GERAKAN MASYARAKAT SADAR BAHAYA ROKOK
GERAKAN MASYARAKAT SADAR BAHAYA ROKOK
Uray Helwan
Harus diakui jujur masyarakat kita masih belum sadar tentang besarnya bahaya rokok. Hal
ini terlihat dari tren perilaku merokok yang terus meningkat. Parahnya lagi, kebiasaan buruk itu
tak terkecuali dilakukan juga oleh para petugas kesehatan yang notabene lebih mengetahui
dampak negatifnya ketimbang masyarakat lain.
Pada survei sederhana yang penulis lakukan di sebuah rumah sakit di Kalbar, lebih dari
50% petugas kesehatan (laki-laki) yang merokok. Ketika ditanya mengapa masih merokok
padahal sudah tahu tentang bahayanya, mereka memberikan jawaban yang tidak terlalu jauh
berbeda satu sama lain: sulit ditinggalkan karena sudah menjadi kebiasaan.
Kebiasaan merokok juga dilakukan oleh para orangtua di rumah. Meskipun mereka tidak
menghendaki hal itu diikuti oleh anaknya, namun pada dasarnya kenikmatan menghisap rokok
itu tanpa sadar telah mereka tanamkan di benak anak-anak mereka. Apa yang tertanam di benak
sang anak ini, gayung bersambut dengan apa yang ia lihat pada iklan rokok yang menggiurkan
dikemas dengan gambaran citra keren dan sejenisnya. Selanjutnya ketika sang anak berinteraksi
di alam nyata, pada dunia pertemanan remaja pun ternyata rokok menjadi bahasa pergaulan.
Memulai perkenalan acapkali dari tawaran rokok. Lengkaplah sudah, jadilah generasi rokok.
Merokok juga bukanlah hal yang aneh di kendaraan umum, walau yang ber AC sekalipun.
Di angkutan kota, minibus dan Bis kita akan dengan mudah menjumpai kebiasaan merokok,
yang dilakukan oleh penumpang, kondektur ataupun supir. Di pasar-pasar tradisional, di
pelabuhan, di feri penyeberangan, di mana saja asap rokok akan bercampur baur dengan udara
yang kita hirup. Bau rokok akan kita bawa pulang menjadi parfum pakaian kita, meski kita
bukan perokok. Istri saya sering menegur saya, karena pakaian yang ia cuci kental dengan bau
rokok, tentu saja itu rokok orang lain karena saya bukan perokok aktif. Padahal bau rokok itu
menjadi indikasi bahwa racun rokok masih ada. Saat ini juga dikenal thirdhand smoker atau
perokok ketiga (sebelumnya kita hanya mengenal Firsthand smoke atau perokok aktif dan
secondhand smoke/perokok pasif), yakni mereka yang terpapar bahaya rokok meskipun sudah
tidak ada lagi kegiatan merokok di tempat tersebut yang berasal dari kontaminasi residu asap
rokok yang tertinggal dalam ruangan atau menempel pada benda-benda yang ada disekitarnya,
bau pada pakaian merupakan salah satu contohnya.
Pendek kata, tidak terlalu ekstrim kalau penulis katakan, kita saat ini hidup dalam
kepungan asap rokok. Kita seakan-akan tidak mungkin steril darinya. Meski kita anti terhadap
rokok dan tidak pernah menghisapnya sama sekali. Tapi di kantor, di pasar, di kendaraan umum,
di kampus, di hotel, di jalan-jalan, di halte, di mana saja, mau tidak mau hidung kita akan
menghirup asapnya, karena udara kita sudah terkontaminasi oleh kegiatan merokok orang-orang
yang ada disekitar kita. Atau meskipun kita berhasil menghindarinya, tapi toh residunya tetap
tidak luput dari diri kita.
Melihat begitu meratanya keterpaparan rokok terhadap masyarakat kita di berbagai lini
kehidupan, menurut penulis hal tersebut meniscayakan langkah pengendaliannya berbasis pada
gerakan kesadaran masyarakat. Tidak boleh tidak.
Perangkat hukum tidak akan mampu
bergerak sendiri, energi yang dikeluarkan pemerintah pun akan menjadi sia-sia jika mengabaikan
hal yang sangat mendasar ini.
Tulisan penulis di koran ini beberapa waktu lalu telah mengemukakan hal tersebut,
mengenai gerakan masyarakat sadar tembakau. Terdiri dari lima kesadaran, yakni: Pertama,
Sadar untuk menghentikan kebiasan merokok. Penulis yakin, sebenarnya tidak ada lagi perokok
yang tidak tahu bahwa rokok itu berbahaya bagi kesehatan. Oleh karenanya diskusi tentang hal
tersebut semestinya sudah kita lewati. Permasalahannya, mengapa pengetahuan mereka itu tidak
membuat sadar, sehingga berupaya untuk menghentikannya? Seorang teman yang sukses
berhenti merokok, berbagi pengalaman. Dia telah berusaha berkali-kali untuk berhenti namun
gagal, terakhir ketika ia memahami secara agama dan meyakininya sebagai sesuatu yang
terlarang, barulah ia berhasil. Ini berarti memang membutuhkan motivasi yang sangat kuat
untuk berhenti merokok, tidak sekedar niat. Motivasi tersebut harus melebihi kuatnya adiksi zat
nikotin dan daya tarik rokok dari teman-teman perokok serta godaan pencitraan yang ditawarkan
iklan rokok. Teman yang lain, spontanitas berhenti merokok ketika mengetahui bapaknya yang
divonis dokter kanker paru stadium akhir. Menurut dokter tersebut, ini akibat kebiasaan merokok
yang dilakoni sejak masa muda.
Semestinya tidak harus menunggu dua hal di atas (larangan dari tokoh agama dan
terjadinya kanker paru) untuk menghentikan kebiasaan merokok. Kalau kita mau jujur akan
sangat banyak motivasi lain seperti: karena ingin hidup lebih bugar, menjaga vitalitas (termasuk
kualitas libido), memberikan teladan yang baik bagi anak tercinta, agar tidak mubazir,
melindungi orang-orang tercinta disekitar kita dari dampak negatif perokok kedua dan ketiga,
ingin lebih mengefektifkan waktu, tidak menjadi orang yang berhasil dibohongi propaganda
iklan rokok, dan lain-lain.
Kedua, Sadar untuk melindungai keluarga dan orang lain dari kebiasaan merokok bukan
pada tempatnya. Jika belum berhasil menghentikan kebiasaan merokok, setidaknya memiliki rasa
malu untuk merokok di sembarang tempat, karena kalau itu ia lakukan berarti ia telah
membahayakan kesehatan orang lain, terutama keluarga. Menurut aturan yang ada (Perda Kota
Pontianak No 10 Tahun 2010) ada 7 tempat yang menjadi kawasan tanpa rokok, yakni : tempat
umum, tempat kerja, tempat ibadah, tempat bermain anak-anak, angkutan umum, lingkungan
tempat proses belajar mengajar dan sarana kesehatan. Menurut penulis ditambah satu lagi:
rumah. Agar rumah kita benar-benar menjadi tempat penanaman nilai positif dan melindungi
sejak dini para penghuninya dari keterpaparan bahaya rokok.
Ketiga, Sadar untuk menegur perokok agar menghormati hak menghirup udara yang sehat.
Inilah salah satu keberhasilan KTR di luar negeri. Masyarakatnya sadar, jika ada yang merokok
di sembarang tempat, mereka akan menegur, sehingga si pelaku akan menjadi terasing dan malu.
Tegurannya cukup dengan kalimat sederhana, atau tatapan mata yang mengarah kepadanya, atau
bahasa-bahasa non verbal lainnya. Kita bisa terapkan di lingkungan kita. Jika ini menjadi
gerakan masyarakat, penulis yakin lambat laun para perokok akan merasa tersisih jika di
sembarang tempat mengepulkan asap rokoknya.
Keempat, Sadar bersama-sama menjaga lingkungan dari bahaya rokok. Gerakan
masyarakat adalah gerakan kebersamaan. Mulai dari lingkungan rumah, kemudian RT sampai
Kelurahan. Tidak harus menunggu semuanya berhenti merokok, namun bisa berawal dari
penertiban kebiasaan merokok, upaya edukasi dan komitmen antar sesama warga. Sehingga
terbentuk kelurahan Sadar Bahaya Rokok.
Terakhir, Sadar memberikan contoh terbaik kepada generasi muda bahwa hidup tetap keren
tanpa asap rokok. Ini penting untuk memutus mata rantai perokok baru. Jika kecanduan nikotin
sudah terlalu berat bagi generasi sekarang sehingga sangat sulit untuk menghentikan kebiasan
mereka dalam merokok, maka peluang kita adalah memberikan perlindungan yang berarti
sehingga generasi muda memiliki imunitas yang kuat terhadap propaganda rokok. Sadarkan
mereka, bahwa rokok tidak pernah membuat keren, pertemanan yang sehat tanpa asap rokok
menjadi karakteristik anak gaul, dan rokok hanya akan membuat prestasi menurun. Lagi-lagi
upaya edukasi yang berkelanjutan diperlukan untuk menanamkan nilai Sadar Bahaya Rokok ini
kepada mereka. Dunia indah remaja, tidak harus dikotori oleh kontaminasi nikotin dan zat
berbahaya lainnya.
Penulis Ketua Equator Tobacco Control Movement [ETCM])
Uray Helwan
Harus diakui jujur masyarakat kita masih belum sadar tentang besarnya bahaya rokok. Hal
ini terlihat dari tren perilaku merokok yang terus meningkat. Parahnya lagi, kebiasaan buruk itu
tak terkecuali dilakukan juga oleh para petugas kesehatan yang notabene lebih mengetahui
dampak negatifnya ketimbang masyarakat lain.
Pada survei sederhana yang penulis lakukan di sebuah rumah sakit di Kalbar, lebih dari
50% petugas kesehatan (laki-laki) yang merokok. Ketika ditanya mengapa masih merokok
padahal sudah tahu tentang bahayanya, mereka memberikan jawaban yang tidak terlalu jauh
berbeda satu sama lain: sulit ditinggalkan karena sudah menjadi kebiasaan.
Kebiasaan merokok juga dilakukan oleh para orangtua di rumah. Meskipun mereka tidak
menghendaki hal itu diikuti oleh anaknya, namun pada dasarnya kenikmatan menghisap rokok
itu tanpa sadar telah mereka tanamkan di benak anak-anak mereka. Apa yang tertanam di benak
sang anak ini, gayung bersambut dengan apa yang ia lihat pada iklan rokok yang menggiurkan
dikemas dengan gambaran citra keren dan sejenisnya. Selanjutnya ketika sang anak berinteraksi
di alam nyata, pada dunia pertemanan remaja pun ternyata rokok menjadi bahasa pergaulan.
Memulai perkenalan acapkali dari tawaran rokok. Lengkaplah sudah, jadilah generasi rokok.
Merokok juga bukanlah hal yang aneh di kendaraan umum, walau yang ber AC sekalipun.
Di angkutan kota, minibus dan Bis kita akan dengan mudah menjumpai kebiasaan merokok,
yang dilakukan oleh penumpang, kondektur ataupun supir. Di pasar-pasar tradisional, di
pelabuhan, di feri penyeberangan, di mana saja asap rokok akan bercampur baur dengan udara
yang kita hirup. Bau rokok akan kita bawa pulang menjadi parfum pakaian kita, meski kita
bukan perokok. Istri saya sering menegur saya, karena pakaian yang ia cuci kental dengan bau
rokok, tentu saja itu rokok orang lain karena saya bukan perokok aktif. Padahal bau rokok itu
menjadi indikasi bahwa racun rokok masih ada. Saat ini juga dikenal thirdhand smoker atau
perokok ketiga (sebelumnya kita hanya mengenal Firsthand smoke atau perokok aktif dan
secondhand smoke/perokok pasif), yakni mereka yang terpapar bahaya rokok meskipun sudah
tidak ada lagi kegiatan merokok di tempat tersebut yang berasal dari kontaminasi residu asap
rokok yang tertinggal dalam ruangan atau menempel pada benda-benda yang ada disekitarnya,
bau pada pakaian merupakan salah satu contohnya.
Pendek kata, tidak terlalu ekstrim kalau penulis katakan, kita saat ini hidup dalam
kepungan asap rokok. Kita seakan-akan tidak mungkin steril darinya. Meski kita anti terhadap
rokok dan tidak pernah menghisapnya sama sekali. Tapi di kantor, di pasar, di kendaraan umum,
di kampus, di hotel, di jalan-jalan, di halte, di mana saja, mau tidak mau hidung kita akan
menghirup asapnya, karena udara kita sudah terkontaminasi oleh kegiatan merokok orang-orang
yang ada disekitar kita. Atau meskipun kita berhasil menghindarinya, tapi toh residunya tetap
tidak luput dari diri kita.
Melihat begitu meratanya keterpaparan rokok terhadap masyarakat kita di berbagai lini
kehidupan, menurut penulis hal tersebut meniscayakan langkah pengendaliannya berbasis pada
gerakan kesadaran masyarakat. Tidak boleh tidak.
Perangkat hukum tidak akan mampu
bergerak sendiri, energi yang dikeluarkan pemerintah pun akan menjadi sia-sia jika mengabaikan
hal yang sangat mendasar ini.
Tulisan penulis di koran ini beberapa waktu lalu telah mengemukakan hal tersebut,
mengenai gerakan masyarakat sadar tembakau. Terdiri dari lima kesadaran, yakni: Pertama,
Sadar untuk menghentikan kebiasan merokok. Penulis yakin, sebenarnya tidak ada lagi perokok
yang tidak tahu bahwa rokok itu berbahaya bagi kesehatan. Oleh karenanya diskusi tentang hal
tersebut semestinya sudah kita lewati. Permasalahannya, mengapa pengetahuan mereka itu tidak
membuat sadar, sehingga berupaya untuk menghentikannya? Seorang teman yang sukses
berhenti merokok, berbagi pengalaman. Dia telah berusaha berkali-kali untuk berhenti namun
gagal, terakhir ketika ia memahami secara agama dan meyakininya sebagai sesuatu yang
terlarang, barulah ia berhasil. Ini berarti memang membutuhkan motivasi yang sangat kuat
untuk berhenti merokok, tidak sekedar niat. Motivasi tersebut harus melebihi kuatnya adiksi zat
nikotin dan daya tarik rokok dari teman-teman perokok serta godaan pencitraan yang ditawarkan
iklan rokok. Teman yang lain, spontanitas berhenti merokok ketika mengetahui bapaknya yang
divonis dokter kanker paru stadium akhir. Menurut dokter tersebut, ini akibat kebiasaan merokok
yang dilakoni sejak masa muda.
Semestinya tidak harus menunggu dua hal di atas (larangan dari tokoh agama dan
terjadinya kanker paru) untuk menghentikan kebiasaan merokok. Kalau kita mau jujur akan
sangat banyak motivasi lain seperti: karena ingin hidup lebih bugar, menjaga vitalitas (termasuk
kualitas libido), memberikan teladan yang baik bagi anak tercinta, agar tidak mubazir,
melindungi orang-orang tercinta disekitar kita dari dampak negatif perokok kedua dan ketiga,
ingin lebih mengefektifkan waktu, tidak menjadi orang yang berhasil dibohongi propaganda
iklan rokok, dan lain-lain.
Kedua, Sadar untuk melindungai keluarga dan orang lain dari kebiasaan merokok bukan
pada tempatnya. Jika belum berhasil menghentikan kebiasaan merokok, setidaknya memiliki rasa
malu untuk merokok di sembarang tempat, karena kalau itu ia lakukan berarti ia telah
membahayakan kesehatan orang lain, terutama keluarga. Menurut aturan yang ada (Perda Kota
Pontianak No 10 Tahun 2010) ada 7 tempat yang menjadi kawasan tanpa rokok, yakni : tempat
umum, tempat kerja, tempat ibadah, tempat bermain anak-anak, angkutan umum, lingkungan
tempat proses belajar mengajar dan sarana kesehatan. Menurut penulis ditambah satu lagi:
rumah. Agar rumah kita benar-benar menjadi tempat penanaman nilai positif dan melindungi
sejak dini para penghuninya dari keterpaparan bahaya rokok.
Ketiga, Sadar untuk menegur perokok agar menghormati hak menghirup udara yang sehat.
Inilah salah satu keberhasilan KTR di luar negeri. Masyarakatnya sadar, jika ada yang merokok
di sembarang tempat, mereka akan menegur, sehingga si pelaku akan menjadi terasing dan malu.
Tegurannya cukup dengan kalimat sederhana, atau tatapan mata yang mengarah kepadanya, atau
bahasa-bahasa non verbal lainnya. Kita bisa terapkan di lingkungan kita. Jika ini menjadi
gerakan masyarakat, penulis yakin lambat laun para perokok akan merasa tersisih jika di
sembarang tempat mengepulkan asap rokoknya.
Keempat, Sadar bersama-sama menjaga lingkungan dari bahaya rokok. Gerakan
masyarakat adalah gerakan kebersamaan. Mulai dari lingkungan rumah, kemudian RT sampai
Kelurahan. Tidak harus menunggu semuanya berhenti merokok, namun bisa berawal dari
penertiban kebiasaan merokok, upaya edukasi dan komitmen antar sesama warga. Sehingga
terbentuk kelurahan Sadar Bahaya Rokok.
Terakhir, Sadar memberikan contoh terbaik kepada generasi muda bahwa hidup tetap keren
tanpa asap rokok. Ini penting untuk memutus mata rantai perokok baru. Jika kecanduan nikotin
sudah terlalu berat bagi generasi sekarang sehingga sangat sulit untuk menghentikan kebiasan
mereka dalam merokok, maka peluang kita adalah memberikan perlindungan yang berarti
sehingga generasi muda memiliki imunitas yang kuat terhadap propaganda rokok. Sadarkan
mereka, bahwa rokok tidak pernah membuat keren, pertemanan yang sehat tanpa asap rokok
menjadi karakteristik anak gaul, dan rokok hanya akan membuat prestasi menurun. Lagi-lagi
upaya edukasi yang berkelanjutan diperlukan untuk menanamkan nilai Sadar Bahaya Rokok ini
kepada mereka. Dunia indah remaja, tidak harus dikotori oleh kontaminasi nikotin dan zat
berbahaya lainnya.
Penulis Ketua Equator Tobacco Control Movement [ETCM])