Dosa tinjauan kritis teologis Kolektif

‘Dosa Kolektif’
Oleh: Arief B. Iskandar
Dalam sebuah sidang pengadilan umum, segerombolan pemabuk yang menjadi
terdakwa dihadapkan ke meja hijau. Mereka ditanya oleh Pak Hakim, “Mengapa
kalian mabuk-mabukan? Apa kalian tak tahu itu melanggar hukum?”
“Kami biasa mabuk-mabukan karena begitu mudahnya kami mendapatkan miras yang
dijual bebas. Kami tak akan mabuk kalau tak ada yang diminum. Kalau mau
disalahkan, ya salahkan saja para penjual mirasnya, Pak Hakim,” jawab mereka
enteng.
Di samping para pemabuk duduk berjajar para pedagang miras. Hakim bertanya
kepada mereka, “Mengapa kalian menjual miras? Kalian tahu kan, miras itu merusak
generasi kita!”
“Betul Pak Hakim,” jawab para pedagang miras. “Tapi, kami tentu tak akan menjual
miras jika tak ada pabrik yang memproduksi dan menawari kami minuman
memabukkan itu. Kami hanya penjual. Jika ada barang yang bisa dijual dan ada
pembelinya, ya kami sediakan. Yang penting kami untung. Kalau kami salah,
harusnya Pak Hakim juga menyalahkan para pemilik pabrik miras itu.” Kata mereka
sambil menunjuk kepada para pengusaha pabrik miras di sebelah mereka.
“Sebentar Pak Hakim,” kata para pengusaha pabrik miras itu. “Kami hanyalah para
pengusaha. Selama ini usaha kami tak melanggar hukum. Toh, miras sudah
dilegalisasi. Ada UU-nya. Jadi, jangan kami disalahkan, dong. Kalau mau disalahkan,

ya Pemerintah dan para wakil rakyat. Mengapa mereka melegalisasi miras?!” Sergah
mereka sebelum ditanya dan disalahkan Pak Hakim.
Pak Hakim kemudian berpaling kepada wakil dari Pemerintah dan para anggota DPR
yang terhormat. “Mengapa Bapak-bapak kok bisa-bisanya mengeluarkan peraturan
yang melegalisasi miras? Bukankah Bapak-bapak lebih tahu dampak buruk miras bagi
generasi kita?”
“Betul, Pak Hakim. Tapi, kalau tidak dilegalkan, akan banyak aneka jenis miras yang
ilegal beredar di tengah-tengah masyarakat tanpa kontrol negara. Ini lebih berbahaya.
Jadi, legalisasi miras juga demi mengontrol peredaran miras ilegal. Selain itu, miras
legal kan tetap bisa mendatangkan keuntungan bagi negara dalam bentuk pajak miras.
Lagi pula kami ini wakil rakyat. Kami punya kuasa penuh. Kami berhak membuat
aturan apapun karena kami telah diberi mandat oleh rakyat. Salahnya rakyat, mengapa
mau memilih kami dan menyerahkan mandat mereka kepada kami,” tegas para wakil
rakyat yang diamini oleh wakil dari pihak Pemerintah.
Rakyat, yang juga bersaksi di pengadilan umum itu, tentu tak mau disalahkan. Buruburu mereka membela diri, “Pak Hakim, kami sadar, ini negara demokrasi yang
memberikan kewenangan kepada penguasa dan wakil rakyat untuk membuat aturan
apapun. Kami pun tahu, jauh sebelum Pileg dan Pilpres, tak ada satu pun di antara
para caleg serta capres-cawapres yang berkomitmen untuk menerapkan syariah Allah
SWT. Namun, kami toh harus tetap memilih mereka. Pasalnya, menurut MUI golput


itu haram, sementara MUI tak mengharamkan kami memilih penguasa dan wakil
rakyat yang tak mau menerapkan syariah Islam. Jadi, maaf, para ulama itu juga..apa
tidak salah, Pa Hakim?” Tanya rakyat setengah menggugat sambil melirik ke arah
wakil ulama yang duduk di depan mereka…
*****
Demikian sebuah postingan bagus pada laman facebook di wall saya; sebuah dialog
imajiner, yang sedikit saya modifikasi.
Selain para pemabuk yang enggan disalahkan secara sepihak sebagaimana dalam
dialog imajiner di atas, para pelacur/para pezina dan para penikmatnya juga pasti
berpendirian serupa. Para pelacur/pezina akan berdalih bahwa mereka adalah para
pekerja legal. Toh sebutan resmi “pekerja seks komersial” sudah lebih dulu mereka
dapatkan dari Pemerintah. Apalagi mereka ‘bekerja’ di tempat lokalisasi yang telah
dilegalkan oleh para wakil rakyat dan dipungut pajaknya oleh Pemerintah. Alasan
yang sama pasti juga dikemukakan oleh para penikmat seks komersial alias para lelaki
hidung belang.
Demikian pula para pelaku riba, para penegak hukum yang memutuskan perkara
bukan dengan hukum-hukum Allah SWT dan tentu para pejabat yang menjalankan
sistem sekular. Ujung-ujungnya, lagi-lagi kesalahan berpulang kepada rakyat yang
telah memilih penguasa dan para wakil mereka.
Tentu tak ada yang salah dengan memilih penguasa dan wakil rakyat. Dalam Islam

pun, penguasa dan wakil rakyat dipilih oleh rakyat. Yang salah adalah saat penguasa
maupun para wakil rakyat diberi mandat penuh untuk membuat UU dan peraturan
sesuai dengan kehendak dan hawa nafsu mereka. Padahal dalam Islam, penguasa
diangkat hanya untuk menerapkan syariah Allah SWT. Wakil rakyat juga dipilih
dalam rangka mengawasi penguasa agar sungguh-sungguh menerapkan syariah-Nya,
bukan malah membuat hukum yang lain.
Namun, ya itulah sistem demokrasi. Sistem ini sejak awal memberi penguasa dan
wakil rakyat—sebagai pemilik kedaulatan—kewenangan mutlak untuk membuat
ragam UU dan peraturan sesuai dengan kehendak dan hawa nafsu mereka; terlepas
dari sesuai atau bertentangan dengan syariah Allah SWT.
Jika demikian, demokrasi sebetulnya melahirkan ‘dosa kolektif’. Bukan hanya para
pemabuk, para pedagang miras dan para pemilik pabrik miras yang salah. Bukan
hanya para pelacur, para germo, lelaki hidung belang dan para pemilik tempat
pelacuran legal yang bermaksiat. Bukan hanya para penguasa, wakil rakyat dan rakyat
itu sendiri yang keliru. Ulama juga berdosa. Dosa yang sama juga menimpa para da’i
dan para mubalig, termasuk partai dan ormas Islam yang mendiamkan semua ini terus
terjadi.
Dosa mereka tentu lebih besar lagi karena bukan hanya miras dan pelacuran yang
dilegalkan. Banyak UU dan peraturan yang dibuat oleh Pemerintah dan wakil rakyat
yang melegalkan banyak perkara yang justru berten-tangan dengan syariah Islam

seperti: utang luar negeri berbasis riba; perbankan ribawi; penguasaan kekayaan milik
umum oleh pihak asing; pajak yang memberatkan rakyat; dll.

Semua itu tentu berpangkal pada sistem sekular yang terus dibiarkan bercokol di
negeri ini, bahkan terus dipelihara dan dirawat oleh bangsa ini. Tak ada upaya dari
berbagai komponen bangsa ini—kecuali segelintir orang—yang sungguh-sungguh
berupaya memperjuangkan tegaknya syariah Allah SWT secara kaffah di semua lini
kehidupan, tentu dalam sistem Khilafah.
Alhasil, ‘dosa kolektif’ ini harus dipertanggungjawabkan oleh semuanya di Akhirat
nanti, tentu di hadapan Allah SWT, Hakim Yang Mahaadil. Siapkah kita?!
Wa ma tawfiqi illa bilLah.[]
==============================
Raih Amal Sholih dengan Ikut Serta Menyebarkan Status ini.
==============================
Profile Amir Hizbut Tahrir: http://www.youtube.com/watch?v=vJcjmn18Hzs
Jika Saudara/i ingin mengkaji Islam dan berdakwah bersama HIZBUT TAHRIR
INDONESIA silahkan mengisi form yang kami sediakan di http://hizbuttahrir.or.id/gabung/
Insya Allah, syabab Hizbut Tahrir di daerah terdekat akan segera menghubungi anda.
(jika lebih dari 2 minggu, saudara/i bisa memberitahukan lewat pesan inbox)
==============================

Website : www.hizbut-tahrir.or.id
Youtube : http://www.youtube.com/htiinfokom
Facebook : https://www.facebook.com/Htiinfokom
Twitter : https://twitter.com/hizbuttahrirID
===============================