Supervisi Kepala Ruangan dan Kepatuhan Perawat dalam Pencegahan Infeksi Nosokomial di Rumah Sakit Sari Mutiara Medan

   

  BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Supervisi

2.1.1 Pengertian Supervisi

  Supervisi berasal dari kata super (bahasa Latin yang berarti di atas) dan

  videre (bahasa Latin yang berarti melihat), bila dilihat dari kata aslinya, supervisi

  berarti melihat dari atas (Suarli& Bahtiar, 2010). Secara umum pengertian supervisi adalah pengamatan yang dilakukan secara langsung dan berkala oleh atasan terhadap pekerjaan yang dilakukan bawahan untuk kemudian bila ditemukan masalah, segera diberikan bantuan yang bersifat langsung untuk mengatasinya (Suarli& Bahtiar, 2010).

  Kron & Gray (1987, dalam Arwani & Supriyanto, 2005) mengartikan supervisi sebagai kegiatan yang merencanakan, mengarahkan, membimbing, mengajar, mengobservasi, mendorong, memperbaiki, memercayai, dan mengevaluasi secara berkesinambungan anggota secara menyeluruh sesuai dengan kemampuan dan keterbatasan yang dimiliki anggota. Sedangkan supervisi keperawatan adalah kegiatan pengawasan dan pembinaan yang dilakukan secara berkesinambungan mencakup pelayanan keperawatan, masalah ketenagaan dan peralatan agar pasien mendapat pelayanan yang bermutu (Depkes 2000, dalam Nursalam, 2012).

   

  2.1.2 Tujuan Supervisi Tujuan supervisi adalah memberikan bantuan kepada bawahan secara langsung, sehingga bawahan memiliki kemampuan yang cukup untuk dapat melaksanakan pekerjaan dengan baik (Nursalam, 2012). Menurut WHO (1999, dalam Nursalam, 2012) tujuan dari pengawasan adalah: 1) Menjamin bahwa pekerjaan dilaksanakan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan dalam tempo yang diberikan dengan menggunakan sumber daya yang tersedia, 2) Memungkinkan pengawas menyadari kekurangan para petugas kesehatan dalam hal kemampuan, pengetahuan dan pemahaman serta mengatur pelatihan yang sesuai, 3) Memungkinkan para pengawas mengenali dan memberi penghargaan atas pekerjaan yang baik dan mengenali perawat yang layak diberikan kenaikan jabatan dan pelatihan lebih lanjut, 4) Memungkinkan manajemen bahwa sumber yang disediakan bagi petugas telah cukup dan dipergunakan dengan baik, 5) Memungkinkan manajemen menentukan penyebab kekurangan pada kinerja tersebut.

  2.1.3 Manfaat Supervisi Menurut Suarli & Bahtiar (2008) apabila supervisi dilaksanakan dengan baik, akan diperoleh manfaat yang sangat banyak, yaitu:

1. Meningkatkan efektivitas kerja

  Peningkatan efektivitas kerja ini sangat erat hubungannya dengan makin meningkatnya pengetahuan dan keterampilan bawahan, serta makin terbinanya hubungan dan suasana kerja yang lebih harmonis antara atasan dengan bawahan.

    2.

  Meningkatkan efisiensi kerja Peningkatan efisiensi kerja ini sangat erat hubungannya dengan makin berkurangnya kesalahan yang dilakukan oleh bawahan, sehingga pemakaian sumber daya (tenaga, dana dan sarana) yang sia-sia akan dapat dicegah. Apabila kedua peningkatan ini dapat diwujudkan, sama artinya dengan telah tercapainya tujuan suatu organisasi (Suarli & Bahtiar, 2008).

2.1.4 Pelaksana Supervisi

  Pelaksana atau yang bertanggung jawab untuk melaksanakan supervisi adalah atasan, yakni mereka yang memiliki kelebihan dalam organisasi yang sering dikaitkan dengan status yang lebih tinggi (supervisor) dan karena fungsi supervisi memang dimiliki oleh atasan (Suarli & Bahtiar, 2008). Namun untuk keberhasilan, supervisi harus lebih megutamakan kelebihan pengetahuan dan keterampilan (Nursalam, 2012). Pelaksana supervisi menurut Suyanto (2009) terdiri dari: 1)

  Kepala ruangan Kepala ruangan merupakan orang yang bertanggung jawab untuk melakukan supervisi pelayanan keperawatan pada pasien di ruangan perawatan yang dipimpinnya, serta menjadi penentu tercapai atau tidaknya tujuan pelayanan kesahatan di rumah sakit. Kepala ruangan mengawasi perawat pelaksana dalam memberikan asuhan keperawatan baik secara langsung maupun tidak langsung disesuaikan dengan metode penugasan yang diterapkan diruang perawatan tersebut.

   

  2) Pengawas keperawatan

  Ruang perawatan dan unit pelayanan yang berada di bawah unit pelaksana fungisional (UPF) mempunyai pengawas yang bertanggung jawab mengawasi jalannya pelayanan keperawatan. 3)

  Kepala seksi keperawatan Kepala bidang keperawan sebagai top manager dalam keperawatan, bertanggung jawab melakukan supervisi baik secara langsung atau tidak langsung melalui para pengawas perawatan.

  2.1.5 Tugas Pelaksana Supervisi (Supervisor) Supervisor harus bisa mengusahakan seoptimal mungkin kondisi kerja yang nyaman, aman, efektif dan efisien. Oleh karena itu, tugas supervisor meliputi

  (Suyanto, 2009): 1) Mengorientasikan pelaksana keperawatan terutama pegawai baru, 2) Melatih pelaksana keperawatan, 3) Memberikan pengarahan dalam pelaksanaan tugas agar menyadari, mengerti terhadap peran, fungsi sebagai pelaksana asuhan keperawatan, 4) Memberikan pelayanan bimbingan kepada pelaksana keperawatan dalam memberikan asuhan keperawatan.

  2.1.6 Prinsip Supervisi Seorang menajer keperawatan harus mampu melakukan supervisi secara benar, ia harus mengetahui dasar dan prinsip-prinsip supervisi. Prinsip-prinsip tersebut harus memenuhi syarat, antara lain (Arwani &Supriyanto, 2005): 1) Didasarkan pada hubungan profesional dan bukan hubungan pribadi, 2) Kegiatan harus direncanakan secara matang, 3) Bersifat edukatif, 4) Memberikan perasaan

   

  aman pada perawat pelaksana, 5) Mampu membentuk suasana kerja yang demokratis, 6) Objektif dan mampu memacu penilaian diri (self evaluation), 7) Bersifat progresif, inovatif, fleksibel, dapat mengembangkan potensi atau kelebihan masing-masing orang yang terlibat, 8) Bersifat konstruktif dan kreatif dalam mengembangkan diri disesuaikan dengan kebutuhan, 9) Meningkatkan kinerja bawahan dalam upaya meningkatkan kualitas asuhan keperawatan.

2.1.7 Teknik Supervisi Kepala Ruangan

  Supervisi dapat dilakukan dengan dua teknik yaitu (Sitorus & Panjaitan, 2011): 1)

  Supervisi langsung Supervisi dilakukan langsung pada kegiatan yang sedang berlangsung dan supervisor diharapkan dapat terlibat agar bimbingan dan pengarahan serta pemberian petunjuk yang diberikan tidak dirasakan sebagai perintah. Untuk itu ada beberapa hal yang harus diperhatikan saat memberikan bimbingan dan pengarahan yang efektif, yaitu: 1) Pengarahan diberikan secara lengkap,2) Mudah dipahami, 3) Menggunakan kata-kata tepat, 4) Berbicara dengan jelas dan tidak terlalu cepat, 5) Memberikan arahan yang logis, 6) Hindari memberikan banyak arahan pada satu saat, 7) Pastikan bahwa arahan yang diberikan dipahami, 8) Yakinkan arahan yang diberikan dilaksanakan. 2)

  Supervisi tidak langsung Supervisi dilakukan melalui laporan tertulis maupun lisan dan supervisor tidak melihat kejadian di lapangan sehingga mungkin terjadi kesenjangan fakta.

   

2.1.8 Fungsi Pelaksana Supervisi

  Supervisi mempunyai empat fungsi penting dalam upaya mencapai tujuan organisasi, yaitu (Sitorus & Panjaitan, 2011): 1)

  Perencanaan Fungsi dasar dari manajemen keperawatan adalah perencanaan, yang merupakan suatu proses untuk mancapai tujuan dan misi organisasi, falsafah keperawatan, tujuan unit, sasaran, kebijakan dan prosedur. 2)

  Pengorganisasian Proses supervisi harus bisa menunjukkan koordinasi terhadap sumber- sumber untuk mencapai tujuan secara efektif dan efisien. Supervisor harus dapat menguasai/memahami fungsi pengorganisasian untuk mereskrukturisasi dan mereformulasikan antara perubahan manusia dan sumber-sumber material pada waktu yang pendek. 3)

  Pengawasan dan evaluasi Supervisi bertanggung jawab mengawasi lingkungan dan mengukur hasil dari proses kerja. Fungsi pengawasan meliputi perhatian terhadap sistem alur kerja, sistem informasi, model pemberian asuhan pasien, libur perawat, upah perawat dan promosi perawat.

  Fungsi evaluasi adalah membantu untuk menentukan hasil pengawasan dan biasanya prosedur dan pedoman digunakan untuk mengkaji hasil kerja dalam mendapatkan informasi tentang tujuan kerja, kegiatan, hasil, dampak, dan biaya.

   

  Evaluasi ini menggunakan prosedur yang sistematik untuk mengevaluasi kinerja secara periodik.

  4) Pengawasan dan evaluasi terhadap standar organisasi

  Standar organisasi menunjukan nilai-nilai organisasi, dimana nilai-nilai dan standar tersebut merupakan pedoman dari struktur organisasi, praktik keperawatan, sistem keperawatan dan pengembangan SDM keperawatan. Standar digunakan untuk merencanakan dan mengevaluasi proses kerja dalam mencapai hasil yang tepat, untuk itu supervisor sebagai yang bertanggung jawab terhadap sistem pemberian asuhan keperawatan harus mengetahui standar organisasi untuk kepentingan perawat dan disiplin kesehatan lain.

2.1.9 Kegiatan Supervisi

  Menurut Sitorus & Panjaitan (2011) kegiatan supervisor dikelompokan dalam beberapa tahapan, yaitu: perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengawasan dan pencatatan. 1)

  Perencanaan Pada tahap perencanaan, kegiatan supervisor terdiri dari: 1) Membuat tujuan unit mengacu pada visi dan misi keperawatan, 2) Membuat standar ketenagaan di ruangan, 3) Membuat rencana pengembangan perawat, 4) Membuat SOP dan SAK, 5) Menetapkan lama hari rawat di unit yang disupervisi, 6) Membuat jadwal kerja sesuai area dan personil yang disupervisi, 7) Membuat standar evaluasi kinerja perawat yang disupervisi.

   

  2) Pengorganisasian

  Pada tahap pengorganisasian, kegiatan supervisi meliputi: 1) Menetapkan sistem pemberian asuhan keperawatan pasien, 2) Mengatur pekerjaan personil, 3) Koordinasi sumber-sumber untuk mencapai tujuan pelayanan secara efektif dan efisien.

  3) Pengarahan

  Pada tahap pengarahan, kegiatan supervisi meliputi: 1) Menjadi role model dalam memberikan asuhan keperawatan kepada pasien dan keluarga, 2) Membangun hubungan yang positif dengan perawat melalui komunikasi yang efektif, 3) Mengidentifikasi kelebihan dan kelemahan perawat, 4) Membimbing, mengarahkan, melatih, mengembangkan perawat untuk memberikan askep sesuai kebutuhan, 5) Memberikan bimbingan untuk meningkatkan ketrampilan perawat, 6) Melatih perawat untuk pengambilan keputusan klinis, 7) Membantu perawat dalam pemecahan masalah, 8) Memfasilitasi perawat dalam menyelesaikan pekerjaan, 9) Mendelegasikan tugas kepada perawat sesuai kemampuan yang dimiliki, 10) Memberikan bantuan terkait dengan pelayanan sesuai kebutuhan.

  4) Pengawasan

  Pada tahap ini, kegiatan supervisi meliputi: 1) Mengontrol jadwal kerja dan kehadiran perawat, 2) Menganalisis keseimbangan perawat dan pekerjaan, 3) Mengontrol tersediannya fasilitas/sarana/peralatan hari ini, 4) Mengontrol area yang disupervisi, 5) Mengidentifikasikan kendala/masalah yang muncul, 6) Mengontrol dan mengevaluasi pekerjaan perawat dan kemajuan perawat dalam

   

  melaksanakan pekerjaan, 7) Mengawasi dan mengevaluasi kualitas asuhan keperawatan pasien.

  5) Pencatatan

  Pada tahap pencatatan kegiatan supervisi meliputi: 1) Mencatat permasalahan yang muncul, 2) Membuat daftar masalah yang belum dapat diatasi dan berusaha untuk menyelesaikan pada keesokan harinya, 3) Mencatat dan melaporkan fasilitas/sarana/peralatan sesuai kondisi, 4) Mencatat dan melaporkan secara rutin proses dan hasil supervisi, 5) Mengevaluasi tugas supervisi yang dilakukan setiap hari dan melakukan tindak lanjut sesuai kebutuhan, 6) Membuat jadwal kerja untuk keesokan harinya, 7) Memelihara administrasi pasien.

2.2 Kepatuhan

  Kepatuhan adalah tingkat dimana seseorang melaksanakan suatu cara atau berperilaku sesuai dengan apa yang disarankan atau dibebankan kepadanya (Smet, 1994). Kepatuhan dalam hal ini terkait dengan pelaksanaan prosedur tetap yaitu untuk selalu memenuhi petunjuk atau peraturan-peraturan dan memahami etika keperawatan di Rumah Sakit tempat perawat bekerja.

  Menurut Kelman (1958) dalam Sarwono (1997) dijelaskan bahwa perubahan sikap dan perilaku individu diawali dengan proses kepatuhan, identifikasi, dan tahap terakhir berupa internalisasi. Pada tahap kepatuhan, awalnya individu akan mematuhi anjuran/instruksi tanpa kerelaan untuk melakukan tindakan tersebut dan seringkali karena ingin menghindari hukuman/sangsi jika dia tidak patuh, atau untuk memperoleh imbalan yang dijanjikan jika dia mematuhi anjuran tersebut. Biasanya perubahan yang terjadi

   

  pada tahap ini sifatnya sementara, artinya bahwa tindakan itu dilakukan selama masih ada pengawasan. Tetapi begitu pengawasan itu mengendur/ hilang, perilaku itupun ditinggalkan. Pada tahap identifikasi, kepatuhan individu yang berdasarkan rasa terpaksa atau ketidakpahaman tentang pentingnya perilaku yang baru, dapat disusul dengan kepatuhan yang berbeda jenisnya, yaitu kepatuhan demi menjaga hubungan baik dengan tokoh yang menganjurkan perubahan tersebut (change

  

agent). Perubahan perilaku individu baru dapat menjadi optimal jika perubahan

  tersebut terjadi melalui proses internalisasi dimana perilaku yang baru itu dianggap bernilai positif bagi diri individu itu sendiri dan diintegrasikan dengan nilai-nilai lain dari hidupnya.

2.3 Infeksi Nosokomial

2.3.1 Pengertian Infeksi Nosokomial

  Nosokomial berasal dari bahasa Yunani, dari kata nosos yang artinya penyakit dan komeo yang artinya merawat. Nosokomion berarti tempat untuk merawat/Rumah Sakit. Jadi infeksi nosokomial dapat diartikan sebagai infeksi yang diperoleh atau terjadi di rumah sakit (Darmadi, 2008). Penderita yang sedang dalam asuhan keperawatan di rumah sakit, baik dengan penyakit dasar tunggal maupun penderita dengan penyakit dasar lebih dari satu, secara umum keadaannya kurang baik, sehingga daya tahan tubuhnya menurun dan mempermudah terjadinya infeksi silang karena kuman, virus, dan sebagainya untuk masuk ke dalam tubuh penderita yang sedang dalam proses asuhan keperawatan (Darmadi, 2008). Infeksi yang terjadi pada penderita-penderita yang sedang dalam proses asuhan keperawatan ini disebut infeksi nosokomial, yang

   

  artinya infeksi yang terjadi di rumah sakit atau dalam sistem pelayanan kesehatan yang berasal dari proses penyebaran disumber pelayanan kesehatan, baik melalui pasien, petugas kesehatan, pengunjung, maupun sumber lainnya (Septiari, 2012).

2.3.2 Cara Penularan Infeksi Nosokomial

  Secara garis besar, mekanisme transmisi mikroba patogen ke pejamu yang rentan melalui dua cara (Darmadi, 2008): 1)

  Transmisi langsung (direct transmission) Penularan langsung oleh mikroba patogen ke pintu masuk yang sesuai dari pejamu. Contonya: adanya sentuhan, gigitan, ciuman, batuk, berbicara atau saat transfusi darah yang terkontaminasi mikroba patogen. 2)

  Transmisi tidak langsung (indirect transmission) Penularan mikroba patogen yang memerlukan adanya media perantara, baik berupa barang/bahan, air, udara, makanan/minuman, maupun vektor.

  a) Vehicle-borne

  Media perantara penularan melalui barang/bahan yang terkontaminasi seperti peralatan makan dan minum, instrumen bedah, peralatan laboratorium, peralatan infus/transfusi.

  b) Vector-borne

  Media perantara penularan melalui vektor (serangga), yang memindahkan mikroba patogen ke pejamu dengan cara sebagai berikut: 1) Cara mekanis, yaitu penularan melalui kaki serangga yang telah terkena kotoran/sputum (mikroba

   

  patogen), lalu hinggap pada makanan/minuman, dimana selanjutnya akan masuk ke saluran cerna pejamu, 2) Cara biologis, yaitu penularan yang terjadi setelah mikroba mengalami siklus perkembangbiakan dalam tubuh vector/serangga, selanjutnya mikroba dipindahkan ke tubuh penjamu melalui gigitan.

  c) Food-borne

  Makanan/minuman adalah media perantara yang cukup efektif untuk menyebarnya mikroba patogen ke pejamu, yaitu melalui pintu masuk saluran cerna.

  d) Water-borne

  Tersedianya air bersih baik secara kuantitatif maupun kualitatif terutama untuk kebutuhan rumah sakit adalah mutlak. Kualitas air yang meliputi aspek fisik, kimiawi dan bakteriologis, diharapkan terbebas dari mikroba patogen sehingga aman untuk dikonsumsi. Jika tidak, sebagai media perantara air sangat mudah menyebarkan mikroba patogen ke pejamu, melalui pintu masuk saluran cerna maupun pintu masuk yang lain.

  e) Air-borne

  Udara sangat diperlukan oleh setiap orang, namun adanya udara yang terkontaminasi oleh mikroba patogen sangat sulit untuk dideteksi. Mikroba patogen dalam udara masuk ke saluran nafas pejamu dalam bentuk droplet nuclei yang dikeluarkan oleh penderita saat batuk atau bersin, bicara atau bernapas melalui mulut atau hidung. Sedangkan dust merupakan partikel yang dapat

   

  terbang bersama debu lantai/tanah. Penularan melalui udara ini umumnya mudah terjadi di dalam ruangan yang tertutup seperti di dalam gedung, ruangan/bangsal/kamar perawatan, atau laboratorium klinik.

2.3.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Infeksi Nosokomial

  Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya infeksi nosokomial menurut Darmadi (2008) adalah: 1)

  Faktor-faktor dari luar (extrinsic factors) Faktor-faktor dari luar yang berpengaruh dalam insidensi infeksi nosokomial adalah: 1) Petugas pelayanan medis (dokter, perawat, bidan, tenaga laboratorium, dan sebagainya), 2) Peralatan dan material medis (jarum, kateter, instrumen, respirator, kain/doek, kassa, dan sebagainya), 3) Lingkungan (berupa lingkungan internal seperti ruangan/bangsal perawatan, kamar bersalin, dan kamar bedah. Sedangkan lingkungan eksternal adalah halaman rumah sakit dan tempat pembuangan sampah/pengelolahan limbah), 4) Makanan/minuman (hidangan yang disajikan setiap saat kepada penderita), 5) Penderita lain (keberadaan penderita lain dalam satu kamar/ruangan/bangsal perawatan merupakan sumber penularan), 6) Pengunjung/keluarga (keberadaan tamu/keluarga dapat merupakan sumber penularan). 2)

  Faktor-faktor yang ada dalam diri penderita (instrinsic factors) Seperti umur, jenis kelamin, kondisi umum penderita, risiko terapi, atau adanya penyakit lain yang menyertai (multipatologi) beserta komplikasinya.

   

  3) Faktor mikroba

  Seperti tingkat kemampuan invasi serta tingkat kemampuan merusak jaringan, lamanya paparan antara sumber penularan dengan penderita.

  4) Faktor keperawatan

  Faktor keperawatan yang mempengaruhi terjadinya infeksi nosokomial adalah lama hari perawatan pasien, standar asuhan keperawatan yang menurun dan padatnya jumlah penderita

2.3.4 Jenis Infeksi Nosokomial

  Menurut WHO (2002) infeksi nosokomial yang sering terjadi di rumah sakit adalah: 1)

  Infeksi saluran kemih Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan infeksi nosokomial yang paling sering terjadi di rumah sakit yang disebabkan oleh bakteriuria nosokomial yaitu penggunaan kateter urin dengan persentase sekitar 40% dari seluruh infeksi yang terjadi rumah sakit (WHO, 2002). Hampir 10% dari seluruh pasien rawat inap di rumah sakit menggunakan kateter, untuk itu pencegahan ISK merupakan faktor utama dalam mengurangi infeksi nosokomial (Tietjen, 2004). Kateter urin yang dipasang (indewelling urinary catheter) merupakan rute bagi infeksi asenden ke dalam kandung kemih, resiko ini dapat diminimalkan dengan teknik aseptik saat pemasangan dan penanganan keteter (Gillespie & Bamford, 2008). 2)

  Infeksi sehubungan dengan penggunaan alat intravaskular Menurut Tietjen (2004), penggunaan alat intravaskular melalui vena maupun arteri, baik untuk memasukkan cairan steril, obat atau makanan, maupun

   

  untuk memantau tekanan darah sentral dan fungsi hemodinamik telah meningkat tajam dan menyebabkan terjadinya infeksi melalui aliran darah, baik lokal (peradangan pada tempat insersi), maupun sistemik (terjadinya demam atau septisemia). Alat yang dimasukkan ke aliran darah melewati mekanisme pertahanan kulit normal, sehingga dapat membuka jalan untuk masuknya mikroorganisme yang berada di kulit tempat pemasangan (Tietjen, 2004). Infeksi pengunaan alat intravaskular ditandai dengan adanya daerah bengkak, kemerahan, panas, adanya nyeri pada kulit disekitar tempat pemasangan alat intravaskular, dan adanya tanda-tanda infeksi lain seperti demam dan pus yang keluar dari tempat tusukan (Tietjen, 2004).

  3) Pneumonia

  Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius, dan alveoli serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru, dan gangguan pertukaran gas setempat (Editor, dalam Septiari, 2012). Resiko infeksi pneumonia terjadi pada pasien pascaoperasi, terutama untuk mereka yang telah dilakukan bedah torakx atau abdominal (Brunner & Suddarth, 2002). 4)

  Infeksi bedah Infeksi bedah merupakan infeksi yang terjadi dalam kurun waktu 30 hari setelah operasi. Infeksi bedah bisa disebabkan oleh teknik bedah, tingkat kontaminasi pada luka operasi, durasi operasi, status pasien, lingkungan ruang operasi dan organisme dari tim ruang operasi (WHO, 2002).

   

2.3.5 Peran Perawat dalam Pengendalian Infeksi Nosokomial

  WHO (2002) dalam jurnal Prevention of Hospital-Acquired Infection menyatakan bahwa kepala ruangan bertanggung jawab untuk: 1) Berpartisipasi dalam Komite Pengendalian Infeksi, 2) Mempromosikan pengembangan dan peningkatan teknik keperawatan yang berkaitan dengan pengendalian infeksi nosokomial, dan pengawasan teknik aseptik yang dilakukan oleh perawat dengan persetujuan Komite Pengendalian Infeksi, 3) Mengembangkan pelatihan program bagi setiap perawat, 4) Mengawasi pelaksanaan teknik pencegahan infeksi di ruangan khusus seperti ruang operasi, ruang perawatan intensif, ruang persalinan, dan ruang bayi baru lahir, 5) Pemantauan kepatuhan perawat terhadap kebijakan yang dibuat oleh kepala ruangan.

  Upaya pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial berada ditangan tim kesehatan salah satunya petugas kesehatan bagian perawatan mulai dari kepala bagian perawatan, kepala ruangan/bangsal perawatan, serta semua petugas perawatan (perawat) lainnya selama 24 jam penuh. Dengan demikian tenaga keperawatan merupakan pelaksana terdepan dalam upaya pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial (Darmadi, 2008).

  Peran perawat selain yang diatas adalah bertanggung jawab atas lingkungan yaitu (WHO, 2002): 1) Menjaga kebersihan rumah sakit yang berpedoman terhadap kebijakan rumah sakit dan praktik keperawatan, 2) Pemantauan teknik aseptik termasuk cuci tangan dan penggunaan isolasi, 3) Melapor kepada dokter jika ada masalah-masalah yang dihadapi terutama jika ditemui adanya gejala infeksi pada saat pemberian layanan kesehatan, 4)

   

  Membatasi paparan pasien terhadap infeksi yang berasal dari pengujung, perawat rumah sakit, pasien lain, atau peralatan yang digunakan untuk diagnosis atau asuhan keperawatan, 5) Mempertahankan suplai peralatan, obat-obatan dan perlengkapan perawatan yang aman dan memadai di ruangan.

2.3.6 Pencegahan Infeksi Nosokomial

  Menurut Septiari (2012) untuk pencegah infeksi nosokomial harus menerapkan tindakan kewaspadaan universal yaitu mencegah penyebaran berbagai penyakit yang ditularkan melalui darah di lingkungan rumah sakit maupun sarana pelayanan kesehatan lainnya diantaranya mencuci tangan dan tindakan invasif sederhana yaitu tindakan memasukkan alat kesehatan ke dalam tubuh dan menyebar ke jaringan seperti pemasangan infus.

2.3.6.1 Mencuci tangan

  1) Definisi

  Mencuci tangan adalah mencuci tangan dengan menggunakan air dan sabun antiseptik, cara ini merupakan cara efektif untuk mengontrol infeksi (Aryani dkk, 2009). 2)

  Tujuan Tujuan mencuci tangan adalah untuk menurunkan: jumlah mikroorganisme yang ada di tangan, perpindahan mikroorganisme ke pasien, resiko kontaminasi silang antara pasien, dan resiko perpindahan organisme sumber infeksi ke diri perawat dan pasien (Aryani dkk, 2009).

   

  3) Prosedur mencuci tangan

  Prosedur yang dilakukan saat mencuci tangan (Aryani dkk, 2009): a.

  Basuh tangan dengan air b.

  Tuangkan sabun antiseptik secukupnya c. Ratakan dengan kedua telapak tangan d.

  Gosok punggung dan sela-sela jari tangan kiri dengan menggunakan tangan kanan, dan sebaliknya e.

  Gosok kedua telapak tangan dan sela-sela jari f. Jari-jari sisi dalam dari kedua tangan saling mengunci g.

  Gosok ibu jari kiri berputar dalam genggaman tangan kanan, dan sebaliknya h.

  Gosokan dengan memutar ujung-ujung jari tangan kanan ditelapak tangan kiri, dan sebaliknya i.

  Gosok pegelangan tangan kiri dengan menggunakan tangan kanan, dan sebaliknya j.

  Bilas kedua tangan dengan air k.

  Keringkan dengan tissu sekali pakai sampai tangan benar-benar kering l. Gunakan tissu tersebut untuk menutup

2.3.6.2 Pemasangan infus

  1) Definisi

  Pemasangan infus merupakan proses memasukkan jarum abocath ke dalam pembuluh darah vena yang disambungkan dengan selang infus dan kemudian cairan infus dialirkan (Aryani dkk, 2009).

   

  2) Tujuan

  Tujuan pemasangan infus adalah: 1) Mempertahankan, mengganti serta menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh, 2) Memelihara nutrisi tubuh, 3) Memberikan obat-obatan intravena ke dalam tubuh, 4) Menjadi terapi bagi pasien yang diduga hipovolemik (Aryani dkk, 2009).

  3) Prosedur pemasangan infus

  Prosedur pemasangan infus (Hidayat & Uliyah, 2004): a.

  Persiapan alat (standar infus, set infus, cairan sesuai program medis, jarum infus dengan ukuran yang sesuai, pengalas, torniket, kapas alkohol, plester, gunting, kassa steril, sarung tangan) b. Jelaskan tujuan dan prosedur yang akan dilakukan c. Cuci tangan d.

  Hubungkan cairan dan infus set e. Isi cairan ke dalam set infus dengan menekan ruang tetesan hingga terisi sebagian dan buka roller klem selang hingga terisi cairan memenuhi selang dan tidak ada udara di dalam selang f. Letakkan pengalas di bawah tempat yang akan dilakukan pengifusan g.

  Lakukan pembendungan dengan torniket 10-12 cm di atas tempat penusukan dan anjurkan pasien untuk menggengam (bila pasien sadar) h.

  Pasang sarung tangan i. Bersihkan area penusukan dengan menggunakan kapas alkohol dari dalam ke luar, jangan menyentuh area yang telah dibersihkan

    j.

  Lakukan penusukan pada vena dengan meletakkan ibu jari di bagian bawah vena dan posisi jarum mengarah ke atas k.

  Perhatikan keluarnya darah melalui jarum. Apabila saat penusukan terjadi pengeluaran darah melalui jarum (abocath), maka tarik keluar bagian dalam jarum sambil meneruskan tusukan ke dalam vena l. Buka roller klem selang dan atur kecepatan tetesan sesuai dengan dosis yang diberikan m.

  Fiksasi dengan kassa steril n. Tulis tanggal dan waktu pemasangan infus serta ukuran jarum o. Lepaskan sarung tangan dan cuci tangan p. Dokumentasi

Dokumen yang terkait

Pengaruh Pengetahuan, Sikap dan Kepatuhan Perawat terhadap Penggunaan Alat Pelindung Diri dalam Pencegahan Infeksi Nosokomial di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Sari Mutiara Medan Tahun 2014

17 158 133

Tindakan Perawat dalam Pencegahan Infeksi Nosokomial di Rumah Sakit Umum Deli Serdang

3 59 90

Hubungan Motivasi Perawat dan Supervisi Kepala Ruangan Terhadap Kinerja Perawat di Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam.

11 84 207

Supervisi Kepala Ruangan dan Kepatuhan Perawat dalam Pencegahan Infeksi Nosokomial di Rumah Sakit Sari Mutiara Medan

9 64 94

Hubungan Fungsi Manajerial Kepala Ruangan dengan Tingkat Kepatuhan Perawat dalam Penerapan Pengendalian Infeksi Nosokomial di RSUP H. Adam Malik Medan

4 67 113

Pengaruh Pelaksanaan Supervisi Kepala Ruangan terhadap Kinerja Perawat Pelaksana di Rumah Sakit Islam Malahayati Medan

6 67 107

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perilaku - Pengaruh Pengetahuan, Sikap dan Kepatuhan Perawat terhadap Penggunaan Alat Pelindung Diri dalam Pencegahan Infeksi Nosokomial di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Sari Mutiara Medan Tahun 2014

0 1 34

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Pengaruh Pengetahuan, Sikap dan Kepatuhan Perawat terhadap Penggunaan Alat Pelindung Diri dalam Pencegahan Infeksi Nosokomial di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Sari Mutiara Medan Tahun 2014

0 0 7

Tindakan Perawat dalam Pencegahan Infeksi Nosokomial di Rumah Sakit Umum Daerah Deli Serdang

1 1 13

Hubungan Motivasi Perawat dan Supervisi Kepala Ruangan Terhadap Kinerja Perawat di Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam.

0 1 23