Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis PER

Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis

PERAN DAN PENGALAMAN LABORATORIUM REGIONAL
VETERINER DALAM MENANGGULANGI
PENYAKIT ZOONOSIS
ISEP SULAIMAN dan BAGOES POERMADJAJA
Balai Besar Veteriner Wates Yogyakarta

PENDAHULUAN
Menurut
WHO
penyakit
zoonosis
didefinisikan sebagai penyakit atau infeksi
yang secara alamiah dapat ditularkan diantara
hewan vertebrata dan manusia. Beberapa
penyakit zoonosis penting di Indonesia antara
lain
anthrax,
rabies,
toxoplasmosis,

salmonellosis, brucellosis, avian influenza, dll.
Kejadian-kejadian penyakit hewan menular
yang bersifat zoonosis di Indonesia selalu
menimbulkan keresahan di masyarakat,
terutama apabila penyakit tersebut telah
memakan korban manusia seperti kasus rabies,
anthrax dan yang terakhir kasus Avian
influenza di Tangerang beberapa waktu lalu.
Kebijakan
pengendalian
dan
pemberantasan penyakit zoonosis di Indonesia
tidak dapat dilepaskan dari pengendalian dan
pemberantasan Penyakit Hewan Menular
(PHM) secara keseluruhan. Sesuai dengan
perubahan paradigma kesehatan hewan bahwa
pembinaan kesehatan hewan tidak cukup
dipandang dari pendekatan penyakit (animal
diseases approach) tetapi lebih luas lagi yaitu
pendekatan

kesehatan
hewan
secara
menyeluruh (animal health approach).
Perubahan pendekatan tersebut memberikan
konsekuensi
bahwa
orientasi
kegiatan
kesehatan hewan tidak bisa hanya ditinjau dari
aspek produksi atau ekonomi semata, akan
tetapi perlu orientasi yang lebih bertumpu
kepada aspek kesehatan dan kesejahteraan
manusia sebagai sasaran akhir. Karenanya
bidang kesehatan hewan harus dipandang dari
berbagai aspek antara lain sebagai bagian dari
pembangunan pertanian melalui pemenuhan
kebutuhan protein hewani masyarakat, bagian
dari kesehatan masyarakat melalui pencegahan
penyakit yang dapat menular dari hewan

kepada manusia (zoonosis) dan bagian dari
kesehatan lingkungan melalui kelestarian
hewan dan lingkungannya. Oleh karena itu

pencegahan, pengendalian dan pemberantasan
PHM yang bersifat zoonosis menjadi sangat
penting.
Keberhasilan
pengendalian
dan
pemberantasan penyakit zoonosis di jajaran
Departemen Pertanian tentunya tergantung dari
beberapa faktor antara lain kecepatan dan
ketepatan deteksi dini dan peneguhan
diagnosis. Sehingga dalam hal ini peran
Laboratorium Kesehatan hewan menjadi sangat
penting dan mutlak diperlukan. Disamping itu
kerja sama lintas sektoral diperlukan dalam hal
ini antara Departemen Pertanian dan
Departemen Kesehatan seperti yang telah

terjalin selama ini.
LABORATORIUM KESEHATAN
HEWAN (LABKESWAN)
Berdasarkan tingkat kemampuan teknis dan
kelengkapan sarana pendukung termasuk
peralatan diagnosa, Laboratorium Kesehatan
Hewan dibawah di Indonesia diklasifikasikan
menjadi 3 tipe yaitu Labkeswan Tipe A yaitu
Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner
Regional (BPPV) dan Balai Besar Veteriner
(BBVet) yang merupakan Unit Pelaksana
Teknis Direktorat Jenderal Peternakan. Di
Indonesia terdapat 7 (tujuh) Laboratorium
Kesehatan Hewan Regional yaitu: BPPV
Regional I Medan, BPPV Regional II
Bukittinggi, BPPV Regional III Bandar
Lampung, Balai Besar Veteriner Wates
Yogyakarta, BPPV Regional V Banjarbaru,
BPPV Regional VI Denpasar dan Balai Besar
Veteriner Maros. Sedangkan Labkeswan Tipe

B berkedudukan di Propinsi dan Labkeswan
Tipe C berkedudukan di Kabupaten/Kota.
Secara umum Labkeswan Tipe A memiliki
fasilitas dan peralatan pendukung serta
kapasitas SDM yang memadai untuk
melakukan dan mendukung peneguhan
diagnosa PHM strategis termasuk berapa

41

Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis

penyakit
zoonosis
penting.
Pengujianpengujian yang secara umum mampu
dilakukan oleh Labkeswan tipe A antara lain:
Isolasi dan identifikasi beberapa bakteri atau
virus penyebab PHM, Pemeriksaan Patologi
Anatomi serta histopatologi, Pengujian

serologi sederhana maupun komplek seperti uji
aglutinasi cepat, HA/HI, CFT, Elisa, Penerapan
teknis diagnosa berbasis biologi molekular
seperti: PCR.
Sedangkan Labkeswan Tipe B pada
umumnya memiliki kemampuan melakukan
pengujian secara serologis seperti aglutinasi
cepat, uji HA/HI, CFT dan Elisa. Isolasi dan
Identifikasi bekteri dan virus serta pemeriksaan
hispatologi belum dilakukan.
Sehubungan keterbatasan sarana, prasarana
dan SDM maka Labkeswan Tipe C umumnya
hanya
melakukan
pengujian-pengujian
sederhana seperti identifikasi telur cacing,
pemeriksaan parasit darah dan ektoparasit.
Untuk menjawab era pasar bebas dimana
persyaratan teknis merupakan hal yang
mendapatkan

perhatian
utama
dalam
perdagangan internasional, maka hasil uji
laboratorium merupakan salah satu hal yang
perlu dijamin mutunya dan dapat diakui secara
global.
Oleh
karenanya
laboratorium
Kesehatan
Hewan
di
dorong
untuk
memperoleh status akreditasi berdasarkan SNI
19-17025-2000 antara lain: BPPV Regional II
Bukittinggi, BPPV Regional III Bandar
Lampung, Balai Besar Veteriner Wates
Yogyakarta, BPPV Regional V Banjarbaru,

dan BPPV Regional VI Denpasar. Sedangkan
Labkeswan Tipe B yang telah memperoleh
status akreditasi adalah Balai Kesehatan
Hewan dan Ikan, Dinas Peternakan, Perikanan
dan Kelautan, Prop. DKI Jakarta.
PERAN LABKESWAN DALAM
PENGENDALIAN DAN
PEMBERANTASAN PHM TERMASUK
PENYAKIT ZOONOSIS
Peran Labkeswan dalam pengendalian dan
pemberantasan PHM termasuk penyakit
zoonosis adalah sesuai dengan Tugas dan
Fungsi pokok Labkeswan yang antara lain:
Pelaksanaan peneguhan diagnosa, Pelaksanaan
penyidikan
penyakit
hewan
secara
epidemiologik veteriner termasuk melakukan


42

surveilans dan monitoring penyakit hewan
serta melakukan analisa resiko, Pusat informasi
kesehatan hewan regional, Pelaksanaan
pengujian dan sertifikasi produk asal hewan
(food borne disease dan zoonosis), Pemberian
saran teknis penanggulangan dan penolakan
penyakit hewan, Penyebaran informasi
kesehatan hewan, dan Pengamanan hewan dan
produk asal hewan.
Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya,
Labkeswan selalu melakukan koordinasi
dengan Dinas Peternakan atau Dinas yang
membidangi fungsi peternakan baik di Propinsi
maupun di Kabupaten/Kota. Disamping itu
koordinasi juga dilakukan dengan Dinas
Kesehatan di tingkat Propinsi maupun
Kabupaten/kota khususnya dalam penanganan
penyakit-penyakit zoonosis.

Peran Dinas Peternakan dalam penanganan,
pengendalian PHM sangat penting terutama
dalam mendukung Sistem Kewaspadaan dini
yang merupakan bagian dari Sistem Kesehatan
Hewan Nasional, pelaporan yang cepat dan
akurat tentang kejadian kasus penyakit
merupakan salah satu kunci keberhasilan
pengendalian PHM. Profesionalitas petugas
dinas dalam mengelola laporan kasus sangat
diperlukan dan berawal dari laporan tersebut
kemudian sampai kepada Labkeswan.
Labkeswan sebagai institusi peneguh
diagnosa akan segera menindaklanjuti laporan
kejadian kasus dengan melakukan penggalian
data termasuk pengambilan sampel dari hewan
mati/sakit.
Labkeswan juga ikut berperan aktif dalam
pembelajaran masyarakat melalui sosialisasi
dalam upaya meningkatkan pemahaman
kepada masyarakat tentang bahaya PHM dan

penyakit
zoonosis
serta
upaya
penanggulangannya
dengan
bekerjasama
seluruh instansi dan pihak lain terkait termasuk
pemuka masyarakat/agama, LSM, keder desa
melalui berbagai cara seperti percetakan
brosur, leaflet, spanduk, sosialisasi melalui
berbagai media (elektronik dan cetak) serta
pertemuan-pertemuan informal.
Partisipasi aktif masyarakat yang timbul
sebagai dampak dari pembelajaran ini akan
sangat membantu terutama dalam deteksi dini
atau pelaporan yang cepat apabila ditemukan
kasus ditengah masyarakat tersebut.

Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis

SITUASI BEBERAPA PENYAKIT
ZOONOSIS DI JAWA
Sampai saat ini beberapa penyakit zoonosis
yang masih merupakan masalah serius dan
menyebabkan keresahan masyarakat antara
lain: anthrax, rabies, dan avian influenza serta
penyakit zoonosis lainnya.
Anthrax
Situasi penyakit anthrax di daerah-daerah
endemis di Jawa relatif terkendali kecuali di
Kabupaten Bogor yang cenderung muncul
setiap tahun dan terakhir tahun 2004 dengan
menimbulkan kematian pada manusia. Selain
itu anthrax pernah terjadi di Kabupaten
Sleman, D.I Yogyakarta pada tahun 2003.
Dalam upaya antisipasi terulangnya wabah
maka setiap tahun Labkeswan dalam hal
BBVet Wates mengadakan kegiatan surveilans
dan monitoring penyakit anthrax di daerahdaerah yang secara historis endemis anthrax
seperti di Kabupaten Purwakarta, Kabupaten
Bogor, Kabupaten Boyolali dan Kabupaten
Sleman D.I Yogyakarta. Monitoring antibodi
pasca vaksinasi juga dilakukan untuk melihat
sampai sejauh mana keberhasilan program
vaksinasi masal yang diterapkan di daerah
endemis anthrax. Dalam hal ini BBVet Wates
bekerja sama dengan Balai Penelitian Veteriner
(Balitvet) Bogor.
Rabies
Rabies adalah penyakit zoonosis paling tua
di dunia dan upaya pengendalian dan
pemeberantasan penyakit tersebut di Indonesia
telah dimulai sejak tahun 1978 dengan ditanda
tanganinya Surat Keputusan Bersama Menteri
Pertanian, Menteri Kesehatan dan Menteri
Dalam Negeri. Sampai dengan akhir tahun
tahun 2004 sebenarnya pulau Jawa sudah
dinyatakan bebas dari penyakit rabies setelah
diterbitkannya Keputusan Menteri Pertanian
No.566/Kpts/PD.640/10/2004
tentang
Pernyataan Propinsi DKI Jakarta, Banten dan
Jawa Barat bebas dari Penyakit Anjing Gila
(Rabies). Sedangkan Propinsi Jawa Timur,
Jawa Tengah dan D.I Yogyakarta telah lebih
dulu dinyatakan bebas rabies sejak tahun 1997.
Tetapi pada bulan Pebruari 2005, ternyata

rabies kembali muncul di Kabupaten Garut,
Jawa Barat sehingga status bebas rabies tidak
dapat dipertahankan di Pulau Jawa.
Kegiatan surveilans dan monitoring secara
rutin dilakukan oleh BBvet Wates bersama
Instansi terkait baik di Propinsi maupun di
Kabupaten/Kota
terutama
di
beberapa
Kabupaten di Propinsi Jawa Barat seperti:
Kabupaten Sukabumi, Kota Sukabumi,
Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Garut.
Disamping surveilans dan monitoring,
BBVet Wates ikut berperan dalam Tim
Koordinasi (TIKOR) rabies dan melakukan
pemantauan ke propinsi/kabupaten tertular
untuk meningkatkan koordinasi antar instansi
terkait dan mengevaluasi perkembangan
pelaksanaan program pengendalian dan
pemberantasan rabies. Pertemuan koordinasi
dilaksanakan secara periodikm di semua
tingkat (pusat, propinsi, kabupaten/kota sampai
kecamatan).
Avian Influenza
Sebagaimana
diketahui
bahwa
pengendalian dan pemberantasan wabah
penyakit avian influenza (AI) di indonesia
bertumpu pada 9 strategi Pananggulangan
avian influenza sebagaimana telah ditetapkan
dalam Keputusan Direktur Jenderal Bina
Produksi
Peternakan
Nomor
17/Kpts/PD.640/F/02.04 tanggal 4 Februari
2004
tentang
Pedoman
Pencegahan,
Pengendalian dan Pemberantasan AI.
Surveilans sebagai salah satu strategi
pengendalian AI secara intensif dilakukan oleh
Labkeswan termasuk BBVet Wates dengan
tujuan antara lain untuk deteksi dini kejadian
AI dan untuk mengetahui penyabaran AI serta
untuk mengetahui status kekebalan unggas
pasca vaksinasi. Sejak terjadinya kasus
kematian pada manusia di Serpong,
Kab.Tangerang yang salah satunya dinyatakan
sebagai Kasus Pasti (Confirmed case) karena
terinfeksi virus AI H5N1, surveilans intensif
tidak hanya dilakukan pada unggas tetapi juga
pada babi yang secara teoritis dapat bertindak
sebagai Mixing vessel dan mampu bertindak
sebagai penular virus AI pada manusia.
Koordinasi telah dilakukan dengan jajaran
kesehatan yang juga melakukan pemantauan
pada manusia yang termasuk beresiko tinggi

43

Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis

terhadap penularan AI seperti petugas kandang,
peternak dan para praktisi kesehatan hewan.
Berdasarkan data BBVet sampai akhir
tahun 2004, penyebaran AI telah mencapai 36
Kabupaten/Kota di Jawa dan telah membawa
korban puluhan unggas mati atau dimusnahkan
dan sampai sejauh ini sejak terjadinya wabah
AI pada tahun 2003, kasus kematian pada
manusia ‘hanya’ terjadi di Serpong, Tangerang
tersebut.. Meskipun demikian sumber atau asal
penularan sampai sejauh ini tidak dapat
ditelusuri dan Departemen Kesehatan secara
resmi telah menghentikan penyidikan sumber
penularan tersebut. Satu kasus pada manusia
juga terjadi di Sulawesi Selatan dimana dari
hasil pengujian serologis di dapat titer antibodi
tinggi
terhadap
AI
meskipun
yang
bersangkutan tidak menampakkan gejala klinis
apapun.
Penyakit zoonosis lainnya
Beberapa
penyakit
zoonosis
yang
memerlukan perhatian kita bersama antara lain
salmonellosis, toxoplasmosis, leptospirosis, dll.
Salmonellosis terutama yang disebabkan oleh
kuman Salmonella enteritidis termasuk
penyakit zoonosis yang penting. Meskipun data
kejadian infeksi S. enteritidis pada manusia di
Indonesia masih minim tetapi kekawatiran
akan infeksi oleh kuman ini sangat besar di
dunia terbukti bahwa hampir semua negara di
dunia mempersyaratkan bebas S. enteritidis
dalam perdagangan antar negara semua produk
asal
unggas.
Untuk
mengantisipasi
perdagangan global tersebut maka labkeswan
dituntut untuk mampu melakukan pengujian
terhadap cemaran S. enteritidis dengan tingkat
akurasi tinggi. Dalam rangka untuk
mendapatkan hasil uji yang standard bagi
labkeswan-labkeswan
maka
disusunlah
Rencangan Standar Nasional Indonesia (RSNI)
tentang Pedoman Cara Uji Salmonella
pullorum/gallinarum
dan
Salmonella
enteritidis pada peternakan pembibitan ayam.
Penyusunan RSNI ini dikoordinasikan oleh
BBVet Wates yang kelak apabila telah diterima
sebagai SNI (Standard Nasinal Indonesia)
dapat digunakan sebagai metode standard oleh
setiap Labkeswan di Indonesia.

44

Secara serologis toxoplasmosis selama
tahun 2004 ditemukan pada beberapa spesies
hewan: kambing, domba dan anjing di Kota
Bandung, Kabupaten Kulon Progo, Bantul, dan
Brebes. Sedangkan kasus leptospirosis selama
tahun 2004 hanya ditemukan pada sapi bibit di
Kabupaten Bandung. Pengujian leptospirosis
dilakukan oleh Balai Penelitian Veteriner
(Balitvet) Bogor karena Balitvet merupakan
satu-satunya laboratorium rujukan untuk
pengujian penyakit tersebut.
KESIMPULAN
Pengendalian dan pemberantasan Penyakit
Hewan Menular (PHM) terutama yang bersifat
zoonosis harus diupayakan dengan sungguhsungguh dalam rangka menciptakan rasa aman
bagi masyarakat yang berhubungan dengan
hewan maupun sebagai konsumen produk asal
hewan. Laboratorium Kesehatan Hewan
mempunyai kontribusi dan peran yang sangat
penting
dalam
mendukung
program
pengendalian dan pemberantasan PHM dan
zoonosis sehingga Labkeswan selalu dituntut
untuk mampu meningkatkan kualitas hasil
diagnosa dan kualitas analisis hasil surveilans.
Disamping itu peran aktip pemerintah daerah
dalam hal ini Dinas peternakan atau yang
membidangi fungsi peternakan terutama dalam
penerapan kebijakan atau peraturan yang
berkaitan dengan kesmavet sangat diperlukan
dalam upaya pengendalian dan pemberantasan
penyakit zoonosis.
Keberhasilan
pengendalian
dan
pemberantasan PHM dan zoonosis juga sangat
tergantung dari terjalinnya kerjasama yang
baik antara Labkeswan dan Dinas/instansi
terkait termasuk dengan Balitvet sebagai
laboratorium rujukan nasional.
DAFTAR PUSTAKA
DIREKTORAT KESEHATAN HEWAN, DIREKTORAT
JENDERAL BINA PRODUKASI PETERNAKAN.
2003. Program Pemberantasan Penyakit
Hewan Menular dan Pemanfaatan Balai
Penyidikan dan Pengujian Veteriner.
BALAI BESAR VETERINER WATES YOGYAKARTA.
2004. Peta Penyakit Hewan di Jawa.