HUKUM PEMBENTUKAN UU Partisipasi Masya

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia sebagai sebuah negara hukum yang seluruh keputusan dan
kebijakan yang dibentuk oleh pemerintah dalam mengurus dan mengatur
kehidupan masyarakatnya harus berdasarkan peraturan perundang-undangan maka
hukum menjadi suatu hal yang sangat sentral. Peraturan yang dibentuk oleh
penguasa menjadi satu-satunya hal yang melandasi seluruh tingkah laku negara.
Mengingat kritisnya posisi hukum dan peraturan dalam sebuah negara hukum
inilah maka dalam penyusunannya dibutuhkan lebih dari sekadar peraturan
belaka. Hukum ini harus berdasarkan aspirasi dan pendapat masyarakat. Karena
jika sebuah peraturan yang melandasi semua hal dalam negara tersebut hanya
berdasarkan sebelah pihak atau hanya berasal dari pihak penguasa tanpa adanya
campur tangan dari masyarakat yang diaturnya, hal ini dapat dikategorikan
sebagai sebuah kesewenangan dan penjajahan dari penguasa yang diktator.
Untuk menghindari terjadinya hal tersebut maka partisipasi dan keikutsertaan
masyarakat dalam memberikan pandangan dan pikiran serta aspirasinya sangat
dibutuhkan. Bukan hanya untuk membatasi kekuasaan penguasa agar tidak
menjadi suatu kepemerintahan yang sewenang-wenang namun juga untuk
menjamin adanya hak asasi manusia dari masyarakat untuk menentukan sendiri
jalan yang harus dilalui oleh negara tersebut.

Dari dasar diatas maka pentingnya partisipasi masyarakat ini harus dikaji
dengan dalam dan lebih dapat dipublikasikan agar diketahui oelh masyarakat
banyak dan dimanfaatkan secara sebaik-baiknya.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pentingnya posisi partisipasi masyarakat dalam pembentukan
perundang-undangan?
2. Seperti apa bentuk-bentuk partisipasi masyarakat yang dilakukan dalam
tahapan pembentukan perundang-undangan?

3. Bagaimana contoh partisipasi masyarakat dalam pembentukan perundangundangan yang ada di indonesia?
C. Tujuan Pembahasan:
1. Untuk mengetahui pentingnya partisipasi masyarakat dalam pembentukan
perundang-undangan.
2. Untuk mengetahui bentuk-bentuk partisipasi masyarakat dalam tahapan
pembentukan perundang-undangan.
3. Untuk mengetahui contoh partisipasi masyarakat dalam pembentukan
perundang-undangan di indonesia

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pentingnya Partisipasi Masyarakat Dalam Pembentukan PerundangUndangan.
Berdasarkan pasal 1 ayat (3) UUD 1945, Negara Indonesia adalah negara
hukum. Prinsip negara hukum merupakan prinsip utama yang mengandung arti
bahwa dalam membangun sistem hukum harus dapat mewujudkan cita-cita negara
hukum. Dalam arti mewujudkan supremasi hukum dalam tatanan kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara serta jaminan perlindungan hukum
terhadap hak dan kepentingan masyarakat.
Konsepsi negara hukum di indonesia menurut Ramdlon naning, ialah suatu
negara dimana perseorangan mempunyai hak terhadap negara. Jadi dalam negara
hukum, hukumlah yang menjadi panglima, hukum yang menjadi supremasi. Yang
memerintah adalah hukum sehingga dengan demikian tiap tindak tanduk dan
gerak langkah pengendali penguasa dan warga negara secara individual maupun
kolegial harus berdasarkan hukum dan harus memperoleh legalisasi hukum.
Sehingga sebagai sebuah negara hukum indonesia mesti mengikuti prinsip-prinsip
sebuah negara hukum. Menurut Jimly Asshiddique terdapat tiga belas prinsip
pokok negara hukum (rectstaat) yaitu:
1. Supremasi Hukum
2. Persamaan dalam hukum
3. Asas Legalitas
4. Pembatasan Kekuasaan

5. Organ-organ eksekutif Independen
6. Peradilan Bebas dan Tidak Memihak
7. Peradilan Tata Usaha Negara
8. Peradilan Tata Negara
9. Perlindungan Hak Asasi Manusia
10. Bersifat Demokratis
11. Berfungsi sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan Bernegara

12. Transparansi dan Kontrol Sosial
13. Ber-Ketuhanan Yang Maha Esa
Menurut salah satu prinsip diatas adalah bersifat demokrasi dengan pendapat
pokok bahwa hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, tidak
boleh ditetapkan dan diterapkan secara sepihak oleh dan/atau hanya untuk
kepentingan penguasa secara bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi.
Berkaitan dengan prinsip ini dikatakan bahwa hukum dan peraturan yang dibentuk
oleh penguasa mesti memiliki unsur-unsur aspirasi masyarakat didalamnya untuk
menghindari penerapan secara sepihak dan hanya mementingkan kepentingan satu
pihak saja. Dilihat dari sudut pandang ini maka partisipasi masyarakat dalam
penyusunan peraturan perundang-undangan merupakan suatu keharusan.
Pembentukan undang-undang pada dewasa ini lebih berorientasi pada

kemauan dan kepentingan politik para penyelenggara negara. Aspirasi dan
cerminan pemikiran masyarakat tidak lagi terlihat dalam undang-undang yang
ada. Padahal salah satu ciri negara hukum modern yang mana di anut oleh
indonesia selain adanya pembagian kekuasaanyang mencegah bertumpuknya
kekuasaan disatu pihak juga adalah menjamin adanya hak-hak asasi manusia.
Hak-hak ini seharusnya berdasar dari aspirasi masyarakat yang tertuang dalam
undang-undang agar menjadi pedoman kehidupan bermasyarakat. Undang-undang
sebagai bagian yang besar dalam kegiatan sehari-hari masyarakat seharusnya juga
memuat pendapat dan pemikiran rakyat sebgai pihak yang menjalankan dan
merealisasikan peraturan tersebut. Tanpa ada aspek-aspek yang berasal dari rakyat
itu sendiri maka peraturan menjadi semacam kekang yang dipaksakan oleh pihak
penguasa tanpa ada toleransi terhadap pendapat rakyat itu sendiri.
Dalam kaitannya dengan tiga tujuan hukum; kepastian, keadilan dan
kesejahteraan, partisipasi masyarakat ini terutama penting karena keadilan dan
kesejahteraan adalah sesuatu yang tidak dapat tercapai jika tidak di dasarkan pada
standar yang dibentuk oleh masyarakat itu sendiri. Kehidupan yang diatur oleh
peraturan itu adalah sebuah kehidupan yang dijalani oleh masyarakat tersebut,
dengan hukum yang mengandung pemikiran dan kesadaran dari masyarakat
diharapkan agar huukm dapat memberikan sebuah jaminan kehidupan yang lebih


baik dan kesejahteraan yang dapat menyentuh perubahan-perubahan dalam
kenyataan kehidupan. Untuk merealisasikan hukum yang seperti itu maka
partisipasi masyarakat mutlak dibutuhkan dalam prinsip-prinsip pembentukannya.
Dengan akses yang baik serta tersedianya informasi publik dari
pemerintah yang diperlukan, masyarakat dapat mengetahui proses pembuatan
undang-undang serta pengambilan keputusan di dalamnya. Masyarakat dapat pula
mengambil peran dan posisi yang diperlukan untuk menjamin bahwa undangundang yang dihasilkan memang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan dan
kesejahteraan mereka. Informasi publik yang terbuka dan dapat diakses dengan
baik tidak hanya akan memperkuat partisipasi masyarakat dalam proses
pembuatan undang-undang, tetapi sekaligus memperkuat fungsi representasi
pemerintah sebab masyarakat dapat memonitor aktivitas program-program
kenegaraan.
B. Bentuk-Bentuk Partisipasi Masyarakat Dalam Tahapan Pembentukan
Perundang-Undangan.
Dalam proses penyusunan peraturan perundang-undangan, pembentuk
undang-undang sejak awal proses perancangan, telah dituntut agar undang-undang
yang dihasilkan mampu memenuhi berbagai kebutuhan. Pertama, mampu
dilaksanakan; kedua, dapat ditegakkan; ketiga, sesuai dengan prinsip-prinsip
jaminan hukum dan persamaan hak-hak sasaran yang diatur; dan keempat, mampu
menyerap aspirasi masyarakat.

Hukum telah secara tegas memberikan batasan-batasan dan ruang bagi
masyarakat untuk berpartisipasi dalam penyusunan peraturan perundangundangan. Sebagai contoh paling sederhana yaitu dengan adanya Rapat Dengar
Pendapat Umum yang diatur dalam Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia tentang Tata Cara Pelaksanaan Persidangan dan Rapat Pasal
239. Rapat dengar pendapat umum adalah rapat antara komisi, gabungan komisi,
Badan Legislasi, Badan Anggaran, atau panitia khusus dengan perseorangan,
kelompok, organisasi atau badan swasta, baik atas undangan pimpinan DPR
maupun atas permintaan yang bersangkutan, yang dipimpin oleh pimpinan

komisi, pimpinan gabungan komisi, pimpinan Badan Legislasi, pimpinan Badan
Anggaran, atau pimpinan panitia khusus.
Tahapan penyusunan peraturan perundang-undangan secara sederhana :
1. Perencanaan
2. Perencanaan/perumusan
3. Pembahasan
4. Penetapan
5. Perundangan
6. Sosialisasi
7. Evaluasi
Proses partisipasi masyarakat dalam penyusunan perundang-undangan ini

dapat diterapkan di semua bagian tahapan penyusunan mulai dari perencanaan
hingga evaluasi. Masyarakat dapat memberikan aspirasi dan pandangannya
terhadap suatu undang-undangan secara bebas. Untuk lebih rincinya yaitu sebagai
berikut ini;
1. Tahap Ante Legislative yang terdiri atas tahapan:
a. Tahap Penelitian: Kegiatan ilmiah untuk membahas suatu
permasalahan yang akan dituangkan ke naskah akademik.
b. Tahap Pengajuan usul Inisiatif: Evaluasi terhadap hasil penelitian
untuk selanjutnya diambil keputusan apakah itu sudah memenuhi
asas-asas tertentu.
c. Tahap Perancangan: Dalam tahap ini dapat dilakukan oleh Presiden
, DPR, DPD maupun masyarakat luas. Tahap ini merupakan upaya
penerjemahan gagasan, naskah akademik, atau bahan-bahan lain ke
dalam bahasa dan struktur yang normative, dan akhirnya
perancangan peraturan perundang-undangan.
d. Tahap Pengajuan RUU: Pengajuan Rancangan Undang-undang
kepada lembaga legislative yang dapat dilakukan oleh Presiden
atau DPR.
2. Tahap Legislative yang terdiri atas tahapan:


a. Tahap Pembahasan: Dalam tahap ini , RUU yang telah disusun
secara obyektif dan ilmiah akan diuji oleh kekuatan-kekuatan
politik yang duduk diparlemen.
b. Tahap Penetapan RUU menjadi UU.
c. Tahap Pengesahan UU.
- Pengesahan secara Material, artinya dalam tahap ini tidak
ada lagi perubahan baik yang menyangkut persoalan secara
teknis maupun substansi.
- Pengesahan secara Formal, artinya undang-undang telah
disahkan secara material oleh DPR namun belum
mempunyai kekuatan hukum mengikat.
3. Tahap post legislative, artinya pada tahap ini akan diberikan payung
hukumnya agar UU tersebut berlaku dan mengikat masyarakat luas.
Ada 3 langkah yang perlu ditempuh yaitu:
a. Pengundangan, disini berkaitan dengan asas bahwa setiap orang
dianggap telah mengetahui adanya Undang-Undang.
b. Pemberlakuan, suatu undang-undang yang telah diundangkan
dalam Lembaran Negara belum otomatis berlaku bagi masyarakat,
meskipun sudah mempunyai legalisasi yuridis.
c. Dan penegakan hukumnya, Suatu UU yang telah diundangkan dan

dinyatakan berlaku mempunyai kekuatan hukum mengikat dalam
masyarakat.
Partisipasi masyarakat dalam tahapan-tahapan diatas jika diuraikan maka sebagai
berikut:
1. Tahap Ante Legislatif
a. Penelitian: Partisipasi masyarakat dalam tahap ini dapat dilakukan
dengan melakukan penelitian terhadap masalah yang terjadi
disekitar masyarakat yang dianggap serius sehingga membutuhkan
perhatian dari pemerintah untuk dituangkan ke dalam peraturan
perundang-undangan. Penelitian ini dapat dilakukan secara mandiri

maupun bersama-sama dengan instansi pemerintah terkait dan
dibuat dalam bentuk format laporan penelitian.
b. Usul Inisiatif: Usul inisiatif ini dapat diajukan dengan atau tanpa
penelitian, seminar atau lokakarya sebelumnya. Namun akan lebih
baik jika terlebih dahulu dilakukan penelitian dan berdasarkan
program nasional negara. Pengajuan usul inisiatif ini dapat
dilakukan melalui presiden, DPR atau DPD.
2. Tahap Legislatif
Dalam tahap ini terdapat enam cara yang dapat dilakukan oleh

masyarakat untuk berpartisipasi:
a. Partisipasi masyarakat dalam bentuk audensi/RDPU di DPR
Partisipasi masyarakat dalam bentuk audensi/RDPU di DPR ini dapat
dilakukan masyarakat baik atas permintaan langsung dari DPR
(RDPU) maupun atas keinginan masyarakat sendiri (audensi). Apabila
partisipasi masyarakat ini atas dasar permintaan dari DPR, maka
partisipasi

masyarakat

disampaikan

kepada

yang

meminta

dilakukannya rapat dengar pendapat umum (RDPU). Akan tetapi untuk
partisipasi masyarakat dalam bentuk audensi atas keinginan langsung

dari masyarakat, maka masyarakat dapat memilih alat kelengkapan
DPR yang diharapkan dapat menyalurkan aspirasi masyarakat,
misalnya Panitia Verja, Komisi, Panitia Khusus, Fraksi dsb.
Audensi/RDPU ini dapat dilakukan oleh masyarakat baik secara lisan,
tertulis maupun gabungan antara lisan dan tertulis.
b. Partisipasi masyarakat dalam bentuk RUU alternatif
Partisipasi masyarakatdalam bentuk penyampaian RUU altematif ini
dapat dilakukan oleh masyarakat dengan membuat RUU alternatif
ketika RUU yang tengah dibahas di lembaga legislatif belum atau
bahkan tidak aspiratif terhadap kepentingan masyarakat luas.
Penyusunan RUU alternatif dilakukan dengan mengikuti format
sebagaimana

diatur

dalam

UU

No.10

Tahun

2004

tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Penyampaian RUU

alternatif ini harus dilakukan pada tahap awal pembahasan RUU di
lembaga legislatif, yaitu, bersamaan dengan dilakukannya pengajuan
RUU kepada DPR baik yang dilakukan oleh Pemerintah maupun DPR
sendiri. Sebab, jika penyampaian RUU alternatif baru diajukan pada
pertengahan atau bahkan diakhir pembahasan suatu RUU, maka
sasaran disampaikannya RUU alternatif tidak akan effektif dalam
mempengaruhi pembahasan suatu RUU.
c. Partisipasi masyarakat dalam bentuk masukan melalui media cetak
Opini masyarakat ini dapat berupa artikel, jumpa pers, wawancara,
pernyataan-pernyataan, maupun berupa tajuk-tajuk berita dari surat
kabar dan majalah.
d. Partisipasi masyarakat dalam bentuk masukan melalui media
elektronik
Partisipasi masyarakat dalam bentuk masukan melalui media
elektronik ini dapat dilakukan oleh masyarakat dengan membuat
dialog dengan menghadirkan narasumber yang kompeten terhadap
suatu masalah yang tengah dibahas dalam lembaga legislatif.
e. Partisipasi masyarakat dalam bentuk unjuk rasa
f. Partisipasi masyarakat dalam bentuk diskusi, lokakarya dan
seminar
Partisipasi masyarakat dalam bentuk diskusi, lokakarya dan seminar
ini dapat dilakukan masyarakat dalam rangka memperoleh kejelasan
persoalan terhadap materi yang tengah dibahas dalam lembaga
legislatif. Karena diskusi, lokakarya dan seminar ini dilakukan ketika
proses pembentukan UU tengah memasuki pembahasan dalam tahap
legislatif, maka narasumber yang dihadirkan tidak hanya dari kalangan
para ahli, akademisi, pakar maupun pengamat, tetapi sebaiknya
mendatangkan juga politisi yang berkecimpung langsung dalam
pembahasan suatu RUU. Dengan demikian, diskusi, lokakarya dan
seminar, akan mendapatkan gambaran yang utuh terhadap persoalan
yang tengah dibahas dalam lembaga legislatif.

3. Tahap Post Legislatif
Partisipasi dalam tahap ini dapat dilakukan dengan mengadakan unjuk
rasa penolakan UU, meminta peninjauan kembali terhadap undangundang, atau ikut mensosialisasikan undang-undang. Karena pada
tahap ini undang-indang telah selesai dirumuskan dan telah memiliki
kekuatan mengikat yang tetap sehingga jika masyarakat masih
memiliki pendapatnya hanya dapat berpartisipasi sedemikian.
C. Contoh Partisipasi Masyarakat Dalam Pembentukan PerundangUndangan di Indonesia
Salah satu undang-undang yang banyak dipengaruhi oleh pemikiran dan
pandangan masyarakat adalah undang-undang tentang telekomunikasi, Undangundang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi.
Secara legal formal dalam pembahasan suatu undang-undang, DPR RI selalu
mengadakan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) untuk menjaring dan
menerima masukan dari masyarakat. Bagi DPR RI, RDPU ini diyakini sebagai
salah satu wahana untuk menumbuh kembangkan proses demokratisasi dengan
memberikan ruang lebih besar bagi partisipasi publik, utamanya para pelaku
telekomunikasi itu.
Ketika era reformasi dimulai, 21 Mei 1998, partisipasi publik dalam turut
serta memberikan “warna” dalam proses demokrasitisasi di Indonesia mulai
menunjukkan tanda-tanda yang baik. Warna itu juga termasuk di bidang proses
legislasi, sesuatu yang “tidak lazim” ketika sebelum era reformasi. Dari sekitar
empatpuluhan undang-undang yang dihasilkan pada masa pemerintahan transisi,
ada beberapa undang-undang yang pembahasannya di DPR RI mendapatkan
perhatian yang besar dari masyarakat, misalnya UU Pers dan UU Telekomunikasi.
Khusus untuk UU Telekomunikasi, bentuk perhatian dan pastisipasi yang
diberikan masyarakat disalurkan melalui organisasi dan asosiasi, dengan
menyampaikan pokok-pokok pikiran ke DPR RI, khususnya Komisi IV. Dalam
proses pembahasan RUU Telekomunikasi di DPR RI, yang dalam hal ini dilakoni
oleh Komisi IV DPR RI menerima begitu banyak aspirasi dari masyarakat sebagai

wujud nyata pelaksanaan demokratisasi sebagai simbol pemberdayaan konsep
masyarakat madani. Konsepsi tentang peranan dan peran serta masyarakat dalam
ikut menentukan perkembangan telekomunikasi nasional akan memberikan warna
yang sangat progresif dalam RUU Telekomunikasi. Kecenderungan yang dapat
disaksikan dalam pertelekomunikasian di dunia memperlihatkan bahwa para
profesional yang semakin beragam keahliannya berada di “luar”, namun sebagai
mitra “dekat” dengan pemerintah. Tantangan eksternal seperti globalisasi
(kesepakatan internasional).

BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Salah satu ciri negara hukum modern yang dianut oleh indonesia selain
adanya pembagian kekuasaan yang mencegah bertumpuknya kekuasaan disatu
pihak juga adalah menjamin adanya hak-hak asasi manusia. Hak-hak ini
seharusnya berdasar dari aspirasi masyarakat yang tertuang dalam undang-undang
agar menjadi pedoman kehidupan bermasyarakat dan mencegah terjadinya
pemerintahan yang diktator. Partisipasi masyarakat dalam penyusunan peraturan
perundangan dapat dilakukan dalam hampir segala tahapan penyusunan
perundangan tersebut. Mulai dari tahap ante legislatif, tahap legislatif, dan tahap
post legislatif.
B. Saran
Mengingat pentingnya partisipasi dan kesadaran masyarakat dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan ini maka kedepannya diharapkan
pemerintah lebih memperlebar akses masyarakat dalam menuangkan aspirasinya.
Hal ini juga akan lebih efektif jika didukung oleh kedua belah pihak baik dari
pemerintah maupun dari pihak masyarakat itu sendiri. Dengan demikian pada
masa yang mendatang hukum yang benar-benar berlandaskan keadilan dan
memperhatikan kesejahteraan rakyat akan dapat terwujud.

DAFTAR PUSTAKA
Rifai. 2010. Politik Hukum Undang-Undang Jaminan Fidusia. diakses dari
http://pena-rifai.blogspot.com/2010/12/politik-hukum-undang-undangjaminan.html pada pada Senin 31 Desember 2012 pukul 12.30
Diana. 2012. Partisipasi Masyarakat Dalam Tahap-Tahap Pembentukan
Undang-Undang. Diakses dari http://diana-perundang-undangan.blogspot.com/
pada Senin 31 Desember 2012 pukul 14.07
http://www.dpr.go.id/id/tentang-dpr/tata-tertib/bab-16 diakses pada pada Senin
31 Desember 2012 pukul 12.01
http://www.csis.or.id/FeaturesDetail.php?id=200 diakses pada pada Senin 31
Desember 2012 pukul 12.35