Skrining dan penerapannya pada penderita (1)
SKRINING ISPA DI PUSKESMAS KOTA BANJARBARU
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
FAKULTAS TEKNIK
PROGRAM STUDI S-1 TEKNIK LINGKUNGAN
BANJARBARU
2015
TUGAS BESAR EPIDEMIOLOGI
SKRINING
Dan Penerapannya pada Proses Skrining ISPA Pasien Balita
di daerah Banjarbaru.
Dosen Mata Kuliah:
Prof. Dr. Qomariyatus Sholihah, Dipl.hyp, ST., M.Kes
Disusun Oleh
Kelompok 6:
Achmad Saufi Ridhoni
H1E114001
Dini Amalia
H1E114005
Evi Rizki Setyowati
H1E114006
Firdaus Oktafyanza
H1E114008
KEMENTRIAN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
FAKULTAS TEKNIK
PROGRAM STUDI S-1 TEKNIK LINGKUNGAN
BANJARBARU
2015
STRUKTUR JABATAN
Prof. Dr. H. Sutarto Hadi, M.Si, M.Sc
Dr-Ing Yulian Firmana Arifin, ST., MT.
Dr. Rony Riduan, ST., MT.
Prof. Dr. Qomariyatus Sholihah,
Dipl.hyp, ST., M.Kes
Nova Annisa, S.Si.,MS
Achmad Saufi Ridhoni
Dini Amalia
Evi Rizki Setyowati
Firdaus Oktafyanza
1
Ucapan terimakasih kami ucapkan kepada :
1.
Rektor Universitas Lambung Mangkurat :
Prof. Dr. H. SutartoHadi, M.Si, M.Sc.
2.
Dekan Fakultas Teknik Universitas Lambung
Mangkurat :
Dr-Ing Yulian FirmanaArifin, ST., MT.
3.
Kepala Prodi TeknikLingkungan Universitas
Lambung Mangkurat :
Dr. Rony Riduan, ST., MT.
2
4.
Dosen Mata Kuliah Epidemiologi :
Prof. Dr. Qomariyatus Sholihah, Dipl.hyp,
ST., M.Kes
5.
Dosen Mata Kuliah Epidemiologi : .
Nova Annisa, S.Si.,MS
6. AnggotaKelompok :
Achmad Saufi Ridhoni
Dini Amalia
Evi Rizki Setyowati
Firdaus Oktafyanza
3
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas karunia-Nya
makalah yang berjudul “Skrining” ini dapat diselesaikan tepat waktu. Makalah ini
diajukan sebagai tugas mata kuliah Epidemeologi. Didalam makalah ini Penulis
memaparkan definis skrining serta contoh pelaksanaan skrining pada kasuskasus yang berkaitan dalam teknik lingkungan. Dalam penulisan makalah ini,
Penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu.
Penulis merasa berkewajiban dan perlu menyampaikan ucapan terima kasih
serta penghargaan, kepada yang terhormat :
1.
Bapak Prof. Dr. H. Sutarto Hadi, M. Si, M. Sc selaku rektor Universitas
Lambung Mangkurat.
2.
Bapak DR. Ing. Yulian Firmana Arifin, ST. MT selaku Dekan Fakultas Teknik
Universitas Lambung Mangkurat.
3.
Bapak Chairul Irawan, ST., MT., Ph.D selaku PD I Dekan Fakultas Teknik
Universitas Lambung Mangkurat.
4.
Ibu Maya Amalia, M.Eng selaku PD II Dekan Fakultas Teknik Universitas
Lambung Mangkurat.
5.
Bapak Nurhakim, ST. MT selaku PD III Dekan Fakultas Teknik Universitas
Lambung Mangkurat.
6.
Bapak Rony Ridwan, ST. MT selaku Kepala Prodi Teknik Lingkungan
Fakultas Teknik Universitas Lambung Mangkurat.
7.
Ibu Prof. Dr. Qomariyatus Sholihah, Dipl.hyp, ST., M.Kes dan Ibu Nova
Anissa, S.Si. Ms selaku Dosen mata kuliah Epidemiologi.
8.
Ibu Puspawati, Amd selaku pengelola data program ISPA Dinas Kesehatan
Banjarbaru.
9.
Bapak Taufik Riyadi, SKM.MM selaku Kepala Puskesmas Banjarbaru dan
Ibu Endah Setiyani, Amk selaku pengelola P2 ISPA Puskesmas Banjarbaru.
10. Kedua orang tua dan dan keluarga yang telah mmeberikan doa dan
dukungan dalam pengerjaan makalah ini.
Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua
pihak. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi Penulis khususnya
dan pembaca pada umumnya.
Banjarbaru, Desember 2015
Penulis
4
RINGKASAN
ISPA di indonesia menjadi salah satu penyebab kematian. Pengaruh
geografis dapat mendorong terjadinya peningkatan kasus maupun kematian
penderita akibat ISPA, misalnya pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh
asap
karena
kebakaran hutan. Terutama daerah kalimantan apabila musim
kemarau banyak masyarakat yang membuka lahan baru dengan membakar
hutan, sehingga menimbulkan asap.
Sarana kesehatan yang banyak di kunjungi masyarakat Indonesia
biasanya puskesmas. Puskesmas memberi layanan ata rung yang berbeda
terhadap seseorang yang terkena ISPA. Oleh karena itu, metode yang digunakan
mengunjungi puskesmas terdekat untuk wawancara dan meminta data.
Berdasarkan data dan hasil wawancara yang dilakukan di puskesmas
Banjarbaru, banyaknya pasien yang berobat dengan keluhan ISPA. Orang yang
terkena ISPA dapat diketahui dengan mudah melalui proses skrining, misalnya
memperhatikan ritme pernapasannya. Jumlah pasien yang terkena ISPA
meningkat pada bulan April, sedangkan kabut asap terjadi pada bulan JuliAgustus. Oleh karena itu, kabut asap bukan salah satu penyebab yang berisiko
terhadap ISPA. Namun pola hidup yang kurang bersih menjadi penyebab utama
terjadinya ISPA.
5
DAFTAR SINGKATAN
1. ACS
:
American Cancer Society
2. ACOG
:
American College of Obstetricians and
Gynecologist
3. ARI
:
Acute Respiratory Infection
4. ASI
:
Air Susu Ibu
5. BBLR
:
Berat Bayi Lahir Rendah
6. DES
:
Dethylstibestrol
7. EKG
:
Elektrokardiogram
8. HCG
:
Human Chorionic Gonadotropin
9. HPV
:
Human Papilloma Virus
10. IMS
:
Infeksi Menular Seksual
11. ISPA
:
Infeksi Saluran Pernafasan Akut
12. RSV
:
Respiratory Synctial Virus
13. TBC
:
Tuberculosis
14. WHO
:
World Health Organization
6
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Hasil Skrining...................................................................................16
Tabel 2.2 Batas Napas Cepat Sesuai Golongan Umur Balita..........................33
Tabel 3.1 Laporan Januari Program Pengendalian ISPA kota Banjarbaru
tahun 2015 dari Dinas Kesehatan kota Banjarbaru (Balita)..............34
Tabel 3.2 Laporan Februari Program Pengendalian ISPA kota Banjarbaru
tahun 2015 dari Dinas Kesehatan kota Banjarbaru (Balita)..............35
Tabel 3.3 Laporan Maret Program Pengendalian ISPA kota Banjarbaru
tahun 2015 dari Dinas Kesehatan kota Banjarbaru (Balita).............35
Tabel 3.4 Laporan April Program Pengendalian ISPA kota Banjarbaru
tahun 2015 dari Dinas Kesehatan kota Banjarbaru (Balita)..............36
Tabel 3.5 Laporan Mei Program Pengendalian ISPA kota Banjarbaru
tahun 2015 dari Dinas Kesehatan kota Banjarbaru (Balita)..............37
Tabel 3.6 Laporan Juni Program Pengendalian ISPA kota Banjarbaru
tahun 2015 dari Dinas Kesehatan kota Banjarbaru (Balita)..............37
Tabel 3.7 Laporan Juli Program Pengendalian ISPA kota Banjarbaru
tahun 2015 dari Dinas Kesehatan kota Banjarbaru (Balita)..............38
Tabel 3.8 Laporan Agustus Program Pengendalian ISPA kota Banjarbaru
tahun 2015 dari Dinas Kesehatan kota Banjarbaru (Balita)..............38
7
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Bagan Proses Pelaksaan Skrining.................................................9
Gambar 2.2 Hubungan antara Sensitivitas dan Spesifisitas............................14
Gambar 2.3 Perhitungan Validitas Uji Skrining................................................16
Gambar 2.4 Contoh Perhitungan Spesifisitas Sensitivitas...............................16
Gambar 2.5 Contoh Perhitungan Spesifisitas..................................................17
8
DAFTAR GRAFIK
Grafik 3.1 Grafik Penemuan Penderita Pneumonia per Bulan Kota Banjarbaru
Tahun 2015 dari Dinas Kesehatan kota Banjarbaru..........................42
9
DAFTAR ISI
STRUKTUR JABATAN....................................................................................i
KATA PENGANTAR........................................................................................iv
RINGKASAN...................................................................................................v
DAFTAR SINGKATAN.....................................................................................vi
DAFTAR TABEL..............................................................................................vii
DAFTAR GAMBAR.........................................................................................viii
DAFTAR GRAFIK............................................................................................ix
DAFTAR ISI.....................................................................................................x
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang...............................................................................1
1.2. Rumusan Masalah.........................................................................1
1.3. Tujuan............................................................................................2
1.4. Manfaat..........................................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Skrining..........................................................................................3
2.2. Tujuan dan Manfaat Skrining.........................................................5
2.3. Sasaran dan Persyaratan Pelaksanaan Skrining...........................7
2.4. Proses Pelakasaan Skrining..........................................................8
2.5. Skrining ISPA.................................................................................19
2.5.1
Pengertian ISPA.................................................................19
2.5.2
Etiologi...............................................................................23
2.5.3
Tanda dan Gejala...............................................................24
2.5.4
Faktor yang Mempengaruhi ISPA.......................................25
2.5.5
Skrining pada ISPA............................................................31
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1
Jenis Penelitian..............................................................................33
3.2
Lokasi dan Waktu Penelitian..........................................................33
BAB IV ISI
4.1 Hasil...................................................................................................34
4.2 Pembahasan......................................................................................38
BAB V
PENTUP
5.1 Kesimpulan........................................................................................46
10
5.2 Saran.................................................................................................46
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................47
CONTOH SOAL.................................................................................................50
INDEKS.............................................................................................................. 51
11
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) merupakan masalah kesehatan
yang sangat serius baik di Dunia maupun di Indonesia. Tahun 2008 UNICEF dan
WHO melaporkan bahwa ISPA merupakan penyebab kematian paling besar
pada manusia, jika dibandingkan dengan total kematian akibat AIDS, malaria dan
campak. Kematian akibat ISPA ini (99,9% terutama Pneumonia) terjadi pada
negara-negara kurang berkembang dan berkembang seperti Sub Sahara Afrika
dan Asia khususnya di Asia tenggara dan Asia Selatan. Untuk Sub Sahara sendiri
terjadi 1.022.000 kasus per tahun sedangkan di Asia Selatan mencapai 702.000
kasus per tahun (Depkes RI, 2010).
ISPA di Indonesia masih menempati urutan pertama penyebab kematian
di Indonesia. Proporsi kematian Balita yang disebabkan oleh ISPA mencakup
20% - 30% dari seluruh kematian anak Balita. ISPA juga merupakan salah satu
penyebab utama kunjungan pasien pada sarana kesehatan. Sebanyak 40% 60% kunjungan berobat di Puskesmas dan sebanyak 15% - 30 % kunjungan
berobat di bagian rawat jalan dan rawat inap di rumah sakit disebabkan oleh
ISPA. Ditinjau dari prevalensinya pada tahun 1999
di Indonesia,
diketahui
bahwa penyakit saluran pernafasan menempati urutan pertama dari 10 penyakit
rawat jalan dan menjadi urutan kedua pada tahun 2007 dan menjadi pertama
kembali
pada tahun 2008. Berdasarkan hasil survei kesehatan nasional
(Surkesnas) pada tahun 2008 menunjukkan kematian bayi akibat ISPA sebesar
28%, artinya ada 28 bayi dari 100 bayi dapat meninggal akibat penyakit ISPA.
Tahun 2009 menunjukkan bahwa angka kematian bayi di Indonesia mencapai
46%, artinya ada 46 bayi dari 100 bayi dapat meninggal akibat penyakit ISPA
(Argadireja, 2015).
1.2
Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud skrinning?
2. Apa tujuan dan manfaat skrinning?
1
3. Apa sasaran dan persyarat pelaksanaan skirinning?
4. Bagaimana proses pelaksanaan skrinning?
5. Seperti apa penerapan skrinning pada sebuah kasus?
1.3
Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Memahami pengertian Skrining.
2. Mengetahui tujuan dan manfaat skrining
3. Mengetahui sasasran dan syarat pelaksanaan skrining.
4. Mengetahui proses pelaksanaan skrining
5. Memahami penerapan skrining pada kasus.
1.4
Manfaat
Manfaat dari makalah ini agar mahasiswa serta pembaca lainnya dapat
memahami skrining, serta dapat menerapkannya pada saat diperlukan.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Skrining
Di Indonesia kasus ISPA juga masih menempati urutan pertama dalam
jumlah pasien rawat jalan terbanyak. Hal ini menunjukkan angka kesakitan akibat
ISPA masih tinggi. Angka kematian pneumonia juga masih tinggi, yaitu kurang 5
per 1000 balita (Rahajoe dkk, 2012). Pencegahan primer merupakan cara terbaik
untuk mencegah penyakit, tetapi bila hal ini tidak mungkin dilakukan maka
deteksi tanda, gejala, dan pengobatan penyakit secara tuntas merupakan
pertahanan kedua. Untuk mendeteksi tanda dan gejala penyakit secara dini dan
menemukan penyakit sebelum menimbulkan gejala dapat dilakukan dengan cara
berikut.
1. Deteksi tanda dan gejala dini.
Untuk dapat mendeteksi tanda dan gejala penyakit secara dini dibutuhkan
pengetahuan tentang tanda dan gejala tersebut yang dilakukan oleh tenaga
kesehatan serta masyarakat. Dengan cara demikian, timbulnya kasus baru dapat
segera diketahui dan diberikan pengobatan. Biasanya, penderita datang untuk
mencari pengobatan setelah menimbulkan gejala dan mengganggu kegiatan
sehari-hari yang berarti penyakit telah berada dalam stadium lanjut. Hal ini
disebabkan ketidaktahuan dan ketidakmampuan penderita.
2. Penemuan kasus sebelum menimbulkan gejala.
Penemuan kasus ini dapat dilakukan dengan mengadakan uji skrining
terhadap orang-orang yang tampaknya sehat, tetapi mungkin menderita
penyakit. Diagnosis dan pengobatan penyakit yang diperoleh dari penderita yang
datang untuk mencari pengobatan setelah timbulgejala relatif sedikit sekali
dibandingkan dengan penderita tanpa gejala (Mubarak, 2012).
Skrining merupakan suatu pemeriksaan asimptomatik pada satu atau
sekelompok orang untuk mengklasifikasikan mereka dalam kategori yang
diperkirakan mengidap atau tidak mengidap penyakit (Rajab, 2009). Tes skrining
merupakan salah satu cara yang dipergunakan pada epidemiologi untuk
mengetahui prevalensi suatu penyakit yang tidak dapat didiagnosis atau keadaan
ketika angka kesakitan tinggi pada sekelompok individu atau masyarakat berisiko
3
tinggi serta pada keadaan yang kritis dan serius yang memerlukan penanganan
segera. Namun demikian, masih harus dilengkapi dengan pemeriksaan lain untuk
menentukan diagnosis definitif (Chandra, 2009).
Skrinning adalah usaha mendeteksi atau menemukan penderitaan
penyakit tertentu yang gejalanya tidak terlalu nampak dalam suatu masyarakat
atau kelompok penduduk tertentu melalui suatu tes atau pemeriksaan secara
sederhana untuk dapat memisahkan mereka yang betul-betul sehat terhadap
mereka yang kemungkinan besar menderita. Skrinning test merupakan suatu tes
sederhana yang diterapkan pada sekelompok populasi tertentu (yang relatif
sehat) dan bertujuan untuk mendeteksi mereka yang mempunyai kemungkinan
cukup tinggi menderita penyakit yang sedang diamati (disease under study)
sehingga kepada mereka dapat dilakukan diagnosis lengkap dan selanjutnya
bagi mereka yang menderita penyakit tersebut dapat diberikan pengobatan
secara dini (Noor, 2008).
Skrining adalah suatu usaha mencari/mendeteksi penderita penyakit
tertentu yang tanpa gejala dalam suatu masyarakat atau kelompok tertentu
melalui suatu test/pemeriksaan, yang secara singkat dan sederhana dapat
memisahkan mereka yang sehat terhadap merekayang kemungkinan besar
menderita, yang selanjutnya diproses melalui diagnosis dan pengobatan.
Skrining bukan diagnosis, sehingga hasil yang didapat betul-betul didasarkan
pada hasil pemeriksaan tes tertentu sedangkan kepastian diagnosis klinik
dilakukan pada tahap selanjutnya. Skrining dapat didefinisikan sebagai
identifikasi presumtif penyakit yang tidak tampak dengan menggunakan
pengujian pemeriksaan, atau prosedur lain yang dilakukan secara cepat unntuk
memeriksa individu yang tampaknya sehattetapi mungkin menderita penyakit.
Individu yang ditemukan positif atau tersangka dengan menderita suatu penyakit
harus segera dirujuk ke dokter untuk kepastian diagnosa dan pengobatan
(Weraman, 2010).
Berbeda dengan diagnosis yang artinya merupakan suatu tindakan untuk
menganalisis suatu permasalahan, mengidentidikasi penyebabnya secara tepat
untuk tujuan pengambilan keputusan dan hasil keputusan tersebut dilaporkan
dalam bentuk deskriptif (Yang dan Embretson, 2007). Skrining bukanlah sebuah
diagnosis, sehingga hasil yang diperoleh betul-betul hanya didasarkan pada hasil
pemeriksaan tes skrining tertentu, sedangkan kepastian diagnosis klinis
4
dilakukan belakangan secara terpisah, jika hasil dari skrining tersebut
menunjukan hasil yang positif (Noor, 2008).
Skrinning atau penyaringan
kasus adalah cara untuk mengidentifikasi
penyakit yang belum tampak melalui suatu tes atau pemeriksaan atau prosedur
lain yang dapat dengan cepat memisahkan antara orang yang mungkin
menderita penyakit dengan orang yang mungkin tidak menderita dari suatu
populasi tertentu. Skrining dalam pengobatan, adalah strategi yang digunakan
dalam suatu populasi untuk mendeteksi suatu penyakit pada individu tanpa
tanda-tanda atau gejala penyakit itu.
Selain beberapa pengertian diatas skrining bisa diartikan sebagai:
Rangkaian pengujian yang dilakukan terhadap pasien simptomatik yang
diagnosisnya belum dapat dipastikan
Agen kimiawi dapat di-skrining dengan pengujian laboratorium atau surveilans
epidemiologi untuk mengidentifikasi zat-zat yang diperkirakan bersifat toksik
Prosedur skrining dapat digunakan untuk mengestimasi prevalensi berbagai
kondisi tanpa bertujuan untuk pengendalian penyakit dalam waktu dekat
Skrining adalah pengidentifikasian orang yang beresiko tinggi terhadap suatu
penyakit
(Harlan, 2006).
2.2 Tujuan dan Manfaat Skrining
Uji skrining digunakan untuk mengidentifikasi suatu penanda awal
perkembangan
penyakit
sehingga
intervensi
dapat
diterapkan
untuk
menghambat proses penyakit. Selanjutnya, akan digunakan istilah “penyakit”
untuk
menyebut
setiap
peristiwa
dalam
proses
penyakit,
termasuk
perkembangannya atau setiap komplikasinya. Pada umumnya, skrining dilakukan
hanya ketika syarat-syarat terpenuhi, yakni penyakit tersebut merupakan
penyebab utama kematian dan kesakitan, terdapat sebuah uji yang sudah
terbukti dan dapat diterima untuk mendeteksi individu-individu pada suatu tahap
awal penyakit yang dapat dimodifikasi, dan terdapat pengobatan yang aman dan
efektif untuk mencegah penyakit atau akibat-akibat penyakit (Morton, 2008).
Tujuan
skrining
adalah
untuk
mengidentifikasi
penyakit
yang
asimptomatis (tanpa gejala), atau faktor risiko penyakit, dengan menguji populasi
yang belum mengalami gejala klinis (Bailey, 2005). Secara umum Tujuan
5
Skrining adalah untuk mengurangi morbiditas atau mortalitas dari penyakit
dengan pengobatan dini terhadap kasus-kasus yang ditemukan. Program
diagnosis dan pengobatan dini hampir selalu diarahkan kepada penyakit tidak
menular, seperti tingkatan prevensi penyakit, deteksi dan pengobatan dini yang
termasuk dalam tingkat prevensi sekunder. Berikut tujuan dari skrining secara
lebih detail:
1. Untuk Menemukan orang yang terdeteksi menderita suatu penyakit sedini
mungkin sehingga dapat dengan segera memperoleh pengobatan.
2. Untuk Mencegah meluasnya penyakit dalam masyarakat.
3. Untuk Mendidik dan membiasakan masyarakat untuk memeriksakan diri
sedini mungkin.
4. Untuk Mendidik dan memberikan gambaran kepada petugas kesehatan
tentang sifat penyakit dan untuk selalu waspada melakukan
pengamatan
terhadap gejala dini.
5. Untuk Mendapatkan keterangan epidemiologis yang berguna bagi klinis dan
peneliti.
(Harlan, 2006).
Dengan demikian skrining merupakan bagian dari survei epidemiologi
untuk menentukan frekuensi kejadian atau
riwayat perjalanan alamiah suatu
penyakit. Bukan hanya itu, skrining juga dilakukan untuk mengetahui sejauh
mana keefektifan sutu test dalam melakukan pencegahan penularan, serta
perlindungan kesehatan masyarakat. Misalnya penggunaan pemeriksaan x-ray
massal untuk mendeteksi tuberkolosis paru (Weraman, 2010).
Secara garis besar, uji skrining ialah cara untuk mengidentifikasi penyakit
yang belum tampak melalui tes atau pemeriksaan atau prosedur lain yang
dapoat dengan cepat memisahkan antara orang yang mungkin menderita
penyakit dengan orang orang yang mungkin tidak menderita. Jadi, tes untuk uji
skrining tidak dimaksudkan untuk mendiagnosis sehingga pada hasil tes uji
skrining yang positif harus dilakukan pemeriksaan yang lebih intensif untuk
menentukan apakah yang bersangkutan memang sakit atau tidak kemudian bagi
yang
diagnosisnya
positif
dilakukan
pengobatan
intensif
agar
tidak
membahayakan bagi dirinya maupun lingkungannya, khususnya bagi penyakitpenyakit menular (Mubarak, 2012).
6
Beberapa manfaat tes skrining di masyarakat antara lain, biaya yang
dikeluarkan relatif murah serta dapat dilaksanakan dengan efektif, selain itu
melalui tes skrining dapat lebih cepat memperoleh keterangan tentang sifat dan
situasi penyakit dalam masyarakat untuk usaha penanggulangan penyakit yang
akan timbul. Skrining juga dapat mendeteksi kondisi medis pada tahap awal
sebelum gejala ditemukan sedangkan pengobatan lebih efektif ketika penyakit
tersebut sudah terdeteksi keberadaannya (Chandra, 2009).
2.3 Sasaran dan Syarat Skrining
Uji skrining seringkali bukan merupakan uji diagnostik dan biasanya
hanya berusaha untuk mengidentifikasi sejumlah kecil individu yang berisiko
tinggi untuk mengalami kondisi tertentu. Skrining penyakit merupakan contoh dari
pencegahan sekunder, meskipun skrining yang bersifat pencegahan primer juga
dapat dilakukan berupa skrining untuk mendapatkan kelompok yang memiliki
faktor risiko penyakit, misalnya skrining obesitas, skrining hiperkolesterolemia
sebagai faktor risiko penyakit kardiovaskuler, dan lain-lain. Semua skrining
dengan sasaran pengobatan dini dimaksudkan untuk mengidentifikasi orang
orang asimptomatik yang beresiko mengidap gangguan kesehatan serius.
Sasaran penyaringan adalah penyakit kronis seperti :
Infeksi Bakteri (Lepra, TBC dll.)
Infeksi Virus (Hepatitis)
Infeksi parasit (malaria, mikrofilaria, toxoplasma, dll)
Penyakit Non-Infeksi : (Hipertensi, Diabetes mellitus, Jantung Koroner, Ca
Serviks, Ca Prostat, Glaukoma)
HIV-AIDS
(Harlan, 2006).
Untuk dapat melakukan proses skrining, diharuskan memenuhi beberapa
kriteria atau ketentuan-ketentuan khusus yang merupakan persyaratan suatu tes
skrining, antara lain :
a. Penyakit yang dituju harus merupakan masalah kesehatan yang berarti
dalam masyarakat dan dapat mengancam derajat kesehatan masyarakat
tersebut.
7
b. Tersedianya obat yang potensial dan memungkinkan pengobatan bagi
mereka yang dinyatakan menderita penyakit sesudah mengalami tes.
Keadaan penyediaan obat dan jangkauan biaya pengobatan dapat
mempengaruhi tingkat atau kekuatan tes yang dipilih.
c. Tersedianya fasilitas dan biaya untuk diagnosis pasti bagi mereka yang
dinyatakan positif terserang penyakit dan ketersediaan biaya pengobatan
bagi mereka yang dinyatakan positif dari hasil diagnosis klinis.
d. Tes penyaringan, terutama ditujukan pada penyakit yang masa latennya
cukup lama dan dapat diketahui melalui pemeriksaan atau tes khusus.
e. Tes penyaringan hanya dilakukan bila memenuhi syarat untuk tingkat
sensitivitas dan spesifitasnya karena kedua hal tersebut merupakan
standar untuk mengetahui apakah disuatu daerah yang dilakukan skrining
berkurang atau malah bertambah frekuensi endemiknya.
f.
Semua bentuk atau teknis dan cara pemeriksaan dalam tes penyaringan
harus dapat diterima oleh masyarakat secara umum.
g. Sifat perjalanan penyakit yang akan dilakukan tes harus diketahui denan
pasti.
h. Adanya suatu nilai standar yang telah disepakati bersama tentang mereka
yang dinyatakan menderita penyakit tersebut.
i.
Biaya yang digunakan dalam melakukan tes penyaringan sampai pada
titik akhir pemeriksaan harus seimbang dengan resiko biaya bila tanpa
melakukan tes tersebut.
j.
Harus
memungkinkan
tentangpenyakit
untuk
tersebut
diadakan
serta
pemantauan
penemuan
(follow
penderita
up)
secara
berkesinambungan. Melihat hal tersebut penyakit HIV/AIDS dan Ca paru
serta penyakit yang tidak diketahui pasti perjalanan penyakitnya tidak
dibenarkan untuk dilakukan skrining, namun jika dilihat dari sisi lamanya
perkembangan penyakit, HIV/AIDS merupakan penyakit yang memenuhi
persyaratan skrining (Noor, 2008).
2.4 Proses Pelaksanaan Skrining
Bentuk pelaksanaan skrining diantaranya adalah:
1. Mass screening adalah skrining secara masal pada masyarakat tertentu.
8
2. Selective screening adalah skrining secara selektif berdasarkan kriteria
tertentu, contoh pemeriksaan Ca paru pada perokok; pemeriksaan Ca servik
pada wanita yang sudah menikah.
3. Single disease screening adalah skrining yang dilakukan untuk satu jenis
penyakit.
4. Multiphasic screening adalah skrining yang dilakukan untuk lebih dari satu
jenis penyakit contoh pemeriksaan IMS; penyakit sesak nafas
(Harlan, 2006).
Gambar 2.1 Bagan Proses Pelaksaan Skrining
Pada sekelompok individu yang tampak sehat dilakukan pemeriksaan
(tes) dan hasil tes dapat positif dan negatif. Individu dengan hasil negatif pada
suatu saat dapat dilakukan tes ulang, sedangkan pada individu dengan hasil tes
positif dilakukan pemeriksaan diagnostik yang lebih spesifik dan bila hasilnya
positif dilakukan pengobatan secara intensif, sedangkan individu dengan hasil
tes negatif. dapat dilakukan tes ulang dan seterusnya sampai penderita semua
penderita terjaring. Tes skrining pada umumnya dilakukan secara masal pada
suatu kelompok populasi tertentu yang menjadi sasaran skrining. Namun
demikian bila suatu penyakit diperkirakan mempunyai sifat risiko tinggi pada
kelompok populasi tertentu, maka tes ini dapat pula dilakukan secara selektif
(misalnya khusus pada wanita dewasa) maupun secara random yang sarannya
ditujukan terutama kepada mereka dengan risiko tinggi. Tes ini dapat dilakukan
khusus untuk satu jenis penyakit tertentu, tetapi dapat pula dilakukan secara
serentak untuk lebih dari satu penyakit (Noor, 2008).
9
Uji skrining terdiri dari dua tahap, tahap pertama melakukan pemeriksaan
terhadap kelompok penduduk yang dianggap mempunyai resiko tinggi menderita
penyakit dan bila hasil tes negatif maka dianggap orang tersebut tidak menderita
penyakit. Bila hasil tes positif maka dilakukan pemeriksaan tahap kedua yaitu
pemeriksaan diagnostik yang bila hasilnya positif maka dianggap sakit dan
mendapatkan pengobatan, tetapi bila hasilnya negatif maka dianggap tidak sakit
dan tidak memerlukan pengobatan. Bagi hasil pemeriksaan yang negatif
dilakukan pemeriksaan ulang secara periodik. Ini berarti bahwa proses skrining
adalah pemeriksaan pada tahap pertama.
Pemeriksaan yang biasa digunakan untuk skrinig dapat berupa
pemeriksaan laboratorium atau radiologis, misalnya :
a. Pemeriksaan gula darah.
b. Pemeriksaan radiologis untuk uji skrining penyakit TBC.
Pemeriksaan diatas harus dapat dilakukan:
1. Dengan cepat tanpa memilah sasaran untuk pemeriksaan lebih lanjut
(pemeriksaan diagnostik).
2. Tidak mahal.
3. Mudah dilakukan oleh petugas kesehatan.
4. Tidak membahayakan yang diperiksa maupun yang memeriksa.
(Budiarto dan Anggraeni, 2003).
Namun jika dalam pelaksanaanya tidak berpengaruh terhadap perjalanan
penyakit, usia saat terjadinya stadium lanjut penyakit atau kematian tidak akan
berubah, walaupun ada perolehan lead time, yaitu periode dari saat deteksi
penyakit (dengan skrining) sampai dengan saat diagnosis seharusnya dibuat jika
tidak ada skrining.
Contoh dari pelaksanaan skrinning diantaranya adalah:
1.
Mammografi dan Termografi; Untuk mendeteksi Ca Mammae.
Kadangkala
dokter-dokter
juga
menganjurkan
penggunaan
dari
screening magnetic resonance imaging (MRI) pada wanita-wanita lebih
muda dengan jaringan payudara yang padat.
2.
Pap smear; Pap smear merupakan kepanjangan dari Papanicolau test.
Tes ini ditemukan oleh Georgios Papanikolaou. Tes ini merupakan tes
yang digunakan untuk melakukan skrening terhadap adanya proses
keganasan (kanker) pada daerah leher rahim (servik). Peralatan yang
10
digunakan yaitu; spatula/sikat halus, spekulum, kaca benda, dan mikroskop.
Mengapa perlu skrining? Kanker leher rahim merupakan kanker yang paling
sering dijumpai pada wanita setelah kanker payudara. Kanker ini termasuk
penyebab kematian terbanyak akibat kanker.
Secara internasional setiap tahun terdiagnosa 500.000 kasus baru.
Seperti halnya kanker yang lain, deteksi dini merupakan kunci keberhasilan
terapi, semakin awal diketahui, dalam artian masih dalam stadium yang tidak
begitu tinggi atau bahkan baru pada tahap displasia atau prekanker, maka
penanganan dan kemungkinan sembuhnya jauh lebih besar. Meskipun
sekarang ini sensitivitas dari pap smear ini ramai diperdebatkan dalam
skrening kanker leher rahim, Pap smear ini merupakan pemeriksaan non
invasif yang cukup spesifik dan sensitif untuk mendeteksi adanya perubahan
pada sel-sel di leher rahim sejak dini, apalagi bila dilakukan secara teratur.
Cervicography dan tes HPV DNA diusulkan sebagai metode alternatif
bagi skrining kanker leher rahim ini, karena kombinasi antara pap smear dan
cervicography atau tes HPV DNA memberikan sensitivitas yang lebih tinggi
dibanding pap smear saja. Pada umumnya seorang wanita disarankan untuk
melakukan pap smear untuk pertama kali kira-kira 3 tahun setelah
melakukan hubungan seksual yang pertama kali. American College of
Obstetricians and Gynecologist (ACOG) merekomendasikan pap smear
dilakukan setiap tahun bagi wanita yang berumur 21-29 tahun, dan setiap 23 tahun sekali bagi wanita yang berumur lebih dari 30 tahun dengan catatan
hasil pap testnya negatif 3 kali berturut-turut.
Namun apabila seorang wanita mempunyai faktor resiko terkena
kanker
leher
rahim
(misalnya
:
hasil
pap
smear
menunjukkan
prekanker,terkena infeksi HIV, atau pada saat hamil ibu mengkonsumsi
diethylstilbestrol (DES) maka pap smear dilakukan setiap tahun tanpa
memandang umur. Batasan seorang wanita untuk berhenti melakukan pap
smear menurut American Cancer Society (ACS) adalah apabila sudah
berumur 70 tahun dan hasil pap smear negatif 3 kali berturut-turut selama 10
tahun.
3.
Sphygmomanometer dan Stetoscope; Untuk mendeteksi hipertensi.
Risiko
hipertensi
(tekanan
darah
tinggi)
meningkat
seiring
bertambahnya usia, berat badan dan gaya hidup. Tekanan darah tinggi dapat
11
menyebabkan komplikasi yang cukup parah tanpa ada gejala sebelumnya.
Tekanan darah tinggi juga dapat memicu timbulnya berbagai penyakit seperti
penyakit jantung, stroke, dan gagal ginjal. Tekanan darah normal adalah
kurang dari 120/80. Tekanan darah cukup tinggi adalah 140/90 atau lebih.
Dan tekanan darah di antara kedua nilai tersebut disebut prehipertensi.
Seberapa sering tekanan darah harus diperiksa tergantung pada seberapa
tinggi nilainya dan apa faktor-faktor risiko lainnya yang dimiliki.
4.
Photometer; alat untuk memeriksa kadar gula darah melalui tes darah.
Mula-mula darah diambil menggunakan alat khusus yang ditusukkan
ke jari. Darah yang menetes keluar diletakkan pada suatu strip khusus. Strip
tersebut mengandung zat kimia tertentu yang dapat bereaksi dengan zat
gula yang terdapat dalam darah. Setelah beberapa lama, strip tersebut akan
mengering dan menunjukkan warna tertentu. Warna yang dihasilkan
dibandingkan dengan deret (skala) warna yang dapat menunjukkan kadar
glukosa dalam darah tersebut. Tes ini dilakukan sesudah puasa (minimal
selama 10 jam) dan 2 jam sesudah makan.
5.
Plano Test; Untuk mendeteksi kehamilan (memeriksa kadar HCG dalam
darah).
6.
EKG (Elektrokardiogram); Untuk mendeteksi Penyakit Jantung Koroner.
7.
Pita Ukur LILA; Untuk mendeteksi apakah seorang ibu hamil menderita
kekurangan gizi atau tidak dan apakah nantinya akan melahirkan bayi berat
lahir rendah (BBLR) atau tidak.
8.
X-ray, pemeriksaan sputum BTA; Untuk mendeteksi penyakit TBC
9.
Pemeriksaan fisik Head to Toe; Untuk mendeteksi adanya keadaan
abnormal pada ibu hamil.
10. Rectal toucher; Yang dilakukan oleh dokter untuk mendeteksi adanya
‘cancer prostat’. Tes skrining mampu mendeteksi kanker ini sebelum gejalagejalanya semakin berkembang, sehingga pengobatan/treatmennya menjadi
lebih efektif. Pria dengan resiko tinggi terhadap kanker prostat adalah pria
usia 40 tahunan.
11. Pervasive Developmental Disorders Screening Test PDDST – II; PDDST-II
adalah salah satu alat skrening yang telah dikembangkan oleh Siegel B. dari
Pervasive Developmental Disorders Clinic and Laboratory, Amerika Serikat
sejak tahun 1997.
12
(Bustan, 2000).
Kriteria evaluasi
1.
Validitas
Suatu alat (test) skrining yang baik adalah mempunyai tingkat validitas
dan reliabilitas yang tinggi, yaitu mendekati 100%. Validitas adalah kemampuan
dari test penyaringan untuk memisahkan mereka yang benar sakit terhadap yang
sehat. Besarnya kemungkinan untuk mendapatkan setiap individu dalam
keadaan yang sebenarnya (sehat atau sakit). Validitas berguna karena biaya
screening lebih murah daripada test diagnostik. Komponen Validitas diantaranya
adalah:
Sensitivitas adalah kemampuan dari test secara benar menempatkan
mereka yang positif betul-betul sakit.
Spesivicitas adalah kemampuan dari test secara benar menempatkan
mereka yang negatif betul-betul tidak sakit.
(Budiarto dan Anggraeni, 2003).
SAKIT
POPULASI
DIKLASIFIKASI SEBAGAI SAKIT
SAKIT,
DIKLASIFIKASI SEBAGAI SEHAT (NEGATIF PALSU)
SEHAT,
DIKLASIFIKASI SEBAGAI SEHAT (POSITIF PALSU)
SAKIT, DIKLASIFIKASI SEBAGAI SAKIT
k
13
Gambar 2. 2 Hubungan antara Sensitivitas dan Spesifisitas (kurva atas
menggambarkan distribusi diantara individu sehat, kurva bawah distribusi
diantara individu sakit).
Gambar diatas mengilustrasikan secara skematis interdependensi (saling
ketergantungan) dari sensitifitas dan spesifitas. asumsinya adalah bahwa
diagnosis didasarkan pada suatu variabel terukur yang distribusinya untuk bagian
populasi yang sakit dan sehat berbeda. Individu-individu yang nilainya diatas titik
potong (cut-off point) k dari ukuran diagnosis diklasifikasi sebagai sakit. Bila area
dibawah tiap grafik sama dengan 100%, bagian kiri dari grafik yang diatas sesuai
dengan spesifitas dan bagian kanan dari grafik yang dibawah sesuai dengan
sensitivitas. Bila persyaratan untuk seorang individu diklasifikasi sebagai sakit
diperketat, yaitu bila k digerakkan kekiri, sensitivitas akan berkurang.
Besarnya nilai kedua parameter tersebut tentunya ditentukan dengan alat
diagnostik diluar tes penyaringan. Kedua nilai tersebut saling mempengaruhi satu
dengan yang lainnya, yakni bila sensitivitas meningkat, maka spesifisitas akan
menurun, begitu pula sebaliknya. Untuk menentukan batas standar yang
digunakan pada tes penyaringan, harus ditentukan tujuan penyaringan, apakah
mengutamakan semua penderita terjaring termasuk yang tidak menderita,
ataukah mengarah pada mereka yang betul-betul sehat (Budiarto dan Anggraeni,
2003).
Selain kedua nilai tersebut, dalam memilih tes untuk skrining dibutuhkan
juga nilai prediktif
(Predictive Values).
Nilai prediktif
adalah besarnya
kemungkinan dengan menggunakan nilai sensitivitas dan spesivitas serta
prevalensi dengan proporsi penduduk yang menderita. Nilai prediktif value
terbagi menjadi dua, yaitu:
Nilai Prediktif Positif (NPP)
Nilai Prediktif Positif (NPP) atau Predictive Positive Value (PPV) adalah
porsentase dari mereka dengan hasil tes positive yang benar benar sakit,
artinya mereka dengan tes positif juga menderita penyakit, sedangkan nilai
prediktif negatif artinya mereka yang dinyatakan negatif juga ternyata tidak
menderita penyakit.
Rumus:
NPP = PS / (PS + PP)
14
Nilai Prediktif Negatif (NPN)
Nilai Prediktif Negatif (NPN) atau Negative Prediktive Value (NPV) adalah
porsentase dari mereka dengan hasil tes negatif yang benar benar tidak sakit,
sangat dipengaruhi oleh besarnya prevalensi penyakit dalam masyarakat
dengan ketentuan, makin tinggi prevalensi penyakit dalam masyarakat, makin
tinggi pula nilai prediktif positif dan sebaiknya.
Rumus:
NPN = NS / (NS + NP)
Tabel 2. 1 Hasil Skrining
Sebuah program skrining yang efektif akan menggunakan pemeriksaan
yang mampu membedakan antara individu yang sakit dan yang sehat. Hal ini
dikenal sebagai validitas skrining. Untuk mengukur uji validitas, digunakan hasil
skrining dibandingkan dengan baku emas (gold standard) dari pemeriksaan yang
dilakukan. Hasil dari uji validitas adalah didapatkannya nilai sensitivitas dan
spesifisitas. Berikut ini gambar yang menunjukkan perhitungan sensitivitas dan
spesifisitas dalam skrining.
15
Gambar 2. 3 Perhitungan Validitas Uji Skrining
Gambar 2. 4 Contoh Perhitungan Spesifisitas Sensitivitas
Gambar 2. 5 Contoh Perhitungan Spesifisitas
(Budiarto dan Anggraeni, 2003).
2.
Reliabilitas
16
Jika tes yang dilakukan secara kontinyu menunjukan hasil yang
konsisten, maka dapat dikatakan reliable. Variabilitas ini dipengaruhi oleh
beberapa factor :
1.
Variabilitas yang dapat ditimbulkan oleh:
a. Stabilitas reagen
b. Stabilitas alat ukur yang digunakan
Stabilitas reagen dan alat ukur sangat penting karena makin stabil
reagen dan alat ukur, makin konsisten hasil pemeriksaan. Oleh karena itu,
sebelum digunakan hendaknya kedua hasil tersebut ditera dan diuji ulang
ketepatannya.
2.
Variabilitas orang yang diperiksa. Kondisi fisik, psikis, stadium penyakit
atau status penyakit dalam masa tunas. Misalnya: lelah, kurang tidur, marah,
sedih, gembira, penyakit yang berat, dan penyakit yang sedang bertunas.
Umumnya variasi ini sulit untuk diukur terutama faktor psikis.
3.
Variabilitas pemeriksa. Variasi pemeriksa dapat berupa:
a. Variasi interna, merupakan variasi yang terjadi pada hasil pemeriksaan
yang dilakukan secara berulang-ulang oleh orang yang sama.
b. Variasi eksterna ialah variasi yang terjadi bila satu sediaan dilakukan
pemeriksaan oleh beberapa orang.
Upaya untuk mengurangi berbagai variasi diatas dapat dilakukan dengan
mengadakan:
3.
1.
Standarisasi reagen dan alat ukur.
2.
Latihan intensif pemeriksa.
3.
Penentuan criteria yang jelas.
4.
Penerangan kepada orang yang diperiksa.
5.
Pemeriksaan dilakukan dengan cepat.
Yield
Yield merupakan jumlah penyakit yang terdiagnosis dan diobati sebagai
hasil dari skrining. Hasil ini dipengaruhi oleh beberapa faktor berikut (Budiarto,
2003):
1.
Sensitivitas alat skrining.
2.
Prevelansi penyakit yang tidak tampak.
3.
Skrining yang sudah pernah dilakukan sebelumnya.
17
4.
Kesadaran masyarakat.
Bila alat yang digunakan untuk skrining mempunyai sensitivitas yang
rendah, akan dihasilkan sedikit negatif semu yang berarti sedikit pula penderita
yang tidak terdiagnosis. Hal ini dikatakan bahwa skrining dengan yield yang
rendah. Sebaliknya, bila alat yang digunakan mempunyai sensitivitas yang tinggi,
akan menghasilkan yield yang tinggi. Jadi, sensitivitas alat dan yield mempunyai
korelasi yang positif. Makin tinggi prevelensi penyakit tanpa gejala yang terdapat
di masyarakat akan meningkatkan yield, terutama pada penyakit kronis seperti
TBC, karsinoma, hipertensi, dan diabetes mellitus. Bagi penyakit-penyakit yang
jarang dilakukan skrining akan mendapatkan yield yang tinggi karena banyaknya
penyakit tanpa gejala yang terdapat di masyarakat. Sebaliknya jika suatu
penyakit telah dilakukan skrining sebelumnya maka yield akan rendah karena
banyak penyakit tanpa gejala yang telah didiagnosis. Kesadaran yang tinggi
terhadap masalah kesehatan masyarakat akan meningkatkan pastisipasi dalam
uji skrining sehingga kemungkinan banyak penyakit tanpa gejala yang dapat
terdeteksi dengan demikian yield akan meningkat.
Ada beberapa pertimbangan yang harus diperhatikan saat ingin melakukan
kegiatan skrining yaitu:
1.
Penyakit atau kondisi yang sedang diskrining harus merupakan masalah
medis utama.
2.
Pengobatan yang dapat diterima harus tersedia untuk individu berpenyakit
yang terungkap saat proses skrining dilakukan.
3.
Harus tersedia akses kefasilitasan dan pelayanan perawatan kesehatan
untuk diagnosis dan pengobatan lanjut penyakit yang ditemukan.
4.
Penyakit harus memiliki perjalanan yang dapat dikenali dengan keadaan
awal dan selanjutnya dapat diidentifikasi.
5.
Harus tersedia tes atau pemeriksaan yang tepat dan efektif untuk penyakit.
6.
Tes dan proses uji harus dapat diterima oleh masyarakat umum.
7.
Riwayat alami penyakit atau kondisi harus cukup dipahami termasuk fase
regular dan perjalanan penyakit dengan periode awal yang dapat
diidentifikasi melalui uji.
8.
Kebijakan, prosedur, dan tingkatan uji harus ditentukan untuk menentukan
siapa yang harus dirujuk untuk pemeriksaan, diagnosis, dan tindakan lebih
lanjut.
18
9.
Proses harus cukup sederhana sehingga sebagian besar kelompok mau
berpartisipasi.
10. Screening jangan dijadikan kegiatan yang sesekali saja, tetapi harus
dilakukan dalam proses yang teratus dan berkelanjutan.
11. Alat untuk penanganan.
12. Waktu pelaksanaan tersedia.
13. Pengaplikasian tepat.
14. Mendapat pengobatan segera.
15. Alat diagnosis tersedia.
Ada tiga macam sumber terjadinya penyimpangan pada saat skrining,
yaitu:
1. Lead Time Bias adalah interval waktu antara keadaan dapat dideteksi dengan
uji skrining dan saat umumnya keadaan dapat dideteksi melalui keluhan
adanya gejala awal. Deteksi melalui skiring terjadi pada umumnya lebih awal
diandingkan pada saat diagnosis dapat dilakukan, tanpa menunda saat
kejadian terjadi. Dengan penemuan kasus melalui skrining seolah-olah
memperpanjang interval antara waktu diagnosis dapat dibuat sampai
kematian terjadi.
2. Lengt Bias. Kasus yang terdeteksi melalui program skrining cenderung
memiliki tahap presimptomatik atau subklinik lebih panjang dibandingkan
dengan mereka yang ditemukan diantara periode penyaringan karena upaya
pribadi.
3. Patient Self-selection Bias yaitu individu-individu yang berperan dalam proses
penyaringan pasti memiliki karakteristik yang berbeda dengan mereka yang
tidak. Karakteristik tersebut mungkin berpengaruh kepada kelangsungan
hidup.
(Budiarto, 2003).
2.5 Skrinning ISPA
2.5.1 Pengertian ISPA
Infeksi
Saluran
Pernapasan Akut
(ISPA)
adalah
infeksi
saluran
pernapasan yang disebabkan oleh virus atau bakteri dan berlangsung selama 14
hari. ISPA merupakan penyakit infeksi akut yang menyerang saluran pernapasan
bagian atas dan bagian bawah. ISPA dapat menimbulkan gejala ringan (batuk,
19
pilek), gejala sedang (sesak, wheezing) bahkan sampai gejala yang berat
(sianosis, pernapasan cuping hidung). ISPA yang berat jika mengenai jaringan
paru-paru dapat menyebabkan tejadinya pneumonia. Pneumonia merupakan
penyakit infeksi penyebab kematian nomor satu pada balita (Riskesdas, 2013).
Penyakit ISPA merupakan salah satu penyakit pernafasan terberat dan
terbanyak menimbulkan akibat dan kematian (Gouzali, 2011). ISPA merupakan
salah satu penyakit pernafasan terberat dimana penderita yang terkena
serangan infeksi ini sangat menderita, apa lagi bila udara lembab, dingin atau
cuaca terlalu panas. (Saydam, 2011)
Dari kedua pengertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa penyakit
infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) adalah, infeksi yang menyerang saluran
pernafasan atas yang disebabkan oleh bakteri dan virus serta akibat adanya
penurunan kekebalan tubuh penderita akibat populasi udara yang di hirup.
1) Faktor-faktor terjadinya ISPA
Secara umum terdapat 3 (tiga) faktor resiko terjadinya ISPA yaitu faktor
lingkungan, faktor individu anak, serta faktor perilaku.
a. Faktor lingkungan
1. Pencemaran udara dalam rumah
Asap rokok dan asap hasil pembakaran bahan bakar untuk
memasak dengan konsentrasi tinggi dapat merusak mekanisme
pertahanan paru sehingga akan memudahkan timbulnya ISPA. Hal ini
dapat terjadi pada rumah yang keadaan ventilasinya kurang dan dapur
terletak didalm rumah, bersatu dengan kamar tidur, ruang tempat bayi
dan anak balita bermain. Hal ini lebih dimungkinkan karena bayi dan
anak balita lebih lama berada di rumah bersama-sama ibunya
sehingga dosis pencemaran tentunya akan lebih tinggi. Hasil penelitian
diperoleh adanya hubungan antara ISPA dan polusi udara, diantaranya
ada peningkatan resiko bronchitis, pneumonia pada anak-anak yang
tinggal di daerah lebih terpolusi, dimana efek ini terjadi pada kelompok
umur 9 bulan dan 6-10 tahun. (Maryunani, 2010).
2. Ventilasi rumah
Ventilasi yaitu proses penyediaan udara atau pengerahan
udara ke atau dari ruangan baik secara alami maupun secara mekanis.
Fungsi dari ventilasi dapat dijabarkan sebagai berikut mensuplai udara
20
bersih yaitu udara yang mengandung kadar oksigen yang optimum
bagi pernafasan, membebaskan udara ruangan dari bau-bauan, asap
ataupun debu dan zat-zat pencemar lain dengan cara pengenceran
udara, mensuplai panas agar hilangnya panas badan seimbang,
mensuplai panas akibat hilangnya panas ruangan dan bangunan,
mengeluarkan kelebihan udara panas yang disebabkan oleh radiasi
tubuh, kondisi, evaporasi ataupun keadaan eksternal, mendisfungsikan
suhu udara secara merata. (Maryunani, 2010).
3. Kepadatan hunian rumah
Keadaan tempat tinggal yang padat dapat meningkatkan faktor
polusi dalam rumah yang telah ada. Penelitian menunjukkan ada
hubungan
bermakna
antara
kepadatan
dan
kematian
dari
bronkopneumonia pada bayi, tetapi disebutkan bahwa polusi udara,
tingkat sosial, dan pendidikan memberi korelasi yang tinggi pada faktor
ini. (Maryunani,2010).
b. Faktor individu anak
1. Umur anak
Sejumlah studi yang besar menunjukkan bahwa insiden penyakit
pernafasan oleh virus melonjak pada bayi dan usia dini anak-anak dan
tetap menurun terhadap usia. Insiden ISPA tertinggi pada umur 6-12
tahun. (Maryunani, 2010).
2. Berat badan lahir
Berat badan lahir menentukan pertumbuhan dan perkembangan
fisik dan mental pada masa balita. Bayi dengan berat badan lahir
rendah (BBLR) mempunyai resiko kematian yang lebih besar
dibandingkan dengan berat badan lahir normal, terutama pada bulanbulan pertama kelahiran karena pembentukan zat anti kekebalan
kurang sempurna sehingga lebih mudah terkena penyakit infeksi,
terutama pneumonia dan sakit saluran pernafasan lainnya. Penelitian
menunjukan bahwa berat bayi kurang dari 2500 gram dihubungkan
dengan meningkatnya kematian akibat infeksi saluran pernafasam dan
hubungan ini menetap setelah dilakukan adjusted terhadap status
pekerjaan, pendapatan, pendidikan. Data ini mengingatkan bahwa
anak-anak dengan riwayat berat badan lahir rendah tidak mengalami
21
rate lebih tinggi terhadap penyakit saluran pernafasan, tetapi
mengalami lebih berat infeksinya. (Maryunani, 2010).
3. Status gizi
Keadaan gizi yang buruk muncul sebagai faktor resiko yang
penting untuk terjadinya ISPA. Beberapa penelitian telah membuktikan
tentang adanya hubungan antara gizi buruk dan infeksi paru, sehingga
anak-anak yang bergizi buruk sering mendapat pneumonia. Disamping
itu adanya hubungan antara gizi buruk dan terjadinya campak dan
infeksi virus berat lainnya serta menurunnya daya tahan tubuh anak
terhadap infeksi. Balita dengan gizi normal karena faktor daya tahan
tubuh yang kurang. Penyakit infeksi sendiri akan menyebabkan balita
tidak mempunyai nafsu makan dan mengakibatkan kekurangan gizi.
Pada keadaan gizi kurang, balita lebih mudah terserang “ISPA berat”
bahkan serangannya lebih lama. (Maryunani, 2010).
4. Vitamin A
Sejak tahun 1985 setiap enam bulan Posyandu memberikan
kapsul 200.000 IU vitamin A pada balita dari umur satu sampai dengan
empat tahun. Balita yang mendapat vitamin A lebih dari 6 bulan
sebelum sakit maupun yang tidak pernah mendapatkannya adalah
sebagai resiko terjadinya suatu penyakit sebesar 96,6% pada
kelompok kasus dan 93,5% pada kelompok kontrol. Pemberian vitamin
A yang dilakukan bersamaan dengan imunisasi akan menyebabkan
peningkatan titer antibodi yang spesifik dan tampaknya tetap berada
dalam nilai yang cukup tinggi. Bila antibodi yang ditujukan terhadap
bibit penyakit dan bukan sekedar antigen asing yang tidak berbahaya,
niscaya dapatlah diharapkan adanya perlindungan terhadap bibit
penyakit yang bersangkutan untuk jangka yang tidak terlalu singkat.
(Maryunani, 2010).
5. Status Imunisasi
Bayi dan balita yang pernah terserang campak dan selamat akan
mendapat kekebalan alami terhadap pneumonia sebagai komplikasi
campak. Sebagian besar kematian ISPA berasal dari jenis ISPA yang
berkembang dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi
seperti difteri, pertusis, campak, maka peningkatan cakupan imunisasi
22
akan berperan besar dalam upaya pemberantasan ISPA. Untuk
mengurangi faktor yang meningkatkan mortalitas ISPA, diupayakan
imunisasi lengkap. Bayi dan balita yang mempunyai status imunisasi
lengkap bila menderita ISPA dapat diharapkan perkembangan
penyakitnya tidak akan menjadi lebih berat. (Maryunani, 2010).
c. Faktor perilaku
Faktor perilaku dalam pencegahan dan penanggulangan penyakit
ISPA pada bayi dan balita dalam hal ini adalah praktik penanganan ISPA
di keluarga baik yang dilakukan oleh ibu ataupun anggota keluarga
lainnya. Keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat yang
berkumpul dan tinggal dalam suatu rumah tangga, satu dengan lainnya
saling tergantung dan berinteraksi. Bila salah satu atau beberapa anggota
keluarga mempunyai masalah kesehatan, maka akan berpengaruh
terhadap anggota keluarga lainnya. (Maryunani, 2010).
2.5.2 Etiologi
Jumlah penderita infeksi pernafasan akut kebanyakan pada anak. Etiologi
dan infeksinnya mempengaruhi umur anak, musim, kondisi tempat tinggal, dan
masalah kesehatan yang ada.
1. Agen penginfeksi
System
pernapasan
men
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
FAKULTAS TEKNIK
PROGRAM STUDI S-1 TEKNIK LINGKUNGAN
BANJARBARU
2015
TUGAS BESAR EPIDEMIOLOGI
SKRINING
Dan Penerapannya pada Proses Skrining ISPA Pasien Balita
di daerah Banjarbaru.
Dosen Mata Kuliah:
Prof. Dr. Qomariyatus Sholihah, Dipl.hyp, ST., M.Kes
Disusun Oleh
Kelompok 6:
Achmad Saufi Ridhoni
H1E114001
Dini Amalia
H1E114005
Evi Rizki Setyowati
H1E114006
Firdaus Oktafyanza
H1E114008
KEMENTRIAN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
FAKULTAS TEKNIK
PROGRAM STUDI S-1 TEKNIK LINGKUNGAN
BANJARBARU
2015
STRUKTUR JABATAN
Prof. Dr. H. Sutarto Hadi, M.Si, M.Sc
Dr-Ing Yulian Firmana Arifin, ST., MT.
Dr. Rony Riduan, ST., MT.
Prof. Dr. Qomariyatus Sholihah,
Dipl.hyp, ST., M.Kes
Nova Annisa, S.Si.,MS
Achmad Saufi Ridhoni
Dini Amalia
Evi Rizki Setyowati
Firdaus Oktafyanza
1
Ucapan terimakasih kami ucapkan kepada :
1.
Rektor Universitas Lambung Mangkurat :
Prof. Dr. H. SutartoHadi, M.Si, M.Sc.
2.
Dekan Fakultas Teknik Universitas Lambung
Mangkurat :
Dr-Ing Yulian FirmanaArifin, ST., MT.
3.
Kepala Prodi TeknikLingkungan Universitas
Lambung Mangkurat :
Dr. Rony Riduan, ST., MT.
2
4.
Dosen Mata Kuliah Epidemiologi :
Prof. Dr. Qomariyatus Sholihah, Dipl.hyp,
ST., M.Kes
5.
Dosen Mata Kuliah Epidemiologi : .
Nova Annisa, S.Si.,MS
6. AnggotaKelompok :
Achmad Saufi Ridhoni
Dini Amalia
Evi Rizki Setyowati
Firdaus Oktafyanza
3
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas karunia-Nya
makalah yang berjudul “Skrining” ini dapat diselesaikan tepat waktu. Makalah ini
diajukan sebagai tugas mata kuliah Epidemeologi. Didalam makalah ini Penulis
memaparkan definis skrining serta contoh pelaksanaan skrining pada kasuskasus yang berkaitan dalam teknik lingkungan. Dalam penulisan makalah ini,
Penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu.
Penulis merasa berkewajiban dan perlu menyampaikan ucapan terima kasih
serta penghargaan, kepada yang terhormat :
1.
Bapak Prof. Dr. H. Sutarto Hadi, M. Si, M. Sc selaku rektor Universitas
Lambung Mangkurat.
2.
Bapak DR. Ing. Yulian Firmana Arifin, ST. MT selaku Dekan Fakultas Teknik
Universitas Lambung Mangkurat.
3.
Bapak Chairul Irawan, ST., MT., Ph.D selaku PD I Dekan Fakultas Teknik
Universitas Lambung Mangkurat.
4.
Ibu Maya Amalia, M.Eng selaku PD II Dekan Fakultas Teknik Universitas
Lambung Mangkurat.
5.
Bapak Nurhakim, ST. MT selaku PD III Dekan Fakultas Teknik Universitas
Lambung Mangkurat.
6.
Bapak Rony Ridwan, ST. MT selaku Kepala Prodi Teknik Lingkungan
Fakultas Teknik Universitas Lambung Mangkurat.
7.
Ibu Prof. Dr. Qomariyatus Sholihah, Dipl.hyp, ST., M.Kes dan Ibu Nova
Anissa, S.Si. Ms selaku Dosen mata kuliah Epidemiologi.
8.
Ibu Puspawati, Amd selaku pengelola data program ISPA Dinas Kesehatan
Banjarbaru.
9.
Bapak Taufik Riyadi, SKM.MM selaku Kepala Puskesmas Banjarbaru dan
Ibu Endah Setiyani, Amk selaku pengelola P2 ISPA Puskesmas Banjarbaru.
10. Kedua orang tua dan dan keluarga yang telah mmeberikan doa dan
dukungan dalam pengerjaan makalah ini.
Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua
pihak. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi Penulis khususnya
dan pembaca pada umumnya.
Banjarbaru, Desember 2015
Penulis
4
RINGKASAN
ISPA di indonesia menjadi salah satu penyebab kematian. Pengaruh
geografis dapat mendorong terjadinya peningkatan kasus maupun kematian
penderita akibat ISPA, misalnya pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh
asap
karena
kebakaran hutan. Terutama daerah kalimantan apabila musim
kemarau banyak masyarakat yang membuka lahan baru dengan membakar
hutan, sehingga menimbulkan asap.
Sarana kesehatan yang banyak di kunjungi masyarakat Indonesia
biasanya puskesmas. Puskesmas memberi layanan ata rung yang berbeda
terhadap seseorang yang terkena ISPA. Oleh karena itu, metode yang digunakan
mengunjungi puskesmas terdekat untuk wawancara dan meminta data.
Berdasarkan data dan hasil wawancara yang dilakukan di puskesmas
Banjarbaru, banyaknya pasien yang berobat dengan keluhan ISPA. Orang yang
terkena ISPA dapat diketahui dengan mudah melalui proses skrining, misalnya
memperhatikan ritme pernapasannya. Jumlah pasien yang terkena ISPA
meningkat pada bulan April, sedangkan kabut asap terjadi pada bulan JuliAgustus. Oleh karena itu, kabut asap bukan salah satu penyebab yang berisiko
terhadap ISPA. Namun pola hidup yang kurang bersih menjadi penyebab utama
terjadinya ISPA.
5
DAFTAR SINGKATAN
1. ACS
:
American Cancer Society
2. ACOG
:
American College of Obstetricians and
Gynecologist
3. ARI
:
Acute Respiratory Infection
4. ASI
:
Air Susu Ibu
5. BBLR
:
Berat Bayi Lahir Rendah
6. DES
:
Dethylstibestrol
7. EKG
:
Elektrokardiogram
8. HCG
:
Human Chorionic Gonadotropin
9. HPV
:
Human Papilloma Virus
10. IMS
:
Infeksi Menular Seksual
11. ISPA
:
Infeksi Saluran Pernafasan Akut
12. RSV
:
Respiratory Synctial Virus
13. TBC
:
Tuberculosis
14. WHO
:
World Health Organization
6
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Hasil Skrining...................................................................................16
Tabel 2.2 Batas Napas Cepat Sesuai Golongan Umur Balita..........................33
Tabel 3.1 Laporan Januari Program Pengendalian ISPA kota Banjarbaru
tahun 2015 dari Dinas Kesehatan kota Banjarbaru (Balita)..............34
Tabel 3.2 Laporan Februari Program Pengendalian ISPA kota Banjarbaru
tahun 2015 dari Dinas Kesehatan kota Banjarbaru (Balita)..............35
Tabel 3.3 Laporan Maret Program Pengendalian ISPA kota Banjarbaru
tahun 2015 dari Dinas Kesehatan kota Banjarbaru (Balita).............35
Tabel 3.4 Laporan April Program Pengendalian ISPA kota Banjarbaru
tahun 2015 dari Dinas Kesehatan kota Banjarbaru (Balita)..............36
Tabel 3.5 Laporan Mei Program Pengendalian ISPA kota Banjarbaru
tahun 2015 dari Dinas Kesehatan kota Banjarbaru (Balita)..............37
Tabel 3.6 Laporan Juni Program Pengendalian ISPA kota Banjarbaru
tahun 2015 dari Dinas Kesehatan kota Banjarbaru (Balita)..............37
Tabel 3.7 Laporan Juli Program Pengendalian ISPA kota Banjarbaru
tahun 2015 dari Dinas Kesehatan kota Banjarbaru (Balita)..............38
Tabel 3.8 Laporan Agustus Program Pengendalian ISPA kota Banjarbaru
tahun 2015 dari Dinas Kesehatan kota Banjarbaru (Balita)..............38
7
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Bagan Proses Pelaksaan Skrining.................................................9
Gambar 2.2 Hubungan antara Sensitivitas dan Spesifisitas............................14
Gambar 2.3 Perhitungan Validitas Uji Skrining................................................16
Gambar 2.4 Contoh Perhitungan Spesifisitas Sensitivitas...............................16
Gambar 2.5 Contoh Perhitungan Spesifisitas..................................................17
8
DAFTAR GRAFIK
Grafik 3.1 Grafik Penemuan Penderita Pneumonia per Bulan Kota Banjarbaru
Tahun 2015 dari Dinas Kesehatan kota Banjarbaru..........................42
9
DAFTAR ISI
STRUKTUR JABATAN....................................................................................i
KATA PENGANTAR........................................................................................iv
RINGKASAN...................................................................................................v
DAFTAR SINGKATAN.....................................................................................vi
DAFTAR TABEL..............................................................................................vii
DAFTAR GAMBAR.........................................................................................viii
DAFTAR GRAFIK............................................................................................ix
DAFTAR ISI.....................................................................................................x
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang...............................................................................1
1.2. Rumusan Masalah.........................................................................1
1.3. Tujuan............................................................................................2
1.4. Manfaat..........................................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Skrining..........................................................................................3
2.2. Tujuan dan Manfaat Skrining.........................................................5
2.3. Sasaran dan Persyaratan Pelaksanaan Skrining...........................7
2.4. Proses Pelakasaan Skrining..........................................................8
2.5. Skrining ISPA.................................................................................19
2.5.1
Pengertian ISPA.................................................................19
2.5.2
Etiologi...............................................................................23
2.5.3
Tanda dan Gejala...............................................................24
2.5.4
Faktor yang Mempengaruhi ISPA.......................................25
2.5.5
Skrining pada ISPA............................................................31
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1
Jenis Penelitian..............................................................................33
3.2
Lokasi dan Waktu Penelitian..........................................................33
BAB IV ISI
4.1 Hasil...................................................................................................34
4.2 Pembahasan......................................................................................38
BAB V
PENTUP
5.1 Kesimpulan........................................................................................46
10
5.2 Saran.................................................................................................46
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................47
CONTOH SOAL.................................................................................................50
INDEKS.............................................................................................................. 51
11
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) merupakan masalah kesehatan
yang sangat serius baik di Dunia maupun di Indonesia. Tahun 2008 UNICEF dan
WHO melaporkan bahwa ISPA merupakan penyebab kematian paling besar
pada manusia, jika dibandingkan dengan total kematian akibat AIDS, malaria dan
campak. Kematian akibat ISPA ini (99,9% terutama Pneumonia) terjadi pada
negara-negara kurang berkembang dan berkembang seperti Sub Sahara Afrika
dan Asia khususnya di Asia tenggara dan Asia Selatan. Untuk Sub Sahara sendiri
terjadi 1.022.000 kasus per tahun sedangkan di Asia Selatan mencapai 702.000
kasus per tahun (Depkes RI, 2010).
ISPA di Indonesia masih menempati urutan pertama penyebab kematian
di Indonesia. Proporsi kematian Balita yang disebabkan oleh ISPA mencakup
20% - 30% dari seluruh kematian anak Balita. ISPA juga merupakan salah satu
penyebab utama kunjungan pasien pada sarana kesehatan. Sebanyak 40% 60% kunjungan berobat di Puskesmas dan sebanyak 15% - 30 % kunjungan
berobat di bagian rawat jalan dan rawat inap di rumah sakit disebabkan oleh
ISPA. Ditinjau dari prevalensinya pada tahun 1999
di Indonesia,
diketahui
bahwa penyakit saluran pernafasan menempati urutan pertama dari 10 penyakit
rawat jalan dan menjadi urutan kedua pada tahun 2007 dan menjadi pertama
kembali
pada tahun 2008. Berdasarkan hasil survei kesehatan nasional
(Surkesnas) pada tahun 2008 menunjukkan kematian bayi akibat ISPA sebesar
28%, artinya ada 28 bayi dari 100 bayi dapat meninggal akibat penyakit ISPA.
Tahun 2009 menunjukkan bahwa angka kematian bayi di Indonesia mencapai
46%, artinya ada 46 bayi dari 100 bayi dapat meninggal akibat penyakit ISPA
(Argadireja, 2015).
1.2
Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud skrinning?
2. Apa tujuan dan manfaat skrinning?
1
3. Apa sasaran dan persyarat pelaksanaan skirinning?
4. Bagaimana proses pelaksanaan skrinning?
5. Seperti apa penerapan skrinning pada sebuah kasus?
1.3
Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Memahami pengertian Skrining.
2. Mengetahui tujuan dan manfaat skrining
3. Mengetahui sasasran dan syarat pelaksanaan skrining.
4. Mengetahui proses pelaksanaan skrining
5. Memahami penerapan skrining pada kasus.
1.4
Manfaat
Manfaat dari makalah ini agar mahasiswa serta pembaca lainnya dapat
memahami skrining, serta dapat menerapkannya pada saat diperlukan.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Skrining
Di Indonesia kasus ISPA juga masih menempati urutan pertama dalam
jumlah pasien rawat jalan terbanyak. Hal ini menunjukkan angka kesakitan akibat
ISPA masih tinggi. Angka kematian pneumonia juga masih tinggi, yaitu kurang 5
per 1000 balita (Rahajoe dkk, 2012). Pencegahan primer merupakan cara terbaik
untuk mencegah penyakit, tetapi bila hal ini tidak mungkin dilakukan maka
deteksi tanda, gejala, dan pengobatan penyakit secara tuntas merupakan
pertahanan kedua. Untuk mendeteksi tanda dan gejala penyakit secara dini dan
menemukan penyakit sebelum menimbulkan gejala dapat dilakukan dengan cara
berikut.
1. Deteksi tanda dan gejala dini.
Untuk dapat mendeteksi tanda dan gejala penyakit secara dini dibutuhkan
pengetahuan tentang tanda dan gejala tersebut yang dilakukan oleh tenaga
kesehatan serta masyarakat. Dengan cara demikian, timbulnya kasus baru dapat
segera diketahui dan diberikan pengobatan. Biasanya, penderita datang untuk
mencari pengobatan setelah menimbulkan gejala dan mengganggu kegiatan
sehari-hari yang berarti penyakit telah berada dalam stadium lanjut. Hal ini
disebabkan ketidaktahuan dan ketidakmampuan penderita.
2. Penemuan kasus sebelum menimbulkan gejala.
Penemuan kasus ini dapat dilakukan dengan mengadakan uji skrining
terhadap orang-orang yang tampaknya sehat, tetapi mungkin menderita
penyakit. Diagnosis dan pengobatan penyakit yang diperoleh dari penderita yang
datang untuk mencari pengobatan setelah timbulgejala relatif sedikit sekali
dibandingkan dengan penderita tanpa gejala (Mubarak, 2012).
Skrining merupakan suatu pemeriksaan asimptomatik pada satu atau
sekelompok orang untuk mengklasifikasikan mereka dalam kategori yang
diperkirakan mengidap atau tidak mengidap penyakit (Rajab, 2009). Tes skrining
merupakan salah satu cara yang dipergunakan pada epidemiologi untuk
mengetahui prevalensi suatu penyakit yang tidak dapat didiagnosis atau keadaan
ketika angka kesakitan tinggi pada sekelompok individu atau masyarakat berisiko
3
tinggi serta pada keadaan yang kritis dan serius yang memerlukan penanganan
segera. Namun demikian, masih harus dilengkapi dengan pemeriksaan lain untuk
menentukan diagnosis definitif (Chandra, 2009).
Skrinning adalah usaha mendeteksi atau menemukan penderitaan
penyakit tertentu yang gejalanya tidak terlalu nampak dalam suatu masyarakat
atau kelompok penduduk tertentu melalui suatu tes atau pemeriksaan secara
sederhana untuk dapat memisahkan mereka yang betul-betul sehat terhadap
mereka yang kemungkinan besar menderita. Skrinning test merupakan suatu tes
sederhana yang diterapkan pada sekelompok populasi tertentu (yang relatif
sehat) dan bertujuan untuk mendeteksi mereka yang mempunyai kemungkinan
cukup tinggi menderita penyakit yang sedang diamati (disease under study)
sehingga kepada mereka dapat dilakukan diagnosis lengkap dan selanjutnya
bagi mereka yang menderita penyakit tersebut dapat diberikan pengobatan
secara dini (Noor, 2008).
Skrining adalah suatu usaha mencari/mendeteksi penderita penyakit
tertentu yang tanpa gejala dalam suatu masyarakat atau kelompok tertentu
melalui suatu test/pemeriksaan, yang secara singkat dan sederhana dapat
memisahkan mereka yang sehat terhadap merekayang kemungkinan besar
menderita, yang selanjutnya diproses melalui diagnosis dan pengobatan.
Skrining bukan diagnosis, sehingga hasil yang didapat betul-betul didasarkan
pada hasil pemeriksaan tes tertentu sedangkan kepastian diagnosis klinik
dilakukan pada tahap selanjutnya. Skrining dapat didefinisikan sebagai
identifikasi presumtif penyakit yang tidak tampak dengan menggunakan
pengujian pemeriksaan, atau prosedur lain yang dilakukan secara cepat unntuk
memeriksa individu yang tampaknya sehattetapi mungkin menderita penyakit.
Individu yang ditemukan positif atau tersangka dengan menderita suatu penyakit
harus segera dirujuk ke dokter untuk kepastian diagnosa dan pengobatan
(Weraman, 2010).
Berbeda dengan diagnosis yang artinya merupakan suatu tindakan untuk
menganalisis suatu permasalahan, mengidentidikasi penyebabnya secara tepat
untuk tujuan pengambilan keputusan dan hasil keputusan tersebut dilaporkan
dalam bentuk deskriptif (Yang dan Embretson, 2007). Skrining bukanlah sebuah
diagnosis, sehingga hasil yang diperoleh betul-betul hanya didasarkan pada hasil
pemeriksaan tes skrining tertentu, sedangkan kepastian diagnosis klinis
4
dilakukan belakangan secara terpisah, jika hasil dari skrining tersebut
menunjukan hasil yang positif (Noor, 2008).
Skrinning atau penyaringan
kasus adalah cara untuk mengidentifikasi
penyakit yang belum tampak melalui suatu tes atau pemeriksaan atau prosedur
lain yang dapat dengan cepat memisahkan antara orang yang mungkin
menderita penyakit dengan orang yang mungkin tidak menderita dari suatu
populasi tertentu. Skrining dalam pengobatan, adalah strategi yang digunakan
dalam suatu populasi untuk mendeteksi suatu penyakit pada individu tanpa
tanda-tanda atau gejala penyakit itu.
Selain beberapa pengertian diatas skrining bisa diartikan sebagai:
Rangkaian pengujian yang dilakukan terhadap pasien simptomatik yang
diagnosisnya belum dapat dipastikan
Agen kimiawi dapat di-skrining dengan pengujian laboratorium atau surveilans
epidemiologi untuk mengidentifikasi zat-zat yang diperkirakan bersifat toksik
Prosedur skrining dapat digunakan untuk mengestimasi prevalensi berbagai
kondisi tanpa bertujuan untuk pengendalian penyakit dalam waktu dekat
Skrining adalah pengidentifikasian orang yang beresiko tinggi terhadap suatu
penyakit
(Harlan, 2006).
2.2 Tujuan dan Manfaat Skrining
Uji skrining digunakan untuk mengidentifikasi suatu penanda awal
perkembangan
penyakit
sehingga
intervensi
dapat
diterapkan
untuk
menghambat proses penyakit. Selanjutnya, akan digunakan istilah “penyakit”
untuk
menyebut
setiap
peristiwa
dalam
proses
penyakit,
termasuk
perkembangannya atau setiap komplikasinya. Pada umumnya, skrining dilakukan
hanya ketika syarat-syarat terpenuhi, yakni penyakit tersebut merupakan
penyebab utama kematian dan kesakitan, terdapat sebuah uji yang sudah
terbukti dan dapat diterima untuk mendeteksi individu-individu pada suatu tahap
awal penyakit yang dapat dimodifikasi, dan terdapat pengobatan yang aman dan
efektif untuk mencegah penyakit atau akibat-akibat penyakit (Morton, 2008).
Tujuan
skrining
adalah
untuk
mengidentifikasi
penyakit
yang
asimptomatis (tanpa gejala), atau faktor risiko penyakit, dengan menguji populasi
yang belum mengalami gejala klinis (Bailey, 2005). Secara umum Tujuan
5
Skrining adalah untuk mengurangi morbiditas atau mortalitas dari penyakit
dengan pengobatan dini terhadap kasus-kasus yang ditemukan. Program
diagnosis dan pengobatan dini hampir selalu diarahkan kepada penyakit tidak
menular, seperti tingkatan prevensi penyakit, deteksi dan pengobatan dini yang
termasuk dalam tingkat prevensi sekunder. Berikut tujuan dari skrining secara
lebih detail:
1. Untuk Menemukan orang yang terdeteksi menderita suatu penyakit sedini
mungkin sehingga dapat dengan segera memperoleh pengobatan.
2. Untuk Mencegah meluasnya penyakit dalam masyarakat.
3. Untuk Mendidik dan membiasakan masyarakat untuk memeriksakan diri
sedini mungkin.
4. Untuk Mendidik dan memberikan gambaran kepada petugas kesehatan
tentang sifat penyakit dan untuk selalu waspada melakukan
pengamatan
terhadap gejala dini.
5. Untuk Mendapatkan keterangan epidemiologis yang berguna bagi klinis dan
peneliti.
(Harlan, 2006).
Dengan demikian skrining merupakan bagian dari survei epidemiologi
untuk menentukan frekuensi kejadian atau
riwayat perjalanan alamiah suatu
penyakit. Bukan hanya itu, skrining juga dilakukan untuk mengetahui sejauh
mana keefektifan sutu test dalam melakukan pencegahan penularan, serta
perlindungan kesehatan masyarakat. Misalnya penggunaan pemeriksaan x-ray
massal untuk mendeteksi tuberkolosis paru (Weraman, 2010).
Secara garis besar, uji skrining ialah cara untuk mengidentifikasi penyakit
yang belum tampak melalui tes atau pemeriksaan atau prosedur lain yang
dapoat dengan cepat memisahkan antara orang yang mungkin menderita
penyakit dengan orang orang yang mungkin tidak menderita. Jadi, tes untuk uji
skrining tidak dimaksudkan untuk mendiagnosis sehingga pada hasil tes uji
skrining yang positif harus dilakukan pemeriksaan yang lebih intensif untuk
menentukan apakah yang bersangkutan memang sakit atau tidak kemudian bagi
yang
diagnosisnya
positif
dilakukan
pengobatan
intensif
agar
tidak
membahayakan bagi dirinya maupun lingkungannya, khususnya bagi penyakitpenyakit menular (Mubarak, 2012).
6
Beberapa manfaat tes skrining di masyarakat antara lain, biaya yang
dikeluarkan relatif murah serta dapat dilaksanakan dengan efektif, selain itu
melalui tes skrining dapat lebih cepat memperoleh keterangan tentang sifat dan
situasi penyakit dalam masyarakat untuk usaha penanggulangan penyakit yang
akan timbul. Skrining juga dapat mendeteksi kondisi medis pada tahap awal
sebelum gejala ditemukan sedangkan pengobatan lebih efektif ketika penyakit
tersebut sudah terdeteksi keberadaannya (Chandra, 2009).
2.3 Sasaran dan Syarat Skrining
Uji skrining seringkali bukan merupakan uji diagnostik dan biasanya
hanya berusaha untuk mengidentifikasi sejumlah kecil individu yang berisiko
tinggi untuk mengalami kondisi tertentu. Skrining penyakit merupakan contoh dari
pencegahan sekunder, meskipun skrining yang bersifat pencegahan primer juga
dapat dilakukan berupa skrining untuk mendapatkan kelompok yang memiliki
faktor risiko penyakit, misalnya skrining obesitas, skrining hiperkolesterolemia
sebagai faktor risiko penyakit kardiovaskuler, dan lain-lain. Semua skrining
dengan sasaran pengobatan dini dimaksudkan untuk mengidentifikasi orang
orang asimptomatik yang beresiko mengidap gangguan kesehatan serius.
Sasaran penyaringan adalah penyakit kronis seperti :
Infeksi Bakteri (Lepra, TBC dll.)
Infeksi Virus (Hepatitis)
Infeksi parasit (malaria, mikrofilaria, toxoplasma, dll)
Penyakit Non-Infeksi : (Hipertensi, Diabetes mellitus, Jantung Koroner, Ca
Serviks, Ca Prostat, Glaukoma)
HIV-AIDS
(Harlan, 2006).
Untuk dapat melakukan proses skrining, diharuskan memenuhi beberapa
kriteria atau ketentuan-ketentuan khusus yang merupakan persyaratan suatu tes
skrining, antara lain :
a. Penyakit yang dituju harus merupakan masalah kesehatan yang berarti
dalam masyarakat dan dapat mengancam derajat kesehatan masyarakat
tersebut.
7
b. Tersedianya obat yang potensial dan memungkinkan pengobatan bagi
mereka yang dinyatakan menderita penyakit sesudah mengalami tes.
Keadaan penyediaan obat dan jangkauan biaya pengobatan dapat
mempengaruhi tingkat atau kekuatan tes yang dipilih.
c. Tersedianya fasilitas dan biaya untuk diagnosis pasti bagi mereka yang
dinyatakan positif terserang penyakit dan ketersediaan biaya pengobatan
bagi mereka yang dinyatakan positif dari hasil diagnosis klinis.
d. Tes penyaringan, terutama ditujukan pada penyakit yang masa latennya
cukup lama dan dapat diketahui melalui pemeriksaan atau tes khusus.
e. Tes penyaringan hanya dilakukan bila memenuhi syarat untuk tingkat
sensitivitas dan spesifitasnya karena kedua hal tersebut merupakan
standar untuk mengetahui apakah disuatu daerah yang dilakukan skrining
berkurang atau malah bertambah frekuensi endemiknya.
f.
Semua bentuk atau teknis dan cara pemeriksaan dalam tes penyaringan
harus dapat diterima oleh masyarakat secara umum.
g. Sifat perjalanan penyakit yang akan dilakukan tes harus diketahui denan
pasti.
h. Adanya suatu nilai standar yang telah disepakati bersama tentang mereka
yang dinyatakan menderita penyakit tersebut.
i.
Biaya yang digunakan dalam melakukan tes penyaringan sampai pada
titik akhir pemeriksaan harus seimbang dengan resiko biaya bila tanpa
melakukan tes tersebut.
j.
Harus
memungkinkan
tentangpenyakit
untuk
tersebut
diadakan
serta
pemantauan
penemuan
(follow
penderita
up)
secara
berkesinambungan. Melihat hal tersebut penyakit HIV/AIDS dan Ca paru
serta penyakit yang tidak diketahui pasti perjalanan penyakitnya tidak
dibenarkan untuk dilakukan skrining, namun jika dilihat dari sisi lamanya
perkembangan penyakit, HIV/AIDS merupakan penyakit yang memenuhi
persyaratan skrining (Noor, 2008).
2.4 Proses Pelaksanaan Skrining
Bentuk pelaksanaan skrining diantaranya adalah:
1. Mass screening adalah skrining secara masal pada masyarakat tertentu.
8
2. Selective screening adalah skrining secara selektif berdasarkan kriteria
tertentu, contoh pemeriksaan Ca paru pada perokok; pemeriksaan Ca servik
pada wanita yang sudah menikah.
3. Single disease screening adalah skrining yang dilakukan untuk satu jenis
penyakit.
4. Multiphasic screening adalah skrining yang dilakukan untuk lebih dari satu
jenis penyakit contoh pemeriksaan IMS; penyakit sesak nafas
(Harlan, 2006).
Gambar 2.1 Bagan Proses Pelaksaan Skrining
Pada sekelompok individu yang tampak sehat dilakukan pemeriksaan
(tes) dan hasil tes dapat positif dan negatif. Individu dengan hasil negatif pada
suatu saat dapat dilakukan tes ulang, sedangkan pada individu dengan hasil tes
positif dilakukan pemeriksaan diagnostik yang lebih spesifik dan bila hasilnya
positif dilakukan pengobatan secara intensif, sedangkan individu dengan hasil
tes negatif. dapat dilakukan tes ulang dan seterusnya sampai penderita semua
penderita terjaring. Tes skrining pada umumnya dilakukan secara masal pada
suatu kelompok populasi tertentu yang menjadi sasaran skrining. Namun
demikian bila suatu penyakit diperkirakan mempunyai sifat risiko tinggi pada
kelompok populasi tertentu, maka tes ini dapat pula dilakukan secara selektif
(misalnya khusus pada wanita dewasa) maupun secara random yang sarannya
ditujukan terutama kepada mereka dengan risiko tinggi. Tes ini dapat dilakukan
khusus untuk satu jenis penyakit tertentu, tetapi dapat pula dilakukan secara
serentak untuk lebih dari satu penyakit (Noor, 2008).
9
Uji skrining terdiri dari dua tahap, tahap pertama melakukan pemeriksaan
terhadap kelompok penduduk yang dianggap mempunyai resiko tinggi menderita
penyakit dan bila hasil tes negatif maka dianggap orang tersebut tidak menderita
penyakit. Bila hasil tes positif maka dilakukan pemeriksaan tahap kedua yaitu
pemeriksaan diagnostik yang bila hasilnya positif maka dianggap sakit dan
mendapatkan pengobatan, tetapi bila hasilnya negatif maka dianggap tidak sakit
dan tidak memerlukan pengobatan. Bagi hasil pemeriksaan yang negatif
dilakukan pemeriksaan ulang secara periodik. Ini berarti bahwa proses skrining
adalah pemeriksaan pada tahap pertama.
Pemeriksaan yang biasa digunakan untuk skrinig dapat berupa
pemeriksaan laboratorium atau radiologis, misalnya :
a. Pemeriksaan gula darah.
b. Pemeriksaan radiologis untuk uji skrining penyakit TBC.
Pemeriksaan diatas harus dapat dilakukan:
1. Dengan cepat tanpa memilah sasaran untuk pemeriksaan lebih lanjut
(pemeriksaan diagnostik).
2. Tidak mahal.
3. Mudah dilakukan oleh petugas kesehatan.
4. Tidak membahayakan yang diperiksa maupun yang memeriksa.
(Budiarto dan Anggraeni, 2003).
Namun jika dalam pelaksanaanya tidak berpengaruh terhadap perjalanan
penyakit, usia saat terjadinya stadium lanjut penyakit atau kematian tidak akan
berubah, walaupun ada perolehan lead time, yaitu periode dari saat deteksi
penyakit (dengan skrining) sampai dengan saat diagnosis seharusnya dibuat jika
tidak ada skrining.
Contoh dari pelaksanaan skrinning diantaranya adalah:
1.
Mammografi dan Termografi; Untuk mendeteksi Ca Mammae.
Kadangkala
dokter-dokter
juga
menganjurkan
penggunaan
dari
screening magnetic resonance imaging (MRI) pada wanita-wanita lebih
muda dengan jaringan payudara yang padat.
2.
Pap smear; Pap smear merupakan kepanjangan dari Papanicolau test.
Tes ini ditemukan oleh Georgios Papanikolaou. Tes ini merupakan tes
yang digunakan untuk melakukan skrening terhadap adanya proses
keganasan (kanker) pada daerah leher rahim (servik). Peralatan yang
10
digunakan yaitu; spatula/sikat halus, spekulum, kaca benda, dan mikroskop.
Mengapa perlu skrining? Kanker leher rahim merupakan kanker yang paling
sering dijumpai pada wanita setelah kanker payudara. Kanker ini termasuk
penyebab kematian terbanyak akibat kanker.
Secara internasional setiap tahun terdiagnosa 500.000 kasus baru.
Seperti halnya kanker yang lain, deteksi dini merupakan kunci keberhasilan
terapi, semakin awal diketahui, dalam artian masih dalam stadium yang tidak
begitu tinggi atau bahkan baru pada tahap displasia atau prekanker, maka
penanganan dan kemungkinan sembuhnya jauh lebih besar. Meskipun
sekarang ini sensitivitas dari pap smear ini ramai diperdebatkan dalam
skrening kanker leher rahim, Pap smear ini merupakan pemeriksaan non
invasif yang cukup spesifik dan sensitif untuk mendeteksi adanya perubahan
pada sel-sel di leher rahim sejak dini, apalagi bila dilakukan secara teratur.
Cervicography dan tes HPV DNA diusulkan sebagai metode alternatif
bagi skrining kanker leher rahim ini, karena kombinasi antara pap smear dan
cervicography atau tes HPV DNA memberikan sensitivitas yang lebih tinggi
dibanding pap smear saja. Pada umumnya seorang wanita disarankan untuk
melakukan pap smear untuk pertama kali kira-kira 3 tahun setelah
melakukan hubungan seksual yang pertama kali. American College of
Obstetricians and Gynecologist (ACOG) merekomendasikan pap smear
dilakukan setiap tahun bagi wanita yang berumur 21-29 tahun, dan setiap 23 tahun sekali bagi wanita yang berumur lebih dari 30 tahun dengan catatan
hasil pap testnya negatif 3 kali berturut-turut.
Namun apabila seorang wanita mempunyai faktor resiko terkena
kanker
leher
rahim
(misalnya
:
hasil
pap
smear
menunjukkan
prekanker,terkena infeksi HIV, atau pada saat hamil ibu mengkonsumsi
diethylstilbestrol (DES) maka pap smear dilakukan setiap tahun tanpa
memandang umur. Batasan seorang wanita untuk berhenti melakukan pap
smear menurut American Cancer Society (ACS) adalah apabila sudah
berumur 70 tahun dan hasil pap smear negatif 3 kali berturut-turut selama 10
tahun.
3.
Sphygmomanometer dan Stetoscope; Untuk mendeteksi hipertensi.
Risiko
hipertensi
(tekanan
darah
tinggi)
meningkat
seiring
bertambahnya usia, berat badan dan gaya hidup. Tekanan darah tinggi dapat
11
menyebabkan komplikasi yang cukup parah tanpa ada gejala sebelumnya.
Tekanan darah tinggi juga dapat memicu timbulnya berbagai penyakit seperti
penyakit jantung, stroke, dan gagal ginjal. Tekanan darah normal adalah
kurang dari 120/80. Tekanan darah cukup tinggi adalah 140/90 atau lebih.
Dan tekanan darah di antara kedua nilai tersebut disebut prehipertensi.
Seberapa sering tekanan darah harus diperiksa tergantung pada seberapa
tinggi nilainya dan apa faktor-faktor risiko lainnya yang dimiliki.
4.
Photometer; alat untuk memeriksa kadar gula darah melalui tes darah.
Mula-mula darah diambil menggunakan alat khusus yang ditusukkan
ke jari. Darah yang menetes keluar diletakkan pada suatu strip khusus. Strip
tersebut mengandung zat kimia tertentu yang dapat bereaksi dengan zat
gula yang terdapat dalam darah. Setelah beberapa lama, strip tersebut akan
mengering dan menunjukkan warna tertentu. Warna yang dihasilkan
dibandingkan dengan deret (skala) warna yang dapat menunjukkan kadar
glukosa dalam darah tersebut. Tes ini dilakukan sesudah puasa (minimal
selama 10 jam) dan 2 jam sesudah makan.
5.
Plano Test; Untuk mendeteksi kehamilan (memeriksa kadar HCG dalam
darah).
6.
EKG (Elektrokardiogram); Untuk mendeteksi Penyakit Jantung Koroner.
7.
Pita Ukur LILA; Untuk mendeteksi apakah seorang ibu hamil menderita
kekurangan gizi atau tidak dan apakah nantinya akan melahirkan bayi berat
lahir rendah (BBLR) atau tidak.
8.
X-ray, pemeriksaan sputum BTA; Untuk mendeteksi penyakit TBC
9.
Pemeriksaan fisik Head to Toe; Untuk mendeteksi adanya keadaan
abnormal pada ibu hamil.
10. Rectal toucher; Yang dilakukan oleh dokter untuk mendeteksi adanya
‘cancer prostat’. Tes skrining mampu mendeteksi kanker ini sebelum gejalagejalanya semakin berkembang, sehingga pengobatan/treatmennya menjadi
lebih efektif. Pria dengan resiko tinggi terhadap kanker prostat adalah pria
usia 40 tahunan.
11. Pervasive Developmental Disorders Screening Test PDDST – II; PDDST-II
adalah salah satu alat skrening yang telah dikembangkan oleh Siegel B. dari
Pervasive Developmental Disorders Clinic and Laboratory, Amerika Serikat
sejak tahun 1997.
12
(Bustan, 2000).
Kriteria evaluasi
1.
Validitas
Suatu alat (test) skrining yang baik adalah mempunyai tingkat validitas
dan reliabilitas yang tinggi, yaitu mendekati 100%. Validitas adalah kemampuan
dari test penyaringan untuk memisahkan mereka yang benar sakit terhadap yang
sehat. Besarnya kemungkinan untuk mendapatkan setiap individu dalam
keadaan yang sebenarnya (sehat atau sakit). Validitas berguna karena biaya
screening lebih murah daripada test diagnostik. Komponen Validitas diantaranya
adalah:
Sensitivitas adalah kemampuan dari test secara benar menempatkan
mereka yang positif betul-betul sakit.
Spesivicitas adalah kemampuan dari test secara benar menempatkan
mereka yang negatif betul-betul tidak sakit.
(Budiarto dan Anggraeni, 2003).
SAKIT
POPULASI
DIKLASIFIKASI SEBAGAI SAKIT
SAKIT,
DIKLASIFIKASI SEBAGAI SEHAT (NEGATIF PALSU)
SEHAT,
DIKLASIFIKASI SEBAGAI SEHAT (POSITIF PALSU)
SAKIT, DIKLASIFIKASI SEBAGAI SAKIT
k
13
Gambar 2. 2 Hubungan antara Sensitivitas dan Spesifisitas (kurva atas
menggambarkan distribusi diantara individu sehat, kurva bawah distribusi
diantara individu sakit).
Gambar diatas mengilustrasikan secara skematis interdependensi (saling
ketergantungan) dari sensitifitas dan spesifitas. asumsinya adalah bahwa
diagnosis didasarkan pada suatu variabel terukur yang distribusinya untuk bagian
populasi yang sakit dan sehat berbeda. Individu-individu yang nilainya diatas titik
potong (cut-off point) k dari ukuran diagnosis diklasifikasi sebagai sakit. Bila area
dibawah tiap grafik sama dengan 100%, bagian kiri dari grafik yang diatas sesuai
dengan spesifitas dan bagian kanan dari grafik yang dibawah sesuai dengan
sensitivitas. Bila persyaratan untuk seorang individu diklasifikasi sebagai sakit
diperketat, yaitu bila k digerakkan kekiri, sensitivitas akan berkurang.
Besarnya nilai kedua parameter tersebut tentunya ditentukan dengan alat
diagnostik diluar tes penyaringan. Kedua nilai tersebut saling mempengaruhi satu
dengan yang lainnya, yakni bila sensitivitas meningkat, maka spesifisitas akan
menurun, begitu pula sebaliknya. Untuk menentukan batas standar yang
digunakan pada tes penyaringan, harus ditentukan tujuan penyaringan, apakah
mengutamakan semua penderita terjaring termasuk yang tidak menderita,
ataukah mengarah pada mereka yang betul-betul sehat (Budiarto dan Anggraeni,
2003).
Selain kedua nilai tersebut, dalam memilih tes untuk skrining dibutuhkan
juga nilai prediktif
(Predictive Values).
Nilai prediktif
adalah besarnya
kemungkinan dengan menggunakan nilai sensitivitas dan spesivitas serta
prevalensi dengan proporsi penduduk yang menderita. Nilai prediktif value
terbagi menjadi dua, yaitu:
Nilai Prediktif Positif (NPP)
Nilai Prediktif Positif (NPP) atau Predictive Positive Value (PPV) adalah
porsentase dari mereka dengan hasil tes positive yang benar benar sakit,
artinya mereka dengan tes positif juga menderita penyakit, sedangkan nilai
prediktif negatif artinya mereka yang dinyatakan negatif juga ternyata tidak
menderita penyakit.
Rumus:
NPP = PS / (PS + PP)
14
Nilai Prediktif Negatif (NPN)
Nilai Prediktif Negatif (NPN) atau Negative Prediktive Value (NPV) adalah
porsentase dari mereka dengan hasil tes negatif yang benar benar tidak sakit,
sangat dipengaruhi oleh besarnya prevalensi penyakit dalam masyarakat
dengan ketentuan, makin tinggi prevalensi penyakit dalam masyarakat, makin
tinggi pula nilai prediktif positif dan sebaiknya.
Rumus:
NPN = NS / (NS + NP)
Tabel 2. 1 Hasil Skrining
Sebuah program skrining yang efektif akan menggunakan pemeriksaan
yang mampu membedakan antara individu yang sakit dan yang sehat. Hal ini
dikenal sebagai validitas skrining. Untuk mengukur uji validitas, digunakan hasil
skrining dibandingkan dengan baku emas (gold standard) dari pemeriksaan yang
dilakukan. Hasil dari uji validitas adalah didapatkannya nilai sensitivitas dan
spesifisitas. Berikut ini gambar yang menunjukkan perhitungan sensitivitas dan
spesifisitas dalam skrining.
15
Gambar 2. 3 Perhitungan Validitas Uji Skrining
Gambar 2. 4 Contoh Perhitungan Spesifisitas Sensitivitas
Gambar 2. 5 Contoh Perhitungan Spesifisitas
(Budiarto dan Anggraeni, 2003).
2.
Reliabilitas
16
Jika tes yang dilakukan secara kontinyu menunjukan hasil yang
konsisten, maka dapat dikatakan reliable. Variabilitas ini dipengaruhi oleh
beberapa factor :
1.
Variabilitas yang dapat ditimbulkan oleh:
a. Stabilitas reagen
b. Stabilitas alat ukur yang digunakan
Stabilitas reagen dan alat ukur sangat penting karena makin stabil
reagen dan alat ukur, makin konsisten hasil pemeriksaan. Oleh karena itu,
sebelum digunakan hendaknya kedua hasil tersebut ditera dan diuji ulang
ketepatannya.
2.
Variabilitas orang yang diperiksa. Kondisi fisik, psikis, stadium penyakit
atau status penyakit dalam masa tunas. Misalnya: lelah, kurang tidur, marah,
sedih, gembira, penyakit yang berat, dan penyakit yang sedang bertunas.
Umumnya variasi ini sulit untuk diukur terutama faktor psikis.
3.
Variabilitas pemeriksa. Variasi pemeriksa dapat berupa:
a. Variasi interna, merupakan variasi yang terjadi pada hasil pemeriksaan
yang dilakukan secara berulang-ulang oleh orang yang sama.
b. Variasi eksterna ialah variasi yang terjadi bila satu sediaan dilakukan
pemeriksaan oleh beberapa orang.
Upaya untuk mengurangi berbagai variasi diatas dapat dilakukan dengan
mengadakan:
3.
1.
Standarisasi reagen dan alat ukur.
2.
Latihan intensif pemeriksa.
3.
Penentuan criteria yang jelas.
4.
Penerangan kepada orang yang diperiksa.
5.
Pemeriksaan dilakukan dengan cepat.
Yield
Yield merupakan jumlah penyakit yang terdiagnosis dan diobati sebagai
hasil dari skrining. Hasil ini dipengaruhi oleh beberapa faktor berikut (Budiarto,
2003):
1.
Sensitivitas alat skrining.
2.
Prevelansi penyakit yang tidak tampak.
3.
Skrining yang sudah pernah dilakukan sebelumnya.
17
4.
Kesadaran masyarakat.
Bila alat yang digunakan untuk skrining mempunyai sensitivitas yang
rendah, akan dihasilkan sedikit negatif semu yang berarti sedikit pula penderita
yang tidak terdiagnosis. Hal ini dikatakan bahwa skrining dengan yield yang
rendah. Sebaliknya, bila alat yang digunakan mempunyai sensitivitas yang tinggi,
akan menghasilkan yield yang tinggi. Jadi, sensitivitas alat dan yield mempunyai
korelasi yang positif. Makin tinggi prevelensi penyakit tanpa gejala yang terdapat
di masyarakat akan meningkatkan yield, terutama pada penyakit kronis seperti
TBC, karsinoma, hipertensi, dan diabetes mellitus. Bagi penyakit-penyakit yang
jarang dilakukan skrining akan mendapatkan yield yang tinggi karena banyaknya
penyakit tanpa gejala yang terdapat di masyarakat. Sebaliknya jika suatu
penyakit telah dilakukan skrining sebelumnya maka yield akan rendah karena
banyak penyakit tanpa gejala yang telah didiagnosis. Kesadaran yang tinggi
terhadap masalah kesehatan masyarakat akan meningkatkan pastisipasi dalam
uji skrining sehingga kemungkinan banyak penyakit tanpa gejala yang dapat
terdeteksi dengan demikian yield akan meningkat.
Ada beberapa pertimbangan yang harus diperhatikan saat ingin melakukan
kegiatan skrining yaitu:
1.
Penyakit atau kondisi yang sedang diskrining harus merupakan masalah
medis utama.
2.
Pengobatan yang dapat diterima harus tersedia untuk individu berpenyakit
yang terungkap saat proses skrining dilakukan.
3.
Harus tersedia akses kefasilitasan dan pelayanan perawatan kesehatan
untuk diagnosis dan pengobatan lanjut penyakit yang ditemukan.
4.
Penyakit harus memiliki perjalanan yang dapat dikenali dengan keadaan
awal dan selanjutnya dapat diidentifikasi.
5.
Harus tersedia tes atau pemeriksaan yang tepat dan efektif untuk penyakit.
6.
Tes dan proses uji harus dapat diterima oleh masyarakat umum.
7.
Riwayat alami penyakit atau kondisi harus cukup dipahami termasuk fase
regular dan perjalanan penyakit dengan periode awal yang dapat
diidentifikasi melalui uji.
8.
Kebijakan, prosedur, dan tingkatan uji harus ditentukan untuk menentukan
siapa yang harus dirujuk untuk pemeriksaan, diagnosis, dan tindakan lebih
lanjut.
18
9.
Proses harus cukup sederhana sehingga sebagian besar kelompok mau
berpartisipasi.
10. Screening jangan dijadikan kegiatan yang sesekali saja, tetapi harus
dilakukan dalam proses yang teratus dan berkelanjutan.
11. Alat untuk penanganan.
12. Waktu pelaksanaan tersedia.
13. Pengaplikasian tepat.
14. Mendapat pengobatan segera.
15. Alat diagnosis tersedia.
Ada tiga macam sumber terjadinya penyimpangan pada saat skrining,
yaitu:
1. Lead Time Bias adalah interval waktu antara keadaan dapat dideteksi dengan
uji skrining dan saat umumnya keadaan dapat dideteksi melalui keluhan
adanya gejala awal. Deteksi melalui skiring terjadi pada umumnya lebih awal
diandingkan pada saat diagnosis dapat dilakukan, tanpa menunda saat
kejadian terjadi. Dengan penemuan kasus melalui skrining seolah-olah
memperpanjang interval antara waktu diagnosis dapat dibuat sampai
kematian terjadi.
2. Lengt Bias. Kasus yang terdeteksi melalui program skrining cenderung
memiliki tahap presimptomatik atau subklinik lebih panjang dibandingkan
dengan mereka yang ditemukan diantara periode penyaringan karena upaya
pribadi.
3. Patient Self-selection Bias yaitu individu-individu yang berperan dalam proses
penyaringan pasti memiliki karakteristik yang berbeda dengan mereka yang
tidak. Karakteristik tersebut mungkin berpengaruh kepada kelangsungan
hidup.
(Budiarto, 2003).
2.5 Skrinning ISPA
2.5.1 Pengertian ISPA
Infeksi
Saluran
Pernapasan Akut
(ISPA)
adalah
infeksi
saluran
pernapasan yang disebabkan oleh virus atau bakteri dan berlangsung selama 14
hari. ISPA merupakan penyakit infeksi akut yang menyerang saluran pernapasan
bagian atas dan bagian bawah. ISPA dapat menimbulkan gejala ringan (batuk,
19
pilek), gejala sedang (sesak, wheezing) bahkan sampai gejala yang berat
(sianosis, pernapasan cuping hidung). ISPA yang berat jika mengenai jaringan
paru-paru dapat menyebabkan tejadinya pneumonia. Pneumonia merupakan
penyakit infeksi penyebab kematian nomor satu pada balita (Riskesdas, 2013).
Penyakit ISPA merupakan salah satu penyakit pernafasan terberat dan
terbanyak menimbulkan akibat dan kematian (Gouzali, 2011). ISPA merupakan
salah satu penyakit pernafasan terberat dimana penderita yang terkena
serangan infeksi ini sangat menderita, apa lagi bila udara lembab, dingin atau
cuaca terlalu panas. (Saydam, 2011)
Dari kedua pengertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa penyakit
infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) adalah, infeksi yang menyerang saluran
pernafasan atas yang disebabkan oleh bakteri dan virus serta akibat adanya
penurunan kekebalan tubuh penderita akibat populasi udara yang di hirup.
1) Faktor-faktor terjadinya ISPA
Secara umum terdapat 3 (tiga) faktor resiko terjadinya ISPA yaitu faktor
lingkungan, faktor individu anak, serta faktor perilaku.
a. Faktor lingkungan
1. Pencemaran udara dalam rumah
Asap rokok dan asap hasil pembakaran bahan bakar untuk
memasak dengan konsentrasi tinggi dapat merusak mekanisme
pertahanan paru sehingga akan memudahkan timbulnya ISPA. Hal ini
dapat terjadi pada rumah yang keadaan ventilasinya kurang dan dapur
terletak didalm rumah, bersatu dengan kamar tidur, ruang tempat bayi
dan anak balita bermain. Hal ini lebih dimungkinkan karena bayi dan
anak balita lebih lama berada di rumah bersama-sama ibunya
sehingga dosis pencemaran tentunya akan lebih tinggi. Hasil penelitian
diperoleh adanya hubungan antara ISPA dan polusi udara, diantaranya
ada peningkatan resiko bronchitis, pneumonia pada anak-anak yang
tinggal di daerah lebih terpolusi, dimana efek ini terjadi pada kelompok
umur 9 bulan dan 6-10 tahun. (Maryunani, 2010).
2. Ventilasi rumah
Ventilasi yaitu proses penyediaan udara atau pengerahan
udara ke atau dari ruangan baik secara alami maupun secara mekanis.
Fungsi dari ventilasi dapat dijabarkan sebagai berikut mensuplai udara
20
bersih yaitu udara yang mengandung kadar oksigen yang optimum
bagi pernafasan, membebaskan udara ruangan dari bau-bauan, asap
ataupun debu dan zat-zat pencemar lain dengan cara pengenceran
udara, mensuplai panas agar hilangnya panas badan seimbang,
mensuplai panas akibat hilangnya panas ruangan dan bangunan,
mengeluarkan kelebihan udara panas yang disebabkan oleh radiasi
tubuh, kondisi, evaporasi ataupun keadaan eksternal, mendisfungsikan
suhu udara secara merata. (Maryunani, 2010).
3. Kepadatan hunian rumah
Keadaan tempat tinggal yang padat dapat meningkatkan faktor
polusi dalam rumah yang telah ada. Penelitian menunjukkan ada
hubungan
bermakna
antara
kepadatan
dan
kematian
dari
bronkopneumonia pada bayi, tetapi disebutkan bahwa polusi udara,
tingkat sosial, dan pendidikan memberi korelasi yang tinggi pada faktor
ini. (Maryunani,2010).
b. Faktor individu anak
1. Umur anak
Sejumlah studi yang besar menunjukkan bahwa insiden penyakit
pernafasan oleh virus melonjak pada bayi dan usia dini anak-anak dan
tetap menurun terhadap usia. Insiden ISPA tertinggi pada umur 6-12
tahun. (Maryunani, 2010).
2. Berat badan lahir
Berat badan lahir menentukan pertumbuhan dan perkembangan
fisik dan mental pada masa balita. Bayi dengan berat badan lahir
rendah (BBLR) mempunyai resiko kematian yang lebih besar
dibandingkan dengan berat badan lahir normal, terutama pada bulanbulan pertama kelahiran karena pembentukan zat anti kekebalan
kurang sempurna sehingga lebih mudah terkena penyakit infeksi,
terutama pneumonia dan sakit saluran pernafasan lainnya. Penelitian
menunjukan bahwa berat bayi kurang dari 2500 gram dihubungkan
dengan meningkatnya kematian akibat infeksi saluran pernafasam dan
hubungan ini menetap setelah dilakukan adjusted terhadap status
pekerjaan, pendapatan, pendidikan. Data ini mengingatkan bahwa
anak-anak dengan riwayat berat badan lahir rendah tidak mengalami
21
rate lebih tinggi terhadap penyakit saluran pernafasan, tetapi
mengalami lebih berat infeksinya. (Maryunani, 2010).
3. Status gizi
Keadaan gizi yang buruk muncul sebagai faktor resiko yang
penting untuk terjadinya ISPA. Beberapa penelitian telah membuktikan
tentang adanya hubungan antara gizi buruk dan infeksi paru, sehingga
anak-anak yang bergizi buruk sering mendapat pneumonia. Disamping
itu adanya hubungan antara gizi buruk dan terjadinya campak dan
infeksi virus berat lainnya serta menurunnya daya tahan tubuh anak
terhadap infeksi. Balita dengan gizi normal karena faktor daya tahan
tubuh yang kurang. Penyakit infeksi sendiri akan menyebabkan balita
tidak mempunyai nafsu makan dan mengakibatkan kekurangan gizi.
Pada keadaan gizi kurang, balita lebih mudah terserang “ISPA berat”
bahkan serangannya lebih lama. (Maryunani, 2010).
4. Vitamin A
Sejak tahun 1985 setiap enam bulan Posyandu memberikan
kapsul 200.000 IU vitamin A pada balita dari umur satu sampai dengan
empat tahun. Balita yang mendapat vitamin A lebih dari 6 bulan
sebelum sakit maupun yang tidak pernah mendapatkannya adalah
sebagai resiko terjadinya suatu penyakit sebesar 96,6% pada
kelompok kasus dan 93,5% pada kelompok kontrol. Pemberian vitamin
A yang dilakukan bersamaan dengan imunisasi akan menyebabkan
peningkatan titer antibodi yang spesifik dan tampaknya tetap berada
dalam nilai yang cukup tinggi. Bila antibodi yang ditujukan terhadap
bibit penyakit dan bukan sekedar antigen asing yang tidak berbahaya,
niscaya dapatlah diharapkan adanya perlindungan terhadap bibit
penyakit yang bersangkutan untuk jangka yang tidak terlalu singkat.
(Maryunani, 2010).
5. Status Imunisasi
Bayi dan balita yang pernah terserang campak dan selamat akan
mendapat kekebalan alami terhadap pneumonia sebagai komplikasi
campak. Sebagian besar kematian ISPA berasal dari jenis ISPA yang
berkembang dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi
seperti difteri, pertusis, campak, maka peningkatan cakupan imunisasi
22
akan berperan besar dalam upaya pemberantasan ISPA. Untuk
mengurangi faktor yang meningkatkan mortalitas ISPA, diupayakan
imunisasi lengkap. Bayi dan balita yang mempunyai status imunisasi
lengkap bila menderita ISPA dapat diharapkan perkembangan
penyakitnya tidak akan menjadi lebih berat. (Maryunani, 2010).
c. Faktor perilaku
Faktor perilaku dalam pencegahan dan penanggulangan penyakit
ISPA pada bayi dan balita dalam hal ini adalah praktik penanganan ISPA
di keluarga baik yang dilakukan oleh ibu ataupun anggota keluarga
lainnya. Keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat yang
berkumpul dan tinggal dalam suatu rumah tangga, satu dengan lainnya
saling tergantung dan berinteraksi. Bila salah satu atau beberapa anggota
keluarga mempunyai masalah kesehatan, maka akan berpengaruh
terhadap anggota keluarga lainnya. (Maryunani, 2010).
2.5.2 Etiologi
Jumlah penderita infeksi pernafasan akut kebanyakan pada anak. Etiologi
dan infeksinnya mempengaruhi umur anak, musim, kondisi tempat tinggal, dan
masalah kesehatan yang ada.
1. Agen penginfeksi
System
pernapasan
men