UPAYA MENGHINDARI SENGKETA HAK ATAS TANA

UPAYA MENGHINDARI SENGKETA HAK ATAS TANAH ULAYAT
PADA MASYARAKAT HUKUM ADAT DENGAN MEKANISME FREE,
PRIOR AND INFORMED CONSENT (FPIC)
Irena Lucy Ishimora dan Muhammad Dimas Tribowo
Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Abstrak

Tanah sebagai bagian yang tidak bisa terpisahkan dari kehidupan masyarakat adat,
memiliki ciri khasnya tersendiri dimana pendekatan masyarakat adat melihat tanah atau
tanah ulayat sebagai hal yang bersifat magis – religius dan komunal. Fungsi sosial tanah
ulayat berdampak pada keharusan masyarakat adat untuk selalu mengusahakan tanah
tersebut. Seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk dunia, kebutuhan manusia makin
meningkat hal ini diiringi dengan kebutuhan untuk menemukan sumber daya – sumber daya
baru demi pemenuhannya. Permasalahan – permasalahan seperti sengketa yang terbit dari
persinggungan antara masyarakat adat dengan pihak yang melakukan eksplorasi atau
eksploitasi berupa sengekta tanah dan lainnya pun tak terhindarkan. Alasan mengapa
permasalahan – permasalahan tersebut muncul adalah karena adanya ketidakteraturan
hukum baik dalam tataran normatif ataupun implementatif. Pengikutsertaan masyarakat
adat dalam setiap proses pengelolaan dan perencanaan kebijakan yang bersinggungan
dengannya adalah solusi terhadap setiap permasalahan yang ada, karena dengan

musyawarah atau partisipasi aktif dari berbagai pihak permasalahan – permasalahan
antara pihak masyarakat adat dengan pihak luar akan dapat diminimalisasi. Pun hal
tersebut harus dipayungi dengan norma hukum yang mampu mengakomodasi pihak – pihak
yang ada di dalamnya. Keinginan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat adat dalam
pengelolaan dan perumusan kebijakan dalam rangka meningkatkan taraf hidup mereka juga
menjadi perhatian utama dalam usaha untuk mewujudkan Sustainable Development yang
tertera dalam Sustainable Development Goals (SDGs).
Kata Kunci : Masyarakat adat, tanah ulayat, sengketa tanah, Sustainable Development.

Abstract
Land, a significant part of the indigenous people, seen by indigenous people magic –
religious and communalistic in term of its characteristic. Social function of the customary
land has impacted the people to manage the land for the sake of society. The world
population inevitably grows, so do human needs on resources and the effort to find new
resources as its fulfillment. Conflict of interests has resulted dispute among indigenous
people and parties planning on exploring and exploiting new resources. Irregularity of law,
either in normative or implementative level, has been accused as the cause of such conflicts.
Indigenous people participation in land managing process and regulation planning
meticulously has been seen as the solution, because discussion and active participation
among parties is expected to be able to minimize the probability of the emergence of

problems. The willingness to increase indigenous people active participation in regulations
establishment and management in order to improve indigenous people standard of living has
become the main attention in the effort to sustainable development embodiment as stated in
the Sustainable Development Goals (SDGs).
Keywords: Indigenous people, customary land, land dispute, Sustainable Development

1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kebutuhan manusia sangatlah banyak, bahkan mungkin bisa dikatakan tak terbatas
jumlahnya. Seiring perkembangan zaman, khususnya di era globalisasi ini, banyak
bermunculan kebutuhan baru yang grafiknya terus meningkat. Tidak banyak orang yang
menyadari bahwa sumber daya alam mengambil peran yang cukup signifikan dalam
pembuatan komponen dari kebutuhan tersebut. Ambil saja contoh pembuatan tambang –
tambang batu bara, timah, emas dan pengalihfungsian hutan menjadi lahan perkebunan yang
semua ini pada hakikatnya untuk memenuhi kebutuhan manusia.
Berdasarkan pemeparan di atas dapat dikatakan bahwa tanah merupakan salah satu
faktor produksi yang digunakan untuk menghasilkan komoditi – komoditi perdagangan
sehingga menjadi objek yang diperebutkan oleh banyak pihak. Dari fakta yang dilansir oleh
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, jumlah penduduk yang mencapai 245
juta jiwa pada tahun 2012 dengan pertumbuhan yang cukup pesat dimana mencapai 1,51%

per tahun menyebabkan kebutuhan akan perumahan mencapai 800.000 unit/ tahun.
Pertumbuhan industri pun ikut mendorong terjadinya pembukaan lahan – lahan baru,
demikian juga dengan pembangunan infrastruktur yang dilakukan oleh pemerintah dalam
rangka mengakomodasi kebutuhan masyarakat.(1) Disini terlihat bahwa tanah menjadi objek
yang sangat vital dalam proses pembangunan.
Kebutuhan manusia yang terus meroket tersebut tidak sedikit menyebabkan sengketa
terkait hak atas tanah. Selain dari aspek ekonomi, tanah juga memiliki fungsi sebagai unsur
pendukung kehidupan manusia dari sisi spiritual, terlebih bagi masyarakat adat, dimana
mereka masih menjunjung tinggi kearifan lokal dan meneladani nilai – nilai adat serta
kepercayaan – kepercayaan kepada leluhur yang telah diwariskan secara turun – temurun. (2)
Pada periode 1990 – 2010 setidaknya terdapat 1.585 kasus konflik di 27 provinsi di Indonesia
yang melibatkan masyarakat adat/ lokal. Dari total kasus konflik tersebut 1.065 adalah kasus
konflik di sektor kehutanan dan 563 kasus di sektor perkebunan.(3) Salah satunya adalah
kasus tersingkirnya Suku Anak Dalam Jambi akibat pengalihfungsian hutan rimba menjadi
kawasan Hutan Tanaman Industri (HTI) yang seluas 6.900 Ha.(4) Dari uraian di atas, dapat
ditegaskan bahwa tanah yang merupakan kebutuhan vital masyarakat untuk melangsungkan
kehidupan dapat direnggut begitu saja dari masyarakat yang sudah menempati dan

mengusahakan tanah tersebut sejak lama, karena tidak adanya sertifikat bukti kepemilikan
tanah.

Munculnya sengketa hak atas tanah antara lain juga bersumber dari buruknya rantai
birokrasi dalam proses pembangunan di negeri ini. Birokrasi dalam pemberian sertifikat hak
atas tanah ataupun penerbitan izin penggunaan atas tanah yang masih “semrawut” bagai
benang kusut tak jarang kita jumpai. Sertifikat yang seharusnya berlaku sebagai bukti
kepemilikan atas sebidang obyek tanah bagi satu orang, ternyata dimiliki oleh lebih dari satu
orang.(5) Selain itu putaran isu permasalahan tanah ini juga berada pada proses penerbitan
izin atas tanah terkait. Penatapan tanah masyarakat adat yang dilakukan oleh pemerintah
dalam hal ini melalui proses yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/
Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 (Permenag No.5/1999) tentang
Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat (6) pada hakikatnya
masih memiliki lubang – lubang dalam mengakomodasi kepentingan masyarakat adat.
Merujuk pada tujuan pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development Goals
(SDGs) yang dideklarasikan pada United Nations Conference on Sustainable Development di
Rio de Janeiro (Rio +20), pembangunan harusnya juga tidak membawa dampak negatif bagi
masyarakat, baik masyarakat di generasi sekarang dan juga generasi mendatang.
1.2. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan diatas, maka dapat dirumuskan beberapa
permasalahan utama dalam penelitian ini, yakni :
1. Apakah yang dimaksud dengan pembangunan berkelanjutan dalam kaitannya
dengan tanah dan masyarakat adat?

2. Bagaimanakah pengaturan terkait hak ulayat dalam status quo?
3. Bagaimanakah cara untuk menghindari terjadinya sengketa terkait hak ulayat?
1.3 Perumusan Masalah
Jika diperhatikan identifikasi masalah di atas, banyak permasalahan yang
dimungkinkan untuk diteliti. Untuk menjaga tingkat kecermatan penelitian maka penulis
merumuskan pembatasan masalah pada butir ketiga yaitu “Bagaimanakah cara untuk
menghindari terjadinya sengketa terkait hak ulayat?”.

1.3. Tujuan Penelitian
Ada beberapa tujuan yang ingin dicapai penulis dalam penelitian ini, diantaranya :
1. Agar dapat memahami konsep pembangunan berkelanjutan dalam kaitannya
dengan tanah dan masyarakat adat.
2. Agar dapat memahami pengaturan terkait hak ulayat dalam status quo.
3. Agar dapat mengetahui bagaimana cara untuk menghindari terjadinya sengketa
terkait hak ulayat.
1.4. Manfaat
Adapun manfaat yang ingin diwujudkan dari penelitian ini, adalah sebagai berikut :
1. Dapat menerapkan konsep pembangunan berkelanjutan dalam kaitannya dengan
tanah dan masyarakat adat.
2. Dapat mengidentifikasi permasalahan – permasalahan yang muncul dari

pengaturan terkait hak ulayat saat ini.
3. Agar dapat mengetahui bagaimana cara untuk menghindari terjadinya sengketa
terkait hak ulayat.
1.5. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian yuridis-normatif, adapun metode penelitian yang
digunakan dalam pembuatan karya tulis ini adalah dengan menggunakan metode kajian
pustaka. Selain itu, metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini, adalah metode
analisis Deskriptif.
2. PEMBAHASAN
2.1. Konsep Pembangunan Berkelanjutan
World Commission on Environment and Development atau WECD, badan bentukan
PBB yang bertugas mengajukan strategi jangka panjang menuju pembangunan yang
berkelanjutan, dalam laporannya “Our Common Future” mendefinisikan sustainable
development sebagi berikut (7):

“Suistainable Development is defined as development that meet the needs of the
present without comprosing the ability of future generations to meet their own needs”
Soerjani mengartikan definisi tersebut dengan “Pembangunan untuk mencukupi
kebutuhan generasi sekarang tidak boleh mengurangi kemampuan generasi – generasi
mendatang untuk memenuhi kebutuhannya sendiri.” Kapasitas produksi masa depan

tergantung kepada cadangan dari sumber daya alam, sumber daya manusia, sumber daya
buatan manusia dan teknologi, dimana hal – hal itu diwariskan oleh generasi masa kini ke
generasi selanjutnya.(8)
Dalam perkembangan terbarunya konsep sustainable development ini berhasil
dirumuskan dalam sebuah outcome United Nations Conference on Sustainable Development
+20 dimana dihasilkan 17 tujuan utama yang disebut Sustainable Development Goals
(SDGs). SDGs adalah program lanjutan dari Millenium Development Goals (MDGs) yang
akan berakhir tahun ini. Selanjutnya segala usaha yang dilakukan semua negara peserta
konferensi ini haruslah berpedoman pada SDGs ini.
Dari beberapa konsep di atas dapat kita simpulkan bahwa pemenuhan kebutuhan
melalui proses pembangunan haruslah memiliki apa yang dinamakan keadilan antar –
generasi dimana pembangunan yang dilakukan tidak merugikan generasi yang sekarang pun
menguntungkan generasi yang akan datang.
2.1.1

Konsep

Pembangunan

Berkelanjutan


dalam

Kaitannya

dengan

Masyarakat Adat
Ketika kita mengaitkan hubungan antara masyarakat adat dengan sustainable
development disini dapat kita lihat bahwa masyarakat adat sendiri masih termasuk
dalam pihak yang mendapat perhatian lebih. Partisipasi dari pada masyarakat adat ini
sangat penting dalam pencapaian sustainable development. Bagaimana masyarakat
adat (indigeneous people) memiliki porsinya tersendiri dalam setiap tujuan dari pada
rencana pembangunan berkelanjuntan yang dinamakan Sustainable Development
Goals (SDGs) seperti yang telah dijelaskan sebelumya.
Di dalam prinsip – prinsip sustainable Development yang terdapat dalam
Deklarasi Rio, ketika kita berbicara mengenai keadilan, tidak hanya keadilan bagi
generasi mendatang saja yang menjadi prioritas namun juga keadilan bagi generasi
saat ini atau dapat disebut intragenerational equity. Hal ini diwujudkan melalui
prinsip ke – 5 nya dimana semua negara harus bekerja sama dalam pengentasan

kemiskinan, sebagai prasyarat utama dalam pembangunan berkelanjutan untuk

menurunkan tingkat perbedaan standar hidup dan untuk memenuhi kebutuhan dari
mayoritas masyarakat di dunia.
Di dalam outcome itu pula diakui partisipasi masyarakat adat – melalui United
Nations Declaration on the Rights of Indigenous People – sangatlah penting dalam
hal implementasi strategi – strategi pembangunan berkelanjutan baik tingkat regional,
nasional, dan internasional. Keberadaan dari pada masyarakat adat ini tidak bisa lepas
dari sejarah dunia dimana terdapat didalamnya penderitaan masyarakat adat akibat
rasisme, diskriminasi, ketidak setaraan, dan lain – lain. Pun kita tidak bisa menafikkan
keberadaan masyarakat adat sebagai bagian yang harus diikutsertakan dalam
pembangunan sebuah bangsa dan negara.
2.1.2

Pengelolaan Tanah yang Dilakukan oleh Masyarakat Adat
Masayarakat adat memiliki hubungan keterikatan yang sangat erat dengan

tanah, hubungan ini bersifat magis – religius.(9) Pemahaman yang mereka anut adalah
bahwa tanah diberikan oleh kekuatan gaib atau merupakan peninggalan nenek
moyang yang diperuntukkan bagi kelangsungan hidup dan penghidupannya sepanjang

masa.(10) Penamaan terhadap tanah ini sendiri berbeda – beda di antara kelompok
masyarakat adat, namun Undang – Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria (UUPA) (11) menyebutnya dengan hak ulayat.
Anggota masyarakat adat dapat mengambil manfaat dari tanah yang termasuk ke
dalam wilayah ulayatnya.
Dalam masyarakat adat yang bersifat komunal tanah harus berfungsi sosial.
(12,13) Maksudnya adalah tanah harus dikelola untuk kebermanfaatan bagi anggota
kelompok masyarakat lainnya. Sebidang tanah apabila diusahakan hasilnya harus
dapat dirasakan anggota masyarakat lain, masyarakat dapat bekerja sama dalam
mengusahakan sebidang tanah dan hasilnya nanti dibagikan. Seorang warga
masyarakat hukum adat akan memperoleh hak milik atas tanahnya, apabila ia
mengadakan bentuk usaha tertentu atas tanah tersebut. Ambil contoh pada
kepemilikan sawah. Hak milik atas sawah akan tanggal, apabila sawah tersebut
dibiarkan terlantar, sehingga pematangnya rusak.(14) Pematang sawah disini
dijadikan parameter apakah sawah tersebut diusahakan atau tidak. Selain itu
masyarakat adat mengenal apa yang disebut dengan asas pemisahan horizontal. Hak
milik atas rumah dan atas tumbuh – tumbuhan tertanam adalah pada asasnya terpisah
dari hak atas tanah.(15)

Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa kepemilikan tanah bagi masyarakat

adat sangatlah kuat berikut pengelolaannya, hal ini dikarenakan telah diakuinya hak
ulayat oleh pemerintah itu sendiri.
2.2. Pengaturan Hak Ulayat dalam Status Quo
Pengertian terhadap istilah hak ulayat ditegaskan oleh G. Kertasapoetra dan kawan –
kawan dalam bukunya Hukum Tanah, Jaminan UUPA Bagi Keberhasilan Pendayagunaan
Tanah, yang menyatakan bahwa;
“Hak ulayat merupakan hak tertinggi atas tanah yang dimiliki oleh sesuatu
persekutuan hukum (desa, suku) untuk menjamin ketertiban pemanfaatan/ pendayagunaan
tanah. Hak ulayat adalah hak yang dimiliki oleh suatu persekutuan hukum, dimana para
warga masyarakat (persekutuan hukum) tersebut mempunyai hak untuk menguasai tanah,
yang pelaksanaannya diatur oleh ketua persekutuan (kepala suku/desa yang bersangkutan)”.
(16)
Eksistensi dari pada hukum adat ini sudah terinternalisasi dalam UUPA sendiri
dimana disebutkan bahwa hukum agraria yang berlaku adalah hukum adat sepanjang tidak
bertentangan dengan kepentingan Nasional dan Negara dan seterusnya. Ketentuan ini
mengandung makna bahwa unsur – unsur hukum adat di bidang pertanahan yang ada dalam
suatu masyarakat adat selama tidak bertentangan dengan ketentuan dan peraturan yang ada
dapat dipergunakan dalam rangka pelaksanaan UUPA.(16)
Secara lebih khusus ketika kita berbicara mengenai permasalahan – permasalahan
terkait hak ulayat maka dapat mengacu pada Permenag No.5/1999. Dalam Permenag tersebut
dijelaskan pada Pasal 1 bahwa hak ulayat adalah kewenangan yang menurut hukum adat
dimiliki oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan
lingkungan para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah,
dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari
hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat
hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.
Acuan berupa Permenag yang memang dirancang dengan harapan untuk
menyelesaikan masalah hak ulayat masyarakat hukum adat itu ternyata tidak melindungi hak
– hak masyarakat adat secara paripurna. Permenag dalam hal ini pada Pasal 3 mengatur
bahwa tanah yang sudah dipunyai oleh suatu subyek hukum dengan suatu hak yang diatur
UUPA maka tidak dapat lagi dilaksanakan hak ulayat atas tanah tersebut.(17) Padahal
sebelum aturan ini muncul banyak tanah ulayat yang diambil oleh perusahaan atau

perseorangan tanpa melalui proses yang sesuai dengan hukum adat masyarakat di tanah
tersebut bahkan tanpa penjelasan bahwa apabila mereka melepas haknya atas tanah tersebut
maka untuk selamanya hak ulayat mereka akan lenyap. Hal ini yang seringkali menyebabkan
terjadinya konflik setelah masyarakat yang terlambat memahami implikasi tindakan ini
mencoba mendapatkan kembali hak ulayat mereka. Di sini terlihat pemerintah belum
melindubgi hak dari masyarakat adat atas tanah ulayatnya. Belum lagi dalam penentuan
status masyarakat adat ada kriteria – kriteria yang harus dipenuhi oleh masyarakat adat terkait
dimana terkadang kriteria ini tidak relevan karena tidak mempertimbangkan faktor – faktor
internal dan eksternal yang mempengaruhi proses kehidupan masyarakat adat yang dinamis.
Kriteria – kriteria untuk menunjukkan keberadaan masyarakat adat tersebut bisa jadi adalah
kriteria - kriteria masa lalu yang tidak lagi relevan dengan kondisi saat ini dan tidak sesuai
dengan perkembangan yang telah berlangsung terhadap sebuah komunitas masyarakat adat
yang dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal masyarakat adat.
Terdapat dua faktor yang mempengaruhi permasalahan – permasalahan diatas yaitu
paradigma dari para pejabat dan substansi pengaturan terkait hak ulayat masyarakat adat.
Permenang sebagai satu – satunya peraturan operasional yang membahas mengenai
penyelesaian permasalahan hak ulayat masyarakat adat ternyata masih memiliki sejumlah
ambiguitas, misalnya niat untuk menyelesaikan permasalahan tanah ulayat malah dibatasi
pada tanah – tanah yang diatasnya tidak terdapat hak – hak atas tanah menurut UUPA.
Kriteria keberadaan masyarakat adat yang diatur dalam Permenag juga belum menampung
dinamika internal dan eksternal yang telah mendorong perkembangan komunitas masyarakat
adat. Minimnya perspektif keadilan transisional (transitional justice) tidak membuat
Permenag itu digunakan untuk mengoreksi kebijakan yang keliru dimasa lalu.(17) Hal ini
diperparah dengan minimnya musyawarah yang seringkali tidak dilakukan oleh pihak yang
ingin menguasai tanah tersebut dengan masyarakat adat.
2.3. Mekanisme perbaikan birokrasi pertanahan dalam kaitannya dengan masyarakat
adat
Telah diuraikan sebelumnya mengenai apa saja sebenarnya permasalahan –
permasalahan yang terdapat dalam kaitannya dengan hak ulayat masyarakat adat.
Permasalahan mulai dari banyaknya sengketa – sengketa tanah yang diduduki oleh badan
pemerintah atau pihak swasta yang tidak memperhatikan aspirasi dan kepentingan
masyarakat adat setempat hingga yang paling krusial yaitu eksistensi dari pada hak ulayat itu

sendiri. Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) huruf b Permenag No.5/1999, pemberian hak atas tanah
tersebut harus didahului dengan pelepasan tanah oleh masyarakat adat sesuai dengan
ketentuan dan tata cara hukum adat yang berlaku. Berarti dapat dikatakan perlu adanya
musyawarah dengan pemilik hak ulayat tersebut. Namun pada kenyataannya masyarakat
sebagai pemegang hak ulayat tidak diikutsertakan dalam musyawarah yang menyangkut
pelepasan tanahnya.
Pada dasarnya sudah terdapat prinsip yang mengakomodasi mekanisme musyawarah
diatas yaitu Free Prior and Informed Consent (FPIC) atau Persetujuan Atas Dasar Informasi
Awal Tanpa Paksaan (PADIATAPA), dimana merupakan prinsip yang menegaskan adanya
hak masyarakat adat dan atau masyarakat lokal untuk menentukan bentuk – bentuk kegiatan
apa yang mereka inginkan pada wilayah mereka. Secara lebih rinci dapat dirumuskan sebagai
hak masyarakat adat dan atau komunitas lokal untuk untuk mendapatkan informasi
(informed) sebelum (prior) sebuah program atau program pembangunan dilaksanakan dalam
wilayah adat mereka, dan berdasarkan informasi tersebut, mereka secara bebas tanpa tekanan
(free) manyatakan setuju (consent) atau menolak. Dengan kata lain, sebuah hak masyarakat
adat dan atau masyarakat lokal untuk memutuskan jenis kegiatan pembangunan macam apa
yang mereka perbolehkan untuk berlangsung dalam wilayah adat mereka. (18)
Untuk mengatasi berbagai permasalahan terkait hak ulayat ini diperlukan pengaturan
baru dalam metode penyelesaian sengketa tanah yang pada status quo diatur dalam Permenag
No.5/1999. Pencabutan Permenag No.5/1999 ini harus diiringi dengan pemberlakuan
peraturan yang baru yang melindungi hak ulayat secara paripurna, penyelesaian sengketa
terkait pengalihan hak ulayat yang terjadi sebelum Permenag No.5/1999 juga harus menjadi
perhatian dalam peraturan baru tersebut. Selain itu dalam proses pengalihan hak atas tanah
ulayat kepada subyek hukum perorangan atau badan hukum juga harus melalui proses yang
tidak mencederai hak-hak masyarakat adat seperti musyawarah yang melibatkan masyarakat
adat agar mau melepaskan haknya dan juga menetapkan kompensasi pengganti yang sesuai
atas tanah ulayat.
Proses penelitian yang dilakukan terhadap hak ulayat terkait juga harus dilakukan
dengan pendekatan yang sedikit istimewa – tidak rigid atas fakta atau kondisi masyarakat
yang diteliti, dimana dilakukan dengan mendekati pejabat desa, orang – orang tua, para
cerdik pandai, orang – orang terkemuka di daerah yang bersangkutan, dan sebagainya.
Kepada orang – orang yang didengar itu janganlah hendaknya ditanyakan mengenai soal ini

soal itu, melainkan yang ditanyakan harus fakta – fakta, hanya kejadian – kejadian yang telah
dialami atau diketahui sendiri oleh mereka. Dengan menggunakan metode itu barulah dapat
dicapai keterangan tentang peraturan – peraturan yang nantinya akan benar – benar berlaku
dalam hidup bersama di daerah yang diselidiki dan berdasarkan keterangan – keterangan
semacam itu dapat dilukiskan hukum adat yang berlaku di daerah itu. (19)
Kita harus menyadari bahwa pembangunan merupakan keniscayaan, maka dari itu
untuk menjamin penyediaan tanah tanpa harus menyulut sengketa apabila terkait dengan
pengalihan tanah ulayat perlu adanya konsolidasi antara seluruh stakeholder dengan
masyarakat adat itu sendiri agar hak-hak masyarakat adat yang dijamin Negara dan
pembangunan dapat berjalan harmonis sesuai cita-cita sustainable development.
3. KESIMPULAN DAN SARAN
3.1. Kesimpulan
Jadi berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan :
1. Tanah dan masyarakat adat memiliki hubungan sangat erat yang bersifat magis –
religius. Tanah memiliki fungi sosial, sehingga harus selalu dimanfaatkan demi
kepentingan umum. Secara hukum, di Indonesia pun hak ulayat dalam masyarakat
adat telah diakui keberadaannya.
2. Sengketa – sengketa tanah yang dialami masyarakat adat dengan pihak baik
pemerintah atau swasta menunjukkan bagaimana peraturan – peraturan terkait belum
dapat mengakomodasi kepentingan masyarakat adat. Dimana biasanya pihak swasta
atau pemerintah yang melakukan ekplorasi dan eksploitasi terhadap tanah atau hutan
adat tanpa melakukan prosedur pengambil alihan tanah atau hutan yang memenuhi
rasa keadilan.
3. Akar permasalahan terkait hak ulayat ini pada dasarnya terdapat pada paradigma
pejabat dalam melihat eksistensi dari pada hak ulayat dan masyarakat adat itu sendiri.
Ketidakikutsertaan masyarakat adat dalam musyawarat dengan pihak luar ini juga
menjadi akar permasalahan dari setiap sengketa yang berkaitan dengan hak ulayat.
Padahal dalam mewujudkan sustainable development partisipasi masyarakat adat
sangat penting sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari bangsa Indonesia.
3.2. Saran

1. Perubahan terhadap Permenag. No. 5/ 1999 terhadap beberapa hal yang telah
dibahas di atas agar masyarakat adat tidak lagi dirugikan.
2. Adanya sosialisasi yang baik terhadap masyarakat adat akan peratuan –
peraturan yang mengatur berbagai hal tentang mereka serta dampak – dampak
yang timbul dari segala hubungan hukum dengan pihak luar yang menjadi ruang
lingkup aturan tersebut.
3. Adanya partisipasi yang nyata masyarakat adat terkait musyawarah dalam hal
adanya pihak baik pemerintah atau swasta yang ingin menguasai tanah tersebut
dalam bentuk apapun.
4. DAFTAR PUSTAKA
1. Penanganan Rumah Susun [Internet]. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan

Rakyat Republik Indonesia; 14 Juli 2013 [diunduh pada 4 September 2015].
http://pu.go.id/berita/917/Penanganan-Rumah-Susun.
2.

Soerjono Soekanto. Hukum Adat Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada; 2003.

3.

Forest Watch Indonesia. Potret Keadaan Hutan Indonesia: Periode 2009 – 2013. Bogor:
Forest Watch Indonesia; 2014.

4. Suku Anak Dalam Bakal Tergusur HTI yang Kuasai 6.900 Ha Hutan. Suara Pembaruan

Memihak Kebenaran [Internet]. 2014 September 2 [diunduh pada 6 September 2015].
http://sp.beritasatu.com/home/suku-anak-dalam-bakal-tergusur-hti-yang-kuasai-6900-hahutan/63683.
5.

Tim di bawah Pimpinan Darwin Ginting. Pengkajian Hukum Tentang Penyelesaian
Sengketa Tanah, Melalui Peradilan Adat. Badan Pembinaan Hukum Nasional. 2013: 4.

6.

Indonesia. Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor
5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum
Adat.

7.

World Commission on Environment and Development. Reporto of The World
Commission on Environment and Development: Our Common Future. Oxford: Oxford
University Press; 1987.

8.

SPES, editor. Economy and Ecology in Sustainable Development. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama; 1994.

9.

Soepomo. Bab – Bab tentang Hukum Adat. Cetakan ke – dua belas. Jakarta: Pradnya
Paramita; 1989.

10.

Janses E. Sihaloho. Pengaruh dan Eksistensi Hak Ulayat Terhadap Pengembangan
Investasi Asing Sektor Agribisnis di Sumatera Barat [Skripsi S1]. Depok: Universitas
Indonesia; 2002.

11. Indonesia. Undang – Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok Agraria (UUPA), LN RI Tahun 1960 Nomor 104 TLN RI Nomor 2043.
12. Soekanto, Soerjono Soekanto. Pokok – Pokok Hukum Adat. Cetakan ke – tiga. Bandung:
Alumni; 1981.
13. Soerjono Soekanto. Hukum Adat Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada; 2003. hal.
182.
14. B. Ter Haar Bzn. Terjemahan K. Ng. Soebakti Poesponoto. Asas – Asas dan Susunan
Hukum Adat. Jakarta: Pradnya Paramita; 1994. hal. 115.
15. G.Kertasapoetra, R.G Kartasapoetra, AG.Kartasapoetra, A. Setiady. Hukum Tanah
Jaminan Undang – Undang Pokok Agraria Bagi Keberhasilan Pendayagunaan Tanah.
Jakarta: Bina Aksara; 1985. hal . 88.
16. Sajuti Thalib. Penyunting. Hubungan Tanah Adat dengan Hukum Agraria di
Minangkabau. Jakarta: Bina Aksara; 1985. hal 3 – 4.
17. Noer Fauzi R, Siti RM, Yance A, Nurul Firmansyah. Kajian Kritis atas Peraturan Menteri

Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman
Penyelesaian Permasalahan Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat: Kertas Kerja Epistema
No. 01/ 2012 [Internet]. 2012 Aug [diunduh pada 2015 September 7].
http://epistema.or.id/kajian‐kritis‐atas‐peraturan‐menteri‐agraria/.
18. Kelompok Pokja REDD+ Provinsi Sulawesi Tengah Bidang FPIC dan Pemberdayaan.
Panduan Penulisan Free Prior Informed Consent (FPIC) – Program UN – REDD+ di
Sulawesi Tengah; Januari 2012.
19. L Adam. Methods and Forms of Investigating and Recording of Native Customary Law
in The Netherlands East Indies Before The War. Leiden: Afrika – Instituut; 1952.

Dokumen yang terkait

KEBIJAKAN BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN DAERAH (BAPEDALDA) KOTA JAMBI DALAM UPAYA PENERTIBAN PEMBUANGAN LIMBAH PABRIK KARET

110 657 2

TELAAH ATAS KETELADANAN RASULULLAH SAW DALAM MENDIDIK ANAK (USIA 6­12 TAHUN)

4 74 1

ANALISIS YURIDIS TENTANG PENGHAPUSAN ATAS MEREK DAGANG "SINKO" DARI DAFTAR UMUM MEREK OLEH DIREKTORAT JENDERAL HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL (Studi Putusan Pengadilan Niaga No. 03/Merek/2001/PN.Jkt.Pst)

0 23 75

ANALISIS YURIDIS TENTANG PENYELESAIAN SENGKETA MEREK AIR MINUM MINERAL "AQUA-versus-INDOQUALITY" (Studi Putusan Mahkamah Agung RI No. 04.PK/N/HaKI/2004)

2 65 91

EVALUASI PENGENDALIAN INTERNAL PADA PEMBIAYAAN MURABAHAH SEBAGAI UPAYA UNTUK MEMINIMALKAN PEMBIAYAAN BERMASALAH (STUDI KASUS PADA BMT UGT SIDOGIRI BONDOWOSO)

2 64 22

INTENSIFIKASI PEMUNGUTAN PAJAK HOTEL SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN PENDAPATAN ASLI DAERAH ( DI KABUPATEN BANYUWANGI

16 118 18

KAJIAN YURIDIS TENTANG PERUBAHAN TANAH PERDIKAN MENJADI HAK MILIK DI KELURAHAN TAMAN KECAMATAN TAMAN KOTA MADIUN SETELAH KELUARNYA UNDANG-UNDANG POKOK AGRARIA

2 44 14

UPAYA PENINGKATAN PROSES DAN HASIL BELAJAR SISWA MELALUI PENGGUNAAN ALAT PERAGA PADA MATA PELAJARAN IPA DI KELAS IV (EMPAT) SDN 3 TEGALSARI KECAMATAN GADINGREJO KABUPATEN PRINGSEWU TAHUN PELAJARAN 2011/2012

23 110 52

UPAYA MENINGKATKAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR SISWA DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL PADA SISWA KELAS VI SD NEGERI 1 SINAR MULYA KECAMATAN BANYUMAS KAB. PRINGSEWU

43 182 68

EVALUASI ATAS PENERAPAN APLIKASI e-REGISTRASION DALAM RANGKA PEMBUATAN NPWP DI KANTOR PELAYANAN PAJAK PRATAMA TANJUNG KARANG TAHUN 2012-2013

9 73 45