BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Konsep Tidur - Perbandingan Kualitas Tidur pada Pasien Diabetes Melitus Laki-laki dan Perempuan di RSUD Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar

  1.1. Fisiologi Tidur Tidur merupakan suatu keadaan tidak sadar dimana persepsi dan reaksi individu terhadap lingkungan menurun atau hilang dan dapat dibangunkan kembali dengan indra atau rangsangan yang cukup. Seseorang dapat dikategorikan sedang tidur apabila terdapat tanda-tanda sebagai berikut: aktivitas fisik minimal, tingkat kesadaran yang bervariasi, terjadi perubahan-perubahan proses fisiologis tubuh, penurunan respon terhadap rangsangan dari luar.

  Selama tidur, dalam tubuh seseorang terjadi perubahan proses fisiologis. Perubahan tersebut, antara lain: penurunan tekanan darah, denyut nadi, dilatasi pembuluh darah perifer, kadang-kadang terjadi peningkatan aktivitas traktus gastrointestinal, relaksasi otot-otot rangka, Basal Metabolisme Rate (BMR) menurun 10-30% (Asmadi, 2008).

  Fisiologi tidur merupakan pengaturan kegiatan tidur oleh adanya hubungan mekanisme serebral yang secara bergantian untuk mengaktifkan dan menekan pusat otak agar dapat tidur dan bangun. Salah satu aktivitas tidur ini diatur oleh sistem pengaktivasi yang disebut Reticular Activating System (RAS). Dalam keadaan sadar, neuron dalam RAS akan melepaskan katekolamin seperti norepineprin. Demikian juga pada saat tidur, kemungkinan disebabkan adanya pelepasan serum serotonin dari sel khusus yang berada di pons dan batang otak tengah yaitu Bulbar Synchronizing Regional (BSR), sedangkan bangun tergantung

  10 dari keseimbangan impuls yang diterima di pusat otak dan sistem limbik (Hidayat, 2006).

  1.2. Tahapan Tidur Tidur normal pada manusia terdiri atas dua jenis, yang disebut sebagai

  

nonrapid eye movement (NREM) dan rapid aye movement (REM). Tidur NREM

dibagi dalam 4 tahap yaitu NREM 1,2,3 dan 4 (Lee-Chiong, 2009).

  1.2.1. Tahapan Tidur Nonrapid Eye Movement (NREM) Tidur NREM disebut juga sebagai tidur gelombang lambat karena gelombang otak pada orang yang sedang mengalami tidur terjadi lebih lambat dari gelombang alfa dan beta dari seseorang yang bangun. Menurut Kozier, Berman, Synder (2004) tidur NREM dibagi kedalam 4 tahap yaitu:

  Tahap 1, pada tahap ini seseorang merasakan mengantuk dan keadaan tenang sekali, bola mata bergerak dari samping kesamping, pernapasan dan nadi menurun sedikit demi sedikit. Pada tahap ini orang yang tidur masih dengan mudah terbangun, dan tahap ini dapat berlangsung selama lebih kurang beberapa menit. Tahap 2, selama tahap ini dimana seluruh proses dalam tubuh akan mulai menurun selama berkelanjutan. Mata biasanya masih menetap, laju nadi dan pernapasan mulai menurun, dan temperatur tubuh menurun. Pada tahap dua ini berlangsung selama lebih kurang 40%-45% dari total tidur.

  Tahap 3, selama tahap ini kondisi laju nadi dan pernapasan akan sama dengan seluruh proses tubuh yaitu jauh lebih lambat dikarenakan dominasi dari sistem saraf parasimpatis. Orang yang mengalami tidur akan lebih sulit untuk terbangun. Mereka tidak diganggu oleh stimulus sensori, otot rangka sudah sangat rileks, gerak refleks berkurang, dan kadang-kadang muncul dengkuran. Tahap 4, tanda dari tidur yang dalam, laju nadi dan pernapasan dari orang yang mengalami tidur menurun sejauh 20%-30% yang ditunjukkan selama jam terjaga. Orang yang tidur pada tahap ini sangat rileks, jarang bergerak dan sangat sulit untuk terbangun. Pada tahap tidur ini, diperkirakan waktu untuk memulihkan tubuh secara fisik, dan selama tahap ini gerak bola mata biasanya cepat dan beberapa mimpi akan muncul.

  1.2.2 Tahapan Tidur Rapid Eye Movement (REM) Tidur ini dapat berlangsung pada tidur malam yang terjadi selama 5-20 menit, rata-rata timbul 90 menit. Periode pertama terjadi selama 80-100 menit. Ciri-ciri tidur ini adalah sebagai berikut:

  1. Biasanya disertai dengan mimpi aktif

  2. Lebih sulit dibangunkan daripada selama tidur NREM

  3. Tonus otot pada saat tidur REM sangat tertekan, menunjukkan inhibisi kuat proyeksi spinal atas sistem RAS

  4. Frekuensi jantung dan pernapasan menjadi tidak teratur

  5. Pada otot perifer terjadi beberapa gerakan otot yang tidak teratur

  6. Mata cepat tertutup dan terbuka, nadi cepat dan irreguler, tekanan darah meningkat atau berfluktuasi, sekresi gaster meningkat dan metabolisme meningkat

  7. Tidur ini penting untuk keseimbangan mental, emosi juga berperan dalam belajar, memori dan adaptasi (Hidayat, 2006).

  1.3. Siklus Tidur Secara normal pada orang dewasa pola tidur rutin dimulai dengan periode sebelum tidur, selama seseorang terjaga hanya pada rasa kantuk yang bertahap berkembang secara teratur. Periode ini secara normal berakhir 10 hingga 30 menit, tetapi untuk seseorang yang mengalami kesulitan untuk tidur akan berlangsung satu jam atau lebih (Potter & Perry, 2005).

  Selama satu siklus tidur, seseorang akan melewati siklus tidur NREM dan REM. Satu siklus tidur yang utuh biasanya terjadi selama 1,5 jam pada orang dewasa. Pada siklus tidur yang pertama, seseorang yang sedang tidur akan melewati 3 tahap pertama tidur NREM dari keseluruhan total waktu tidur yang berkisar 20-30 menit. Setelah itu, tahap 4 mungkin akan terjadi sekitar 30 menit.

  Setelah tahap 4 NREM, tidur akan melewati kembali tahap 3 dan 2 yang terjadi sekitar 20 menit. Kemudian tahap REM pertama muncul, yang terjadi sekitar 10 menit dan akan melengkapi tahapan dalam siklus tidur yang pertama. Pengalaman tidur umumnya memiliki 4-6 siklus dalam satu kali tidur yang terjadi selama 7-8 jam. Seseorang yang mengalami tidur dan terbangun sewaktu siklus tidur akan memulai siklus tidur NREM tahap 1 yang baru dan meneruskan kesemua tahap sampai tahap tidur REM (Kozier, Berman & Synder, 2004).

  Apabila seseorang kurang cukup mengalami REM, maka esok harinya ia akan menunjukkan kecenderungan untuk menjadi hiperaktif, kurang dapat mengendalikan emosinya dan nafsu makan bertambah. Sedangkan jika NREM kurang cukup, keadaan fisik menjadi kurang gesit (Mardjono, 2008 dalam Sagala, 2011).

  Durasi tahap tidur NREM dan REM bervariasi selama periode tidur. Seperti pada waktu tidur malam yang berlanjut, orang yang mengalami tidur menjadi kurang lelah dan menghabiskan waktu yang singkat pada tahap 3 dan 4 dari tidur NREM. Tidur REM meningkat dan mimpi cenderung diperpanjang. Jika orang yang mengalami tidur sedang dalam keadaan lelah, siklus tidur REM akan sering singkat, misalnya akan terjadi 5 menit dan bukannya 20 menit selama waktu tidur awal. Sebelum tidur berakhir, periode dekat terjaga terjadi dan tidur REM tahap 1 dan 2 serta tidur REM akan mendominasi (Kozier, Berman, Synder, 2004). Secara singkat siklus tidur dapat digambarkan pada skema berikut ini: Tahap Pratidur NREM tahap 1 NREM tahap 2 NREM tahap 3 NREM tahap 4 Tidur REM NREM tahap 2 NREM tahap 3 Skema 2.1. Tahap-tahap siklus tidur (Potter & Perry, 2005)

  1.4. Fungsi Tidur Efek tidur bagi tubuh tidak dapat dimengerti secara sempurna. Tidur memberikan efek fisiologis pada sistem saraf dan struktur tubuh lainnya. Aktivitas tidur dalam beberapa hal dapat memulihkan level normal aktivitas tubuh dan keseimbangan normal dari sistem saraf. Tidur juga kebutuhan terhadap sintesa protein yang mana memungkinkan proses perbaikan terjadi. Peran tidur dalam kesejahteraan psikologis merupakan sebuah peringatan yang terbaik dari kemerosotan fungsi mental yang berhungan dengan kekurangan tidur. Seseorang dengan jumlah tidur yang tidak adekuat cenderung mengalami emosional mudah marah, konsentrasi yang buruk, dan pengalaman sulit dalam pengambilan keputusan (Kozier, Berman & Synder, 2004).

  Tidur REM terlihat penting untuk pemulihan kognitif. Tidur REM dihubungkan dengan perubahan dalam aliran darah serebral, peningkatan aktivitas kortikal, peningkatan konsumsi oksigen, dan pelepasan epinefrin. Hubungan ini dapat membantu penyimpanan memori dan pembelajaran. Selama tidur, orang menyaring informasi yang disimpan tentang aktivitas organ hati (Potter & Perry, 2005).

  1.5. Kualitas Tidur Pola tidur berubah seiring dengan bertambahnya usia, semakin bertambah usia, maka tubuh mulai banyak melakukan beragam aktivitas. Itulah sebabnya jam biologis akan berubah-ubah menyesuaikan dengan aktivitas dan ritme kebutuhan tubuh. Perubahan-perubahan ini perlu dicermati untuk mendapatkan kualitas tidur yang baik (Sapadja, 2009).

  Kualitas tidur merupakan konstruksi klinis yang penting untuk mengkaji masalah dan sesuatu yang buruk selama tidur. Hal itu dapat menjadi tanda dari aktivitas tidur dan gangguan medis (Buysse, et al., 1988 dalam Karota-Bukit, 2003). Durasi dan kualitas tidur beragam diantara orang-orang dari semua kelompok usia. Seseorang mungkin merasa cukup beristirahat dengan 4 jam tidur sementara yang lain membutuhkan 10 jam (Potter & Perry, 2005).

  Hidayat (2006) mengatakan bahwa kualitas tidur adalah kepuasan seseorang terhadap tidur, sehingga seseorang tersebut tidak memperlihatkan perasaan lelah, mudah terangsang dan gelisah, lesu dan apatis, kehitaman disekitar mata, kelopak mata bengkak, konjungtiva merah, mata perih, perhatian terpecah-pecah, sakit kepala dan sering menguap atau mengantuk. Kualitas tidur seseorang dikatakan baik apabila tidak menunjukkan tanda-tanda kekurangan tidur dan tidak mengalami masalah dalam tidurnya.

  Ebersole dan Hess (1998 dalam Karota-Bukit, 2003) mengatakan baik atau buruknya kualitas tidur adalah sebuah penilaian subjektif berdasarkan posisi tubuh, frekuensi terbangun dan persepsi personal. Tubuh yang terasa kurang sehat akibat menderita penyakit sistemik (sakit tubuh menyeluruh) atau nyeri hebat lokal, membuat seseorang akan gelisah tidurnya. Kondisi tersebut bisa mengganggu baik dari segi kuantitas maupun kualitas tidur seseorang (Khasanah, 2012). Lai (2001 dalam Wavy, 2008) menyebutkan bahwa kualitas tidur ditentukan oleh bagaimana seseorang memandang pola tidur malam harinya seperti kedalaman tidur, kemampuan untuk tetap tertidur, kemudahan untuk jatuh tertidur tanpa menggunakan obat-obatan. Kualitas tidur yang baik dapat memberikan perasaan tenang di pagi hari, perasaan semangat seharian dan tidak ada masalah apapun dalan gangguan tidur. Dengan kata lain, proses kualitas tidur yang baik adalah hal yang utama dan penting bagi kesehatan tubuh manusia.

  Kualitas tidur seseorang dapat dianalisa melalui pemerikasaan laboratorium yaitu EEG (Electroenchepalografi) yang merupakan rekaman arus listrik dari otak. Perekaman listrik dari permukaan otak atau permukaan luar kepala dapat menunjukkan adanya aktivitas listrik yang terus menerus timbul dalam otak. Ini sangat dipengaruhi oleh derajat eksitasi otak sebagai akibat dari keadaan tidur, keadaan siaga atau karena penyakit lain yang diderita.

  1.6. Pengkajian Kualitas Tidur Kualitas tidur adalah suatu keadaan di mana tidur yang dijalani seorang

  (

  individu menghasilkan kesegaran dan kebugaran di saat terbangun Khasanah, 2012). Kualitas tidur termasuk bagaimana kualitas tidur yang dirasakan, latensi tidur, durasi tidur, efisiensi tidur dan gangguan tidur, penggunaan obat-obat tidur, disfungsi pada siang hari (Wavy, 2008). Kualitas tidur menyangkut pengkajian subjektif yaitu seberapa menyegarkan dan tenangnya tidur mereka dan pengkajian objektif yang dapat diketahui dari rekaman poligrafi, gerakan pergelangan tangan, gerakan kepala dan mata (Mac Arthur, 1997 dalam Nisrina, 2008).

  1. Data subjektif Dari data subjektif salah satu kriteria yang paling penting dalam menentukan keadekuatan tidur klien adalah pernyataan yang disampaikan oleh klien (Craven & Hirnle, 2000 dalam Butar-butar, 2007). Hal ini difokuskan pada hal yang disampaikan klien yang dapat menjadi indikator, karakteristik gangguan tidur yang meliputi masalah verbal klien bahwa tidak dapat tidur dengan baik, tidak merasa segar saat tidur, merasa kelelahan, terbangun lebih cepat dari biasanya, atau mengalami gangguan tidur, merasa tidak puas dengan tidurnya (Foreman, 1995 dalam Butar-Butar, 2007). Hanya para penderita penyakit saja yang dapat melaporkan apakah mereka mendapatkan tidur yang baik atau buruk.

  Jika para penderita penyakit puas dengan kualitas dan kuantitas tidurnya maka mereka mempunyai tidur yang baik (Potter & Perry, 2005).

  2.Data Objektif Data objektif bisa didapatkan melalui pengkajian fisik pasien yaitu dengan mengobservasi lingkaran mata, adanya respon pasien yang lamban, ketidakmampuan/kelemahan, penurunan konsentrasi, berapa kali pasien terbangun karena nyeri, inkontinensia dan gangguan lain (Hodges, 1996 dalam Junita, 2005).

  Disamping itu data objektif tentang kualitas tidur pasien juga bisa dianalisa melalui pemeriksaan laboratorium yaitu EEG. Tipe gelombang EEG diklasifikasikan sebagai gelombang alfa, betha, tetha, dan delta (Guyton & Hall, 1997 dalam Junita, 2005).

  3. Hubungan antara data subjektif dan data objektif Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan kuat antara kualitas tidur berdasarkan data subjektif dan data objektif. Dari data objektif yang diperoleh maka dapat diketahui bagaimana kualitas tidur seseorang. Menurut beberapa penelitian, semakin banyak gelombang kecil perdetiknya pada EEG maka semakin lelap dan tenang tidur seseorang (Selamihardja, 2002 dalam Dewi, 2011). Pengukuran terhadap kualitas tidur telah dilakukan oleh beberapa peneliti salah satunya Buysee dkk (1989). Buysee menggunakan instrumen pengukuran kualitas tidur yang disebut The Pittsburg Sleep Quality Index (PSQI).

  Buysee dkk (1989) mengatakan bahwa kualitas tidur adalah sebuah konsep klinis yang sudah diterima dan merupakan gambaran sebuah fenomena yang kompleks yang mana hal tersebut sangat sulit untuk ditentukan dan diukur secara objektif. Kualitas tidur terdiri dari aspek kuantitatif tidur, seperti durasi tidur, latensi tidur dan seberapa besar keinginan seorang individu untuk tidur, sama halnya juga dengan aspek subjektif seperti kedalaman atau ketenangan tidur.

  Walaupun demikian elemen yang pasti yang menyusun kualitas tidur, mungkin akan bervariasi pada setiap individu, terlebih lagi dikarenakan kualitas tidur sebagian besar adalah subjektif. PSQI adalah instrumen efektif yang digunakan untuk mengukur kualitas tidur dan pola tidur pada orang dewasa. PSQI dibuat dan dikembangkan untuk mengukur dan membedakan individu dengan kualitas tidur yang baik dan kualitas tidur yang buruk.

  The Pittsburg Sleep Quality Index dikembangkan dengan beberapa tujuan

  diantaranya, (1) untuk menyediakan sebuah instrumen pengukuran kualitas tidur yang reliabel, valid, dan terstandarisasi; (2) untuk membedakan orang-orang yang memiliki kualitas tidur yang baik dan buruk; (3) untuk menyediakan sebuah instrumen yang mudah untuk digunakan, membantu para kilinisi dan peneliti untuk menginterpretasi; (4) untuk menyediakan sebuah uraian, pengkajian yang bermanfaat secara klinis terhadap berbagai macam gangguan tidur yang mungkin akan mempengaruhi kualitas tidur. Item-item dalam PSQI diambil dari 3 sumber: intuisi klinis dan pengalaman pasien yang memiliki gangguan tidur; tinjauan kuisioner kualitas tidur yang sebelumnya telah diterbitkan melalui literatur dan pengalaman klinis dengan pengujian instrumen selama 18 bulan. PSQI mengkaji kualitas tidur selama satu bulan sebelumnya dengan asumsi penilaian dilakukan hanya untuk aktivitas tidur yang dilakukan di malam hari. PSQI terdiri dari 18 pertanyaan yang berkaitan untuk penilaian individu diberikan mampu menilai varietas yang sangat luas berkaitan dengan kualitas tidur seseorang termasuk estimasi dari durasi tidur, latensi tidur, frekuensi tidur serta tingkat keparahan permasalahan tidur seseorang.

  PSQI terdiri dari 18 pertanyaan yang tersebar dalam 7 dimensi. Dimensi itu antara lain:

  1. Kualitas tidur subjektif, yaitu evaluasi singkat seseorang terhadap kualitas tidurnya secara subjektif apakah tidurnya baik atau buruk. Komponen ini merujuk pada pertanyaan nomor 9 yang berbunyi: “Selama 1 bulan terakhi r, bagaimana Anda menilai kualitas tidur Anda secara umum ?”.

  Kriteria penilaian disesuaikan dengan pilihan jawaban responden sebagai berikut.

  Sangat baik :0 Cukup baik :1 Cukup buruk :2 Sangat buruk :3 2. Latensi tidur, yaitu durasi mulai dari berangkat tidur hingga dapat tertidur.

  Seseorang dengan kualitas tidur baik menghabiskan waktu kurang dari 15 menit untuk memasuki tahap tidur selanjutnya secara lengkap. Sebaliknya, lebih dari 20 menit menandakan level insomnia yaitu seseorang yang mengalami kesulitan dalam tahap tidur selanjutnya. Komponen ini merujuk pada pertanyaan nomor 2 yang berbunyi: “Selama 1 bulan terakhir, berapa lama (dalam menit) Anda membutuhkan waktu untuk dapat tertidur di malam hari ?”. Kriteria penilaian sebagai berikut:

  :0 ≤15 menit 16-30 menit :1 31-60 menit :2 >60 menit :3 Ditambah dengan Pertanyaan 5a yang berbunyi: “Selama 1 bulan terakhir seberapa sering Anda mengalami gangguan tidur yang disebabkan karena tidak dapat tidur dalam waktu 30 menit ?”. Kriteria penilaian sebagai berikut: Tidak terjadi selama 1 bulan terakhir :0 Kurang dari 1 kali dalam seminggu :1 1 atau 2 kali dalam seminggu :2 3 kali atau lebih dalam seminggu :3 Selanjutnya skor pertanyaan 2 dan 5a dijumlahkan dan didapatkan kriteria penilaian sebagai berikut: Skor 0 :0 Skor 1-2 :1 Skor 3-4 :2 Skor 5-6 :3

  3. Durasi tidur, yaitu waktu yang dihitung dimulai dari waktu seseorang tidur sampai terbangun di pagi hari tanpa menyebutkan terbangun pada tengah malam. Orang dewasa yang dapat tidur selama lebih dari 7 jam setiap malam dapat diakatakan memiliki kualitas tidur yang baik. Komponen ini merujuk pada pertanyaan nomor 4 yang berbu nyi: “Selama 1 bulan terakhir, b erapa jam Anda dapat tidur nyenyak di malam hari”. Kriteria penialaian sebagai berikut: Durasi tidur >7 jam :0 Durasi tidur 6-7 jam :1 Durasi tidur 5-6 jam :2 Durasi tidur <5 jam :3

  4. Efisiensi kebiasaan tidur, yaitu rasio persentase antara jumlah total jam tidur dibagi dengan jumlah jam yang dihabiskan di tempat tidur.

  Seseorang dikatakan mempunyai kualitas tidur yang baik apabila efisiensi kebiasaan tidurnya lebih dari 85%. Komponen ini merujuk pada pertanyaan 1, 3 dan 4 mengenai jam tidur malam dan bangun pagi serta durasi tidur. Jawaban responden kemudian dihitung dengan rumus:

  Durasi tidur (#4) X 100% Jam bangun pagi (#3)

  • – Jam tidur malam (#1) Hasil perhitungan dikelompokkan sesuai penilaian sebagai berikut: Efisiensi tidur >85% :0 Efisiensi tidur 75-84% :1 Efisiensi tidur 65-74% :2 Efisiensi tidur <65% :3

  5. Gangguan tidur, yaitu terputusnya tidur yang mana pola tidur-bangun seseorang berubah dari pola kebiasaannya, hal ini menyebabkan penurunan baik kuantitas maupun kualitas tidur seseorang. Komponen ini merujuk pada pertanyaan nomor 5b-5j yang terdiri dari hal-hal yang dapat menyebabkan gangguan tidur. Tiap item memiliki kriteria penilaian sebagai berikut: Tidak terjadi 1 bulan terakhir :0 Kurang dari 1 kali dalam seminggu :1 1 atau 2 kali dalam seminggu :2 3 kali atau lebih dalam seminggu :3

  Skor tiap item dijumlahkan lalu dikelompokkan sesuai kriteria penilaian sebagai berikut: Skor gangguan tidur 0 :0 Skor gangguan tidur 1-9 :1 Skor gangguan tidur 10-18 :2 Skor gangguan tidur 19-27 :3

  6. Penggunaan obat tidur, yaitu penggunaan obat-obatan tertentu yang dapat mempengaruhi ataupun membantu seseorang untuk dapat tertidur.

Komponen ini merujuk pada pertanyaan nomor 7 yang berbunyi: “Selama 1 bulan terakhir, Seberapa sering Anda mengonsumsi obat tidur?”. Kriteria

  penilaian disesuaikan dengan pilihan jawaban responden sebagai berikut: Tidak terjadi selama 1 bulan terakhir :0 Kurang dari 1 kali dalam seminggu :1 1 atau 2 kali dalam seminggu :2 3 kali atau lebih dalam seminggu :3

  7. Disfungsi pada siang hari, yaitu keadaan seseorang yang memiliki gangguan ketika beraktivitas di siang hari, kurang antusias atau perhatian, tidur sepanjang siang, kelelahan, depresi, mudah mengalami distres, dan penurunan beraktivitas. Komponen ini merujuk pada pertanyaan nomor 6 yang berbunyi: “Selama 1 bulan terakhir, seberapa sering anda mendapat masalah agar tetap terjaga dalam berkendara, makan atau ketika melakukan aktivitas sosial?”. Kriteria penilaian sebagai berikut: Tidak terjadi selama 1 bulan terakhir :0

  Kurang dari 1 kali dalam seminggu :1 1 atau 2 kali dalam seminggu :2 3 kali atau lebih dalam seminggu :3 Ditambah dengan pertanyaan nomor 8 yang berbunyi: “Selama 1 bulan terakhir, seberapa berat bagi Anda agar tetap antusias atau bersemangat dalam mengerjakan sesuatu?”. Kriteria penilaian sebagai berikut: Tidak menjadi masalah :0 Hanya masalah kecil :1 Agak menjadi masalah :2 Masalah besar :3 Selanjutnya skor pertanyaan 6 dan 8 dijumlahkan, sesuai kriteria penilaian Skor disfungsi 0 :0 Skor disfungsi 1-2 :1 Skor disfungsi 3-4 :2 Skor disfungsi 5-6 :3

  Penelitian kualitas tidur yang baik dan buruk dilakukan dengan mengukur 7 dimensi tersebut. Tiap dimensi berkisar antara 0 (tidak ada masalah) sampai 3 (masalah berat). Nilai tiap komponen kemudian dijumlahkan menjadi skor global dengan kisaran nilai 0-21. Skor global >5 dianggap memiliki kualitas tidur yang buruk sedangkan skor ≤5 memiliki kualitas tidur baik.

  1.7. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kualitas Tidur Kualitas dan kuantitas tidur dipengaruhi oleh sejumlah faktor. Kualitas tidur merujuk pada kemampuan individu untuk tetap tidur dan untuk mendapatkan lama waktu tidur yang tepat dari tidur REM dan NREM. Kuantitas tidur adalah total waktu yang digunakan individu selama tidur (Kozier, Berman, & Synder, 2004). Seseorang bisa tertidur ataupun tidak dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya sebagai berikut:

  1.Penyakit Setiap penyakit yang meyebabkan nyeri dan ketidaknyaman fisik dapat menyebabkan masalah tidur, seseorang yang sakit membutuhkan lebih banyak tidur daripada orang normal, karena ritme normal tidur dan terjaga mereka sering terganggu (Kozier, Berman & Synder, 2004).

  2.Lingkungan Lingkungan fisik tempat seseorang berada dapat mempengaruhi tidurnya.

  Ukuran, kekerasan dan posisi tempat tidur mempengaruhi kualitas tidur. Seseorang lebih nyaman tidur sendiri atau bersama orang lain, teman tidur dapat menganggu tidur, jika ia mendengkur. Suara juga mempengaruhi tidur, butuh ketenangan untuk tidur, hindari dari kebisingan (Potter & Perry, 2005).

  3.Latihan fisik dan Kelelahan Seseorang yang melakukan olahraga di siang hari akan mudah tertidur di malam harinya. Kondisi fisik yang lelah dapat mempengaruhi pola tidur seseorang. Semakin lelah seseorang, semakin pendek siklus tidur REM yang dilaluinya. Keletihan akibat aktivitas yang tinggi dapat memerlukan lebih banyak tidur untuk menjaga keseimbangan energi yang telah dikeluarkan (Lourensia, 2013). Latihan dapat meningkatkan keluhan fatigue sehingga akan memicu produksi soporotic atau sleep-inducing effect dan akan meningkatkan waktu istirahat dan tidur.

  4.Gaya Hidup Seseorang yang memiliki pekerjaan shift dan sering dalam melakukan pergantian shift, harus dapat mengatur aktivitas mereka agar dapat tidur dengan waktu yang tepat. Latihan ringan biasanya dapat memicu untuk tidur, sedangkan latihan yang berlebih dapat menunda waktu untuk tertidur. Kemampuan seseorang untuk tetap tenang dan rileks adalah faktor penting yang mempengaruhi untuk jatuh tidur (Kozier, Berman & Synder, 2004).

  5.Stres Emosional Kecemasan dan depresi yang sering akan mengganggu tidur. Seseorang yang memiliki permasalahan yang serius pasti tidak akan mampu untuk cukup tenang untuk tertidur. Kecemasan dapat meningkatkan level darah norepinefrin darah melalui stimulasi sistem saraf pusat. Hasil perubahan kimia ini mengurangi tidur REM dan NREM tahap 4 dan banyak tahap yang berubah serta dapat membuat orang terbangun (Kozier, Berman & Synder, 2004).

  6.Stimulan dan Alkohol Kafein adalah minuman yang berperan sebagai stimulan bagi sistem saraf pusat, sehingga berpengaruh terhadap tidur. Seseorang yang meminum alkohol dalam jumlah yang berlebih, ditemukan akan sering mengalami gangguan dalam tidurnya. Mengonsumsi alkohol dalam jumlah yang berlebih akan mengganggu tidur REM. Meskipun hal itu dapat mempercepat untuk jatuh tidur. Toleransi mengonsumsi alkohol seseorang akan membuat ketidakmampuannya dalam tidur dengan baik (Kozier, Berman & Synder, 2004).

  7.Diet Kehilangan berat badan sudah pasti berhubungan dengan pengurangan total waktu untuk tidur sama dengan orang yang mengalami masalah dengan tidur dan terlambat bangun.

  8.Merokok Kadar nikotin yang tinggi menyebabkan peningkatan waktu terjaga dan perilaku agitasi. Nikotin memiliki waktu paruh 1-2 jam. Individu yang merokok lebih dari 1 batang dalam beberapa jam menjelang waktu tidur akan mengalami kesulitan untuk memulai tidur (Potter & Perry 2007, dalam Arifin, 2011).

  9.Motivasi Keinginan untuk tetap terbangun sering sekali dapat mengatasi kelelahan seseorang. Sebagai contoh seseorang yang lelah mungkin akan dapat tetap terjaga ketika menghadiri suatu konser yang menarik. Ketika seseorang merasa bosan dan tidak termotivasi untuk terbangun, maka sebaliknya tidur akan terjadi (Kozier, Berman & Synder, 2004). Selain itu, adanya keinginan untuk menahan tidak tidur dapat menimbulkan gangguan proses tidur (Hidayat, 2006).

  10.Obat-obatan Beberapa obat-obatan dapat mempengaruhi kualitas tidur. Hipnotik turut dapat mengganggu tahap 3 dan 4 tidur NREM dan dapat menekan tidur REM.

  Beta-Blokers telah diketahui menyebabkan insomnia dan gangguan pada malam hari (Kozier, Berman & Synder, 2004). Golongan narkotik dapat menekan REM sehingga mudah mengantuk (Hidayat, 2006).

  2.1 Definisi Diabetes Melitus Diabetes melitus (DM) dikarakteristikkan sebagai peningkatan sirkulasi konsentrasi glukosa yang dihubungkan pada keabnormalan pada karbohidrat, lemak dan metabolisme protein dan keragaman dari komplikasi mikrovaskular dan makroaskular (Inzucchi, 2005). DM merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya (Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Simadibrata, & Setiati, 2009)

  Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, dan disfungsi beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah, yang menimbulkan berbagai macam komplikasi, antara lain aterosklerosis, neuropati, gagal ginjal, dan retinopati (Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2014)

  Gejala awal berhubungan dengan efek langsung dari kadar gula darah yang tinggi. Ginjal akan membuang air lebih banyak untuk mengencerkan sejumlah besar glukosa yang hilang. Karena ginjal menghasilkan air kemih dalam jumlah yang berlebihan, maka penderita menjadi lebih sering berkemih dengan air kemih yang lebih banyak (poliuri). Akibat poliuri penderita akan merasa haus yang berlebihan sehingga akan lebih banyak minum (polidipsi). Sejumlah besar kalori akan hilang di dalam air kemih, sehingga penderita akan mengalami penurunan berat badan. Untuk mengompensasi hal ini penderita seringkali akan merasa sangat lapar sehingga akan menjadi lebih banyak makan (polifagi) (Ismi, 2013) .

  2.2. Klasifikasi Etiologi Diabetes Melitus Diabetes bukanlah penyakit tunggal, tetapi sekelompok gangguan heterogen yang berhubungan satu sama lain hanya karena manifestasi utama mereka: hiperglikemia dan komplikasi vaskular yang dihasilkan (Inzucchi, 2005). Klasifikasi DM yang dianjurkan PERKENI yang sesuai dengan anjuran klasifikasi DM American Diabetes Association (ADA). Klasifikasi etiologi DM menurut ADA (2007) dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Tabel 2.1 Klasifikasi diabetes melitus

  Jenis Etiologi Tipe 1

  Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut

  1. Autoimun 2.

  Idiopatik

  Tipe 2

  Bervariasi, mulai yang dominan resistensi insulin yang disertai defisiensi insulin relatif sampai yang dominan defek sekresi insulin disertai resistensi insulin

  Tipe lain

  1. Defekgenetik fungsi sel beta

  2. Diabetes Melitus gestasional

  3. Defek genetik kerja insulin

  4. Penyakit eksokrin pankreas

  5. Endokrinopati

  6. Karena obat atau zat kimia 7.

  Infeksi

  8. Sebab imunologi (jarang)

  9. Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM Diabetes Melitus

  Intoleransi glukosa yang timbul atau terdeteksi pada

  Gestasional

  kehamilan pertama dan gangguan toleransi glukosa setelah terminasi kehamilan. A. DM tipe 1, Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM) DM tipe 1 terjadi dengan rata-rata 5-10% dari semua kasus DM di belahan dunia barat. DM tipe 1 dikarakteristikkan oleh beberapa defisiensi insulin sebagaimana hasil dari kerusakan pada sel β. Pada akhirnya sirkulasi kosentrasi insulin menjadi tak berarti dan secara utuh tidak ada. Pasien dengan DM tipe 1 tidak hanya memperlihatkan kodisi hiperglikemia tetapi juga ketoasidosis diabetik. Sehingga beberapa individu akan bergantung pada insulin untuk dapat bertahan hidup (Inzucchi, 2005).

  Onset DM tipe 1 biasanya terjadi sebelum usia 25-30 tahun (tetapi tidak selalu demikian karena orang dewasa dan lansia yang kurus juga dapat mengalami diabetes jenis ini). Ketika diagnosa ditegakkan, pasien biasanya memiliki berat badan yang rendah. Hasil tes deteksi antibodi islet hanya bernilai sekitar 50-80% dan KGD >140 mg/dL (Arisman, 2011 dalam Mendrofa, 2012).

  B. DM tipe 2, Non-Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) Diabetes jenis ini terjadi sekitar 90-95% dari seluruh kejadian diabetes.

  Diabetes jenis ini dapat juga disebut diabetes tidak tergantung insulin, diabetes tipe 2 atau diabetes onset dewasa, termasuk dalam individu yang memiliki keresistensian terhadap insulin dan biasanya relatif memiliki defisiensi insulin, paling tidak awalnya dan sering kali selama hidup mereka, beberapa individu tidak membutuhkan terapi insulin untuk dapat bertahan hidup. Paling banyak pasien yang menderita DM tipe ini akan gemuk, kegemukan mereka menyebabkan beberapa kemungkinan terhadap resistensi insulin (ADA, 2004).

  DM tipe 2 mempunyai onset pada usia pertengahan (40-an tahun), atau lebih tua. Kemungkinan untuk menderita DM tipe 2 akan berlipat ganda jika berat badan bertambah sebanyak 20% di atas berat badan ideal dan usia bertambah 10 tahun atau di atas 40 tahun. Gejala muncul perlahan-lahan dan biasanya ringan (kadang-kadang bahkan belum menampakkan gejala selama bertahun-tahun) serta progresivitas gejala berjalan lambat. Kadar insulin menurun atau bahkan tinggi, atau mungkin juga insulin bekerja tidak efektif. Pengendaliannya boleh jadi hanya berupa diet dan (jika tidak ada kontraindikasi) olahraga, atau dengan pemberian obat hipoglisemik (Arisman, 2011 dalam Mendrofa, 2012).

  C. Diabetes Melitus tipe lain Diabetes jenis ini dahulu kerap disebut diabetes sekunder, atau DM tipe lain. Etiologi diabetes jenis ini, meliputi : (a) penyakit pada pankreas yang merusak sel ß, seperti hemokromatosis, pankreatitis, fibrosis kistik; (b) sindrom hormonal yang mengganggu sekresi dan/atau menghambat kerja insulin, seperti akromegali, feokromositoma, dan sindrom Cushing; (c) obat-obat yang menggangu sekresi insulin (fenitoin [Dilantin]) atau menghambat kerja insulin (estrogen dan glukokortikoid); (d) kondisi tertentu yang jarang terjadi, seperti kelainan pada reseptor insulin; dan (e) sindrom genetik (Arisman, 2011 dalam Mendrofa, 2012).

  D. Diabetes Melitus kehamilan (DMK) Diabetes Melitus Kehamilan (DMK) didefenisikan sebagai adanya peningkatan intoleransi glukosa dengan onset kehamilan pada trimester satu.

  Komplikasi DMK sekitar 4% dari seluruh kejadian kehamilan di Amerika Serikat dengan hasil kurang lebih 135.000 kasus setiap tahun. Prevalensi dengan rentang dari 1 sampai 14% dari jumlah kehamilan. DMK hampir mewakili 90% dari total kehamilan yang diakibatkan oleh diabetes. Penurunan dalam intoleransi glukosa terjadi secara normal selama kehamilan, khususnya pada trimester ketiga (American Diabetes Association, 2004).

  2.3 Faktor Risiko Diabetes Melitus Beberapa faktor di bawah ini dapat memperbesar timbulnya penyakit diabetes melitus, antara lain:

  1. usia Penelitian antara umur terhadap kejadian DM menunjukan adanya hubungan yang signifikan. Kelompok umur dibawah 40 tahun merupakan kelompok yang kurang berisiko menderita DM tipe 2. Risiko pada kelompok ini 72,0% lebih rendah dibandingkan kelompok umur ≥40 tahun. Hal ini disebabkan adanya peningkatan intoleransi glukosa. Selain itu pada individu usia lebih tua terdapat penurunan aktivitas mitokondria di sel-sel otot sebesar 35,0%. Hal ini berhubungan dengan peningkatan kadar lemak di otot sebesar 30,0%, dan memicu terjadinya resistensi insulin (Potter & Perry, 2006 dalam Noerhayati, 2014)

  2. Riwayat Keluarga dengan Diabetes (Anak Penyandang Diabetes) DM tipe 2 merupakan penyakit multifaktorial dengan komponen genetik yang akan mempercepat fenotip diabetes, riwayat penyakit untuk timbulnya DM tipe 2 terjadi interaksi antara predisposisi genetik dan lingkungan, pada penelitian yang dilakukan oleh TheFramingham offspring oftipe 2diabetes mendapatkan resiko DM tipe 2 yaitu 3,5 kali lebih tinggi pada keturunan salah satu orang tua diabetes, dan 6 kali lebih tinggi pada keturunan yang keduanya orang tua tersebut menderita diabetes (Meigs, 2000 dalam Manik, 2012).

  3. Jenis kelamin Angka kejadian DM tipe 2 pada wanita lebih tinggi dari laki-laki. Wanita lebih berisiko mengalami peningkatan indeks massa tubuh yang lebih besar.

  Selain itu pada perempuan memiliki tingkat kecemasan atau stres yang lebih tinggi dari laki-laki. Pada kondisi stres, hormon stres yang berada dalam tubuh akan dikeluarkan yang kemudian dapat mempengaruhi peningkatan kadar gula darah (Smeltzer & Bare, 2001 dalam Noerhayati, 2014).

  4. Pendidikan Tingkat pendidikan memiliki pengaruh terhadap kejadian DM tipe 2. Orang dengan pendidikan yang tinggi biasanya akan memiliki pengetahuan tentang kesehatan yang memadai. Dengan adanya pengetahuan tersebut orang akan memiliki kesadaran dalam menjaga kesehatannya. Penelitian yang dilakukan oleh Yusra (2011 dalam Noerhayati, 2014) mengatakan bahwa tingkat pendidikan mempengaruhi perilaku seseorang dalam mencari perawatan dan pengobatan penyakit yang dideritanya, serta memilih dan memutuskan tindakan terapi yang akan dijalani untuk mengatasi masalah kesehatannya.

  5. Aktivitas Trisnawati (2012) mengatakan bahwa kurangnya aktifitas fisik juga menjadi salah satu faktor risiko terjadinya DM tipe 2, dikarenakan aktifitas fisik yang rendah tidak dapat mengontrol gula darah dengan baik. Aktifitas fisik yang rendah dapat mengakibatkan penurunan jumlah reseptor insulin yang siap berikatan dengan insulin, sehingga dapat meningkatkan kadar gula dalam darah yang nantinya dapat menyebabkan terjadinya DM (Kurniawan, 2010 dalam Noerhayati, 2014).

  6. Obesitas Obesitas merupakan faktor pendukung yang penting terjadinya diabetes pada pasen ini, terutama melaui pengaruhnya terhadap resstensi insulin. Kegemukan menyebabkan eksaserbasi keadaan diabetik dan dalam banyak kasus diabetes dapat diperbaiki dengan penurunan berat badan.

  2.5. Komplikasi Diabetes Melitus Jika gula darah tidak terkontrol dengan baik beberapa tahun kemudian akan timbul komplikasi. Komplikasi akibat diabetes yang timbul dapat berupa komplikasi akut dan kronis. 1).Komplikasi akut adalah komplikasi yang muncul secara mendadak. Keadaan bisa fatal jika tidak segera ditangani . Yang termasuk dalam kelompok ini adalah: a).Hipoglikemia

  Hipoglikemia adalah keadaan klinik gangguan saraf yang disebabkan penurunan glukosa darah < 60 mg/dl. Gejala hipoglikemia terdiri dari gejala

  

adrinergic (berdebar, banyak keringat, gemetar, rasa lapar) dan gejala

  neuroglikopenik (pusing, gelisah, kesadaran menurun sampai koma). Penyebab tersering hipoglikemia adalah akibat obat hipoglikemia oral golongan sulfonilurea, khususnya klorpropamida dan glibenklamida. Penyebab tersering lainnya antara lain : makan kurang dari aturan yang ditentukan, berat badan turun, sesudah olahraga, sesudah melahirkan dan lain-lain (Boedisantoso R, 2007 dalam Mendrofa, 2012). b).Ketoasidosis Diabetik

  Keadaan peningkatan senyawa keton yang bersifat asam dalam darah yang berasal dari asam lemak bebas hasil dari pemecahan sel-sel lemak jaringan. Gejala dan tandanya berupa nafsu makan turun, merasa haus, banyak minum, banyak kencing, mual dan muntah, nyeri perut, nadi cepat, pernapasan cepat dan dalam, napas bau khas (keton), hipotensi, penurunan kesadaran dan koma (Anies, 2006) c).Hiperglikemia Non Ketotik

  Hiperosmolar Hiperglikemik Non Ketotik ditandai dengan hiperglikemia, hiperosmolar tanpa disertai adanya ketosis. Gejala klinis utama adalah dehidrasi berat, hiperglikemia berat dan sering kali gangguan neurologis dengan atau tanpa adanya ketosis (Boedisantoso R, 2007 dalam Mendrofa, 2012).

  2).Komplikasi Kronik, komplikasi ini terjadi karena glukosa darah berada di atas normal berlangsung secara selama bertahun-tahun. Komplikasi timbul secara perlahan, kadang tidak diketahui, tetapi berangsur semakin berat dan membahayakan. a).Retinopati

  Retinopati disebabkan oleh perubahan dalam pembuluh-pembuluh darah kecil pada retina mata. Retina mata merupakan bagian yang menerima bayangan dan mengirimkan informasi tentang bayangan tersebut ke otak (Noerhayati, 2014). Berbagai kelainan akibat DM dapat terjadi pada retina, mulai dari retinopati diabetik non-proliperatif sampai perdarahan retina, kemudian juga ablasio retina dan lebih lanjut lagi dapat mengakibatkan kebutaan (Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Simadibrata, & Setiati, 2009) b).Neuropati

  Neuropati disebabkan akibat penumpukan sorbitol pada sel schwan dan neuron sehingga mengganggu konduksi sel-sel saraf sehingga mempengaruhi fungsi saraf otonom, sensori dan refleks. Neuropati ditandai adannya penurunan fungsi serabut saraf secara progresif. Neuropati merupakan komplikasi yang paling banyak terjadi, dan diperkirakan terjadi pada 50% pasien DM baik tipe 1 maupun tipe 2 (Lin 2011, dalam Arifin, 2011). c).Nefropati

  Nefropati diawali dengan peningkatan tekanan glomerular dan disertai dengan meningkatnya matriks ektraseluler akan menyebabkan terjadinya penebalan membran basal yang akan menyebabkan berkurangnya area filtrasi dan kemudian terjadi perubahan selanjutnya yang mengarah terjadinya glomerulosklerosis. Gejala-gejala yang akan timbul dimulai dengan mikroalbuminuria dan kemudian berkembang menjadi proteinuria secara klinis selanjutnya akan terjadi penurunan fungsi laju filtrasi glomerular dan berakhir dengan gagal ginjal (Mendrofa, 2012). d).Penyakit Jantung Koroner

  Diabetes merusak dinding pembuluh darah yang menyebabkan penumpukan lemak di dinding yang rusak dan menyempitkan pembuluh darah.

  Akibatnya suplai darah ke otot jantung berkurang dan tekanan darah meningkat, sehingga kematian mendadak bisa saja terjadi (Tandra, 2007) e).Kaki diabetik Ada 3 faktor yang berperan dalam kaki diabetik yaitu neuropati, iskemia, dan sepsis. Hilangnya sensori pada kaki bisa mengakibatkan trauma dan potensial untuk ulkus. Perubahan mikrovaskular dan makrovaskular dapat mengakibatkan iskemia jaringan dan sepsis. Neoropati, iskemia dan sepsis bisa menyebabkan gangren dan amputasi (Baradero,dayrit ,Siswadi, 2009)

  Penderita diabetes melitus, umumnya mengeluh sering berkemih, merasa haus, merasa lapar, rasa gatal-gatal pada kulit, dan keluhan fisik lainnya seperti mual, pusing dan lain-lain. Gejala klinis tersebut, pada malam hari juga dialami oleh penderita penyakit diabetes melitus, hal ini tentu dapat mengganggu tidurnya. Terjadinya gangguan tidur akan berdampak pada meningkatnya frekuensi terbangun, sulit tertidur kembali, ketidakpuasan tidur yang akhirnya mengakibatkan penurunan kualitas tidur. Disamping itu, kurang tidur selama periode yang lama dapat menyebabkan penyakit lain atau memperburuk penyakit yang ada (Potter & Perry, 2005).

  Penelitian Chaput, Despres, dan Bouchard (2007) membuktikan adanya pengaruh waktu tidur yang panjang dan yang singkat dan hubungannya dengan timbulnya diabetes tipe 2 atau gangguan toleransi glukosa pada orang dewasa. Penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa kurang tidur yang kronis adalah sebuah stimulus yang membuat ketidakstabilan dari glukosa darah. Penelitian lain juga dilakukan Cartier-Kastler dan Tobaro (2005) yang menyatakan bahwa durasi tidur pendek atau kualitas tidur yang buruk lebih mungkin akan mempengaruhi dalam percepatan tahap dalam proses gangguan toleransi glukosa atau peningkatan risiko diabetes sebelum muncul tanda-tanda keabnormalan klinis yang nyata.

  Penelitian tentang kualitas tidur pada pasien DM tipe 2 dilakukan oleh Cunha, Zanetti dan Hass (2008) terhadap 31 pasien DM tipe 2 di Sao Paulo yang menunjukkan bahwa 52% pasien mempunyai kualitas tidur kurang. Kualitas tidur yang kurang berhubungan dengan adanya Insomnia Restlegs Syndrome (RLS) dan

  

Obstruksi Sleep Apnoe (OSA) . Penelitian masalah tidur pada pasien DM juga

dilakukan di Sao Paulo menunjukkan bahhwa 32% mengalami gangguan tidur.

  Akibat berkurangnya waktu tidur dapat mempengaruhi sistem endokrin terutama dengan gangguan toleransi glukosa, resistensi insulin dan berkurangnya aktivitas insulin. Perubahan sistem endokrin yang terjadi selama periode tidur malam berhubungan dengan adanya sekresi beberapa hormon (Spiegel, 2008).

  Penelitian Dewi (2011) mengatakan bahwa terdapat beberapa faktor gangguan tidur yang dapat mempengaruhi kualitas tidur pada penderita diabetes melitus yaitu, faktor fisik, psiksosial, dan lingkungan.

  1.Fakor Fisik A).Nokturia. Nokturia adalah berkemih pada malam hari yang mengganggu tidur dan siklus tidur. Kondisi ini yang paling umum pada lansia dengan penurunan tonus kandung kemih atau pada orang yang berpenyakit jantung, diabetes, uretritis, atau penyakit prostat. Setelah seseorang berulang kali terbangun untuk berkemih, menyebabkan sulit untuk kembali tidur (Potter & Perry, 2005)

  B).Sering merasa haus. Jika kadar gula darah sampai diatas 160

  • – 180mg/dl, maka glukosa akan sampai ke air kemih. Jika kadarnya lebih tinggi lagi, ginjal akan membuang air tambahan untuk mengencerkan sejumlah besar glukosa yang hilang. Karena ginjal menghasilkan air kemih dalam jumlah yang berlebihan, maka penderita sering berkemih dalam jumlah yang banyak. Akibatnya penderita merasakan haus yang berlebihan sehingga penderita banyak minum. Dengankondisi yang seperti ini penderita sering terbangun untuk minum.

  C). Sering merasa lapar. Sejumlah besar kalori hilang kedalam air kemih, penderita diabetes melitus mengalami penurunan berat badan. Untuk mengkompensasikan hal ini penderita seringkali merasakan lapar yang luar biasa Sehingga banyak makan. Hal ini dapat mengganggu tidur penderita pada malam hari karena sering bangun.

  D). Gatal-gatal pada kulit. Gatal-gatal pada kulit merupakan salah satu gejala klinis penyakit diabetes melitus. Hal ini membuat penderita DM tidak nyaman untuk tidur dan dapat menyebabkan terbangun dari tidur.

  E). Kesemutan dan kram pada kaki. Bila gula tidak dikontrol atau tidak diobati, gejala kronis ini akan timbul dan ini akan menyebabkan penderita merasa tidak nyaman dan susah untuk tidur.

  F). Nyeri. Keluhan nyeri pada ekstremitas merupakan keluhan umum pada penderita diabetes mellitus, terutama pada penderita menahun apalagi dengan kendali glukosa yang tidak baik. Sensasi yang dirasakan dapat bermacam-macam seperti rasa terbakar, tertusuk. Hal ini ini menyebabkan penderita susah untuk tidur.

  G). Ketidaknyamanan fisik. Ketidaknyamanan fisik merupakan penyebab utama kesulitan untuk tidur atau sering terbangun pada malam hari (Potter & Perry, 2005).

  2.Faktor Psikososial A).Stres, seseorang dapat mengalami stres emosional karena penyakit. Oleh karena itu emosi seseorang dapat mempengaruhi kemampuan untuk tidur. Stres emosional menyebabkan seseorang menjadi tegang dan seringkali mengarah frustasi apabila tidak tidur. Stres juga menyebabkan seseorang mencoba terlalu keras untuk tertidur, sering terbangun selama siklus tidur, atau terlalu banyak tidur. Stres yang berlanjut dapat menyebabkan kebiasaan tidur yang buruk (Potter & Perry, 2005)

  B).Cemas, penderita penyakit yang memiliki resiko terhadap kecemasan adalah mereka yang takut dan khawatir akan penyakitnya, diisolasi dari keluarga dan kerabat, dan tidak familiar dengan lingkungan.

Dokumen yang terkait

Judul : Hubungan Usia Saat Menarche dengan Pola Siklus Menstruasi dan Dismenorea Remaja Putri di SMP Shafiyyatul Amaliyyah Medan

0 0 33

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Hubungan Usia Saat Menarche dengan Pola Siklus Menstruasi dan Dismenorea Remaja Putri di SMP Shafiyyatul Amaliyyah Medan

0 0 18

Hubungan Usia Saat Menarche dengan Pola Siklus Menstruasi dan Dismenorea Remaja Putri di SMP Shafiyyatul Amaliyyah Medan

0 1 14

BAB 2 TINJAUAN TEORI - Kesiapan Ibu Pramenopause Dalam Menghadapi Menopause di Kelurahan Simpang Selayang Kecamatan Medan Tuntungan

0 1 16

Kesiapan Ibu Pramenopause dalam Menghadapi Menopause di Kelurahan Simpang Selayang Kecamatan Medan Tuntungan

1 3 14

Pengaruh Pengetahuan, Sikap dan Ketersediaan Sarana Kerja terhadap Kinerja Tenaga Sanitarian dalam Memberikan Pelayanan Hygiene Sanitasi di Kabupaten Aceh Besar Provinsi Aceh.

0 0 26

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Kinerja 2.1.1 Pengertian Kinerja - Pengaruh Pengetahuan, Sikap dan Ketersediaan Sarana Kerja terhadap Kinerja Tenaga Sanitarian dalam Memberikan Pelayanan Hygiene Sanitasi di Kabupaten Aceh Besar Provinsi Aceh.

0 0 31

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang - Pengaruh Pengetahuan, Sikap dan Ketersediaan Sarana Kerja terhadap Kinerja Tenaga Sanitarian dalam Memberikan Pelayanan Hygiene Sanitasi di Kabupaten Aceh Besar Provinsi Aceh.

0 0 10

Perbandingan Kualitas Tidur pada Pasien Diabetes Melitus Laki-laki dan Perempuan di RSUD Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar

0 0 28

Perbandingan Kualitas Tidur pada Pasien Diabetes Melitus Laki-laki dan Perempuan di RSUD Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar

0 0 5