EFEKTIVITAS VISUM ET REPERTUM DALAM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PERKOSAAN

(1)

ABSTRAK

EFEKTIVITASVISUM ET REPERTUMDALAM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PERKOSAAN

Oleh

MERY SULISTIAWATI HUTAURUK

Tindak pidana perkosaan merupakan perbuatan yang melanggar norma kesopanan, agama, dan kesusilaan. Tindak pidana perkosaaan tidak hanya sulit dalam perumusannya saja, tetapi kesulitan utamanya adalah soal pembuktiannya diakui atau tidak, baik pada tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, maupun persidangan di pengadilan. Dalam menemukan bukti-bukti yang menyatakan benar atau tidak telah terjadi tindak pidana perkosaaan, maka dibutuhkan alat bukti visum et repertum yang dibuat oleh dokter ahli forensik berdasarkan atas sumpah jabatannya. Berdasarkan hal tersebut maka permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimanakah efektivitas visum et repertum dalam pembuktian tindak pidana perkosaan dan apakah yang menjadi faktor penghambat dari efektivitas

visum et repertumdalam pembuktian tindak pidana perkosaan tersebut.

Pendekatan masalah untuk membahsa permasalahan tersebut penulis melakukan penelitian dengan pendekatan yuridis empiris dan pendekatan yuridis normatif. Sumber data yang digunakan adalah data primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari lapangan. Data sekunder adalah bahan-bahan hukum yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer. Data tersier yaitu bahan yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder dengan materi penulisan yang berasal dari kamus hukum. Berdasarkan hasil dan penelitian dan pembahasan, efektivitas visum et repertum dalam pembuktian tindak pidana perkosaan adalah sangat berguna dan bermanfaat guna membuktikan adanya suatu luka pada tubuh korban tindak pidana perkosaan, namun tetap dibutuhkan alat bukti lain yang dapat memperkuat hal tersebut. Faktor-faktor yang menjadi penghambat dari efektivitas visum et repertumdalam pembuktian tindak pidana perkosaan, yaitu faktor hukumnya sendiri, faktor penegak hukum, faktor sarana dan fasilitas, faktor masyarakat, dan faktor kebudayaan.


(2)

Mery Sulistiawati H

Berdasarkan kesimpulan tersebut, penulis menyarankan agar setiap aparat penegak hukum lebih cermat dan tanggap dalam menemukan bukti-bukti yang menunjukkan adanya kekerasan atau ancaman kekerasan yang diterima oleh korban, serta lebih mengutamakan kepentingan korban perkosaan yang teleh mengalami penderitaan fisik maupun psikologis.

Berdasarkan penelitian, penulis menyarankan agar korban dari tindak pidana perkosaan hendaknya segera melaporkan tindak pidana yang ia alami kepada pihak penyidik tanpa rasa malu. Sebab jika cepat dilaporkan, maka hasil dari

visum et repertumdapat efektif sebagai alat bukti di persidangan.


(3)

EFEKTIVITASVISUM ET REPERTUMDALAM PEMBUKTIAN TINDAK

PIDANA PERKOSAAN

Oleh

Mery Sulistiawati Hutauruk

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG


(4)

(5)

(6)

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 19 Mei 1993, penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Bona Hutauruk dan Ibu Rachel Samosir.

Penulis memulai pendidikan Taman Kanak-kanak di TK Sejahtera II Way Kandis pada tahun 1998-1999. Selanjutnya penulis melanjutkan pendidikan ke Sekolah Dasar di SDS Sejahtera II Way Kandis pada tahun 1999-2005. Penulis melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama di SMP Widya Dharma Way Kandis pada tahun 2005-2008. Kemudian penulis melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas di SMAN 13 Bandar Lampung pada tahun 2008-2011.

Tahun 2011 penulis terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Penulis mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN) selama 40 hari di Desa Sidowaras, Kecamatan Bumiratu Nuban, Kabupaten Lampung Tengah.


(8)

PERSEMBAHAN

Kuucapkan puji Syukurku kehadirat Tuhan Yesus Kristus yang telah memberikan kasih karunia dan anugerahNya

kepadaku.

Sebagai perwujudan rasa kasih sayang, cinta, hormatku, dan tanda baktiku yang tulus dari hatiku terdalam

Aku mempersembahkan karya ini kepada:

Ayahku terhormat Bapak Bona Hutauruk yang telah mengajarkanku untuk tetap kuat dan bersyukur dalam

segala hal.

Mamaku tercinta Rachel Samosir

Yang telah memberikan dukungan dan doa serta harapan demi keberhasilanku kelak. Perempuan Tercantik yang pernah ada di dalam hidupku, wanita Terindah yang selalu

ada dihatiku selama-lamanya. Kepada abangku yang ku kasihi

Junar Hasiholan Hutauruk dan Oberto Parlindungan Hutauruk (Alm)

Serta Keluarga besar yang selalu berdoa dan berharap demi keberhasilanku dalam meraih cita-cita.

Almamamaterku tercinta Fakultas Hukum Angkatan 2011 Universitas Lampung


(9)

✁ ✂ ✁

✄ ☎ ✆✝✞ ☎ ✟☎ ✠☎ ✡ ✝☛☎ ✞ ✠ ☞✞ ✌ ✌☞✍☎✡☎ ✎ ✡☎✞ ✍☎✆☎☛ ☎ ✞ ✟ ☞✏ ✑ ✡☎ ✒ ☎ ✒☎✞ ✍ ✑✓☎ ✞ ✌.

✔ ✕✟ ✠☎ ✓ ✖3 : 18)

Bersukacitalah dalam pengharapan, sabarlah dalam kesesakan, dan bertekunlah dalam doa!

(Roma 12 : 12)

Perubahan bukanlah perubahan sampai terjadi suatu perubahan!


(10)

SANWACANA

Puji syukur selalu penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus, atas berkat dan karunia-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan penulisan skripsi dengan

judul “Efektivitas Visum Et Repertum dalam Pembuktian Tindak Pidana

Perkosaan” sebagai salah satu syarat mencapai gelar sarjana di Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Penulis menyadari dalam penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bimbingan, bantuan, petunjuk dan saran dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini Penulis mengucapkan terima kasih yang tulus dari lubuk hati yang paling dalam kepada:

1. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.H. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

2. Ibu Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung dan Dosen Pembimbing I yang telah memberikan saran, nasehat, masukan, dan bantuan dalam penulisan skripsi ini sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

3. Bapak Tri Andrisman, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberikan saran, nasehat, masukan dan bantuan dalam proses penulisan skripsi ini sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

4. Bapak Eko Raharjo, S.H., M.H. selaku Dosen Pembahas I yang telah memberikan nasehat, kritikan, masukkan dan saran dalam penulisan skripsi ini.


(11)

5. Bapak Gunawan Jatmiko, selaku Dosen Pembahas II yang telah memberikan nasehat, kritikan, masukkan dan saran dalam penulisan skripsi ini.

6. Bapak Budiono, S.H., M.H. selaku Pembimbing Akademik yang senantiasa memberikan nasehat dan pengarahan selama penulis kuliah di Fakultas Hukum Universitas Lampung.

7. Bapak Sutaji, S.H., M.H., Bapak Welly Dwi Saputra, S.H., M.H., Ibu Supriyanti, S.H., dan Ibu Nikmah Rosidah, S.H., M.H. yang telah memberikan izin penelitian, dan membantu dalam penelitian serta penyediaan data untuk penyusunan skripsi ini.

8. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat kepada penulis selama kuliah di Fakultas Hukum Universitas lampung, penulis ucapkan banyak terima kasih.

9. Mbak Yanti, mbak Sri dan mbak Yani, Babeh Narto atas bantuan dan fasilitas selama kuliah dan penyusunan skripsi.

10. Guru-guruku selama menduduki bangku Sekolah, TK Sejahtera II, SDS Sejahtera II, SMP Widya Dharma, SMAN 13 Bandar Lampung. Penulis ucapkan terimakasih atas ilmu, doa, motivasi dan kebaikan yang telah ditanamkan.

11. Teristimewa untuk kedua orang tuaku tersayang Bapak Bona Hutauruk dan Mamaku Rachel Samosir untuk doa, kasih sayang, dukungan, motivasi, dan pengajaran yang telah kalian berikan dari aku kecil hingga saat ini, yang begitu berharga dan menjadi modal bagi kehidupanku.


(12)

12. Kepada kedua saudara kandungku Abangku Junar Hasiholan Hutauruk dan Oberto Parlindungan Hutauruk (alm) yang selalu memberikan motivasi buatku dan memberi dukungan moril, kegembiraan, semangat, serta materil yang diberikan.

13. Keluarga besarku yang selalu berdoa untukku serta dukungan dan motivasinya.

14. Untuk temanku Marlina Siagian, Mona Angelina Sinaga, Wardiyanti Sukmaya, Yuniar Ana Fitri, Tan Jessica Novia Hermanto, Very Susan, Torang Alfontius, Ratih Julia, Brillian Unggul yang telah memberikan kenangan indah di masa kuliah.

15. Untuk teman-teman Formahkris angkatan 2011, Kurniawan Manullang, Yossafat Galang, Yonathan Aji, Bram Monang, Juna, Grace, Lasmaida, Salamat, Try Gilbert, Yustinus, Mario, Erna, Prisca, Daniel Sitanggang, David Pandapotan, Ferry, Dopdon, Nova Simbolon, Yonathan P.H. yang telah memberikan kenangan yang luar biasa.

16. Senior di Formahkris, Kak Ivo, Kak Elsie, Kak Dede, Bang Tua, Bang Edo, Bang Revan, Bang Waldi, Bang Daniel, Bang Timothy, Bang Verdy, Bang Tommy, Kak Elfrida, Kak Sonya, Bang Rizal, Bang Saut, Bang Ricko, Bang Sanggam, Bang Yoga, Bang Yuri, Bang Abram, Bang Ivo, Bang Cio, Kak Ade Marbun, serta abang dan kakak lain yang tidak bisa disebutkan, terima kasih untuk persahabatan serta pelayanannya.

17. Teman-teman Formahkris Angkatan 2012, 2013, dan 2014, Christina Sidauruk, Ryan, Rio, Benny, Raymon, Anes, Meggy, Katherin, Elrenova, Helena, Innes, Kristu, Yosef, Lova, Edward, Dona, Vera, Cindy, Uthe,


(13)

Johan, Agustina Sagala, Firdaus, Ridho, Landoria, Fauyani, Febri, Fernando, Dabe, Wafernanda, Rico, Biaton, Darwin serta adik-adik lain yang tidak bisa disebutkan satu per satu, terima kasih untuk kekeluargaan yang diberikan dalam wadah pelayanan Formahkris.

18. Teman-teman Mahasiswa Fakultas Hukum yang lain Aisyah, Lia Nurjanah, Lia Aprilia, Natalia Katherine Sitompul, Miranti Dwi Saputri, Syeh, Ivan Savero serta teman-teman yang tidak dapat disebutkan satu persatu terimakasih untuk bantuan, kebersamaan, kekompakan, canda tawa selama mengerjakan tugas besar atau tugas harian, semoga selepas dari perkuliahan ini kita masih tetap jalin komunikasi yang baik, tetap semangat Viva Justicia Hukum Jaya.

19. Teman-teman di Komsel Atap, untuk Bang Marthin, Ko Andreas, Ko Steven, Timo, Ko Ferdi, Ko Yoshoa, Priska Nong, Cathrine Nathania terima kasih untuk doa, dukungan, canda tawa, dan kebersamaan yang diberikan untuk melayani Tuhan.

20. Teman-teman di Team Tamborine, Ci Eva, Geby Femine, Priska Nong, Cathrine, Friska Neng, Ci Dewi, Ci Fanny, Ci Nana, Bertha, Prince, Glory, Irena, Grace, Naomi, Jessica, Dewi, Ina, Devi, terima kasih untuk kebersamaannya yang telah diberikan dalam melayani Tuhan.

21. Teman-teman Kuliah Kerja Nyata (KKN), untuk Satria, Tama, Iksan, Rendri, Fizi, Prisca, Mariam Ona, Wita, Mariyana, Dewi, Mona, Mei terima kasih untuk kebersamaannya selama 40 (empatpuluh) hari.

22. Untuk Almamater Tercinta, Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah menjadi saksi bisu dari perjalanan ini hingga menuntunku menjadi


(14)

orang yang lebih dewasa dalam berfikir dan bertindak. Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Semoga Tuhan memberikan balasan atas bantuan dan dukungan yang telah diberikan kepada penulis dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk menambah wawasan keilmuan bagi pembaca pada umumnya dan bagi penulis pada khususnya.

Bandar Lampung, April 2015

Penulis,


(15)

DAFTAR ISI

Halaman

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 6

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian... 7

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 8

E. Sistematika Penulisan ... 12

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Efektivitas... 14

B. Visum Et Repertum... 15

1. PengertianVisum Et Repertum... 15

2. Jenis-JenisVisum Et Repertum... 17

C. Pembuktian dan Hukum Pembuktian ... 18

1. Pengertian Pembuktian ... 18

2. Pengertian Hukum Pembuktian ... 20

D. Pengertian Tindak Pidana Perkosaan ... 24

1. Pengertian Tindak Pidana... 24

2. Pengertian Perkosaan... 26

3. Jenis-Jenis Perkosaan ... 28

4. Dasar Hukum Tindak Pidana Perkosaan ... 29

III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 31

B. Sumber dan Jenis Data ... 31


(16)

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 33 E. Analisis Data ... 35

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Narasumber... 36 B. EfektivitasVisum Et Repertumdalam Pembuktian Tindak Pidana

Perkosaan... 38 C. Faktor-Faktor Penghambat dari EfektivitasVisum Et Repertumdalam

Pembuktian Tindak Pidana Perkosaan ... 51

V. PENUTUP

A. Simpulan... 62 B. Saran ... 63

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(17)

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Negara Republik Indonesia yang berdasarkan pada Pancasila menunjukkan sikap anti terhadap kejahatan yang di dalamnya terdapat ketentuan bagi warga negara untuk dapat berbuat dan bertindak sebagai manusia yang berbudi luhur, bertingkah laku baik, taat kepada ajaran agama, patuh pada hukum, dan bersikap adil terhadap manusia. Pada kenyataannya, ditengah masyarakat sekarang ini banyak yang menjadi penjahat dalam segala bentuk dan caranya untuk melakukan kejahatan terutama pada tubuh dan jiwa, seperti pembunuhan, penganiayaan, perkosaan, dan sebagainya. Saat ini tindak pidana perkosaan merupakan kejahatan yang cukup mendapat perhatian dan meresahkan di kalangan masyarakat, khususnya orang tua terhadap anak wanitanya karena selain dapat mengancam keselamatan anak-anak wanita tersebut, dapat pula mempengaruhi proses pertumbuhan ke arah kedewasaan seksual dini.

Tindak pidana perkosaan sebagaimana telah diketahui (yang dalam kenyataan lebih banyak menimpa kaum wanita, remaja, dan dewasa) merupakan perbuatan yang melanggar norma sosial yaitu kesopanan, agama, dan kesusilaan.1 Di Indonesia, sebagian besar tindak pidana perkosaan terjadi pada wanita, ada yang

1

Koesparmono Irsan, Hukum Perlindungan Anak, Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta, 2007, hlm. 7.


(18)

2

berpendapat bahwa wanita diperkosa karena penampilannya, seperti misalnya berpakaian minim sehingga dapat memancing seseorang untuk melakukan tindak pidana perkosaan. Sebenarnya tindak pidana perkosaan yang terjadi jauh lebih banyak daripada yang dilaporkan ke penyidik dan diberitakan oleh media massa. Kebanyakan kasus baru terbongkar setelah korban mengalami gejala fisik serius, seperti pendarahan pada dubur atau vagina. Banyak jalan terjadinya perkosaan, ada karena kebetulan bertemu, misalnya wanita itu meminta tumpangan kendaraan, sehingga pemberi tumpangan mendapat kesempatan untuk memperkosanya. Ada yang memang sudah kenal lama, bahkan telah berpacaran, yang pada kesempatan tertentu laki-laki itu dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa pacarnya untuk bersetubuh dengan dia, yang semula wanita itu masih mempertahankan keperawanannya.

Pada tindak pidana ini, walaupun beratnya ancaman sanksi pidana yang telah diatur di dalam KUHP tampaknya sudah tidak lagi terpikirkan oleh sipelaku. Tindak pidana perkosaan tidak hanya sulit dalam perumusannya saja, tetapi kesulitan utama yang sering muncul biasanya adalah soal pembuktian diakui atau tidak, baik ditingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan ataupun persidangan di pengadilan, sebab pembuktian tindak pidana perkosaan di pengadilan sangatlah tergantung pada sejauh mana penyidik dan penuntut umum mampu menunjukkan bukti-bukti yang menyatakan bahwa telah terjadi tindak pidana perkosaan. Kesulitan pembuktian tersebut juga timbul karena korban kejahatan tidak segera melaporkannya kepada penyidik yang umumnya dikarenakan dicekam rasa malu bahkan ada yang melaporkannya setelah berbulan-bulan dan dalam keadaan hamil. Cara mengungkap suatu kasus perkosaan pada tahap penyidikan akan


(19)

3

dilakukan serangkaian tindakan oleh penyidik untuk mendapatkan bukti-bukti yang terkait dengan tindak pidana yang terjadi.

Usaha-usaha dalam memperoleh bukti-bukti yang diperlukan guna kepentingan pemeriksaan suatu perkara pidana, seringkali para penegak hukum dihadapkan pada suatu masalah atau hal-hal tertentu yang tidak dapat diselesaikan sendiri olehnya dikarenakan masalah tersebut berada di luar kemampuan atau keahliannya. Bantuan seorang ahli sangat penting diperlukan dalam rangka mencari kebenaran materiil selengkap-lengkapnya bagi para penegak hukum tersebut. Berdasarkan ketentuan Pasal 133 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dinyatakan bahwa dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban luka, keracunan, ataupun mati yang diduga karena peristiwa tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan/atau ahli lainnya. Bukti tersebut berupa keterangan medis yang sah dan dapat dipertanggungjawabkan mengenai keadaan kekerasan.

Adanya peranan dokter untuk membantu penyidik dalam memberikan keterangan medis mengenai keadaan korban perkosaan merupakan suatu upaya untuk mendapatkan bukti atau tanda pada diri korban yang dapat menunjukkan bahwa telah benar terjadi suatu tindak pidana perkosaan. Keterangan dokter yang dimaksudkan tersebut dituangkan secara tertulis dalam bentuk surat hasil pemeriksaan medis yang disebut dengan visum et repertum.Visum bukanlah istilah hukum melainkan visum itu sendiri merupakan istilah Kedokteran. Dapat dimaklumi bahwa masyarakat pada umumnya tidak memahami atau mengetahui


(20)

4

apa sebenarnya pengertian dan sampai sejauh mana kegunaan visum itu dalam tindak pidana perkosaan. Pengertian visum et repertum dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak ditemukan secara tegas, namun sebagai pedoman dapat dijelaskan bahwa pengertian visum et repertum adalah:

Visum et repertum adalah laporan tertulis untuk peradilan yang dibuat oleh

dokter berdasarkan sumpah yang diucapkan pada waktu menerima jabatan dokter, memuat pemberitaan tentang segala hal (fakta) yang dilihat dan ditemukan pada benda bukti berupa tubuh manusia yang diperiksa dengan pengetahuan dan keterampilan yang sebaik-sebaiknya dan pendapat mengenai apa yang ditemukan sepanjang pemeriksaan tersebut”.2

KUHAP tidak menjelaskan istilah maupun pengertian dari visum et repertum tetapi yang dapat ditemukan adalah keterangan ahli yaitu apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan, baik tulisan dalam bentuk laporan maupun lisan yang diberikan langsung dipersidangan dimana keterangan ahli yang diberikan dalam laporan itu telah mencakup di dalamnya visum et repertum. Visum et

repertum kemudian digunakan sebagai bukti yang sah secara hukum mengenai

keadaan terakhir dari korban penganiayaan, perkosaan, maupun korban yang berakibat kematian dan dinyatakan oleh dokter setelah memeriksa korban.

Visum et repertum dikategorikan sebagai alat bukti surat sebagaimana tertulis di

dalam Pasal 187 huruf c KUHAP adalah sama dengan yang dimaksud dalam penjelasan Pasal 186 KUHAP. Jika dikaitkan dengan Pasal 186 KUHAP, maka alat bukti surat dapat berupa keterangan ahli yang dituangkan dalam bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah di waktu ia menerima jabatan atau

2

Amri Amir, Rangkaian Ilmu Kedokteran Forensik, Edisi Kedua, Medan: Ramadhan, 2005, hlm. 207.


(21)

5

pekerjaan. Menurut ketentuan Hukum Acara Pidana di Indonesia, mengenai permintaan bantuan tenaga ahli diatur dan disebutkan di dalam KUHAP. Permintaan bantuan tenaga ahli pada tahap penyidikan disebutkan pada Pasal 120 ayat (1). Permintaan bantuan keterangan ahli pada tahap pemeriksaan persidangan, terdapat pada Pasal 180 ayat (1). Mengenai keterangan ahli sebagaimana disebutkan dalam kedua pasal KUHAP tersebut, diberikan pengertiannya pada Pasal 1 butir ke-28 KUHAP, yang menentukan: “Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana

guna kepentingan pemeriksaan”.

Seorang hakim dalam menerapkan Pasal 285 KUHP terhadap pelaku perkosaan tidak terlepas dari peranan visum et repertum yang dikeluarkan oleh dokter, karena dapat menjadi dasar bagi hakim untuk menentukan berat ringannya hukuman yang akan dijatuhkan terhadap si pelaku. Tujuan visum et repertum adalah untuk memberikan kepada hakim (Majelis) suatu kenyataan akan fakta-fakta dari bukti-bukti tersebut atas semua keadaan atau hal sebagaimana tertuang dalam bagian pemberitaan agar hakim dapat mengambil putusannya dengan tepat atas dasar kenyataan atau fakta-fakta tersebut, sehingga dapat menjadi pendukung atas keyakinan hakim.3

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, penulis tertarik untuk melakukan

penelitian dengan judul : “Efektifitas Visum Et Repertum dalam Pembuktian Tindak Pidana Perkosaan”.

3

Soeparmono, Keterangan Ahli dan Visum Et Repertum dalam Aspek Hukum Acara Pidana, Bandung: Mandar Maju, 2002, hlm.100.


(22)

6

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Masalah yang akan diteliti oleh penulis tersebut agar dapat mempunyai penafsiran yang jelas, maka perlu dirumuskan ke dalam suatu rumusan masalah, dapat dipecahkan secara sistematis, dan dapat memberikan gambaran yang jelas. Berdasarkan uraian dalam identifikasi dan latar belakang masalah, maka perumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut:

a. Bagaimanakah efektivitas visum et repertum dalam pembuktian tindak pidana perkosaan?

b. Apakah yang menjadi faktor penghambat dari efektivitas visum et repertum dalam pembuktian tindak pidana perkosaan?

2. Ruang Lingkup

Penelitian ini termasuk ke dalam ruang lingkup kajian hukum pidana khususnya mengenai efektifitas visum et repertum dalam pembuktian tindak pidana perkosaan yang diperlukan dalam proses pembuktian di persidangan. Ruang lingkup penelitian ini dilakukan di wilayah hukum Pengadilan Negeri Tanjung Karang dengan mewawancarai sejumlah narasumber yaitu, Polri, Jaksa, Hakim, dan Akademisi Fakultas Hukum Universitas Lampung pada tahun 2014.


(23)

7

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pada pokok bahasan di atas maka tujuan penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui efektivitas visum et repertum dalam pembuktian tindak pidana perkosaan.

b. Untuk mengetahui faktor-faktor enghambat dari efektivitas visum et repertum dalam pembuktian tindak pidana perkosaan.

2. Kegunaan Penelitian

a. Kegunaan Teoritis

Hasil penelitian ini adalah untuk memberi pengetahuan dibidang hukum pidana khususnya mengenai pemahaman teoritis tentang Ilmu Kedokteran Forensik terhadap tindak pidana perkosaan.

b. Kegunaan Praktis

1. Untuk memberikan pengetahuan dan informasi yang bermanfaat bagi masyarakat mengenai efektifitas visum et repertum dalam pembuktian tindak pidana perkosaan.

2. Untuk mengetahui perkembangan dari ilmu kedokteran forensik dimana pada saat ini semakin dibutuhkan ahli-ahli bagian forensik dalam membantu meringankan tugas penyidik dalam memberikan keterangan medis yang dituangkan secara tertulis dalam bentuk surat hasil pemeriksaan medis yang disebut dengan visum et repertum.


(24)

8

3. Untuk dipergunakan bagi para akademisi dan pihak-pihak yang berkepentingan sebagai pedoman dalam melakukan proses beracara atau penuntutan hukum dalam pelaksanaan penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana perkosaan.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep khusus yang merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti.4

a. Teori Pembuktian

Pembuktian merupakan tahap yang paling menentukan dalam proses persidangan pidana mengingat pada tahap pembuktian tersebut akan ditentukan terbukti tidaknya seorang terdakwa melakukan perbuatan pidana sebagaimana yang didakwakan penuntut umum. Pembuktian tersebut memerlukan alat-alat bukti yang sah menurut hukum, dalam Pasal 184 KUHAP dijelaskan bahwa alat bukti yang sah adalah:

a. Keterangan Saksi; b. Keterangan Ahli; c. Surat;

d. Petunjuk;

4


(25)

9

e. Keterangan Terdakwa.

Teori-teori pembuktian yang dikemukakan oleh Andi Hamzah sebagai berikut:

a. Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Secara Positif (Positief wettelijke Bewijs Theorie Sistem)

Sistem pembuktian berdasarkan alat bukti menurut undang-undang secara positif, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali.

b. Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Secara Negatif (Negatief wettelijke Bewijs Theorie Sistem)

Pembuktian yang selain menggunakan alat bukti yang dicantumkan di dalam undang-undang (KUHAP) juga menggunakan keyakinan hakim yang diperoleh dari alat bukti tersebut.

c. Teori Pembuktian Hakim Melulu (Conviction Intime Teori)

Menurut teori ini dikemukakan bahwa alat bukti berupa pengakuan terdakwa sendiripun tidak selalu membuktikan kebenaran. Pengakuanpun kadang-kadang tidak menjamin terdakwa benar-benar telah melakukan perbuatan yang didakwakan. Pembuktian ini dapat diartikan sebagai pembuktian berdasarkan keyakinan hakim belaka.

d. Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Atas Alasan yang Logis

(Laconviction Raisonnee)

Menurut teori ini, hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasarkan keyakinannya, keyakinan yang mana didasarkan pada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan yang berlandaskan kepada peraturan-peraturan pembuktian tertentu. Teori ini disebut juga teori pembuktian bebas karena hakim bebas menyebutkan alasan-alasan keyakinannya.5

Membahas permasalahan dalam skripsi ini, penulis mengadakan pendekatan-pendekatan dengan teori sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif, sistem pembuktian negatief wettelijk terletak antara dua sistem berhadap-hadapan, yaitu antara sistem pembuktian positif wettelijk dan sistem pembuktian

conviction intime. Artinya hakim hanya boleh menyatakan terdakwa bersalah

melakukan tindak pidana yang didakwakan apabila ia yakin dan keyakinannya tersebut didasarkan kepada alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.

5

Andi Hamzah, 2008, Hukum Acara Pidana Indonesia (Edisi Kedua), SInar Grafika, Jakarta, hlm. 251-254.


(26)

10

Sistem negatif di dalamnya mengandung dua hal yang merupakan syarat untuk membuktikan kesalahan terdakwa, yaitu:

a. Wettelijk, yaitu adanya alat bukti yang sah yang telah ditetapkan oleh

undang-undang.

b. Negatief, yaitu adanya keyakinan (nurani) dari hakim, yakni berdasarkan

bukti-bukti tersebut hakim meyakini kesalahan terdakwa tersebut didasarkan kepada alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.

Sistem pembuktian negatif diperkuat oleh prinsip “kebebasan kekuasaan kehakiman”.

b. Teori Faktor-Faktor Penghambat

Teori yang digunakan dalam membahas factor-faktor penghambat dalam penegakan hukum menurut Soerjono Soekanto yaitu:

a. Faktor hukumnya sendiri

Terdapat beberapa asas dalam berlakunya undang-undang yang tujuannya adalah agar undang-undang tersebut mempunyai dampak positif. Artinya, agar undang-undang tersebut mencapai tujuannya secara efektif di dalam kehidupan masyarakat.

b. Faktor penegak hukum

Penegak hukum mempunyai kedudukan tertentu lazimnya dinamakan pemegang peranan (role occupan). Suatu hak sebenarnya wewenang untuk berbuat atau tidak berbuat, sedangkan kewajiban adalah beban atau tugas. c. Faktor sarana atau fasilitas

Penegak hukum tidak mungkin berlangsung lancar tanpa adanya faktor sarana atau fasilitas. Sarana dan fasilitas tersebut antara lain mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup dan seharusnya.

d. Faktor masyarakat

Penegak hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian di dalam masyarakat. Oleh karena itu, dipandang dari sudut tertentu maka masyarakat dapat mempengaruhi penegakan hukum tersebut.


(27)

11

e. Faktor kebudayaan

Kebudayaan (sistem) hukum pada dasarnya mencakup nilai nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik (sehingga dianut) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari).6

2. Konseptual

Konseptual merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti yang berkaitan dengan istilah yang teliti.7 Mempertajam dan merumuskan suatu definisi sesuai dengan konsep judul maka perlu adanya suatu definisi untuk dijelaskan dalam penulisan ini.

Adapun pengertian dasar dan istilah-istilah yang akan dipergunakan dalam penulisan penelitian ini sebagai berikut:

a. Efektivitas berasal dari kata efektif yang mengandung pengertian dicapainya keberhasilan daam mencapai tujuan yang telah ditetapkan.8

b. Visum et repertum adalah laporan tertulis untuk peradilan yang dibuat oleh

dokter berdasarkan sumpah yang diucapkan pada waktu menerima jabatan dokter, memuat pemberitaan tentang segala hal (fakta) yang dilihat dan ditemukan pada benda bukti berupa tubuh manusia yang diperiksa dengan pengetahuan dan keterampilan yang sebaik-sebaiknya dan pendapat mengenai apa yang ditemukan sepanjang pemeriksaan tersebut.9

6

Soerjono Soekanto, Penegakan Hukum. Bandung: Bina Cipta, 1983, hlm.34-35, 40.

7

Soerjono Soekanto, Op.Cit., hlm. 132.

8

http://dilihatya.com/, diunduh pada tanggal 28-01-2015, 18:30.

9


(28)

12

c. Pembuktian adalah suatu perbuatan atau tindakan yang bertujuan untuk meyakinkan hakim tentang kebenaran dari suatu keadaan atau peristiwa berdasarkan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.10

d. Tindak Pidana adalah perbuatan yang dilakukan setiap orang/subjek hukum yang berupa kesalahan dan bersifat melanggar hukum ataupun tidak sesuai dengan perundang-undangan.11

e. Perkosaan adalah suatu usaha melampiaskan nafsu seksual oleh seseorang laki-laki terhadap seorang perempuan dengan cara menurut moral dan atau hukum yang berlaku melanggar.12

E. Sistematika Penulisan

Memudahkan pemahaman pembaca terhadap penulisan dalam penelitian ini secara keseluruhan, maka disajikan sistematika penulisan sebagai berikut:

I. PENDAHULUAN

Bab ini menguraikan secara garis besar mengenai latar belakang, permasalahan dan ruang lingkup, tujuan dan kegunaan penulisan, kerangka teoritis dan konseptual, serta sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisi telaah kepustakaan seperti: pengertian efektivitas, pengertian visum

et repertum dan jenis-jenis visum et repertum, pengertian pembuktian dan hukum

10

A. Karim Nasution, Masalah Hukum Pembuktian dalam Proses Pidana, Jakarta: Direktorat Kejaksaan Agung, 1976, hlm.26.

11

Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana. Bandung: Alumni, 1986, hlm. 25.

12Ibid


(29)

13

pembuktian, pengertian tindak pidana, pengertian perkosaan, jenis-jenis perkosaan, dan dasar hukum tindak pidana perkosaan.

III. METODE PENELITIAN

Bab ini membahas tentang langkah-langkah atau cara-cara yang dipakai dalam rangka pendekatan masalah, serta tentang uraian tentang sumber-sumber data, pengumpulan data dan analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini merupakan hasil dari penelitian tentang berbagai hal yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini yang akan dijelaskan tentang efektivitas visum

et repertum dalam pembuktian terhadap tindak pidana perkosaan.

V. PENUTUP

Bab ini memuat kesimpulan dari kajian penelitian yang menjadi fokus bahasan mengenai efektivitas visum et repertum dalam pembuktian tindak pidana perkosaan dan saran-saran penulis dalam kaitannya dengan masalah yang dibahas.


(30)

14

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Efektivitas

Efektivitas berasal dari kata efektif yang mengandung pengertian dicapainya keberhasilan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan.13 Disebut efektif apabila tercapai tujuan ataupun sasaran seperti yang teleh ditentukan. Efektivitas selalu terkait dengan hubungan antara hasil yang diharapkan dengan hasil yang sesungguhnya dicapai. Efektivitas merupakan daya pesan untuk mempengaruhi atau tingkat kemampuan pesan-pesan untuk mempengaruhi, efektivitas bisa diartikan sebagai suatu pengukuran akan tercapainya tujuan yang telah direncanakan sebelumnya secara matang agar hasil yang diharapkan dapat berjalan dengan baik. Kata efektivitas yaitu keefektifan diartikan sebagai seseorang yang ditugasi untuk memantau.14

Efektivitas merupakan suatu ukuran yang memberikan gambaran seberapa jauh target dapat tercapai. Hal ini menyatakan bahwa efektivitas merupakan suatu ukuran yang memberikan gambaran seberapa jauh target yang telah ditetapkan sebelumnya oleh lembaga atau organisasi dapat tercapai. Efektivitas sangat penting peranannya di dalam setiap lembaga atau organisasi dan berguna untuk melihat perkembangan dan kemajuan yang dicapai oleh suatu lembaga atau organisasi itu sendiri. Setiap organisasi atau lembaga di dalam kegiatannya

13

http://dilihatya.com/, diunduh pada tanggal 28-01-2015, 18:30.

14


(31)

15

menginginkan adanya pencapaian tujuan. Pengertian efektivitas secara umum menunjukkan sampai seberapa jauh tercapainya suatu tujuan yang terlebih dahulu ditentukan.

B. Visum Et Repertum

1. Pengertian Visum Et Repertum

Visum et repertum adalah istilah yang dikenal dalam Ilmu Kedokteran Forensik,

biasanya dikenal dengan nama “visum”. Visum berasal dari bahasa Latin, bentuk tunggalnya adalah “visa”. Dipandang dari arti etimologi atau tata bahasa, kata

“visum” atau “visa” berarti tanda melihat atau melihat yang artinya penandatanganan dari barang bukti tentang segala sesuatu hal yang ditemukan, disetujui, dan disahkan, sedangkan “repertum” berarti melapor yang artinya apa yang telah didapat dari pemeriksaan dokter terhadap korban.15

Secara etimologi visum et repertum adalah apa yang dilihat dan diketemukan. KUHAP tidak memberikan pengaturan secara eksplisit mengenai pengertian

visum et repertum. Satu-satunya ketentuan perundangan yang memberikan

pengertian mengenai visum et repertum yaitu Staatsblad Tahun 1937 Nomor 350. Disebutkan dalam ketentuan Staatsblad tersebut bahwa: “Visum et repertum adalah laporan tertulis untuk kepentingan peradilan (pro yustisia) atas permintaan yang berwenang, yang dibuat oleh dokter, terhadap segala sesuatu yang dilihat dan ditemukan pada pemeriksaan barang bukti, berdasarkan sumpah pada waktu menerima jabatan, serta berdasarkan pengetahuannya yang sebaik-baiknya”.

15


(32)

16

R. Atang Ranoemihardja menjelaskan bahwa Ilmu Kedokteran Kehakiman atau Ilmu Kedokteran Forensik adalah ilmu yang menggunakan pengetahuan Ilmu Kedokteran untuk membantu peradilan baik dalam perkara pidana maupun dalam perkara lain (perdata). Tujuan serta kewajiban Ilmu Kedokteran Kehakiman adalah membantu kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman dalam menghadapi kasus-kasus perkara yang hanya dapat dipecahkan dengan ilmu pengetahuan kedokteran.16 Abdul Mun’im Idris memberikan pengertian visum et repertum adalah suatu laporan tertulis dari dokter yang telah disumpah tentang apa yang dilihat dan ditemukan pada barang bukti yang diperiksanya serta memuat pula kesimpulan dari pemeriksaan tersebut guna kepentingan peradilan.17

Pemakaian istilah pada berbagai visum et repertum kadang berlainan, namun maksudnya dapat dipahami, seperti: visum et repertum pertama bagi korban hidup, yang terjadi oleh karena atau diakibatkan benda tumpul, benda tajam, bahan kimia atau racun, obat pembasmi cair (basah, kering), tembakan senjata api dari jarak dekat atau jauh, tenggelam, mencoba bunuh diri atau lainnya, sehingga perlu diobati ataupun dirawat inap dirumah sakit. Hal dibuatkannya visum et

repertum akhir dari suatu hal atau peristiwa dan itu hanya boleh dibuat oleh

dokter atau dokter ahli yang mengobati atau menanganinya semula.

2. Jenis-Jenis Visum Et Repertum

16

R. Atang Ranoemihardja, Ilmu Kedokteran Kehakiman (Forensic Science), Bandung: Tarsito, Edisi Kedua, 1991, hlm. 18.

17

Abdul Mun’im Idris, Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik, Jakarta: Binarupa Aksara, 1997, hlm.


(33)

17

Sebagai suatu hasil pemeriksaan dokter terhadap barang bukti yang diperuntukkan untuk kepentingan peradilan, visum et repertum digolongkan menurut obyek yang diperiksa sebagai berikut:

a. Visum et repertum untuk orang hidup

Jenis ini dibedakan dalam:

1. Visum et repertum biasa, visum et repertum ini diberikan kepada pihak

peminta (penyidik) untuk korban yang tidak memerlukan perawatan lebih lanjut.

1. Visum et repertum sementara, visum et repertum sementara diberikan

apabila korban memerlukan perawatan lebih lanjut karena belum dapat membuat diagnosis dan derajat lukanya. Korban tersebut sembuh, maka dibuatkan visum et repertum lanjutan.

2. Visum et repertum lanjutan, dalam hal ini korban tidak memerlukan

perawatan lebih lanjut karena sudah sembuh, pindah dirawat dokter lain, atau meninggal dunia.

b. Visum et repertum untuk orang mati (jenazah)

Pada pembuatan visum et repertum ini, dalam hal korban mati maka penyidik mengajukan permintaan tertulis kepada pihak Kedokteran Forensik untuk dilakukan bedah mayat (outopsi).

1. Visum et repertum Tempat Kejadian Perkara (TKP). Visum ini dibuat setelah

dokter selesai melaksanakan pemeriksaan di TKP.

2. Visum et repertum penggalian jenazah. Visum ini dibuat setelah dokter


(34)

18

c. Visum et repertum kejahatan susila

Visum ini dibuat untuk kepentingan peradilan, dokter berkewajiban untuk

membuktikan adanya persetubuhan dan adanya kekerasan yang diancam hukuman oleh KUHP.

d. Visum et repertum psikiatri

Visum et repertum psikiatri yaitu visum pada terdakwa yang pada saat

pemeriksaan di sidang pengadilan menunjukkan gejala-gejala penyakit jiwa.18

Keempat jenis visum tersebut dapat dibuat oleh dokter yang mampu, namun sebaiknya untuk visum et repertum psikiarti dibuat oleh dokter spesialis psikiarti yang bekerja dirumah sakit atau rumah sakit umum.

C. Pembuktian dan Hukum Pembuktian 1. Pengertian Pembuktian

Pembuktian berasal dari kata bukti yang artinya adalah usaha untuk membuktikan. Kata membuktikan diartikan sebagai memperlihatkan bukti atau meyakinkan dengan bukti, sedangkan kata pembuktian diartikan sebagai proses, perbuatan, cara membuktikan, usaha menunjukkan benar atau salahnya si terdakwa dalam sidang pengadilan.19 Pembuktian dalam KUHAP dapat diartikan sebagai suatu upaya untuk mendapatkan keterangan-keterangan melalui alat-alat bukti dan barang bukti guna memperoleh suatu keyakinan atas benar tidaknya perbuatan pidana yang didakwakan serta dapat mengetahui ada tidaknya kesalahan pada diri

18

http//asiamaya.com/konsultasi_hukum/pidana/vis.htm, diunduh pada 25-10-2014, 11:23.

19

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2007, hlm. 133.


(35)

19

terdakwa.20 Menurut Bambang Poernomo pembuktian adalah suatu pembuktian menurut hukum pada dasarnya merupakan proses untuk menentukan subtansi atau hakekat adanya fakta-fakta yang diperoleh melalui ukuran yang layak dengan pikiran yang logis terhadap fakta-fakta pada masa lalu yang tidak terang menjadi fakta-fakta yang terang dalam hubungannya dengan perkara pidana.21 Berdasarkan praktik peradilan pidana, dalam perkembangannya dikenal empat macam sistem atau teori pembuktian, antara lain:

a. Positief wettelijke Bewijs Theorie Sistem ini adalah sistem pembuktian

berdasarkan alat bukti menurut undang-undang secara positif. Dikatakan secara positif karena hanya didasarkan kepada undang-undang saja. Artinya jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut oleh undang-undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali.

b. Negatief wettelijke Bewijs Theorie Sistem atau teori pembuktian yang

berdasar undang-undang secara negatif adalah pembuktian yang selain menggunakan alat bukti yang dicantumkan didalam undang-undang juga menggunakan keyakinan hakim.

Walaupun menggunakan keyakinan hakim, namun keyakinan tersebut terbatas pada alat bukti yang tercantum dalam undang-undang. Dengan menggunakan alat bukti yang tercantum dalam undang-undang dan keyakinan hakim maka teori pembuktian ini sering disebut dengan pembuktian berganda.

c. Conviction Intime Teori, pembuktian ini dapat diartikan sebagai

pembuktian berdasarkan keyakinan hakim. Pada sistem ini lebih memberikan kebebasan kepada hakim untuk menjatuhkan suatu putusan. Dengan sistem ini pemidanaan dimungkinkan tanpa didasarkan kepada alat-alat bukti dalam undang-undang. Artinya adalah jika dalam pertimbangan putusan hakim telah menganggap terbukti suatu perbuatan sesuai dengan keyakinannya, maka terdakwa dapat dijatuhi putusan. Keyakinan Hakim pada sistem ini adalah menentukan dan mengabaikan hal-hal lainnya jika tidak sesuai atau bertentangan dengan keyakinan hakim tersebut.

d. Laconviction Raisonnee, menurut teori ini seorang hakim dapat

memutuskan seseorang bersalah berdasarkan keyakinannya, keyakinan mana didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan yang berlandaskan kepada peraturan-peraturan pembuktian tertentu. Jadi, putusan hakim dijatuhkan dengan suatu motivasi. Sistem

20

A. Karim Naasution, Op.Cit., hlm.77. 21

Bambang Poernomo, Orientasi Hukum Acara Pidana Indonesia. Yogyakarta: Amarta Buku, 1999, hlm.38.


(36)

20

pembuktian ini disebut juga pembuktian bebas, karena hakim bebas untuk menyebut alasan-alasan keyakinannya.22

2. Pengertian Hukum Pembuktian

Hukum pembuktian adalah merupakan sebagian dari Hukum Acara Pidana yang mengatur macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum, sistem yang dianut dalam pembuktian syarat-syarat dan tata cara mengajukan bukti tersebut serta kewenangan hakim untuk menerima, menolak, dan menilai suatu pembuktian.23 Sumber-sumber hukum pembuktian adalah:

a. Undang-Undang b. Doktrin atau ajaran c. Yurisprudensi24

Pembuktian adalah suatu perbuatan atau tindakan yang bertujuan untuk meyakinkan hakim tentang kebenaran dari suatu keadaan atau peristiwa berdasarkan alat-alat bukti yang sah menurut Undang-Undang.25 Pembuktian menurut Yahya Harahap adalah suatu rangkaian tata tertib yang harus diindahkan dalam melangsungkan pertarungan dimuka hakim, antara kedua belah pihak yang sedang mencari keadilan.26 Hukum pembuktian menurut Bambang Poernomo adalah merupakan keseluruhan aturan atau peraturan perundang-undangan mengenai setiap kejadian masa lalu yang relevan dengan persangkaan terhadap

22

Andi Hamzah, 2008, Hukum Acara Pidana Indonesia (Edisi Kedua), Sinar Grafika, Jakarta, hlm.

251-254.

23

Hari Sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana, Bandung: Mandar Maju, 2007, hlm.10.

24

Ibid, hlm.10.

25

A. Karim Nasution, Op.Cit., hlm.26.

26

Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, hlm.52.


(37)

21

orang yang diduga melakukan perbuatan pidana dan pengesahan setiap barang bukti menurut ketentuan hukum yang berlaku untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana.27

Berdasarkan pengertian tersebut, maka dapat dijelaskan bahwa hukum pembuktian merupakan seperangkat ketentuan yang mengatur mengenai proses pembuktian, yang mana proses tersebut harus dilakukan di depan sidang pengadilan. Alat bukti yang sah menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP adalah:

a. Keterangan saksi

Saksi adalah orang yang dapat memberi keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri (Pasal 1 butir 27 KUHAP). Keterangan saksi adalah salah satu bukti dalam peradilan pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu (Pasal 1 butir 27 KUHAP).

b. Keterangan ahli

Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hak yang diperlukan untuk membuat terang suatu

27

Bambang Poernomo, Pokok-Pokok Tata Cara Peradilan Pidana Indonesia dalam Undang-Undang RI No. 8 Tahun 1981, Bandung: Liberty Cet. XII, 2004, hlm. 38.


(38)

22

perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan (Pasal 1 butir 28 KUHAP). Berdasarkan keterangan tersebut, maka lebih jelas lagi bahwa keterangan ahli tidak dituntut suatu pendidikan formal tertentu tetapi juga meliputi seorang yang ahli dan berpengalaman dalam suatu bidang tanpa pendidikan khusus. Keterangan ahli mempunyai 2 (dua) kemungkinan, yaitu bisa sebagai alat bukti keterangan ahli dan alat bukti surat.

c. Surat

Surat adalah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian. Surat menurut Pasal 187 KUHAP adalah berita acara, surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan, surat keterangan dari seorang ahli, dan surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.

Terkait dengan penjelasan Pasal 186 KUHAP, maka alat bukti surat dapat berupa keterangan ahli yang dituangkan dalam bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah di waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan. Laporan tersebut itu mencakup di dalamnya visum et repertum, yang sebenarnya telah ditentukan sebagai alat bukti yang sah dalam Staatsblad 1937-350. Andi Hamzah berpendapat bahwa surat di bawah tangan masih


(39)

23

mempunyai nilai jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.28

d. Petunjuk

Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya (Pasal 188 ayat (1) KUHAP). Berbeda dengan alat bukti yang lain, yakni keterangan saksi, keterangan ahli, surat, dan keterangan terdakwa maka alat bukti petunjuk diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa.

e. Keterangan terdakwa

Terdakwa ialah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa, dan diadili di sidang pengadilan (Pasal 1 butir 15 KUHAP). Terdakwa adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana (Pasal 1 butir 14 KUHAP). Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.

Pasal 183 KUHAP menyatakan bahwa pemidanaan dapat dijatuhkan hakim apabila:

a. Terdapat sedikitnya 2 (dua) alat bukti yang sah.

28


(40)

24

b. Dua alat bukti tersebut menimbulkan keyakinan hakim tentang telah terjadinya perbuatan pidana.

D. Tindak Pidana Perkosaan 1. Pengertian Tindak Pidana

Tindak pidana adalah perbuatan yang dilakukan setiap orang/subjek hukum yang berupa kesalahan dan bersifat melanggar hukum ataupun tidak sesuai dengan perundang-undangan.29 Berikut adalah beberapa pendapat para sarjana mengenai pengertian dari tindak pidana, yaitu:

a. Pompe

Pengertian tindak pidana menurut Pompe adalah sebagai berikut:

1. Definisi menurut teori adalah suatu pelanggaran terhadap norma yang dilakukan karena kesalahan si pelanggar dan diancam dengan pidana unuk mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum. 2. Definisi menurut hukum positif adalah suatu kejadian (feit) yang oleh

peraturan undang-undang dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum.30

b. Vos

Tindak pidana adalah suatu kelakuan manusia diancam pidana oleh peraturan perundang-undang, jadi suatu kelakuan yang pada umumnya dilarang dengan ancaman pidana.31

29

Sudarto, Loc.cit.

30

Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana,Jakarta: Ghalia Indonesia, hlm. 86.

31


(41)

25

c. Simons

Tindak pidana adalah suatu kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab.32

d. Van Hamel

Menurut Van Hamel, pengertian tindak pidana merupakan kelakuan orang yang dirumuskan dalam wet (undang-undang) yang bersifat melawan hukum dan patut dipidana serta yang dilakukan dengan kesalahan.33

e. Moeljatno

Tindak pidana merupakan perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa yang melanggar larangan tersebut.34

f. Wirjono Prodjodikoro

Tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukum pidana.35

Berdasarkan pengertian yang telah dikemukakan beberapa sarjana tersebut, maka dapat diketahui bahwa tindak pidana adalah kelakuan (handeling) dari seseorang yang diancam dengan pidana, bersifat melawan hukum, berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab.

32

Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara, 1987, hlm. 56.

33

Ibid.

34

Ibid, hlm. 54.

35


(42)

26

2. Pengertian Perkosaan

Perkosaan adalah suatu usaha melampiaskan nafsu seksual oleh seseorang laki-laki terhadap seorang perempuan dengan cara menurut moral dan/atau hukum yang berlaku melanggar.36 Pengertian perkosaan di dalam KUHP, tertuang dalam pasal 285 yang menentukan “barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita yang bukan isterinya bersetubuh dengan dia, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”.

Menurut pasal tersebut dapat dijelaskan bahwa:

a. Korban perkosaan harus seorang wanita, tanpa klasifikasi umur yang signifikan. Seharusnya wanita dapat dibedakan atau dikategorikan sebagai berikut:

1. Wanita belum dewasa yang masih perawan 2. Wanita dewasa yang masih perawan 3. Wanita yang sudah tidak perawan lagi 4. Wanita yang masih sedang bersuami37

b. Korban mengalami pemaksaan bersetubuh berupa kekerasan atau ancaman kekerasan. Ini berarti tidak ada persetujuan dari pihak korban mengenai niat dan tindakan perlakuan pelaku.

Perkembangan yang semakin maju dan meningkat pesat ini, dalam hal ini muncul banyak penyimpangan khususnya perkosaan seperti bentuk pemaksaan

36

Sudarto, Loc.cit. 37

Laden Marpaung, Kejahatan terhadap Kesusilaan dan Masalah Prevensinya. Cet. 2,Jakarta: Sinar Grafika, 2004, hlm. 50.


(43)

27

persetubuhan yang dimana bukan vagina (alat kelamin wanita) yang menjadi target dalam perkosaan akan tetapi anus atau dubur (pembuangan kotoran manusia) dapat menjadi target dari perkosaan yang antara lain sebagai berikut:

a. Perbuatan tidak hanya bersetubuh (memasukkan alat kelamin kedalam

vagina), akan tetapi juga :

1. Memasukkan alat kelamin kedalam anus atau mulut

2. Memasukkan suatu benda (bukan bagian tubuh laki-laki) kedalam

vagina atau mulut wanita.

b. Caranya tidak hanya dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, tetapi juga dengan cara apapun diluar kehendak atau persetujuan korban.

c. Objeknya tidak hanya wanita dewasa yang sadar, tetapi wanita yang tidak berdaya atau pingsan dan di bawah umur, juga tidak hanya terdapat wanita yang tidak setuju (di luar kehendaknya), tetapi juga terhadap wanita yang memberikan persetujuan karena dibawah ancaman, karena kekeliruan, kesesatan, penipuan atau karena dibawah umur.38

Menurut R. Sugandhi, yang dimaksud dengan perkosaan adalah seorang pria yang memaksa pada seorang wanita yang bukan isterinya untuk melakukan persetubuhan dengannya dengan ancaman kekerasan, yang mana diharuskan kemaluan pria telah masuk kedalam lubang kemaluan seorang wanita kemudian mengeluarkan air mani. P.A.F. Lamintang dan Djisman Samosir berpendapat bahwa perkosaan adalah perbuatan seseorang yang dengan kekerasan memaksa seorang wanita untuk melakukan persetubuhan diluar

38


(44)

28

ikatan perkawinan dengan dirinya.39 Perkosaan merupakan suatu tindak kejahatan yang pada umumya diatur dalam Pasal 285 KUHP, unsur-unsur yang terkandung dalam pasal tersebut antara lain sebagai berikut:

a. “Barang siapa” merupakan suatu istilah orang yang melakukan.

b. “Dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan” yang artinya melakukan kekuatan badan, dalam Pasal 89 KUHP disamakan dengan menggunakan kekerasan yaitu membuat orang menjadi pingsan atau tidak berdaya.

c. “Memaksa seorangwanita yang bukan isterinya bersetubuh dengan dia” yang artinya seseorang wanita yang bukan isterinya mendapatkan pemaksaan bersetubuh diluar ikatan perkawinan dari seorang laki-laki.

3. Jenis-Jenis Perkosaan

Jenis-jenis perkosaan yang dapat terjadi dalam masyarakat menurut Kalyanamitra dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

a. Sadistic rape

Perkosaan sadistic, artinya pada tipe ini seksualitas dan agresif berpadu dalam bentuk yang merusak. Pelaku perkosaan telah nampak menikmati kesenangan erotik bukan melalui hubungan seksnya, melainkan melalui serangan yang mengerikan atau alat kelamin dan tubuh korban.

b. Angea rape

Yakni penganiayaan seksual yang bercirikan seksualitas menjadi sarana untuk menyatakan dan melampiaskan perasaan geram dan marah yang tertahan. Disini tubuh korban seakan-akan merupakan objek terhadap siapa pelaku yang memproyeksikan pemecahan atas frutasi-frutasi, kelemahan, dan kekecewaan hidupnya.

c. Dononation rape

Yakni suatu perkosaan yang terjadi seketika pelaku mencoba untuk gigih atas kekuasaan dan superioritas terhadap korban. Tujuannya adalah penaklukan seksual, pelaku menyakiti korban namun tetep memiliki keinginan berhubungan seksual.

39

Abdul Wahid dan M. Irfan, Perlindungan terhadap Korban Kekerasan Seksual(Advokasi atas Hak Asasi Perempuan), Bandung: Refika Aditama, 2001, hlm.41.


(45)

29

d. Seduktive rape

Suatu perkosaan yang terjadi pada situasi-situasi yang merangsang, yang tercipta oleh kedua belah pihak. Pada mulanya korban memutuskan bahwa keintiman personal harus dibatasi tidak sampai sejauh kesenggaman. Pelaku pada umumnya mempunyai keyakinan membutuhkan paksaan, oleh karena tanpa itu tak mempunyai rasa bersalah yang menyangkut seks.

e. Victim precipitatied rape

Yakni perkosaan yang terjadi (berlangsung) dengn menempatkan korban sebagai pencetusnya.

f. Exploitation rape

Perkosaan yang menunjukkan bahwa pada setiap kesempatan melakukan hubungan seksual yang diperoleh laki-laki dengan mengambil keuntungan yang berlawanan dengan posisi wanita yang bergantung padanya secara ekonomis dan sosial. Misalnya, istri yang diperkosa suaminya atau pembantu rumah tangga yang diperkosa majikannya, sedangkan pembantunya tidak mempersoalkan (mengadukan) kasusnya ini kepada pihak yang berwajib.40

4. Dasar Hukum Tindak Pidana Perkosaan

Tindak pidana perkosaan diatur dalam KUHP Bab XIV tentang Kejahatan Kesusilaan dalam Pasal 285 KUHP yang menentukan:

“Barang siapa yang dengan kekerasan atau dengan ancaman memaksa perempuan yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia, karena perkosaan, di pidana dengan pidana penjara selama-lamanya 12 (dua belas) tahun”.

Pasal 286 menentukan:

“Barangsiapa bersetubuh dengan seorang wanita diluar pernikahan, padahal diketahui bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya, diancam

dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun”.

40Ibid


(46)

30

Pasal 287 menentukan:

(1) “Barangsiapa bersetubuh dengan seorang wanita diluar pernikahan, padahal diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa umurnya belum 15 (limabelas) tahun, atau kalau umurnya tidak ternyata, bahwa belum mampu kawin, diancam dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun.

(2) “Penuntutan hanya dilakukan kalau ada pengaduan, kecuali kalau umurnya perempuan itu belum sampai 12 (duabelas) tahun atau jika salah satu tersebut pada Pasal 291 dan Pasal 294”.


(47)

31

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Diperlukan penelitian yang merupakan suatu rencana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan yuridis normatif (library research) yang dilakukan dengan cara mempelajari dan menelaah buku-buku, bahan-bahan literatur yang menyangkut kaedah hukum, doktrin-doktrin hukum, asas-asas hukum, dan sistem hukum yang terdapat dalam permasalahan yaitu efektivitas visum et repertum dalam pembuktian tindak pidana perkosaan.

Pendekatan yuridis empiris (field research) dilaksanakan dengan cara memperoleh pemahaman hukum dalam kenyataannya (di lapangan) baik itu melalui penilaian, pendapat, dan penafsiran subjektif dalam pengembangan teori-teori dalam kerangka penemuan-penemuan ilmiah sehubungan dengan efektivitas

visum et repertum dalam pembuktian tindak pidana perkosaan.

B. Sumber dan Jenis Data

Data yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini bersumber pada dua jenis data, yaitu:


(48)

32

a. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumber pertama. Data primer diperoleh dari studi lapangan yang berkaitan dengan pokok penulisan, yang diperoleh melalui kegiatan wawancara (interview) langsung dengan informan atau narasumber. Dalam hal ini dilakukan dengan cara observasi dan wawancara di Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang, Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, dan Polresta Bandar Lampung.

b. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari hasil penelitian kepustakaan dengan mempelajari literatur-literatur hal-hal yang bersifat teoritis, pandangan-pandangan, konsep-konsep, doktrin serta karya ilmiah yang berkaitan dengan permasalahan. Data sekunder dalam penulisan proposal ini terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.

a. Bahan hukum primer yaitu terdiri dari:

1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 jo Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

2) Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

b. Bahan hukum sekunder (secondary law material) yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer.


(49)

33

Bahan hukum sekunder diperoleh dengan cara studi dokumen, mempelajari permasalahan dari buku-buku, literatur, makalah, artikel koran, dan bahan–bahan lainnya yang berkaitan dengan materi, ditambah lagi dengan pencarian data menggunakan internet.

c. Bahan hukum tersier (tertiary law material), yaitu bahan hukum yang merupakan bahan atau data pendukung yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang berasal dari literatur, buku-buku, media massa serta data-data lainnya.

C. Penentuan Narasumber

Narasumber yang dijadikan responden dalam penelitian ini sebagai berikut:

a. Jaksa pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung : 1 orang b. Hakim pada Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang : 1 orang c. Penyidik Polri pada Polresta Bandar Lampung : 1 orang d. Akademisi Fakultas Hukum Universitas Lampung : 1orang+

Jumlah : 4 orang

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Prosedur Pengumpulan Data

Langkah-langkah yang ditempuh oleh penulis dalam mengumpulkan data untuk penulisan ini dilaksanakan dengan cara sebagai berikut:


(50)

34

a. Studi Kepustakaan (Library Research)

Studi Kepustakaan adalah pengumpulan data yang diperoleh dengan cara membaca, mengutip buku-buku, peraturan perundang-undangan yang berlaku serta literatur yang berhubungan atau berkaitan dengan penulisan.

b. Studi Lapangan (Field Research)

Studi Lapangan adalah pengumpulan data yang diperoleh dengan cara wawancara yang dilakukan langsung terhadap responden. Melakukan wawancara dilakukan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan lisan yang berkaitan dengan penulisan penelitian dan narasumber menjawab secara lisan pula guna memperoleh keterangan atau jawaban yang diperlukan dalam penelitian.

2. Prosedur Pengolahan Data

Data-data yang diperlukan dalam penulisan dikumpulkan dan diproses melalui pengolahan data. Data yang diperoleh melalui studi kepustakaan dan wawancara kemudian diolah dengan melakukan kegiatan-kegiatan sebagai berikut:

a. Editing, yaitu melakukan pemeriksaan terhadap kelengkapan data, kejelasan,

dan kebenaran data untuk menentukan sesuai atau tidaknya serta perlu atau tidaknya data tersebut terhadap permasalahan.

b. Sistematisasi, yaitu penyusunan dan penempatan data secara sistematis pada masing-masing jenis dan pokok bahasan secara sistematis dengan tujuan agar mempermudah dalam pembahasan.


(51)

35

c. Klasifikasi data, yaitu pengolahan data dilakukan dengan cara menggolongkan dan mengelompokkan data dengan tujuan untuk menyajikan data secara sempurna, memudahkan pembahasan, dan analisis data.

E. Analisis Data

Proses analisis data merupakan usaha untuk menemukan jawaban atas pertanyaan mengenai perihal di dalam rumusan masalah serta hal-hal yang diperoleh dari suatu penelitian pendahuluan. Analisis data yang diperoleh dilakukan dengan analisis secara kualitatif. Analisis secara kualitatif adalah analisis yang dipergunakan dalam penelitian ini. Analisis secara kualitatif adalah tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif yaitu apa yang dinyatakan oleh responden atau narasumber secara tertulis atau secara lisan dan perilaku yang nyata. Kemudian dari hasil analisis tersebut ditarik kesimpulan secara induktif yaitu suatu cara berpikir yang melihat pada realitas bersifat umum untuk kemudian menarik kesimpulan secara khusus.


(52)

62

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dan pembahasan yang diuraikan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Efektivitas visum et repertum dalam peembuktian tindak pidana perkosaan cukup berguna dan bermanfaat, namun tetap diperlukan alat bukti lain untuk menentukan benar atau tidaknya telah terjadi tindak pidana perkosaan serta untuk membuktikan terbukti atau tidaknya tindak pidana perkosaan tersebut.

Visum et repertum hanya menentukan ada tidaknya suatu luka pada tubuh

korban tindak pidana perkosaan bukan menentukan pelaku dari tindak pidana tersebut. Visum et repertum merupakan alat bukti yang bersifat bebas dan tidak dapat berdiri sendiri. Artinya hakim dapat mengesampingkan alat bukti

visum et repertum. Seperti pada Pasal 183 KUHAP yang menyatakan bahwa

hakim dapat memutus suatu perkara pidana berdasarkan sedikitnya 2 (dua) alat bukti yang sah. Dua alat bukti tersebut menimbulkan keyakinan hakim tentang telah terjadinya perbuatan pidana.

2. Faktor-faktor yang menjadi penghambat dari efektivitas visum et repertum dalam pembuktian tindak pidana perkosaan sebagai berikut:

Faktor hukumnya sendiri, rumusan Pasal 285 KUHP sudah benar dan baik, tetapi di dalam praktek masih sulit untuk diakui atau tidaknya pembuktian tindak pidana perkosaan di persidangan; Faktor penegak hukum, kinerja dari


(53)

63

aparat penegak hukum dapat menentukan benar atau tidaknya telah terjadi suatu tindak pidana perkosaan; Faktor sarana atau fasilitas, pembuatan visum

et repertum hanya bisa dilakukan di rumah sakit milik pemerintah saja

sehingga membuat korban tindak pidana perkosaan yang berad di daerah mengalami kesulitan untuk menuju rumah sakit tersebut; Faktor masyarakat, masyarakat kurang paham dan mengerti tentang arti visum et repertum yang merupakan salah satu alat bukti dalam pembuktian tindak pidana perkosaan; Faktor kebudayaan, yakni biaya pembuatan visum et repertum yang ditanggung oleh korban, cara berpakaian korban, dan rasa malu korban.

B. Saran

Penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan oleh penulis guna untuk mengetahui efektivitas visum et repertum dalam pembuktian tindak pidana perkosaan tersebut, penulis memberikan saran guna untuk membuat efektivitas

visum et repertum dalam pembuktian tindak pidana perkosaan menjadi lebih baik,

yaitu:

1. Pihak penyidik dalam menangani kasus-kasus tindak pidana perkosaan hendaknya lebih cermat dan pintar dalam mencari bukti-bukti atas kejadian tersebut, terutama bukti-bukti yang menunjukkan adanya kekerasan atau ancaman kekerasan yang diterima oleh korban sehingga pelaku dari tindak pidana dapat dipidana sesuai dengan Pasal 285 KUHP. Aparat penegak hukum juga sebaiknya lebih mengutamakan kepentingan korban perkosaan, karena korban perkosaan tersebut sangat menderita baik fisik maupun


(54)

64

psikologis, serta dalam hal memperoleh keadilan terhadap kejahatan yang dialaminya.

2. Korban dari tindak pidana perkosaan hendaknya segera melaporkan tindak pidana perkosaan yang ia alami kepada pihak penyidik tanpa rasa malu. Sebab jika cepat dilaporkan, maka hasil visum et repertum dapat efektif sebagai alat bukti di persidangan.


(55)

DAFTAR PUSTAKA

Literatur

Amir, Amri. 2005. Rangkaian Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi Kedua. Ramadhan. Medan.

Andrisman, Tri. 2010. Hukum Acara Pidana. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

---, 2011. Delik Tertentu dalam KUHP. Universitas Lampung Bandar Lampung.

Chazawi, Adami, 2002. Tindak Pidana Mangenai Kesopanan. Biro Konsultasi & Bantuan Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya. Malang.

Firganefi & Ahmad Irzal Fardiansyah, 2014. Hukum dan Kriminalistik. Justice Publisher. Bandar Lampung.

Hamzah, Andi. 2008. Hukum Acara Pidana Indonesia (Edisi Kedua). Sinar Grafika. Jakarta.

Harahap, Yahya. 2000. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Sinar Grafika. Jakarta.

Irsan, Koesparmono. 2007. Hukum Perlindungan Anak. Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta.

Marpaung, Laden. 2004. Kejahatan terhadap Kesusilaan dan Masalah

Prevensinya. Cet. 2. Sinar Grafika. Jakarta.

Moeljatno, 1987. Azas-Azas Hukum Pidana. Bina Aksara. Jakarta.

Mun’im Idris, Abdul, 1997. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Binarupa Aksara. Jakarta.

Nasution, A. Karim. 1976. Masalah Hukum Pembuktian dalam Proses Pidana. Direktorat Kejaksaan Agung. Jakarta.


(56)

---, 1999. Orientasi Hukum Acara Pidana Indonesia. Amarta Buku. Yogyakarta.

---, 2004. Pokok-Pokok Tata Cara Peradilan Pidana Indonesia dalam

Undang-Undang RI No. 8 Tahun 1981. Liberty Cet. XII. Bandung.

Prodjodikoro, Wirjono, 1986. Asas-Asas Hukum Pidana. Eresco. Bandung.

Ranoemihardja, R. Atang. 1991. Ilmu Kedokteran Kehakiman (Forensic Science). Edisi Kedua. Tarsito. Bandung.

Santoso, Topo. 1997. Seksualitas dan Hukum Pidana. IND-HILL-CO. Jakarta. Sasangka, Hari dan Rosita, Lily. 2007. Hukum Pembuktian dalam Perkara

Pidana. Mandar Maju. Bandung.

Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum Cet ke-3. UI. Press. Jakarta.

---, 1983. Penegakan Hukum. Bina Cipta. Bandung.

Soeparmono. 2002. Keterangan Ahli dan Visum Et Repertum dalam Aspek Hukum

Acara Pidana. Mandar Maju, Bandung.

Sudarto. 1986. Hukum dan Hukum Pidana. Alumni. Bandung.

Taufik, Mohammad Makarao dan Suhasril. 2010. Hukum Acara Pidana dalam

Teori dan Praktek. Ghalia Indonesia. Bogor.

Wahid, Abdul dan Irfan, M. 2001. Perlindungan terhadap Korban Kekerasan

Seksual (Advokasi atas Hak Asasi Perempuan). Refika Aditama. Jakarta.

Yuwono, Trisno. 1994. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Praktis. Arkola Surabaya.

Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1985 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 2007. Kamus


(57)

Penelusuran Internet

http//asiamaya.com/konsultasi_hukum/pidana/vis.htm http://id.m.wikipedia.org/wiki/Visum_et_repertum http://kbbi.web.id/efektifitas.


(1)

62

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dan pembahasan yang diuraikan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Efektivitas visum et repertum dalam peembuktian tindak pidana perkosaan cukup berguna dan bermanfaat, namun tetap diperlukan alat bukti lain untuk menentukan benar atau tidaknya telah terjadi tindak pidana perkosaan serta untuk membuktikan terbukti atau tidaknya tindak pidana perkosaan tersebut. Visum et repertum hanya menentukan ada tidaknya suatu luka pada tubuh korban tindak pidana perkosaan bukan menentukan pelaku dari tindak pidana tersebut. Visum et repertum merupakan alat bukti yang bersifat bebas dan tidak dapat berdiri sendiri. Artinya hakim dapat mengesampingkan alat bukti visum et repertum. Seperti pada Pasal 183 KUHAP yang menyatakan bahwa hakim dapat memutus suatu perkara pidana berdasarkan sedikitnya 2 (dua) alat bukti yang sah. Dua alat bukti tersebut menimbulkan keyakinan hakim tentang telah terjadinya perbuatan pidana.

2. Faktor-faktor yang menjadi penghambat dari efektivitas visum et repertum dalam pembuktian tindak pidana perkosaan sebagai berikut:

Faktor hukumnya sendiri, rumusan Pasal 285 KUHP sudah benar dan baik, tetapi di dalam praktek masih sulit untuk diakui atau tidaknya pembuktian tindak pidana perkosaan di persidangan; Faktor penegak hukum, kinerja dari


(2)

63

aparat penegak hukum dapat menentukan benar atau tidaknya telah terjadi suatu tindak pidana perkosaan; Faktor sarana atau fasilitas, pembuatan visum et repertum hanya bisa dilakukan di rumah sakit milik pemerintah saja sehingga membuat korban tindak pidana perkosaan yang berad di daerah mengalami kesulitan untuk menuju rumah sakit tersebut; Faktor masyarakat, masyarakat kurang paham dan mengerti tentang arti visum et repertum yang merupakan salah satu alat bukti dalam pembuktian tindak pidana perkosaan; Faktor kebudayaan, yakni biaya pembuatan visum et repertum yang ditanggung oleh korban, cara berpakaian korban, dan rasa malu korban.

B. Saran

Penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan oleh penulis guna untuk mengetahui efektivitas visum et repertum dalam pembuktian tindak pidana perkosaan tersebut, penulis memberikan saran guna untuk membuat efektivitas visum et repertum dalam pembuktian tindak pidana perkosaan menjadi lebih baik, yaitu:

1. Pihak penyidik dalam menangani kasus-kasus tindak pidana perkosaan hendaknya lebih cermat dan pintar dalam mencari bukti-bukti atas kejadian tersebut, terutama bukti-bukti yang menunjukkan adanya kekerasan atau ancaman kekerasan yang diterima oleh korban sehingga pelaku dari tindak pidana dapat dipidana sesuai dengan Pasal 285 KUHP. Aparat penegak hukum juga sebaiknya lebih mengutamakan kepentingan korban perkosaan, karena korban perkosaan tersebut sangat menderita baik fisik maupun


(3)

64

psikologis, serta dalam hal memperoleh keadilan terhadap kejahatan yang dialaminya.

2. Korban dari tindak pidana perkosaan hendaknya segera melaporkan tindak pidana perkosaan yang ia alami kepada pihak penyidik tanpa rasa malu. Sebab jika cepat dilaporkan, maka hasil visum et repertum dapat efektif sebagai alat bukti di persidangan.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Literatur

Amir, Amri. 2005. Rangkaian Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi Kedua. Ramadhan. Medan.

Andrisman, Tri. 2010. Hukum Acara Pidana. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

---, 2011. Delik Tertentu dalam KUHP. Universitas Lampung Bandar Lampung.

Chazawi, Adami, 2002. Tindak Pidana Mangenai Kesopanan. Biro Konsultasi & Bantuan Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya. Malang.

Firganefi & Ahmad Irzal Fardiansyah, 2014. Hukum dan Kriminalistik. Justice Publisher. Bandar Lampung.

Hamzah, Andi. 2008. Hukum Acara Pidana Indonesia (Edisi Kedua). Sinar Grafika. Jakarta.

Harahap, Yahya. 2000. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Sinar Grafika. Jakarta.

Irsan, Koesparmono. 2007. Hukum Perlindungan Anak. Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta.

Marpaung, Laden. 2004. Kejahatan terhadap Kesusilaan dan Masalah Prevensinya. Cet. 2. Sinar Grafika. Jakarta.

Moeljatno, 1987. Azas-Azas Hukum Pidana. Bina Aksara. Jakarta.

Mun’im Idris, Abdul, 1997. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Binarupa

Aksara. Jakarta.

Nasution, A. Karim. 1976. Masalah Hukum Pembuktian dalam Proses Pidana. Direktorat Kejaksaan Agung. Jakarta.


(5)

---, 1999. Orientasi Hukum Acara Pidana Indonesia. Amarta Buku. Yogyakarta.

---, 2004. Pokok-Pokok Tata Cara Peradilan Pidana Indonesia dalam Undang-Undang RI No. 8 Tahun 1981. Liberty Cet. XII. Bandung.

Prodjodikoro, Wirjono, 1986. Asas-Asas Hukum Pidana. Eresco. Bandung.

Ranoemihardja, R. Atang. 1991. Ilmu Kedokteran Kehakiman (Forensic Science). Edisi Kedua. Tarsito. Bandung.

Santoso, Topo. 1997. Seksualitas dan Hukum Pidana. IND-HILL-CO. Jakarta. Sasangka, Hari dan Rosita, Lily. 2007. Hukum Pembuktian dalam Perkara

Pidana. Mandar Maju. Bandung.

Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum Cet ke-3. UI. Press. Jakarta.

---, 1983. Penegakan Hukum. Bina Cipta. Bandung.

Soeparmono. 2002. Keterangan Ahli dan Visum Et Repertum dalam Aspek Hukum Acara Pidana. Mandar Maju, Bandung.

Sudarto. 1986. Hukum dan Hukum Pidana. Alumni. Bandung.

Taufik, Mohammad Makarao dan Suhasril. 2010. Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Praktek. Ghalia Indonesia. Bogor.

Wahid, Abdul dan Irfan, M. 2001. Perlindungan terhadap Korban Kekerasan Seksual (Advokasi atas Hak Asasi Perempuan). Refika Aditama. Jakarta. Yuwono, Trisno. 1994. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Praktis. Arkola

Surabaya. Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1985 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta.


(6)

Penelusuran Internet

http//asiamaya.com/konsultasi_hukum/pidana/vis.htm http://id.m.wikipedia.org/wiki/Visum_et_repertum http://kbbi.web.id/efektifitas.