Upah dan Produktifitas Tenaga Kerja di I

Upah dan Produktifitas Tenaga Kerja di Indonesia: Konsep Ekonomi
dan Kenyataan.
Oleh: Kodrat Wibowo, Ph.D1
Latar Belakang
Sistem Penentuan Upah (pengupahan) yang berlaku di Indonesia adalah sistem yang
berbasis indeks biaya hidup dan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) per Kapita sebagai
proksi dari tingkat kemakmuran, dengan kata lain berbasiskan angka Kehidupan hidup
layak (KHL) dan tingkat inflasi. Sistem pengupahan di Indonesia juga mendasarkan
penentuannya melalu mekanisme konsultasi tripartit dalam menetapkan upah minimum
antara wakil pengusaha, wakil pekerja dan wakil dari pemerintahan. Wakil pemerintahan
selain dalam fungsinya sebagai fasilitator dan mediator bila diperlukan pada akhirnya
akan juga berperan sebagai pengambil kebijakan sekaligus mengesahkannya secara
hukum.
Sementara itu sebagian kalangan berargumen bahwa penentuan upah melalui mekanisme
tripartit dan berbasiskan pada biaya hidup sangatlan jauh dari upaya pencapaian kondisi
perekonomian yang pro terhadap keberlanjutan economic growth, perluasan lapangan
kerja dan produktifitas bangsa. Sistem yang ada dinilai lebih cenderung mengarah pada
arogamsi pola pemerintahan yang tetap memiliki paradigma lama bahwa peran
pemerintah adalah superior dalam perekonomian sektor riil. Selain itu, sistem yang ada
juga dinilai lebih banyak mengakibatkan menurunnya daya saing industri, daerah dan
sekaligus juga daya saing negara terutama sebagai daya tarik terhadap investor baik PMA

maupun PMDN.
Karenanya sering digaungkan wacana dan pendapat agar sistem pengupahan harus
didasarkan secara proposional juga pada tingkat produktifitas tenaga kerja. Apindo dalam
hal ini merupakan pihak yang paling dominan menginginkan adanya sistem pengupahan
berbasiskan produktifitas agar pertumbuhan sebuah perusahaan, industri, bahkan wilayah
sejalan dengan tingkat kesejahteraan pegawainya, tenaga kerjanya dan masyarakatnya
secara respektif. Namun ini tidak berarti bahwa pihak pekerja tidak mendukungnya pula.
Pihak dari Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) dalam sebuah surat
kabar nasional pernah mengatakan bahwa yang diinginkan oleh pekerja adalah suatu
sistem pengupahan yang selain menciptakan kualitas hidup layak juga mendorong
produktifitas. Upah yang diterima pekerja sebaiknya didasarkan kepada kesepakatan
antara pengusaha dan serikat pekerja saja (PKB) saja, dengan catatan bila perusahaan
untung maka pekerja layak mendapatkan kenaikan upaha namun bila perusahaan rugi
maka dimungkinkan pekerja tidak dinaikkan upahnya.
Dalam hal ini rupanya terdapat kesepakatan diatas permukaan opini antara pihak
pengusaha dan pekerja bahwa sistem pengupahan yang baik adalah sistem pengupahan
yang mengedepankan pertimbangan produktifitas tenaga kerja, bukan hanya
1

Ketua Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan, FE Unpad, Sekretaris dan Peneliti Lembaga

Penelitian, Pengabdian pada Masyarakat dan Pengkajian Ekonomi (LP3E) FE Unpad.

1

mendasarkan penentuan upah minimum pada kemampuan daya beli dan inflasi saja. Yang
menjadi pertanyaan sekarang adalah bagaimana mengukur secara seakurat mungkin
tingkat produktifitas umum sebuah wilayah? bahkan bila perlu tingkat produktitas parsial
secara detail baik di tingkat industri maupun tingkat perusahaan secara individual.
Definisi Upah:
Upah bagi pekerja merupakan hak yang harus diperoleh
karena nilai sumbangsihnya dalam proses produksi
menciptakan nilai tambah.
 Upah harus mencerminkan nilai jabatan yang dipangku
seseorang di suatu organisasi perusahaan dan organisasiorganisasi pada umumnya dalam suatu industri. Nilai jabatan
yang lebih tinggi akan memberikan besaran upah yang lebih
tinggi.
 Besarnya upah yang diterima seseorang atau perbedaan
nilai jabatan harus mencerminkan rasa keadilan dalam
organisasi itu (equity) dan nilai jabatan yang ada di pasar
(kompetitif).

 Tidak ada kenaikan upah tanpa kenaikan nilai jabatan
kecuali bagi perusahaan yang mampu dapat melakukan
penyesuaian atau pemberian insentif untuk mempertahankan
karyawan yang baik.
 Mekanisme penyesuaian diatur dalam ketentuan perusahaan
dengan mempertimbangkan prestasi kerja yang telah dicapai
secara individu


Definisi Produktifitas (APINDO, 2005)
Produktivitas tenaga kerja merupakan bagian kewajiban
tingkat hasil kerja yang harus diberikan pekerja kepada
pemberi kerja.
 Peningkatan
produktivitas
tenaga
kerja
merupakan
tanggung
jawab

dari
berbagai
pihak;
perusahaan
menyediakan alat, fasilitas pelatihan, dan prasarana kerja
lainnya,
sementara
karyawan
berkewajiban
untuk
menampilkan ethos kerja, sikap peduli dan
 disiplin yang baik, berinisiatif untuk melakukan perbaikan
hasil kerja secara terus menerus.
 Peningkatan
produktivitas merupakan sumber dasar
perbaikan upah riil dan standar hidup. Peningkatan
produktivitas juga merupakan tekanan anti inflasi dalam
mengimbangi atau menyerap peningkatan upah riil.
 Tingkat produktivitas tenaga kerja berbanding lurus dengan
tingkat upah pada umumnya.



2

Definisi Produktivitas (ILO):
Pengukuran seberapa baik sumber daya yang digunakan
bersama didalam organisasi untuk menyelesaikan suatu
kumpulan hasilhasil.
Meurut ILO produktifitas adalah
Perbandingan antara elemen-elemen produksi dengan yang
dihasilkan merupakan ukuran produktivitas. Elemen - elemen
produksi tersebut berupa : tanah, kapital, buruh, dan
organisasi.
Definisi Produktivitas (DPN):
Sikap mental yang selalu mempunyai pandangan bahwa mutu
kehidupan hari ini harus lebih baik dari hari kemarin dan hari
esok lebih baik dari hari ini. Pada dasarnya produktivitas
harus dapat memenuhi unsur efektifitas, efisien dan kualitas.
Tingkat Produktifitas Secara Umum
Secara makro ekonomi PDB/PDRB dapat dihitung dengan beberapa

methode dan indikator: (1) Produksi (2) Pengeluaran, dan (3)
Penerimaan. Dalam kaitannya dengan produktifitas maka dengan
PDB/PDRB pula dapat kita hitung berapa Total Factor Productifity (TFP)
dari sebuah negara. TFP menggambarkan sejauh mana faktor produksi
sebuah wilayah/negara yaitu modal (Kapital) dan Tenaga Kerja (Labor)
dapat bersinergi sehingga perekonomian di wilayah/negara tersebut
dapat menghasilkan output yang lebih besar. Angka TFP yang tinggi di
suatu daerah menunjukkan bahwa output yang dihasilkan dapat
diperoleh melalui input yang sedikit saja (produktifitas tinggi).
Tabel 1. Perbandingan TFP Secara Umum Beberapa Negara

3

Dengan meminjam model makro ekonomi: Yt = ZtF(Kt,Lt), Total Factor Productivity
(TFP) didefiniskan sebagai berikut Yt/F(Kt,Lt) . TFP juga sering digunakan sebagai proksi
dari tingkat teknologi yang berlaku disebuah daerah. Dengan penggunaan sedikit
mungkin faktor produksi K dan L dan dihasilkan suatu tingkat output tertentu ini
mengartikan bahwa terdapat faktor lain yang ikut berperan dalam pembentukan output
tersebut yaitu teknologi. Namun TFP ini tidaklah harus selalu beranggapan bahwa faktor
selain Kapital dan Labor yang dominan dalam upaya meningkatkan output adalah

teknologi2, faktor lainnya seperti kebijakan moneter, fiskal, politik mungkin saja ikut
berperan dalam pembentukan output tersebut.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penggunaan TFP dalam menghitung tingkat
produktifitas secara umum memiliki kelemahan yaitu tidak otomatis dapat langsung
menghitung peran labor dalam peningkatan output, terlebih lagi bila kita sadari bahwa
penghitungan output disini seringkali bersifat absolut, bukannya marginal yaitu seberapa
penambahan faktor produksi (K dan L) dapat meningkatkan output sebesar angka
tertentu.
"Growth in total-factor productivty (TFP) represents output growth not
accounted for by the growth in inputs." -- Hornstein and Krusell (1996).
Dengan memperhitungkan nilai margina, pengukuran Produktivitas
dapat juga dihitung sebagai hasil dari Input (I) dibagi Output (O).
Semakin besar output dan semakin kecil input maka produktivitasnya
semakin besar. Produktivitas juga dapat digambarkan sebagai berikut :
 Produktivitas (P) naik apabila Input (I) turun, Output (O) tetap
 Produktivitas (P) naik apabila Input (I) turun, Output (O) naik
 Produktivitas (P) naik apabila Input (I) tetap, Output (O) naik
 Produktivitas (P) naik apabila Input (I) naik, Output (O) naik tetapi
jumlah kenaikan Output lebih besar daripada kenaikan Input.
 Produktivitas (P) naik apabila Input (I) turun, Output (O) turun

tetapi jumlah
 penurunan Input lebih kecil daripada turunnya Output.
2

Teknologi dalam pengertian ekonomi adalah keadaan dimana kita dapat menambah output tanpa harus
menambah besaran faktor/input produksi. Dengan kata lain untuk menghasilkan suatu output yang sama,
kita dapat menggunakan /faktor/input produksi lebih sedikit.

4

Tingkat Produktifitas Secara Mikro
Untuk pengukuran produktivitas di tingkat perusahaan biasanya
digunakan pula penghitungan Produktivitas Total Faktor (TFP)
perusahaan yang dihasilkan dari penghitungan Nilai Tambah, labor
share dan capital share. TFP ini adalah hasil dari Produktivitas dari
semua variabel yang mendukung berjalannya suatu usaha. Didapat 4
komponen pendukung peningkatan TFP yaitu : Quality of labour,
Capital structure, Demand Intensity dan Technical Progres. Dari kajian
tersebut tercermin bahwa Produktivitas total faktor dihasilkan dari
labour dan juga capital.

Bahkan metode penghitungan produktifitas tenaga kerja seringkali dihitung hanya
berdasarkan kacamata labor share yang seringkali melupakan peran kapital, teknologi
dan faktor lainnya. Berikut adalah penghitungan produktifitas secara mikro yang juga
mengandung banyak kelemahan
A. Labor Share adalah :
(upah buruh x jumlah buruh x jam kerja) / Total biaya
W x L x H / TC
Total biaya = biaya buruh + biaya non-buruh. Untuk penyederhanaan, H dianggap sama
untuk semua buruh, sehingga diskusi selanjutnya akan mengarah ke L.
B. Produktivitas:
Harga produk x Jumlah Produk / Jumlah buruh
(P x Q)/L
Kelemahan yang mungkin terbaca dengan asumsi bahwa labor share haruslah meningkat
bila output meningkat adalah:
1. Membandingkan produktivitas dengan labor share adalah bukan perbandingan yang
baik. Dari dua formula di atas, kalau: teknologi, harga produk, jumlah produk, upah
buruh, jam kerja dan total biaya diasumsikan tetap (constant), dari B peningkatan
produktivitas berarti penurunan jumlah buruh, dan dari A dengan adanya penurunan
jumlah buruh, labor share otomatis turun. Jadi kalau plot labor share turun, umumnya plot
produktivitas akan naik.

2. Penurunan biaya buruh dan meningkatnya produktivitas dalam banyak kasus di
industri di Indonesia khususnya banyak melupakan peran teknologi yang berubah cepat.
Industri yang dulunya labor intensif, sekarang menjadi makin kapital intensif. Dari sisi
produktifitas dalam rangka persaingan internasional, peningkatan ekspor dan perolehan
devisa, inilah yang justru diharapkan.
3. Metode penghitungan ini mengabaikan satu hal lain yang lebih penting. Kecilnya labor
share menyebabkan kurva permintaan buruh menjadi lebih inelastis. Artinya jumlah
permintaan tenaga kerja tidak terlalu responsif terhadap perubahan upah. Dengan kata

5

lain, kalau terjadi 'shock' yang membuat upah buruh meningkat, jumlah kesempatan kerja
tidak banyak berkurang. Dengan kecilnya labor share, permintaan tenaga kerja menjadi
tidak elastis, akibatnya pengangguran akan lebih mudah dihindari. Ini menguntungkan
pihak tenaga kerja. Inilah prinsip terkenal "the importance of being unimportant." Serikat
buruh di Amerika selalu mengusahakan agar jumlah buruh sedikit, labor share kecil
(tidak berarti upah juga kecil), permintaan tenaga kerja inelastis, dan kalau ada 'apa-apa'
pekerja yang di 'layoff' oleh perusahaan tidak akan terlalu massive.
4. Semestinya produktivitas -tidak- dihubungkan dengan 'labor cost' tetapi langsung
dengan 'upah buruh'. Karena, kalau pengusaha meminimumkan biaya produksi, maka dia

akan membayar upah buruh setara dengan nilai produk marginalnya. Nilai produk
marginal ini bisa mencerminkan produktivitas tenaga kerja. Secara matematis bisa
ditunjukkan bahwa kondisi optimal (dalam suasana kompetitif) agar biaya minimum
adalah:
Upah = harga barang output x produk marginal tenaga kerja.
W = P. MPL
Artinya bila produktivitas tenaga kerja naik, P constant, upah buruh W juga mestinya
meningkat.
Korelasi antara Upah tenaga kerja dan Produktifitas Tenaga Kerja
Selalu muncul pertanyaan di benak para stakeholders yang berkepentingan dalam
masalah pengupahan, bila produktivitas tenaga kerja naik, mengapa upah buruh tidak
juga naik ? Bukti-bukti empiris menunjukkan hasil yang ambigius, dengan kata lain
terlihat bahwa secara makro kenaikan upah tenaga kerja tidak berpengaruh secara
kualitatif terhadap kinerja produktifitas secara umum. Gambar dan tabel berikut dapat
dijadikan sebagai ilustrasi yang menarik untuk disimak.
Gambar 1. Perbandingan TFP Sektor Industri Pengolahan Beberapa Negara Asia (19802001)

6

Sumber: World Economic Forums, 2003
Dengan mempertimbangkan bahwa terdapat kecenderungan yang tidak terlalu drastis
dikaitkan dengan kinerja perekonomian Indonesia yang relatif lebih lambat untuk pulih
kembali setelah krisis moneter maka trend dari TFP sektor manufaktur Indonesia juga
tidak akan terlalu meningkat tajam. Sementara upah yang didasarkan pada ketentuan
upah minimum provinsi beberapa propinsi menunjukkan trend yang sebaliknya, yaitu
peningkatan upah yang laju rata-rata-nya jauh diatas tingkat inflasi bahkan tingkat
pertumbuhan ekonomi nasional sekalipun.
Tabel 2. Laju Pertumbuhan Peningkatan UMP (1994-2004)

7

Sumber: Dewan Produktifitas Nasional, 2005
Sementara itu satu penelitian terakhir berbentuk tesis dari Sumarlin, Universitas
Sumatera Utara, 2006 menunjukkan bahwa memang terdapat hubungan yang positif
antara pertumbuhan upah dengan tingkat produktifitas sektor non migas di Indonesia
selama periode tahun 1980 s.d. 2004. Dihasilkan kesimpulan bahwa memang upah yang
tinggi mempengaruhi tingkat produktifitas dengan arah yang positif. Kenaikan satu
persen pada upah akan meningkatkan produktifitas sebesar Rp. 8.8 juta per tenaga kerja.
Namun hasil ambigiu ini memang disadari lebih banyak diakibatkan oleh metode yang
digunakan dalam menghitung tingkat produktifitas itu sendiri. Ditenggarai bahwa
penghitungan tingkat produktifitas yang dilakukan dalam banyak studi yang megkaji
hubungan tingkat upah dan tingkat produktifitas ini tidak memisahkan antara tingkat
produktifitas total input (kapital dan labor) dengan tingkat produktifitas tenaga kerja
secara “stand alone”.
Dengan asumsi pasar tenaga kerja yang relatif kompetitif, upah buruh seharusnya tidak
hanya ditentukan oleh pengusaha (baca: teknologi yang dipakai pengusaha), tetapi
ditentukan pula secara lebih dominan oleh mekanisme pasar tenaga kerja yang berlaku.
Pengusaha untuk kegiatannya jelas membutuhkan tenaga kerja. Permintaan tenaga kerja
ini diwakili oleh kurva permintaan, yang menunjukkan hubungan:
W= harga produk (P) x Marginal Produk Labor (MPL)
Hubungan W dan L melalui MPL adalah negatif. Kalau tenaga kerja sedikit, produktivitas
per unit tenaga kerja makin besar, upah juga tinggi.
Kelompok tenaga kerja menawarkan tenaga kerja diwakili oleh kurva penawaran.
Hubungan antara W dan L adalah positif: semakin tinggi upah, semakin banyak tenaga

8

kerja yang disediakan. Misalkan saja pada kondisi awal, supply tenaga kerja adalah S1.
mekanisme pasar tenaga kerja akan menghasilkan upah W1 dan tenaga kerja L1. Bila
terjadi peningakatan supply tenaga sedangkan kurva permintaan relatif tidak berubah
(banyaknya tenaga kerja yang keluar dari sektor pertanian, atau makin banyaknya anak
lulusan SD/SMP/SMA yang mencari kerja, atau berbagai sebab lain). Kurva penawaran
akan bergeser, hal ini menekan akan upah buruh menjadi W2 < W1. Memang makin
banyak tenaga kerja tertampung di perusahaan (L2 > L1), tetapi upah juga lebih kecil.
Kalau pemerintah memasang upah minimum di atas W2, dalam jangka pendek
pengangguran akan membesar. Permintaan tenaga kerja lebih kecil dari penawaran.
Konsekwensinya, pemerintah harus bertanggung jawab untuk menyalurkan
pengangguran yang akan terjadi.
Upah buruh yang rendah memang memprihatinkan. Tetapi diskusi tentang upah buruh
yang rendah tidak bisa terlepas dari diskusi tentang banyaknya pengangguran di
Indonesia. Melimpahnya penawaran tenaga kerja dengan keterampilan minim merupakan
salah satu penyebab utama upah yang rendah. Selain itu, tingkat inflasi yang cukup tinggi
sebelum kebijakan Inflation targeting juga merupakan faktor penyebab daya beli yang
semakin rendah karena upah yang tinggi bila dihitung secara riil sebenarnya adalah
rendah. Oleh sebab itu bila pemerintah (via Depnaker, Disnaker atau lembaga lainnya)
ingin lebih memperhatikan upah buruh, pemerintah harus juga menyelesaikan secara
simultan dalam mengatasi masalah pengangguran, penciptaan lapangan kerja baru,
peningkatan keterampilan, dst. Pertanyaannya bukan saja 'mengapa pengusaha
membayar upah terlalu kecil', tetapi juga 'mengapa dengan upah yang kecil itu banyak
orang masih mau bekerja.'
“Himbauan' agar pengusaha meningkatkan upah buruh memang enak didengar. Bila
pemerintah 'menghimbau' pada para pengusaha untuk meningkatkan upah, dalam
terminologi ekonomi 'himbauan' ini perlu diterjemahkan sebagai: - “Pemerintah lewat
kordinasi dan sinergitas antar lembaga perlu menyediakan berbagai insentif, baik melalui
pajak atau yang lain agar pengusaha bisa meningkatkan permintaan tenaga kerja lewat
penambahan modal kerja ataupun investasi baru. Contoh: insentif untuk membuka
industri yang padat karya dibanding padat modal, dll. Yang dibutuhkan adalah suatu
'economic policy' yang diawali dengan niatan dalam arti perencanaan dan implementasi
lapangan melalui mekanisme kebijakan antar kelembagaan. Bukannya himbauan dan
kebijakan UMP/UMR.
Kesimpulan
Didalam peningkatan produktivitas sendiri terdapat faktor-faktor yang
sangat berpengaruh pada peningkatannya baik itu di tingkat makro,
mikro maupun bagi tiap individu. Di tingkat makro, stabilitas politik dan
keamanan, kondisi Sumber daya (SDM, alam dan Energi), pelaksanaan
pemerintah, kondisi infrastruktur berupa transportasi dan komunikasi
dan yang tidak kalah penting adalah perubahan struktural dalam
bidang sosial dan budaya. Di tingkat mikro, faktor internal meliputi

9

sumber daya manusia, teknologi, manajemen, demand intensity dan
struktur modal. Selain faktor faktor internal terdapat juga faktor
eksternal yang dapat mempengaruhi meliputi produktivitas di tingkat
mikro diantaranya kebijaksaan pemerintah, kondisi politik, sosial,
ekonomi dan hankam serta tersedianya sumber daya alam. Di tingkat
individu faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas adalah sikap
mental (budaya produktif), pendidikan, ketrampilan, kompetensi dan
apresiasi terhadap kinerja.
Apa keuntungan dari peningkatan produktivitas? Keuntungan
peningkatan produktivitas di tingkat nasional (Makro) dengan
peningkatan produktivitas maka kemampuan bersaing meningkat
khususnya dalam perdagangan internasional yang menambah
pendapatan negara, meningkatkan pertumbuhan ekonomi sehingga
dapat meningkatkan standar hidup dan martabat bangsa,
memperkokoh eksistensi dan potensi bangsa yang berarti
memantapkan ketahanan nasional, sebagai alat untuk membantu
merumuskan kebijaksanaan dalam perencanaan dan pelaksanaan
pembangunan dan tumbuhnya dunia usaha yang membawa pengaruh
bertambahnya lapangan kerja.
Di tingkat perusahaan (mikro) maka dengan peningkatan produktivitas
akan memperkuat daya saing perusahaan karena dapat memproduksi
dengan biaya yang lebih rendah dan mutu produksi lebih baik,
menunjang kelestarian dan perkembangan perusahaan, menunjang
terwujudnya hubungan industrial yang lebih baik dan mendorong
terciptanya perluasan lapangan kerja. Di tingkat individu akan
meningkatkan pendapatan, meningkatkan harkat dan martabat serta
pengakuan potensi individu serta meningkatkan motivasi kerja dan
keinginan berprestasi.
Saran-Saran
Untuk menghitung real labour productivity – break down dari TFP kita
bisa Mulai dengan menentukan determinan dari TFP yaitu: Quality of
Labour, Capital structure, Demand Intensity dan technical progress.
Dari Determinan tersebut dapat kita ketahui berapa real labour
productivity yaitu dari quality of labour (Kompetensi tenaga kerja) dan
technical progress yang dihasilkan dari tenaga kerja (labour share
dikalikan dengan technical progress). Penghitungan tersebut lebih
tepat digunakan pada manufactur sector. Sedangkan untuk service
sector, labour productivity dapat dihitung dengan menggunakan labour
share.
Dari labour cost ini baru kemudian diturunkan kembali berapa besar
untuk fix wage, variable wage, training dan lain-lain sesuai dengan
10

struktur dan skala upahnya dan keadaan pada perusahaan tersebut.
Setiap orang tenaga kerja bisa jadi tidak sama dalam menerima
perubahan upah karena juga dilihat dari kinerja masing-masing dari
setiap orang (absensi, kedisiplinan, kepatuhan, kompetensi dan lainlain). Dan setiap perusahaan akan berbeda beda pula struktur dan
skema upahnya karena disesuaikan dengan struktur organisasi,
budaya perusahaan, keadaan perusahaan yang masingmasing
mempunyai karakteristik tersendiri.
Dengan konsep tersebut maka wage adjustment benar-benar
didasarkan pada produktivitas. Bila memang Pendapatan perusahaan
besar dan real labour productivity besar maka wage adjustment dapat
dihasilkan secara signifikan. Diharapkan dengan konsep ini wage
adjustment dapat adil bagi pekerja dan pemberi kerja, sutainability
perusahaan terjaga, mendorong pekerja untuk lebih produktif dan
pemberi kerja dapat mengembangkan usahanya yang berarti
terserapnya tenaga kerja dan memperbesar pendapatan daerah.
Untuk upah minimum ada baiknya kenaikannya tidak hanya
didasarkan pada kenaikan inflasi terkait komponen hidup minimum,
namun juga berdasarkan data produktivitas tenag kerja nasional. Hal
ini dimaksudkan agar kenaikan upah minimum juga berbanding lurus
dengan kenaikan produktivitas tenaga kerja.
Sekian dan Terima Kasih

11

Dokumen yang terkait

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

DEKONSTRUKSI HOST DALAM TALK SHOW DI TELEVISI (Analisis Semiotik Talk Show Empat Mata di Trans 7)

21 290 1

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

MOTIF MAHASISWA BANYUMASAN MENYAKSIKAN TAYANGAN POJOK KAMPUNG DI JAWA POS TELEVISI (JTV)Studi Pada Anggota Paguyuban Mahasiswa Banyumasan di Malang

20 244 2

PERANAN ELIT INFORMAL DALAM PENGEMBANGAN HOME INDUSTRI TAPE (Studi di Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari Kabupaten Bondowoso)

38 240 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24