Visum Et Repertum Dalam Tindak Pidana Penganiayaan Yang Menyebabkan Matinya Seseorang Dilihat Dalam Perspektif Viktimologi (Studi Putusan Nomor 10/Pid/2014/Pt-Mdn)

(1)

VISUM ET REPERTUM DALAM TINDAK PIDANA

PENGANIAYAAN YANG MENYEBABKAN MATINYA

SESEORANG DILIHAT DALAM PERSPEKTIF

VIKTIMOLOGI

(STUDI PUTUSAN NOMOR 10/PID/2014/PT-MDN)

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh:

GRACE SITINJAK 110200140

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA MEDAN


(2)

VISUM ET REPERTUM DALAM TINDAK PIDANA

PENGANIAYAAN YANG MENYEBABKAN MATINYA

SESEORANG DILIHAT DALAM PERSPEKTIF

VIKTIMOLOGI

(STUDI PUTUSAN NOMOR 10/PID/2014/PT-MDN)

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh:

GRACE SITINJAK 110200140

Disetujui Oleh:

Ketua Departemen Hukum Pidana

M. Hamdan, S.H., M.Hum NIP. 195703261986011001

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Prof. Dr. Ediwarman, S.H,M.Hum Dr. Mohammad Ekaputra, S.H.,M.Hum

FAKULTAS HUKUM

NIP. 195405251981031003 NIP. 197110051998011001

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan perkuliahan dan menyusun skripsi ini sebagai kewajiban akhir bagi setiap mahasiswa yang akan menyelesaikan pendidikannya pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini, penulis dengan rendah hati mempersembahkan

skripsi yang berjudul “Visum et Repertum dalam Tindak Pidana

Penganiayaan yang Menyebabkan Matinya Seseorang Dilihat dalam Perspektif Viktimologi (Studi Putusan Nomor 10/Pid/2014/PT-mdn”, guna menambahkan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu pengetahuan di bidang Hukum.

Terwujudnya skripsi ini bukanlah semata-mata merupakan jerih payah Penulis sendiri, tetapi tidak terlepas dari bantuan dari berbagai pihak, sehingga pantaslah Penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

4. Bapak OK Saidin, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

5. Bapak Dr. M. Hamdan, S.H., M.H., selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;


(4)

6. Ibu Liza Erwina, S.H., M.Hum., selaku sekertaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

7. Bapak Azwar Mahyuzar, S.H., selaku Dosen Penasihat Akademik selama penulis duduk dibangku pendidikan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

8. Terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Bapak Prof. Dr. Ediwarman, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing I dan Bapak Dr. Mohammad Ekaputra, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II, atas kesediaan baik waktu maupun tenaga dan kesabarannya membimbing, memberi saran, arahan, dan perbaikan untuk skripsi ini;

9. Seluruh dosen pengajar dan staf dan pengajar yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, namun jasa-jasa kalian tidak pernah terlupakan oleh penulis;

10.Kepada kedua orang tua tercinta yaitu Ayahanda Halomoan Freddy Sitinjak, S.H., M.H., dan Ibunda Rinata Adelina Silaban, S.E., yang senantiasa memberikan doa, motivasi, dukungan, bimbingan, dan kesabaran yang tulus selama ini sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini;

11.Kepada adik-adik Penulis yaitu Soar Geraldo Pandapotan Sitinjak, Gabriella Gita Ananda Sitinjak, dan Gregorius Sunan Jackson Sitinjak, terima kasih atas dukungannya selama ini;

12.Kepada sahabat penulis, Natasya Rehulina Bangun, terimakasih atas doa, dukungan, dan kesabaran kepada penulis;


(5)

13.Kepada rekan-rekan penulis yaitu T. Azlanshah Alsani, M. Ibnu Hidayah, Ernanda Gurning, Azaria Tobing, Piti Apriliani, Dinda Anwar, Assyfa Humaira, Nida Syafwani, Yeremia Siagian, M. Febriyandri, Aina Dwi Utari, Naomi C.A. Manurung, Stevany Claudia, M. Zuhdi Lubis, Sabilla DT, serta Angkatan 2011 yang tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu. Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari berbagai bentuk tantangan yang harus dihadapi dan pada akhirnya penulid dapat melewwatinya hingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Seperti kata pepatah “tiada gading yang tak retak”, penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini tak luput dari kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan skipsi ini.

Demikian skripsi ini penulis perbuat, semoga dapat bermanfaat bagi semua.

Medan, April 2015 Penulis


(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... DAFTAR ISI ... ABSTRAK ... BAB I PENDAHULUAN ...

A. Latar Belakang ... B. Permasalahan ... C. Tujuan Penulisan ... D. Manfaat Penulisan ... E. Keaslian Penelitian ... F. Tinjauan Pustaka ... G. Metode Penulisan ...

BAB II PENGATURAN HUKUM YANG MENGATUR

VISUM ET REPERTUM DALAM TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN SESEORANG ...

A. Pengaturan Visum et Repertum dalam Perundang-undangan Indonesia ... 1. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang

KUHP

2. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP ...

BAB III KEGUNAAN VISUM ET REPERTUM DALAM MENGUNGKAP SUATU TINDAK PIDANA YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN SESEORANG ...

A. Visum et Repertum sebagai Alat Bukti ...

B. Untuk Menentukan Faktor Penyebab dari Tindak Pidana ... C. Untuk Mengetahui Kausalitas dari Peristiwa Pidana ....


(7)

BAB IV KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DENGAN ADANYA VISUM ET REPERTUM MEMBERIKAN

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN AKIBAT MATINYA SESEORANG ...

A. Kebijakan Penal ... B. Kebijakan Non Penal ... C. Studi Kasus ... 1. Posisi kasus ... 2. Pertimbangan Hukum ... 3. Analisis kasus ...

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ...

A. Kesimpulan ... B. Saran ...


(8)

ABSTRAKSI

Prof. Dr. Ediwarman S.H., M.Hum* Dr. Mohammad Ekaputra, S.H., M.Hum**

Grace Sitinjak***

Pengupayaan mencapai kebenaran materil dalam setiap perkara pidana salah satu jalannya adalah mengoptimalkan alat bukti. Salah satu tindak pidana yang sulit dilakukan pembuktian terhadapnya adalah tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain. Pembuktian yang dapat dilakukan terhadap tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain salah satunya adalah dengan Visum et Repertum. Visum et

Repertum merupakan laporan dalam bentuk tertulis yang dibuat oleh ahli

kedokteran kehakiman. Visum et Repertum dapat dikategorikan sebagai alat bukti surat dan alat bukti keterangan ahli. Pengaturan hukum mengenai Visum et

Repertum terdapat dalam undang-undang nomor 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP.

Kegunaan Visum et Repertum dalam mengungkap suatu tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan kematian seseorang seseorang sebagai alat bukti, menentukan faktor penyebab, dan Kausalitas dari tindak pidana. Visum et

Repertum dapat memberikan kebijakan hukum pidana perlindungan hukum bagi

korban.

Tujuan penulisan hukum ini untuk mengetahui kegunaan Visum et

Repertum dalam tindak pidana memberikan perlindungan bagi korban.

Penulisan hukum ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif atau sering disebut sebagai penelitian doktrinal (studi kepustakaan) di mana yang menjadi sumber data adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer dan sekunder.

Pengaturan Visum et Repertum terdapat dalam Pasal 133 KUHAP ayat (1) yakni: dalam hal penyelidikan untuk kepentingan peradilan mengenai seorang korban, baik luka, keracunan maupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya. Visum et Repertum selain berfungsi sebagai alat bukti, dapat juga berfungsi untuk menentukan faktor penyebab seseorang menginggal karena dianiaya terlebih dahulu dan menentukan kausalitas tindak pidana dengan meninggalnya korban. Visum et Repertum dapat memberikan kebijakan hukum pidana perlindungan hukum bagi korban melalui kebijakan penal dengan memidanakan terdakwa dan non penal dengan cara ganti kerugian terhadap korban dengan cara memberikan kompensasi finansial.

* Dosen Pembimbing I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ** Dosen Pembimbing II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara *** Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara


(9)

ABSTRAKSI

Prof. Dr. Ediwarman S.H., M.Hum* Dr. Mohammad Ekaputra, S.H., M.Hum**

Grace Sitinjak***

Pengupayaan mencapai kebenaran materil dalam setiap perkara pidana salah satu jalannya adalah mengoptimalkan alat bukti. Salah satu tindak pidana yang sulit dilakukan pembuktian terhadapnya adalah tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain. Pembuktian yang dapat dilakukan terhadap tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain salah satunya adalah dengan Visum et Repertum. Visum et

Repertum merupakan laporan dalam bentuk tertulis yang dibuat oleh ahli

kedokteran kehakiman. Visum et Repertum dapat dikategorikan sebagai alat bukti surat dan alat bukti keterangan ahli. Pengaturan hukum mengenai Visum et

Repertum terdapat dalam undang-undang nomor 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP.

Kegunaan Visum et Repertum dalam mengungkap suatu tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan kematian seseorang seseorang sebagai alat bukti, menentukan faktor penyebab, dan Kausalitas dari tindak pidana. Visum et

Repertum dapat memberikan kebijakan hukum pidana perlindungan hukum bagi

korban.

Tujuan penulisan hukum ini untuk mengetahui kegunaan Visum et

Repertum dalam tindak pidana memberikan perlindungan bagi korban.

Penulisan hukum ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif atau sering disebut sebagai penelitian doktrinal (studi kepustakaan) di mana yang menjadi sumber data adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer dan sekunder.

Pengaturan Visum et Repertum terdapat dalam Pasal 133 KUHAP ayat (1) yakni: dalam hal penyelidikan untuk kepentingan peradilan mengenai seorang korban, baik luka, keracunan maupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya. Visum et Repertum selain berfungsi sebagai alat bukti, dapat juga berfungsi untuk menentukan faktor penyebab seseorang menginggal karena dianiaya terlebih dahulu dan menentukan kausalitas tindak pidana dengan meninggalnya korban. Visum et Repertum dapat memberikan kebijakan hukum pidana perlindungan hukum bagi korban melalui kebijakan penal dengan memidanakan terdakwa dan non penal dengan cara ganti kerugian terhadap korban dengan cara memberikan kompensasi finansial.

* Dosen Pembimbing I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ** Dosen Pembimbing II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara *** Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara


(10)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Mewujudkan kebenaran dan keadilan setiap orang atau kelompok masyarakat dimanapun berada, baik secara naluri maupun rasio pada dasarnya memiliki pandangan dan kehendak yang sama, yaitu bahwa orang yang melakukan kesalahan harus dihukum, sedangkan orang yang tidak bersalah harus dibebaskan atau harus tidak dihukum. Logika hukum seperti ini adalah selaras dengan cita-cita konstitusi dan naluri serta akal sehat manusia dalam mencari kebenaran dan keadilan yang hakiki. Namun demikian, seiring dengan dinamika kehidupan dan perkembangan peradaban manusia, cara pandangan dalam mewujudkan kebenaran dan keadilan pun mengalami perubahan-perubahan yang mendasar sesuai dengan tingkat pikiran dan pemahaman manusia tentang hukum itu sendiri.

Tujuan hukum acara pidana sebagaimana yang kita ketahui adalah berupaya untuk mencari dan menemukan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materil. Hal tersebut senada dengan yang disebutkan oleh Van Bemmelen dalam bukunya

Strafordering Leerbook Van Het Nederlandsch Straf Procesrecht

(Undang-undang di Belanda yang memuat tentang hukum acara pidana) bahwa yang terpenting dalam hukum acara pidana adalah mencari kebenaran.1

1

Waluyadi, Pengetahuan Dasar Hukum Acara Pidana, (Bandung; Mandar Maju, 1999), hal. 15. Upaya mencari kebenaran materil ini menjadi salah satu perbedaan antara hukum pidana dengan hukum perdata. Dalam hukum acara perdata kebenaran yang akan dicapai adalah kebenaran formal yaitu kebenaran yang didasarkan pada formalitas hukum, sementara hukum acara pidana tidak hanya berdasarkan pada formalitas hukum


(11)

semata, tapi juga harus ditunjang dengan penggunaan formalitas hukum tersebut di sidang pengadilan dan fakta yang ditemukan dalam sidang pengadilan menjadi bahan masukan bagi hakim dalam memutus perkara.

Hukum acara pidana mengandung beberapa pihak yang terlibat didalamnya yaitu: 1. Polisi;

2. Jaksa dan; 3. Hakim.

Hal-hal tersebut inilah yang nantinya diharapkan dapat mewujudkan tujuan dari hukum acara pidana itu sendiri dengan menerapkan secara jujur dan tepat ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Acara Pidana (KUHAP) dalam suatu perkara pidana hingga siapa saja yang melakukan kejahatan mendapatkan hukuman dan sebaliknya yang tidak bersalah terbebaskan dari hukuman.

Seperti yang kita ketahui dalam Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Acara Pidana (KUHAP) mencantumkan 5 (lima) alat bukti, yaitu :

1. Keterangan saksi 2. Keterangan ahli 3. Surat

4. Petunjuk

5. Keterangan terdakwa

Pengupayaan mencapai kebenaran materil dalam setiap perkara pidana salah satu jalannya adalah mengoptimalkan alat bukti. Oleh karena itu alat bukti dalam hukum acara pidana memegang peranan penting dalam membantu tugas utama penyidik untuk mencapai tujuan penyidikan suatu perkara pidana. Titik sentral


(12)

dalam tindakan penyidikan ini adalah mencari dan menemukan bukti-bukti guna membuat terang suatu tindak pidana.2

Berdasarkan hasil pemeriksaan ahli forensik inilah selanjutnya dapat diketahui apakah luka, tidak sehat, atau matinya seseorang tersebut diakibatkan oleh tindak pidana atau tidak. Sutomo Tjokronegoro mendefenisikan bahwa yang dimaksud dengan Ilmu Pengetahuan Kedokteran Kehakiman adalah penggunaan ilmu kedokteran untuk kepentingan pengadilan.

Salah satu tindak pidana yang sulit dilakukan pembuktian terhadapnya adalah tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain. Tindak pidana ini harus ditelaah bagaimana seseorang itu meninggal apakah langsung seketika meninggal atau memerlukan waktu yang lama lalu orang tersebut meninggal. Upaya mencari dan menemukan kebenaran mengenai suatu perbuatan tindak pidana kejahatan yang menyebabkan luka, terganggunya kesehatan dan matinya seseorang di dalam proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan, maka Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim juga harus memiliki pengetahuan di bidang lain, yakni Ilmu Pengetahuan Kedokteran Kehakiman. Jelas ilmu pengetahuan hukum tidak bisa mengungkap permasalahan itu secara detail, karena hal tersebut diluar jangkauannya. Ilmu Kedokteran Kehakiman berperan dalam hal menentukan hubungan kausalitas antara sesuatu perbuatan dengan akibat yang ditimbulkannya dari perbuatan tersebut, baik yang menimbulkan akibat luka pada tubuh atau yang menimbulkan gangguan kesehatan, atau yang menimbulkan matinya seseorang, dimana terdapat akibat-akibat tersebut patut diduga telah terjadi tindak pidana.

3

2

Ibid, hal. 43

3

Ibid, hal. 1-2


(13)

kedokteran kehakiman sangan berperan dalam membantu kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman, dalam segala soal yang hanyalah dapat dipecahkan dengan ilmu kedokteran kehakiman.

Ilmu Pengetahuan Kedokteran Kehakiman ini berperan untuk membantu dunia peradilan dalam berbagai peristiwa seperti terlukanya seseorang, terganggunya kesehatan seseorang, matinya seseorang, aborsi, kejahatan seksual, maupun kasus malpraktik dokter. Untuk itu diperlukan bantuan dari seorang ahli dalam memecahkan persoalan tersebut.

Bantuan ahli ini dinyatakan dalam KUHAP yang terdapat dalam Pasal 133 ayat (1) yang menyatakan:

“Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahlinya.”

Hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh ahli kedokteran kehakiman atas korban atau barang bukti diserahkan oleh penyidik dan ahli tersebut akan membuat laporan dari hasil pemeriksaan yang telah dilakukannya dan kesimpulan para ahli berdasarkan kemampuan dan pengetahuan yang telah dimilikinya.

Salah satu alat bukti yang dapat digunakan penyidik untuk mengungkapkan tindak pidana penganiayaan yang menyebabkan orang meninggal dunia adalah alat bukti surat. Penggunaan alat bukti surat memang jenisnya banyak, salah satu diantaranya adalah laporan dalam bentuk tertulis yang dibuat oleh para ahli kedokteran kehakiman atau dikenal lagi dengan istilah Visum et

Repertum.

Visum et Repertum memang tidak dicantumkan dalam KUHAP secara

tegas, namun dapat dijelaskan bahwa Visum et Repertum merupakan surat keterangan ahli yang dibuat oleh dokter; sesuai dengan kesepakatan yang dibuat


(14)

antara IKAHI dan IDI tahun 1986 di Jakarta, yaitu untuk membedakan dengan surat keterangan dari ahli lainnya.4

Suatu tindak pidana yang terjadi dipastikan akan menimbulkan korban kejahatan. Menurut Undang-Undang No 31 Tahun 2014,

5

Dikaji dari perspektif Ilmu Viktimologi pengertian korban dapat diklasifikasikan secara luas dan sempit. Dalam pengertian luas korban diartikan sebagai orang yang menderita atau dirugikan akibat pelanggaran baik bersifat pelanggaran hukum pidana (penal) maupun diluar hukum pidana (non penal) atau dapat juga termasuk korban penyalahgunaan kekuasaan (victim abuse of power). Sedangkan pengertian korban dalam artian sempit dapat diartikan sebagai victim of crime yaitu korban kejahatan yang diatur di dalam ketentuan pidana. Dari perspektif Ilmu Viktimologi ini pada hakikatnya korban tersebut hanya berorientasi kepada dimensi akibat perbuatan manusia, sehingga di luar aspek tersebut misalnya seperti akibat bencana alam, bukanlah merupakan objek kajian dari Ilmu Viktimologi.

Pasal 1 ayat (3) menyatakan: “Korban adalah orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana”.

6

4

Abdul Mun’im Idries, Pedoman Praktis Ilmu Kedokteran Forensik, (Jakarta; Sagung Seto,2009), hal. 10

5

Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 2006 Tentang perlindungan Saksi dan Korban.

6

Lilik Mulyadi, Kompilasi Hukum Pidana Dalam Perspektif Teoritis dan Praktik Peradilan, (Bandung; CV Mandar Maju, 2010), hal. 1-2

Korban sebagai pihak yang dirugikan dalam ranah ketentuan hukum relatif terabaikan serta terpinggirkan sehingga perhatian kepada korban semakin jauh dari peradilan pidana yang oleh Sthepen Schafer dikatakan sebagai cinderella dari hukum pidana. Selain itu pula maka Robert Reif melihat juga kurangnya perhatian terhadap korban dalam proses peradilan pidana dengan mengemukakan:


(15)

“Suatu masalah dalam hukum pidana, selalu mereduksi ‘apa yang dilakukan terhadap penjahat’ tidak seorangpun bertanya ‘apa yang dapat dilakukan terhadap korban’. Setiap orang berasumsi cara yang terbaik untuk membantu korban adalah menangkap penjahat sebagai pemikiran bahwa pelaku adalah sumber penderitaan korban”.

Konteks tersebut menegaskan perlindungan terhadap korban kejahatan juga tak kalah penting eksistensinya. Pada asasnya dapat dikatakan penderitaan korban akibat suatu kejahatan belumlah berakhir dengan penjatuhan dan selesainya hukuman kepada pelaku. Korban dalam hal ini semestinya mendapat perlindungan terhadap hak-haknya. Tidak jarang dalam setiap persidangan hanya hak si terdakwa saja yang diperhatikan, namun hak-hak korban hampir tidak diperhatikan.

Berdasarkan kenyataan mengenai pentingnya penerapan hasil Visum et Repertum dalam pengungkapan suatu kasus penganiayaan yang mengakibatkan matinya orang dan fungsi visum itu sendiri sebagai alat bukti terhadap hak-hak korban, hal tersebut melatarbelakangi untuk mengangkatnya menjadi topik pembahasan dalam penulisan hukum ini dengan judul : VISUM ET REPERTUM DALAM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG MENGAKIBATKAN MATINYA SESEORANG DILIHAT DARI PERSPEKTIF VIKTIMOLOGI.

B. Rumusan Masalah

Adapun permasalahan yang akan dibahas pada penulisan hukum ini, antara lain: 1. Bagaimana pengaturan hukum yang mengatur Visum et Repertum dalam

tindak pidana yang dilakukan seseorang?

2. Bagaimana fungsi kegunaan Visum et Repertum itu dalam mengungkap suatu tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan kematian seseorang?


(16)

3. Bagaimana kebijakan hukum pidana dengan adanya Visum et Repertum itu memberikan perlindungan hukum terhadap korban akibat matinya seseorang?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui hubungan kasualitas antara penganiayaan dengan meninggalnya korban;

2. Untuk mengetahui kedudukan Visum et Repertum sebagai alat bukti dalam perkara pidana;

3. Untuk mengetahui bagaimana kegunaan Visum et Repertum dalam tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan kematian;

4. Untuk mengetahui dengan adanya Visum et Repertum, maka dapat memberikan perlindungan hukum terhadap korban.

D. Manfaat Penulisan

Adapun manfaat dari penulisan hukum ini adalah:

1. Secara teori diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang ilmu tentang hukum secara umum serta perkembangan ilmu hukum acara pidana secara khusus.

2. Manfaat secara praktis dari adanya penulisan hukum ini adalah sebagai pedoman dan masukan bagi Lembaga Hukum, Institusi Pemerintah dan Penegak Hukum di kalangan masyarakat, sebagai bahan informasi bagi semua kalangan yang berkaitan dengan penegakan hukum maupun perkembangan ilmu hukum, dan untuk menambah pengetahuan mengenai


(17)

fungsi Visum et Repertum dalam tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan kematian dalam perspektif viktimologi di pengadilan.

E. Keaslian Penulisan

Penulisan hukum yang berjudul “VISUM ET REPERTUM DALAM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG MENGAKIBATKAN MATINYA SESEORANG DILIHAT DARI PERSPEKTIF VIKTIMOLOGI.”

Berdasarkan penelitian dan pemeriksaan terhadap inventarisasi Penulisan hukum di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara serta jurnal online Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (Jurnal Mahupiki), belum ada judul yang membahas mengenai Visum et Repertum dalam Tindak Pidana Penganiayaan yang Menyebabkan Matinya Seseorang Dilihat dalam Perspektif Viktimologi. Bila dikemudian hari terdapat judul yang sama atau telah ditulis oleh orang lain dalam bentuk penulisan hukum sebelum penulisan hukum ini, maka hal itu harus dipertanggungjawabkan.

F. Tinjauan Kepustakaan

Visum et Repertum dibuat dan dibutuhkan di dalam kerangka upaya penegakkan

hukum dan keadilan, dengan kata lain yang berlaku sebagai konsumen atau pemakai Visum et Repertum adalah perangkat penegak hukum. Fungsi Visum et

Repertum yang digunakan sebagai alat bukti dalam tindak pidana penganiayaan

telah dilakukan penelitian terhadapnya dan sudah banyak diangkat sebagai judul penelitian hukum. Beberapa penelitian yang pernah dilakukan yang mengangkat tentang Visum et Repertum antara lain:

Mochammad G.R (2011) judul penelitian: PERANAN VISUM ET REPERTUM DALAM PENYELESAIAN PROSES PERKARA TINDAK PIDANA


(18)

PENGANIAYAAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA.

Komala Sari (2014) judul penelitian: FUNGSI VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PROSES PENYELESAIAN TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA.

1. Tindak Pidana

a. Istilah dan Pengertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu strafbaar feit. Walaupun istilah ini terdapat dalam WvS Belanda, dengan demikian juga WvS Belanda (KUHP), tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit itu. Oleh karena itu para ahli hukum berusaha untuk memberikan arti dan isi dari istilah itu.

Sekiranya para sarjana Indonesia telah memberikan pendapat mengapa mereka harus menggunakan istilah yang digunakannya itu sebagai terjemahan dari

Strafbaar” dan “feit” yang kemudian dimajemukkan. Beberapa pendapat tersebut

adalah sebagai berikut:

1) Pendapat Moeljatno dan Ruslan Saleh

Setelah membahas beberapa istilah yang telah digunakan untuk terjemahan

strafbaar feit, pilihan beliau jatuh kepada istilah perbuatan pidana dengan alasan

dan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut

a) Untuk terjemahan strafbaar adalah istilah PIDANA sebagai singkatan dari YANG DAPAT DIPIDANA

b) Perkataan perbuatan sudah lazim dipergunakan dalam percakapaan sehari-hari seperti: perbuatan tak senonoh,


(19)

perbuatan jahat dan sebagainya dan juga istilah teknis seperti: perbuatan melawan hukum (onrechmatige daad). Perkataan perbuatan berarti dibuat oleh seseorang dan menunjuk baik pada orang yang melakukan maupun pada akibatnya, sedangkan perkataan peristiwa tidak menunjukkan, bahwa yang menimbulkan adalah handeling atau gedraging seseorang, mungkin juga hewan atau alam. Dan perkataan tindak berarti langkah baru dalam bentuk tindak tindak tanduk atau tingkah laku.

2) Pendapat Utrecht

Utrech menganjurkan pemakaian istilah peristiwa pidana, karena istilah peristiwa itu meliputi perbuatan (hendelen atau doen, positif) atau melalaikan (verzuim atau

natalen atau niet-doen, negatif) maupun akibatnya.

3) Pendapat Satochid

Satochid Kertanegara dalam rangkaian kuliah beliau menganjurkan pemakaian istilah tindak-pidana, karena istilah tindak (tindakan), mencakup pengertian melakukan atau berbuat (actieve handeling) dan/atau pengertian tidak melakukan, tidak berbuat, tidak melakukan suatu perbuatan (passieve handeling).

Istilah perbuatan berarti melakukan, berbuat (actieve handeling) tidak mencakup pengertian mengakibatkan / tidak melakonkan. Istilah peristiwa, tidak menunjukkan kepadanya hanya tindakan manusia. Sedangkan terjemahan pidana untuk strafbaar adalah sudah tepat.7

7


(20)

Sekiranya adalah lebih tepat, untuk menggunakan istilah Tindak Pidana seperti diuraikan Satochid dengan tambahan penjelasan, bahwa istilah tindak-pidana dipandang diperjanjikan sebagai kependekan dari Tindak-an yang dilakukan oleh manusia untuk mana ia dapat di-Pidana atau pe-Tindak yang dapat di-Pidana. Kepada istilah tersebut harus dapat diperjanjikan pengertian dalam bentuk perumusan dalam perumusan tersebut harus tercakup semua unsur delik (tindak pidana), atas dasar mana dapat dipidananya petindak yang telah memenuhi unsur tersebut.8

Menurut Moeljatno istilah perbuatan pidana yaitu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut. 9

Pasal 14 konsep rancangan KUHP baru 2006/2007 mendefenisikan bahwa tindak pidana adalah “perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturang perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana.10

b. Unsur-unsur Tindak Pidana

Berbagai rumusan tindak pidana yang dikemukakan oleh para ahli hukum, jika diperhatikan terdiri dari beberapa unsur/ elemen. Para ahli ada yang mengemukakan unsur-unsur tindak pidana secara sederhana yang hanya terdiri dari unsur objektif dan unsur subjektif, dan ada pula yang merinci unsur-unsur tindak pidana yang diambil berdasarkan rumusan undang-undang.

8

Ibid, hal. 204.

9

Mohammad Ekaputra, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Medan; USU Press, 2009), hal. 80.

10

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP baru, (Jakarta; Kencana Prenada Media Group, 2008), hal. 78.


(21)

Menurut Moeljatno unsur-unsur atau elemen-elemen yang harus ada dalam suatu perbuatan pidana, adalah:

1. Kelakuan dan akibat ( perbuatan);

2. Hal atau keadaan yang menyertai perbuatan; 3. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana; 4. Unsur melawan hukum yang objektif;

5. Unsur melawan hukum yang subjektif;11

Kelima unsur-unsur atau elemen-elemen yang di atas pada dasarnya dapat dikasifikasikan ke dalam dua unsur pokok, yaitu unsur objektif dan unsur subjektif. Unsur objektif dapat dibagi menjadi:

1. Perbuatan manusia yang termasuk unsur pokok objektif adalah sebagai berikut:

a) Act ialah perbuatan aktif yang disebut juga perbuatan positif; dan

b) Ommision, ialah tidak aktif berbuat dan disebut juga perbuatan

negatif.

2. Akibat perbuatan manusia

Hal ini erat hubungannya dengan ajaran kausalitas. Akibat yang dimaksud adalah membahayakan atau menghilangkan kepentingan-kepentingan yang dipertahankan oleh hukum, misalnya nyawa, badan, kemerdekaan, hak milik/harta. Atau kehormatan;

3. Keadaan keadaan

Pada umumnya keadaan-keadaan ini dibedakan atas:

a) Keadaan pada saat perbuatan dilakukan, dan;

11


(22)

b) Keadaan setelah perbuatan dilakukan 4. Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum

Sifat dapat dihukum itu berkenaan dengan alasan-alasan yang membebaskan terdakwa dari hukuman. Sifat melawan hukum bertentangan dengan hukum, yakni berkenaan dengan larangan atau perintah.

Unsur pokok subjektif tercermin dalam asas pokok hukum pidana, yaitu “tiada pidana tanpa kesalahan” (an act does not make guilty unless the mind is guilty;

actus non facit reum nisi mens sit rea). Kesalahan yang dimaksud dalam konteks

ini adalah:

1. Kesengajaan terdiri dari tiga bentuk, yaitu a) Sengaja sebagai maksud;

b) Sengaja sebagai kepastian;

c) Sengaja sebahai kemungkinan (dolus eventualis).

2. Kealpaan, adalah bentuk kesalahan yang lebih ringan daripada kesengajaan. Ada dua bentuk kealpaan, yaitu :

a) Tidak berhati-hati;

b) Tidak menduga-duga akibat perbuatan itu12

D. Hazelwinkel Suringa dalam Sudarto mengemukakan unsur-unsur tindak pidana yang diambil dalam rumusan undang-undang, yaitu sebagai berikut :

.

1. Dalam setiap delik terdapat unsur tindak/perbuatan seseorang; 2. Untuk beberapa delik, undang-undang menyebutkan apa yang

dinamakan akibat konstitutif dan ini terdapat dalam delik materiil;

12


(23)

3. Banyak delik memuat unsur-unsur yang bersifat psychisch misalnya: dengan tujuan dan dolus atau culpa;

4. Berbagai delik menghendaki adanya keadaan objektif, misalnya delik penghasutan (Pasal 160 KUHP), pelanggaran kesusilaan (Pasal 182 KUHP) , mabuk (Pasal 536 KUHP), mengemis (Pasal 504 KUHP). Pada delik-delik tersebut menghendaki keadaan objektif yaitu “di muka umum”/ pada delik-delik yang lain ada pula menyebutkan faktor-faktor subjektif, baik yang bersifat

psychisch atau tidak. Faktor subjektif yang bersifat psychisch

misalnya terdapat pada Pasal 305 KUHP dan delik membunuh anak segera setelah anak itu dilahirkan (Pasal 341 dan 342 KUHP); 5. Beberapa delik memuat apa yang disebut dengan ‘syarat tambahan

untuk dapat dipidana’ (bijkomende voor waarde van strafbaarheid) yang dimaksud adalah:

a) Terjadi sesudah terjadinya perbuatan yang diuraikan dalam undang-undang, bisa juga disertai dengan akibat konstitutifnya; b) Justru memberikan sifat dapat dipidananya (Pasal 123, 164,

165 KUHP) yaitu, dapat ditandai dengan adanya kata “jika……”, misalnya: ada suatu usaha untuk membunuh Presiden, dan bila ada yang mengetahui dan diam saja, ia dapat dituntut jika betul-betul terjadi maksud tersebut.

6. Sifat melawan hukum juga memegang peranan sebagai unsur delik, seperti tersebut dalam Pasal 167 KUHP yaitu (merusak


(24)

ketentraman rumah / huisvredebreuk), Pasal 333 KUHP (merampas kemerdekaan seseorang), dan Pasal 406 (merusak barang).

Sifat melawan hukum itu hanya merupakan unsur dari strafbaarfeit apabila, dalam rumusan delik nyata-nyata disebut. Jika tidak disebutkan, sifat itu bukan unsur hanya tanda ciri (kenmerk) saja dari setiap delik, sebab suatu perbuatan dilarang dan diancam dengan pidana, karena tak dapat dibenarkan oleh hukum atau karena bertentangan dengan hukum.

Barang siapa memenuhi rumusan delik, maka ia berbuat melawan hukum atau ia melakukan strafbaarfeit, kecuali jika ada hal-hal yang merubah perbuatan yang biasanya tidak dapat diterima menjadi perbuatan yang dapat diterima, atau bahkan sangat diharapkan. Dalam hal-hal seperti ini maka hilanglah sifat dapat dipidananya feit itu dan menjadi rechtimatig (sah).

2. Pengertian Tindak Pidana Penganiayaan

Penganiayaan dapat kita temui dalam KUHP untuk istilah tindak pidana terhadap tubuh. Tindak pidana terhadap tubuh ditujukan bagi perlindungan kepentingan hukum atas tubuh dari perbuatan-perbuatan berupa penyerangan terhadap tubuh yang mengakibatkan rasa sakit atau luka, bahkan karena luka tersebut dapat mengakibatkan kematian.

Atas dasar unsur kesalahannya, kejahatan terhadap tubuh ada dua macam, yaitu: a. Kejahatan terhadap tubuh dilakukan dengan sengaja. Kejahatan yang

dimaksudkan ini diberi kualfikasi sebagai penganiayaan, dimuat dalam Bab XX buku II, Pasal 351 s.d. 358 KUHP.


(25)

b. Kejahatan terhadap tubuh karena kelalaian, dimuat dalam Pasal 359 kematian karena lalai dan 360 Bab XXI KUHP yang dikenal dengan kualifikasi karena lalai menyebabkan orang lain luka.

Kejahatan terhadap tubuh yang dilakukan dengan sengaja (penganiayaan) dapat dibedakan menjadi beberapa macam, yakni:

a. Penganiayaan biasa

Pemberian kualifikasi sebagai penganiayaan biasa (gewone mishandeling) yang dapat disebut juga dengan penganiayaan bentuk pokok atau bentuk standart terhadap ketentuan Pasal 351 sungguh tepat, setidak-tidaknya membedakan dengan bentuk bentuk penganiayaan lainnya.

Dilihat dari sudut cara pembentuk Undang-undang dalam merumuskan penganiayaan, kejahatan ini mempunyai suatu keistimewaan. Jika dalam rumusan kejahatan-kejahatan lain, pembentuk undang-undang dalam membuat rumusannya dengan menyebut unsur tingkah laku dan unsur-unsur lainnya seperti unsur kesalahan, melawan hukum atau unsur mengenai obyeknya, mengenai cara melakukannya dan sebagainya, namun dalam kejahatan penganiayaan (Pasal 351 ayat 1) ini dirumuskan dengan singkat, yaitu dengan menyebutkan kualifikasinya sebagai penganiayaan. Pasal 351 merumuskan sebagai berikut:

(1) Penganiayaan dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak Rp 4500,-.

(2) Jika perbuatan itu menjadikan luka berat, sitersalah dihukum penjara selama-lamanya lima tahun.

(3) Jika perbuatan itu menjadikan mati orangnya, dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun.


(26)

(4) Dengan penganiayaan disamakan merusak kesehatan orang dengan sengaja.

(5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dihukum.

Kejahatan penganiayaan yang dirumuskan pada ayat (1) hanya memuat kualifikasi kejahatan dan ancaman pidananya saja, maka dari rumusan itu saja tidak dapat dirinci unsur-unsurnya, yang oleh karena itu juga sekaligus tidak diketahui dengan jelas tentang pengertiannya.13

b. Penganiayaan ringan

Kejahatan yang diberi kualifikasi sebagai penganiayaan ringan (lichte

mishandeling) oleh undang-undang ialah penganiayaan yang dimuat dalam Pasal

352, yang rumusannya sebagai berikut:

(1) – kecuali yang tersebut dalam Pasal 353 dan 356, maka penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian, dipidana sebagai penganiayaan ringan, dengan pidana penjara paling lama 3 bulan atau pidana denda paling banyak Rp 4.500,-

– Pidana dapat ditambah sepertiga bagi orang yang melakukan kejahatan itu terhadap orang yang bekerja kepadanya atau menjadi bawahannya.

(2) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.14 c. Penganiayaan berencana

Pasal 353 mengenai penganiayaan berencana merumuskan sebagai berikut:

(1) Penganiayaan dengan rencana lebih dulu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun;

13

Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa,(Jakarta; PT Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 8-9.

14


(27)

(2) Jika perbuatan itu menimbulkan luka-luka berat, yang bersalah dipidana dengan penjara paling lama 7 tahun;

(3) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 tahun.

Kejahatan yang dirumuskan Pasal 353 dalam praktik hukum diberi kualifikasi sebagai penganiayaan berencana, oleh sebab terdapatnya unsur direncanakan terlebih dahulu sebelum dilakukan. Direncanakan terlebih dahulu adalah bentuk khusus dari kesengajaan dan merupakan alasan pemberat pidana pada penganiayaan yang bersifat subjektif.15

d. Penganiayaan berat

Penganiayaan yang oleh undang-undang diberi kualifikasi sebagai penganiayaan berat, ialah dirumuskan dalam Pasal 354 yang rumusannya adalah sebagai berikut:

(1) Barangsiapa sengaja melukai berat orang lain, dipidana karena melakukan penganiayaan berat dengan pidana penjara paling lama 8 tahun;

(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun.

Perbuatan melukai berat (zwar lichamelijk letsel toebrengt) atau dapat disebut juga menjadikan luka berat pada tubuh orang lain, haruslah dilakukan dengan sengaja. Kesengajaan disini haruslah diartikan secara luas, artinya termasuk dalam ketiga bentuk kesengajaan. Pandangan ini didasarkan pada keterangan yang menyatakan bahwa apabila dalam rumusan tindak pidana dirumuskan unsur kesengajaan, maka kesengajaan itu harus diartikan ketiga bentuk kesengajaan.16

15

Ibid., hal. 26-27

16


(28)

e. Penganiayaan berat berencana

Penganiayaan berat berencana, dimuat dalam Pasal 355, yang rumusannya adalah sebagai berikut:

(1) Penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana terlebih dahulu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun;

(2) Jika perbuatan itu menimbulkan kematian, yang bersalah dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun.

Dipandang dari sudut untuk terjadinya penganiayaan berat berencana ini, maka kejahatan ini adalah berupa bentuk gabungan antara penganiayaan berat (Pasal 354 ayat 1) dengan penganiayaan berencana (Pasal 353 ayat 1), dengan kata lain suatu penganiayaan berat yang terjadi dalam penganiayaan berencana. Kedua bentuk penganiayaan ini harus terjadi secara serentak/bersama. Oleh karena harus terjadi secara bersama, maka harus terpenuhi baik unsur penganiayaan berat maupun unsur penganiayaan berencana17

Arrest lainnya memberikan penafsiran secara sempurna seperti arrest Hoge Raad

tanggal 10-2-1902 yang menyatakan bahwa “jika menimbulkan luka atau sakit pada tubuh bukan menjadi tujuan, melainkan suatu sarana belaka untuk mencapai

.

Pengertian penganiayaan yang dianut dalam doktrin tampak dalam arrest Hoge

Raad tanggal 25-6-1894 yang menyatakan penganiayaan adalah “dengan sengaja

menimbulkan rasa sakit atau luka. Kesengajaan ini harus dicantumkan dalam surat tuduhan. Berdasarkan pengertian doktrin tersebut, maka perbuatan seperti seorang guru atau orang tua yang memukul anak adalah termasuk juga pada pengertian penganiayaan.

17


(29)

suatu tujuan yang patut, maka tidaklah ada penganiayaan. Contohnya, dalam batas-batas yang diperlukan seorang guru atau orang tua memukul seorang anak.

Arrest lainnya tanggal 20-4-1925 menyatakan bahwa “dengan sengaja melukai

tubuh orang lain tidak dianggap sebagai penganiayaan, jika maksudnya untuk mencapai suatu tujuan lain, dan di dalam menggunakan akal itu tidak sadar bahwa ia melewati batas-batas yang wajar”.

3. Pengertian Visum et Repertum

Visum et Repertum sebenarnya bukanlah istilah hukum melainkan istilah dari Ilmu

Kedokteran. Dalam undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara juga tidak ditemukan istilah Visum et Repertum, tetapi yang dapat ditemukan adalah keterangan ahli yang dinyatakan dalam persidangan dalam bentuk baik tulisan maupun dalam bentuk lisan yang disampaikan langsung di persidangan.

Visum et Repertum pertama kali diatur dalam Staatsblad Tahun 1937 Nomor 350

Pasal 1 dan Pasal 2 yang menyatakan bahwa Visum et Repertum adalah suatu keterangan tertulis yang dibuat oleh dokter atas sumpah atau janji tentang apa yang dilihat pada benda yang diperiksanya yang mempunyai daya bukti dalam perkara-perkara pidana18

18

Abdul Mun’im Idries, Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik, (Pamulang; Binarupa Aksara), Hal. 11.

. Tercatat pula bahwa peraturan Visum et Repertum di Indonesia pernah diatur dalam Fatwa Majelis Pertimbangan Kesehatan dan Syarat Kementrian Kesehatan Publik Indonesia nomor 4 Tahun 1955 tertanggal 13 September 1955 yang mengatur perilah “Bedah Mayat” dengan 2 (dua) ketentuan yaitu:


(30)

a. Bedah mayat itu boleh/mubah hukumnya untuk kepentiangan ilmu pengetahuan, pendidikan dokter, dan penegak keadilan diantara umat manusia;

b. Membatasi kemubahan ini sekedar darurat saja menurut kadar yang tidak boleh tidak harus dilakukan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.19

Istilah Visum et Repertum itu sendiri berasal dari bahasa latin yaitu Visum =

Something seen, appearance (sesuatu yang dapat dilihat) et = and (dan),

Repertum = invention, find out (ditemukan). Jika didefenisikan secara letterlijk

(lurus), Visum et Repertum berarti “Apa yang dilihat dan ditemukan”.20

4. Victimologi

Visum et Repertum sebagaimana halnya surat-surat resmi yang dipakai untuk

perkara-perkara di pengadilan harus memenuhi ketentuan yang berlaku, dalam hal ini : Ordonansi Materai 1921 Pasal 23 jo Pasal 31 ayat 2 sub 27, dimana sebagai pengganti materai maka dalam Visum et Repertum dicantumkan kalimat “Pro Justitia”.

Dikaji dari perspektif teoritis dan normatif terminologi “korban” kejahatan dikenal dalam berbagai dimensi. Ketentuan angka 1 “Declaration of basic

principles of justice for victims of crime and abuse of power” tanggal 6

September 1985 dari Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) sesuai Deklarasi Nomor A/Res/40/34 Tahun 1985 mengklasifikasikan korban menjadi dua yaitu korban kejahatan dan korban akibat dari penyalahgunaan kekuasaan. Eksplisit Deklarasi Nomor A/Res/40/34 Tahun 1985 menentukan, bahwa Korban Kejahatan sebagai :

19

R. Soepomo, keterangan Ahli & Visum et Repertum dalam Aspek Hukum Acara Pidana, (Bandung; Mandar Maju, 2002), hal. 97.

20


(31)

“Korban adalah orang-orang, baik secara individual maupun kolektif, yang menderita kerugian baik kerugian fisik maupun mental, penderitaan emosional, kerugian ekonomi atau kerusakan substansial dari hak-hak asasi mereka, yang melanggar hukum pidana yang berlaku disuatu negara, termasuk peraturan-peraturan yang melarang penyalahgunaan kekuasaan.

Viktimologi, berasal dari bahasa latin victima yang berarti korban dan logos yang berarti ilmu. Secara terminologis, viktimologi berarti suatu studi yang mempelajari tentang korban, penyebab timbulnya korban dan akibat-akibat penimbulan korban yang merupakan masalah manusia sebagai suatu kenyataan sosial21

G. Metode Penelitian

.

Viktimologi mencoba memberi pemahaman, mencerahkan permasalahan kejahatan dengan mempelajari para korban kejahatan, proses viktimisasi dan akibat-akibatnya dalam rangka menciptakan kebijaksanaan dan tindakan pencegahan dan menekan kejahatan secara lebih bertanggung jawab.

Metode penelitian dalam usaha pengumpulan data atau bahan merupakan suatu syarat yang penting dalam suatu penelitian ilmiah. Untuk melengkapi penulisan hukum ini agar tujuannya lebih terarah, maka metode penulisan yang digunakan, antara lain:

1. Jenis Penelitian

Penulisan hukum ini agar tujuan lebih terarah dan dapat dipertanggungjawabkan maka diperlukan metode penelitian. Metode penelitian yang digunakan adalah

21

Rena Yulia, Viktimologi Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan, (Yogyakarta; Graha Ilmu, 2010), Hal. 43.


(32)

penelitian yuridis-normatif, yakni dengan melakukan kajian terhadap bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder22

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan kepada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisa permasalahan yang dibahas dalam penulisan hukum ini. Kecuali, itu juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul dari gejala yang bersangkutan.

. Dalam penelitian yuridis-normatif, penelitian dapat menelusuri (explanatoris) konsep-konsep yang pernah ada dalam sejarah hukum. Berdasarkan jenis data yang diperoleh, penelitian ini menggunakan data sekunder, data yang diperoleh dari buku-buku, artikel-artikel, jurnal, dan bahan-bahan lain yang berhubungan dengan penelitian.

23

2. Sifat Penelitian

Dilihat dari sifatnya, maka penelitian dalam penulisan hukum ini bersifat penelitian deskriptif. Suatu penelitian deskriptif dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya24. Tujuan dari penelitian deskriptif ini adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki.25

Ditinjau dari jenis masalah yang diselidiki, teknik dan alat yang digunakan dalam meneliti, serta waktu dan tempat penelitian dilakukan, metode penelitian

22

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta; UI-Press, 2008), Hal., Hal.53

23

Ibid., hal. 43.

24

Ibid., hal. 10.

25

Metodologi Penelitian, sebagaimana dimuat dalam addhintheas.blogspot.in/2013/04/metode-penelitian-deskriptif.html?m=1, diakses pada tanggal 17 April 2015 pukul 14.54 WIB.


(33)

deskriptif dalam Penulisan hukum ini menggunakan jenis penelitian studi kasus. Studi kasus adalah penelitian tentang status subjek penelitian yang berkenan dengan suatu fase spesifik atau khas dari keseluruhan personalitas. Tujuan dari studi kasus ini adalah memberikan gambaran secara mendetail latar belakang, sifat-sifat serta karakter-karakter yang khas dari kasus. Studi kasus mempunyai keunggulan sebagai suatu studi untuk mendukung studi-studi yang besar di kemudian hari dan dapat memberikan hipotesis-hipotesis untuk penelitian lanjutan.26

3. Sumber Data

Penelitian pada umumnya mengenal tiga jenis alat pengumpulan data yaitu wawancara atau interview, studi dokumen atau bahan pustaka, dan pengamatan. Sumber data yang digunakan dalam penulisan hukum ini adalah sumber data sekunder yang putusan dari Pengadilan Tinggi dengan nomor register 10/Pid/2014/PT-MDN.

Selain itu dalam penulisan hukum ini menggunakan data sekunder yang berupa: a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat yang

merupakan landasan utama yang digunakan dalam penulisan hukum ini. Seperti beberapa peraturan perundang-undangan.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang menunjang, yang memberi penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti buku-buku dan pendapat para ahli hukum.

4. Teknik Pengumpulan data

26


(34)

Teknik pengumulan data dengan penelitian kepustakaan (Library research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau yang disebut dengan data sekunder. Adapun data sekunder yang digunakan dalam penulisan hukum ini antara lain dari buku-buku baik koleksi pribadi maupun perpustakaan, artikel-artikel baik yang diambil dari media cetak maupun media elektronik, dokumen-dokumen pemerintah, termasuk peraturan perundang-undangan.

5. Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penulisan hukum ini adalah menggunakan deskriptif analitis yaitu data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas. Analisa kualitatif adalah menganalisa secara lengkap dan komprehensif keseluruhan data sekunder yang diperoleh sehingga dapat menjawab permasalahan-permasalah dalam Penulisan hukum ini.


(35)

BAB II

PENGATURAN HUKUM YANG MENGATUR VISUM ET REPERTUM DALAM TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN SESEORANG A. Pengaturan Visum et Repertum dalam Perundang-undangan Indonesia

1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang KUHP

Visum et Repertum dapat disebut sebagai keterangan tertulis, yaitu keterangan

yang dibuat tertulis dengan mengingat sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah.27

a. Visum et Repertum yang dibuat (lengkap) sekaligus atau difinitif.

Dilihat menurut sifatnya, Visum et Repertum dibagi dalam 3 (tiga) macam:

b. Visum et Repertum sementara. Misalnya visum yang dibuat bagi korban

yang sementara dirawat dirumah sakit akibat luka-lukanya karena penganiayaan.

c. Visum et Repertum lanjutan. Misalnya visum bagi korban yang luka

tersebut (Visum et Repertum sementara) kemudian lalu meninggal dirumah sakit ataupun akibat luka-lukanya tersebut korban kemudian dipindahkan ke rumah sakit/ dokter lain, melarikan diri, pulang dengan paksa atau meninggal dunia.28

Pemakaian istilah Visum et Repertum kadang berlainan, namun maksudnya dapat dipahami. R. Soeparmono menjelaskan: seperti Visum et Repertum bagi korban hidup, yang terjadi oleh karena atau diakibatkan benda tumpul, benda tajam, bahan kimia atau racun, obat pembasmi cair (basah) atau kering, tembakan senjata api dari jarak jauh atau dekat, tenggelam, mencoba bunuh diri atau sebagainya, sehingga perlu diobati ataupun dirawat nginap di rumah sakit. Kemudian dalam

27

Sofwan Dahlan, Ilmu Kedokteran Forensik dan Hukum Kesehatan, (Semarang; Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro,1993), hal. 15.

28


(36)

hal dibuatkan Visum et Repertum akhir dari suatu hal atau peristiwa dan itu hanya boleh dibuat dokter atau dokter ahli yang mengibati atau menangani semula.29

Visum et Repertum mempunyai kekuatan pembuktian dalam suatu perkara pidana.

R. Atang Ranoemihardja30

R. Atang Ranoemihardja

menjelaskan kekuatan Visum et Repertum dalam pembuktian sebagaimana dimaksud dalam Staatsblad 1937 nomor 350 bahwa

Visum et Repertum mempunyai daya bukti, sebab yang dimuat dalam

pembuktiannya merupakan kesaksian, karena ia memuat segala sesuatu hal yang dilihat dan diketemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan, jadi sama halnya dengan seseorang yang melihat dan merasakan sendiri, misalnya suatu kecelakaan di tempat peristiwa itu terjadi. Sedangkan kesimpulan Visum et Repertum dibuat untuk memudahkan bagi jaksa dan hakim, dengan catatan bahwa apabila kesimpulan itu logis maka dapat diterima, sebaliknya bila dianggap tidak logis, jaksa atau hakim mengambil langkah-langkah lain.

31

a. Pembunuhan dengan sengaja (doodslag) termasuk pembunuhan anak dengan sengaja (kinderdoodslag) yaitu Pasal 338, 339, 341, dan pengguguran kandungan (abortus provocatus criminalis) yaitu Pasal 347 dan 348 KUHP

mengungkapkan beberapa tindak pidana (perkara pidana) yang diperkirakan memerlukan adanya Visum et Repertum yaitu:

b. Pembunuhan yang direncanakan terlebih dahulu (met voorbedachte rade

moord) termasuk di dalamnya pembunuhan anak dengan direncanakan

(kindermoord) dan bunuh diri (zelf moord) Pasal 340, 342, 345 KUHP

29

Ibid.

30

R. Atang Ranoemihardja, Ilmu Kedokteran Kehakiman (Forensic Science), (Bandung; Tarsito, 1991), hal. 25.

31


(37)

c. Penganiayaan (mishandeling) termasuk didalamnya penganiayaan ringan

(lichte mishandeling) dan penganiayaan berat (zware mishandeling) yaitu

Pasal 351, 352, 353, 355, 356, 358 KUHP

d. Percobaan (poging) terhadap delik-delik yang tersebut dalam sub a e. Percobaan (poging) terhadap delik-delik yang tersebut dalam sub b

f. Makar mati (aanslag met het oogmerk : aan het leven te beroven) yaitu Pasal 104 KUHP

g. Kematian karena culpa (veroorzaken van den dood door schuld) yaitu Pasal 359 KUHP

h. Luka karena culpa (veroorzaken van lichamelijk letsel door schuld) yaitu Pasal 360 KUHP

i. Pemerkosaan (verkrachting) yaitu Pasal 285, 286, 287, 288 KUHP

j. Perjinahan (overspel) termasuk didalamnya perbuatan cabul (ontuchtige

handeling) dan homosexual yaitu Pasal 284, 289, 290, 294 KUHP.

2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP

Semenjak berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang mencabut HIR jo Undang-undang Nomor 1/Drt tahun 1951 jo Ketentuan perihal macam-macam alat bukti yang sah tentang pembuktian dalam proses pemeriksaan di sidang pengadilan menjadi lebih lengkap, yaitu dengan dimasukkannya secara tegas alat bukti keterangan ahli di dalam Pasal 184 ayat (1) huruf b KUHAP.

Dasar-dasar hukum tentang peranan keterangan ahli (pakar) itu bagi kelengkapan alat bukti dalam berkas perkara Pro Yustisia dan pemeriksaan di sidang


(38)

pengadilan, amat membantu dalam usaha menambah keyakinan Hakim dalam hal pengambilan keputusan.

Pemeriksaan oleh Hakim di persidangan, suatu berkas pidana, apakah ada atau tidak ada Visum et Repertum, maka perkara yang bersangkutan tetap harus periksa dan diputus. Kelengkapan Visum et Repertum dalam berkas perkara terdakwa yang diperiksa oleh Hakim, diserahkan kepada Penuntut Umum yang mulai diserahkan kepadanya berkas perkara Pro Yustia tersebut oleh Penyidik Penuntut Umum memang berusaha untuk membuktikannya dalam sidang agar Majelis Hakim yakin perihal terbuktinya kesalahan terdakwa tersebut.

Beberapa kasus yang diperiksa di pengadilan, Majelis Hakim sendiri tidak mutlah harus mendasarkan diri pada Visum et Repertum. Kekuatan pembuktian dari

Visum et Repertum diserahkan saja pada penilaian Hakim (Majelis Hakim).

Penuntut Umum berusaha membuktikan kesalahan Terdakwa dipersidangan, maka dari itu, berarti beban pembuktian bagi perkara pidana ada pada Penuntut Umum, dalam usaha mencari kebenaran materil, dan Hakim tetap dibatasi pada alat-alat bukti yang diajukan olehnya. Seumpamanya Penuntut Umum tidak bersedia menambah alat bukti yang hanya minimum, maka Hakim tidak dapat mencari sendiri alat buktu tambahan, sedangkan terdakwa mungkin.

Terdakwa apabila dalam BAP penyidik disitu mengaku, maka BAP Penyidik merupakan surat, yang dapat dipergunakan untuk alat bukti Petunjuk.32

Hal tersebut diatas sesuai dengan asas Praduga Tidak Bersalah menurut azas hukumAcara Pidana, yaitu bahwa seorang terdakwa pada azasnya harus dianggap tidak bersalah, sebelum kesalahan tersebut dinyatakan terbukti oleh suatu putusan

32


(39)

Hakim serta telah mempunyai kekuatan hukumyang tetap. Karena itu KUHAP menentukan dalam Pasal 66 KUHAP: Tersangka atau Terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian.

Pasal 183 KUHAP ditentukan bahwa yang diperlukan oleh Hakim dalam menjatuhkan pidana kepada seseorang adalah:

a. Adanya dua alat bukti yang sah (sekurang-kurangnya); b. Kenyakinan;

c. Bahwa tindak pidana itu benar terjadi; d. Bahwa terdakwalah yang bersalah berbuat

Penjelasan Pasal 183 KUHAP menyatakan bahwa ketentuan tersebut adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan, dan kepastian hukumbagi seseorang. Dalam acara pemeriksaan cepat, keyakinan Hakim cukup didukung satu alat bukti yang sah.

Alat bukti dalam persidangan yang ada dalam suatu berkas perkara dengan hasil-hasil pemeriksaan yang ada dalam berkas itu, Hakim akan memeriksa, menilai, dan menentukan alat bukti yang ada, apakah dari alat bukti yang ada itu dalam pemeriksaan di persidangan mempunyai kekuatan pembuktian berdaarkan batas minimum pembuktian seperti ditentukan Pasal 183 KUHAP dan bukan untuk mencari alat bukti. Didalam dunia ilmu Pasal 183 KUHAP ini dikenal dengan sistem/stelsel Negative Wettelijk dalam hukum pembuktian pada acara pidana. Teori Negative Wettelijk tentang pembuktian menentukan syarat alat bukti, disertai adanya keyakinan yang diperoleh Hakim sebagai undur-unsur yang memegang peranan penting.


(40)

Menurut sistem KUHAP, ketentuan-ketentuan Undang-undang tidak boleh dilanggar, artinya Hakim tidak boleh dan dilarang “melanggar batas minimum pembuktian” dan Hakim wajib mengikuti dan menaati Pasal 183 jo. Pasal 184 KUHAP.

Contohnya Pasal 185 ayat (2) KUHAP yang menentukan, keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan, bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya. Hak ini dikenal dengan istilah Unus

Testis Nullus Testis (seorang saksi bukan saksi).

Pasal 183 KUHAP diperlukan untuk mencapai batas minimum pembuktian guna menentukan terbuktinya kesalahan terdakwa; hal ini untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum bagi seorang Hakim wajib memegang teguh hal tersebut dan dilarang untuk dilanggar.

Dalam KUHAP, Visum et Repertum diatur dalam beberapa Pasal, yaitu: Pasal 120 ayat (1) berbunyi:

Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus.

Pasal 133 ayat (1) berbunyi:

Dalam hal penyelidikan untuk kepentingan peradilan mengenai seorang korban, baik luka, keracunan maupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.

Ayat (2) berbunyi:

Permintaan keterangan ahli sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan/atau pemeriksaan bedah mayat.

Pasal 134 ayat (1) berbunyi:

Dalam hal sangat diperlukan dimana untuk keperluan pembuktian bedah mayat tidak mungkin lagi dihindari, penyidik wajib memberitahukan terlebuh dahulu kepada keluarga korban.


(41)

Dalam hal keluarga korban tidak keberatan, penyidik wajib menerangkan dengan sejelas-jelasnya tentang maksud dan tujuan perlu dilakukannya pembedahan tersebut.

Pasal 135 berbunyi:

Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan perlu melakukan penggalian mayat, dilakukan menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 133 ayat (2) dan Pasal 134 ayat (1) undang-undang ini.


(42)

BAB III

KEGUNAAN VISUM ET REPERTUM DALAM MENGUNGKAP SUATU TINDAK PIDANA YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN

SESEORANG A. Visum et Repertum Sebagai Alat Bukti

1. Pengertian Alat Bukti

Alat bukti adalah segala sesuatu yang ada hubumgannya dengan suatu perbuatan, dimana dengan alat-alat bukti tersebut, dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanya suatu tundak pidana yang telah dilakukan terdakwa.33

(1) Alat bukti yang sah adalah:

Alat bukti menurut KUHAP adalah sebagaimana tercantum dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP yang terdiri dari :

a. Keterangan saksi; b. Keterangan ahli; c. Surat;

d. Petunjuk;

e. Keterangan terdakwa.

Susunan alat bukti dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP diatas menurut Andi Hamzah34

33

Hari Sasangka, Lily Rosita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, (Bandung; CV Mandar Maju, 2003), hal. 11.

34

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta; Sinar Grafika, 2001), hal. 255.

bila dibandingkan dengan Het Herziene Inlands Reglement (HIR, diterjemahkan dengan Reglemen Indonesia Baru disingkat RIB) yakni hukum acara pidana yang berlaku sebelum KUHAP, maka ada penambahan alat bukti baru yaitu keterangan ahli.


(43)

Alat bukti keterangan ahli menurut Pasal 1 angka 28 KUHAP dijelaskan bahwa keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Selanjutnya dalam Pasal 186 KUHAP dinyatakan bahwa keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan.

Alat bukti keterangan saksi menurut Pasal 1 angka 27 KUHAP dijelaskan bahwa keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuan ini. Oleh karena itu dalam Pasal 185 ayat (5) KUHAP ditegaskan bahwa baik pendapat maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja nukan merupakan keterangan saksi. Dipertegas dalam penjelasan Pasal 185 ayat (1) KUHAP bahwa dalam keterangan saksi tidak termaksud keterangan yang diperoleh dari orang lain atau testimonium de auditu.35

Surat sebagai alat bukti diatur dalam Pasal 187 KUHAP, baik surat yang dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, sebagaimana diatur dalam Pasal 187 huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d. kaitannya dengan kekuatan pembuktian dari surat sebagai alat bukti dalam perkara pidana, Andi Hamzah berpendapat bahwa hanya akte (surat) otentik yang dapat dipertimbangkan, sedangkan surat dibawah tangan seperti dalam hukum perdata tidak dipakai lagi dalam hukum acara pidana36

35

Ibid.,hal. 260.

36

Ibid, hal. 271.

. Akan tetapi dijelaskan lebih lanjut oleh Andi Hamzah bahwa selaras dengan ketentuan Pasal 187 huruf d, maka surat dibawah


(44)

tangan ini masih mempunyai nilai jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian lain. Contoh keterangan saksi yang menerangkan bahwa ia (saksi) telah menyerahkan uang kepada terdakwa.37 Ada kalanya sulit dibedakan antara akte dan surat biasa. Di dalam hal ini Hari Sasangka dan Lily Rosita38

Petunjuk sebagai alat bukti dalam hukum acara pidana, sebagaimana diatur dalam Pasal 188 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) KUHAP. Dijelaskan dalam Pasal 188 ayat (1) KUHAP bahwa petunjuk adalah perbuatan, kejadian, atau keadaan, yang karena persesuaian, baik antara yang satu dengan yang lain maupun dengan tindak pidana dan siapa pelakunya. Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (1) KUHAP selanjutnya diatur dalam Pasal 188 ayat (2) KUHAP diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa. Oleh karena itu Wirjono Prodjodikoro (dalam Martiman Prodjohamidjojo) memberi sindiran pendapatnya tentang petunjuk ini dengan menyatakan bahwa apa yang disebut petunjuk sebenarnya bukan alat bukti melainkan kesimpulan belaka yang diambil dengan menjelaskan bahwa :

Surat biasa dibuat tanpa maksud dijadikan alat bukti. Jika dikemudian hari menjadi alat bukti, hak itu merupakan suatu kebetulan saja. Dalam hukum pembuktian sutrat biasa mempunyai nilai pembuktian sebagai alat bukti bebas. Kecuali ditentukan dalam Pasal 1881 dan Pasal 1883 KUHPerdata. Dalam praktek surat semacam ini sering digunakan untuk menyusun prasangkaan. Sedangkan akte berbeda dengan surat biasa. Sebuah akte memang sengaja dibuat dengan tujuan sebagai alat bukti.

37

Ibid.

38


(45)

menggunakan alat-alat bukti sah yang lain, yaitu keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa39

Proses penegakan hukum dan keadilan itu merupakan usaha ilmiah, dapat dilihat pada Pasal-Pasal yang tercantum di dalam KUHAP, dimana terdapat dalam bentuk: keterangan ahli, pendapat orang lain, ahli kedokteran kehakiman, dokter, dan surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau suatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya (KUHAP Pasal 187 butir c).

.

Keterangan terdakwa sebagai alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 189 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) KUHAP. Dijelaskan dalam Pasal 129 ayat (1) KUHAP bahwa keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri. Apabila keterangan terdakwa itu diberikan di luar sidang menurut Pasal 189 ayat (2) KUHAP dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya, akan tetapi di dalam Pasal 189 ayat (3) KUHAP ditegaskan bahwa keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri.

40

2. Visum et Repertum sebagai Alat Bukti

Visum et Repertum yang merupakan surat keterangan dari seorang ahli (dokter),

termasuk alat bukti surat, sedangkan alat bukti keterangan ahli, ialah apa yang ahli nyatakan di sidang pengadilan, yang dapat juga sudah diberikan pada waktu

39

Martiman Prodjohamidjojo,Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi, (Bandung; CV Mandar Maju, 2001), Hal. 129.

40

Abdul Mun’im Idries, Pedoman Praktis Ilmu Kedokteran Forensik bagi praktisi hukum, Op.Ci,t, Hal. 9.


(46)

pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah di waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan.

Surat sebagaimana disebutkan pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah:

a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau yang dialami sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangan itu;

b. Surat yang dimuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan diperuntukkan bagi pembuktian suatu hal atau sesuatu keadaan;

c. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya;

d. Surat lain yang hanya berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain (Pasal 187 KUHAP)41

Aktivitas seorang dokter ahli sebagaimana disebutkan diatas, dilaksanakan berdasarkan permintaan dari pihak yang berkompeten dengan masalah tersebut.

Visum et Repertum merupakan surat yang dibuat atas sumpah jabatan, yaitu

jabatan sebagai dokter, sehingga surat tersebut memiliki keotentikkan.

41


(47)

Proses selanjutnya, Visum et Repertum dapat menjadi alat bukti petunjuk, didasarkan oleh karena petunjuk sebagaimana yang diatur dalam Pasal 188 ayat (1) KUHAP hanya dapat diperoleh dari:

a. Keterangan saksi; b. Surat;

c. Keterangan terdakwa.

Kita berkeyakinan bahwa pada proses awalnya Visum et Repertum yang selanjutnya disebut sebagai alat bukti surat yang untuk memperoleh Visum tersebut berasal dari kesaksian dokter terhadap seorang dengan membaca apa yang dilihatnya, apa yang didengarnya, dan apa yang ditemukannya, menunjukkan bahwa tersisip didalamnya alat bukti keterangan saksi. Dari pemaparan tersebut dapat ditarik kesimpulan:

a. Untuk adanya Visum et Repertum harus ada terlebih dahulu keterangan saksi;

b. Alat bukti surat sesungguhnya merupakan penjabaran dari Visum et Repertum

c. Dari alat bukti surat tersebut, dapat diperoleh alat bukti baru, yaitu petunjuk. Dengan demikian, antara keterangan saksi, Visum et Repertum, alat bukti surat dan petunjuk, merupakan empat serangkaian yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya.42

Untuk lebih jelas tentang uraian diatas, penulis membuat skema seorang dokter sebagai pembuat Visum et Repertum dan seorang dokter yang menjadi saksi ahli (keterangan ahli) dalam membantu tegaknya suatu keadilan.

42


(48)

Sekamanya sebagai berikut:

Permintaan Visum et Repertum Membalas Visum et Repertum mengirim ke dokter memeriksa

pengiriman berkas dan VeR melengkapi berkas serta VeR keputusan keterangan:

Polisi sebagai penyidik untuk keperluan penyidikan berdasarkan wewenangnya mengirim korban (dalam hal ini pembunuhan) kepada dokter forensik untuk meminta Visum et Repertum sebagai pengganti alat bukti, kemudian dokter forensik memeriksa korban pembunuhan dan dari hasil pemeriksaannya dibuat dalam bentuk Visum et Repertum selanjutnya hasil Visum tersebut diserahkan kepada penyidik untuk pemeriksaan pendahuluan. Selanjutnya hasil Visum et

Repertum diserahkan kepada jaksa untuk proses penyidangan sebagai alat bukti

surat. Dalam persidangan, apabila visum masih belum dapat menjelaskan dengan baik, maka hakim dapat memanggil dokter ahli forensik untuk hadir di persidangan sebagai saksi ahli.

Dasar-dasar hukum tentang peranan keterangan ahli itu bagi kelengkapan alat bukti dalam berkas perkara Pro Yustisia dan pemeriksaan di sidang pengadilan, amat membantu dalam usaha untuk menambah keyakinan Hakim dalam mengambil keputusan.

Penyidik (POLRI)

Dokter Kehakiman

Jaksa Penuntut

Umum

Hakim/ Pengadilan Korban

(Penganiayaan yang mengakibatkan


(49)

Beberapa kasus yang diperiksa, Majelis Hakim tidak mutlak harus mendasarkan diri pada Visum et Repertum. Bismar Siregar, S.H menuturkan bahwa adanya

Visum et Repertum dari dokter, hendaklah jangan sampai menghambat proses

persidangan. Visum et Repertum sebagai alat bukti tidak mengikat hakim. Jika kalau visum belum ada, jangan sampai menghambat sidang. Visum hanyalah alat bukti tambahan43

a. Sekurang-kurangnya ada dua alat bukti yang sah; .

Oleh karena Penuntut Umum berusaha membuktikan kesalahan Terdakwa dipersidangan, maka beban pembuktian bagi perkara pidana terdapat pada Penuntut Umum dan KUHAP menentukan dalam Pasal 66: tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian, dalam usaha mencari kebenaran materil, dan Hakim tetap dibatasi pada alat-alat bukti yang diajukan olehnya. Pasal 183 KUHAP menentukan bahwa yang diperlukan oleh hakim dalam menjatuhkan pidana kepada seorang adalah:

b. Keyakinan;

c. Bahwa tindak pidana itu benar terjadi; d. Bahwa terdakwalah yang berbuat. Waluyadi44

a.

memaparkan bahwa dalam teori pembuktian dikenal beberapa sistem yaitu:

Sistem pembuktian positif

43

Ibid, Hal 42.

44

Ibid, hal. 39-42.

; yaitu sistem pembuktian yang hanya didasarkan pada alat-alat bukti semata, akan mengesampingkan tugas hakim dalam kaitan dengan upaya menciptakan hukum. Bahkan lebih dari itu, kebenaran dari putusannya pun terdapat peluang untuk tidak sesuai


(50)

dengan kondisi yang sebenarnya. Sebab, dapat saja barang bukti yang dihadirkan dalam sidang pengadilan merupakan hasil rekayasa. Tentunya tetap berpedoman pada asas praduga tak bersalah dengan sifat kemanusiaannya, dokterpun dapat saja memberikan hasil Visum et

Repertum yang tidak sesuai dengan apa yang terjadi sesungguhnya. Yang

demikian itu dapat saja terjadi.

b. Sistem pembuktian yang hanya didasarkan pada keyakinan hakim

c.

; juga dirasakan kurang mendukung adanya usaha untuk memperoleh kebenaran materil. Yaitu kebenaran yang selengkap-lengapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya minta pemeriksaan dan putusan pengadilan guna menentukan apakah terbukti bahwa suatu tindakan pidana telah dilakukan dan siapakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan.

Sistem pembuktian yang hanya didasarkan pada pertimbangan hakim yang logis

d.

; masih dianggap kurang sesuai dengan pencapaian sebuah kebenaran materiil hukum. Sebab disamping sistem ini telah meniadakan peranan alat bukti, juga kiranya perlu diingat bahwa pertimbangan yang logis manusia akan sangat terbatas dalam kaitannya dengan pencapaian sebuah kebenaran.

Sistem pembuktian negatif, yaitu sistem pembuktian yang didasarkan pada keyakinan hakim dan didasarkan pada alat-alat bukti yang dibenarkan oleh undang-undang. Sungguh pun demikian sistem pembuktian negatif ini,


(51)

juga tidak tertutup kemungkinan di dalamnya terdapat logika hakim dan subjektivitas hakim. Akan tetapi setidaknya logika dan subjektivitas hakim tersebut masih dalam kerangka undang-undang. Artinya, undang-undang akan membatasi pemakaian logika hakim dan kesubjektivitasan hakim dalam kaitannya dengan keputusan yang hendak diambilnya.

B. Untuk Menentukan Faktor Penyebab dari Tindak Pidana Penganiayaan yang Mengakibatkan Kematian ataukah Pembunuhan

1. Tindak Pidana Penganiayaan

Tindak pidana penganiayaan di dalam KUHP dapat dibagi menjadi beberapa bagian yaitu sebagai berikut:

a) Penganiayaan biasa sebagaimana diatur dalam Pasal 351 KUHP b) Penganiayaan ringan sebagaimana diatur dalam Pasal 352 KUHP c) Penganiayaan berencana sebagaimana diatur dalam Pasal 353 KUHP d) Penganiayaan berat sebagaimana diatur dalam Pasal 354 KUHP

e) Penganiayaan berat berencana sebagaimana diatur dalam Pasal 355 KUHP f) Penganiayaan terhadap orang yang berkualitas tertentu sebagaimana diatur

dalam Pasal 356 KUHP.

Penganiayaan adalah istilah yang digunakan KUHP untuk tindak pidana terhadap tubuh. Namun, KUHP sendiri tidak memuat arti dari penganiayaan itu sendiri. Meskipun pengertian penganiayaan tidak termuat dalam KUHP, kita dapat melihat pengertian penganiayaan menurut pendapat para sarjana.

Menurut M.H. Tirtaamidjaja, Pengertian penganiayaan adalah “Menganiaya ialah dengan sengaja menyebabkan sakit atau luka pada orang lain. Akan tetapi perbuatan yang menyebabkan sakit atau luka pada orang lain, tidak dianggap


(52)

sebagai penganiayaan kalau perbuatan itu dilakukan untuk menambah keselamatan badan”45

a. Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit/penderitaan pada tubuh orang lain;

.

Menurut penjelasan Menteri Kehakiman Belanda pada saat merancang pembentukan Pasal 351 KUHP, terdapat dua rumusan yakni:

b. Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk merusak kesehatan tubuh orang lain.

Doktrin/Ilmu pengetahuan hukum pidana, berdasarkan sejarah pembentukkan dari Pasal yang bersangkutan sebagaimana yang diterangkan diatas, penganiayaan diartikan sebagai perbuataan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan

rasa sakit atau luka pada tubuh orang lain.

Berdasarkan doktrin diatas bahwa setiap perbuatan yang dengan sengaja menimbulkan rasa sakit atau luka merupakan sebuah penganiayaan dan pelakunya diancam dengan pidana. Padahal dalam kehidupan sehari-hari sering kita jumpai cukup banyak perbuatan yang dengan sengaja menimbulkan sakit atau luka terhadap tubuh yang terhadap pelakunya semestinya tidak diancam pidana. Sebagai contoh dapat kita temukan:

a. Orang tua memukul anaknya karena anak tersebut nakal;

b. Seorang dokter yang melukai tubuh pasien dalam rangka operasi untuk menyembuhkan penyakit.

Disadarinya atau sengaja bahwa dari perbuatan yang sengaja dilakukan, menimbulkan rasa sakit ataupun luka, tetapi bila bukan itu yang menjadi

45

Leden Marpaung, Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh, (Jakarta; Sinar Grafika, 1999), hal. 5.


(53)

tujuannya melainkan sebagai sarana untuk mencapai tujuan lain yang patut, maka disini tidak ada penganiayaan. Dengan demikian pada perbuatan yang mengandung tujuan lain yang patut itu menjadi kehilangan sifat terlarangnya (melawan hukum), dan karenanya tidak dipidana.46

2. Unsur-Unsur Penganiayaan

Orang tua yang memukul anak adalah melaksanakan kewajibannya untuk mendidik anak. Perbuatan dokter melukai pasien dalam rangka operasi, adalah dalam rangka melaksanaka fungsi dan jabatannya sebagai dokter yang mana fungsi dan jabatannya sebelumnya telah mendapatkan pengesahan/izin dari pemerintah.

Keadaan-keadaan inilah yang merupakan syarat menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan yang digunakan sebagai alasan/penyebab dari tidak dipidananya orang tua maupun dokter yang melakukan perbuatan tersebut.

Berdasarkan pengertian tindak pidana penganiayaan diatas, maka dirumuskan unsur-unsur penganiayaan sebagai berikut:

a) Adanya kesengajaan; b) Adanya perbuatan;

c) Adanya akibat perbuatan (yang dituju) 1) rasa sakit pada tubuh, dan atau 2) luka pada tubuh

d) akibat mana menjadi tujuan satu-satunya.47

46

Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Tubuh & Nyawa, Op.Cit.,hal. 14.

47

Unsur a dan d adalah berupa unsur subjekif (kesalahan), unsur b dan c merupakan unsur obyektif. Lihat Adami Chazawi,S.H., Kejahatan Terhadap Tubuh & Nyawa, hal 12.


(54)

kesengajaan disini berupa sebagai maksud atau opzet als oogmerk, disamping harus ditunjukkan pada perbuatannya, juga harus ditujukan pada akibatnya. Sifat kesengajaan demikian lebih nyata lagi pada Pasal 351 ayat (4).

Secara prinsip kesengajaan dalam tindak pidana penganiayaan harus ditafsirkan dengan kesengajaan sebagai maksud, namun dalam hal-hal tertentu kesengajaan dalam penganiayaan juga dapat ditafsirkan sebagai kesengajaan sebagai kemungkinan.48

Kenyataan bahwa orang telah melakukan tindak pidana yang besar kemungkinan dapat menimbulkan perasaan sangat sakit pada orang lain itu merupakan suatu penganiayaan. Tidak menjadi soal bahwa dalam kasus ini opzet pelaku telah tidak ditujukan untuk menimbulkan perasaaan sangat sakit seperti itu melainkan telah ditujukan kepada perbuatan untuk melepaskan diri dari penangkapan oleh seorang pegawai polisi.

Hal tersebut pernah dilakukan Hooge Raad dalam Arrestnya tanggal 15 Januari 1934, yang menyatakan:

49

48

Tongat,Hukum Pidana Materil, (Jakarta; Djambatan, 2003), hal. 73.

49

Ibid., hal 74.

Unsur perbuatan, yang dimaksud perbuatan dalam penganiayaan adalah perbuatan dalam arti positif. Artinya perbuatan itu haruslah merupakan aktifitas atau kegiatan dari manusia dengan menggunakan (sebagian) anggota tubuhnya sekalipun sekecil apapun perbuatan itu. Selain bersifat positif, unsur perbuatan sangatlah bersifat abstrak, karena dengan istilah/kata perbuatan saja, maka dalam bentuknya yang konkret tak terbatas wujudnya, yang pada umumnya wujud perbuatan itu mengandung sifat kekerasan fisik dan harus menimbulkan rasa sakit tubuh atau luka. Artinya penganiayaan itu dapat berupa pemukulan, pencubitan, mengiris, membacok, dan sebagainya.


(55)

Rasa sakit dalam penganiayaan mengandung arti sebagai timbulnya rasa sakit, rasa perih, rasa yang tidak enak, atau penderitaan. Sementara yang dimaksud dengan luka tidak disebutkan dalam KUHP. KUHP hanya menyebutkan apa yang dimaksud dengan luka berat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 90 KUHP tentang macam-macam luka berat yaitu:

- jatuh sakit atau mendapatkan luka yang tidak dapat diharapkan akan segera sembuh secara sempurna, atau yang menimbulkan bahaya maut; - untuk selamanya tidak mampu menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan

yang merupakan mata pencaharian; - kehilangan salah satu pancaindera; - mendapat cacat berat;

- menderita sakit lumpuh

- terganggunya daya pikir selama lebih dari empat minggu - gugurnya atau terbunuhnya kandungan dari seorang perempuan

Dengan memperhatikan rumusan Pasal 90 tersebut, dapat disimpulkan bahwa Pasal tersebut tidak memberi rumusan tentang arti luka berat secara umum, atau keadaan-keadaan tertentu pada tubuh manusia yang masuk ke dalam macam luka berat. Oleh karena itu dapat ditafsirkan bahwa luka yang mempunyai arti terdapatnya perubahan pada rupa tubuh yang tidak berupa luka-luka berat sebagaimana tersebut dalam Pasal 90 adalah sebagai luka ringan.

Unsur akibat, baik berupa rasa sakit atau luka, dengan unsur perbuatan harus ada hubungan kausal. Artinya harus dapat dibuktikan, bahwa akibat yang berupa rasa sakit atau luka itu merupakan akibat langsung dari perbuatan yang dilakukan oleh


(56)

pelaku. Tanpa adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan akibat ini, maka tidak akan dapat dibuktikan adanya tindak pidana penganiayaan.

Unsur akibat mana yang menjadi tujuan satu-satunya mengandung pengertian, bahwa dalam tindak pidana penganiayaan berupa rasa sakit atau luka pada tubuh itu haruslah merupakan tujuan satu-satunya si pelaku. Artinya memang pelakulah yang menghendaki timbulnya rasa sakit atau luka dari perbuatan penganiayaan. 3. Tindak Pidana Penganiayaan yang Mengakibatkan Kematian

Tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan kematian adalah tindak pidana penganiayaan yang mana kematian yang timbul bukanlah merupakan tujuan dari sipelaku. Tindak pidana ini diatur dalam beberapa Pasal dalam KUHP yaitu:

a. Pasal 351 ayat (3) KUHP yaitu penganiayaan biasa yang mengakibatkan kematian;

b. Pasal 353 ayat (3) KUHP yaitu penganiayaan berencana yang

mengakibatkan kematian;

c. Pasal 354 ayat (2) KUHP yaitu penganiayaan berat yang mengakibatkan kematian;

d. Pasal 355 ayat (2) KUHP yaitu penganiayaan berat berencana yang mengakibatkan kematian.

1)

a) Pasal 351 ayat (3)

Unsur-unsur penganiayaan yang mengakibatkan kematian

Jika dilihat unsur-unsur penganiayaan biasa yang mengakibatkan kematian yang diatur dalam Pasal 351 ayat (3) KUHP maka kita dapat melihat bahwa unsur-unsurnya sama dengan penganiayaan dalam bentuk pokok sebagaimana diatur dalam Pasal 351 ayat (1) KUHP.


(1)

dihadirkan ke persidangan untuk membuat jelas mengenai Visum et Repertum tersebut.

Visum et Repertum selain sebagai alat bukti, juga digunakan sebagai alat untuk mengetahui bagaimana sebab dan akibat suatu tindak pidana karena sangat penting bagi penyidik sebab kematian dan berguna di dalam menentukan antara lain senjata apa yang digunakan pelaku, racun apa yang dipakai, dikaitkan dengan kelalaian atau perubahan yang ditemukan pada diri korban.

3. Fungsi Visum et Repertum selain sebagai alat bukti, memiliki beban untuk memberikan perlindungan terhadap korban. Korban dalam setiap tindak pidana jarang sekali dipertimbangkan hak-haknya. Visum et Repertum dalam hal ini berfungsi juga untuk mempertimbangkan kepada pengadilan bahwa terdapat korban yang harus dilindungi hak-haknya juga karena sering kali yang diperhatikan hanyalah hak-hak terdakwa saja.

B. Saran

1. Diperlukannya alat bukti yang sebanyak-banyaknya dan tidak membatasi alat bukti tersebut seperti Visum et Repertum dalam setiap pemeriksaan dari tingkat penyidik hingga pengadilan sebagai alat bukti untuk membuktikan suatu tindak pidana meskipun peraturannya dalam KUHP tidak ada.

2. Perlunya Visum et Repertum dalam pembuktian penganiayaan yang mengakibatkan kematian agar para penegak hukum tidak salah dalam mengambil langkah dalam menjatuhkan seorang terdakwa. Karena memang sulit menentukan apakah seseorang meninggal karena dibunuh sengaja ataukan dianiaya dahulu lalu dengan waktu tertentu orang tersebut mati. Akibatnya sama yaitu hilangnya nyawa seseorang.


(2)

3. Perlunya Visum et Repertum dalam tindak pidana sebaiknya digunakan pula dalam mempertimbangkan hak-hak korban, karena dalam hal ini selalu saja yang diperhatikan adalah hak-hak terdakwa dalam pengadilan. Korban yang mengalami kerugian juga diperhatikan hak-haknya.


(3)

DAFTAR PUSTAKA A. Buku-buku

Arief, Barda Nawawi. 2008. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

_______. 2008. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

_______. 2009. Perkembangan Sistem Pemidanaan di Indonesia. Semarang: Universitas Diponegoro.

Chazawi, Adami. 2004. Kejahatan Terhadap Tubuh & Nyawa. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

_______. 2011. Pelajaran Hukum Pidana Bagian II. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Dahlan, Sofian. 1993. Ilmu Kedokteran Forensik dan Hukum Kesehatan. Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.

Ekaputra, Mohammad. 2010. Dasar-Dasar Hukum Pidana. Medan: USU Press Hamzah, Andi. 2001. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. Idries, Abdul Mun’im. 2009. Pedoman Praktis Ilmu Kedokteran Forensik.

Jakarta: Sagung Seto.

_______. 2009. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Pamulang: Binarupa Aksara.

Lamintang, P.A.F. 1987. Hukum Pidana I Hukum Pidana Material Bagian Umum. Bandung: Binacipta.


(4)

Marpaung, Leden. 1999. Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh. Jakarta: Sinar Grafika.

Moeljatno. 2008. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta.

Muladi da n Barda Nawawi Arief. 1995. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.

_______. 2005. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Bandung: PT Alumni. _______. 2007. Bunga Rampai Hukum Pidana. Bandung: PT Alumni.

Mulyadi, Lilik. 2010. Kompilasi Hukum Pidana dalam Perspektif Teoritis dan Praktik Peradilan. Bandung: CV Mandar Maju.

Prodjohamidjojo, Martiman. 2001. Penerapan Pembuktian Terbali dalam Delik Korupsi. Bandung: CV Mandar Maju.

Ranoemihardja, R. Atang. 1991. Ilmu Kedokteran Kehakiman (Forensic Science). Bandung: Tarsito.

Sasangka, Hari dan Lily Rosita. 2003. Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana. Bandung: CV Mandar Maju.

Sholehudin.M. tanpa tahun. Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Sianturi, S.R. 2012. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Babinkum TNI

_______. 2013. Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya. Jakarta: Babinkum TNI.

Soekanto, Soerjono. 2008. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI-Press

Soepomo, R. 2002. Keterangan Ahli & Visum et Repertum dalam Aspek Hukum Acara Pidana. Bandung: Mandar Maju.


(5)

_______. 2003. Praperadilan dan Penggabungan Perkara Gugatan Ganti Kerugian dalam KUHAP. Bandung: Mandar Maju.

Sudarto. 1981. Hukum dan Hukum Pidana. Bandung: PT Alumni

_______. 1983. Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat. Bandung: Sinar Baru

Tongat. 2003. Hukum Pidana Materil. Jakarta: Djambatan.

Yulia, Rena. 2010. Viktimologi Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Waluyadi. 1999. Pengetahuan Dasar Hukum Acara Pidana. Bandung: Mandar Maju.

B. Peraturan Perundang-undangan

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 Perubahan Atas Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

C. Sumber Internet

Metodologi Penelitian, sebagaimana dimuat dalam

addhintheas.blogspot.in/2013/04/metode-penelitian-deskriptif.html?m=1 Kejahatan Terhadap Nyawa sebagaimana dimuat dalam


(6)

Dokumen yang terkait

Tinjauan Yuridis Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Aparat Kepolisian Yang Menyebabkan Kematian(Studi Putusan Nomor : 370/Pid.B/2013/Pn.Sim)

1 112 102

Visum Et Repertum Dalam Tindak Pidana Penganiayaan Yang Menyebabkan Matinya Seseorang Dilihat Dalam Perspektif Viktimologi (Studi Putusan Nomor 10/Pid/2014/Pt-Mdn)

3 51 120

Tinjauan Yuridis Pertanggungjawaban Pidana Event Organizer Terhadap Tindak Pidana Kelalaian Yang Menyebabkan Meninggalnya Orang Dalam Konser Musik (Studi Putusan NO.713/Pid.B/2008/PN.Bdg)

2 78 95

Peranan Toksikologi Dalam Pembuatan Visum Et Repertum Terhadap Pembuktian Tindak Pidana Pembunuhan Dengan Menggunakan Racun

6 88 85

Kekuatan Pembuktian Visum Et Repertum Terhadap Korban Tindak Pidana Pemerkosaan Di Bawah Umur ( Studi Putusan PN No. 609/Pid.B/2011/PN Mdn )

3 73 99

Peranan Visum Et Repertum Sebagai Alat Bukti Dalam Kasus Tindak Pidana Pembunuhan (Study Kasus Putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No. 1243/Pid B/2006/PN-LP)

5 97 118

Peranan Visum Et Refertum Dalam Tindak Pidana Penganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian (Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066/Pid.B/2002/PN Mdn

0 36 90

BAB II PENGATURAN HUKUM YANG MENGATUR VISUM ET REPERTUM DALAM TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN SESEORANG A. Pengaturan Visum et Repertum dalam Perundang-undangan Indonesia - Visum Et Repertum Dalam Tindak Pidana Penganiayaan Yang Menyebabkan Matinya Seseorang

0 0 7

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Visum Et Repertum Dalam Tindak Pidana Penganiayaan Yang Menyebabkan Matinya Seseorang Dilihat Dalam Perspektif Viktimologi (Studi Putusan Nomor 10/Pid/2014/Pt-Mdn)

0 0 25

Tindak Pidana Kelalaian Berlalu Lintas Yang Menyebabkan Orang Lain Meninggal Dunia Yang Dilakukan Oleh Anak (Studi Putusan Nomor : 579/Pid.Sus/2013/PN.DPS)

0 2 11