pangan sebagai indikator Kemiskinan (9)
KARYA ILMIAH
REKONSTRUKSI UPAYA PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI
INDONESIA DENGAN STRATEGI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Disusun Untuk Disajikan pada Pemilihan Mahasiswa Berprestasi Program
Sarjana Tingkat Universitas
Oleh :
Ervina Oktavia Kilis
(10312008)
UNIVERSITAS NEGERI MANADO
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS
Mei 2013
LEMBAR PENGESAHAN
PEMILIHAN MAHASISWA BERPRESTASI PROGRAM SARJANA
TINGKAT UNIVERSITAS
I.
Judul Kegiatan
: REKONSTRUKSI UPAYA
PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI
INDONESIA DENGAN STRATEGI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
II. Nama Penulis
:
ERVINA OKTAVIA KILIS (10312008)
III. Tanggal Pengesahan : TONDANO, 06 MEI 2013
TONDANO, 06 MEI 2013
Mengetahui,
Pembantu Dekan III FBS
Dra. Nurmin Samola, M.Hum
NIP. 19600909 198603 2002
Dosen Pembimbing
Dra. Nurmin Samola, M.Hum
NIP. 19600909 198603 2002
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kasih, kuasa dan
perkenanan-Nya yang telah dinyatakan selama ini sehingga penulisan karya ilmiah yang
berjudul “Rekonstruksi Upaya Penanggulangan Kemiskinan Dengan Strategi Pemberdayaan
Masyarakat” boleh rampung dengan segala baik.
Kemiskinan merupakan hal yang tak asing lagi di telinga umat manusia. Kemiskinan
dewasa ini, sudah merupakan permasalahan global yang tak terhindarkan khususnya di
Negara Indonesia. Berbagai upaya pun dilakukan oleh pemerintah dalam rangka
menanggulangi masalah yang tak kunjung usai itu. Namun, suatu permasalahan tak akan
teratasi jika tidak di pangkas sampai pada akar-akarnya. Karya ilmiah ini akan memaparkan
paradigma lama dan baru upaya penanggulangan kemiskinan di Indonesia guna memberikan
gagasan-gagasan kreatif tentang strategi yang efektif dalam menghadapi masalah tersebut.
Akhirnya, “Tiada Gading Yang Tak Retak”. Penulis menyadari bahwa karya tulis ini
masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang konstruktif sangat
diharapkan untuk perbaikan karya ilmiah ini. Penulis pun berharap semoga karya ilmiah ini
dapat memberikan manfaat bagi pembaca.
Tondano, 01 Mei 2013
Penulis
Ervina Oktavia Kilis
10312008
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN………………………………………………. i
KATA PENGANTAR ……..……………………………………………. ii
DAFTAR ISI
……………………………………………………………iii
RINGKASAN ……………………………………………………………iv
BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………….1
A.
B.
C.
D.
Latar Belakang ………. ………………………………………….…1
Rumusan Masalah ………. …………………………………………4
Gagasan Penulis ………….……………………………………….4
Tujuan dan Manfaat ………..…………………………………….. 4
BAB II KAJIAN TEORI
………………………………………….……6
A. Kemiskinan ………..………………………………………………..6
B. Pemberdayaan …….……………………………………………… 10
BAB III METODE PENULISAN
..…………………………………..14
BAB IV ANALISIS DAN SINTESIS …………………………………15
A. Analisis …………..………………………………………………15
B. Sintesis ………,,,…………………………………………………16
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ……………………...20
A. Kesimpulan ………..………………………………………………20
B. Rekomendasi ……..………………………………………………20
DAFTAR PUSTAKA ……..……………………………………………..22
RINGKASAN
Dewasa ini, kemiskinan telah menjadi persoalan global yang kompleks dan tak kunjung usai.
Sebuah fenomena yang sangat krusial yang menentukan pergerakan sebuah negara menuju
derajat keberhasilan pembangunan ke arah yang lebih maju. Sejak dicanangkan konsep
pembangunan pada akhir masa perang dunia kedua, ternyata pembangunan membuat angka
kemiskinan meningkat. Gagasan modernisasi pun rontok karena tidak mampu meneteskan
hasil-hasil pembangunan kepada kelompok masyarakat termiskin, malahan menciptakan
orang miskin baru setiap tahunnya.
Pembangunan di Indonesia saat ini telah membawa banyak perubahan dalam berbagai aspek
dalam kehidupan masyarakat, baik pada kawasan pedesaan maupun perkotaan. Perubahan
tersebut membawa dampak tidak hanya terhadap lingkungan fisik, tapi juga sistem nilai
dalam tatanan kehidupan sosial bermasyarakat. Namun sayangnya perubahan yang diciptakan
oleh pembangunan membawa dampak yang menyertainya yaitu telah melahirkan
keterbelakangan dan kemiskinan dalam masyarakat. Kekayaan alam yang sangat berpotensi
untuk meningkatkan perekonomian masyarakat ternyata tidak dimanfaatkan dengan baik
karena kualitas SDM yang sangat memprihatinkan. Masih banyak kita dapati para pengemis
dan gelandangan berkeliaran tidak hanya di pedesaan bahkan di kota-kota besar yang sudah
menjadi tontonan setiap hari. Belum lagi anak-anak bangsa yang putus sekolah dikarenakan
biaya pendidikan yang mahal. Kini di Indonesia jerat kemiskinan semakin parah. Kemiskinan
bukan semata –mata persoalan ekonomi melainkan kemiskinan kultural dan struktural.
Melihat realita kemiskinan yang ada, pemerintah pun giat melaksanakan berbagai macam
program sebagai strategi penanggulangan kemiskinan, namun tidak dapat dipungkiri bahwa
ternyata program pengetasan kemiskinan oleh pemerintah belum berjalan seperti apa yang
diharapkan. Masih terdapat banyak sekali penyimpangan-penyimpangan dalam program
pemerintah, lebih lagi program tersebut bersifat tidak merata dan hanya untuk
penanggulangan jangka pendek yang pada akhirnya akan menjadikan masyarakat bergantung
pada bantuan material dari pemerintah dan akan lebih miskin lagi dari sebelumnya.
Kemiskinan di Indonesia masih menunjukkan angka yang sangat memprihatinkan dari tahun
ke tahun. Seperti sebuah aksi gali lubang tutup lubang yang tak berkesudahan. Pemerintah
seperti memangkas rumput namun tidak sampai pada akarnya. Sebenarnya persoalan
kemiskinan berakar pada kualitas sumber daya manusia. Namun sayangnya perhatian
pemerintah pada penanggulangan kemiskinan hanya berporos pada pendekatan pertolongan
(charity) yang bersifat jangka pendek.
Di tengah upaya untuk semakin menajamkan program penanggulangan kemiskinan di
Indonesia, perlu dicari metode evaluasi dan monitoring yang tepat agar kualitas pelaksanaan
program penanggulangan kemiskinan menjadi semakin baik dan tepat sasaran. Dengan
indikator-indikator yang objektif dan terukur maka akan lebih mudah melakukan perbaikan
dari berbagai segi agar program menjadi lebih berkelanjutan dan tidak bersifat
kedermawanan (charity). Sebuah konsep yang berpusat pada pemberdayaan manusia
merupakan strategi yang paling efektif dalam menanggulangi kemiskinan karena kemiskinan
tidak dapat ditanggulangi dengan pendekatan yang mengingkari realitas yang menjadi sumber
penyebab kemiskinan yaitu manusia itu sendiri. Pendekatan yang instrumental yakni
mengurangi ciri-ciri kemiskinan yang ada pada komunitas miskin ternyata hanya mampu
menyelesaikan masalah untuk jangka pendek dan justru memberi peluang untuk kembali
terjebak dalam kemiskinan yang lebih dalam. Pada akhirnya program penanggulangan
kemiskinan justru menghasilkan penguatan masalah kemiskinan.
Dengan
demikian,
perlu
dilakukan
rekonstruksi
paradigma
penanggulangan
kemiskinan yang sementara diterapkan di Indonesia yaitu dari konsep pertolongan
(charity) menjadi konsep pemberdayaan manusia karena persoalan kualitas Sumber
Daya
Manusia
merupakan
hal
fundamental
yang
menyebabkan
terjadinya
kemiskinan di Indonesia. Melalui konsep pemberdayaan, masyarakat tidak lagi
menjadi penonton dalam proses pembangunan namun sebaliknya masyarakatlah
yang berperan aktif dalam pelaksanaan pembangunan negara ini.
Untuk itu, Pemerintah perlu mengevaluasi dan mengontrol kembali program
penanggulangan kemiskinan, apakah efektif atau masih terdapat kelemahan
maupun
penyimpangan-penyimpangan
dalam
pelaksanaannya.
Pemerintah
seharusnya berpusat pada peningkatan kualitas sumber daya manusia dalam
pelaksanaan penanggulangan kemiskinan. Masyarakat yang merupakan kekuatan
dari suatu negara, hendaknya saling gotong-royong dan bekerjasama dengan
pemerintah dalam proses penanggulangan kemiskinan dan harus berperan aktif
dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia serta mampu memberikan
gagasan-gagasan kreatif yang dapat menunjang pembangunan sehingga negara ini
mampu keluar dari kubangan kemiskinan.
Untuk Download Karya ilmiah ini, Silahkan KLIK DI SINI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejarah
peradaban
manusia
mencatat
bahwa
kemiskinan
merupakan
suatu
fenomena sosial terbesar yang dialami oleh setiap negara di berbagai belahan dunia,
baik negara yang sedang berkembang maupun negara yang sudah mempunyai
kemapanan di bidang ekonomi. Tragedi kemanusiaan ini pada dasarnya bukan hanya
menjadi masalah lokal, regional dan nasional tetapi telah menjadi perhatian, isu dan
gerakan global. Hal ini dapat dicermati dari : (1) pertemuan World Summit for Social
Development Copenhagen 1995 pada tanggal 6-12 maret 1995; (2) pertemuan pada
Forum Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Pangan (World Food Summit) di Roma pada
tanggal 12 Juni 2002; (3) KTT Milenium PBB 2001; (4) Konferensi KTT mengenai
Pembangunan Berkelanjutan di Johannesburg, Afrika Selatan tanggal 2-3 September
2002; (5) Seminar Nasional tentang Tantangan Penanggulangan Kemiskinan Dalam
Era
Otonomi
Daerah
;
(6)
Seminar
Internasional
tentang
Penanggulangan
Kemiskinan di Hanoi, Vietnam tanggal 10-11 Juni 2004; (7) Konferensi 55 negara di
PBB tentang Tindakan Memerangi Kelaparan dan Kemiskinan, pada tanggal 20
September 2004, dan berbagai pertemulan berskala nasional dan internasional
lainnya.
Indonesia yang masuk dalam golongan negara yang sedang berkembang juga tak
asing dengan fenomena kemiskinan yang melanda seluruh negara di berbagai
belahan dunia. Kemiskinan sesungguhnya bukanlah persoalan baru di negeri ini.
Pada dekade
1976-1996,
persentase
penduduk
miskin
di Indonesia
pernah
mengalami penurunan yaitu dari 40,1% menjadi 11,3%, namun pada periode 19961998 angka ini menjadi 24,29% atau 49,5 juta jiwa. Bahkan International Labour
Organization (ILO) memperkirakan jumlah orang miskin di Indonesia mencapai
129,6 juta atau sekitar 66,3% (BPS, 1999). Pada tahun 2002, persentase kemiskinan
telah mengalami penurunan, namun secara absolut jumlah mereka masih tergolong
tinggi, yaitu 43% atau sekitar 15,6 juta (BPS dan Depsos 2002). Pada September
2011 mencapai 29,89 juta orang atau sekitar 12,36 % (BPS 2012). Walaupun
mengalami
penurunan
setiap
tahunnya
namun
angka
kemiskinan
tersebut
mengindikasikan konsep model yang dibangun belum mampu membentuk sosial
ekonomi masyarakat yang tangguh.
Di Indonesia, perang terhadap kemiskinan telah dikumandangkan secara eksplisit
sejak republik ini lahir. Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945, para founding fathers kita secara tegas telah menyebutkan
bahwa salah satu tujuan pokok dari pembangunan nasional adalah terwujudnya
kesejahteraan umum bagi seluruh rakyat Indonesia dan tujuan ini hanya akan
terwujud jika tak ada lagi penduduk negeri ini yang hidup dalam belenggu
kemiskinan.
Namun
apakah
hal
ini
bisa
terwujud,
sedangkan
negara superpowersekalipun belum bisa terhindar dari fenomena global ini.
Untuk memenangkan pertarungan melawan kemiskinan, hal pertama yang harus
dilakukan
yaitu
mendefinisikan
kemiskinan
tersebut
secara
mendalam
dan
mengukurnya. Dari pengukuran kemiskinan akan diperoleh ragam statistik (data)
kemiskinan yang dapat menjelaskan tentang berbagai hal, seperti siapa si miskin
(profile) dan seberapa banyak jumlahnya (incidence of poverty)—baik secara absolut
maupun suatu persentase tertentu dari total penduduk suatu wilayah. Informasi
seperti ini sangat penting bagi pemerintah/institusi untuk menentukan kebijakan
yang harus diambil dan program yang harus dijalankan untuk mengeluarkan si
miskin dari kubangan kemiskinan, sekaligus untuk memonitor dan mengevaluasi
keberhasilan langkah-langkah yang telah ditempuh dalam upaya mereduksi jumlah
penduduk miskin dari waktu ke waktu.
Pada dasarnya pemerintah telah berusaha keras untuk menekan angka kemiskinan
setiap tahunnya dengan berbagai program penanggulangan kemiskinan, namun
dengan melihat realita kehidupan Bangsa Indonesia saat ini sepertinya program dari
pemerintah yang lebih menitikberatkan konsep pertolongan (kedermawanan) masih
belum berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan. Program pemerintah seperti
Bantuan Langsung Tunai (BLT), Beras untuk Rakyat Miskin (RASKIN), Program
Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM) dalam pelaksanaannya ternyata
masih belum efektif karena banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan yang
dilakukan
oleh
orang-orang
yang
tidak
bertanggung
jawab.
Permasalahan
kemiskinan pada dasarnya berakar dari Sumber Daya Manusia (SDM) yang tidak
memiliki kemampuan apa-apa karena tingkat pendidikan yang rendah.
Dalam
mengatasi
masalah
kemiskinan
diperlukan
kajian
yang
menyeluruh
(comprehensif), sehingga dapat dijadikan acuan dalam merancang program
pembangunan
kesejahteraan
sosial
yang
pemberdayaan. Konsep pemberdayaan
lebih
menekankan
pada
konsep
dapat diartikan sebagai upaya untuk
menolong yang lemah atau tidak berdaya (powerless) agar mampu (berdaya) baik
secara fisik, mental dan pikiran untuk mencapai kesejahteraan sosial hidupnya.
Dalam konteks ini, mereka dipandang sebagai aktor yang mempunyai peran penting
untuk mengatasi masalahnya. Menurut Mujiyadi B. dan Gunawan (2000) :
Pemberdayaan merupakan suatu proses peningkatan kondisi kehidupan dan
penghidupan yang ditujukan kepada masyarakat miskin. Masyarakat miskin
merupakan sumber daya manusia yang berpotensi untuk berpikir dan bertindak
yang pada saat ini memerlukan “penguatan” agar mampu memanfaatkan daya
(power) yang dimiliki.
Jadi, dengan indikator-indikator yang obyektif dan terukur, maka akan lebih mudah
melakukan perbaikan-perbaikan dari berbagai segi agar program penanggulangan
kemiskinan
menjadi
lebih
berkelanjutan
(sustainable)
dan
tidak
bersifat
kedermawanan (charity).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah di kemukakan di atas, maka
rumusan masalah dalam karya tulis ini adalah :
Strategi apa yang harus dilakukan dalam upaya penanggulangan kemiskinan di
Indonesia dengan melihat realita kemiskinan yang ada ?
C. Gagasan Penulis
Realita kemiskinan di negara ini merupakan permasalahan yang kompleks dan
bersifat multidimensional serta bukan hal yang mudah untuk dituntaskan. Oleh
karena itu, upaya penanggulangan kemiskinan harus dilakukan secara komprehensif,
mencakup berbagai aspek kehidupan masyarakat, dan dilaksanakan secara terpadu.
Beberapa pakar ekonomi berasumsi bahwa program penanggulangan kemiskinan
yang sudah dan sementara dilaksanakan belum berhasil mengatasi masalah
kemiskinan di negeri ini. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa kelemahan
mendasar, salah satunya yaitu upaya pengetasan kemiskinan lebih terfokus pada
penyaluran bantuan sosial (orientasi kedermawanan) untuk orang miskin, bukan
kepada pemberdayaan Sumber Daya Manusia, sehingga memperburuk moral serta
menimbulkan perilaku ketergantungan dan korupsi dalam penyalurannya. Fenomena
tersebut mengindikasikan bahwa sesungguhnya upaya penanggulangan kemiskinan
yang
sementara
dilakukan
oleh
pemerintah
masih
belum
efektif
dalam
pelaksanaannya. Untuk itu, program pemberdayaan SDM merupakan konsep paling
efektif dalam upaya penanggulangan kemiskinan karena dengan program ini maka
masyarakat tidak lagi menjadi penonton dalam proses pembangunan. Dalam hal ini
pemberdayaan tidak lagi menjadi sesuatu yang teoritis melainkan menjadi alat untuk
memutarbalikkan proses pemiskinan.
D. Tujuan dan Manfaat
Adapun tujuan penulisan karya tulis ini adalah untuk memberikan penjelasan
komperhensif tentang strategi pemberdayaan yang merupakan konsep kunci dalam
upaya penanggulangan kemiskinan di Indonesia saat ini. Berdasarkan tujuan
penulisan karya tulis ini, maka manfaat yang diharapkan yaitu tulisan ini mampu
memberikan paradigma baru bagi pemerintah dan masyarakat dalam upaya
penanggulangan kemiskinan di Indonesia lewat konsep pemberdayaan manusia
yang nantinya akan berpengaruh pada proses pembangunan negara ini.
Untuk Download Karya ilmiah ini, Silahkan KLIK DI SINI
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Kemiskinan
Kemiskinan merupakan sebuah kata yang memiliki beragam definisi mulai dari
sekedar ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan primer seperti sandang,
pangan dan papan sampai pada pengertian lebih luas yang mencakup komponenkomponen social dan moral. Definisi kemiskinan mengalami perkembangan sesuai
dengan penyebabnya yaitu pada awal 1990-an, definisi kemiskinan diperluas tidak
hanya berdasarkan tingkat pendapatan, tetapi juga mencakup ketidakmampuan di
bidang
kesehatan,
kemiskinan
telah
pendidikan
dan
perumahan.
mencakup
dimensi
Belakangan
kerentanan,
ini,
pengertian
ketidakberdayaan
dan
ketidakmampuan untuk menyampaikan aspirasi (Smeru, 2001). Pengertian tersebut
berkaitan dengan konsep Chambers (1983) tentang jebakan kemiskinan (deprivation
trap), antara lain: (1) kemiskinan itu sendiri, (2) kelemahan fisik, (3) keterasingan,
(4) kerentanan, dan (5) ketidakberdayaan. Definisi orang miskin hanya dari sudut
pemenuhan konsumsi saja sudah tidak cukup karena: (1) pengertian ini sering tidak
berhubungan dengan definisi kemiskinan yang dimaksud oleh orang miskin itu
sendiri, dan tidak cukup untuk memahami realitas kemiskinan; (2) pengertian
tersebut
dapat
menjerumuskan
kepada
kesimpulan
yang
salah,
bahwa
menanggulangi kemiskinan cukup hanya dengan menyediakan bahan makanan yang
memadai, dan (3) pengertian tersebut telah terbukti tidak bermanfaat bagi
pengambil keputusan ketika merumuskan kebijakan lintas sektoral dan bisa kontra
produktif (Smeru, 2001).
Secara etimologis “kemiskinan” berasal dari kata “miskin” yang artinya tidak
berharta benda dan serba kekurangan. Departemen Sosial dan Biro Pusat Statistik,
mendefinisikan sebagai ketidakmampuan individu dalam memenuhi kebutuhan
dasar minimal untuk hidup layak (BPS dan Depsos,2002). Dalam konteks politik, John
Friedman
dalam
Prijono
(1996)
mendefinisikan
kemiskinan
sebagai
suatu
ketidaksamaan kesempatan dalam mengakumulasikan basis kekuatan sosial. Frank
Ellis (dalam suharto,2005) menyatakan bahwa kemiskinan memiliki berbagai dimensi
yang menyangkut aspek ekonomi, politik dan sosial-psikologis. Orang disebut miskin
jika dalam kadar tertentu sumber daya ekonomi yang mereka miliki di bawah target
atau patokan yang telah ditentukan. Yang dimaksud dengan kemiskinan sosial
adalah kurangnya jaringan sosial dan struktur sosial yang mendukung orang untuk
mendapatkan kesempatan - kesempatan agar produktivitasnya meningkat. Dapat
juga dikatakan bahwa kemiskinan sosial adalah kemiskinan yang disebabkan oleh
adanya faktor-faktor penghambat sehingga mencegah dan menghalangi seseorang
untuk
memanfaatkan
merupakan
masalah
kesempatan
kemanusiaan
–
kesempatan
yang
telah
yang
lama
tersedia.
Kemiskinan
diperbincangkan
karena
berkaitan dengan tingkat kesejahteraan masyarakat dan upaya penanganannya.
Dalam Suharto (2005) kemiskinan adalah suatu keadaan dimana tidak sanggup
memelihara dirinya sendiri dengan taraf kehidupan yang dimiliki dan juga tidak
mampu
memanfaatkan
tenaga,
mental
maupun
fisiknya
dalam
memenuhi
kebutuhannya.
Secara umum, kemiskinan didefinisikan sebagai kondisi saat seseorang atau
sekelompok orang tak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan
dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Meskipun singkat, defenisi ini
menunjukkan bahwa makna kemiskinan sangat luas dan multidimensi, serta tidak
mudah untuk diukur. Contohnya, apa yang dimaksud dengan kehidupan yang
bermartabat itu? Setiap orang tentu akan menginterpretasikannya secara berbedabeda, sehingga dapat mengundang perdebatan panjang. Selain itu, tidak semua hakhak dasar dapat dinyatakan secara kuantitatif, seperti rasa aman dari perlakuan atau
ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosialpolitik.
Definisi kemiskinan yang lebih sederhana dikemukan oleh Bank Dunia
(2000), yakni “Poverty is pronounced deprivation in well-being.” Jika diterjemahkan
secara bebas, kemiskinan didefinisikan oleh Bank Dunia sebagai kondisi serba
kekurangan yang mengakibatkan seseorang tak mampu mencapai derajat hidup
layak (well-being). Meskipun defenisi ini lebih sederhana, tetap saja menyisikan
kerumitan dalam pengukuran kemiskinan. Seperti halnya kemiskinan, hidup layak
atau sejahtera (well-being) adalah repsentasi dari banyak hal: seberapa besar
penghasilan yang diterima seseorang dalam sebulan, apa dan seberapa banyak
yang dimakan dalam sehari, pakaian apa yang dikenakan sehari-hari, di mana
seseorang bertempat tinggal, apakah bersekolah—jika termasuk penduduk usia
sekolah, apakah pergi ke dokter kala sakit, dan masih banyak lagi. Bank dunia
(2000) menyebutkan,
Well-being comes from a capability to function in society. Thus, poverty arises when
people lack they capabilities, and so have inadequate income or education, or poor
health, or insecurity, or low self-confidence, or a sense of powerlessness, or the
absence of rights such as freedom of speech.
Kemiskinan kadang juga berarti tidak adanya akses terhadap pendidikan dan
pekerjaan
yang
mampu
mengatasi
masalah
kemiskinan
dan
mendapatkan
kehormatan yang layak sebagai warga negara. Ada tiga jenis kemiskinan, yaitu :
1. Kemiskinan relatif.
Seseorang yang tergolong miskin relatif sebenarnya telah hidup di atas garis
kemiskinan namun masih berada di bawah kemampuan masyarakat sekitarnya.
2. Kemiskinan kultural.
Miskin kultural berkaitan erat dengan sikap seseorang atau sekelompok masyarakat
yang tidak mau berusaha memperbaiki tingkat kehidupannya sekalipun ada usaha
dari pihak lain yang membantunya.
3. Kemiskinan absolut.
Kemiskinan Absolut adalah sejumlah penduduk yang tidak mampu mendapatkan
sumberdaya yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar. Mereka hidup dibawah
tingkat pendapatan minimum atau dibawah garis kemiskinan internasional. Menurut
Ginanjar (1997), kemiskinan absolut merupakan :
Kondisi kemiskinan yang terburuk yang diukur dari tingkat kemampuan keluarga
untuk membiayai kebutuhan yang paling minimal untuk dapat hidup sesuai dengan
martabat hidup sesuai dengan martabat kemanusiaan.
Pertanyaannya
kemudian,
bagaimana
mengukur
kemiskinan?
Bagaimana
menentukan sebuah indikator hidup layak yang mudah untuk diukur di satu sisi,
serta cukup memuaskan dalam menjelaskan kompleksitas kondisi hidup layak di sisi
yang lain?
Para ahli pengukuran kemiskinan (poverty measurement) telah lama berdiskusi
sekaligus berdebat panjang terkait hal ini. Dan pilihan mereka akhirnya jatuh pada
pendapatan (income) atau pengeluaran (consumption/expenditure) sebagai indikator
hidup layak. Pilihan menggunakan pendapatan atau pengeluaran sebagai indikator
hidup layak tentu saja telah mereduksi dimensi kemiskinan yang maha luas hanya
pada dimensi ekonomi atau moneter (uang) saja. Tetapi, meskipun pendapatan atau
pengeluaran kurang memuaskan (poor) dalam menjelaskan semua dimensi dari
kemiskinan yang hendak diukur. Kedua indikator ini cukup baik (useful) sebagai
indikator hidup layak. Alasannya sederhana, rumah tangga atau individu yang
memiliki pendapatan atau pengeluaran yang tinggi bakal menikmati lebih banyak
barang dan jasa dengan variasi yang juga lebih beragam dibandingkan rumah
tangga dengan pendapatan atau pengeluaran yang lebih rendah, yang memiliki
keterbatasan dalam mengakses barang dan jasa. Dan yang lebih penting lagi,
pendapatan atau pengeluaran lebih mudah untuk diukur dan dikumpulkan datanya.
Dalam prakteknya, penggunaan pendapatan sebagai indikator hidup layak dijumpai
di negara-negara maju (rich countries). Ini disebabkan di negara maju pendapatan
lebih mudah diukur ketimbang pengeluaran karena sebagian besar pendapatan
rumah tangga atau penduduk berasal dari upah dan gaji. Sebaliknya, penggunaan
pengeluaran sebagai indikator hidup layak dijumpai di negara-negara berkembang
(developed
countries)
termasuk
Indonesia
dan
negara-negara
miskin
(less-
developed countries). Ini disebabkan sebagian besar pendapatan rumah tangga atau
penduduk di negara-negara miskin dan berkembang berasal dari sektor informal
dan self-employment sehingga relatif lebih sulit diukur dibanding pengeluaran.
Setelah indikator hidup layak ditetapkan (pendapatan atau pengeluaran), tahap
selanjutnya adalah menentukan sebuah standar minimum yang harus dipenuhi oleh
setiap rumah tangga atau individu agar dapat hidup layak. Standar ini berupa
keranjang komoditi (basket commodities) yang terdiri dari barang dan jasa
kebutuhan dasar sehari-hari (basic needs) yang dinyatakan dalam suatu nilai
nominal tertentu. Dalam prakteknya, standar minimum ini ditentukan dengan
menggunakan suatu metode statistik. Selanjutnya rumah tangga atau penduduk
yang tidak mampu memenuhi standar minimum tersebut disebut “miskin”. Standar
minimum inilah sebetulnya yang disebut dengan garis kemiskinan (poverty line) itu.
Suatu ambang batas (threshold) yang memisahkan rumah tangga atau penduduk
miskin (poor) dan nir-miskin (non-poor).
B. Pemberdayaan
Pemberdayaan berasal dari bahasa Inggris “empowerment”, yang mempunyai makna dasar
‘pemberdayaan’, di mana ‘daya’ bermakna kekuatan (power). Papilaya (2004) menyatakan
pemberdayaan sebagai upaya menumbuhkan kekuasaan dan wewenang yang lebih besar
kepada masyarakat miskin. Cara dengan menciptakan mekanisme dari dalam (build-in) untuk
meluruskan keputusan-keputusan alokasi yang adil, yakni dengan menjadikan rakyat
mempunyai pengaruh.
Sementara Freire (Sutrisno, 1999) menyatakan empowerment bukan sekedar memberikan
kesempatan rakyat menggunakan sumber daya dan biaya pembangunan saja, tetapi juga
upaya untuk mendorong mencari cara menciptakan kebebasan dari struktur yang opresif.
Konsep lain menyatakan bahwa pemberdayaan mempunyai dua makna, yakni
mengembangkan, memandirikan, menswadayakan dan memperkuat posisi tawar menawar
masyarakat lapisan bawah terhadap kekuatan-kekuatan penekan di segala bidang dan sektor
kehidupan. Makna lainnya adalah melindungi, membela dan berpihak kepada yang lemah,
untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang dan terjadinya eksploitasi
terhadap yang lemah (Prijono dan Pranarka, 1996).
Dalam pandangan Pearse dan Stiefel dinyatakan bahwa pemberdayaan mengandung dua
kecenderungan, yakni primer dan sekunder. Kecenderungan primer berarti proses
pemberdayaan menekankan proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan,
kekuatan atau kemampuan kepada masyarakat agar individu menjadi lebih berdaya.
Sedangkan kecenderungan sekunder melihat pemberdayaan sebagai proses menstimulasi,
mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk
menentukan apa yang menjadi pilihannya (Prijono dan Pranarka, 1996).
Sedangkan dalam kajian ini pengertian “pemberdayaan” dimaknai sebagai segala usaha untuk
membebaskan masyarakat miskin dari belenggu kemiskinan yang menghasilkan suatu situasi
di mana kesempatan-kesempatan ekonomis tertutup bagi mereka, karena kemiskinan yang
terjadi tidak bersifat alamiah semata, melainkan hasil berbagai macam faktor yang
menyangkut kekuasaan dan kebijakan, maka upaya pemberdayaan juga harus melibatkan
kedua faktor tersebut.
Salah satu indikator dari keberdayaan masyarakat adalah kemampuan dan kebebasan untuk
membuat pilihan yang terbaik dalam menentukan atau memperbaiki kehidupannya. Konsep
pemberdayaan merupakan hasil dari proses interaksi di tingkat ideologis dan praksis. Pada
tingkat ideologis, pemberdayaan merupakan hasil interaksi antara konsep topdown dan bottom-up, antara growth strategy dan people centered strategy. Sedangkan di
tingkat praksis, proses interaksi terjadi melalui pertarungan antar ruang otonomi. Maka,
konsep pemberdayaan mencakup pengertian pembangunan masyarakat (community
development) dan pembangunan yang bertumpu pada masyarakat (community based
development). Community development adalah suatu proses yang menyangkut usaha
masyarakat dengan pihak lain (di luar sistem sosialnya) untuk menjadikan sistem masyarakat
sebagai suatu pola dan tatanan kehidupan yang lebih baik, mengembangkan dan
meningkatkan kemandirian dan kepedulian masyarakat dalam memahami dan mengatasi
masalah dalam kehidupannya, mengembangkan fasilitas dan teknologi sebagai langkah
meningkatkan daya inisiatif, pelayanan masyarakat dan sebagainya. Secara
filosofis, community development mengandung makna ‘membantu masyarakat agar bisa
menolong diri sendiri’, yang berarti bahwa substansi utama dalam aktivitas pembangunan
masyarakat adalah masyarakat itu sendiri.
Sunyoto Usman (2003) mengungkapkan bahwa pembangunan yang dilakukan oleh suatu
negara pada saat ini tidak akan dapat lepas dari pengaruh globalisasi yang melanda dunia.
Persoalan politik dan ekonomi tidak dapat lagi hanya dipandang sebagai persoalan nasional.
Keterkaitan antar negara menjadi persoalan yang patut untuk diperhitungkan. Masalah
ekonomi atau politik yang dihadapi oleh satu negara membawa imbas bagi negara lainnya
dan permasalahan tersebut akan berkembang menjadi masalah internasional.
Di negara-negara sedang berkembang, wacana pemberdayaan muncul ketika pembangunan
menimbulkan disinteraksi sosial, kesenjangan ekonomi, degradasi sumber daya alam,
dan alienasi masyarakat dari faktor produksi oleh penguasa (Prijono, 1996).
Menurut Maria Fraskho (Papilaya, 2004), konsep pemberdayaan lahir sebagai antitesis
terhadap model pembangunan dan model industrialisasi yang kurang memihak pada rakyat.
Konsep ini dibangun sebagai kerangka logik sebagai berikut; (1). Proses pemusatan
kekuasaan terbangunan dari pemusatan penguasaan faktor produksi; (2). Pemusatan
kekuasaan faktor produksi akan melahirkan masyarakat pekerja dan masyarakat pengusaha
pinggiran; (3). Kekuasaan akan membangun bangunan atas atau sistem pengetahuan, sistem
politik, sistem hukum dan ideologi yang manipulatif, untuk memperkuat legitimasi; (4).
Kooptasi sistem pengetahuan, sistem hukum sistem politik dan ideologi, secara sistematik
akan menciptakan dua kelompok masyarakat, yaitu masyarakat berdaya dan masyarakat
tunadaya. Akhirnya yang terjadi adalah dikotomi, yaitu masyarakat yang berkuasa dan disisi
lain manusia dikuasai. Untuk membebaskan situasi menguasai dan dikuasai, maka harus
dilakukan pembebesan melalui proses pemberdayaan bagi yang dikuasai (empowerment of
the powerless).
Menurut John Friedman (Prijono, 1996), Pemberdayaan dapat diartikan sebagai perolehan
kekuatan dan akses terhadap sumber daya untuk mencari nafkah. Bahkan dalam perspektif
ilmu politik, kekuatan menyangkut pada kemampuan untuk mempengaruhi orang lain. Istilah
pemberdayaan sering dipakai untuk menggambarkan keadaan seperti yang diinginkan oleh
individu. Dalam keadaan tersebut masing-masing individu mempunyai pilihan dan kontrol
pada semua aspek kehidupannya. Menurut Prijono (1996), konsep ini merupakan bentuk
penghargaan terhadap manusia atau dengan kata lain “memanusiakan manusia”. Melalui
pemberdayaan akan timbul pergeseran peran dari semula “korban pembangunan” menjadi
“pelaku pembangunan”. Perpektif pembangunan memandang pemberdayaan sebagai sebuah
konsep yang sangat luas. Pearse dan Stiefel dalam Prijono (1996) menjelaskan bahwa
pemberdayaan partisipatif meliputi menghormati perbedaan, kearifan lokal, dekonsentrasi
kekuatan dan peningkatan kemandirian.
Untuk Download Karya ilmiah ini, Silahkan KLIK DI SINI
BAB III
METODE PENULISAN
Penulisan
karya
ilmiah
ini
menggunakan
metode
pengamatan
fenomena
dan referensial study. Hasil pengamatan terhadap fenomena yang terjadi digunakan
sebagai dasar pemikiran dalam pembahasan suatu masalah serta mencari masalah
mana yang paling penting saat ini dan layak untuk diangkat. Pengamatan ditujukan
pada
realita
penanggulangan
kemiskinan
yang
dilakukan
pemerintah
yang
dipandang belum efektif dalam pelaksanaannya karena cenderung menitikberatkan
kepada konsep pertolongan (kedermawanan) yang menimbulkan ketergantungan
kepada masyarakat bahkan memperbanyak angka korupsi di negara ini. Untuk itu,
perlu diperkenalkan paradigma pemberdayaan manusia sebagai konsep yang lebih
efektif dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Dengan demikian strategi
pemberdayaan manusia dapat menjadi gebrakan yang sangat penting dalam
mengurangi
angka
kemiskinan
bahkan
pula
dalam
menunjang
program
pembangunan. Metode referensial study digunakan untuk memaparkan referensi
teoritis dalam kajian pustaka melalui analisis deduktif dari teori dan pendapat para
ahli yang diperoleh dari buku maupun tulisan-tulisan dari media elektronik (internet)
yang relevan dengan permasalahan yang diangkat.
Metode analisis yang digunakan dalam karya tulis ini adalah deskriptif analisis yaitu
menganalisis permasalahan yang ada dari hasil pengamatan atau identifikasi dan
studi kepustakaan tentang permasalahan serta hubungan antara masalah tersebut
yang didasarkan pada suatu teori atau konsep keilmuan yang relevan. Kegiatan
analisis dalam karya tulis ini meliputi pengolahan data, melakukan sintesis,
menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari selanjutnya memutuskan apa
yang akan dilakukan.
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, penulis menarik kesimpulan yang
konsisten dengan analisis dan sintesis permasalahan serta memberikan rekomendasi
berupa
kemungkinan
atau
prediksi
transfer
gagasan.
Untuk Download Karya ilmiah ini, Silahkan KLIK DI SINI
BAB IV
ANALISIS DAN SINTESIS
a. Analisis
Menurut Chambers (1983) kemiskinan bersifat multi dimensional, yaitu terkait
dengan masalah:
1.
Kesejahteraan, yaitu: terpenuhinya kebutuhan sandang, pangan, papan, kesehatan
dan pendidikan;
2.
Akses terhadap sumberdaya, yaitu: adanya peluang untuk memanfaatkan sarana
untuk menggunakan fasilitas dan berproduksi, seperti: menggunakan teknologi,
informasi,
kredit
modal,
pelayanan
kesehatan,
sumber
daya
alam,
listrik,
telekomunikasi;
3.
Kesadaran kritis, yaitu: kesadaran rakyat akan hak dan dapat memperjuangkan hak,
seperti: mampu menentukan pilihan, berani berpikir bebas, berani mempertanyakan
segala nilai, norma, tatanan yang ada, baik dari adat istiadat, agama, negara dan
berani bertindak mengubahnya agar menjadi lebih adil;
4.
Partisipasi, yaitu peran rakyat untuk bisa terlibat atau ikut andil dalam pengambilan
keputusan dan menjadikannya lebih aktif bukan sebagai anggota yang pasif, dan
5.
Posisi tawar, yaitu: Kemampuan rakyat untuk menentukan nasib dan kepentingan
sendiri, pemanfaatan sumberdaya dan punya kekuatan untuk menuntut hak.
Selaras dengan pendapat tersebut, Prijono dan Prainaka (1996) merangkum
beberapa dimensi kemiskinan yang terkait dengan bidang:
1.
Politik, yaitu tidak memiliki akses ke proses pengambilan keputusan yang
menyangkut hidup mereka;
2.
Sosial, yaitu tersingkir dari institusi utama masyarakat yang ada
3.
Ekonomi, yaitu rendahnya kualitas SDM, termasuk kesehatan, pendidikan, dan
keterampilan yang berdampak pada penghasilan;
4.
Budaya, yaitu terperangkap dalam budaya rendahnya kualitas SDM, seperti:
rendahnya etos kerja, berpikir pendek dan fatalisme, dan
5.
Lingkungan hidup, yaitu rendahnya pemilikan aset fisik termasuk aset lingkungan
hidup, seperti: air bersih dan penerangan
Sejak awal kemerdekaan, bangsa Indonesia telah mempunyai perhatian besar
terhadap
terciptanya
masyarakat
yang
adil
dan
makmur.
Program-program
pembangunan yang dilaksanakan juga selalu memberikan perhatian besar terhadap
upaya penanggulangan kemiskinan. Meskipun demikian, masalah kemiskinan sampai
saat
ini
terus
menerus
menjadi
masalah
yang
berkepanjangan.
Upaya
penanggulangan kemiskinan yang dilakukan pemerintah menghasilkan istilah “gali
lubang,tutup lubang”. Artinya program yang diupayakan pemerintah belum efektif
dalam pelaksanaannya. (Papilaya:2004).
Program yang dilakukan dalam rangka penanggulangan kemiskinan seperti cerita
tentang petani yang memotong rumput di ladang tanpa mencabut sampai ke akarakarnya. Paradigma lama penanggulangan kemiskinan tersebut menggunakkan
pendekatan ekonomi yang bersifat kedermawanan (charity). Kemiskinan tidak dapat
dapat
ditanggulangi
dengan
pendekatan
atau
strategi
yang
menolak
serta
mengingkari realitas yang menjadi penyebab kemiskinan itu sendiri yang tentunya
berasal dari Sumber Daya Manusia. Strategi yang instrumental yakni mencoba
mengurangi ciri-ciri kemiskinan yang ada pada komunitas miskin tertnyata hanya
mampu menyelesaikan masalah dalam jangka pendek dan justru memberi peluang
untuk kembali terjebak dalam kemiskinan yang lebih dalam. (Chambers:1983).
b. Sintesis
Berdasarkan realita penanggulangan kemiskinan di Indonesia yang masih berporos
pada paradigma lama penanggulangan kemiskinan yaitu dengan konsep pertolongan
(kedermawanan) yang pada kenyataannya hanya memberikan solusi jangka pendek,
maka sudah seharusnya negara ini beranjak kepada paradigma baru yang lebih
berpusat pada manusia melalui konsep pemberdayaan Sumber Daya Manusia.
Penerapan
strategi
penanggulangan
pemberdayaan
masalah
merupakan
kemiskinan
di
kunci
Indonesia.
utama
Upaya
dalam
upaya
penanggulangan
kemiskinan melalui konsep pemberdayaan secara konseptual dapat dilakukan
melalui 3 jalur strategis, yaitu :
1. Peningkatan kualitas masyarakat melalui pendidikan. Pendidikan merupakan
bagian terpenting dalam proses pemberdayaan masyarakat. Konsep pendidikan akan
mempengaruhi cara berpikir dan bertidak setiap individu. Saat ini, Indonesia
sementara menerapkan konsep pendidikan yang bersifat disentralistik, artinya,
masyarakat diberikan kebebasan untuk mengembangkan potensi dan kemampuan
yang ada di masing-masing daerah. Konsep pendidikan ini tertuang dalam Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan. Namun sayangnya, pemerintah tidak memberikan
kebebasan sepenuhnya kepada masing-masing daerah, karena masih diterapkannya
sistim
ujian
nasional.
Masyarakat
tidak
diberikan
kesempatan
untuk
mengembangkan potensi yang ada karena pada ujung-ujungnya sistem pendidikan
mengarah ke konsep sentralistik. Masyarakat terlalu dikekang dengan sistem yang
ada sehingga sifat ketergantungan kepada pemerintah akan selalu ada. Untuk itu,
penerapan
sistem
pendidikan
yang
disentralistik
sangat
diperlukan
untuk
meningkatkan sumber daya manusia tanpa adanya intervensi dari pemerintah yang
mengekang masyarakat untuk maju dan berkembang.
2. Peningkatan
kapabilitas
masyarakat,
peningkatan
kemampuan
dasar
masyarakat miskin untuk meningkatkan pendapatan melalui langkah peningkatan
keterampilan usaha, permodalan, pra-sarana, teknologi serta informasi pasar.
Misalnya, memberikan pelatihan-pelatihan dalam manajemen usaha mandiri dan
bagaimana memanfaatkan teknologi dan informasi kepada masyarakat.
3. Peningkatan kapasitas Masyarakat, dilakukan untuk memperkuat kelembagaan
sosial, politik, ekonomi dan budaya masyarakat, dan memperluas partisipasi
masyarakat miskin dalam pengambilan keputusan kebijakan publik yang menjamin
penghormatan,
perlindungan,
dan
pemenuhan
kebutuhan
dasar.
Misalnya,
membentuk organisasi-organisasi sosial yang menjadi wadah bagi masyarakat untuk
berpartisipasi dan menyalurkan aspirasi.
Masalah kemiskinan merupakan masalah yang belum sepenuhnya teratasi di
Indonesia. Hal ini dikarenakan warga masyarakat miskin Indonesia semakin hari
semakin bertambah. Konsep pemberdayaan merupakan solusi tepat untuk persoalan
kemiskinan, karena :
1. Demokrasi Proses Pembangunan. Konsep pemberdayaan Masyarakat dipercaya
mampu untuk menjawab tantangan pelibatan aktif setiap warga negara dalam
proses pembangunan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan
tahap evaluasinya.
2. Penguatan Peran Organisasi Kemasyarakatan Lokal. Konsep pemberdayaan
Masyarakat dipercaya mampu untuk menjawab tantangan bagaimana untuk
melibatkan
organisasi
kemasyarakatan
lokal
Organisasi masyarakat lokal merupakan
perubahan
sosial
karena
merekalah
berfungsi
pemegang
yang
paling
dalam
peran
mengerti
pembangunan.
sentral terjadinya
karakter
lapisan
masyarakat paling bawah.
3. Penguatan Modal Sosial. Konsep pemberdayaan dipercaya mampu untuk
menggali dan mempekokoh ikatan sosial di antara warga negara. penguatan modal
sosial mengandung arti pelembagaan nilai-nilai luhur yang bersifat universal, yaitu
kejujuran, kebersamaan, dan kepedulian.
4. Penguatan Kapasitas birokrasi Lokal. Konsep pemberdayaan secara khusus
diyakini mampu untuk meningkatkan fungsi pelayanan publik dan pemerintahan
khususnya kepada penduduk setempat. Konsep pemberdayaan memaksa jajaran
pemerintah lokal untuk perhatian lebih besar kepada rakyatnya agar rakyat dapat
memperoleh dan memenuhi kebutuhan hidupnya baik fisik maupun non-fisik secara
mudah.
5. Mempercepat Penanggulangan Kemiskinan. Konsep pemberdayaan dalam
bentuknya
yang
paling
menonjol
diyakini
dapat
mempercepat
tujuan
penanggulangan kemiskinan, yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin,
karena dalam pendekatan pemberdayaan ini para penyelenggara pembangunan baik
pemerintah
maupun
organisasi
kemasyarakatan
dituntut
untuk
memberikan
pemihakan dan perlindungan kepada rakyat miskin.
Bilamana
hal
tersebut
penanggulangan
menunjukkan
kemiskinan,
angka
penerapannya
diatas
dapat
maka
penurunan
harus
diterapkan
masalah
yang
Indonesia
kemiskinan
signifikan
dilakukan
di
setiap
secara
negara
dalam
ini
tahunnya
terus
hal
akan
namun
menerus.
Untuk Download Karya ilmiah ini, Silahkan KLIK DI SINI
BAB V
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
a. Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan dalam karya tulis ini maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
kemiskinan di Indonesia akan terus ada ketika akar permasalahannya tidak
terjangkau dan tidak dituntaskan. Oleh karena itu, perlu dilakukan rekonstruksi
paradigma penanggulangan kemiskinan yang sementara diterapkan di Indonesia
yaitu dari konsep pertolongan (charity) menjadi konsep pemberdayaan manusia
karena persoalan kualitas Sumber Daya Manusia merupakan hal fundamental yang
menyebabkan terjadinya kemiskinan di Indonesia. Melalui konsep pemberdayaan,
masyarakat tidak lagi menjadi penonton dalam proses pembangunan namun
sebaliknya masyarakatlah yang berperan aktif dalam pelaksanaan pembangunan
negara ini.
b. Rekomendasi
Berdasarkan pemaparan dalam karya tulis ini maka dapat beberapa hal yang dapat
diajukan sebagai rekomendasi yaitu:
1.
Bagi masyarakat
Masyarakat yang merupakan kekuatan dari suatu negara, hendaknya saling
bekerjasama dan harus berperan aktif dalam peningkatan kualitas sumber daya
manusia serta mampu memberikan gagasan-gagasan kreatif yang dapat menunjang
pembangunan sehingga
negara ini mampu keluar dari kubangan kemiskinan.
Masyarakat juga harus bisa mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah, apakah
masih relevan dengan keadaan masyarakat saat ini
2.
Bagi Pemerintah
Pemerintah perlu mengevaluasi dan mengontrol kembali program penanggulangan
kemiskinan, apakah efektif atau masih terdapat kelemahan maupun penyimpanganpenyimpangan dalam pelaksanaannya. Pemerintah seharusnya berpusat pada
peningkatan kualitas sumber daya manusia dalam pelaksanaan penanggulangan
kemiskinan
serta
memberikan
kebebasan
kepada
masyarakat
untuk
bisa
mengembangkan kemampuan yang dimiliki tanpa adanya intervensi dari pemerintah
sehingga masyarakat tidak akan bergantung sepenuhnya kepada pemerintah.
Untuk Download Karya Ilmiah ini, Silahkan KLIK DI SINI
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Khairil. 2009. “Solusi Kemiskinan”. http://sahabatbaru.blogspot.com (diakses pada
12 April 2013)
Badan Pusat Statistik, 2012. Penduduk Miskin (PoorPopulation). http://www.bps.go.id (diakses pada
12 April 2013)
Bank
dunia.
2000. “A
Sourcebook
for
Poverty
Reduction
Strategies”.http://www.worldbank.org (diakses pada 01 Mei 2013)
BPS. 1997; 1999; 2001; 2002. Statistik Indonesia. http://www.bps.go.id (diakses pada 01 Mei 2013)
Chambers, Robert. 1983. “Rural Development: Putting the Last First”. England: Longman Scientific.
Ginanjar, 1997. “Pembangunan Masyarakat Desa, Asas, Kebijaksanaan, dan Manajemen”.
Yogyakarta: Media Widya Mandala.
Mujiyadi. B dan Gunawan. 2000. “Pemberdayaan Masyarakat Miskin”. Jakarta: Batilitbang Depsos.
Prijono, Pranaika. 1996. “Pengembangan Sumberdaya Manusia: Konsepsi Makro untuk Pelaksanaan
di Indonesia”. Jakarta: Izufa Gempita.
Papilaya,
Eddy.
2004. “Rekonstruksi
upaya
penanggulangan
kemiskinan”,http://www.oocities.org (diakses pada 30 Maret 2013)
Sutrisno. 1999. “Dalam Perangkap Kemiskinan, Problem, dan Strategi Pengentasannya”. (ed,
Bagong Suyanto), http://www.airlanggapress.com(diakses pada 01 Mei 2013)
Smeru. 2001. “Strategi Penanggulangan Kemiskinan Nasional”. (Laporan Penelitian Lembaga
Penelitian SMERU), http://www.smeru.co.id (diakses pada 01 Mei 2013)
Suharto, Edi. 2005. “Kemiskinan dan Keberfungsian Sosial”. Bandung: STKS.
Sunyoto, Usman. 2008. “Pengetasan Kemiskinan” http://www.gemari.com (diakses pada 01 Mei
2013)
United Nation. 1995. “World Summit for Social Development Copenhagen”,http://www.un.org.
(diakses pada 01 April 2013)
REKONSTRUKSI UPAYA PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI
INDONESIA DENGAN STRATEGI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Disusun Untuk Disajikan pada Pemilihan Mahasiswa Berprestasi Program
Sarjana Tingkat Universitas
Oleh :
Ervina Oktavia Kilis
(10312008)
UNIVERSITAS NEGERI MANADO
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS
Mei 2013
LEMBAR PENGESAHAN
PEMILIHAN MAHASISWA BERPRESTASI PROGRAM SARJANA
TINGKAT UNIVERSITAS
I.
Judul Kegiatan
: REKONSTRUKSI UPAYA
PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI
INDONESIA DENGAN STRATEGI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
II. Nama Penulis
:
ERVINA OKTAVIA KILIS (10312008)
III. Tanggal Pengesahan : TONDANO, 06 MEI 2013
TONDANO, 06 MEI 2013
Mengetahui,
Pembantu Dekan III FBS
Dra. Nurmin Samola, M.Hum
NIP. 19600909 198603 2002
Dosen Pembimbing
Dra. Nurmin Samola, M.Hum
NIP. 19600909 198603 2002
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kasih, kuasa dan
perkenanan-Nya yang telah dinyatakan selama ini sehingga penulisan karya ilmiah yang
berjudul “Rekonstruksi Upaya Penanggulangan Kemiskinan Dengan Strategi Pemberdayaan
Masyarakat” boleh rampung dengan segala baik.
Kemiskinan merupakan hal yang tak asing lagi di telinga umat manusia. Kemiskinan
dewasa ini, sudah merupakan permasalahan global yang tak terhindarkan khususnya di
Negara Indonesia. Berbagai upaya pun dilakukan oleh pemerintah dalam rangka
menanggulangi masalah yang tak kunjung usai itu. Namun, suatu permasalahan tak akan
teratasi jika tidak di pangkas sampai pada akar-akarnya. Karya ilmiah ini akan memaparkan
paradigma lama dan baru upaya penanggulangan kemiskinan di Indonesia guna memberikan
gagasan-gagasan kreatif tentang strategi yang efektif dalam menghadapi masalah tersebut.
Akhirnya, “Tiada Gading Yang Tak Retak”. Penulis menyadari bahwa karya tulis ini
masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang konstruktif sangat
diharapkan untuk perbaikan karya ilmiah ini. Penulis pun berharap semoga karya ilmiah ini
dapat memberikan manfaat bagi pembaca.
Tondano, 01 Mei 2013
Penulis
Ervina Oktavia Kilis
10312008
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN………………………………………………. i
KATA PENGANTAR ……..……………………………………………. ii
DAFTAR ISI
……………………………………………………………iii
RINGKASAN ……………………………………………………………iv
BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………….1
A.
B.
C.
D.
Latar Belakang ………. ………………………………………….…1
Rumusan Masalah ………. …………………………………………4
Gagasan Penulis ………….……………………………………….4
Tujuan dan Manfaat ………..…………………………………….. 4
BAB II KAJIAN TEORI
………………………………………….……6
A. Kemiskinan ………..………………………………………………..6
B. Pemberdayaan …….……………………………………………… 10
BAB III METODE PENULISAN
..…………………………………..14
BAB IV ANALISIS DAN SINTESIS …………………………………15
A. Analisis …………..………………………………………………15
B. Sintesis ………,,,…………………………………………………16
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ……………………...20
A. Kesimpulan ………..………………………………………………20
B. Rekomendasi ……..………………………………………………20
DAFTAR PUSTAKA ……..……………………………………………..22
RINGKASAN
Dewasa ini, kemiskinan telah menjadi persoalan global yang kompleks dan tak kunjung usai.
Sebuah fenomena yang sangat krusial yang menentukan pergerakan sebuah negara menuju
derajat keberhasilan pembangunan ke arah yang lebih maju. Sejak dicanangkan konsep
pembangunan pada akhir masa perang dunia kedua, ternyata pembangunan membuat angka
kemiskinan meningkat. Gagasan modernisasi pun rontok karena tidak mampu meneteskan
hasil-hasil pembangunan kepada kelompok masyarakat termiskin, malahan menciptakan
orang miskin baru setiap tahunnya.
Pembangunan di Indonesia saat ini telah membawa banyak perubahan dalam berbagai aspek
dalam kehidupan masyarakat, baik pada kawasan pedesaan maupun perkotaan. Perubahan
tersebut membawa dampak tidak hanya terhadap lingkungan fisik, tapi juga sistem nilai
dalam tatanan kehidupan sosial bermasyarakat. Namun sayangnya perubahan yang diciptakan
oleh pembangunan membawa dampak yang menyertainya yaitu telah melahirkan
keterbelakangan dan kemiskinan dalam masyarakat. Kekayaan alam yang sangat berpotensi
untuk meningkatkan perekonomian masyarakat ternyata tidak dimanfaatkan dengan baik
karena kualitas SDM yang sangat memprihatinkan. Masih banyak kita dapati para pengemis
dan gelandangan berkeliaran tidak hanya di pedesaan bahkan di kota-kota besar yang sudah
menjadi tontonan setiap hari. Belum lagi anak-anak bangsa yang putus sekolah dikarenakan
biaya pendidikan yang mahal. Kini di Indonesia jerat kemiskinan semakin parah. Kemiskinan
bukan semata –mata persoalan ekonomi melainkan kemiskinan kultural dan struktural.
Melihat realita kemiskinan yang ada, pemerintah pun giat melaksanakan berbagai macam
program sebagai strategi penanggulangan kemiskinan, namun tidak dapat dipungkiri bahwa
ternyata program pengetasan kemiskinan oleh pemerintah belum berjalan seperti apa yang
diharapkan. Masih terdapat banyak sekali penyimpangan-penyimpangan dalam program
pemerintah, lebih lagi program tersebut bersifat tidak merata dan hanya untuk
penanggulangan jangka pendek yang pada akhirnya akan menjadikan masyarakat bergantung
pada bantuan material dari pemerintah dan akan lebih miskin lagi dari sebelumnya.
Kemiskinan di Indonesia masih menunjukkan angka yang sangat memprihatinkan dari tahun
ke tahun. Seperti sebuah aksi gali lubang tutup lubang yang tak berkesudahan. Pemerintah
seperti memangkas rumput namun tidak sampai pada akarnya. Sebenarnya persoalan
kemiskinan berakar pada kualitas sumber daya manusia. Namun sayangnya perhatian
pemerintah pada penanggulangan kemiskinan hanya berporos pada pendekatan pertolongan
(charity) yang bersifat jangka pendek.
Di tengah upaya untuk semakin menajamkan program penanggulangan kemiskinan di
Indonesia, perlu dicari metode evaluasi dan monitoring yang tepat agar kualitas pelaksanaan
program penanggulangan kemiskinan menjadi semakin baik dan tepat sasaran. Dengan
indikator-indikator yang objektif dan terukur maka akan lebih mudah melakukan perbaikan
dari berbagai segi agar program menjadi lebih berkelanjutan dan tidak bersifat
kedermawanan (charity). Sebuah konsep yang berpusat pada pemberdayaan manusia
merupakan strategi yang paling efektif dalam menanggulangi kemiskinan karena kemiskinan
tidak dapat ditanggulangi dengan pendekatan yang mengingkari realitas yang menjadi sumber
penyebab kemiskinan yaitu manusia itu sendiri. Pendekatan yang instrumental yakni
mengurangi ciri-ciri kemiskinan yang ada pada komunitas miskin ternyata hanya mampu
menyelesaikan masalah untuk jangka pendek dan justru memberi peluang untuk kembali
terjebak dalam kemiskinan yang lebih dalam. Pada akhirnya program penanggulangan
kemiskinan justru menghasilkan penguatan masalah kemiskinan.
Dengan
demikian,
perlu
dilakukan
rekonstruksi
paradigma
penanggulangan
kemiskinan yang sementara diterapkan di Indonesia yaitu dari konsep pertolongan
(charity) menjadi konsep pemberdayaan manusia karena persoalan kualitas Sumber
Daya
Manusia
merupakan
hal
fundamental
yang
menyebabkan
terjadinya
kemiskinan di Indonesia. Melalui konsep pemberdayaan, masyarakat tidak lagi
menjadi penonton dalam proses pembangunan namun sebaliknya masyarakatlah
yang berperan aktif dalam pelaksanaan pembangunan negara ini.
Untuk itu, Pemerintah perlu mengevaluasi dan mengontrol kembali program
penanggulangan kemiskinan, apakah efektif atau masih terdapat kelemahan
maupun
penyimpangan-penyimpangan
dalam
pelaksanaannya.
Pemerintah
seharusnya berpusat pada peningkatan kualitas sumber daya manusia dalam
pelaksanaan penanggulangan kemiskinan. Masyarakat yang merupakan kekuatan
dari suatu negara, hendaknya saling gotong-royong dan bekerjasama dengan
pemerintah dalam proses penanggulangan kemiskinan dan harus berperan aktif
dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia serta mampu memberikan
gagasan-gagasan kreatif yang dapat menunjang pembangunan sehingga negara ini
mampu keluar dari kubangan kemiskinan.
Untuk Download Karya ilmiah ini, Silahkan KLIK DI SINI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejarah
peradaban
manusia
mencatat
bahwa
kemiskinan
merupakan
suatu
fenomena sosial terbesar yang dialami oleh setiap negara di berbagai belahan dunia,
baik negara yang sedang berkembang maupun negara yang sudah mempunyai
kemapanan di bidang ekonomi. Tragedi kemanusiaan ini pada dasarnya bukan hanya
menjadi masalah lokal, regional dan nasional tetapi telah menjadi perhatian, isu dan
gerakan global. Hal ini dapat dicermati dari : (1) pertemuan World Summit for Social
Development Copenhagen 1995 pada tanggal 6-12 maret 1995; (2) pertemuan pada
Forum Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Pangan (World Food Summit) di Roma pada
tanggal 12 Juni 2002; (3) KTT Milenium PBB 2001; (4) Konferensi KTT mengenai
Pembangunan Berkelanjutan di Johannesburg, Afrika Selatan tanggal 2-3 September
2002; (5) Seminar Nasional tentang Tantangan Penanggulangan Kemiskinan Dalam
Era
Otonomi
Daerah
;
(6)
Seminar
Internasional
tentang
Penanggulangan
Kemiskinan di Hanoi, Vietnam tanggal 10-11 Juni 2004; (7) Konferensi 55 negara di
PBB tentang Tindakan Memerangi Kelaparan dan Kemiskinan, pada tanggal 20
September 2004, dan berbagai pertemulan berskala nasional dan internasional
lainnya.
Indonesia yang masuk dalam golongan negara yang sedang berkembang juga tak
asing dengan fenomena kemiskinan yang melanda seluruh negara di berbagai
belahan dunia. Kemiskinan sesungguhnya bukanlah persoalan baru di negeri ini.
Pada dekade
1976-1996,
persentase
penduduk
miskin
di Indonesia
pernah
mengalami penurunan yaitu dari 40,1% menjadi 11,3%, namun pada periode 19961998 angka ini menjadi 24,29% atau 49,5 juta jiwa. Bahkan International Labour
Organization (ILO) memperkirakan jumlah orang miskin di Indonesia mencapai
129,6 juta atau sekitar 66,3% (BPS, 1999). Pada tahun 2002, persentase kemiskinan
telah mengalami penurunan, namun secara absolut jumlah mereka masih tergolong
tinggi, yaitu 43% atau sekitar 15,6 juta (BPS dan Depsos 2002). Pada September
2011 mencapai 29,89 juta orang atau sekitar 12,36 % (BPS 2012). Walaupun
mengalami
penurunan
setiap
tahunnya
namun
angka
kemiskinan
tersebut
mengindikasikan konsep model yang dibangun belum mampu membentuk sosial
ekonomi masyarakat yang tangguh.
Di Indonesia, perang terhadap kemiskinan telah dikumandangkan secara eksplisit
sejak republik ini lahir. Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945, para founding fathers kita secara tegas telah menyebutkan
bahwa salah satu tujuan pokok dari pembangunan nasional adalah terwujudnya
kesejahteraan umum bagi seluruh rakyat Indonesia dan tujuan ini hanya akan
terwujud jika tak ada lagi penduduk negeri ini yang hidup dalam belenggu
kemiskinan.
Namun
apakah
hal
ini
bisa
terwujud,
sedangkan
negara superpowersekalipun belum bisa terhindar dari fenomena global ini.
Untuk memenangkan pertarungan melawan kemiskinan, hal pertama yang harus
dilakukan
yaitu
mendefinisikan
kemiskinan
tersebut
secara
mendalam
dan
mengukurnya. Dari pengukuran kemiskinan akan diperoleh ragam statistik (data)
kemiskinan yang dapat menjelaskan tentang berbagai hal, seperti siapa si miskin
(profile) dan seberapa banyak jumlahnya (incidence of poverty)—baik secara absolut
maupun suatu persentase tertentu dari total penduduk suatu wilayah. Informasi
seperti ini sangat penting bagi pemerintah/institusi untuk menentukan kebijakan
yang harus diambil dan program yang harus dijalankan untuk mengeluarkan si
miskin dari kubangan kemiskinan, sekaligus untuk memonitor dan mengevaluasi
keberhasilan langkah-langkah yang telah ditempuh dalam upaya mereduksi jumlah
penduduk miskin dari waktu ke waktu.
Pada dasarnya pemerintah telah berusaha keras untuk menekan angka kemiskinan
setiap tahunnya dengan berbagai program penanggulangan kemiskinan, namun
dengan melihat realita kehidupan Bangsa Indonesia saat ini sepertinya program dari
pemerintah yang lebih menitikberatkan konsep pertolongan (kedermawanan) masih
belum berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan. Program pemerintah seperti
Bantuan Langsung Tunai (BLT), Beras untuk Rakyat Miskin (RASKIN), Program
Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM) dalam pelaksanaannya ternyata
masih belum efektif karena banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan yang
dilakukan
oleh
orang-orang
yang
tidak
bertanggung
jawab.
Permasalahan
kemiskinan pada dasarnya berakar dari Sumber Daya Manusia (SDM) yang tidak
memiliki kemampuan apa-apa karena tingkat pendidikan yang rendah.
Dalam
mengatasi
masalah
kemiskinan
diperlukan
kajian
yang
menyeluruh
(comprehensif), sehingga dapat dijadikan acuan dalam merancang program
pembangunan
kesejahteraan
sosial
yang
pemberdayaan. Konsep pemberdayaan
lebih
menekankan
pada
konsep
dapat diartikan sebagai upaya untuk
menolong yang lemah atau tidak berdaya (powerless) agar mampu (berdaya) baik
secara fisik, mental dan pikiran untuk mencapai kesejahteraan sosial hidupnya.
Dalam konteks ini, mereka dipandang sebagai aktor yang mempunyai peran penting
untuk mengatasi masalahnya. Menurut Mujiyadi B. dan Gunawan (2000) :
Pemberdayaan merupakan suatu proses peningkatan kondisi kehidupan dan
penghidupan yang ditujukan kepada masyarakat miskin. Masyarakat miskin
merupakan sumber daya manusia yang berpotensi untuk berpikir dan bertindak
yang pada saat ini memerlukan “penguatan” agar mampu memanfaatkan daya
(power) yang dimiliki.
Jadi, dengan indikator-indikator yang obyektif dan terukur, maka akan lebih mudah
melakukan perbaikan-perbaikan dari berbagai segi agar program penanggulangan
kemiskinan
menjadi
lebih
berkelanjutan
(sustainable)
dan
tidak
bersifat
kedermawanan (charity).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah di kemukakan di atas, maka
rumusan masalah dalam karya tulis ini adalah :
Strategi apa yang harus dilakukan dalam upaya penanggulangan kemiskinan di
Indonesia dengan melihat realita kemiskinan yang ada ?
C. Gagasan Penulis
Realita kemiskinan di negara ini merupakan permasalahan yang kompleks dan
bersifat multidimensional serta bukan hal yang mudah untuk dituntaskan. Oleh
karena itu, upaya penanggulangan kemiskinan harus dilakukan secara komprehensif,
mencakup berbagai aspek kehidupan masyarakat, dan dilaksanakan secara terpadu.
Beberapa pakar ekonomi berasumsi bahwa program penanggulangan kemiskinan
yang sudah dan sementara dilaksanakan belum berhasil mengatasi masalah
kemiskinan di negeri ini. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa kelemahan
mendasar, salah satunya yaitu upaya pengetasan kemiskinan lebih terfokus pada
penyaluran bantuan sosial (orientasi kedermawanan) untuk orang miskin, bukan
kepada pemberdayaan Sumber Daya Manusia, sehingga memperburuk moral serta
menimbulkan perilaku ketergantungan dan korupsi dalam penyalurannya. Fenomena
tersebut mengindikasikan bahwa sesungguhnya upaya penanggulangan kemiskinan
yang
sementara
dilakukan
oleh
pemerintah
masih
belum
efektif
dalam
pelaksanaannya. Untuk itu, program pemberdayaan SDM merupakan konsep paling
efektif dalam upaya penanggulangan kemiskinan karena dengan program ini maka
masyarakat tidak lagi menjadi penonton dalam proses pembangunan. Dalam hal ini
pemberdayaan tidak lagi menjadi sesuatu yang teoritis melainkan menjadi alat untuk
memutarbalikkan proses pemiskinan.
D. Tujuan dan Manfaat
Adapun tujuan penulisan karya tulis ini adalah untuk memberikan penjelasan
komperhensif tentang strategi pemberdayaan yang merupakan konsep kunci dalam
upaya penanggulangan kemiskinan di Indonesia saat ini. Berdasarkan tujuan
penulisan karya tulis ini, maka manfaat yang diharapkan yaitu tulisan ini mampu
memberikan paradigma baru bagi pemerintah dan masyarakat dalam upaya
penanggulangan kemiskinan di Indonesia lewat konsep pemberdayaan manusia
yang nantinya akan berpengaruh pada proses pembangunan negara ini.
Untuk Download Karya ilmiah ini, Silahkan KLIK DI SINI
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Kemiskinan
Kemiskinan merupakan sebuah kata yang memiliki beragam definisi mulai dari
sekedar ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan primer seperti sandang,
pangan dan papan sampai pada pengertian lebih luas yang mencakup komponenkomponen social dan moral. Definisi kemiskinan mengalami perkembangan sesuai
dengan penyebabnya yaitu pada awal 1990-an, definisi kemiskinan diperluas tidak
hanya berdasarkan tingkat pendapatan, tetapi juga mencakup ketidakmampuan di
bidang
kesehatan,
kemiskinan
telah
pendidikan
dan
perumahan.
mencakup
dimensi
Belakangan
kerentanan,
ini,
pengertian
ketidakberdayaan
dan
ketidakmampuan untuk menyampaikan aspirasi (Smeru, 2001). Pengertian tersebut
berkaitan dengan konsep Chambers (1983) tentang jebakan kemiskinan (deprivation
trap), antara lain: (1) kemiskinan itu sendiri, (2) kelemahan fisik, (3) keterasingan,
(4) kerentanan, dan (5) ketidakberdayaan. Definisi orang miskin hanya dari sudut
pemenuhan konsumsi saja sudah tidak cukup karena: (1) pengertian ini sering tidak
berhubungan dengan definisi kemiskinan yang dimaksud oleh orang miskin itu
sendiri, dan tidak cukup untuk memahami realitas kemiskinan; (2) pengertian
tersebut
dapat
menjerumuskan
kepada
kesimpulan
yang
salah,
bahwa
menanggulangi kemiskinan cukup hanya dengan menyediakan bahan makanan yang
memadai, dan (3) pengertian tersebut telah terbukti tidak bermanfaat bagi
pengambil keputusan ketika merumuskan kebijakan lintas sektoral dan bisa kontra
produktif (Smeru, 2001).
Secara etimologis “kemiskinan” berasal dari kata “miskin” yang artinya tidak
berharta benda dan serba kekurangan. Departemen Sosial dan Biro Pusat Statistik,
mendefinisikan sebagai ketidakmampuan individu dalam memenuhi kebutuhan
dasar minimal untuk hidup layak (BPS dan Depsos,2002). Dalam konteks politik, John
Friedman
dalam
Prijono
(1996)
mendefinisikan
kemiskinan
sebagai
suatu
ketidaksamaan kesempatan dalam mengakumulasikan basis kekuatan sosial. Frank
Ellis (dalam suharto,2005) menyatakan bahwa kemiskinan memiliki berbagai dimensi
yang menyangkut aspek ekonomi, politik dan sosial-psikologis. Orang disebut miskin
jika dalam kadar tertentu sumber daya ekonomi yang mereka miliki di bawah target
atau patokan yang telah ditentukan. Yang dimaksud dengan kemiskinan sosial
adalah kurangnya jaringan sosial dan struktur sosial yang mendukung orang untuk
mendapatkan kesempatan - kesempatan agar produktivitasnya meningkat. Dapat
juga dikatakan bahwa kemiskinan sosial adalah kemiskinan yang disebabkan oleh
adanya faktor-faktor penghambat sehingga mencegah dan menghalangi seseorang
untuk
memanfaatkan
merupakan
masalah
kesempatan
kemanusiaan
–
kesempatan
yang
telah
yang
lama
tersedia.
Kemiskinan
diperbincangkan
karena
berkaitan dengan tingkat kesejahteraan masyarakat dan upaya penanganannya.
Dalam Suharto (2005) kemiskinan adalah suatu keadaan dimana tidak sanggup
memelihara dirinya sendiri dengan taraf kehidupan yang dimiliki dan juga tidak
mampu
memanfaatkan
tenaga,
mental
maupun
fisiknya
dalam
memenuhi
kebutuhannya.
Secara umum, kemiskinan didefinisikan sebagai kondisi saat seseorang atau
sekelompok orang tak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan
dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Meskipun singkat, defenisi ini
menunjukkan bahwa makna kemiskinan sangat luas dan multidimensi, serta tidak
mudah untuk diukur. Contohnya, apa yang dimaksud dengan kehidupan yang
bermartabat itu? Setiap orang tentu akan menginterpretasikannya secara berbedabeda, sehingga dapat mengundang perdebatan panjang. Selain itu, tidak semua hakhak dasar dapat dinyatakan secara kuantitatif, seperti rasa aman dari perlakuan atau
ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosialpolitik.
Definisi kemiskinan yang lebih sederhana dikemukan oleh Bank Dunia
(2000), yakni “Poverty is pronounced deprivation in well-being.” Jika diterjemahkan
secara bebas, kemiskinan didefinisikan oleh Bank Dunia sebagai kondisi serba
kekurangan yang mengakibatkan seseorang tak mampu mencapai derajat hidup
layak (well-being). Meskipun defenisi ini lebih sederhana, tetap saja menyisikan
kerumitan dalam pengukuran kemiskinan. Seperti halnya kemiskinan, hidup layak
atau sejahtera (well-being) adalah repsentasi dari banyak hal: seberapa besar
penghasilan yang diterima seseorang dalam sebulan, apa dan seberapa banyak
yang dimakan dalam sehari, pakaian apa yang dikenakan sehari-hari, di mana
seseorang bertempat tinggal, apakah bersekolah—jika termasuk penduduk usia
sekolah, apakah pergi ke dokter kala sakit, dan masih banyak lagi. Bank dunia
(2000) menyebutkan,
Well-being comes from a capability to function in society. Thus, poverty arises when
people lack they capabilities, and so have inadequate income or education, or poor
health, or insecurity, or low self-confidence, or a sense of powerlessness, or the
absence of rights such as freedom of speech.
Kemiskinan kadang juga berarti tidak adanya akses terhadap pendidikan dan
pekerjaan
yang
mampu
mengatasi
masalah
kemiskinan
dan
mendapatkan
kehormatan yang layak sebagai warga negara. Ada tiga jenis kemiskinan, yaitu :
1. Kemiskinan relatif.
Seseorang yang tergolong miskin relatif sebenarnya telah hidup di atas garis
kemiskinan namun masih berada di bawah kemampuan masyarakat sekitarnya.
2. Kemiskinan kultural.
Miskin kultural berkaitan erat dengan sikap seseorang atau sekelompok masyarakat
yang tidak mau berusaha memperbaiki tingkat kehidupannya sekalipun ada usaha
dari pihak lain yang membantunya.
3. Kemiskinan absolut.
Kemiskinan Absolut adalah sejumlah penduduk yang tidak mampu mendapatkan
sumberdaya yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar. Mereka hidup dibawah
tingkat pendapatan minimum atau dibawah garis kemiskinan internasional. Menurut
Ginanjar (1997), kemiskinan absolut merupakan :
Kondisi kemiskinan yang terburuk yang diukur dari tingkat kemampuan keluarga
untuk membiayai kebutuhan yang paling minimal untuk dapat hidup sesuai dengan
martabat hidup sesuai dengan martabat kemanusiaan.
Pertanyaannya
kemudian,
bagaimana
mengukur
kemiskinan?
Bagaimana
menentukan sebuah indikator hidup layak yang mudah untuk diukur di satu sisi,
serta cukup memuaskan dalam menjelaskan kompleksitas kondisi hidup layak di sisi
yang lain?
Para ahli pengukuran kemiskinan (poverty measurement) telah lama berdiskusi
sekaligus berdebat panjang terkait hal ini. Dan pilihan mereka akhirnya jatuh pada
pendapatan (income) atau pengeluaran (consumption/expenditure) sebagai indikator
hidup layak. Pilihan menggunakan pendapatan atau pengeluaran sebagai indikator
hidup layak tentu saja telah mereduksi dimensi kemiskinan yang maha luas hanya
pada dimensi ekonomi atau moneter (uang) saja. Tetapi, meskipun pendapatan atau
pengeluaran kurang memuaskan (poor) dalam menjelaskan semua dimensi dari
kemiskinan yang hendak diukur. Kedua indikator ini cukup baik (useful) sebagai
indikator hidup layak. Alasannya sederhana, rumah tangga atau individu yang
memiliki pendapatan atau pengeluaran yang tinggi bakal menikmati lebih banyak
barang dan jasa dengan variasi yang juga lebih beragam dibandingkan rumah
tangga dengan pendapatan atau pengeluaran yang lebih rendah, yang memiliki
keterbatasan dalam mengakses barang dan jasa. Dan yang lebih penting lagi,
pendapatan atau pengeluaran lebih mudah untuk diukur dan dikumpulkan datanya.
Dalam prakteknya, penggunaan pendapatan sebagai indikator hidup layak dijumpai
di negara-negara maju (rich countries). Ini disebabkan di negara maju pendapatan
lebih mudah diukur ketimbang pengeluaran karena sebagian besar pendapatan
rumah tangga atau penduduk berasal dari upah dan gaji. Sebaliknya, penggunaan
pengeluaran sebagai indikator hidup layak dijumpai di negara-negara berkembang
(developed
countries)
termasuk
Indonesia
dan
negara-negara
miskin
(less-
developed countries). Ini disebabkan sebagian besar pendapatan rumah tangga atau
penduduk di negara-negara miskin dan berkembang berasal dari sektor informal
dan self-employment sehingga relatif lebih sulit diukur dibanding pengeluaran.
Setelah indikator hidup layak ditetapkan (pendapatan atau pengeluaran), tahap
selanjutnya adalah menentukan sebuah standar minimum yang harus dipenuhi oleh
setiap rumah tangga atau individu agar dapat hidup layak. Standar ini berupa
keranjang komoditi (basket commodities) yang terdiri dari barang dan jasa
kebutuhan dasar sehari-hari (basic needs) yang dinyatakan dalam suatu nilai
nominal tertentu. Dalam prakteknya, standar minimum ini ditentukan dengan
menggunakan suatu metode statistik. Selanjutnya rumah tangga atau penduduk
yang tidak mampu memenuhi standar minimum tersebut disebut “miskin”. Standar
minimum inilah sebetulnya yang disebut dengan garis kemiskinan (poverty line) itu.
Suatu ambang batas (threshold) yang memisahkan rumah tangga atau penduduk
miskin (poor) dan nir-miskin (non-poor).
B. Pemberdayaan
Pemberdayaan berasal dari bahasa Inggris “empowerment”, yang mempunyai makna dasar
‘pemberdayaan’, di mana ‘daya’ bermakna kekuatan (power). Papilaya (2004) menyatakan
pemberdayaan sebagai upaya menumbuhkan kekuasaan dan wewenang yang lebih besar
kepada masyarakat miskin. Cara dengan menciptakan mekanisme dari dalam (build-in) untuk
meluruskan keputusan-keputusan alokasi yang adil, yakni dengan menjadikan rakyat
mempunyai pengaruh.
Sementara Freire (Sutrisno, 1999) menyatakan empowerment bukan sekedar memberikan
kesempatan rakyat menggunakan sumber daya dan biaya pembangunan saja, tetapi juga
upaya untuk mendorong mencari cara menciptakan kebebasan dari struktur yang opresif.
Konsep lain menyatakan bahwa pemberdayaan mempunyai dua makna, yakni
mengembangkan, memandirikan, menswadayakan dan memperkuat posisi tawar menawar
masyarakat lapisan bawah terhadap kekuatan-kekuatan penekan di segala bidang dan sektor
kehidupan. Makna lainnya adalah melindungi, membela dan berpihak kepada yang lemah,
untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang dan terjadinya eksploitasi
terhadap yang lemah (Prijono dan Pranarka, 1996).
Dalam pandangan Pearse dan Stiefel dinyatakan bahwa pemberdayaan mengandung dua
kecenderungan, yakni primer dan sekunder. Kecenderungan primer berarti proses
pemberdayaan menekankan proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan,
kekuatan atau kemampuan kepada masyarakat agar individu menjadi lebih berdaya.
Sedangkan kecenderungan sekunder melihat pemberdayaan sebagai proses menstimulasi,
mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk
menentukan apa yang menjadi pilihannya (Prijono dan Pranarka, 1996).
Sedangkan dalam kajian ini pengertian “pemberdayaan” dimaknai sebagai segala usaha untuk
membebaskan masyarakat miskin dari belenggu kemiskinan yang menghasilkan suatu situasi
di mana kesempatan-kesempatan ekonomis tertutup bagi mereka, karena kemiskinan yang
terjadi tidak bersifat alamiah semata, melainkan hasil berbagai macam faktor yang
menyangkut kekuasaan dan kebijakan, maka upaya pemberdayaan juga harus melibatkan
kedua faktor tersebut.
Salah satu indikator dari keberdayaan masyarakat adalah kemampuan dan kebebasan untuk
membuat pilihan yang terbaik dalam menentukan atau memperbaiki kehidupannya. Konsep
pemberdayaan merupakan hasil dari proses interaksi di tingkat ideologis dan praksis. Pada
tingkat ideologis, pemberdayaan merupakan hasil interaksi antara konsep topdown dan bottom-up, antara growth strategy dan people centered strategy. Sedangkan di
tingkat praksis, proses interaksi terjadi melalui pertarungan antar ruang otonomi. Maka,
konsep pemberdayaan mencakup pengertian pembangunan masyarakat (community
development) dan pembangunan yang bertumpu pada masyarakat (community based
development). Community development adalah suatu proses yang menyangkut usaha
masyarakat dengan pihak lain (di luar sistem sosialnya) untuk menjadikan sistem masyarakat
sebagai suatu pola dan tatanan kehidupan yang lebih baik, mengembangkan dan
meningkatkan kemandirian dan kepedulian masyarakat dalam memahami dan mengatasi
masalah dalam kehidupannya, mengembangkan fasilitas dan teknologi sebagai langkah
meningkatkan daya inisiatif, pelayanan masyarakat dan sebagainya. Secara
filosofis, community development mengandung makna ‘membantu masyarakat agar bisa
menolong diri sendiri’, yang berarti bahwa substansi utama dalam aktivitas pembangunan
masyarakat adalah masyarakat itu sendiri.
Sunyoto Usman (2003) mengungkapkan bahwa pembangunan yang dilakukan oleh suatu
negara pada saat ini tidak akan dapat lepas dari pengaruh globalisasi yang melanda dunia.
Persoalan politik dan ekonomi tidak dapat lagi hanya dipandang sebagai persoalan nasional.
Keterkaitan antar negara menjadi persoalan yang patut untuk diperhitungkan. Masalah
ekonomi atau politik yang dihadapi oleh satu negara membawa imbas bagi negara lainnya
dan permasalahan tersebut akan berkembang menjadi masalah internasional.
Di negara-negara sedang berkembang, wacana pemberdayaan muncul ketika pembangunan
menimbulkan disinteraksi sosial, kesenjangan ekonomi, degradasi sumber daya alam,
dan alienasi masyarakat dari faktor produksi oleh penguasa (Prijono, 1996).
Menurut Maria Fraskho (Papilaya, 2004), konsep pemberdayaan lahir sebagai antitesis
terhadap model pembangunan dan model industrialisasi yang kurang memihak pada rakyat.
Konsep ini dibangun sebagai kerangka logik sebagai berikut; (1). Proses pemusatan
kekuasaan terbangunan dari pemusatan penguasaan faktor produksi; (2). Pemusatan
kekuasaan faktor produksi akan melahirkan masyarakat pekerja dan masyarakat pengusaha
pinggiran; (3). Kekuasaan akan membangun bangunan atas atau sistem pengetahuan, sistem
politik, sistem hukum dan ideologi yang manipulatif, untuk memperkuat legitimasi; (4).
Kooptasi sistem pengetahuan, sistem hukum sistem politik dan ideologi, secara sistematik
akan menciptakan dua kelompok masyarakat, yaitu masyarakat berdaya dan masyarakat
tunadaya. Akhirnya yang terjadi adalah dikotomi, yaitu masyarakat yang berkuasa dan disisi
lain manusia dikuasai. Untuk membebaskan situasi menguasai dan dikuasai, maka harus
dilakukan pembebesan melalui proses pemberdayaan bagi yang dikuasai (empowerment of
the powerless).
Menurut John Friedman (Prijono, 1996), Pemberdayaan dapat diartikan sebagai perolehan
kekuatan dan akses terhadap sumber daya untuk mencari nafkah. Bahkan dalam perspektif
ilmu politik, kekuatan menyangkut pada kemampuan untuk mempengaruhi orang lain. Istilah
pemberdayaan sering dipakai untuk menggambarkan keadaan seperti yang diinginkan oleh
individu. Dalam keadaan tersebut masing-masing individu mempunyai pilihan dan kontrol
pada semua aspek kehidupannya. Menurut Prijono (1996), konsep ini merupakan bentuk
penghargaan terhadap manusia atau dengan kata lain “memanusiakan manusia”. Melalui
pemberdayaan akan timbul pergeseran peran dari semula “korban pembangunan” menjadi
“pelaku pembangunan”. Perpektif pembangunan memandang pemberdayaan sebagai sebuah
konsep yang sangat luas. Pearse dan Stiefel dalam Prijono (1996) menjelaskan bahwa
pemberdayaan partisipatif meliputi menghormati perbedaan, kearifan lokal, dekonsentrasi
kekuatan dan peningkatan kemandirian.
Untuk Download Karya ilmiah ini, Silahkan KLIK DI SINI
BAB III
METODE PENULISAN
Penulisan
karya
ilmiah
ini
menggunakan
metode
pengamatan
fenomena
dan referensial study. Hasil pengamatan terhadap fenomena yang terjadi digunakan
sebagai dasar pemikiran dalam pembahasan suatu masalah serta mencari masalah
mana yang paling penting saat ini dan layak untuk diangkat. Pengamatan ditujukan
pada
realita
penanggulangan
kemiskinan
yang
dilakukan
pemerintah
yang
dipandang belum efektif dalam pelaksanaannya karena cenderung menitikberatkan
kepada konsep pertolongan (kedermawanan) yang menimbulkan ketergantungan
kepada masyarakat bahkan memperbanyak angka korupsi di negara ini. Untuk itu,
perlu diperkenalkan paradigma pemberdayaan manusia sebagai konsep yang lebih
efektif dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Dengan demikian strategi
pemberdayaan manusia dapat menjadi gebrakan yang sangat penting dalam
mengurangi
angka
kemiskinan
bahkan
pula
dalam
menunjang
program
pembangunan. Metode referensial study digunakan untuk memaparkan referensi
teoritis dalam kajian pustaka melalui analisis deduktif dari teori dan pendapat para
ahli yang diperoleh dari buku maupun tulisan-tulisan dari media elektronik (internet)
yang relevan dengan permasalahan yang diangkat.
Metode analisis yang digunakan dalam karya tulis ini adalah deskriptif analisis yaitu
menganalisis permasalahan yang ada dari hasil pengamatan atau identifikasi dan
studi kepustakaan tentang permasalahan serta hubungan antara masalah tersebut
yang didasarkan pada suatu teori atau konsep keilmuan yang relevan. Kegiatan
analisis dalam karya tulis ini meliputi pengolahan data, melakukan sintesis,
menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari selanjutnya memutuskan apa
yang akan dilakukan.
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, penulis menarik kesimpulan yang
konsisten dengan analisis dan sintesis permasalahan serta memberikan rekomendasi
berupa
kemungkinan
atau
prediksi
transfer
gagasan.
Untuk Download Karya ilmiah ini, Silahkan KLIK DI SINI
BAB IV
ANALISIS DAN SINTESIS
a. Analisis
Menurut Chambers (1983) kemiskinan bersifat multi dimensional, yaitu terkait
dengan masalah:
1.
Kesejahteraan, yaitu: terpenuhinya kebutuhan sandang, pangan, papan, kesehatan
dan pendidikan;
2.
Akses terhadap sumberdaya, yaitu: adanya peluang untuk memanfaatkan sarana
untuk menggunakan fasilitas dan berproduksi, seperti: menggunakan teknologi,
informasi,
kredit
modal,
pelayanan
kesehatan,
sumber
daya
alam,
listrik,
telekomunikasi;
3.
Kesadaran kritis, yaitu: kesadaran rakyat akan hak dan dapat memperjuangkan hak,
seperti: mampu menentukan pilihan, berani berpikir bebas, berani mempertanyakan
segala nilai, norma, tatanan yang ada, baik dari adat istiadat, agama, negara dan
berani bertindak mengubahnya agar menjadi lebih adil;
4.
Partisipasi, yaitu peran rakyat untuk bisa terlibat atau ikut andil dalam pengambilan
keputusan dan menjadikannya lebih aktif bukan sebagai anggota yang pasif, dan
5.
Posisi tawar, yaitu: Kemampuan rakyat untuk menentukan nasib dan kepentingan
sendiri, pemanfaatan sumberdaya dan punya kekuatan untuk menuntut hak.
Selaras dengan pendapat tersebut, Prijono dan Prainaka (1996) merangkum
beberapa dimensi kemiskinan yang terkait dengan bidang:
1.
Politik, yaitu tidak memiliki akses ke proses pengambilan keputusan yang
menyangkut hidup mereka;
2.
Sosial, yaitu tersingkir dari institusi utama masyarakat yang ada
3.
Ekonomi, yaitu rendahnya kualitas SDM, termasuk kesehatan, pendidikan, dan
keterampilan yang berdampak pada penghasilan;
4.
Budaya, yaitu terperangkap dalam budaya rendahnya kualitas SDM, seperti:
rendahnya etos kerja, berpikir pendek dan fatalisme, dan
5.
Lingkungan hidup, yaitu rendahnya pemilikan aset fisik termasuk aset lingkungan
hidup, seperti: air bersih dan penerangan
Sejak awal kemerdekaan, bangsa Indonesia telah mempunyai perhatian besar
terhadap
terciptanya
masyarakat
yang
adil
dan
makmur.
Program-program
pembangunan yang dilaksanakan juga selalu memberikan perhatian besar terhadap
upaya penanggulangan kemiskinan. Meskipun demikian, masalah kemiskinan sampai
saat
ini
terus
menerus
menjadi
masalah
yang
berkepanjangan.
Upaya
penanggulangan kemiskinan yang dilakukan pemerintah menghasilkan istilah “gali
lubang,tutup lubang”. Artinya program yang diupayakan pemerintah belum efektif
dalam pelaksanaannya. (Papilaya:2004).
Program yang dilakukan dalam rangka penanggulangan kemiskinan seperti cerita
tentang petani yang memotong rumput di ladang tanpa mencabut sampai ke akarakarnya. Paradigma lama penanggulangan kemiskinan tersebut menggunakkan
pendekatan ekonomi yang bersifat kedermawanan (charity). Kemiskinan tidak dapat
dapat
ditanggulangi
dengan
pendekatan
atau
strategi
yang
menolak
serta
mengingkari realitas yang menjadi penyebab kemiskinan itu sendiri yang tentunya
berasal dari Sumber Daya Manusia. Strategi yang instrumental yakni mencoba
mengurangi ciri-ciri kemiskinan yang ada pada komunitas miskin tertnyata hanya
mampu menyelesaikan masalah dalam jangka pendek dan justru memberi peluang
untuk kembali terjebak dalam kemiskinan yang lebih dalam. (Chambers:1983).
b. Sintesis
Berdasarkan realita penanggulangan kemiskinan di Indonesia yang masih berporos
pada paradigma lama penanggulangan kemiskinan yaitu dengan konsep pertolongan
(kedermawanan) yang pada kenyataannya hanya memberikan solusi jangka pendek,
maka sudah seharusnya negara ini beranjak kepada paradigma baru yang lebih
berpusat pada manusia melalui konsep pemberdayaan Sumber Daya Manusia.
Penerapan
strategi
penanggulangan
pemberdayaan
masalah
merupakan
kemiskinan
di
kunci
Indonesia.
utama
Upaya
dalam
upaya
penanggulangan
kemiskinan melalui konsep pemberdayaan secara konseptual dapat dilakukan
melalui 3 jalur strategis, yaitu :
1. Peningkatan kualitas masyarakat melalui pendidikan. Pendidikan merupakan
bagian terpenting dalam proses pemberdayaan masyarakat. Konsep pendidikan akan
mempengaruhi cara berpikir dan bertidak setiap individu. Saat ini, Indonesia
sementara menerapkan konsep pendidikan yang bersifat disentralistik, artinya,
masyarakat diberikan kebebasan untuk mengembangkan potensi dan kemampuan
yang ada di masing-masing daerah. Konsep pendidikan ini tertuang dalam Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan. Namun sayangnya, pemerintah tidak memberikan
kebebasan sepenuhnya kepada masing-masing daerah, karena masih diterapkannya
sistim
ujian
nasional.
Masyarakat
tidak
diberikan
kesempatan
untuk
mengembangkan potensi yang ada karena pada ujung-ujungnya sistem pendidikan
mengarah ke konsep sentralistik. Masyarakat terlalu dikekang dengan sistem yang
ada sehingga sifat ketergantungan kepada pemerintah akan selalu ada. Untuk itu,
penerapan
sistem
pendidikan
yang
disentralistik
sangat
diperlukan
untuk
meningkatkan sumber daya manusia tanpa adanya intervensi dari pemerintah yang
mengekang masyarakat untuk maju dan berkembang.
2. Peningkatan
kapabilitas
masyarakat,
peningkatan
kemampuan
dasar
masyarakat miskin untuk meningkatkan pendapatan melalui langkah peningkatan
keterampilan usaha, permodalan, pra-sarana, teknologi serta informasi pasar.
Misalnya, memberikan pelatihan-pelatihan dalam manajemen usaha mandiri dan
bagaimana memanfaatkan teknologi dan informasi kepada masyarakat.
3. Peningkatan kapasitas Masyarakat, dilakukan untuk memperkuat kelembagaan
sosial, politik, ekonomi dan budaya masyarakat, dan memperluas partisipasi
masyarakat miskin dalam pengambilan keputusan kebijakan publik yang menjamin
penghormatan,
perlindungan,
dan
pemenuhan
kebutuhan
dasar.
Misalnya,
membentuk organisasi-organisasi sosial yang menjadi wadah bagi masyarakat untuk
berpartisipasi dan menyalurkan aspirasi.
Masalah kemiskinan merupakan masalah yang belum sepenuhnya teratasi di
Indonesia. Hal ini dikarenakan warga masyarakat miskin Indonesia semakin hari
semakin bertambah. Konsep pemberdayaan merupakan solusi tepat untuk persoalan
kemiskinan, karena :
1. Demokrasi Proses Pembangunan. Konsep pemberdayaan Masyarakat dipercaya
mampu untuk menjawab tantangan pelibatan aktif setiap warga negara dalam
proses pembangunan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan
tahap evaluasinya.
2. Penguatan Peran Organisasi Kemasyarakatan Lokal. Konsep pemberdayaan
Masyarakat dipercaya mampu untuk menjawab tantangan bagaimana untuk
melibatkan
organisasi
kemasyarakatan
lokal
Organisasi masyarakat lokal merupakan
perubahan
sosial
karena
merekalah
berfungsi
pemegang
yang
paling
dalam
peran
mengerti
pembangunan.
sentral terjadinya
karakter
lapisan
masyarakat paling bawah.
3. Penguatan Modal Sosial. Konsep pemberdayaan dipercaya mampu untuk
menggali dan mempekokoh ikatan sosial di antara warga negara. penguatan modal
sosial mengandung arti pelembagaan nilai-nilai luhur yang bersifat universal, yaitu
kejujuran, kebersamaan, dan kepedulian.
4. Penguatan Kapasitas birokrasi Lokal. Konsep pemberdayaan secara khusus
diyakini mampu untuk meningkatkan fungsi pelayanan publik dan pemerintahan
khususnya kepada penduduk setempat. Konsep pemberdayaan memaksa jajaran
pemerintah lokal untuk perhatian lebih besar kepada rakyatnya agar rakyat dapat
memperoleh dan memenuhi kebutuhan hidupnya baik fisik maupun non-fisik secara
mudah.
5. Mempercepat Penanggulangan Kemiskinan. Konsep pemberdayaan dalam
bentuknya
yang
paling
menonjol
diyakini
dapat
mempercepat
tujuan
penanggulangan kemiskinan, yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin,
karena dalam pendekatan pemberdayaan ini para penyelenggara pembangunan baik
pemerintah
maupun
organisasi
kemasyarakatan
dituntut
untuk
memberikan
pemihakan dan perlindungan kepada rakyat miskin.
Bilamana
hal
tersebut
penanggulangan
menunjukkan
kemiskinan,
angka
penerapannya
diatas
dapat
maka
penurunan
harus
diterapkan
masalah
yang
Indonesia
kemiskinan
signifikan
dilakukan
di
setiap
secara
negara
dalam
ini
tahunnya
terus
hal
akan
namun
menerus.
Untuk Download Karya ilmiah ini, Silahkan KLIK DI SINI
BAB V
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
a. Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan dalam karya tulis ini maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
kemiskinan di Indonesia akan terus ada ketika akar permasalahannya tidak
terjangkau dan tidak dituntaskan. Oleh karena itu, perlu dilakukan rekonstruksi
paradigma penanggulangan kemiskinan yang sementara diterapkan di Indonesia
yaitu dari konsep pertolongan (charity) menjadi konsep pemberdayaan manusia
karena persoalan kualitas Sumber Daya Manusia merupakan hal fundamental yang
menyebabkan terjadinya kemiskinan di Indonesia. Melalui konsep pemberdayaan,
masyarakat tidak lagi menjadi penonton dalam proses pembangunan namun
sebaliknya masyarakatlah yang berperan aktif dalam pelaksanaan pembangunan
negara ini.
b. Rekomendasi
Berdasarkan pemaparan dalam karya tulis ini maka dapat beberapa hal yang dapat
diajukan sebagai rekomendasi yaitu:
1.
Bagi masyarakat
Masyarakat yang merupakan kekuatan dari suatu negara, hendaknya saling
bekerjasama dan harus berperan aktif dalam peningkatan kualitas sumber daya
manusia serta mampu memberikan gagasan-gagasan kreatif yang dapat menunjang
pembangunan sehingga
negara ini mampu keluar dari kubangan kemiskinan.
Masyarakat juga harus bisa mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah, apakah
masih relevan dengan keadaan masyarakat saat ini
2.
Bagi Pemerintah
Pemerintah perlu mengevaluasi dan mengontrol kembali program penanggulangan
kemiskinan, apakah efektif atau masih terdapat kelemahan maupun penyimpanganpenyimpangan dalam pelaksanaannya. Pemerintah seharusnya berpusat pada
peningkatan kualitas sumber daya manusia dalam pelaksanaan penanggulangan
kemiskinan
serta
memberikan
kebebasan
kepada
masyarakat
untuk
bisa
mengembangkan kemampuan yang dimiliki tanpa adanya intervensi dari pemerintah
sehingga masyarakat tidak akan bergantung sepenuhnya kepada pemerintah.
Untuk Download Karya Ilmiah ini, Silahkan KLIK DI SINI
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Khairil. 2009. “Solusi Kemiskinan”. http://sahabatbaru.blogspot.com (diakses pada
12 April 2013)
Badan Pusat Statistik, 2012. Penduduk Miskin (PoorPopulation). http://www.bps.go.id (diakses pada
12 April 2013)
Bank
dunia.
2000. “A
Sourcebook
for
Poverty
Reduction
Strategies”.http://www.worldbank.org (diakses pada 01 Mei 2013)
BPS. 1997; 1999; 2001; 2002. Statistik Indonesia. http://www.bps.go.id (diakses pada 01 Mei 2013)
Chambers, Robert. 1983. “Rural Development: Putting the Last First”. England: Longman Scientific.
Ginanjar, 1997. “Pembangunan Masyarakat Desa, Asas, Kebijaksanaan, dan Manajemen”.
Yogyakarta: Media Widya Mandala.
Mujiyadi. B dan Gunawan. 2000. “Pemberdayaan Masyarakat Miskin”. Jakarta: Batilitbang Depsos.
Prijono, Pranaika. 1996. “Pengembangan Sumberdaya Manusia: Konsepsi Makro untuk Pelaksanaan
di Indonesia”. Jakarta: Izufa Gempita.
Papilaya,
Eddy.
2004. “Rekonstruksi
upaya
penanggulangan
kemiskinan”,http://www.oocities.org (diakses pada 30 Maret 2013)
Sutrisno. 1999. “Dalam Perangkap Kemiskinan, Problem, dan Strategi Pengentasannya”. (ed,
Bagong Suyanto), http://www.airlanggapress.com(diakses pada 01 Mei 2013)
Smeru. 2001. “Strategi Penanggulangan Kemiskinan Nasional”. (Laporan Penelitian Lembaga
Penelitian SMERU), http://www.smeru.co.id (diakses pada 01 Mei 2013)
Suharto, Edi. 2005. “Kemiskinan dan Keberfungsian Sosial”. Bandung: STKS.
Sunyoto, Usman. 2008. “Pengetasan Kemiskinan” http://www.gemari.com (diakses pada 01 Mei
2013)
United Nation. 1995. “World Summit for Social Development Copenhagen”,http://www.un.org.
(diakses pada 01 April 2013)