PROSPEK PEMBIAYAAN SYARIAH UNTUK SEKTOR (1)

PROSPEK PEMBIAYAAN SYARIAH UNTUK SEKTOR PERTANIAN

Ashari dan Saptana

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Jalan A. Yani 70 Bogor 16161

ABSTRACT

One of the main problems in agricultural development is the weakness of capital support. The government have tried to overcome this problem by launching some credit programs for the agricultural sector. Many credit programs, those use fixed interest base, showed less satisfied result. In any cases even generate new problems such as the the greater farmer’s debt and also nonperformance credit. Based on that phenomena it is required the alternative financing schemes. Sharia scheme, can be choosen as the alternative financing model for supporting agricultural development. Different to the conventional credit, the sharia scheme is free of interest, profit loss sharing equity principle, and profit sharing will be executed in the end of transaction. This paper aim at introducing the sharia financing model and its prospect to be implemented in agricultural sectors. The result of study indicate that sharia scheme is prospective to strengthen the capital of agricultural sector. To support implementation of sharia finance in agricultural sector, the crucial factors are political will of policy maker and also intensive socialization related to sharia principle finance to public authority and society.

Keyword: agriculture development, credit, sharia finance, policy maker

ABSTRAK

Salah satu permasalahan utama dalam pembangunan di sektor pertanian adalah lemahnya permodalan. Pemerintah telah berusaha mengatasi permasalahan tersebut dengan meluncurkan beberapa kredit program untuk sektor pertanian. Kredit program yang memakai sistem bunga menunjukkan hasil yang kurang memuaskan, bahkan menimbulkan permasalahan baru seperti membengkaknya hutang petani serta kredit macet. Berdasarkan hal tersebut perlu dicari model pembiayaan alternatif, salah satu di antaranya adalah dengan skim syariah. Berbeda dengan model kredit, pembiayaan syariah ini bebas bunga, pembagian keuntungan didasarkan atas bagi hasil yang dilakukan setelah periode transaksi berakhir. Tulisan ini bertujuan untuk menge- nalkan model pembiayaan syariah serta prospek implementasinya di sektor pertanian. Hasil kajian menunjukkan bahwa pembiayaan syariah cukup prospektif untuk memperkuat permodalan di sektor pertanian. Untuk mendu- kung implementasinya di sektor pertanian diperlukan keberpihakan para pembuat kebijakan serta sosialisasi yang intensif mengenai prinsip-prinsip pembiayaan syariah.

Kata kunci: pembangunan pertanian, kredit, pembiayaan syariah, kebijakan.

PENDAHULUAN

Walaupun sangat strategis, sektor per- tanian dan pedesaan sering dihadapkan pada banyak permasalahan, terutama lemahnya

Sebagai negara agraris, sektor per- permodalan. Sebagai unsur esensial dalam tanian dan pedesaan memiliki peran sangat

meningkatkan produksi dan taraf hidup masya- strategis dalam pembangunan nasional. Soe-

rakat pedesaan, ketiadaan modal dapat mem- kartawi (1996) melihat pentingnya sektor per-

batasi ruang gerak sektor ini (Hamid, 1986). tanian dan pedesaan, di antaranya sebagai

Kebutuhan modal akan semakin meningkat andalan mata pencaharian sebagian besar

seiring dengan beragam pilihan jenis komodi- penduduk, sumbangannya terhadap PDB, kon-

tas dan pola tanam, perkembangan teknologi tribusi terhadap ekspor (devisa), bahan baku

budidaya, penanganan pasca panen dan pe- industri, serta dalam penyediaan bahan pa-

ngolahan hasil yang semakin pesat. Pada era ngan dan gizi. Beberapa kali sektor pertanian

teknologi pertanian, pengerahan modal yang juga terbukti mampu menjadi penyangga per-

intensif baik untuk alat-alat pertanian maupun ekonomian nasional saat terjadi krisis eko-

sarana produksi tidak dapat dihindari. Masalah nomi.

kembali muncul, karena sebagaian besar peta-

FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI . Volume 23 No. 2, Desember 2005 : 132 - 147 FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI . Volume 23 No. 2, Desember 2005 : 132 - 147

maupun fluktuasi harga yang relatif tinggi. Jika al., 2000).

petani gagal dalam usahataninya, baik karena Karakteristik usaha pertanian yang

gagal panen maupun rendahnya harga pasar, mengandung banyak risiko menyebabkan mi-

mereka tidak akan mampu membayar pinja- nat lembaga pembiayaan untuk mendanai usa-

man sehingga dapat terjerat hutang yang se-

ha sektor ini relatif rendah. Syukur et al. (2000) makin besar karena prinsip bunga berbunga. mengemukakan bahwa proporsi kredit perta-

Kedua, terdapat kesenjangan (gap) nian dan sarana pertanian di Jawa Barat dan

dalam ”ruang usaha” antara peminjam (debi- Sumatera Barat masih di bawah 3 persen dari

tor) dan pemberi pinjaman (kreditor). Pihak de- total penyaluran kredit perbankan. Angka ini

bitor murni berusaha di sektor riil, sementara jauh di bawah pembiayaan untuk sektor per-

kreditor hanya bergerak di sektor moneter. industrian, perdagangan, restoran dan hotel,

Konsekuensinya, risiko kegagalan usaha pengangkutan, dan sektor lain. Jika ada lem-

umumnya hanya akan dibebankan kepada de- baga pembiayaan yang bersedia mengucurkan

bitor, sementara kreditor tetap mendapatkan kredit di sektor pertanian biasanya telah meng-

keuntungan sebesar tingkat suku bunga yang antisipasi dengan beberapa hal untuk memini-

ditetapkan. Antara debitor dan kreditor tidak malkan risiko, di antaranya: (1) menetapkan

ada sinergi yang utuh karena masing-masing bunga (interest) yang cukup tinggi, (2) sangat

bergerak secara parsial dalam sistem penghi- selektif, yaitu hanya membiayai usaha pada

tungan yang berbeda.

komoditas komersial bernilai tinggi (high value Ketiga, sistem pembiayaan pertanian commodity), serta (3) lebih memilih sebagai

selama ini diintegrasikan dengan pembiayaan chanelling bagi kredit program pemerintah.

nonpertanian. Sistem penghitungan usaha pa- Mengingat arti strategis peran kredit da-

da sektor nonpertanian (terutama industri dan lam pembangunan pertanian dan pedesaan,

jasa) jika diterapkan untuk usaha pertanian telah mendorong pemerintah (di banyak nega-

cenderung over estimate. Apabila dipaksakan ra) menjadikannya sebagai instrumen kebija-

hal ini akan membuat usaha pertanian tidak kan yang penting. Menurut Tampubolon (2002)

akan mendapat dukungan kredit dalam jumlah kredit dianggap sebagai salah satu alat pen-

sesuai dengan kebutuhan. ting untuk memutuskan “lingkaran setan” dari

Untuk lebih menjamin rasa keadilan pendapatan rendah  kemampuan memupuk bagi pelaku bisnis pertanian, perlu dibuka modal rendah  kemampuan membeli sarana wacana model pembiayaan alternatif yang se- produksi rendah  produktivitas usahatani ren- suai dengan karakteristik usaha di sektor per- dah  pendapatan rendah. Namun dari penga- tanian. Salah satu model yang sudah mulai

laman selama ini menunjukkan bahwa efekti- dicoba diterapkan adalah dengan skim sya- vitas kebijakan kredit di Indonesia masih be-

riah. Departemen Pertanian telah memberikan lum optimal. Hal ini terbukti dari masih lemah-

penilaian positif dan akan mengimplementasi- nya kemampuan petani dalam permodalan,

kan pembiayaan syariah ini, yang ditunjukkan walaupun beberapa kredit program sudah per-

adanya pencanangan gerakan tabungan sya- nah diimplementasikan. Ketidakefektifan terse-

riah (Gema Syariah) pada tahun 2005. Gema but nampak lebih nyata jika dilihat dari relatif

Syariah diharapkan menjadi salah satu prog- tingginya tingkat penunggakan kredit atau ma-

ram unggulan Departemen Pertanian, di sam- cetnya kredit program yang sampai saat ini

ping rencana program penjaminan kredit usa- belum tuntas, misalnya kasus kredit usaha tani

ha pertanian secara syariah. (KUT). Tulisan ini bertujuan melakukan tinjauan Setidaknya ada tiga sifat yang melekat

terhadap beberapa aspek yang menyangkut pada skim kredit pertanian yang berpeluang

lembaga pembiayaan (bank) syariah. Di awal menimbulkan ketidakefektifan. Pertama, kredit

bahasan, disajikan gambaran mengenai kon- selalu berbasis bunga tetap (fix interest). Se-

disi pembiayaan sektor pertanian/pedesaan tiap skim kredit, apapun bentuknya, menjadi-

sebagai bahan untuk lebih memahami peran kan bunga sebagai harga tetap dari dana yang

lembaga perkreditan bagi sektor pertanian dan dipinjam dan harus dikembalikan ketika jatuh

pedesaan. Pada bab-bab selanjutnya akan di- tempo. Padahal sektor pertanian memiliki risi-

uraikan tentang karakteristik dan jenis pem-

PROSPEK PEMBIAYAAN SYARIAH UNTUK SEKTOR PERTANIAN Ashari dan Saptana PROSPEK PEMBIAYAAN SYARIAH UNTUK SEKTOR PERTANIAN Ashari dan Saptana

tas, termasuk lembaga perkreditan yang dili- pedesaan.

batkan. Kredit program ditangani oleh lembaga perbankan pemerintah, sementara untuk kredit nonprogram dapat dilakukan oleh lembaga

KONDISI PEMBIAYAAN PERTANIAN DAN

pembiayaan pemerintah maupun swasta.

PEDESAAN

Mayoritas kredit nonformal di pedesaan diberikan oleh para pemberi pinjaman uang Mengkaji pembiayaan pertanian dan

(money lenders). Umumnya mereka adalah pedesaan di Indonesia, hampir tidak mungkin

petani kaya, pedagang hasil pertanian, peda- mengabaikan peranan lembaga perkreditan di

gang saprodi, penggilingan padi ataupun pihak pedesaan. Mayoritas bentuk pembiyaan usaha

lain yang menjadi pelaku ekonomi pedesaan. sektor pertanian dan pedesaan bersumber dari

Kredit yang diberikan lembaga pembiayaan lembaga ini. Dapat dikatakan bahwa kebera-

nonformal menetapkan tingkat suku bunga daan program perkreditan merupakan salah

jauh lebih tinggi dibanding bank formal. Kajian satu unsur pelancar bagi keberhasilan dalam

Saptana et al. (2001) menunjukkan pada usa- program pembangunan sektor pertanian. Me-

ha komoditas hortikultura tingkat suku bunga nurut Syukur et al. (1993), peranan kredit

pinjaman dapat mencapai 30-55 persen per bukan saja sebagai pelancar pembangunan,

tahun. Walaupun demikian, peminat peminjam tetapi dapat juga menjadi unsur pemacu adop-

kredit lembaga ini cukup besar mengingat si teknologi yang diharapkan mampu mening-

prosedur peminjaman yang sederhana, pen- katkan produksi, nilai tambah dan pendapatan

cairan dana relatif cepat dan tanpa agunan. masyarakat.

Secara umum, kredit untuk sektor perta- Sejarah kredit pertanian di Indonesia

nian (terutama kredit program) menetapkan paling tidak sudah berlangsung sejak masa

tingkat suku bunga lebih rendah dibandingkan penjajahan Belanda, yaitu saat dirintisnya pe-

sektor nonpertanian. Hal ini dimaksudkan un- layanan kredit untuk petani dengan pendirian

tuk memacu pertumbuhan sektor pertanian, Bank Desa dan Lumbung Desa. Kedua jenis

sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi lembaga kredit tersebut termasuk pada Bank

pedesaan. Namun, fakta menunjukkan sera- Perkreditan Rakyat atau BPR (Soentoro et al.

pan kredit untuk pertanian relatif lambat diban- 1992). Adapun kredit untuk menunjang kegiat-

dingkan serapan sektor nonpertanian. Gejala an usahatani mulai diprogramkan secara khu-

tersebut menurut Saleh et al. (1989), salah sus pada awal 1960-an. Pada tahun 1965,

satu penyebabnya adalah rendahnya rentabi- program perkreditan pertanian semakin diman-

litas penanaman modal di sektor pertanian. tapkan dengan dilaksanakan program Bimas.

Dari tahun ke tahun perkembangan jum- Dari waktu ke waktu model program kredit per-

lah lembaga pembiayaan atau perbankan yang tanian ini telah mengalami berbagai peruba-

melayani sektor pertanian dan pedesaan me- han, diantaranya mencakup yang terkait de-

nunjukkan gejala semakin meningkat. Pakto ngan prosedur penyaluran, besaran dan ben-

1988 merupakan pemicu terjadinya booming tuk kredit, bunga kredit maupun tenggang wak-

perbankan di Indonesia. Kebijakan deregulasi tu pengembalian (Taryoto, 1992).

bank 27 Oktober 1988 tersebut telah menga- Pasar kredit pertanian di pedesaan da-

kibatkan munculnya bank-bank perkreditan pat dibagi dua golongan, yaitu: kredit formal

rakyat (BPR) di tingkat kecamatan. Menurut dan nonformal. Dua jenis kredit ini yang men-

Rahman (1992), jumlah lembaga perbankan jadi sumber pembiayaan masyarakat pertanian

yang semakin banyak dapat berdampak positif di pedesaan memiliki karakteristik yang khas.

maupun negatif terhadap perkembangan per- Kekhasan ini menurut Sudaryanto dan Syukur

ekonomian pedesaan. Meningkatnya penyalu- (2001) menyangkut aspek sasaran kelompok,

ran kredit untuk kegiatan produksi akan berpe- syarat peminjaman dan pengajuan, cara pe-

ngaruh positif terhadap perekonomian pedesa- ngembalian, sistem insentif dan sanksi. Kredit

an. Sebaliknya, kegiatan menabung yang se- formal di pedesaan dapat berupa kredit prog-

makin besar justeru dapat menghambat per- ram maupun nonprogram. Keberadaan kredit

tumbuhan ekonomi pedesaan. Hal ini mudah program biasanya terkait dengan program pe-

dimengerti karena dengan kondisi tersebut se-

FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI . Volume 23 No. 2, Desember 2005 : 132 - 147 FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI . Volume 23 No. 2, Desember 2005 : 132 - 147

keahliannya, yang penting tidak melanggar ga- dalam kegiatan produktif.

ris-garis yang ditentukan-Nya (Anonim, 2005). Lembaga perbankan (BPR) hampir

Manusia dapat melakukan usaha di bidang semua berbasis bunga (konvensional), hanya

produksi, seperti pertanian, perkebunan, peter- sedikit yang menggunakan sistem syariah. Seba-

nakan, pengolahan makanan dan minuman gai gambaran Laporan Kantor Bank Indonesia

dan sebagainya. Di samping itu juga dapat Bandung (2005) mencatat sampai Triwulan-I

melakukan usaha di bidang distribusi, seperti 2005 BPR/S di wilayah kerja KBI Bandung

perdagangan, atau dalam bidang jasa, seperti berjumlah 177 bank yang terdiri atas 165 BPR

transportasi dan kesehatan. konvensional dan 12 BPR Syariah. Jika gam-

Salah satu faktor penting dalam mela- baran di Provinsi Jawa Barat dianggap sebagai

kukan sebuah usaha baik di bidang produksi representasi nasional, maka proporsi BPR sya-

maupun distribusi adalah keberadaan modal. riah saat ini hanya sebesar 5,7 persen dari total

Dalam praktiknya untuk memperoleh modal BPR.

dapat dilakukan melalui banyak cara seperti Dengan penerapan sistem bunga di

dari tabungan sendiri, meminjam dari keluarga lembaga perbankan konvensional, kekhawatiran

ataupun kerabat lainnya. Namun jika tidak Rahman (1992) sangat mungkin terjadi. Minat

tersedia atau karena keperluan modal relatif investasi masyarakat untuk sektor riil, dengan

besar maka peran lembaga keuangan menjadi adanya bunga, akan semakin menurun karena

sangat penting dalam membantu penyediaan jika mereka menabung di bank sudah pasti akan

modal bagi orang yang ingin berusaha. mendapat keuntungan sebesar tingkat bunga

Afzalurrahman (1995) mendifinisikan mo- yang ditetapkan. Sementara itu, jika berinvestasi

dal sebagai kekayaan yang membantu meng- langsung dalam bentuk usaha belum tentu akan

hasilkan kekayaan selanjutnya. Al Qur’an berhasil, sehingga pemilik modal lebih senang

menyebutkan kekayaan dan modal ini dengan menyimpan uangnya di bank.

ungkapan ”persediaan untuk digunakan manu- Informasi tentang dana yang dihimpun

sia” agar manusia dapat menghasilkan keka- dari masyarakat lewat Simpedes (BRI) serta

yaan terus menerus untuk memenuhi keingin- yang disalurkan melalui Kupedes pernah dimuat

annya. Modal adalah faktor produksi ketiga harian Republika (3 Maret 2005). Disebutkan

yang dapat menghasilkan kekayaan melalui bahwa Simpedes berhasil menghimpun dana

berbagai sektor kegiatan ekonomi (produksi, masyarakat sampai 22 triliun. Sebaliknya, penya-

distribusi, konsumsi dan kegiatan-kegiatan luran Kupedes atau kredit untuk masyarakat

lainnya).

pedesaan hanya Rp 9 triliun. Berarti ada praktek Menurut syariah, hubungan pinjam-me- capital out of flow dari desa ke kota, yang seba-

minjam tidak dilarang bahkan dianjurkan agar gian besar disimpan dan tidak digunakan pada

terjadi hubungan saling menguntungkan. Da- sektor riil. Di perbankan syariah kejadian ini da-

lam Lembaga Keuangan Syariah, sebenarnya pat diminimalkan karena ada ketentuan bahwa

penggunaan kata “pinjam-meminjam” kurang pihak perbankan harus memprioritaskan pembia-

tepat digunakan, disebabkan dua hal. Perta- yaan untuk wilayah sekitar sebelum melakukan

ma, pinjaman merupakan salah satu metode ekspansi ke daerah lain.

hubungan finansial dan masih banyak metode lainnya, seperti jual beli, bagi hasil, sewa, dan sebagainya. Kedua, pinjam-meminjam adalah

PANDANGAN SYARIAH TENTANG MODAL

akad sosial, bukan akad komersial. Artinya,

DAN KARAKTERISTIK PEMBIAYAAN

jika seseorang meminjam sesuatu tidak boleh

SYARIAH

disyaratkan untuk memberikan tambahan atas pokok pinjamannya. Setiap pinjaman yang menghasilkan manfaat dan bunga menurut

Pandangan Syariah Tentang Modal

pandangan syariat adalah riba, sedangkan riba Dalam pandangan syariah, manusia di-

adalah haram. Oleh karena itu, dalam lembaga wajibkan berusaha agar mendapatkan peng-

pembiayaan syariah, pinjaman tidak disebut hasilan guna memenuhi kebutuhan hidupnya.

kredit tetapi pembiayaan (financing).

PROSPEK PEMBIAYAAN SYARIAH UNTUK SEKTOR PERTANIAN Ashari dan Saptana

Pandangan syariah tentang modal dan menjalankan usahanya didasarkan atas hu- aktivitas usaha pada gilirannya akan mempe-

kum-hukum syariah (Islam). ngaruhi perilaku ekonomi yang diharapkan se-

Secara teoritis, ada tiga hal yang men- jalan dengan prinsip-prinsip syariah. Bentuk-

jadi penciri pembiayaan syariah, yaitu (1) bentuk kegiatan ekonomi yang dikemukakan

bebas bunga (interest free), (2) berprinsip bagi dalam ajaran Islam, antara lain sebagai berikut

hasil dan risiko (profit loss sharing), dan (3) (Hafiduddin, 2003):

perhitungan bagi hasil dilakukan pada saat

1. Manusia diperintahkan bekerja mencari re- transaksi berakhir. Hal ini berarti pembagian zeki secara halal. Artinya manusia dido-

hasil dilakukan setelah ada keuntungan riil, rong untuk memiliki etos kerja yang tinggi

bukan berdasar pada asumsi bahwa besarnya sehingga produktif.

keuntungan usaha yang akan diperoleh di atas

2. Manusia didorong menguasai dan me-

bunga kredit.

manfaatkan sektor-sektor kegiatan ekono- Anonim (2004) mengemukakan bahwa mi dalam skala yang lebih luas dan kom-

perbedaan paling mendasar antara bank (lem- prehensif seperti perdagangan, industri,

baga pembiayaan) syariah dan bank konven- pertanian, keuangan, jasa dan sebagainya

sional adalah pada eksistensi bunga. Pada untuk kemaslahatan bersama.

bank konvensional prinsip perhitungan kerja-

3. Dalam melakukan kegiatan ekonomi, di- samanya didasarkan pada bunga, sementara larang mempergunakan cara-cara yang

pada bank syariah didasarkan pada pemba- batil seperti dengan melakukan riba, peni-

gian keuntungan atau bagi hasil. Sistem bagi puan, memainkan takaran dan lain-lain.

hasil ini dinilai lebih realistis dan sesuai de- ngan iklim bisnis yang memang berpotensi un-

4. Mendorong manusia untuk mengoptimal- tung dan rugi (Ikhrom, 2004). Mubyarto (2003) kan pelaksanaan zakat, infaq/sodaqoh,

mengungkapkan bahwa di sejumlah negara baik dalam pengambilan maupun pendis-

maju (welfare state) prinsip profit-sharing su- tribusiannya.

dah banyak diterapkan. Argumentasinya ada-

5. Mendorong manusia untuk melakukan ke- lah bahwa penerapan profit-sharing dan juga giatan ekonomi dalam kelembagaan yang

model employee participation lebih menjamin rapi, teratur, transparan dan terkoordinasi,

ketentraman, ketenangan serta keberlanjutan serta membangun kerjasama.

usaha.

Dari beberapa bentuk kegiatan terse- Menurut Antonio (2001) baik sistem but terlihat bahwa dalam perspektif syariah

bunga maupun bagi hasil mempunyai kesama- antara sektor riil (usaha) dan moneter (finan-

an yaitu dapat memberikan keuntungan bagi sial) harus saling terkait. Hal ini berbeda de-

pemilik modal (bank). Di luar aspek ini, kedua- ngan praktik ekonomi konvensional yang tidak

nya mempunyai perbedaan yang sangat nyata. mengharuskan adanya saling keterkaitan pada

Secara ringkas perbedaan di antara keduanya kedua sektor ini. Sektor moneter cenderung

dapat dijelaskan dalam Tabel 1. bergerak lebih cepat dan over expansive, se-

Dari Tabel 1 dapat diungkapkan bah- hingga apa yang terjadi di sektor moneter sa-

wa kegiatan usaha yang didukung lembaga ngat bias dengan kondisi riilnya. Dalam ekono-

pembiayaan syariah lebih memberikan citra mi berbasis syariah tidak dibenarkan adanya

keadilan. Perhitungan yang didasarkan pada pemisahan antara kegiatan sektor riil di pasar

sistem bagi hasil memungkinkan terciptanya barang/jasa dengan kegiatan non riil di pasar

rasa keadilan tersebut. Perhitungan berbasis finansial.

bunga umumnya didasarkan pada asumsi bah- wa usaha yang dikelola nasabah pasti untung,

Karakteristik Lembaga Pembiayaan Syariah

padahal tidak ada jaminan bahwa sebuah usa-

ha selalu memperoleh keuntungan. Bahkan, Lembaga atau perusahaan pembiayaan

jika nasabah memperoleh keuntungan pun adalah lembaga/perusahaan yang memiliki ke-

masih dibebani tambahan persyaratan yaitu giatan dalam memberikan pinjaman kepada

bahwa tingkat keuntungan harus lebih tinggi pelaku ekonomi atau bisnis (Muda, 2003). De-

dari tingkat bunga. Jika tingkat keuntungan ngan demikian kelembagaan pembiayaan sya-

lebih rendah, nasabah akan mengalami kesu- riah adalah lembaga pembiayaan yang dalam

litan mengembalikan pinjaman pokok dan bu-

FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI . Volume 23 No. 2, Desember 2005 : 132 - 147

Tabel 1. Perbedaan antara Sistem Bunga (Bank Konvensional) dan Bagi Hasil (Bank Syariah)

Bagi Hasil  Penentuan bunga dibuat pada waktu akad dengan

Bunga

 Penentuan besarnya rasio/nisbah bagi hasil dibuat asumsi harus selalu untung di atas bunga modal

pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung rugi

 Besarnya persentase berdasarkan pada jumlah uang  Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah (modal) yang dipinjamkan

keuntungan yang diperoleh

 Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa  Bagi hasil bergantung pada keuntungan proyek yang pertimbangan apakah proyek/usaha yang dijalankan

dijalankan. Bila usaha merugi, kerugiaan akan oleh pihak nasabah untung atau rugi

ditanggung bersama kedua belah pihak  Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat sekalipun

 Jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan jumlah keuntungan berlipat atau keadaan ekonomi

peningkatan jumlah pendapatan sedang ”booming”

 Eksistensi bunga diragukan (kalau tidak dikecam) oleh  Tidak ada yang meragukan keabsahan bagi hasil semua agama

Sumber: Antonio (2001).

Tabel 2. Perbedaan antara Bank Syariah dan Konvensional Menurut Beberapa Ciri Internalnya Penciri

Bank Konvensional Bidang investasi

Bank Syariah

Investasi yang halal dan haram Perhitungan hasil

Melakukan investasi yang halal saja

Berdasarkan prinsip bagi hasil, jual beli

Memakai perangkat bunga

atau sewa

Tujuan

Profit dan falah oriented 1)

Profit oriented

Hubungan dengan nasabah

Penghimpunan dan penyaluran dana

Tidak terdapat dewan sejenis

harus sesuai dengan fatwa Dewan Pengawas Syariah

Sumber: Antonio (2001) 1) Falah berarti mencari kemakmuran di dunia dan kebahagiaan akhirat

nganya. Dalam pembiayaan syariah, hal ini da- sebagaimana bank konvensional. Perbedaan- pat dieliminasi melalui penerapan prinsip pro-

nya adalah ”prudent” di perbankan syariah ti- fit-loss sharing.

dak hanya dalam memilih nasabah yang layak (administrasi dan profitable), tetapi juga pada

Dalam lembaga pembiayaan syariah, jenis usaha/investasi yang dilakukan (usaha suatu pembiayaan tidak akan disetujui sebe-

yang halal saja). Oleh karena itu dalam struk- lum dipastikan beberapa hal pokok, diantara-

tur perbankan syariah terdapat Dewan Penga- nya obyek pembiayaan adalah sesuatu yang

was Syariah (DSN) yang bertugas mengawasi halal, tidak menimbulkan kemudharatan bagi

operasional bank beserta produknya agar masyarakat, serta tidak berkaitan dengan per-

sesuai dengan garis-garis ketetapan syariah. buatan asusila. Sementara pada usaha yang

pembiayaannya didukung lembaga perbankan konvensional hal-hal pokok semacam ini tidak

JENIS DAN PENGEMBANGAN PRODUK

menjadi pertimbangan penting. Orientasi pem-

PEMBIAYAAN SYARIAH

biayaan konvensional adalah proyek/usaha yang akan mendatangkan keuntungan yang

Jenis Produk Pembiayaan

besar dan legal. Perbedaan yang prinsip anta- ra bank berbasis syariah dan bank konvensio-

Pembiayaan usaha di sektor pertanian yang ada saat ini, hampir semua berbasis per-

nal dapat dilihat pada Tabel 2. hitungan bunga. Menurut Ikhrom (2004), salah

Dari Tabel 2 ditunjukkan bahwa dalam satu sebab utama ketertarikan pasar/pemilik penghimpunan dana dari nasabah serta pe-

modal terhadap perangkat bunga (interest) nyaluran/pembiayaan perbankan syariah sa-

adalah adanya karakteristik pre-determined ngat selektif dan menganut prinsip ”prudent”

return (kepastian hasil). Padahal bunga yang

PROSPEK PEMBIAYAAN SYARIAH UNTUK SEKTOR PERTANIAN Ashari dan Saptana PROSPEK PEMBIAYAAN SYARIAH UNTUK SEKTOR PERTANIAN Ashari dan Saptana

Musyarakah

ploitasi perekonomian, bahkan cenderung me- Musyarakah (Partnership/Project Finan- nyebabkan resources misalocation dan pe-

cing Participation) merupakan kerjasama per- numpukan kekayaan pada sekelompok orang.

kongsian dua pihak atau lebih untuk melaku- Dengan karakteristik seperti diuraikan

kan kegiatan usaha. Masing-masing pihak sebelumnya, lembaga keuangan syariah ber-

memberikan kontribusi tertentu dengan kese- peluang besar untuk diterapkan pada sektor

pakatan keuntungan dan risiko ditanggung pertanian. Usaha pertanian yang penuh risiko

bersama sesuai kesepakatan. Musyarakah ini membutuhkan pembiayaan yang lebih fleksibel

meliputi jenis-jenis transaksi yang sangat luas. terutama dalam pembagian keuntungan atau

Menurut Karim (2001) secara garis besar mu- kerugian dalam berusaha. Selain sistem bagi

syarakah terdiri atas empat jenis, yaitu: sya- hasil lembaga keuangan syariah juga mena-

rikat keuangan (amwal), syarikat operasional warkan produk dengan sistem jual beli, sewa

(a’mal), syarikat good will (wujuh) dan syarikat maupun gadai. Produk pembiayaan syariah

mudharabah.

yang dapat diterapkan pada usaha agribisnis Banyak jenis usaha yang yang dapat antara lain: mudharabah, musyarakah, muza-

dibiayai dengan musyarakah, antara lain per- ra’ah, musaqoh, bai’ murabahah, bai’ istishna,

dagangan, industri, usaha atas dasar kontrak bai’ as-salam, dan gadai (rahn).

dan lain-lain. Beberapa kegiatan usaha dalam bentuk perkongsian, yang mirip dengan jenis

Mudharabah

pembiayaan musyarakah adalah PT, CV, dan Mudharabah (Trust Financing/Trust

koperasi. Kegiatan agribisnis dengan jenis Invesment) merupakan akad kerjasama antara

usaha yang luas sangat memungkinkan me- dua pihak, dimana pihak pertama (pemilik

makai skim musyarakah ini. modal) sebagai penyedia modal (100%), se-

dangkan pihak lain sebagai pengelola modal.

Muzara’ah

Keuntungan yang diperoleh dalam kerjasama ini dibagi menurut kesepakatan yang dituang-

Skim muzara’ah (harvest-yield profit kan dalam kontrak. Risiko kerugian ditanggung

sharing) adalah khusus diterapkan di bidang sepenuhnya oleh pemilik modal, kecuali ke-

pertanian. Muzara’ah merupakan kerjasama rugian yang ditimbulkan akibat kelalaian pe-

pengelolaan pertanian antara pemilik lahan ngelola seperti penyelewengan, penyalahgu-

dan penggarap, dimana pemilik lahan menye- naan atau bentuk kecurangan lainnya. Jenis

rahkan lahannya untuk dikelola si penggarap usaha yang dapat dibiayai dengan mudha-

dengan imbalan bagian tertentu (persentase) rabah meliputi perdagangan, industri, modal

dari hasil panen. Dalam muzara’ah ini benih kerja atau investasi termasuk di bidang agri-

berasal dari pemilik lahan, sedangkan jika bisnis.

benih dari penggarap disebut mukhabarah (Antonio, 2001).

Implementasi mudharabah di sektor pertanian dapat dilakukan melalui kemitraan

Skim muzara’ah ini sudah sangat usaha. Pola kemitraan yang dekat dengan

populer di kalangan petani dengan istilah mudharabah adalah model contract farming

sakap-menyakap. Hasil kajian Saptana et al yang telah dikembangkan dalam bentuk Peru-

(2003) menunjukkan bahwa sistem sakap me- sahaan Inti Rakyat (PIR) serta Kerjasama

nyakap masih banyak dijumpai baik di pede- Operasional Agribisnis (Deptan, 1997). Berda-

saan Jawa maupun Luar Jawa. Sistem sakap sarkan jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis,

yang berlaku di Jawa umumnya maro (1/2) mudharabah dibagi menjadi dua jenis, yaitu

dimana hasil dan biaya saprodi dibagi dua. mudharabah mutlaqoh dan mudharabah mu-

Pada kasus lain biaya saprodi ditanggung oleh qoyyadah. Pada mudharabah mutlaqoh, pihak

penggarap. Di samping sistem maro, juga di- pengelola diberi keleluasaan untuk menentu-

temukan mertelu (1/3) dan merempat (1/4) di kan jenis usahanya, waktu pelaksanaan, serta

Jawa Tengah, tetapi sistem ini mulai jarang wilayah bisnisnya. Adapun pada mudharabah

ditemukan. Pada sistem maro di Luar Jawa, muqoyyadah ketiga hal tersebut sudah ditentu-

hasil dibagi dua dan biaya saprodi menjadi kan oleh pemilik modal.

tanggungan pemilik lahan. Pada kasus lain, saprodi menjadi tanggungan bersama pemilik

FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI . Volume 23 No. 2, Desember 2005 : 132 - 147

PROSPEK PEMBIAYAAN SYARIAH UNTUK SEKTOR PERTANIAN Ashari dan Saptana

dan penggarap. Di tempat lain juga ditemukan sistem 2/3 dan 3/5, tetapi juga mulai jarang ditemukan

Bervariasinya sistem bagi hasil di pedesaan, baik di Jawa maupun luar Jawa dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: (1) Kelas lahan, yang menunjukkan jarak lahan terhadap jalan utama. Semakin dekat dengan jalan utama, bagian yang diterima pemilik la- han semakin besar dan demikian sebaliknya; (2) Kesuburan lahan, yang biasanya direflek- sikan oleh tipe irigasi; semakin subur lahan atau semakin baik sistem irigasinya, maka bagian pemilik lahan semakin besar; (3) Ting- kat ketersediaan/kelangkaan lahan; semakin melimpah lahan, maka bagian yang diterima pemilik lahan makin kecil; (4) Tingkat keterse- diaan tenaga kerja; ketersediaan tenaga kerja yang relatif melimpah akan semakin mengura- ngi bagian penggarap; dan (5) Hubungan anta- ra pasar lahan dan tenaga kerja berpengaruh terhadap sistem sakap menyakap.

Bai’ Al Murabahah

Bai’ Al murabahah (differed payment sale) adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepa- kati. Lembaga pembiayaan akan membelikan suatu barang yang dibutuhkan nasabah, ke- mudian nasabah menerima tersebut dan mem- bayar sesuai dengan kemampuan (besarnya berdasarkan kesepakatan). Produk ini dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan usaha (modal kerja dan investasi seperti pengadaan barang modal: mesin, peralatan pertanian, dll) maupun kebutuhan perseorangan. Dalam sek- tor pertanian, bai’ murabahah ini dapat diman- faatkan untuk pembelian alat dan mesin perta- nian, seperti hand tractor, pompa air, power thresher, rice milling unit dan sebagainya.

Bai’ As-salam

Bai’ as-salam (in front payment sale) merupakan jual beli dengan ketentuan si pem- beli membayar saat ini, sedangkan barang akan diterimanya di masa mendatang. Bai’ as- salam berbeda dengan praktek ijon yang telah dikenal dan dipraktekkan masyarakat pedesa- an hingga saat ini. Dalam sistem ijon sama se- kali tidak jelas kuantitas barang yang diper- jualbelikan serta sangat spekulatif. Pada bai’ as-salam disyaratkan harus jelas kuantitas,

kualitas barang serta waktu pembayaran-nya. Untuk sektor pertanian, skim bai’ as-salam bi- sa diaplikasikan. Sebagai gambaran misalnya, perbankan syariah melakukan sendiri atau memberikan pinjaman kepada nasabah untuk membeli gabah petani dengan harga yang la- yak. Sistem pengadaan atau pembelian ga- bah, seperti yang dijalankan Bulog, dapat me- ngadopsi skim bai as-salam ini.

Bai’ Al-istishna

Bai’ al-istishna. (purchase by order or manufactured) disebut juga sebagai piutang istishna, adalah fasilitas penyaluran dana un- tuk pengadaan barang investasi berdasarkan pesanan. Dalam transaksi bai’ al-istishna ini ada kontrak antara pembeli dan pembuat barang, dimana pembuat barang menerima pesanan dari pembeli. Kedua belah pihak ber- sepakat atas harga serta sistem pembayaran; apakah dilakukan dengan kontan, melalui ci- cilan, atau ditangguhkan pada masa menda- tang.

Ar Rahn

Ar Rahn (mortage) adalah menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan atas peminjaman yang diterimanya. Barang yang ditahan tersebut harus memiliki nilai ekonomis, dan pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya. Menurut Sayyid Sabiq dalam Antonio (2001) rahn adalah semacam jaminan utang atau gadai. Dalam hubungannya dengan bidang pertanian praktek gadai/rahn sudah umum dijumpai di pedesaan.

Hasil kajian Saptana et al. (2003) memberikan informasi bahwa sistem gadai sudah relatif lama dikenal di pedesaan. Per- kembangan sistem gadai saat ini memang mulai jarang ditemukan di pedesaan Jawa, namun masih relatif banyak ditemukan di Luar Jawa. Dari banyak kasus dapat dikemukakan bahwa terdapat kecenderungan terjadinya per- geseran sistem gadai ke arah sistem bagi hasil dan akhirnya ke sistem sewa lahan.

Walaupun ada beberapa jenis pembia- yaan yang ditawarkan oleh lembaga keuangan syariah, pola pembiayaan mudharabah dan musyarakah menggunakan konsep ”asset and production based” merupakan ide utama dan

FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI . Volume 23 No. 2, Desember 2005 : 132 - 147

menjadi ”pembeda” dengan lembaga konven- sional (Beik, 2005). Ada beberapa keunggulan yang dimiliki dua pola pembiayaan ini. Perta- ma, kedua pola tersebut adalah manifestasi dari prinsip risk-profit sharing yang merupakan inti utama sistem perbankan syariah. Kedua, mudhorobah dan musyarakah merupakan mo- del pembiayaan investasi yang memiliki dam- pak nyata terhadap pengembangan sektor riil dan tingkat produktivitas sumberdaya manusia atau umat. Ketiga, konsep mudhorobah dan musyarakah akan menggiring perubahan peri- laku ekonomi ke arah yang lebih baik dan pro- duktif. Para nasabah (pemilik dana) akan lebih peduli terhadap dana yang disimpannya. Ber- beda dengan nasabah bank konvensional yang kurang peduli terhadap dana depositonya karena dijanjikan menerima suku bunga yang tetap.

Pengembangan Produk Pembiayaan Syariah

Pengembangan produk (product deve- lopment) perbankan syariah merupakan salah satu hal yang penting dan mendasar dalam industri perbankan syariah. Hal ini sesuai de- ngan visi dan sasaran pengembangan bank syariah sebagaimana tercantum dalam Cetak Biru (Blue Print) Pengembangan Perbankan Syariah (Bank Indonesia, 2005). Visi pengem- bangan ini mencerminkan harapan agar per- bankan syariah memiliki posisi tegas dalam memberi dukungan terhadap sektor riil. Salah satu tantangan serius pengembangan produk dalam pembiayaan syariah adalah sejauh ma- na lembaga ini dapat menghasilkan produk perbankan syariah yang dapat memenuhi ke- butuhan sektor riil. Semakin banyak produk perbankan Syariah yang dapat memenuhi sek- tor riil, maka semakin kuat posisinya dalam mendukung sektor riil.

Di antara sasaran pengembangan bank-bank syariah adalah terciptanya stabilitas sistemik serta terealisasinya kemanfaatan bagi masyarakat luas (Bank Indonesia, 2005). Hal tersebut ditandai dengan:

1. Terpenuhinya kebutuhan bank syariah di seluruh di Indonesia dengan target pangsa sebesar 5 persen dari total aset perbankan nasional.

Kebutuhan masyarakat akan pelayanan perbankan syariah terkait erat dengan ma-

syarakat yang menginginkan layanan pro- duk perbankan syariah itu sendiri. Dengan demikian upaya memenuhi kebutuhan ma- syarakat, subtansinya merupakan upaya penyediaan produk perbankan yang se- suai dengan kebutuhan. Pengembangan produk merupakan upaya penyesuaian produk perbankan syariah dengan karakte- ristik kebutuhan masyarakat.

2. Terwujudnya fungsi perbankan syariah yang kaffah dan dapat melayani seluruh segmen masyarakat.

Produk perbankan syariah yang sesuai dan dapat memenuhi kebutuhan seluruh segmen masyarakat dengan sendirinya akan memposisikan bank syariah sebagai pelayan masyarakat, dan sekaligus meng- efektifkan fungsi bank syariah secara kaffah. Dengan demikian, pengembangan produk menjadi salah satu tahapan pen- ting yang harus dilakukan oleh para pelaku industri perbankan syariah.

Sebelum diimplementasikan, pengem- bangan produk industri perbankan syariah per- lu memperoleh persetujuan Bank Indonesia, yang didasarkan atas fatwa dari Dewan Sya- riah Nasional (DSN). Hubungan koordinatif an- tara BI dan DSN sebagai suatu keharusan; dan hal ini ditegaskan dalam PBI No.6/24/PBI/ 2004 tentang Bank Umum Yang Melaksana- kan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Sya- riah. Pendekatan pengembangan produk per- bankan syariah diilustrasikan pada Gambar 1.

Dari Gambar 1 dapat dikatakan bahwa pengembangan produk perbankan syariah di- pengaruhi oleh:

1. Pendekatan yang dilakukan oleh BI agar pengembangan produk berada dalam kori- dor kesesuaian dengan prinsip kehati-hati- an yang dapat mendukung kesinambung- an dan kestabilan industri perbankan sya- riah.

2. Pendekatan yang dilakukan oleh DSN agar pengembangan produk berada dalam koridor kesesuaian dengan prinsip syariah.

3. Pendekatan yang dilakukan pelaku per- bankan syariah agar pengembangan pro- duk berada dalam koridor kesesuaian de- ngan kebutuhan masyarakat.

Berdasarkan Laporan Bank Indonesia (2005), perkembangan produk perbankan sya- riah tahun 2004 menunjukkan beberapa ke-

PROSPEK PEMBIAYAAN SYARIAH UNTUK SEKTOR PERTANIAN Ashari dan Saptana

cenderungan. Pertama, adanya upaya untuk menciptakan alternatif produk bank syariah se- perti dalam perbankan konvensional dengan beberapa penyesuaian. Hal ini terjadi karena masyarakat masih memiliki tingkat familiaritas yang tinggi terhadap produk perbankan kon- vensional sehingga perbankan syariah secara teknis menyetarakan produknya dengan pro- duk perbankan konvensional (mirror image syndrome). Kedua, kecenderungan penciptaan alternatif produk yang sangat beragam, bukan hanya produk yang lazim dikenal sebagai produk perbankan, tetapi juga produk lainnya. Hal ini bersumber pada pendapat bahwa pro- duk perbankan syariah secara nature memang memiliki spektrum yang lebih luas dibanding perbankan konvensional. Kecenderungan ter- sebut perlu mendapat perhatian serius, ter-uta- ma dari pihak perbankan syariah agar proses intermediasi dijalankan secara hati-hati dan tetap berpihak pada sektor riil, tanpa kehila- ngan nature-nya. Beberapa produk yang di- kembangkan pada tahun 2004 berdasar akad- nya antara lain: murabahah, ijarah, is-tishna, kafalah, dan wakalah.

PROSPEK PEMBIAYAAN SYARIAH UNTUK SEKTOR PERTANIAN

Perkembangan dan Prospek Pembiayaan Syariah

Pembiayaan dengan sistem syariah mulai dikenal di Indonesia sejak berdirinya Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada 1 No-

pember 1991. Pada awal pendiriannya, kebe- radaan bank syariah ini belum mendapat per- hatian yang serius dalam tatanan industri per- bankan nasional. Perangkat hukum saat itu yaitu UU No.7 tahun 1992, hanya membahas bank dengan sistem bagi hasil secara sepintas dan tidak terdapat rincian landasan hukum syariah serta jenis-jenis usaha yang diperbo- lehkan (Antonio, 2001). Pada era reformasi, ditetapkan UU No. 10 tahun 1998 tentang per- bankan yang memberikan landasan hukum le- bih kuat bagi keberadaan sistem perbankan syariah. Dalam undang-undang tersebut diatur secara rinci landasan hukum serta jenis-jenis usaha yang dapat diimplementasikan oleh bank syariah. Undang-undang ini juga membe- rikan arahan bagi bank-bank konvensional untuk membuka cabang syariah atau meng- konversi diri menjadi sebuah bank syariah.

Sebagai lembaga pembiayaan yang masih relatif baru, pangsa pasar perbankan syariah pada akhir tahun 2004 masih berada pada angka 1,1 persen terhadap total aset perbankan nasional. Diperkirakan pada akhir 2005, industri perbankan syariah akan men- capai pangsa sebesar 1,8 persen. Pada tahun 2011, pasar perbankan syariah diperkirakan akan mencapai 5 persen dari total aset per- bankan nasional dengan secara konsisten mendorong peningkatan proporsi pola pem- biayaan secara bagi hasil (Setijawan dan Siregar, 2003).

Dilihat dari pertumbuhannya, perkem- bangan pembiayaan syariah selama 5 tahun terakhir sangat signifikan. Pesatnya perbankan

Kesesuaian dengan

Kesesuaian dengan

Prinsip kehati-hatian

Prinsip syariah

Kesesuaian dengan kebutuhan masyarakat

Gambar 1. Pendekatan Pengembangan Produk Bank Syariah

Pengembangan Produk

syariah ditandai dengan bertambahnya Bank lain itu, Non Performing Financing (NPF) per- Umum Syariah (BUS), Unit Usaha Syariah

bankan syariah (2,88 %) juga lebih rendah di- (UUS) dan jaringan pelayanan perbankan

bandingkan Non Performing Loan (NPL) per- syariah. Sampai akhir tahun 2004, jumlah bank

bankan konvensional yang mencapai 7,1 per- syariah di Indonesia mencapai 18 buah, terdiri

sen.

atas tiga bank umum syariah, 15 unit usaha Agustianto dalam Syukur (2005) me- syariah dari bank umum konvensional dan 88

ngemukakan bahwa pada tahun-tahun menda- bank perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) de-

tang prospek perkembangan perbankan sya- ngan jumlah jaringan kantor sebanyak 443

riah masih sangat cerah. Keoptimisan itu se- buah (Tabel 3). Tahun 2004 merupakan tahun

tidaknya dilandasi oleh lima faktor utama, yang sangat fenomenal, karena dalam satu

yaitu:

tahun terjadi pembukaan tujuh Unit Usaha Syariah (UUS). Padahal, sebelumnya tamba-

1. Prospek ekonomi Indonesia ke depan se- han tujuh UUS dan konversi satu bank umum

cara keseluruhan diperkirakan akan me- konvensional memakan waktu sekitar lima

ngalami perbaikan dibanding tahun 2004. tahun.

Dengan perkiraan pertumbuhan ekonomi Tabel 3 Perkembangan Lembaga Perbankan Syariah, Menurut Kelompok Bank 2000-2004

Kelompok Bank

Tahun

2003 2004 Bank Umum Syariah

2 2 2 2 3 Unit Usaha Syariah

3 3 6 8 15 Jumlah kantor Bank

237 443 Sumber: Bank Indonesia (2005) * Pada bulan Februari 2005, jumlah UUS bertambah satu lagi yaitu BTN syariah, sehingga jumlahnya menjadi

16. Jadi total bank syariah di Indonesia mencapai 19 buah.

Perkembangan yang pesat juga dapat sebesar 5,4 persen dan investasi sebesar dilihat dari total penyerapan dana maupun

9,5 persen pada tahun 2005, maka dibu- pembiayaan. Dari sisi simpanan masyarakat,

tuhkan sumber pembiayaan investasi de- dana pihak ketiga (DPK) yang pada akhir

ngan total sekitar Rp 480 triliun. Dari jum- tahun 2000 hanya berjumlah Rp 1,03 triliun,

lah ini, besarnya kredit dan pembiayaan telah meningkat menjadi menjadi Rp 9,3 triliun

dari sektor perbankan akan mencapai le- pada September 2004. Demikian pula pem-

bih dari Rp 90 triliun atau tumbuh 16 per- biayaan yang diberikan pada akhir tahun 2000

sen dibanding tahun 2004. Besarnya eks- berjumlah Rp 1,7 triliun menjadi Rp 9,54 tiliun

pansi kredit dan pembiayaan ini jelas akan pada September 2004 (Agustianto, 2004).

membuka peluang untuk semakin mening- Pada tahun 2005 diperkirakan DPK akan men-

katnya operasi dan pangsa pasar per- capai sekitar Rp 20 triliun dengan jumlah pem-

bankan syariah.

biayaan mencapai Rp 21 triliun.

2. Potensi pengembangan bank syariah di Untuk penyaluran DPK, prestasi bank

masa depan bukan hanya disebabkan po- syariah juga sangat baik. Nilai Financing to

tensi pasar yang yang masih besar tapi Deposit Ratio (FDR) atau dalam istilah bank

juga karena situasi ekonomi makro dan konvensional disebut Loan to Deposit Ratio

pricing bunga yang juga lebih rendah di- (LDR) mencapai 104,72 persen pada kurun

banding bagi hasil bank syariah Desember 2003-2004. Dibandingkan dengan

3. Semakin besarnya minat masyarakat un- LDR bank konvensional (45-55 %), maka FDR

tuk mendalami dan melakukan berbagai bank syariah jauh lebih tinggi. Hal ini menun-

transaksi ekonomi berdasarkan prinsip jukkan bahwa pembiayaan syariah berfungsi

syariah. Hal ini juga didukung oleh sema- sangat baik dalam penyaluran seluruh dana

kin kuat dan meluasnya keyakinan umat yang dihimpun guna membiayai sektor riil. Se-

bahwa sistem ekonomi syariah menawar-

FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI . Volume 23 No. 2, Desember 2005 : 132 - 147

PROSPEK PEMBIAYAAN SYARIAH UNTUK SEKTOR PERTANIAN Ashari dan Saptana

kan keunggulan dan kelebihan atas sistem perbankan konvensional.

4. Struktur kelembagaan dan operasi per- bankan syariah dari tahun ke tahun diper- kirakan akan mengalami penguatan dan pembesaran yang signifikan.

5. Inovasi produk perbankan syariah juga akan semakin meluas dan bervariasi, se- hingga mendukung perkembangan operasi perbankan syariah di masa depan.

Jika melihat nilai FDR yang cukup tinggi, kelima faktor tersebut diharapkan seca- ra simultan mampu memberikan dampak be- sar bagi pembiayaan sektor riil, termasuk sek- tor pertanian/agribisnis. Demikian juga dengan semakin besarnya DPK sangat kondusif bagi pembiayaan sektor pertanian yang selama ini belum banyak mendapatkan alokasi kredit yang memadai. Rendahnya alokasi kredit un- tuk sektor pertanian disebabkan oleh panda- ngan penyandang dana yang melihat bahwa sektor pertanian adalah sektor usaha penuh risiko, sehingga tidak menjadi prioritas pem- biayaan. Dengan demikian, keberadaan lem- baga pembiayaan syariah berpeluang besar untuk memperkuat sisi permodalan sektor per- tanian yang masih lemah.

Beberapa hal yang melandasi prospek pembiayaan syariah untuk sektor pertanian adalah sebagai berikut:

1. Karakteristik pembiayaan syariah sesuai dengan kondisi bisnis pertanian.

Dalam dunia bisnis (termasuk sektor per- tanian) fluktuasi besarnya pendapatan su- dah menjadi fenomena umum. Skim pem- biayaan syariah (terutama dengan bagi hasil), sangat sesuai dengan karakteristik bisnis pertanian sehingga lebih memberi- kan rasa keadilan karena untung dan rugi akan dibagi bersama-sama. Artinya petani dan pemilik modal akan bersama-sama bertanggung jawab terhadap jalannya usa-

ha. Berbeda dengan kredit konvensional, petani bertanggung jawab penuh dalam menangung risiko usaha.

2. Skim pembiayaan syariah sudah diprak- tekkan secara luas oleh petani Indonesia.

Secara budaya, banyak petani sudah me- ngenal model pembiayaan yang menye- rupai atau sejalan dengan sistem syariah (mudharabah) seperti maro (pembagian hasil 50:50) dan mertelu (1:2). Dengan

sosialisasi yang lebih intensif, petani akan lebih mudah dan cepat memahami konsep pembiayaan syariah karena secara historis maupun faktual pernah atau mungkin se- dang mempraktekkan model tersebut.

3. Luasnya cakupan usaha di sektor perta- nian.