan Komunisme, menjamin
dukungan negeri-negeri imperialis, dan mengokohkan kekuasaannya.
Kemelaratan dan kesengsaraan yang tidak tertanggungkan oleh rakyat Indonesia akhirnya meledak
ke permukaan.Pada 1998, Soeharto lengser.Kekuatan revolusioner kaum muda dan rakyat tertindas
yang meledak-ledak hampir saja menggulingkan seluruh tatanan kekuasaan. Seluruh kelas
penguasa di Indonesia serta imperialisme melakukan manuver, yakni dengan meminta Soeharto
turun agar meredakan kemarahan rakyat karena posisi Soeharto sebagai Presiden sudah tidak bisa
lagi dipertahankan di bawah tekanan massa yang semakin besar. Guna menyelamatkan seluruh
tatanan kapitalisme di Indonesia, Soeharto harus turun dan sejumlah konsensi demokratis harus
diberikan.Revolusi di Indonesia pun akhirnya berhasil diarahkan ke jalur yang aman.

Secara fundamental, tidak ada perubahan di dalam karakter rejim yang berkuasa hari ini dengan
rejim Orde Baru.Walau rakyat memenangkan sejumlah reforma demokratis, kekuasaan masih
dipegang erat oleh kaum kapitalis, kaum birokrat, dan militer.Perekonomian Indonesia masih
kapitalistik, yang terintegrasi dengan kapitalisme dunia, di mana kita terutama menjadi pengekspor
bahan mentah, penyedia buruh berupah murah, pasar raksasa bagi produk-produk jadi perusahaanperusahaan transnasional yang bermarkas besar di negeri-negeri kapitalis maju, dan lahan investasi
perusahaan-perusahaan transnasional tersebut.
Secara sosial-budaya negeri kita berada dalam krisis budaya.Di satu sisi kita semakin tidak

menampakkan diri sebagai suatu bangsa yang berkepribadian dalam kebudayaan.Bentuk-bentuk
budaya populer komersial yang datang dari negeri-negeri yang secara ekonomi-politik lebih kuat
daripada kita membanjiri negeri kita tanpa ampun. Generasi muda kita yang kebanyakan tumbuh
dalam konstruksi sosial yang apolitik menjadi reseptor utama dari filosofi, nilai-nilai, mentalitas, dan
gaya hidup yang digelontorkan oleh bentuk-bentuk budaya komersial itu. Celakanya, bentuk-bentuk
budaya populer komersial berikut filosofi, nilai-nilai, mentalitas, dan gaya hidup yang dibawanya,
dijiplak dan dilipatgandakan secara masif oleh para borjuis industri budaya populer komersial
Indonesia. Generasi muda yang sudah mengalami depolitisasi sehingga apolitis sekarang diberi
bentuk oleh budaya populer komersial baik oleh industrialis mancanegara maupun oleh industrialis
nasional. Hasilnya adalah kaum muda yang individualistis, pragmatis, hedonistis, cengeng,
narsistis, alay…
Di sisi lain, korupsi merajalela. Sogok-suap di mana-mana.Pejabat negara, baik yang duduk di
pemerintahan, parlemen, maupun lembaga yudisial, juga para pengusaha, pegawai birokrasi negara
(PNS), polisi, dan sebagainya, tidak ada yang kebal.Telaah Histomat (Materialisme Historis) atas
gejala sosial-budaya yang satu ini mengajak kita untuk melihat dengan jujur cacat moral kelas
borjuis nasional kita.
Dalam telaah Histomat, kelas borjuis nasional mengidap “kerusakan kodrat” atau total
depravity.Sebab-musababnya ditemukan dalam kelahiran dan pembentukan burjuasi nasional itu
sendiri.Berbeda dengan negeri-negeri yang sudah lebih dulu menjadi negeri-negeri kapitalis,
burjuasi nasional kita lahir dari “perkawinan haram” Kolonialisme dan Feodalisme.Kolonialisme

bangsa Barat-kapitalis atas Nusantara adalah konsekuensi dari perkembangan kapitalisme.Trilogi
kapitalisme, yakni eksploitasi, akumulasi, dan ekspansi, bermuara pada kolonialisme. Di Nusantara,
bangsa Barat-kapitalis menerapkan trilogi kapitalisme dengan sangat efisien. Mereka “bekerjasama”
(=memanfaatkan) kekuasaan kaum feodal Nusantara untuk mendapatkan lahan dan tenaga kerja
murah. Mereka memberi “komisi” kepada para penguasa feodal tiap kali penguasa-penguasa feodal
itu berhasil memenuhi pesanan mereka.Inilah cikal bakal “budaya” suap dan korupsi yang sekarang
hidup di bumi Indonesia.Dari “perkawinan haram” inilah muncul kelas borjuis nasional – yang korup,
komprador (menghamba kepada imperialis dan kejam kepada rakyatnya sendiri), kapitalis-birokrat,
dan kapitalis-kroni (oligarki).
Dalam konteks seperti ini, “kepahlawanan kontemporer” sepertinya merupakan ilusi. Bung Karno
bicara tentang kepahlawanan dalam konteks revolusi yang belum selesai. Soeharto bicara tentang
kepahlawanan dalam konteks revolusi yang (dipaksa) selesai.Sekarang barangkali kita tidak
memiliki idea apapun tentang kepahlawanan.
Yang Nanti
Perspektif kita tentang kepahlawanan adalah revolusioner.Kita percaya bahwa revolusi Indonesia
belum selesai. Sebab kita belum pernah menuntaskan revolusi nasional (yang bercorak borjuis),

lebih-lebih revolusi sosialis (yang bercorak proletariat)! Apalagi sekarang negeri ini sedang berada
dalam orbit imperialisme, menjadi negeri neo-kolonial dan neo-liberal.
Tapi bukankah barusan dikatakan bahwa sekarang ini mungkin kita tidak memiliki idea tentang

kepahlawanan? Melihat anak-anak muda yang telah menjadi korban-korban depolitisasi dan
menjadi individualistis, pragmatis, hedonistis, cengeng, narsistis, alay, sepertinya kita tidak punya
harapan lagi. Pada saat yang sama, telah terbukti bahwa burjuasi nasional, sejak Bung Karno,
Soeharto, hingga SBY sekarang ini, tidak menyelesaikan revolusi nasional. Bung Karno tidak
mampu karena kepemimpinan bonapartis populisnya yang sarat kontradiksi, dengan gagasan
revolusi dua tahap yang penuh kebingungan. Soeharto dan presiden-presiden sesudah dia tidak
mau dan tidak mampu karena menyelesaikan revolusi nasional karena mereka ber-taklid kepada
imperialisme.Sementara negeri ini semakin rusak – dan kerusakannya semakin parah.
Syukurlah kita tidak harus terkurung dalam keputusasaan.Ada suatu kelas yang secara historis
“ditakdirkan” untuk mentransformasi masyarakat saat ini, termasuk Indonesia.Kelas itu adalah kelas
buruh, yang akhir-akhir ini sedang bangkit kembali dan meregangkan otot-ototnya.Seturut watak
kelasnya, hanya kelas inilah yang sanggup menuntaskan revolusi nasional.Bahkan bukan hanya
revolusi nasional, tetapi juga revolusi sosial.Adapun penuntasan revolusi nasional itu, oleh kelas
buruh, terjadi dengan memasukkan tugas-tugas yang terbengkelai dari revolusi nasional ke dalam
revolusi sosialis.Bukan dua tahap revolusi, melainkan penuntasan revolusi nasional di
dalam revolusi sosialis.
Kelas buruh adalah faktor subyektif yang menentukan dalam transformasi masyarakat masa
kini.Adalah tugas historis kelas buruh untuk mentransformasi masyarakat – dari masyarakat yang
bertatanan ekonomi politik kapitalis (yang penuh dengan ketimpangan) menjadi masyarakat yang
bertatanan ekonomi politik sosialis (yang berkeadilan, manusiawi, dan demokratis
seutuhnya).Transformasi tersebut kita namakan revolusi sosialis. Di Indonesia, syarat obyektif untuk
sebuah revolusi sosialis – yang di dalamnya tercakup revolusi nasional – Indonesia sudah matang.
Berkat Soeharto dan Orde Baru, Indonesia sudah terintegrasi sepenuhnya ke dalam kapitalisme
dunia. Cepat atau lambat, Indonesia akan tersapu oleh krisis ekonomi akut yang sedang melanda
pusat-pusat kapitalisme dunia. Dengan demikian, tugas historis kelas buruh sudah terpampang di
hadapannya.
Untuk melaksanakan tugas historisnya, kelas buruh membutuhkan radikalisasi. Radikalisasi itu
datang dari dua lini yang terkait erat tak terpisahkan: partai pelopor kelas buruh dan sikon ekonomipolitik. Dari lini yang satu, yakni partai pelopor, kelas buruh menerima perspektif, teori, program, dan
metode perjuangan yang sejalan dengan kepentingan fundamentalnya, yakni Marxisme. Dari lini
yang kedua, yakni sikon ekonomi-politik, kelas buruh akan mengalami lompatan kualitatif dalam
kesadaran kelasnya. Sikon ekonomi-politik, khususnya saat terjadi krisis ekonomi yang akut, akan
memampukan kelas buruh untuk melihat dengan jelas kebenaran Marxisme dan bergerak untuk
melaksanakan tugas-tugas historisnya. Saat krisis akut kapitalisme dunia menghantam Indonesia,
saat itulah momentum historicumkelas buruh Indonesia.
Dalam konteks ini kita berbicara tentang partai pelopor, yang tidak lain merupakan alat perjuangan
kelas buruh untuk melaksanakan tugas historisnya. Partai pelopor proletariat ini merepresentasikan
kesadaran yang paling maju dari kelas buruh. Terdiri dari kader-kader revolusioner yang merupakan
elemen-elemen terbaik dari kelas buruh dan kaum muda, partai pelopor proletariat adalah partai
kader bergaris massa, partainya kelas buruh, yang selalu siap bergerak karena terus menempa diri
dengan disiplin baja dan kerja-kerja politik yang revolusioner.

Melalui partai pelopor ini, kelas buruh akan membangun “blok historis”, yakni mempersatukan
kepentingan kelas-kelas dan golongan-golongan tertindas lainnya dalam masyarakat di bawah satu
panji perjuangan. Melalui partai ini kelas buruh akan memimpin kelas-kelas dan golongan-golongan
tertindas itu untuk mengintervensi “Ibu Pertiwi yang sedang hamil tua” (kondisi obyektif berupa sikon
ekonomi-politik yang sedang menuju kebangkrutan karena krisis yang akut dan multidimensional).
Intervensi tersebut adalah revolusi, yakni revolusi sosialis.
Melalui revolusi sosialis, kelas buruh (1) mengambilalih kekuasaan dari burjuasi nasional, (2)
meruntuhkan struktur-struktur negara borjuis Indonesia dan membangun kembali strukturstrukturnya untuk menjadi negara buruh yang memimpin seluruh rakyat pekerja tertindas; (3)
menggulingkan kapitalisme dan melawan imperialisme; serta (4) mulai membangun tatanan
ekonomi-politik dan sosio-politik yang baru dalam sebuah Indonesia Baru, Indonesia yang Sosialis;
dan (5) mendorong revolusi-revolusi sosialis di Asia Tenggara dan Pasifik.
Dalam perspektif ini, kepahlawanan kontemporer adalah kepahlawanan yang belajar dari yang telah
silam (gagasan “dua tahap revolusi” dan “revolusi belum selesai” yang problematis), berpijak pada
yang kontemporer (Indonesia yang neo-kolonial dan neo-liberal), dan berorientasi pada yang nanti
(penuntasan revolusi nasional dalam rangka revolusi sosialis). Dalam perspektif revolusioner ini,
peran kepahlawanan kontemporer ada pada kelas revolusioner, yakni kelas buruh Indonesia, dan
setiap “kaum revolusioner”, yang tak lain dari tiap-tiap orang yang berkomitmen untuk mendukung
kelas buruh Indonesia dalam menunaikan tugas historisnya.***