Analisis dan pemetaan wilayah banjir di DTA Saguling

Analisis dan pemetaan wilayah banjir di DTA Saguling Oleh : Idung Risdiyanto

  Kejadian banjir yang terjadi di daerah tangkapan waduk Saguling terjadi di wilayah Bandung Selatan dan Timur terutama di Kec. Baleendah, Dayeukolot, Bojongsiang dan Majalaya. Kejadian banjir ini hampir terjadi setiap tahun terutama pada saat intensitas hujan yang menghasilkan limpasan permukaan yang tinggi. Seperti di jelaskan pada bagian limpasan permukaan, untuk seluruh daerah tangkapan waduk Saguling menghasilkan limpasan permukaan sebesar 4001 juta m3/tahun atau sekitar 58.3% dari jumlah air hujan yang diterima dalam satu tahun. Berdasarkan limpasan permukaan yang terjadi pada saat kejadian hujan, wilayah ini mempunyai 61.7% luas wilayah dengan potensi limpasan permukaan yang nilainya mendekati nilai intensitas hujannya. Hal ini berarti wilayah ini secara keseluruhan sangat rentan dengan kejadian banjir, terutama di wilayah-wilayah bantaran sungai, area deposisi dan depresi. Guna mengetahui wilayah-wilayah yang rentan terhadap kejadian banjir dan deposisi sedimen digunakan suatu pendekatan analisis spasial sifat hidrologi permukaan. Analisis- analisis yang digunakan meliputi indeks kebasahan topografi (Topography Wetness Index-TWI), akumulasi aliran, kerapatan jaringan sungai dan indeks kecepatan aliran (Streampower index-

  SPI).

  Berdasarkan pada analisis tersebut diatas, wilayah potensial banjir ditentukan oleh faktor- faktor berikut ini: wilayah dengan topografi yang lebih rendah bantaran sungai titik-titik tertentu yang mempunyai nilai akumulasi aliran yang tinggi wilayah dengan nilai TWI-nya sampai dengan tak hingga dan nilai SPI mendekat atau sama dengan nol

  Selain kelima faktor tersebut diatas juga nilai potensial limpasan permukaan yang terjadi di setiap sel atau wilayah yang dibatasi oleh masing-masing subdas. Dengan menggunakan pendekatan maka untuk DTA Waduk Saguling mempunyai wilayah dengan potensi banjir tinggi terdapat di cekungan Bandung.

  Profil topografi

  Topografi wilayah DTA waduk Saguling dengan tegas menunjukkan bahwa terdapat wilayah cekungan yang dibatasi pegunungan disemua sisinya. Jika kemudian ditarik profil melintang dari Selatan ke Utara dan Timur ke Barat, maka akan terdapat suatu bentuk cekungan seperti yang tersaji pada Gambar 1a dan 1b dengan ketinggian rata-rata sekitar 662.5 m dpl. Pada garis melintang Utara-Selatan, nampak bahwa di cekungan Bandung bagian Selatan mempunyai ketinggian permukaan yang lebih rendah dibandingkan dengan bagian Utara, sehingga peluang sebagai dataran banjir di wilayah ini juga lebih besar. Pada garis membujur Timur-Barat, di bagian barat terdapat topografi yang lebih rendah dibandingkan dengan cekungan Bandung dan dibatasi oleh perbukitan yang merupakan batas antara subdas Ciwidey dan Ciminyak. Pada perbukitan yang melintang Selatan-Utara tersebut terdapat suatu celah aliran sungai Citarum yang disebut sebagai Curug Jompong.

  Bantaran sungai

  Aliran utama yang ada di DTA waduk Saguling adalah sungai Citarum Hulu dengan anak sungainya adalah sungai Citarik, Cikeruh, Cikapundung-Cipamokolan, Cisangkuy, Ciwidey, Cihaur dan Ciminyak. Sungai Citarik dan Cikeruh mempunyai outlet di induk sungai Citarum

  Cikapundung dan Cisangkuy yaitu pada kilometer 47.8 dan 48.7. Sedangkan untuk sungai Ciwidey pada kilometer 60.2. Outlet yang berdekatan tersebut akan mengakibatkan potensi luapan sungai yang menimbulkan banjir.

  Untuk mempermudah analisis, maka disusun profil topografi untuk aliran utama sungai Citarum dan setiap anak sungai utama dari sungai Citarum. Profil topografi sungai Citarum menunjukkan bahwa pada rentang +10 km terdapat 4 outlet sungai, pada ketinggian yang relatif sama sekitar 662.5 m dpl seperti yang terlihat pada Gambar 2. Hal ini akan berakibat potensi luapan sungai pada wilayah disekitarnya, terutama di titik pertemuan sungai.

  Gambar 2. Profil topografi sungai Citarum hulu

  Potensi luapan tidak hanya terjadi di sungai Citarum, melainkan juga di sekitar aliran anak sungai karena posisi ketinggian aliran setiap anak sungai sebelum masuk ke sungai Citarum pada posisi yang rendah dengan tingkat kemiringan mendekati 0 % seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3a,b,c,d dan e. Kondisi tingkat kemiringan tersebut menyebabkan waktu konsentrasi yang diperlambat dan mengakibatkan jumlah air limpasan yang terakumulasi akan tertahan dalam waktu yang lebih lama, sehingga jika jumlah limpasan melebihi kapasitas badan airnya, maka akan terjadi luapan di sepanjang bantaran sungai. Berdasarkan tingkat ketinggian permukaan untuk setiap aliran anak sungai, maka dengan menggunakan pendekatan ketinggian yang sama dengan titik pertemuan dengan S. Citarum, maka potensi luapan yang dapat terjadi untuk masing masing sungai yang diukur menurut panjang anak sungai dari titik outletnya adalah S. Cikeruh 25%, S. Citarik 22.16%, S. Cikapundung 10.3%, S. Cisangkuy 27.8% dan S. Ciwidey 15%. Garis merah pada Gambar 3 menunjukkan potensi luapan sungai.

  Gambar 3e. Profil topografi sungai Citarik Gambar 3e. Profil topografi sungai Cikeruh

Gambar 3e. Profil topografi sungai Cikapundung

  Gambar 3d. Profil topografi sungai Cisangkuy Gambar 3e. Profil topografi sungai Ciwidey Nilai akumulasi aliran

  Akumulasi aliran (Flow accumulation) adalah salah satu sifat hidrologi permukaan yang diturunkan dari data topografi. Akumulasi aliran ini akan membentuk suatu jaringan aliran dan batas wilayah (poligon) suatu aliran sungai. Semakin rapat/dekat suatu wilayah yang mempunyai akumulasi aliran yang nilainya tinggi, akan menyebabkan wilayah tersebut akan menerima air limpasan permukaan yang besar dan berpotensi menjadi wilayah tergenang jika kemiringan lahan diwilayah tersebut bernilai 0-2%. Dari hasil analisis nilai akumulasi aliran, wilayah yang mempunyai nilai akumulasi aliran paling besar terletak di Bandung bagian Selatan seperti yang disajikan pada Gambar 4. Seluruh aliran permukaan akan terkonsentrasi di wilayah tersebut, sehingga wilayah-wilayah ini berpotensi banjir pada saat jumlah limpasan permukaan yang terjadi tidak dapat lagi ditampung oleh badan air yang tersedia dengan lama

  Gambar 4. Wilayah-wilayah dengan nilai akumulasi aliran yang tinggi Topographic Wetness Index (TWI) dan Stream Power Index (SPI)

  TWI adalah suatu nilai indeks yang menunjukkan faktor topografi seperti sudut dan panjang kemiringan lahan yang berpengaruh terhadap kondisi aliran permukaan di suatu wilayah. Pada suatu wilayah cekungan dan atau bidang datar dengan tingkat kelerengan mendekati 0% akan mempunyai nilai TWI yang besar bahkan bernilai tak hingga.. Pada kondisi tersebut, pergerakan aliran permukaan hanya ditentukan oleh gaya kinetik dari aliran tersebut dan tidak dipengaruhi oleh gaya gravitasinya, sehingga aliran limpasan permukaan yang terjadi cenderung mempunyai waktu konsentrasi yang lama dan jumlahnya akan terakumulasi di tempat tersebut. Oleh karena itu, jika besar limpasanyan permukaan melebihi kapasitas badan air yang ada, maka wilayah tersebut akan mengalami banjir. Selain itu, di wilayah-wilayah tersebut akan menjadi daerah pengendapan (deposition area) material yang tereosi dari lahan ataupun tebing-tebing sungai. Sebagian besar wilayah-wilayah di daerah tangkapan waduk Saguling yang mempunyai nilai TWI yang tinggi berada di cekungan Bandung, seperti yang disajikan pada Gambar 5. Selain itu juga di wilayah-wilayah yang relatif datar di bagian Utara dan Timur juga mempunyai nilai TWI yang tinggi. Pada nilai TWI tersebut, maka wilayah-wilayah tersebut adalah daerah yang memiliki kerentanan banjir yang tinggi dan berpotensi sebagai daerah pengendapan sedimen. Oleh karena itu, sebagai akibat dari pengendapan material erosi/sedimen maka akan berdampak pada pendangkalan badan-badan air yang terjadi di wilayah tersebut yang pada akhirnya akan berpotensi menjadi luapan banjir.

  Gambar 5. Nilai TWI daerah tangkapan air waduk Saguling

  SPI adalah suatu indeks yang menunjukkan kekuatan aliran permukaan terutama yang dipengaruhi kondisi besar dan panjang kelerengan suatu lokasi. Semakin besar sudut dan panjang kelerengan akan mempunyai nilai SPI yang besar, sehingga dengan jumlah limpasan permukaan yang besar akan menghasilkan kekuatan aliran yang besar. Nilai SPI ini dapat digunakan sebagai indikator kekuatan erosi lembar, alur, parit dan tebing aliran. Semakin besar nilai SPI, maka potensi pengikisan material erosi/tanah juga semakin besar.

  Gambar 6 menunjukkan nilai SPI daerah tangkapan waduk Saguling. Nilai SPI yang tinggi berada pada alur-alur atau anak sungai Citarum, terutama di wilayah hulu yang mempunyai tingkat kemiringan lahan lebih dari 30%. Selain itu juga disepanjang alur atau aliran permukaan yang terbentuk dari profil topografinya.

  Gambar 6. Nilai TWI daerah tangkapan air waduk Saguling Wilayah potensi banjir

  Setelah melakukan analisis terhadap sifat hidrologi permukaan diatas dan analisis limpasan permukaan yang ada, maka dapat ditentukan wilayah-wilayah yang berpotensi banjir. Data- data analisis tersebut digunakan sebagai input atau parameter dalam model spasial untuk menentukan wilayah potensi banjir. Sebagai dasar untuk pemodelan spasial digunakan proses data raster dengan melakukan kombinasi nilai sel untuk setiap parameter dan interpolasi antar sel dengan faktor pembobot jarak dan topografi. Dengan pendekatan tersebut, untuk daerah tangkapan waduk Saguling mempunyai wilayah yang berpotensi banjir sangat tinggi adalah 3343.3 ha, berpotensi tinggi 4871.3 ha dan berpotensi sedang 6905.6 ha (Tabel 1). Untuk wilayah-wilayah yang berpotensi banjir sangat tinggi terletak di sekitar titik pertemuan sungai seperti S.Citarik, Cikeruh dan Cirasea di Kec Bojongsoang dan S. Cikapundung-Cisangkuy di Kec. Bojongsoang dan Baleendah serta di sepanjang bantaran sungai seperti yang tersaji pada Gambar 7.

  Tabel 1. Luas potensi banjir daerah tangkapan air waduk Saguling

  " #$ %$ & !

  Gambar 7. Wilayah potensi banjir daerah tangkapan air Waduk Saguling

Dokumen yang terkait

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

DEKONSTRUKSI HOST DALAM TALK SHOW DI TELEVISI (Analisis Semiotik Talk Show Empat Mata di Trans 7)

21 290 1

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

MOTIF MAHASISWA BANYUMASAN MENYAKSIKAN TAYANGAN POJOK KAMPUNG DI JAWA POS TELEVISI (JTV)Studi Pada Anggota Paguyuban Mahasiswa Banyumasan di Malang

20 244 2

PERANAN ELIT INFORMAL DALAM PENGEMBANGAN HOME INDUSTRI TAPE (Studi di Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari Kabupaten Bondowoso)

38 240 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24