BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tidur 2.1.1. Definisi Tidur - Gambaran Kualitas Tidur pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Tahun Akademik 2013/2014

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tidur

  2.1.1. Definisi Tidur

  Tidur didefinisikan sebagai suatu keadaan bawah sadar saat orang tersebut dapat dibangunkan dengan pemberian rangsang sensorik atau dengan rangsang lainnya. Tidur harus dibedakan dengan koma, yang merupakan keadaan bawah sadar saat orang tersebut tidak dapat dibangunkan (Guyton dan Hall, 2006).

  Tidur merupakan suatu proses aktif, bukan sekedar hilangnya keadaan terjaga. Tingkat aktivitas otak keseleruhan tidak berkurang selama tidur. Selama tahap-tahap tertentu tidur, penyerapan oksigen oleh otak bahkan meningkat melebihi tingkat normal sewaktu terjaga (Sherwood, 2007).

  2.1.2. Fungsi Tidur

  Meskipun manusia menghabiskan sekitar sepertiga dari kehidupan mereka dengan tidur, namun mengapa tidur sangat dibutuhkan masih merupakan misteri. Walaupun masih spekulatif, studi-studi terakhir menunjukkan bahwa tidur gelombang lambat dan tidur rapid eye movement (REM) memiliki fungsi yang berbeda (Sherwood, 2007).

  Salah satu hipotesis yang diterima luas adalah bahwa tidur memberi otak waktu guna memulihkan proses-proses biokimia atau fisiologis yang secara progresif mengalami penurunan ketika terjaga (Sherwood, 2007). Dengan kata lain, tidur mengembalikan kondisi tubuh dan membangun kembali otak dan tubuh kita, yang telah menurun akibat aktivitas ketika kita terjaga. Gagasan ini cocok dengan perasaan lelah dan letih sebelum kita tidur dan segar kembali ketika bangun (King, 2007).

  Faktanya, peran penting tidur dalam konsolidasi, penyimpanan, dan pemeliharaan ingatan jangka panjang kini telah dikenali. Satu penjelasan yang mungkin adalah bahwa semasa tidur korteks serebrum tidak sibuk dengan pengolahan masukan sensoris, keawasan aktif, dan fungsi motorik. Dengan demikian, korteks serebrum leluasa untuk beraktivitas yang menguatkan asosiasi ingatan, sehingga ingatan yang dibentuk pada jam-jam terjaga dapat diintegrasikan ke dalam ingatan jangka panjang (King, 2007).

2.1.3. Fisiologi Tidur Tidur dapat diamati dari aktivitas otak, tonus otot, dan gerak mata.

  Pengukuran ketiganya dapat diketahui melalui polisomnografi, yang rekamannya terdiri atas: elektroensefalografi (EEG), elektromiografi (EMG), dan elektrookulografi (EOG). Melalui hasil polisomnografi tersebut akan didefinisikan berbagai macam stadium tidur (Akerstedt dan Nilsson, 2003)

  Tidur terdiri dari dua keadaan fisiologi, yakni tidur dengan gerakan mata tidak cepat (NREM; non-rapid eye movement) dan tidur dengan gerakan mata cepat (REM; rapid eye movement) (Kaplan, Sadock, dan Grebb, 2010).

  Fase awal tidur didahului oleh fase NREM yang terdiri dari 4 stadium, lalu diikuti oleh fase REM. Keadaan tidur normal antara fase NREM dan REM terjadi secara bergantian antara 4-7 kali siklus semalam (Japardi, 2002).

  Menurut Japardi (2002), tipe NREM dibagi dalam 4 stadium yaitu:

  1. Tidur stadium satu Fase ini merupakan antara fase terjaga dan fase awal tidur. Fase ini didapatkan kelopak mata tertutup, tonus otot berkurang dan tampak gerakan bola mata ke kanan dan ke kiri. Fase ini hanya berlangsung 3-5 menit dan mudah sekali dibangunkan. Gambaran EEG biasanya terdiri dari gelombang campuran alfa, betha dan kadang gelombang teta dengan amplitudo yang rendah. Tidak didapatkan adanya gelombang sleep spindle dan kompleks K.

  2. Tidur stadium dua Pada fase ini didapatkan bola mata berhenti bergerak, tonus otot masih berkurang, tidur lebih dalam dari pada fase pertama. Gambaran EEG terdiri dari gelombang theta simetris. Terlihat adanya gelombang sleep spindle, gelombang verteks dan kompleks K.

  3. Tidur stadium tiga Fase ini tidur lebih dalam dari fase sebelumnya. Gambaran EEG terdapat lebih banyak gelombang delta simetris antara 25%-50% serta tampak gelombang

  sleep spindle.

  4. Tidur stadium empat Merupakan tidur yang dalam serta sukar dibangunkan. Gambaran EEG didominasi oleh gelombang delta sampai 50% tampak gelombang sleep spindle.

  Fase tidur NREM, ini biasanya berlangsung antara 70 menit sampai 100 menit, setelah itu akan masuk ke fase REM. Pada waktu REM jam pertama prosesnya berlangsung lebih cepat dan menjadi lebih intens dan panjang saat menjelang pagi atau bangun (Japardi, 2002).

  Pada orang normal tidur NREM merupakan keadaan yang relatif tenang terhadap terjaga. Kecepatan denyut jantung biasanya lebih lambat 5 sampai 10 denyut semenit di bawah tingkat terjaga penuh dan sangat teratur. Respirasi mengalami hal yang sama. Tekanan darah juga cenderung rendah, dengan sedikit variasi dari menit ke menit. Potensial otot istirahat dari otot-otot tubuh lebih rendah pada tidur REM dibandingkan keadaan terjaga. Gerakan tubuh yang episodik dan involunter ditemukan pada tidur NREM. Terdapat beberapa gerakan mata yang cepat, jika ada, dan jarang terjadi ereksi penis. Aliran darah ke sebagian besar jaringan menurun, termasuk aliran darah ke otak (Kaplan, Sadock, dan Grebb, 2010).

  Pola tidur REM ditandai adanya gerakan bola mata yang cepat, tonus otot yang sangat rendah, apabila dibangunkan hampir semua orang akan dapat menceritakan mimpinya, denyut nadi bertambah dan pada laki-laki terjadi ereksi penis, tonus otot menunjukkan relaksasi yang dalam (Japardi, 2002).

  Tidur REM juga telah dinamakan dengan tidur paradoksikal. Kecepatan denyut jantung, pernapasan, dan tekanan darah pada manusia semuanya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tidur NREM dan sering kali lebih tinggi dibandingkan dengan keadaan terjaga. Kendatipun lebih terbatas, tingkat atau kecepatan tersebut bervariasi dari menit ke menit. Pemakaian oksigen otak meningkat selama tidur REM. Respon pernapasan terhadap peningkatan kadar karbon dioksida tertekan selama tidur REM, sehingga tidak terdapat peningkatan volume tidal saat tekanan parsial karbon dioksida meningkat. Termoregulasi terganggu selama tidur REM (Kaplan, Sadock, dan Grebb, 2010).

  Periode REM terjadi kira-kira setiap 90 sampai 100 menit selama semalam. Periode REM pertama cenderung menjadi periode paling singkat, biasanya berlangsung kurang dari 10 menit; periode REM selanjutnya masing- masing biasanya berlangsung selama 15 sampai dengan 40 menit. Sebagian besar periode tidur REM terjadi pada sepertiga bagian terakhir dari malam, sedangkan sebagian besar tidur stadium 4 terjadi pada sepertiga bagian pertama malam (Kaplan, Sadock, dan Grebb, 2010).

  Pola tidur REM berubah sepanjang kehidupan seseorang seperti periode neonatal bahwa tidur REM mewakili 50% dari waktu total tidur. Periode neonatal ini pada EEG-nya masuk ke fase REM tanpa melalui stadium 1 sampai 4. Pada usia 4 bulan pola berubah sehingga persentase total tidur REM berkurang sampai 40% hal ini sesuai dengan kematangan sel-sel otak, kemudian akan masuk ke periode awal tidur yang didahului oleh fase NREM kemudian fase REM pada dewasa muda dengan distribusi fase tidur sebagai berikut: NREM (75%) yaitu stadium 1: 5%; stadium 2 : 45%; stadium 3 : 12%; stadium 4 : 13%; dan REM; 25 % (Japardi,2002). Distribusi tersebut relatif tetap sampai usia lanjut, walaupun terjadi penurunan tidur gelombang lambat dan tidur REM pada usia lanjut (Kaplan, Sadock, dan Grebb, 2010).

2.1.4. Regulasi Tidur

  Nukleus pada batang otak dan hipotalamus penting selama transisi siklus bangun-tidur. Perangsangan pada formasio retikularis midbrain dan hypotalamus

  

posterior menghasilkan keadaan bangun, sementara untuk menghasilkan tidur

  diperlukan perangsangan pada hipotalamus anterior dan daerah di sekitar basal

  

forebrain. Nukleus pada batang otak ini merupakan bagian dari sistem aktivasi

retikular (Barrett dkk, 2010).

  Keadaan jaga atau bangun juga sangat dipengaruhi oleh sistem ARAS (Ascending Reticulary Activity System). Bila aktifitas ARAS ini meningkat orang tersebut dalam keadaan tidur. Aktifitas ARAS menurun, orang tersebut akan dalam keadaan tidur. Aktifitas ARAS ini sangat dipengaruhi oleh aktifitas neurotransmiter seperti serotonin, norepinefrin, asetilkolin, histamin, dan dopamin (Japardi, 2002).

2.1.5. Irama Sirkardian

  Semua makhluk hidup mempunyai irama kehidupan yang sesuai dengan beredarnya waktu dalam siklus 24 jam. Irama yang seiring dengan rotasi bola dunia disebut sebagai irama sirkadian. Irama sirkardian adalah siklus perilaku atau fisiologis harian. Pusat kontrol irama sirkadian terletak pada bagian ventral

  anterior hypothalamus (Japardi, 2002; King, 2007).

  Pola siklus tidur dan bangun (irama sirkardian), adalah bangun sepanjang hari saat cahaya terang dan tidur sepanjang malam saat gelap. Jadi faktor kunci adalah adanya perubahan gelap dan terang. Stimulasi cahaya terang akan masuk melalui mata dan mempengaruhi suatu bagian di hipotalamus yang disebut

  

nucleus supra-chiasmatic (NSC). NSC akan mengeluarkan neurotransmiter yang

  mempengaruhi pengeluaran berbagai hormon pengatur temperatur badan, kortisol,

  

growth hormone, dan lain-lain yang memegang peranan untuk bangun dan tidur

(Rahayu, 2006).

  NSC berkerja seperti jam, meregulasi segala kegiatan bangun dan tidur. Jika pagi hari cahaya terang masuk, NSC segera mengeluarkan hormon yang menstimulasi peningkatan temperatur badan, kortisol, dan growth hormone sehingga orang terbangun. Jika malam tiba, NSC merangsang pengeluaran hormon melatonin sehingga orang mengantuk dan tidur (Rahayu, 2006).

  Melatonin adalah hormon yang diproduksi oleh glandula pineal (suatu bagian kecil di otak tengah). Saat hari mulai gelap, melatonin dikeluarkan dalam darah dan akan mempengaruhi terjadinya relaksasi serta penurunan temperatur badan dan kortisol. Kadar melatonin dalam darah mulai meningkat pada jam 9 malam, terus meningkat sepanjang malam dan menghilang pada jam 9 pagi (Rahayu, 2006).

  Pengaturan suhu tubuh bergantung pada pengaruh sistem sirkadian. Suhu tubuh seseorang lebih tinggi di siang hari daripada di malam hari. Pada malam hari ada penurunan bertahap dalam suhu tubuh, penurunan produksi panas dan peningkatan kehilangan panas, semua yang menginduksikan onset tidur dan pemeliharaan, kegiatan maupun EEG gelombang lambat. Sebaliknya, ada peningkatan bertahap dalam suhu tubuh beberapa jam sebelum bangun. Otak mengirimkan sinyal ke bagian lain dari tubuh yang meningkatkan produksi panas dan konservasi untuk mengganggu tidur dan menginduksikan bangun (Colten dan Altevogt, 2006).

2.1.6. Kebutuhan Tidur

  Pada manusia, jumlah jam yang diperlukan seseorang untuk tidur berbeda- beda, tergantung pada faktor-faktor tertentu dan usia mereka. Pada neonatus, waktu yang dibutuhkan rata-rata 15-18 jam dan waktu tidur mereka tidak dipengaruhi oleh siklus pagi dan malam yang disebabkan oleh ketiadaan irama sirkardian. Waktu tersebut akan berkurang hingga 13-14 jam setelah satu tahun (William, 2013).

  Remaja usia 12-18 tahun memerlukan waktu tidur 8-9 jam per hari. Waktu tidur masih berperan penting bagi kesehatan seperti pada masa kanak-kanak mereka. Walaupun ditemukan bahwa banyak remaja memerlukan waktu tidur yang mungkin lebih banyak dari tahun-tahun sebelumnya, tuntutan sosial membuat mereka sulit mendapatkan waktu dan kualitas tidur yang sesuai (William, 2013).

  Saat seseorang mencapai tahap dewasa, mereka cenderung memerlukan waktu tidur 7-8 jam per hari. Sedangkan lanjut usia cenderung memerlukan waktu 6-7 jam per hari dengan tidur siang yang lebih sering pada siang hari. Waktu untuk tidur pada orang dewasa kebanyakan bervariasi dari tiap orang ke orang, dan umumnya berkisar 5 sampai 11 jam (William, 2013).

  Kualitas Tidur 2.2.

  Kualitas tidur menurut American Psychiatric Association (2000) dalam Wavy (2008) didefinisikan sebagai suatu fenomena kompleks yang melibatkan beberapa dimensi. Kualitas tidur meliputi dua aspek, yakni kuantitatif tidur dan kualitatif tidur. Aspek kuantitatif termasuk lamanya waktu tidur, sedangkan kualitatif tidur merupakan aspek subjektif dari kedalaman tidur dan perasaan segar pada saat bangun tidur (Lemma dkk, 2012).

  Di sisi lain, Lai (2001) dalam Wavy (2008) menyebutkan bahwa kualitas tidur ditentukan oleh bagaimana seseorang mempersiapkan pola tidurnya pada malam hari seperti kedalaman tidur, kemampuan untuk tetap tidur, dan kemudahan untuk tertidur tanpa bantuan medis. Kualitas tidur yang baik dapat memberikan perasaan tenang di pagi hari, perasaan energik, dan tidak mengeluh gangguan tidur. Dengan kata lain, memiliki kualitas tidur baik sangat penting dan vital untuk hidup sehat semua orang.

  Secara fisiologis, kualitas tidur yang buruk dapat menyebabkan rasa kantuk di siang hari, menurunnya kesehatan pribadi dan menyebabkan kelelahan. Selain itu, hal ini terkait dengan beberapa penyakit seperti penyakit jantung, peradangan, diabetes dan penyakit kardiovaskular (Wavy, 2008).

  Secara psikologis, kualitas tidur yang buruk berdampak pada penurunan fungsi kognitif. Selanjutnya, hal itu terkait dengan tingkat yang lebih tinggi terhadap kecemasan, meningkatkan ketegangan, mudah tersinggung, kebingungan, suasana hati yang buruk, depresi, penurunan kesejahteraan psikologis dan kepuasan hidup yang lebih rendah. Secara bersamaan, ia berhubungan positif dengan melambatnya psikomotor dan gangguan konsentrasi (Wavy, 2008).

  Selain masalah fisik dan psikologis yang disebabkan oleh kualitas tidur yang buruk, penelitian telah menunjukkan bahwa hal tersebut juga berkaitan dengan prestasi akademis yang buruk. Kualitas tidur yang buruk berhubungan dengan motivasi akademik yang lebih rendah, nilai yang lebih rendah dan penurunan prestasi akademik (Wavy, 2008).

2.2.1. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Tidur

  Kualitas tidur secara langsung mempengaruhi kualitas aktivitas saat terjaga, termasuk kewaspadaan mental, produktivitas, keseimbangan emosi, kreativitas, tanda vital fisik dan bahkan berat badan. Oleh sebab itu, kualitas tidur hendaklah dijaga agar tetap baik (William, 2013).

  Kualitas tidur sendiri dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya adalah kuantitas tidur yang cukup, keadaan kamar tidur, ada tidaknya stres, ada tidaknya menderita suatu penyakit, aktivitas yang dilakukan saat siang hari, obat dan makanan yang dikonsumsi saat siang hari dan lainnya (William, 2013).

  Menurut National Sleep Foundation (2013) ada beberapa hal yang dapat meningkatkan kualitas tidur, yaitu:

  1. Memelihara jadwal tidur dan bangun teratur termasuk di akhir pekan.

  2. Menciptakan suasana kamar tidur yang kondusif, gelap, tenang, nyaman dan sejuk.

  3. Tidur di kasur dan bantal yang nyaman.

  4. Menyelesaikan makan setidaknya 2-3 jam sebelum jadwal tidur sehari- hari.

  5. Berolahraga rutin.

  6. Hindari kafein, nikotin, dan alkohol menjelang waktu tidur.

2.2.1.1.Jenis Kelamin

  Faktor hormonal, sindroma nyeri, dan masalah psikologis, terutama depresi merupakan beberapa faktor yang mempengaruhi kualitas tidur pada wanita. Kualitas tidur yang buruk dan kurangnya waktu tidur mempengaruhi kualitas hidup mereka. Wanita dua kali lebih mungkin daripada laki-laki dalam hal memiliki kesulitan untuk memulai tidur atau mempertahankan tidur, walaupun sebelum pubertas tidak ada perbedaan signifikan yang jelas (Hertz, 2012).

  Secara umum, hormon seks memainkan peranan dalam menyebabkan gangguan tidur pada wanita, baik dengan efek langsung pada proses tidur atau pada efek lainnya seperti pada suasana hati (mood) dan keadaan emosional. Hormon seks mempengaruhi elektroensefalografik selama fase luteal dengan meningkatkan frekuensi elektroensefalografik dan suhu tubuh inti selama tidur (Hertz, 2012). Penelitian yang dilakukan oleh Baker dkk. (2013) menunjukkan wanita dengan premenstrual syndrom yang berat memiliki kualitas tidur yang lebih buruk secara signifikan selama akhir fase luteal dari siklus menstruasinya.

  Gangguan mood lebih banyak terjadi pada wanita dibandingkan pada pria, terutama untuk sistem reproduksi wanita (misalnya, premenstrual dysphoric

  

disorder [PMDD], pregnancy affective disorder, postpartum depression,

perimenopausal mood disorder). Sementara gangguan kecemasan sering dikaitkan

  dengan kesulitan memulai tidur, serta depresi biasanya dikaitkan dengan bangun terlalu pagi (Hertz, 2012).

  Dibandingkan dengan laki-laki, ada banyak perbedaan dalam cara tidur wanita. Secara umum, wanita cenderung tidur lebih banyak daripada pria, pergi ke tempat tidur dan tertidur lebih awal. Tidur seorang wanita juga cenderung lebih mudah terganggu. Wanita lebih cenderung merasa tidak segar bahkan setelah mereka tidur dalam waktu yang cukup (Baker dkk, 2007).

2.2.1.2.Gangguan Psikis

  Gangguan psikis seperti stress, kecemasan, dan depresi sering dikaitkan dengan keluhan tidur (NSF, 2013). Insomnia atau kesulitan untuk memulai tidur merupakan keluhan tidur yang paling sering. Periode singkat insomnia paling sering berhubungan dengan kecemasan, baik sebagai sekuela terhadap pengalaman yang mencemaskan atau dalam menghadapi pengalaman yang menimbulkan kecemasan, seperti akan menghadapi ujian atau wawancara pekerjaan (Kaplan, Sadock, dan Grebb, 2010). Kondisi ansietas dapat meningkatkan kadar norepinfrin darah melalui stimulasi sistem saraf simpatis. Kondisi ini menyebabkan berkurangnya siklus tidur NREM tahap IV dan tidur REM serta seringnya terjaga saat tidur (Ulumuddin, 2011).

  Masalah tidur mempengaruhi hampir semua yang menderita gangguan kejiwaan, termasuk mereka yang depresi. Individu yang depresi sering kali terbangun pada jam-jam pagi awal dan tidak dapat kembali tidur, dan mereka lebih jarang tidur pada gelombang delta atau stadium tidur lelap daripada invdidu yang tidak mengalami depresi (King, 2007) Peran stres dalam asal-usul insomnia kronis telah didokumentasikan dalam beberapa studi. Meskipun peristiwa stres yang besar dapat memicu insomnia, paparan kronis terhadap stres kecil juga dapat menyebabkan peningkatan risiko terjadinya insomnia dan mungkin sangat penting dalam penyebab gangguan tidur kronis. Dalam sebuah studi berbasis populasi di Jepang, insomnia secara signifikan berkorelasi dengan tingkat stres sehari-hari (Kim dkk, 1999).

  2.2.1.3.Riwayat Penyakit

  Tiap jenis gangguan tidur dapat disebabkan oleh suatu kondisi medis umum. Hampir semua kondisi medis disertai oleh rasa nyeri dan rasa tidak nyaman (contoh: artitis, angina) dapat menyebabkan tidur terganggu. Beberapa kondisi adalah berhubungan dengan gangguan tidur kendatipun tidak terdapat rasa nyeri atau rasa tidak nyaman secara spesifik. Keadaan tersebut adalah neoplasma, lesi vasikular, infeksi, kondisi degeneratif, dan traumatik. Kondisi lain, khususnya penyakit endokrin dan metabolik, sering kali melibatkan beberapa gangguan tidur (Kaplan, Sadock, dan Grebb, 2010).

  Walaupun demikian, pada beberapa kasus, gangguan tidur mungkin bukan hanya disebabkan oleh penyakit itu sendiri, tapi oleh obat-obatan yang digunakan untuk menangani penyakit tersebut (King, 2007). Obat-obatan seperti penggunaan obat stimulan yang kronik (amphetamin, kafein, nikotin), antihipertensi, antidepresan, antiparkinson, antihistamin, antikholinergik dapat menyebabkan gangguan tidur. Obat ini dapat menimbulkan terputus-putusnya fase tidur REM (Japardi, 2002).

  2.2.1.4.Lingkungan Tidur Faktor lingkungan dapat membantu sekaligus menghambat proses tidur.

  Tidak adanya stimulus tertentu atau adanya stimulus yang asing dapat menghambat upaya tidur. Contoh, temperatur yang tidak nyaman atau ventilasi yang buruk dapat mempengaruhi tidur seseorang. Seiring waktu individu bisa beradaptasi dan tidak lagi terpengaruh dengan kondisi tersebut (Ulumuddin, 2011). Menurut National Sleep Foundation temperatur udara di atas 75°F dan dibawah 54°F dapat mengganggu tidur. Temperatur udara terbaik untuk kualitas tidur yang baik adalah sekitar 24°C – 26°C dan batas atas termperatur udara untuk kualitas tidur yang baik adalah 28,1°C (Kim, Chun, dan Han, 2010).

2.2.1.5.Penggunaan Media Elektronik

  Penilitian menunjukkan bahwa banyak anak muda yang memiliki kebiasaan browsing di internet atau menonton program televisi, sering menimbulkan dampak yang kurang baik terhadap kualitas tidur. Penggunaan media tersebut pada waktu yang tidak tepat, keduanya dengan kecerahan cahaya yang dipancarkan ke retina adalah faktor yang menimbulkan perubahan pola tidur. Contohnya layar komputer, cahaya yang dipancarkan jaranknya dekat dengan retina. Rangsangan cahaya memberikan sinyal langsung ke hipotalamus. Selain mengontrol kelenjar tubuh, hipotalamus berisi inti kecil yang menaungi jam biologis tubuh, yang penting untuk mengatur siklus tidur / bangun. Kekuatan, variasi dan waktu cahaya diproyeksikan ke retina oleh media elektronik ini dapat mengganggu produksi melatonin dalam tubuh (hormon yang mengontrol tidur), sehingga perubahan kualitas tidur (Resquita & Reimao, 2010).

  Sebuah studi pada orang dewasa tentang dampak permainan komputer pada arsitektur tidur digambarkan terdapat peningkatan latensi tidur akibat bermain permainan komputer sebelum tidur disebabkan oleh tingkat peningkatan aktivitas sistem saraf pusat dan otonom. Demikian pula, menonton televisi juga dapat meningkatkan kewaspadaan saraf, gairah fisiologis, dan mengakibatkan sulit tidur. Ini mungkin mekanisme hubungan antara menonton televisi dan tertundanya waktu tidur (Li dkk, 2007).

  Penelitian oleh Resquita dan Reimao (2010) menunjukkan terdapat jumlah yang signifikan terhadap mahasiswa yang mengeluh kurang tidur dan meningkatnya gangguan tidur yang dihubungkan dengan penggunaan media elektronik. Hasil penelitian mereka juga menunjukkan pengguna komputer dihubungkan dengan risiko yang lebih tinggi memiliki kualitas tidur buruk daripada mahasiswa yang memiliki kebiasaan menonton televisi. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa remaja yang menggunakan komputer sebelum tidur memilki kualitas tidur yang lebih buruk daripada remaja yang tidak menggunakan komputer.

  2.2.1.6.Kebiasaan Merokok

  Nikotin yang terkandung dalam rokok memiliki efek stimulan. Nikotin dapat menyebabkan seorang perokok mengalami kesulitan untuk memulai tidurnya, sulit untuk bangun pagi, dan juga dapat menyebabkan mimpi buruk. Hal tersebut dapat mempengaruhi kualitas tidur (National Sleep Foundation, 2013).

  Di antara para perokok, kombinasi ritual relaksasi dan kecenderungan dosis kecil nikotin menimbulkan sedasi yang sebenarnya membantu tidur. Tetapi, dosis besar nikotin dapat mengganggu tidur, khususnya onset tidur. Perokok biasanya tidur lebih singkat dari bukan perokok. Putus nikotin dapat menyebabkan mengantuk atau terbangun (Kaplan, Sadock, dan Grebb, 2010).

  Penelitian yang dilakukan oleh McNamara dkk (2013) mereka menemukan bahwa 11,9% dari perokok sulit untuk tidur, 10,6% bangun di malam hari dan 9,5% bangun terlalu pagi. Angka-angka untuk bukan perokok jauh lebih rendah dan dalam penelitian ini secara signifikan menemukan bahwa mereka yang telah berhenti merokok melihat peningkatan dalam tidur mereka. Para peneliti juga menemukan bahwa untuk setiap batang rokok yang dihisap menurunkan jumlah waktu tidur sebesar 1,2 menit.

  2.2.1.7.Kebiasaan Olahraga

  Kebiasaan olahraga merupakan suatu bentuk aktivitas fisik yang dapat berperan serta mengatur siklus tidur seseorang. Mereka yang kurang dalam beraktivitas olahraga akan memicu seseorang menjadi sulit untuk masuk pada fase kedalaman tidur atau tidur yang dalam. Selain itu, seseorang yang biasa berolahraga maka akan lebih mudah untuk jatuh tidur. Dimana, hal ini juga disebabkan oleh keletihan yang biasanya mereka rasakan setelah selesai berolahraga (Sulistiyani, 2012).

  Olahraga juga dapat mempermudah seseorang untuk tertidur dengan cara penurunan tingkat kecemasan dan gejala depresi seseorang. Sulit untuk tidur sering dikaitkan dengan,stress, kecemasan dan gejala depresi. Olahraga memiliki efek yang kuat dalam mengurangi gejala-gejala ini pada populasi umum (NSF, 2013).

  Hasil penelitian yang dilaporkan oleh Yang dkk (2012) menunjukkan bahwa olahraga memiliki dampak yang menguntungkan terhadap kualitas tidur, menurunkan latensi tidur, dan mengurangi penggunaan obat tidur. Hasil ini juga menunjukan olahraga dapat menjadi pengobatan alternatif untuk seseorang yang memiliki masalah dengan tidurnya.

  Meskipun penelitian menunjukkan bahwa olahraga pasti memberikan dampak yang baik untuk tubuh dan kesehatan, sebaiknya waktu berolahraga juga diperhatikan agar mendapat efek yang maksimal. Contohnya, olahraga yang benar dapat membuat seseorang lebih waspada, meningkatkan metabolisme, dan memberikan energi yang lebih banyak kedepannya, tetapi olahraga pada malam hari sebelum atau dekat dengan jam tidur dapat memberikan dampak yang kurang baik untuk tidur malamnya. Pakar tidur merekomendasikan untuk berolahraga paling lama tiga jam sebelum waktu tidur dan sore hari merupakan waktu yang paling baik untuk berolahraga. Berolahraga saat sore hari bermanfaat karena suhu tubuh sangat berhubungan dengan tidur. Suhu tubuh meningkat saat berolahraga dan membutuhkan waktu hingga enam jam untuk mulai menurun. Suhu tubuh yang rendah penting untuk seseorang agar mudah untuk tertidur (Davila, 2009).

2.2.1.8.Mengkonsumsi Kopi

  Kafein yang terkandung dalam kopi merupakan zat antagonis reseptor adenosin sentral yang bisa mempengaruhi fungsi sistem saraf pusat dan mengakibatkan gangguan tidur (Daswin dan Samosir, 2013). Efek dari kafein dapat bertahan selama dua belas jam setelah di konsumsi (Agustin, 2012).

  Sampai saat ini, beberapa penelitian tentang efek mengkonsumsi kafein menunjukkan bahwa kafein memiliki dampak yang merugikan terhadap tidur seperti meningkatkan latensi tidur, penurunan jumlah jam tidur, dan memperburuk kualitas tidur (Ortuno dkk., 2005). Efek ini tidak hanya tergantung pada jumlah kafein dikonsumsi menjelang tidur, tetapi juga pada jumlah kafein yang dikonsumsi sepanjang hari (Porkka, 2011).

  Kualitas Tidur pada Mahasiswa Kedokteran 2.3.

  Tidur menjadi perhatian khusus dalam populasi mahasiswa kedokteran karena memiliki hubungan dengan stres dan dapat berdampak terhadap kualitas mereka dalam pembelajaran. Kurang tidur, yang diukur dengan kantuk di siang hari telah terbukti berdampak negatif terhadap kemampuan akademik mahasiswa. Sebuah penelitian yang dilakukan pada mahasiswa kedokteran Estonia menunjukkan hubungan antara kualitas tidur yang buruk dan perkembangan akademik mereka. Penelitian lain di kalangan mahasiswa kedokteran ditemukan bahwa kecemasan akibat ujian, lingkungan, dan tidak teraturnya jadwal kuliah berkontribusi terhadap kualitas tidur yang buruk (Brick, Seely, dan Palermo, 2010; Veldi, Aluoja, dan Vasar, 2005).

2.3.1. Prevalensi Kualitas Tidur Buruk pada Mahasiswa Kedokteran

  Di salah satu fakultas kedokteran di sebuah universitas di Brazil dilaporkan bahwa mahasiswa kedokteran tingkat akhir memiliki persentase kualitas tidur yang buruk yang lebih tinggi daripada mahasiswa tahun pertama dan kedua, yakni 60% pada mahasiswa tingkat akhir, 11,5% pada mahasiswa tahun kedua, dan 42,3% pada mahasiswa tahun pertama (Lima dkk, 2009). Hampir sepertiga (32,5%) mahasiswa kedokteran di sebuah universitas di Nigeria juga mempunyai kualitas tidur yang buruk (James, Omoaregba, dan Igberase, 2011). Di Malaysia dilaporkan 16,1% mahasiswa kedokteran memiliki kualitas tidur yang buruk (Zailinawati dkk, 2009).

  Pittsburgh Sleep Quality Index 2.4.

  Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) adalah kuesioner baku emas yang

  digunakan untuk menilai kualitas tidur subjektif dan telah divalidasi pada kedua populasi klinis dan populasi non-klinis, termasuk perguruan tinggi dan mahasiswa pascasarjana (Brick, Seely, dan Palermo, 2010).

  PSQI terdiri dari sembilan belas item pertanyaan yang meliputi tujuh komponen, yakni kualitas tidur secara subjektif, latensi tidur, durasi tidur, efisiensi tidur, gangguan tidur, penggunaan obat tidur, dan disfungsi pada siang hari. Setiap dari nilai komponen tujuh tersebut diberi bobot yang sama dengan skala 0-3, 0 menunjukkan tidak ada kesulitan dan 3 menunjukkan kesulitan yang parah. Jumlah skor untuk nilai tujuh komponen ini akan menghasilkan satu skor secara keseluruhan, mulai dari 0 hingga 21. Skor yang lebih tinggi menunjukkan kualitas tidur buruk, dan bila skor PSQI secara keseluruhan > 5 maka seseorang tersebut memiliki kualitas tidur yang buruk (Buysse dkk, 1989).