BAB II PENGATURAN HUKUM YANG MENGATUR VISUM ET REPERTUM DALAM TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN SESEORANG A. Pengaturan Visum et Repertum dalam Perundang-undangan Indonesia - Visum Et Repertum Dalam Tindak Pidana Penganiayaan Yang Menyebabkan Matinya Seseorang

BAB II PENGATURAN HUKUM YANG MENGATUR VISUM ET REPERTUM DALAM TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN SESEORANG A. Pengaturan Visum et Repertum dalam Perundang-undangan Indonesia 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang KUHP Visum et Repertum dapat disebut sebagai keterangan tertulis, yaitu keterangan

  yang dibuat tertulis dengan mengingat sumpah jabatan atau dikuatkan dengan

   sumpah.

  Dilihat menurut sifatnya, Visum et Repertum dibagi dalam 3 (tiga) macam: a.

  Visum et Repertum yang dibuat (lengkap) sekaligus atau difinitif.

  b.

  Visum et Repertum sementara. Misalnya visum yang dibuat bagi korban yang sementara dirawat dirumah sakit akibat luka-lukanya karena penganiayaan.

  c.

  Visum et Repertum lanjutan. Misalnya visum bagi korban yang luka tersebut (Visum et Repertum sementara) kemudian lalu meninggal dirumah sakit ataupun akibat luka-lukanya tersebut korban kemudian dipindahkan ke rumah sakit/ dokter lain, melarikan diri, pulang dengan paksa atau

   meninggal dunia.

  Pemakaian istilah Visum et Repertum kadang berlainan, namun maksudnya dapat dipahami. R. Soeparmono menjelaskan: seperti Visum et Repertum bagi korban hidup, yang terjadi oleh karena atau diakibatkan benda tumpul, benda tajam, bahan kimia atau racun, obat pembasmi cair (basah) atau kering, tembakan senjata api dari jarak jauh atau dekat, tenggelam, mencoba bunuh diri atau sebagainya, 27 sehingga perlu diobati ataupun dirawat nginap di rumah sakit. Kemudian dalam

  Sofwan Dahlan, Ilmu Kedokteran Forensik dan Hukum Kesehatan, (Semarang; Fakultas 28 Kedokteran, Universitas Diponegoro,1993), hal. 15.

  hal dibuatkan Visum et Repertum akhir dari suatu hal atau peristiwa dan itu hanya

   boleh dibuat dokter atau dokter ahli yang mengibati atau menangani semula.

  

Visum et Repertum mempunyai kekuatan pembuktian dalam suatu perkara pidana.

  menjelaskan kekuatan Visum et Repertum dalam

  pembuktian sebagaimana dimaksud dalam Staatsblad 1937 nomor 350 bahwa

  

Visum et Repertum mempunyai daya bukti, sebab yang dimuat dalam

  pembuktiannya merupakan kesaksian, karena ia memuat segala sesuatu hal yang dilihat dan diketemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan, jadi sama halnya dengan seseorang yang melihat dan merasakan sendiri, misalnya suatu kecelakaan di tempat peristiwa itu terjadi. Sedangkan kesimpulan Visum et Repertum dibuat untuk memudahkan bagi jaksa dan hakim, dengan catatan bahwa apabila kesimpulan itu logis maka dapat diterima, sebaliknya bila dianggap tidak logis, jaksa atau hakim mengambil langkah-langkah lain.

   R. Atang Ranoemihardja mengungkapkan beberapa tindak pidana (perkara

  pidana) yang diperkirakan memerlukan adanya Visum et Repertum yaitu: a.

  Pembunuhan dengan sengaja (doodslag) termasuk pembunuhan anak dengan sengaja (kinderdoodslag) yaitu Pasal 338, 339, 341, dan pengguguran kandungan (abortus provocatus criminalis) yaitu Pasal 347 dan 348 KUHP b.

  Pembunuhan yang direncanakan terlebih dahulu (met voorbedachte rade

  moord ) termasuk di dalamnya pembunuhan anak dengan direncanakan 29 (kindermoord) dan bunuh diri (zelf moord) Pasal 340, 342, 345 KUHP 30 Ibid.

  

R. Atang Ranoemihardja, Ilmu Kedokteran Kehakiman (Forensic Science), (Bandung; Tarsito, 31 1991), hal. 25. c.

  Penganiayaan (mishandeling) termasuk didalamnya penganiayaan ringan (lichte mishandeling) dan penganiayaan berat (zware mishandeling) yaitu

  Pasal 351, 352, 353, 355, 356, 358 KUHP d. Percobaan (poging) terhadap delik-delik yang tersebut dalam sub a e. Percobaan (poging) terhadap delik-delik yang tersebut dalam sub b f. Makar mati (aanslag met het oogmerk : aan het leven te beroven) yaitu Pasal 104 KUHP g. Kematian karena culpa (veroorzaken van den dood door schuld) yaitu Pasal 359 KUHP h. Luka karena culpa (veroorzaken van lichamelijk letsel door schuld) yaitu Pasal 360 KUHP i. Pemerkosaan (verkrachting) yaitu Pasal 285, 286, 287, 288 KUHP j. Perjinahan (overspel) termasuk didalamnya perbuatan cabul (ontuchtige

handeling ) dan homosexual yaitu Pasal 284, 289, 290, 294 KUHP.

2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP

  Semenjak berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang mencabut HIR jo Undang- undang Nomor 1/Drt tahun 1951 jo Ketentuan perihal macam-macam alat bukti yang sah tentang pembuktian dalam proses pemeriksaan di sidang pengadilan menjadi lebih lengkap, yaitu dengan dimasukkannya secara tegas alat bukti keterangan ahli di dalam Pasal 184 ayat (1) huruf b KUHAP. Dasar-dasar hukum tentang peranan keterangan ahli (pakar) itu bagi kelengkapan alat bukti dalam berkas perkara Pro Yustisia dan pemeriksaan di sidang pengadilan, amat membantu dalam usaha menambah keyakinan Hakim dalam hal pengambilan keputusan.

  Pemeriksaan oleh Hakim di persidangan, suatu berkas pidana, apakah ada atau tidak ada Visum et Repertum, maka perkara yang bersangkutan tetap harus periksa dan diputus. Kelengkapan Visum et Repertum dalam berkas perkara terdakwa yang diperiksa oleh Hakim, diserahkan kepada Penuntut Umum yang mulai diserahkan kepadanya berkas perkara Pro Yustia tersebut oleh Penyidik Penuntut Umum memang berusaha untuk membuktikannya dalam sidang agar Majelis Hakim yakin perihal terbuktinya kesalahan terdakwa tersebut.

  Beberapa kasus yang diperiksa di pengadilan, Majelis Hakim sendiri tidak mutlah harus mendasarkan diri pada Visum et Repertum. Kekuatan pembuktian dari

  Visum et Repertum diserahkan saja pada penilaian Hakim (Majelis Hakim).

  Penuntut Umum berusaha membuktikan kesalahan Terdakwa dipersidangan, maka dari itu, berarti beban pembuktian bagi perkara pidana ada pada Penuntut Umum, dalam usaha mencari kebenaran materil, dan Hakim tetap dibatasi pada alat-alat bukti yang diajukan olehnya. Seumpamanya Penuntut Umum tidak bersedia menambah alat bukti yang hanya minimum, maka Hakim tidak dapat mencari sendiri alat buktu tambahan, sedangkan terdakwa mungkin.

  Terdakwa apabila dalam BAP penyidik disitu mengaku, maka BAP Penyidik

   merupakan surat, yang dapat dipergunakan untuk alat bukti Petunjuk.

  Hal tersebut diatas sesuai dengan asas Praduga Tidak Bersalah menurut azas hukumAcara Pidana, yaitu bahwa seorang terdakwa pada azasnya harus dianggap 32 tidak bersalah, sebelum kesalahan tersebut dinyatakan terbukti oleh suatu putusan

  Hakim serta telah mempunyai kekuatan hukumyang tetap. Karena itu KUHAP menentukan dalam Pasal 66 KUHAP: Tersangka atau Terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian.

  Pasal 183 KUHAP ditentukan bahwa yang diperlukan oleh Hakim dalam menjatuhkan pidana kepada seseorang adalah: a.

  Adanya dua alat bukti yang sah (sekurang-kurangnya); b. Kenyakinan; c. Bahwa tindak pidana itu benar terjadi; d. Bahwa terdakwalah yang bersalah berbuat

  Penjelasan Pasal 183 KUHAP menyatakan bahwa ketentuan tersebut adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan, dan kepastian hukumbagi seseorang.

  Dalam acara pemeriksaan cepat, keyakinan Hakim cukup didukung satu alat bukti yang sah.

  Alat bukti dalam persidangan yang ada dalam suatu berkas perkara dengan hasil- hasil pemeriksaan yang ada dalam berkas itu, Hakim akan memeriksa, menilai, dan menentukan alat bukti yang ada, apakah dari alat bukti yang ada itu dalam pemeriksaan di persidangan mempunyai kekuatan pembuktian berdaarkan batas minimum pembuktian seperti ditentukan Pasal 183 KUHAP dan bukan untuk mencari alat bukti. Didalam dunia ilmu Pasal 183 KUHAP ini dikenal dengan sistem/stelsel Negative Wettelijk dalam hukum pembuktian pada acara pidana. Teori Negative Wettelijk tentang pembuktian menentukan syarat alat bukti, disertai adanya keyakinan yang diperoleh Hakim sebagai undur-unsur yang memegang peranan penting.

  Menurut sistem KUHAP, ketentuan-ketentuan Undang-undang tidak boleh dilanggar, artinya Hakim tidak boleh dan dilarang “melanggar batas minimum pembuktian” dan Hakim wajib mengikuti dan menaati Pasal 183 jo. Pasal 184 KUHAP.

  Contohnya Pasal 185 ayat (2) KUHAP yang menentukan, keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan, bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya. Hak ini dikenal dengan istilah Unus Testis Nullus Testis (seorang saksi bukan saksi).

  Pasal 183 KUHAP diperlukan untuk mencapai batas minimum pembuktian guna menentukan terbuktinya kesalahan terdakwa; hal ini untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum bagi seorang Hakim wajib memegang teguh hal tersebut dan dilarang untuk dilanggar.

  Dalam KUHAP, Visum et Repertum diatur dalam beberapa Pasal, yaitu:

  Pasal 120 ayat (1) berbunyi: Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus. Pasal 133 ayat (1) berbunyi: Dalam hal penyelidikan untuk kepentingan peradilan mengenai seorang korban, baik luka, keracunan maupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya. Ayat (2) berbunyi: Permintaan keterangan ahli sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan/atau pemeriksaan bedah mayat.

  Pasal 134 ayat (1) berbunyi: Dalam hal sangat diperlukan dimana untuk keperluan pembuktian bedah mayat tidak mungkin lagi dihindari, penyidik wajib memberitahukan terlebuh dahulu kepada keluarga korban. Ayat (2) berbunyi:

  Dalam hal keluarga korban tidak keberatan, penyidik wajib menerangkan dengan sejelas-jelasnya tentang maksud dan tujuan perlu dilakukannya pembedahan tersebut.

  Pasal 135 berbunyi: Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan perlu melakukan penggalian mayat, dilakukan menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 133 ayat (2) dan Pasal 134 ayat (1) undang-undang ini.