Dampak Keberadaan Objek Wisata Batu Kursi Terhadap Sosial Ekonomi Masyarakat Di Desa Siallagan Pindaraya Kecamatan Simanindo Kabupaten Samosir

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

  Pariwisata merupakan bagian dari sektor industri diIndonesia yang prospeknya cerah, dan mempunyai potensi serta peluang yang sangat besar untuk dikembangkan. Peluang tersebut didukung oleh kondisi-kondisi alamiah seperti: letak dan keadaan geografis (lautan dan daratan sekitar khatulistiwa), lapisan tanah yang subur dan panorama (akibat ekologi geologis), serta berbagai flora dan fauna yang memperkaya isi daratan dan lautannya.

  Pariwisata merupakan suatu kegiatan yang secara langsung menyentuh dan melibatkan masyarakat, sehingga membawa berbagai dampak terhadap masyarakat setempat. Bahkan pariwisata dikatakan mempunyai energi dobrak yang luar biasa, yang mampu membuat masyarakat setempat mengalami metamorphose dalam berbagai aspeknya. Dampak pariwisata merupakan wilayah kajian yang paling banyak mendapatkan perhatian dalam literatur, terutama dampak terhadap masyarakat lokal. Di lain pihak, dampak pariwisata terhadap wisatawa dan/atau negara asal wisatawan belum banyak mendapatkan perhatian.

  Meskipun pariwisata juga menyentuh berbagai aspek kehidupan masyarakat secara politik, keamanan, dan sebagainya. Dampak pariwisata terhadap masyarakat dan daerah tujuan wisata yang banyak mendapat ulasan adalah: Dampak terhadap sosial-ekonomi.

  Dampak pariwisata terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat lokal dapat dikategorikan menjadi delapan kelompok besar Cohen (2006), yaitu:

  1. Dampak terhadap penerimaan devisa,

  2. Dapat terhadap pendapata masyarakat,

  3. Dampak terhadap kesempatan kerja,

  4. Dampak terhadap harga-harga,

  5. Dampak terhadap distribusi manfaat/keuntungan,

  6. Dampak terhadap kepemilikan dan control

  7. Dampak terhadap pembangunan pada umumnya, dan 8. Dampak terhadap pendapatan pemerintah.

  Dampak Sosial Budaya

  Secara teoritikal-idealistis, antara dampak sosial dan dampak kebudayaan dapat dibedakan. Namun demikian, Mathieson and Wall (2004:37) menyebutkan bahwa there is no clear distinction between social and cultural phenomena, sehingga sebagian besar ahli menggabungkan dampak sosial dan dampak budaya di dalam pariwisata ke dalam judul ‘dampak sosial budaya’ (The sosiocultural impact of tourism in a broad context). Studi tentang dampak sosial budaya pariwisata selama ini lebih cenderung mengasumsikan bahwa akan terjadi perubahan sosial-budaya akibat kedatangan wisatawan, dengan tiga asumsi yang umum yaitu (Martin, 2009:171): 1.

  Perubahan dibawa sebagai akibat adanya intrusi dari luar, umumnya dari sistem sosial-budaya yang superordinat terhadap budaya penerima yang lebih lemah; 2. Perubahan tersebut umumnya destruktif bagi budaya indigenous; 3. Perubahan tersebut akan membawa pada homogenisasi budaya, dimana dengan teknologi barat, birokrasi nasional dan multinasional, a consumer- oriented economy, dan jet-age lifestyles.

  Asumsi di atas menyiratkan bahwa di dalam melihat dampak sosial- budaya pariwisata terhadap masyarakat setempat, pariwisata semata-mata dipandang sebagai faktor luar yang menghantam masyarakat.Asumsi ini mempunyai banyak kelemahan.Selama ini banyak peneliti yang menganggap bahwa pengaruh pariwisata dapat dianalogikan dengan ‘bola-bilyard’, di mana objek yang bergerak (pariwisata) secara langsung menghantam objek yang diam (kebudayaan daerah), atau melalui objek perantara (broker kebudayaan). Dalam hal ini tersirat juga asumsi bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang diam, tidur, atau pasif, dan seolah-olah kebudayaan tersebut adalah sesuatu yang homogen.Pendekatan seperti ini mengingkari dinamika masyarakat dimana pariwisata mulai masuk, dan tidak mampu melihat berbagai respons aktif dari masyarakat terhadap pariwisata.

  Di dalam melihat pengaruh pariwisata terhadap masyarakat (kebudayaan) setempat, harus disadarai bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang secara internal terdeferensiasi, aktif, dan selalu berubah. Oleh karena itu pendekatan yang kiranya lebih realistis adalah dengan menganggap bahwa pariwisata adalah pengaruh luar yang kemudian terintegrasi dengan masyarakat, dimana masyarakat mengalami proses menjadikan pariwisata sebagai bagian dari kebudayaannya, atau apa yang disebut sebagai proses ‘turistifikasi’. Di samping itu perlu juga diingat bahwa konsekuensi yang dibawa oleh pariwisata bukan saja terbatas pada hubungan langsung host-guest.Pengaruh di luar interaksi langsung ini justru lebih penting, karena mampu menyebabkan restrukturisasi pada berbagai bentuk hubungan di dalam masyarakat.

  Secara teoritis, Cohen (2007) mengelompokkan dampak sosial budaya pariwisata ke dalam sepuluh kelompok besar, yaitu:

  1. Dampak terhadap keterkaitan dan keterlibatan antara masyarakat setempat dengan masyarakat yang lebih luas, termasuk tingkat otonomi atau ketergantungannya; 2. Dampak terhadap hubungan interpersonal antara anggota masyarakat; 3. Dampak terhadap dasar-dasar organisasi/kelembagaan sosial; 4. Dampak terhadap migrasi dari dan ke daerah pariwisata; 5. Dampak terhadap ritme kehidupan sosial masyarakat; 6. Dampak terhadap pola pembagian kerja; 7. Dampak terhadap stratifikasi dan mobilitas sosial; 8. Dampak terhadap distribusi pengaruh dan kekuasaan; 9. Dampak terhadap meningkatnya penyimpangan-penyimpangan sosial; dan 10.

  Dampak terhadap bidang kesenian dan adat istiadat.

  Dampak pariwisata terhadap bidang kesenian, adat istiadat, dan dampak keagamaan mungkin paling menarik untuk dibahas, karena aspek budaya ini merupakan modal dasar pengembangan pariwisata di sebagian besar DTW. Pengaruh terhadap aspek-aspek ini bisa terjadi secara langsung karena adanya proses komoditifikasi terhadap berbagai aspek kebudayaan, atau terjadi secara tidak langsung melalui proses jangka panjang. Sekularisasi berbagai tradisi di Thailand dikhawatirkan akan membawa dampak yang sangat structural dalam jangka panjang karena masyarakat akan kehilangan collective memory, dan interpretasi terhadap berbagai tradisi yang akan mengalami dekonstruksi.

  Kebudayaan memang selalu beradaptasi, termasuk dalam menghadapi pariwisata, dan di dalam proses tersebut tidak berarti makna atau otentisitas otomatis hilang. Akulturasi merupakan proses yang wajar dalam setiap pertemuan antarbudaya. Namun demikian ia juga mengakui adanya komoditisasi dari berbagai aspek keagamaan, yang memunculkan konflik, karena pengaruh pariwisata. Ada kesan terjadinya dampak negatif akibat adanya komoditisasi.

  Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pariwisata telah merusak atau ‘menghancurkan’ kebudayaan lokal.Pariwisata secara tidak langsung ‘memaksa’ ekspresi kebudayaan lokal untuk dimodifikasi, agar sesuai dengan kebutuhan pariwisata.Ekspresi budaya dikomoditifikasi agar dapat ‘dijual’ kepada wisatawan.

  Untuk pariwisata Indonesia khususnya daerah Samosir banyak yang mengkhawatirkan akan terjadi pengikisan kebudayaan akibat kebudayaan asing yang menyerbu masuk yang menyebabkan terjadinya pendangkalan terhadap kualitas kebudayaan Samosir serta hilangnya bentuk-bentuk sosial yang telah terbukti mampu menopang integritas masyarakat Samosir.

  Namun pada kenyataannya pariwisata telah memberikan kesadaran tentang nilai seni-budaya yang mendorong orang Samosir untuk melestarikan kebudayaan, dan bahkan pariwisata telah “mendorong kreativitas dalam berbagai bidang”. Dengan temuan-temuan lapangan seperti ini maka tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa kebudayaan Batak sampai saat ini masih sangat kuat melekat telah tercerai-berai tidaklah benar.Bahkan pada beberapa sisi, dapat dikatakan bahwa kebudayaan Batak mengalami take-off menuju masa pencerahan

  

enlightenment .Data lapangan seperti ini telah banyak mengubah pandangan orang

yang semula bersikap pesimistis terhadap kelestarian kebudayaan Batak.

  Setiap pengembang Pariwisata di suatu kawasan pasti mengharapkan pariwisatadapat berpengaruh positif terhadap kehidupan sosial-ekonomi masyarakat lokal,sebaliknya dampak negative terhadap kehidupan sosial-ekonomi dapat diminimalisir.Salah satu cara adalah dengan perencanaan dan pengelolaan yang baik. Dampak yangtimbul dari keberadaan industri pariwisata sangat tergantung pada jenis dan intensitaspembangunan pariwisata, serta karakteristik sosial budaya masyarakat lokal di kawasanwisata.

  Jika ditinjau dari sisi positifnya, pengeluaran para wisatawan, baik wisatawandomestik maupun internasional di suatu daerah tujuan wisata adalah suatu bukti nyatabahwa keberadaan pariwisata memberi kontribusi yang cukup besar kepada tuan rumah.

  Pariwisata secara tidak langsung juga merupakan suatu nilai yang sama kaedahnya dengan model export pada umumnya. Hanya saja ada perbedaan mendasar mengenaijenis obyek yang di export. Jika export pada umumnya barang dipindahkan dari negaraasal ke negara tujuan, untuk pariwisata obyek yang dijadikan export masih tetap beradadi negara asal, dengan kata lain barang yang di export tidak berpindah ke negara tujuan.

  Beberapa dampak positif lain yang mudah dilihat sebagai akibat perkembanganpariwisata adalah adanya peluang kerja yang sangat banyak karena Negara dinyatakan membuka peluang untuk pengembangan suatu destinasi pariwisata, makamuncul berbagai kegiatan-kegiatan atau usaha-usaha yang terkait dengan keberadaan pariwisata ini. Masyarakat sekitar mencari dan membuka peluang-peluang kerja yangsangat banyak sehingga tidak seperti suatu industri barang atau materi yang terbatasmemberi peluang pada usaha yang dikembangkan saja, kalaupun ada yang lainnya tetapitidak sebesar peluang yang diakibatkan oleh pariwisata.

  Dari sisi negatif, dampak pariwisata secara umum mengakibatkan masalahekonomi yang cukup merisaukan. Cooper (2009) mencatat beberapa sisi negatif dariadanya pariwisata diantaranya; terjadinya perpindahan penduduk dari desa ke perkotaanyang sulit dikendalikan yang membawa implikasi yang tidak baik bagi ekonomipedesaan maupun perkotaan. Disamping itu berakibat pada adanya pergeseran minatkerja yang semula masyarakat bekerja pada sektor agrobisnis, nelayan, pabrik-pabrik,berpindah ke bidang pariwisata yang dianggap lebih mudah cara kerjanya, lebih halusdan berpenghasilan lebih cepat dengan nilai hasil yang lebih tinggi. Bahkan tragisnyasecara perlahan bisa menyebabkan terjadinya penyingkatan keterampilan ataupendidikan karena terlalu cepat berkeinginan untuk bekerja, sehingga nilai jual daritenaga kerja tersebut menjadi murah.

  Sebagai salah satu sektor pembangunan yang dapat memacu pertumbuhan ekonomi suatu wilayah, priwisata dianggap sebagai suatu aset yang strategis untuk mendorong pembangunan pada wilayah – wilayah tertentu yang mempunyai potensi objek wisata.

  Dengan adanya perkembangan industri pariwisata di suatu wilayah, arus urbanisasi ke kota – kota besar dapat lebih ditekan. Hal ini disebabkan pariwisata memiliki tiga aspek pengaruh yaitu aspek ekonomis (sumber devisa,pajak- pajak), aspek sosial (penciptaan lapangan kerja) dan aspek budaya. Keberadaan sektor pariwisata tersebut seharusnya memperoleh dukungan dari semua pihak seperti pemerintah daerah sebagai pengelola, masyarakat yang berada di lokasi objek wisata serta partisipasi pihak swasta sebagai pengembang.

  Selain peran yang dimilikinya, pariwisata juga merupakan suatu sektor yang tidak jauh berbeda dengan sektor ekonomi yang lain yaitu dalam proses perkembangannya juga mempunyai dampak atau pengaruh dibidang sosial dan ekonomi. Pengaruh yang ditimbulkan tersebut dapat berupa pengaruh positif maupun negatif terhadap kehidupan masyarakat setempat. Untuk mencegah perubahaan itu menuju ke arah negatif maka diperlukan suatu perencanaan yang mencakup aspek sosial dan ekonomi, sehingga sedapat mungkin masyarakat setempat ikut terlibat di dalam perencanaan dan pengembangan pariwisata. Hal ini perlu dilakukan untuk mendukung keberhasilan pengembangan daerah wisata yang bersangkutan. Proses pembangunan dan pengembangan suatu wilayah dapat ditunjang oleh potensi wisata yang dimilikinya.

  Adanya peningkatan kunjungan wisatawan dan aktivitas pariwisata yang berlangsung di dalam objek wisata, secara tidak langsung telah menimbulkan pengaruh terhadap kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat setempat.Adanya kunjungan wisatawan di suatu tempat menyebabkan terjadinya interaksi sosial antara masyarakat setempat dengan wisatawan yang dapat mengakibatkan

  Dengan pesatnya perkembangan pariwisata di Indonesia khususnya dan dalam skala yang lebih luas pada umumnya, telah membawa konsekuensi yang tidak saja positif, tetapi juga negatif salah satunya ialah kerusakan lingkungan dan pergeseran nilai-nilai kearifan lokal masyarakat. Oleh karenanya sangat diperlukan adanya upaya-upaya pelestarian lingkungan alam dan budaya yang menjadi sumber bagi pengembangan sektor pariwisata. Salah satu upaya tersebutyaitu di dalam konsep kepariwisataan di Indonesia menjadi suatu kegiatan yang berbasis masyarakat, berwawasan budaya dan berkelanjutan. Meskipun dalam tahap pelaksanaannya masih banyak menghadapi berbagai macam kendala namun hal tersebut merupakan bagian dari sebuah proses pembelajaran untuk mencapai suatu keberhasilan.

  Indonesia memiliki banyak pulau yang dapat dijadikan sebagai objek wisata, salah satunya adalah Pulau Samosir. Pulau Samosir adalah pulau dalam pulau terbesar di dunia. Terletak di provinsi Sumatera Utara dan keseluruhan wilayahnya tergabung menjadi Kabupaten Samosir. Dalam sejarah, para Geolog mengemukakan bahwa 75.000 tahun yang lalu diyakini terdapat letusan gunung berapi terdahsyat sepanjang sejarah manusia. Proses subduksi tersebutlah yang membentuk kaldera Danau Toba dan Pulau Samosir di tengahnya.Pulau Samosir yang dihuni oleh suku Batak memiliki wisata alam yang luar biasa seperti : Batu Kursi Siallagan, Pantai Pasir Putih Parbaba, Kawasan Tukutuk Siadong, Makam Raja Sidabutar, Danau Sidihoni dan tempat lainnya. Namun, penulis akan meneliti kajian pariwisata tepatnya Batu Kursi Siallagan yang terletak di Desa Siallagan Pindaraya Kecamatan Simanindo Kabupaten Samosir.

  Dari total usia kerja bermatapencaharian di sektor perikanan terutama ikan mujahir, pedagang perikanan ini terdiri dari suku Batak. Pariwisata telah mengubah struktur internal dari masyarakat, sehingga terjadi pembedaan antara mereka yang mempunyai hubungan dengan pariwisata dan mereka yang tidak.

  Jadi, keterkaitan pariwisata menjadi salah satu pemisah atau pembeda dalam masyarakat. Pariwisata mempunyai sifat kolonialistis, sehingga merebut independensi masyarakat lokal di dalam proses pengambilan keputusan. Pariwisata memberikan keuntungan sosial-ekonomi pada satu sisi, tetapi di sisi lain membawa ketergantungan dan ketimpangan sosial, atau memperparah ketimpangan yang telah ada.

  Dulu, desa Siallagan Pindaraya terkenal sebagai desa nelayan yang miskin. Penduduknya hanya mengandalkan lahan kering sebagai mata pencaharian.Tanaman jagung, singkong dan kedelai adalah makanan sehari-hari warga Siallagan Pindaraya. Dulu, kawasan Desa Siallagan Pindaraya tercatat sebagai wilayah miskin di Samosir.. Kini, kawasan ini telah menjadi salah satu daerah maju di Samosir dengan income utama masyarakatnya dari jasa pariwisata. Penghasilan bersih masyarakatanya setelah dipotong untuk kebutuhan sehari-hari paling rendah Rp 1.000.000/bulan. Dilihat dari komposisi penduduknya, Desa Siallagan Pindaraya termasuk wilayah yang sangat homogen. Penduduknya hanya orang Indonesia khususnya suku Batak.

  Sisi baik dan buruk, positif dan negatif, memang sangat tipis batasnya manakala kita berbicara soal kepariwisataan. Ini terlihat juga di Kawasan Batu Kursi Siallagan. Dulu, akibat kurang terkendalinya pembangunan, sempat muncul kekumuhan di kawasan ini. Masyarakat membangun berbagai fasilitas kepariwisataan sekendak hati. Mereka tidak lagi mengikuti norma-norma aturan.

  Batu Kursi Siallagan merupakan tujuan wisata favorit para turis karena terdapat banyak peninggalan sisa-sisa dari kerajaan batak dengan patung-patung, tempat eksekusi dan rumah tradisional Batak. Pembangun Batu Kursi Siallagan dilakukan secara Gotong royong atas prakarsa raja huta yang pertama yakni Raja Laga Siallagan dan selanjutnya diwariskan kepada keturunannya Raja Hendrik Siallagan dan seterusnya kepada keturunan Raja Ompu Batu Ginjang Siallagan.

  Pembangunan huta yang menggunakan batu-batu besar disusun bertingkat menjadi sebuah tembok besar yang kelak menjadi benteng dan diatasnya ditanami bambu.

  Keberadaan Batu Kursi Siallagan membawa perubahan bagi Sosial Ekonomi masyarakat kawasan tersebut. Adanya peluang masyarakat untuk membuka usaha informal seperti kios, rumah makan,penginapan, dan lainnya. Hal ini senada dengan apa yang disebutkan dalam Peraturan Pemerintah No. 18 tahun 1994 tentang kepariwisataan : Selalu mengikutsertakan masyarakat sekitar di dalam kegiatan kepariwisataan baik dalam bentuk cindera mata dan mempromosikan, budaya yang harus merupakan khas masyarakat setempat.

  Adapun alasan yang mendorong penulis mengangkat tema pariwisata di kawasan Batu Kursi Siallagan adalah: Pertama, dampak dari keberadaan objek wisata Batu Kursi Siallagan menimbulkan perubahan bagi pola kehidupan penduduk sekitar,karena menciptakan lapangan pekerjaan baru. Perubahan sosial ekonomi yang terjadi adalah adanya penyerapan tenaga kerja untuk memenuhi kebutuhan pengelolaan Batu Kursi Siallagan.

  Kedua, objek wisata Batu Kursi Siallagan merupakan objek wisata yang terkenal di Kabupaten Samosir khususnya daerah Siallagan yang memberikan kontribusi devisa terhadap Pemerintah Daerah Kabupaten Samosir Dengan kekayaan alam dan budaya yang lengkap serta posisi geografisnya, Kabupaten Samosir memiliki prospek yang cukup potensial dalam perdagangan pariwisatanya.

  Ketiga, penulisan mengenai pariwisata di Kabupaten Samosir masih sangat kurang, khususnya mengenai perkembangan pariwisata maupun wisata budaya yang sementara sektor ini menjadi salah satu faktor penentu dalam usaha meningkatkan perekonomian daerah bahkan peningkatan ekonomi nasional. Berdasarkan hal-hal tersebut, penulis mencoba untuk mengkaji dan merumuskan penelitian ini dengan judul : “ Dampak Keberadaan Objek

  Wisata Batu Kursi Siallagan terhadap Sosial Ekonomi Masyarakat di Desa Siallagan Pindaraya Kecamatan Simanindo Kabupaten Samosir”.

1.2 RUMUSAN MASALAH

  Berdasarkan latar belakang masalah di atas, permasalahan yang diteliti difokuskan rumusan masalah sebagai berikut: Bagaimana Dampak

  Keberadaan Objek Wisata Batu Kursi Siallagan terhadap Sosial Ekonomi Masyarakat di Desa Siallagan Pindaraya Kecamatan Simanindo Kabupaten Samosir.

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

  1.3.1 Tujuan Penelitian

  Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui Bagaimana Dampak Keberadaan Objek Wisata Batu Kursi terhadap Sosial Ekonomi Masyarakat di Desa Siallagan Pindaraya Kecamatan Simanindo Kabupaten Samosir.

  1.3.2 Manfaat Penelitian

  Hasil Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi dalam rangka pengembangan konsep-konsep, teori-teori, terutama model dampak keberadaan objek wisata batu kursi terhadap social ekonomi masyarakat di desa siallagan pindaraya kecamatan simanindo kabupaten samosir, serta sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah dan masyarakat akan pentingnya pengelolaan pariwisata di suatu daerah yang menyerap tenaga kerja, selain memberikan devisa bagi pemerintahan.

1.4 Sistematika Penulisan

  Sistematika dalam penulisan dalam penelitian ini secara garis besarnya dikelompokkan dalam 6(enam) bab, dengan urutan sebagai berikut :

  BAB I : PENDAHULUAN Bab ini berisikan latar belakang masalah, perumusan

  masalah, tujuan dan manfaat penelitian serta sistematika penulisan.

  BAB II : TINJAUAN PUSTAKA yang berhubungan dengan permasalahan penelitian, kerangka pemikiran, defenisi konsep dan defenisi operasional.

  BAB III : METODE PENELITIAN Bab ini berisikan tentang tipe penelitian, lokasi penelitian, teknik pengumpulan data, dan teknik analisi data. BAB IV : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN Bab ini berisikan tentang gambaran umum lokasi penelitian

  yang berhubungan dengan masalah objek yang akan diteliti

  BAB V : ANALISIS DATA Bab ini berisikan uraian data yang diperoleh dari hasil penelitian dan analisinya. BAB VI : PENUTUP Bab ini berisikan kesimpulan dan saran atas penelitian yang telah dilakukan.