Asal muasal budaya kerapan sapi
ASAL MUASAL BUDAYA
KERAPAN SAPI
A. ASAL MULA KERAPAN SAPI
Kerapan sapi pertama kali diadakan di polau podey (spudi)
oleh pangeran Katandur yang diselenggarakan setiap tahun
sekali sebagai wujud perayaan dan tasyakur atas hasil panen.
Beberapa peralatan yang dipergunakan dalam kerapan
sapi yaitu keleles dan pangonong, pangangguy dan rarenggan
(pakaian dan perhiasan) rekeng (alat untuk mengejutkan sapi
agar sapi-sapi dapat berlari cepat).
Dalam kerapan sapi ini tidak ketinggalan yang namanya
sronen (pengiring sapi yang akan dikerap) perangkatnya terdiri
dari sronen, gendang, kenong, kempul, krecek dan gong.
Pada waktu akan dilombakan pemilik sapi
kerap harus mempersiapkan tokang tongko’
(joki), tokang tambeng (bertugas menahan,
membuka dan melepaskan rintangan untuk
berpacu), tokang gettak (mengertak sapi agar
sapi lari cepat), tokang gubra (orang-orang
mengertak sapi yang ada di tepi lapangan),
tokang ngeba tale ( tukang bawa tali sapi dari
start sampai finish) dan tokang tonja (orang
yang bertugas menuntun sapi).
• Beberapa
peralatan yang penting dalam kerapan sapi yaitu
keleles dan pangonong, pangangguy dan rarenggan (pakaian
dan perhiasan) rokong (alat untuk mengejutkan sapi agar
sapi-sapi dapat berlari cepat. Dalam kerapan sapi ini tidak
ketinggalan yang namanya sronen (pengiring sapi yang akan
dikerap) perangkatnya terdiri dari sronen, gendang, kenong,
kempul, krecek dan gong.
• Sisi
lain yang menarik penonton dari kerapan sapi adlah
kesempatan untuk memasang taruhan antar sesama
penonton, jumlah taruhannyapun bervariasi, mulai dari kelas
seribu rupiah sampai puluhan ribu rupiah bahkan sampai
jutaan rupiah, biasanya para penonton yang ada dipinggir
arena taruhannya kecil tetapai, para petaruh besar biasanya
duduk dipodium duduk dijarak kejauhan, transaksi biasanya
dilakukan diluar arena biasanya malam hari sebelum kerapan
sapi dimulai.
Pada masa itu kerapan sapi ini tidak mengunakan rekeng paku
akan tetapai yang mereka gunakan rekeng bambu, perubahan
rekeng paku ke rekeng bambu karena orang spudi berambisi
terhadap sapi-sapinya yang mereka kerap. Kemudian pada tahun
lalu diadakan oleh pemerintah agar tidak memakai benda tajam
(rekeng paku) MUI juga melarangnya sehingga terpecah menjadi
dua bagian:
• Ada yang memakai paku
• Ada yang memakai bambu
• Akhirya
budaya kerapan sapi sekarang ini tidak seprti pada
zaman Pangeran Katandur. Sekarang semua orang
penggemar kerapan sapi sepakat menggunakan benda tajam
(rekeng paku). Pada tahun lalu pemerintah sangat kecewa
karena pelepasan sapi terlalu lama untuk dimulai hingga
menghabiskan waktu berjamjam.
• Kerapan
sapi pada tahun 2016 ini tidak seperti pada tahun
yang sebelumnya karena pada tahun sebelunnya budaya
kerapan sapi ini dilaksanakan selama tiga hari atau dua hri
tapi, pada tahun 2016 ini kerepan sapi ini dilaksakan selama
satu hari, dan ada batasan waktu pelepasan sapi selang
selama 15 menit setelah sapi yang lain di lepas apa bila sapi
tersebut tidak ada dilapangan waktu pelepasan maka panitia
mencoret atau tidak diperkenangkan untuk ikut lomba
kerapan sapi.
• Masyarakat Madura yang berprofesi sebagai petani pada waktu itu,
hanya berinteraksi dan berkomunikasi ketika musim panen tiba.
Namun, setelah itu masyarakat Madura akan terpisah dan tidak
saling berkomunikasi. Untuk itu, Pangeran Katandur berinisiatif
untuk menciptakan Budaya Kerapan Sapi sebagai alat untuk
memperkuat hubungan persaudaraan masyarakat Madura.Oleh
sebab itu, Budaya Kerapan Sapi menjadi budaya khas Madura dan
sangat diminati oleh masyarakat Madura karena memiliki fungsi
untuk memperkuat hubungan solidaritas sebagai modal sosial
masyarakat Madura. Sapi yang biasa dilomba harganya lebih mahal
dari pada tidak seperti sapi biasanya harganya lebih mahal
• H. Sukarta(nasir), Obserfasi Penelitian Lapangan, Proppo : Ds.
Banyu Bulu, 2016
DAMPAK POSITIF DAN NEGATIF TERHADAP AGAMA
• Urf
(budaya atau kebiasaan) yang shahih (positif) ialah:
sesuatu yang saling dikenal oleh manusia, dan tidak
bertetangan dengan dalil syara’, tidak menghalalkan sesuatu
yang diharamkan, dan tidak pula membatalkan sesuatu yang
wajib, sebagaimana iuran untuk mengikuti lomba kerapan
sapi dan mengerap sapi tampa menggunakan kekerasan
yaitu menggunakan rekeng paku.
PROSES PELAKSANAAN BUDAYA
KERAPAN
SAPI
Ada dua tingkat pada proses pelaksanaan budaya
•
kerapan
sapi ini diantaranya:
• Tingkatan kewedanan
• Tingkatan kewedanan
ini adalah tingkatan budaya resmi dan
ditangani oleh pemerintah langsung. Tingkatan kewedanan
ini dibagi menjadi empat Kecamatan diantaranya;
• Kewedanan Proppo: Kec. Proppo, Tlanakan, pamekasan
• Kewedanan Galis: Kec. Galis, Pademau, larangan tokol
• Kewedanan Waru: Kec. Waru, Pakong, Pasean, Kadur
• Kewedanan Pegantenan: Kec. Pegantenan, Palenggaan
• Urf
(budaya
atau
kebiasaan)
yang
fasid(negatif) ialah: sesuatu yang menjadi
tradisi manusia, akan tetapi tradisi itu
bertentangan
dengan
syara’,
atau
menghalalkan sesuatu yang diharamkan, atau
membatalkan
sesuatu
yang
wajib,
sebagaimana bermain judi, menggunakan
kekerasan terhadap sapi (rekeng paku) Abdul
Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang :
Dina Utama, 1994, hlm. 123
SEKIAN TERIMAKASIH
Mator
Sakalangkong
KERAPAN SAPI
A. ASAL MULA KERAPAN SAPI
Kerapan sapi pertama kali diadakan di polau podey (spudi)
oleh pangeran Katandur yang diselenggarakan setiap tahun
sekali sebagai wujud perayaan dan tasyakur atas hasil panen.
Beberapa peralatan yang dipergunakan dalam kerapan
sapi yaitu keleles dan pangonong, pangangguy dan rarenggan
(pakaian dan perhiasan) rekeng (alat untuk mengejutkan sapi
agar sapi-sapi dapat berlari cepat).
Dalam kerapan sapi ini tidak ketinggalan yang namanya
sronen (pengiring sapi yang akan dikerap) perangkatnya terdiri
dari sronen, gendang, kenong, kempul, krecek dan gong.
Pada waktu akan dilombakan pemilik sapi
kerap harus mempersiapkan tokang tongko’
(joki), tokang tambeng (bertugas menahan,
membuka dan melepaskan rintangan untuk
berpacu), tokang gettak (mengertak sapi agar
sapi lari cepat), tokang gubra (orang-orang
mengertak sapi yang ada di tepi lapangan),
tokang ngeba tale ( tukang bawa tali sapi dari
start sampai finish) dan tokang tonja (orang
yang bertugas menuntun sapi).
• Beberapa
peralatan yang penting dalam kerapan sapi yaitu
keleles dan pangonong, pangangguy dan rarenggan (pakaian
dan perhiasan) rokong (alat untuk mengejutkan sapi agar
sapi-sapi dapat berlari cepat. Dalam kerapan sapi ini tidak
ketinggalan yang namanya sronen (pengiring sapi yang akan
dikerap) perangkatnya terdiri dari sronen, gendang, kenong,
kempul, krecek dan gong.
• Sisi
lain yang menarik penonton dari kerapan sapi adlah
kesempatan untuk memasang taruhan antar sesama
penonton, jumlah taruhannyapun bervariasi, mulai dari kelas
seribu rupiah sampai puluhan ribu rupiah bahkan sampai
jutaan rupiah, biasanya para penonton yang ada dipinggir
arena taruhannya kecil tetapai, para petaruh besar biasanya
duduk dipodium duduk dijarak kejauhan, transaksi biasanya
dilakukan diluar arena biasanya malam hari sebelum kerapan
sapi dimulai.
Pada masa itu kerapan sapi ini tidak mengunakan rekeng paku
akan tetapai yang mereka gunakan rekeng bambu, perubahan
rekeng paku ke rekeng bambu karena orang spudi berambisi
terhadap sapi-sapinya yang mereka kerap. Kemudian pada tahun
lalu diadakan oleh pemerintah agar tidak memakai benda tajam
(rekeng paku) MUI juga melarangnya sehingga terpecah menjadi
dua bagian:
• Ada yang memakai paku
• Ada yang memakai bambu
• Akhirya
budaya kerapan sapi sekarang ini tidak seprti pada
zaman Pangeran Katandur. Sekarang semua orang
penggemar kerapan sapi sepakat menggunakan benda tajam
(rekeng paku). Pada tahun lalu pemerintah sangat kecewa
karena pelepasan sapi terlalu lama untuk dimulai hingga
menghabiskan waktu berjamjam.
• Kerapan
sapi pada tahun 2016 ini tidak seperti pada tahun
yang sebelumnya karena pada tahun sebelunnya budaya
kerapan sapi ini dilaksanakan selama tiga hari atau dua hri
tapi, pada tahun 2016 ini kerepan sapi ini dilaksakan selama
satu hari, dan ada batasan waktu pelepasan sapi selang
selama 15 menit setelah sapi yang lain di lepas apa bila sapi
tersebut tidak ada dilapangan waktu pelepasan maka panitia
mencoret atau tidak diperkenangkan untuk ikut lomba
kerapan sapi.
• Masyarakat Madura yang berprofesi sebagai petani pada waktu itu,
hanya berinteraksi dan berkomunikasi ketika musim panen tiba.
Namun, setelah itu masyarakat Madura akan terpisah dan tidak
saling berkomunikasi. Untuk itu, Pangeran Katandur berinisiatif
untuk menciptakan Budaya Kerapan Sapi sebagai alat untuk
memperkuat hubungan persaudaraan masyarakat Madura.Oleh
sebab itu, Budaya Kerapan Sapi menjadi budaya khas Madura dan
sangat diminati oleh masyarakat Madura karena memiliki fungsi
untuk memperkuat hubungan solidaritas sebagai modal sosial
masyarakat Madura. Sapi yang biasa dilomba harganya lebih mahal
dari pada tidak seperti sapi biasanya harganya lebih mahal
• H. Sukarta(nasir), Obserfasi Penelitian Lapangan, Proppo : Ds.
Banyu Bulu, 2016
DAMPAK POSITIF DAN NEGATIF TERHADAP AGAMA
• Urf
(budaya atau kebiasaan) yang shahih (positif) ialah:
sesuatu yang saling dikenal oleh manusia, dan tidak
bertetangan dengan dalil syara’, tidak menghalalkan sesuatu
yang diharamkan, dan tidak pula membatalkan sesuatu yang
wajib, sebagaimana iuran untuk mengikuti lomba kerapan
sapi dan mengerap sapi tampa menggunakan kekerasan
yaitu menggunakan rekeng paku.
PROSES PELAKSANAAN BUDAYA
KERAPAN
SAPI
Ada dua tingkat pada proses pelaksanaan budaya
•
kerapan
sapi ini diantaranya:
• Tingkatan kewedanan
• Tingkatan kewedanan
ini adalah tingkatan budaya resmi dan
ditangani oleh pemerintah langsung. Tingkatan kewedanan
ini dibagi menjadi empat Kecamatan diantaranya;
• Kewedanan Proppo: Kec. Proppo, Tlanakan, pamekasan
• Kewedanan Galis: Kec. Galis, Pademau, larangan tokol
• Kewedanan Waru: Kec. Waru, Pakong, Pasean, Kadur
• Kewedanan Pegantenan: Kec. Pegantenan, Palenggaan
• Urf
(budaya
atau
kebiasaan)
yang
fasid(negatif) ialah: sesuatu yang menjadi
tradisi manusia, akan tetapi tradisi itu
bertentangan
dengan
syara’,
atau
menghalalkan sesuatu yang diharamkan, atau
membatalkan
sesuatu
yang
wajib,
sebagaimana bermain judi, menggunakan
kekerasan terhadap sapi (rekeng paku) Abdul
Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang :
Dina Utama, 1994, hlm. 123
SEKIAN TERIMAKASIH
Mator
Sakalangkong