Budhi Demokrasi Indonesia dalam Pusaran

Demokrasi Indonesia dalam Pusaran Fundamentalisme Agama
Oleh: Chlaodhius Budhianto
Pendahuluan
Dalam beberapa tahun belakangan ini, di Jawa Tengah terdapat
serangkaian tindakan yang mengganggu hubungan antar agama di Jawa
Tengah. Berbagai tindak terororisme, kekerasan atas nama agama, ucapanucapan yang menebar rasa benci pada pihak lain, sikap dan tindakan
intoleransi agama adalah bentuk nyata dari tindakan-tindakan yang
mengganggu tersebut. Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) mencatat
bahwa sejak tahun Januari 2009-September 2011 telah terjadi 58 kasus yang
mencerminkan berbagai tindak fundamentalisme agama di Jawa Tengah. 1
Dengan kata lain setiap bulan intensitas kasus mencapai 1,75 kasus. eLSA
juga mencatat para pelaku dari berbagai kasus tersebut, yaitu masyarakat
sipil (baik umat agama maupun “milisi sipil” yang terorganisir/FPI) dan
aparat negara. Di luar tindakan yang dilakukan oleh aparat negara, berbagai
tindakan tersebut sering diasosiasikan sebagai bentuk-bentuk radikalisme
agama yang terkait dengan fundamentalisme fundamentalisme agama.
Mencuatnya kasus-kasus yang terkait dengan fundamentalisme agama
tersebut cukup mengejutkan terutama karena kasus-kasus tersebut muncul
di tengah-tengah proses demokratisasi yang telah berusia satu dasawarsa
lebih (diukur sejak reformasi digulirkan pada tahun 1998). Memang benar
bahwa mencuatnya fundamentalisme agama ditengah gelombang

demokratisasi, tidak hanya terjadi di Indonesia. Di banyak negara-negara
demokrasi gerakan fundamentalisme juga bermunculan. Bahkan di Amerika,
yang konon dikenal sebagai kampiun demokrasi, fundamentalisme agama
juga merebak. Di Negara-negara demokrasi,
kelompok-kelompok
fundamentalisme agama justru menggunakan jargon-jargon demokrasi
sebagai kendaraan untuk memuluskan tujuan dari gerakannya. Fakta bahwa
fundamentalisme juga muncul di negara-negara demokrasi memunculkan
sebuah pertanyaan: bagaimanakah kaitan
antara demokrasi dengan
fundamentalisme agama ?
Dilema Demokrasi
Munculnya berbagai gerakan fundamentalisme agama di negaranegara demokrasi, merupakan suatu paradoks. Sebab fundamentalisme
merupakan antithesis terhadap demokrasi. Demokrasi pada dasarnya
merupakan sistem pemerintahan yang berdasarkan kompromi dan
konsensus, sementara fundamentalisme agama adalah suatu sikap, tindakan
dan pendirian yang tidak mau berkompromi. Oleh karena itu, ketika
fundamentalisme agama hadir dalam sebuah system demokrasi ia
menghadapkan demokrasi pada sebuah dilema.
1 Semua kasus yang di catat oleh eLSA adalah kasus-kasus yang mencuat dipermukaan dan di rekam oleh media,

baik media masa maupun media elektronik.

Di satu sisi, demokrasi adalah sebuah sistem pemerintahan yang
dibangun
untuk
melindungi
kebebasan
berbicara,
berpikir
dan
mengemukakan pendapat. Demokrasi tidak bisa dan tidak boleh
menghalang-halangi dan membungkam aspirasi masyarakat apapun
bentuknya, termasuk pemikrian-pemikiran yang bersifat ekslusive dan
absolutis, sebagaimana yang dikembangkan oleh kelompok-kelompok
fundamentalis. Di sisi yang lain, jaminan akan kebebasan untuk berbicara,
berpikir, dan pendapat tersebut bisa dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok
fundamentalis untuk mengartikulasikan gagasan-gagasannya yang ekslusive
dan absolutis. Sekalipun gagasan kelompok-kelompok fundamentalis
bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi, gagasan-gagasan tersebut
harus tetap dilindungi. Di sinilah dilema muncul. Ketika demokrasi

berhadapan dengan fundamentalisme agama, ia kelihatan tak berdaya.
Mekanisme demokrasi tidak bisa berbuat lain kecuali membiarkan gagasan
yang diusung oleh kelompok fundamentalis berkompetisi dengan gagasangagasan lain.
Laicisme dan Yudeo-Kristen
Fenomena fundamentalisme agama di negara-negara demokratis telah
lama menjadi kajian para ahli. Hurd mengklasifikasikan penjelasan tersebut ke dalam dua
paradigm sekulerisme: paradigm laicisme dan paradigma Judeo-Kristen.2 Laicisme adalah
paradigma sekulerisme yang menghendaki pemisahan agama dan politik. Dalam pemisahan itu
laicisme membela privatisasi agama dan dalam kadar tertentu agama disingkirkan sama sekali
dari kehidupan publik dan politik. Tujuan dari laicisme adalah untuk menciptakan kehidupan
publik yang bebas dari pengaruh keyakinan, praktek dan institusi-institusi keagamaan. Ketika
menjelaskan fenomena fundamentalisme, penganut paradigm laicisme melihat fundamentalisme
sebagai manifestasi dari kelompok-kelompok keagamaan yang kecewa dengan berbagai
perubahan social, ekonomi dan politik yang dihasilkan oleh modernitas dan ingin kembali
kepada tatanan tradisional.
Sementara itu paradigm Yudeo-Kristen adalah paradigm yang melihat tradisi YudeoKristen sebagai suatu fondasi yang unik dari tatanan publik sekuler dan pranata-pranata politik
demokratis. Keunikan Yudeo-Kristen ini tidak mungkin ditiru oleh tradisi-tradisi keagamaan
yang lain. Sama seperti laicism, paradigma Yudeo-Kristen juga menghendaki pemisahan antara
agama dan politik. Cuma saja paradigma Yudeo-Kristen tidak mengasumsikan atau
mempromosikan privatisasi agama. Paradigma Yudeo-Kristen justru merayakan kontribusi

tradisi Yudeo-Kristen yang telah membuat tatanan publik dan pranata politik Barat
menjadi sekuler, liberal dan demokratis. Dari perspektif paradigma Yudeo-Kristen
munculnya fundamentalisme agama di negara-negara demokratis (terutama
non Barat) memperlihatkan bahwa: 1) hubungan alamiah dan unik antara
tradisi Yudeo-Kristen dengan demokrasi semakin dikukuhkan, 2) setiap
peradaban memiliki nilai-nilai moral religious dan politik yang berbeda-beda.
Perbedaan-perbedaan tersebut begitu tajam sehingga tidak bisa dijembatani
oleh modernisasi, perkembangan moral dan ekonomi ataupun globalisasi
dari norma-norma dan institusi-institusi demokrasi sekuler. Oleh karena itu,
sekalipun peradaban non-Barat mencoba meniru demokrasi Barat yang
2 Hurd

memisahkan agama dan politik, mereka tidak bisa menirunya dengan
sempurna.
Dalam beberapa hal penjelasan yang menekankan faktor-faktor social,
ekonomi, politik dan kultural dari kedua paradigma tersebut bisa dibenarkan.
Akan tetapi keduanya mengabaikan aspek yang sangat krusial dari
merebaknya fundamentalisme agama. Mereka gagal dalam mengenali
dimensi religius yang spesifik dari berbagai gerakan fundamentalisme dan
fakta bahwa berbagai problem sosial, ekonomi, budaya dan politik yang

memicu fundamentalisme agama selalu berkonotasi moral dan spiritual.
Dengan menunjuk pada gerakan fundamentalisme Islam, Moussali
berpendapat “mengatakan gerakan-gerakan itu semata-mata politik akan
melemahkan dimensi metafisik yang diusung mereka.” Hal yang sama juga
dikatakan oleh Thomas: “merebaknya fundamentalisme agama sekarang ini
tidak semata-mata disebabkan oleh perlawanan terhadap modernisasi,
keinginan untuk kembali ke pada tatanan politik tradisional atau serangan
terhadap modernitas global, otentisitas dan perkembangan . . . tetapi juga
dimotivasi oleh hasrat untuk mengevaluasi dan memikirkan kembali
bagaimana agama dan modernisasi dapat dihubungkan”3 Fenomena
fundamentalisme sesungguhnya merupakan kontestasi politik yang sangat
mendasar dari kontur dan isi dari dunia sekuler, sebuah kontestasi yang
mempertanyakan kembali fondasi para sekuleris dalam memisahkan yang
sekuler dari yang religious.4 Merebaknya fundamentalisme agama karena itu
perlu dipahami sebagai upaya untuk memahami kembali relasi antara yang
sakral dan yang profane, yang politis dan yang religious.
Agama Penghambat Demokrasi Indonesia
Sebagai sebuah Negara-bangsa yang lahir setelah perang dunia kedua, bangsa Indonesia
adalah bangsa yang unik. Para pendiri bangsa adalah orang-orang yang terdidik di dalam
lembaga-lembaga pendidikan barat dan banyak mengenal system demokrasi yang dikembangkan

di Barat, para pendiri bangsa tidak membangun Negara-bangsa Indonesia dengan system
demokrasi barat, baik yang bertumpu pada tradisi laicisme maupun tradisi Yudeo-Kristen. Para
pendiri bangsa juga tidak mendirikan Negara-bangsa Indonesia berdasarkan agama Islam, yang
merupakan agama sebagian besar penduduk Indonesia. Dalam kaitannya dengan relasi agama
dan Negara, para pendiri bangsa menganut apa yang oleh M.M. Thomas disebut sebagai Negara
Pancasila, yaitu sebuah system kenegaraan yang menempatkan agama sebagai partner Negara.
Dalam system semacam ini, keberadaan agama-agama di Indonesia diakui, dilindungi dan satu
sama lain diperlakukan setara. Negara tidak menganak emaskan salah satu agama yang ada di
Indonesia.

3 Thomas, Global Resurgence
4 Hurd

Sistem tersebut dipilih dengan asumsi bahwa nilai-nilai agama dan nilai-nilai demokrasi,
adalah nilai-nilai yang tidak bertolak belakang. Keduanya sama-sama memperjuangkan nilainilai universal. Nilai-nilai yang dimaksud adalah egalitarianism, kebebasan dan persaudaraan.
Sekalipun demikian hubungan antara Negara dan agama di Indonesia tidak terjalin
dengan baik sehingga system demokrasi di Indonesia berjalan dengan baik pula. Sejarah
perjalanan bangsa Indonesia memperlihatkan bahwa antara agama dan Negara, selalu terlibat
persaingan untuk saling menjatuhkan. Akibatnya semangat egalitarianism, kebebasan dan
persaudaraan dari system demokrasi tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan.

Fakta semacam ini memperlihatkan bahwa relasi agama dan system kenegaraan yang
demokratis tidak bisa disandarkan pada kesamaan nilai diantara agama dan system demokrasi.
Demokrasi yang kokoh membutuhkan semacam mentalitas yang menopang system demokrasi itu
sendiri. Di sinilah keberadaan agama-agama di Indonesia dipersoalkan. Agama-agama (tepatnya
umatnya) di Indonesia tidak memiliki mentalitas yang menopang demokrasi.
Ada empat mentalitas agama-agama di Indonesia yang menghambat system demokrasi.
Keempat mentalitas yang dimaksud adalah:5
1. Mentalitas patuh. Orang dituntut untuk patuh pada ajaran agama, tanpa boleh
mempertanyakannya. Ajaran agama dianggap sebagai ajaran Tuhan. Kehendak Tuhan
pun dapat diketahui melalui para wakilnya di dunia, yakni para pemuka agama. Di
Indonesia, umat beragama sangat patuh pada para pemimpinnya. Celakanya, mereka
patuh tanpa reserve, sehingga mereka tidak berpikir kritis pada ajaran agamanya. Mereka
asal terima perintah agama yang diajarkan oleh para pemimpinnya, dan memilih untuk
tidak mengunyahnya secara seksama.
2. Orang yang beragama juga cenderung mendewakan pemuka agamanya. Disini terjadi
pengkultusan individu yang berlebihan. Seolah yang keluar dari mulut pemuka agama
adalah sabda Tuhan itu sendiri yang tak mengandung kesalahan. Pemujaan berlebihan
semacam ini membuat para pemuka agama merasa kebal hukum dan tak dapat
disalahkan.
3. Orang yang beragama juga cenderung sibuk dengan ritual. Mereka sibuk memperhatikan

posisi berdoa, daripada motivasi dan kedalaman doa itu sendiri. Pola berpikir mereka jadi
amat superfisial dan dangkal. Perilaku dan daya analisis mereka sehari-hari pun juga ikut
menjadi dangkal dan superfisial. Daripada sibuk memperbaiki etos kerja dan
profesionalitas, orang sibuk mengerjakan kewajiban agamanya yang bersifat formal
semata. Spiritualitas keimanan yang mendalam digantikan oleh kesesuaian dengan tradisi
yang sudah tak lagi relevan di dunia. Sikap asal patuh, tidak kritis, dan pikiran yang
dangkal inilah mewarnai kehidupan kita sehari-hari di Indonesia.

5 Reza A.A. Sihbudi, Agama dan Demokrasi

Dokumen yang terkait

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

OPTIMASI FORMULASI dan UJI EFEKTIVITAS ANTIOKSIDAN SEDIAAN KRIM EKSTRAK DAUN KEMANGI (Ocimum sanctum L) dalam BASIS VANISHING CREAM (Emulgator Asam Stearat, TEA, Tween 80, dan Span 20)

97 464 23

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

Analisis tentang saksi sebagai pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan dan tindak pidana pembunuhan berencana (Studi kasus Perkara No. 40/Pid/B/1988/PN.SAMPANG)

8 102 57

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

Diskriminasi Perempuan Muslim dalam Implementasi Civil Right Act 1964 di Amerika Serikat

3 55 15

Hubungan antara Kondisi Psikologis dengan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Kelas IX Kelompok Belajar Paket B Rukun Sentosa Kabupaten Lamongan Tahun Pelajaran 2012-2013

12 269 5

Kekerasan rumah tangga terhadap anak dalam prespektif islam

7 74 74

Analisis pengaruh modal inti, dana pihak ketiga (DPK), suku bunga SBI, nilai tukar rupiah (KURS) dan infalnsi terhadap pembiayaan yang disalurkan : studi kasus Bank Muamalat Indonesia

5 112 147