TINJAUAN PUSTAKA Sejarah Domba

  

TINJAUAN PUSTAKA

Sejarah Domba

  Domba lokal merupakan domba asli Indonesia yang mempunyai daya adaptasi yang baik terhadap iklim tropis, makanan yang kualitasnya rendah, penyakit dan gangguan caplak, sumber gen yang khas, produktif dipelihara dengan biaya rendah serta dapat beranak sepanjang tahun. Domba lokal mempunyai posisi yang sangat strategis di masyarakat karena mempunyai fungsi sosial, ekonomis, dan budaya serta merupakan sumber gen yang khas untuk digunakan dalam perbaikan bangsa domba di Indonesia melalui persilangan antar bangsa domba lokal dengan domba impor. Selain itu, domba juga termasuk ternak penghasil daging yang sangat potensial serta mampu mengkonversikan bahan pakan berkualitas rendah menjadi produk bergizi tinggi, memiliki kemampuan reproduksi yang relatif tinggi, produk sampingan berupa kulit, bulu, tulang, kotoran ternak bisa digunakan sebagai bahan baku industri (Abidin dan Sodiq, 2002).

  Klasifikasi Domba

  Domba adalah ternak ruminansia yang memiliki perut majemuk dan secara fisiologis sangat berbeda dengan ternak non ruminansia yang memiliki perut tunggal seperti unggas dan babi (Tomaszewska et al., 1993). Domba merupakan hewan ruminansia kecil yang masih tergolong kerabat kambing, sapi dan kerbau. Bangsa domba secara umum diklasifikasikan berdasarkan atas hal-hal tertentu diantaranya berdasarkan perbandingan banyaknya daging atau wol, ada tidaknya tanduk atau berdasarkan asal ternak (Ikhsan 2009). Menurut Blakely (1991) Domba diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Class : Mamalia Ordo : Artiodactyla Family : Bovidae Genus : Ovis Spesies : Ovis aries

  Domba yang ada di Indonesia untuk saat ini diperkirakan asal-usulnya adalah berasal dari pedagang-pedagang yang melakukan aktivitas membeli rempah-rempah di Indonesia pada zaman dahulu. Pedagang tersebut pada umumnya berasal dari Asia Barat Daya. Di Indonesia domba dipelihara untuk menghasilkan daging, disamping wool dan kulit, sementara kotorannya digunakan sebagai pupuk. Domba asli Indonesia sering disebut domba lokal. Domba lokal ini mempunyai ciri-ciri yang spesifik diantaranya mudah dibudidayakan dan banyak berkembang di daerah Jawa Barat dan Jawa Tengah.

  Populasi ternak domba di Indonesia pada tahun 2011 berjumlah 11,79 juta ekor atau setara dengan 25,9 persen dari total populasi ternak ruminansia (tabel 1) dan populasi domba di pulau Jawa terbesar yakni 73,5 persen dari total populasi domba Indonesia. Tabel 1. Populasi Ternak Ruminansia Indonesia Tahun 2011

  Ternak Populasi (Ekor)

  Sapi Potong 14.820.000 Sapi Perah 59.000.000 Kerbau

  1.310.000 Kambing

  16.950.000 Domba

  11.790.000

  Total 45.460.000

  Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (2012) Domba dapat dipelihara untuk berbagai tujuan produksi antara lain sebagai penghasil daging, kulit, susu dan wool. Disamping itu domba dapat juga digunakan sebagai materi penelitian atau sebagai bahan dasar untuk bibit ternak untuk menciptakan breed-breed yang baru. Untuk mencapai tujuan ini, diperlukan rumusan kebijakan dan program yang dapat mendorong partisipasi masyarakat dalam pembangunan peternakan baik secara langsung maupun tidak langsung (Jerry, 1998).

  Pelepah Kelapa Sawit

  Pelepah kelapa sawit meliputi helai daun, setiap helainya mengandung lamina dan midrib, ruas tengah, petiol dan kelopak pelepah. Helai daun berukuran 55 cm hingga 65 cm dan mencakup dengan lebar 2,5 cm hingga 4 cm. Setiap pelepah mempunyai lebih kurang 100 pasang helai daun. Pelepah kelapa sawit dipanen 1 – 2 pelepah/panen/pohon. Setiap tahun dapat menghasilkan 22 – 26 pelepah/ tahun dengan rataan berat pelepah daun sawit 4 – 6 kg/pelepah, bahkan produksi pelepah dapat mencapai 40 – 50 pelepah/pohon/tahun dengan berat sebesar 4,5 kg/ pelepah, hasil panen pelepah ini merupakan potensi yang cukup besar sebagai pakan ternak ruminansia (Umar, 2009).

  Pelepah kelapa sawit dapat diberikan dalam bentuk segar atau diproses menjadi silase. Hasil Penelitian menunjukan penggunaan pelepah sawit dalam bentuk silase pada sapi sebanyak 50% dari total pakan dapat menghasilkan pertambahan bobot badan harian berkisar 0,62 - 0,75 kg dengan nilai konversi pakan antara 9 – 10 (Jafar, 1990). Kandungan gizi pelepah kelapa sawit berdasarkan hasil analisis proksimat dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Kandungan Gizi Pelepah Sawit (Dalam Bahan Kering)

  Zat Nutrisi Kandungan (%)

  Protein Kasar 10,03 Lemak Kasar 7,95 Serat Kasar 55,65 Abu 10,80 BETN 15,57 Sumber : Kartolo (2014).

  Daun kelapa sawit dapat digunakan sebagai sumber atau pengganti pakan hijauan. Namun, adanya lidi pada pelepah kelapa sawit akan menyulitkan ternak dalam mengkonsumsinya. Masalah tersebut dapat diatasi dengan pencacahan yang dilanjutkan dengan pengeringan dan penggilingan. Untuk meningkatkan konsumsi dan kecernaan pelepah sawit, dapat ditambahkan produk samping lain dari kelapa sawit. Pemberian pelepah daun sawit sebagai bahan pakan dalam jangka panjang, dapat menghasilkan kualitas karkas yang baik (Balitnak, 2003).

  Bungkil Inti Sawit

  Bungkil inti sawit (BIS) merupakan salah satu hasil ikutan pengolahan inti sawit (daging biji sawit plus batok). BIS yang dihasilkan mencapai 45-46 persen dari inti sawit, atau 2,0-2,5 persen dari bobot tandan sawit. Penggunaan BIS dalam ransum sapi perah, sapi potong, domba, dan kambing sudah banyak diteliti.

  Umumnya konsentrat untuk sapi perah mengandung BIS 65 persen, jagung 25 persen, dan bungkil kedelai 8 persen. Pada sapi potong, BIS dapat digunakan sampai 70 persen dalam ransum konsentrat. Pemberian BIS hingga 30 persen pada

domba yang diberi pakan dasar rumput dapat meningkatkan pertumbuhan

dari 30 g (hanya diberi rumput) menjadi 70 g/ekor/ hari (Batubara, 1993).

  Bungkil Inti Sawit dapat diberikan sebersar 30 persen dalam pakan domba, akan tetapi BIS dapat juga diberikan sebanyak 40 persen dalam konsentrat untuk penggemukan domba dengan penambahan molases sebanyak 20 persen (Hasnudi, 2005). Kandungan gizi Bungkil Inti Sawit berdasarkan hasil analisis proksimat dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Kandungan Gizi Bungkil Inti Sawit (Dalam Bahan Kering).

  Komposisi Kimia Kandungan (%) Protein Kasar

  16 Serat Kasar 18,5 Lemak Kasar 7,8 Abu 6,5 BETN 51,2

  Sumber : Agus (2008)

  Dedak Padi

  Dedak merupakan hasil ikutan padi, jumlahnya sekitar 10% dari jumlah padi yang digiling menjadi beras. Dedak tersusun dari tiga bahan yang akan menentukan nilai dari setiap dedak. Dedak tersusun dari : 1)Kulit gabah yang banyak mengandung serat kasar dan mineral, 2) Selaput perak yang kaya akan protein dan vitamin B1, juga lemak dan mineral, 3) Lembaga beras yang sebagian besar terdiri dari karbohidrat yang mudah dicerna. Menurut kelas nilainya, dedak dibagi menjadi 4 kelas yaitu : dedak kasar, dedak halus, dedak lunteh, dan bekatul tergantung dari komposisi bahan penyusunnya. Bahan ini biasa digunakan sebagai sumber energi bagi pakan unggas khususnya unggas layer, yang penggunaannya rata-rata mencapai 10-20% di usia produksi (Ma’sum, 2013).

  Dalam penggunaannya untuk pakan dedak padi memiliki beberapa kendala diantaranya adalah tingginya lemak sekitar 6-10 persen, sehingga dedak mudah mengalami ketengikan oksidatif. Ketengikan oksidatif disebabkan oleh auto oksidasi radikal asam lemak tidak jenuh dalam lemak. Auto oksidasi dimulai dengan pembentukan radikal-radikal bebas, lalu radikal ini dengan oksigen membentuk peroksida aktif yang dapat membentuk hidroperoksida yang bersifat sangat tidak stabil dan mudah pecah menjadi senyawa dengan rantai karbon yang lebih pendek (asam lemak, aldehida, keton) yang bersifat volatil dan menimbulkan bau tengik pada lemak. Selain itu dedak padi memiliki zat anti nutrisi inhibitor tripsin dan asam fitat (Amrullah, 2004). Tingginya kandungan zat asam pitat dapat mengganggu ketersediaan fosfor dalam ransum. (Sukria dan Krisnan, 2009). Adapun kandungan nilai gizi dari dedak padi ini dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Kandungan Nilai Gizi Dedak Padi (Dalam Bahan Kering)

  Kandungan Zat Nilai Gizi (%)

  Protein Kasar 13,8 Serat Kasar 11,6 Lemak Kasar 14,1 Abu 11,7 BETN 48,7

  Sumber : Hartadi et al (1986)

  Bungkil Kelapa

  Tanaman kelapa (Cocos nucifera L.) termasuk jenis tanaman palma yang memiliki multi fungsi karena hampir semua bagian dari tanaman tersebut dapat dimanfaatkan. Tanaman ini banyak dijumpai di Indonesia yang merupakan penghasil kopra terbesar kedua di dunia, sesudah Phillipina. Usaha budidaya tanaman kelapa melalui perkebunan terutama dilakukan untuk memproduksi minyak kelapa yang berasal dari daging buahnya dengan hasil samping berupa ampas kelapa (Miskiah, 2006).

  Pada proses pembuatan minyak kelapa murni (Virgin Coconut Oil), daging kelapa segar yang telah diparut kemudian dikeringkan dan dipres hingga minyaknya terpisah. Hasil samping dari proses pembuatan minyak kelapa murni ini adalah ampas kelapa. Ampas kelapa hasil samping pembuatan minyak kelapa murni masih memiliki kandungan protein yang cukup tinggi. Hal ini menyebabkan ampas kelapa berpotensi untuk dimanfaatkan dan diolah menjadi pakan ternak. Protein kasar yang terkandung pada ampas kelapa mencapai 23%, dan kandungan seratnya yang mudah dicerna merupakan suatu keuntungan tersendiri untuk menjadikan ampas kelapa sebagai bahan pakan pedet (calf), terutama untuk menstimulasi rumen (Miskiah, 2006). Hasil analisis proksimat terhadap bungkil kelapa dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Hasil Analisis Proksimat Bungkil Kelapa (Dalam Bahan Kering).

  Komposisi Kadar (%)

  Protein kasar 21,6 Serat Kasar 12,10 Lemak kasar 10,20 Abu 6,40 BETN 49,70 Sumber : Wahyuni (2008).

  Ampas Sagu

  Sagu termasuk tumbuhan monokotil dari famili Palmae, ordo

  Spadiciflorae dan genus Metroxylon. Tanaman sagu terdiri atas sagu berduri dan sagu tidak berduri. Sagu berduri adalah sagu Tuni ( M. rumpii), sagu Ihur (M. sylvestre), sagu Makanaru (M.longispinum) dan sagu duri rotan (M. microcanthum) serta satu jenis sagu yang tidak berduri yaitu sagu molat (M. sagu), kelima jenis sagu ini mempunyai nilai ekonomis yang tinggi di Maluku (Sangadji, 2009).

  Di Indonesia Sagu dikenal dengan beberapa nama diantaranya rumbia (Minangkabau, Makassar dan Bugis), lapia atau napia (Ambon), kirai (Jawa Barat), sedangkan Jawa Timur dan Jawa Tengah dikenal dengan nama bilung atau kresula. Perbanyakan tanaman sagu dapat dilakukan dengan benih (biji sagu) untuk pembibitan dengan cara generatif dan anakan untuk pembibitan vegetatif. Biji atau buah yang digunakan berasal dari pohon sagu yang sudah tua atau mengering, sedangkan anakan berasal dari tunas yang melekat pada pangkal batang pohon induknya atau anakan yang sudah menjalar di atas permukaan tanah (Sangadji, 2009).

  Banyak penelitian telah dilakukan dalam melihat pemanfaatan ampas sagu sebagai komponen pakan, baik dalam ransum ruminansia maupun monogastrik. Pantjawidjaja et al. (1984) melaporkan bahwa substitusi rumput lapangan dengan ampas sagu (Metroxylon sp) sampai pada level 45 persen dengan urea 3 persen dari bahan kering ampas sagu tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata dalam efisiensi penggunaan pakan dan pertambahan bobot badan sapi peranakan ongole (PO), sedangkan menurut Nurkurnia (1989) penggunaan 40 persen ampas sagu dalam ransum tidak mempengaruhi produksi VFA total atau parsial, imbangan asetat/propionat dan produksi NH3.

  Hasil penelitian yang dilaporkan oleh Ralahalu (1998) menjelaskan bahwa penggunaan ampas sagu hasil fermentasi dengan Aspergillus niger sampai taraf 15 persen dalam ransum ternak babi memberikan pertambahan bobot badan yang baik. Dilihat dari segi kuantitas, ampas sagu cukup tersedia untuk digunakan sebagai pakan ternak terutama pada daerah-daerah produsen tepung sagu seperti Maluku dan Papua, tetapi dari segi kualitas, ampas sagu mempunyai nilai gizi yang rendah karena kadar serat kasarnya yang tinggi dan kadar proteinnya yang rendah, walaupun kadar patinya cukup tinggi. Komposisi kimia ampas sagu dapat dilihat dalam Tabel 6. Tabel 6. Komposisi Kimia Ampas Sagu (Dalam Bahan Kering)

  Kadar Komposisi (%)

  Protein Kasar 3,12

  Serat Kasar 25,60

  Lemak 0,56

  Abu 24,69

  BETN 46,03 Sumber : Ralahalu (1998).

  Bila dibandingkan dengan komponen lain dari tanaman sagu, maka ampas sagu merupakan komponen terbesar. Sangat disayangkan dari jumlah yang besar tersebut pemanfaatannya sebagai pakan (ruminansia sekalipun) dibatasi oleh kadar seratnya yang relatif tinggi, tanpa mendapat perlakuan khusus terlebih dahulu (Preston dan Leng 1987).

  Mineral

  Ternak tidak dapat membentuk mineral, sehingga harus disediakan dalam makanannya, mineral tersebut harus disediakan dalam perbandingan yang tepat dan dalam jumlah yang cukup. Terlalu banyak mineral dapat membahayakan individu. Suatu keuntungan ialah bahwa sebagian besar mineral dapat diberikan dalam jumlah yang besar dalam pakan tanpa mengakibatkan kematian, tetapi kesehatan hewan menjadi mundur sehingga menyebabkan kerugian ekonomis besar (Anggorodi, 1994).

  Jumlah Mineral yang dibutuhkan ternak memang relatif sedikit, namun mineral sangat penting dan diperlukan kesempurnaan pakan yang dikonsumsi oleh ternak tersebut. Mineral yang diperlukan oleh tubuh ternak terbagi dalam dua kelompok, yakni mineral makro yang terdiri dar Ca, P, Mg, Na, K dan Cl, serta mineral mikro yang terdiri atas Cu, Mo, Fe dan lain-lain. Kebutuhan akan mineral makro lebih banyak dibandingkan jumlah kebutuhan mineral mikro (Murtidjo, 1993).

  Mineral berfungsi sebagai bahan pembentukan tulang dan gigi yang menyebabkan adanya jaringan keras dan kuat, mempertahankan keadaan koloidal dari beberapa senyawa dalam tubuh, memelihara keseimbangan asam basa tubuh, aktivator sistem enzim tertentu, komponen dari suatu enzim dan mineral mempunyai sifat yang karakteristik terhadap kepekaan otot dan saraf (Tillman et al, 1993).

  Molasses

  Molases merupakan hasil samping pengolahan tebu menjadi gula. Bentuk fisiknya berupa cairan yang kental dan berwarna hitam. Kandungan karbohidrat, protein dan mineral cukup tinggi, sehingga bisa dijadikan pakan ternak walaupun sifatnya sebagai pakan pendukung. Kelebihan molases terletak pada aroma dan rasa, sehingga bila dicampur pada pakan ternak bisa memperbaiki aroma dan rasa ransum (Widayati dan Widalestari, 1996).

  Keuntungan penggunaan molasses untuk pakan ternak adalah kadar karbohidrat tinggi (48 – 60 persen sebagai gula) dan sangat disukai oleh ternak. Tetes juga mengandung vitamin B kompleks dan unsur - unsur mikro yang penting bagi ternak, sedangkan kelemahannya ialah apabila dikonsumsi secara berlebihan dapat menyebabkan diare. (Rangkuti et al., 1985). Kandungan nilai gizi molases dapat dilihat pada tabel 7. Tabel 7. Kandungan nilai gizi molasses (Dalam Bahan Kering).

  Kandungan Nilai Gizi (%)

  Protein Kasar 3,94 Serat Kasar 0,40 Lemak Kasar 0,30 Abu 11,00 BETN 84,40

  Sumber : Fahmi (2013)

  Garam

  Semua herbivora suka mengkonsumsi garam apabila disediakan dalam bentuk jilatan (lick) atau dalam bentuk halus dalam tempat mineral. (Tillman et.

  al., 1993). Garam yang dimaksud adalah garam dapur (NaCl), dimana selain

  berfungsi sebagai mineral juga berfungsi sebagai pembatas konsumsi yang berlebihan bagi ternak karena adanya rasa asin. Hampir semua bahan makanan nabati (khususnya hijauan tropis) mengandung Na dan Cl relatif lebih kecil dibanding bahan makanan hewani (Parakkasi, 1995).

  Urea

  Urea merupakan senyawa kimia yang mengandung 40 – 46 persen nitrogen. Mikroorganisme yang terdapat dalam saluran pencernaan ternak ruminansia dapat mengkombinasikan N dalam urea dengan C, H

  2 dan O 2 yang

  terdapat dalam karbohidrat dan membentuk asam amino. Oleh karena itu urea dapat digunakan sebagai sumber nitrogen pada ternak ruminansia (Kartadisastra, 1997).

  Urea (CO(NH )2) merupakan salah satu sumber non protein nitrogen

  2

  (NPN) yang berbentuk kristal putih, bersifat mudah larut dalam air. Urea dalam proses fermentasi akan diuraikan kembali oleh enzim urease menjadi amonia dan karbondioksida, selanjutnya amonia akan digunakan untuk membentuk asam amino (Poerwanto, 2003).

  Nitrogen dalam media fermentasi mempunyai fungsi fisiologis bagi mikroorganisme, yaitu sebagai bahan untuk mensintesis protein dan asam nukleat. Penggunaan urea dalam proses fermentasi mempengaruhi kandungan protein kasar, serat kasar, lemak kasar, BETN dan bahan kering (Andayani dan Yatno, 2001).

  Mikroba Lokal

  a. Saus Burger Pakan (SBP)

  Saus Burger Pakan (SBP) merupakan sebuah produk yang mengandung multi-mikroba seperti mikroba asan laktat, mikroba selulolitik, mikroba amilolitik dan mikroba baik lainnya serta asam asam amino esensial, vitamin, mineral, dan bahan bahan alami yang memberikan zat-zat yang sangat dibutuhkan oleh ternak untuk pertumbuhan dan kesehatan. Pemakaian SBP dapat dilakukan dengan penyiraman, penyemprotan pada pakan atau dicampurkan langsung dengan minuman ternak. Untuk pakan ternak ruminasia seperti sapi, kerbau, kambing dan domba, “Saus Burger Pakan” pakan dapat dibuat dari bahan pakan sumber serat (jerami, rumput, tebon, jagung) sebagai sumber energi dan protein dapat digunakan dedak padi, pollard, tepung jagung, ampas ketela, ampas sagu, kulit kedelai, atau sejenisnya.

  b. Probion

  Probion adalah bahan pakan aditif ternak yang dapat digunakan secara langsung sebagai campuran pakan konsentrat atau untuk meningkatkan kualitas pakan melalui proses fermentasi. Probion merupakan konsorsia mikroba dari rumen ternak ruminansia yang diperkaya dengan mineral esensial untuk pertumbuhan mikroba tersebut. Bentuk fisik Probion adalah berupa serbuk sehingga dapat disimpan dalam jangka waktu lama. Penggunaan Probion sebagai campuran pakan konsentrat sebanyak 0,3%, atau digunakan dalam proses fermentasi pakan dengan takaran 3 kg probion dan 3 kg urea untuk setiap satu ton pakan berserat (Haryanto, 2001).

  Probion merupakan produk campuran berbagai macam mikroba yang dibuat melalui proses inkubasi anaerob isi rumen dengan tambahan mineral dan bahan organik yang dibutuhkan mikroba. Mikroba yang terdapat dalam probion diharapkan dapat menghasilkan enzim yang mampu merombak dan merenggangkan ikatan lignosellulosa dan lignohemisellulosa, sehinga pelepah sawit menjadi lebih mudah dicerna oleh mikroba rumen, sehingga pelepah sawit hasil fermentasi akan mampu memenuhi kebutuhan ternak terhadap hijauan sebagai sumber serat (Haryanto et,al.,2003).

  Teknologi probion dapat meningkatkan kandungan protein pakan dan nilai kecernaan serat (NDF) lebih tinggi. Probion mampu meningkatkan bobot ternak 10 persen dalam kurun waktu yang relatif pendek. Probion dapat menurunkan biaya produksi sehingga akan meningkatkan keuntungan. Probion sangat potensial dikomersialkan untuk industri pakan dalam produksi berserat untuk ternak ruminansia (Haryanto, 2003).

  Aspergillus niger merupakan salah satu jenis Aspergillus yang tidak

  menghasilkan mikotoksin sehingga tidak membahayakan. Proses fermentasi menggunakan kapang, selain pembentukan miselium selalu diikuti oleh pembentukan spora yang berguna untuk pembuatan inokulum pada proses fermentasi. Inokulum yang berupa spora merupakan starter yang baik dalam fermentasi (Purwadaria et al., 1995).

  Aspergillus niger memiliki suatu kelebihan yaitu pertumbuhannya yang

  cepat. Selain itu, Aspergillus niger mampu menghasilkan enzim-enzim ekstraseluler seperti selulase, amylase, pektinase, amiloglukosidase, glukosaoksidase dan katalase. Kelebihan Aspergillus niger ini membuat kapang ini sering dipergunakan dalam memproduksi asam sitrat, asam glukonat dan beberapa enzim lainnya. Hal ini terjadi karena selama fermentasi, kapang

  Aspergillus niger menggunakan zat gizi (terutama karbohidrat) untuk pertumbuhannya (Enari, 1983).

  Peningkatan kandungan protein kasar yang sejalan dengan pertumbuhan kapang (jamur) dikarenakan tubuh jamur terdiri dari elemen yang mengandung nitrogen. Selain itu enzim yang dihasilkan oleh jamur juga merupakan protein. Dinding sel jamur mengandung 6,3 persen protein kasar, sedangkan membran sel pada jamur yang berhifa mengandung protein 25-45 persen dan karbohidrat 25-30 persen. (Musnandar, 2003).

  Fermentasi

  Fermentasi adalah proses penguraian unsur-unsur organik kelompok terutama karbohidrat untuk menghasilkan energi melalui reaksi enzim yang dihasilkan oleh mikroorganisme. Proses fermentasi dapat dikatakan sebagai proses ”protein enrichment” yang berarti proses pengkayaan protein bahan dengan menggunakan mikroorganisme tertentu (Sarwono, 1996).

  Penambahan bahan-bahan nutrien kedalam fermentasi dapat menyokong dan merangsang pertumbuhan mikroorganisme. Salah satu bahan yang dapat digunakan pada proses fermentasi adalah urea. Urea yang akan ditambahkan pada proses fermentasi akan diurai oleh enzim urease menjadi amonia dan karbondioksida yang selanjutnya digunakan untuk pembentukan asam amino. Selama proses fermentasi terjadi bermacam-macam perubahan komposisi kimia. Kandungan asam amino, karbohidrat, pH, kelembaban, aroma serta perubahan nilai gizi yang mencakup terjadinya peningkatan protein dan penurunan serat kasar. Semuanya mengalami perubahan akibat aktivitas dan perkembangbiakan mikroorganisme selama fermentasi. Melalui fermentasi terjadi pemecahan substrat oleh enzim – enzim tertentu terhadap bahan yang tidak dapat dicerna, misalnya selulosa dan hemiselulosa menjadi gula sederhana. Selama proses fermentasi terjadi pertumbuhan kapang, selain dihasilkan enzim juga dihasilkan protein ekstraselluler dan protein hasil metabolisme kapang sehingga terjadi peningkatan kadar protein (Fardiaz, 1989).

  Konsumsi Pakan

  Konsumsi pakan merupakan salah satu indikator terbaik dari produksi ternak. Jumlah konsumsi pakan merupakan faktor penentu paling penting yang menentukan jumlah nutrien yang didapat oleh ternak dan berpengaruh terhadap tingkat produksi. Konsumsi pakan dipengaruhi oleh temperatur lingkungan, palatibilitas, status fisiologis, konsentrasi nutrisi, bentuk pakan, bobot tubuh dan produksi (Anggorodi, 1994).

  Ternak ruminansia mempunyai keistimewaan, salah satunya adalah dapat makan dengan cepat dan menampung makanan dalam jumlah yang banyak. Kemampuan mengkonsumsi pakan ini dapat dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu kapasitas tampung alat pencernaan ternak, bobot badan, bentuk dan kandungan zat- zat makanan ransum, kebutuhan ternak akan zat-zat makanan, status fisiologi ternak dan genotip ternak. (Williamson dan Payne, 1993).

  Temperatur lingkungan dan konsumsi pakan ternak ( hewan ) adalah 2 hal yang akan selalu saling terkait. Yang mana temperatur lingkungan akan sangat mempengaruhi konsumsi pakan ternak. Suhu lingkungan di bawah thermoneutral menyebabkan kosumsi pakan ternak meningkat, sedangkan suhu lingkungan di atas kisaran tersebut menyebabkan penurunan konsumsi pakan. Penurunan konsumsi pakan, antara lain disebabkan oleh meningkatnya konsumsi air minum yang digunakan untuk mempertahankan suhu tubuh terhadap suhu lingkungan yang bertambah panas (Housebandry, 2009).

  Palatabilitas merupakan sifat performansi bahan-bahan pakan sebagai akibat dari keadaan fisik dan kimiawi yang dimiliki oleh bahan-bahan pakan yang dicerminkan oleh organoleptiknya seperti kenampakan, bau, rasa (hambar, asin, manis, pahit), tekstur dan temperaturnya. Hal inilah yang menumbuhkan daya tarik dan merangsang ternak untuk mengkonsumsinya. Ternak ruminansia lebih menyukai pakan rasa manis dan hambar daripada asin/pahit. Mereka juga lebih menyukai rumput segar bertekstur baik dan mengandung unsur nitrogen (N) dan fosfor (P) lebih tinggi (Kartadisastra, 1997).

  Faktor yang mempengaruhi palatabilitas pada ternak ruminansia adalah kecerahan warna, rasa, tekstur dan kandungan nutrisi. Pakan yang berkualitas baik tingkat konsumsinya lebih tinggi dibandingkan dengan pakan yang berkualitas rendah, sehingga pakan yang kualitas relatif sama maka tingkat konsumsinya juga tidak jauh berbeda (Ensminger, 1990).

  Kebutuhan ternak terhadap pakan dicerminkan oleh kebutuhannya terhadap nutrisi. Jumlah kebutuhan nutrisi setiap harinya sangat tergantung pada status fisiologis ternak. Status fisiologi ternak ruminansia seperti umur, jenis kelamin, fase (pertumbuhan, dewasa, bunting, menyusui), kondisi tubuh (normal, sakit) sangat mempengaruhi konsumsi pakannya. Maka, setiap ekor ternak yang berbeda kondisinya membutuhkan pakan yang berbeda pula (Prihatman, 2000).

  Konsentrasi nutrisi merupakan jumlah nutrisi didalam pakan. Konsentrasi nutrisi yang sangat berpengaruh terhadap konsumsi pakan antara lain konsentrasi energi yang terkandung di dalam pakan. Konsentrasi energi pakan berbanding terbalik dengan tingkat konsumsinya. Makin tinggi konsentrasi energi di dalam pakan, maka jumlah konsumsinya akan menurun. Sebaliknya, konsumsi pakan akan meningkat jika konsentrasi energi yang dikandung pakan rendah. Konsumsi pakan mempunyai hubungan erat dengan kebutuhan energi ternak yang sering menyebabkan konsumsi pakan ternak menjadi berbeda (Williamson dan Payne, 1993).

  Pakan dengan kandungan Bahan Kering tinggi berpengaruh terhadap intake. Pada ruminansia intake dipengaruhi oleh tingkat penyerapan dan bentuk pakan. Ternak ruminansia lebih menyukai pakan bentuk butiran (hijauan yang dibuat pellet atau dipotong) daripada hijauan yang diberikan seutuhnya. Hal ini berkaitan erat dengan ukuran partikel yang lebih mudah dikonsumsi dan dicerna (Sutardi, 1980).

  Bobot tubuh ternak berbanding lurus dengan tingkat konsumsi pakannya. Makin tinggi bobot tubuh, makin tinggi pula tingkat konsumsi terhadap pakan. Meskipun demikian, kita perlu mengetahui satuan keseragaman berat badan ternak yang sangat bervariasi. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mengestimasi berat badannya, kemudian dikonversikan menjadi “berat badan metabolis” yang merupakan bobot tubuh ternak tersebut (Mahendra, 2007).

  Ternak ruminansia, produksi dapat berupa pertambahan berat badan (ternak potong), air susu (ternak perah), tenaga (ternak kerja) atau kulit dan bulu/wol. Makin tinggi produk yang dihasilkan, makin tinggi pula kebutuhannya terhadap pakan. Apabila jumlah pakan yang dikonsumsi (disediakan) lebih rendah daripada kebutuhannya, ternak akan kehilangan berat badannya (terutama selama masa puncak produksi) di samping performansi produksinya tidak optimal (Astanto, 2008).

  Pertambahan Bobot Badan Ternak

  Pertumbuhan adalah perubahan ukuran yang meliputi perubahan berat hidup, bentuk, dimensi linier dan komposisi tubuh termasuk perubahan komponen-komponen tubuh seperti otot, lemak, protein dan abu pada karkas. Keragaman ukuran tubuh pada ternak dapat disebabkan kondisi pemeliharaan, pengaruh pemberian pakan, kondisi alat pencernaan dan keragaman genetik (Mulliadi, 1996).

  Pertambahan berat badan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu pakan (total protein yang diperoleh setiap harinya), jenis kelamin, umur, genetik, lingkungan, dan manajemen tata laksana. Bobot tubuh berfungsi sebagai salah satu kriteria ukuran yang penting dalam menentukan pertumbuhan dan perkembangan ternak. Selain itu, bobot tubuh juga berfungsi sebagai ukuran produksi dan penentu ekonomi. Bobot tubuh seekor ternak dipengaruhi oleh bangsa ternak, jenis kelamin, umur, jenis kelahiran, dan jenis pakan (National Research Council, 2000).

  Pakan merupakan faktor utama dalam keberhasilan usaha pengembangan peternakan disamping faktor bibit dan tatalaksana. Pakan merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan. Makin baik kualitas pakan yang dikonsumsi ternak akan diikuti dengan pertambahan bobot badan yang lebih tinggi. Pertambahan bobot badan yang diperoleh dari percobaan pada ternak merupakan hasil dari zat-zat makanan yang dikonsumsi (Anggorodi, 1994).

  Jenis kelamin sangat berpengaruh terhadap performa produksi ternak. Hal ini disebabkan oleh adanya pengaruh terhadap tenunan tubuh yang sekaligus mempengaruhi pertumbuhan maupun persentase karkas ternak. Perbedaan pertambahan bobot badan dan persentase karkas berdasarkan jenis kelamin dipengaruhi oleh hormon somatotropin (Irmawaty dan Padang, 2007).

  Rauf (1988) menyatakan bahwa, peranan yang penting dari hormon pertumbuhan terletak pada stimulasi peningkatan ukuran tubuh, memacu peningkatan dan percepatan pertumbuhan. Selanjutnya, dinyatakan bahwa hormon pertumbuhan juga berpengaruh antagonistik terhadap insulin di dalam otot dan tenunan adiposa. Hormon kelamin memberikan pengaruh yang menonjol terhadap pertambahan bobot badan ternak yang sekaligus memberikan perbedaan bobot dan persentase karkas. Jenis kelamin jantan memiliki performa produksi (pertambahan bobot badan, konsumsi bahan kering dan efisiensi penggunaan pakan) dan status faal (suhu tubuh, respirasi dan pulsus) yang lebih tinggi dibanding ternak betina.

  Pertambahan bobot badan pada ternak jantan disebabkan adanya hormon androgen yang merangsang pertumbuhan. Hormon androgen pada ternak jantan dapat merangsang dan menstimulan pertumbuhan, pertumbuhan yang cepat pada saat pubertas sebagian disebabkan oleh pengaruh anabolik protein dari androgen sehingga ternak jantan dapat lebih besar dibandingkan dengan ternak betina (Putri, 2014).

  Ternak jantan lebih cepat tumbuh dibandingkan betina pada umur yang sama. Jantan memiliki testosteron salah satu steroid androgen, hormon pengatur pertumbuhan yang dihasilkan sel-sel interstistial dan kelenjar adrenal. Testosteron dihasilkan testis pada jantan, sehingga pertumbuhan ternak jantan dibandingkan betina lebih cepat terutama setelah sifat-sifat kelamin sekunder muncul. Pada ternak betina, peningkatan sekresi estrogen menyebabkan penurunan konsentrasi kalsium dan lipida dalam darah sehingga dengan meningkatnya sekresi estrogen akan terjadi penurunan laju pertumbuhan tulang (Soeroso, 2004). Bambang (2005) menambahkan bahwa Jenis kelamin mempengaruhi pertumbuhan jaringan dan komposisi karkas.

  Pertumbuhan ternak muda sebagian besar disebabkan oleh perumbuhan otot, tulang belulang dan organ-organ vital. Proses pertumbuhan pada semua jenis ternak terkadang berlansung cepat, lambat dan bahkan terhenti jauh sebelum hewan tersebut mencapai dalam ukuran besar tubuh (Parakkasi, 1995)

  Produktivitas seekor ternak dipengaruhi oleh faktor genetik atau keturunan dan faktor lingkungan. Faktor genetik merupakan faktor keturunan yang dibawa sejak lahir dan bersifat tetap, sedangkan faktor lingkungan merupakan kesempatan atau peluang untuk memaksimalkan peran faktor genetik yang dimilikinya dan bersifat tidak tetap atau bisa berubah dari waktu ke waktu. Ternak dengan mutu genetik yang baik akan berproduksi dengan baik pula jika didukung oleh faktor lingkungan yang cocok. Demikian pula sebaliknya, meskipun diberi lingkungan yang baik jika mutu genetik seekor ternak tidak unggul maka produktivitas ternak tersebut juga tidak sebesar dibanding ternak dengan mutu genetik yang lebih unggul (Wiyanto, 2012)

  Perawatan merupakan salah satu bagian daripada pemeliharaan ternak yang tidak dapat diabaikan begitu saja. Beberapa perawatan penting yang harus dilakukan secara rutin dalam pemeliharaan ternak antara lain : pemberian pakan yang berkualitas, memandikan, pencukuran bulu, pemotongan kuku, pembersihan kandang, serta pemeliharaan kesehatan ternak (Panjaitan et al, 2003)

  Salah satu upaya untuk meningkatkan bobot badan dan mempercepat pertumbuhan ternak adalah dengan cara melaksanakan manajemen pemeliharaan yang baik. Pemeliharaan ternak yang baik sangat mempengaruhi pertumbuhan serta terjaminnya kesehatan ternak (Hernowo, 2006). Peternak dalam memelihara ternaknya harus berdasarkan prinsip-prinsip pemeliharaan dan pembiakan hewan tropis yaitu, pengawasan lingkungan, pengawasan kesehatan, pengawasan pakan dan air minum, pengawasan sistem pengelolaan dan pengawasan kualitas hewan ternak (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988).

  Pertambahan bobot badan merupakan salah satu kriteria yang dapat digunakan untuk mengevaluasi kualitas bahan makanan ternak, karena pertumbuhan yang diperoleh dari suatu percobaan merupakan salah satu indikasi pemanfaatan zat– zat makanan dari pakan yang diberikan. Dari data pertambahan bobot badan harian akan diketahui nilai suatu bahan pakan ternak (Church and Pond 1995). Pertumbuhan dapat dinilai sebagai peningkatan tinggi, panjang, ukuran lingkar dan bobot yang terjadi pada seekor ternak muda yang sehat serta diberi pakan, minum dan mendapat tempat berlindung yang layak. Pertumbuhan umumnya diukur dengan berat dan tinggi (Aberle et al, 2001).

  Konversi Pakan

  Konversi pakan adalah perbandingan antara jumlah yang dikonsumsi pada waktu tertentu dengan produksi yang dihasilkan (pertambahan bobot badan) dalam kurun waktu yang sama. Konversi pakan merupakan suatu indikator teknis yang dapat menggambarkan tingkat efisiensi penggunaan pakan, semakin rendah angka konversi pakan berarti semakin baik (Anggorodi, 1994). Konversi pakan ditentukan berdasarkan beberapa faktor yaitu suhu lingkungan, potensi genetik dan kandungan nutrisi dalam pakan. Konversi pakan juga dipengaruhi oleh jumlah pakan yang dikonsumsi, bobot badan, gerak atau aktivitas tubuh, suhu dalam kandang (Parakkasi, 1995).

  Nilai konversi pakan merupakan parameter yang penting sebagai tinjauan ekonomis biaya pakan. Semakin rendah nilai konversi pakan akan semakin menguntungkan, hal ini disebabkan semakin sedikit ransum yang diberikan untuk menghasilkan berat badan tertentu. Salah satu faktor yang mempengaruhi nilai konversi pakan adalah faktor lingkungan (Sugito, 2009 dan Mira, 2009). Ternak dapat berproduksi secara optimum bila faktor-faktor internal dan eksternal berada dalam batasan-batasan normal yang sesuai dengan kebutuhan hidupnya. Suhu lingkungan merupakan salah satu faktor eksternal yang dapat mempengaruhi produktivitas ternak. Suhu panas pada suatu lingkungan pemeliharaan ternak telah menjadi salah satu perhatian utama karena dapat menyebabkan kerugian ekonomi akibat peningkatan angka kematian ataupun penurunan produktvitas (St-Pierre et al., 2003). Keadaan suhu yang relatif tinggi pada suatu lingkungan pemeliharaan ternak menyebabkan terjadinya cekaman panas. Cekaman panas (heat stress) menyebabkan gangguan terhadap pertumbuhan pada ternak (Mashaly et al., 2004). Penurunan pertumbuhan ini terkait dengan penurunan konsumsi pakan dan peningkatan konsumsi air minum selama ternak mengalami cekaman panas (Cooper dan Washburn, 1998).

  Faktor genetik merupakan faktor keturunan yang dibawa sejak lahir dan bersifat tetap, 70% dari produktivitas ternak dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan 30% oleh faktor genetik. Di antara faktor lingkungan tersebut, aspek pakan mempunyai pengaruh yang paling besar yaitu sekitar 60%. Hal ini menunjukan bahwa meskipun potensi genetik tinggi, tetapi bila pakan yang diberikan tidak memenuhi syarat kualitas, maka produktifitas yang tinggi serta nilai konversi pakan yang baik sulit untuk dicapai (Wiyanto, 2012).

  Kandungan nutrisi dalam pakan merupakan faktor utama dalam keberhasilan usaha pengembangan peternakan disamping faktor bibit dan tatalaksana. Semakin baik kualitas pakan yang dikonsumsi ternak, maka akan diikuti dengan pertambahan bobot badan yang lebih tinggi sehingga makin efisien penggunaan pakannya (Parakkasi, 1995).

  Konversi pakan diukur dari jumlah bahan kering yang dikonsumsi dibagi dengan pertambahan bobot badan persatuan waktunya. Konversi pakan khususnya pada ternak ruminansia dipengaruhi oleh kualitas pakan, pertambahan bobot badan dan nilai kecernaan. Dengan memberikan kualitas pakan yang baik ternak akan tumbuh lebih cepat dan lebih baik konversi pakannya. Angka konversi ransum menunjukkan tingkat penggunaan ransum dimana jika angka konversi semakin kecil maka penggunaan ransum semakin efisien dan sebaliknya jika angka konversi besar maka penggunaan ransum tidak efisien (Martawidjaya, et al,. 1999).

  Kecernaan Bahan Pakan

  Kecernaan zat makanan didefinisikan sebagai jumlah zat makanan yang tidak diekskresikan dalam feses atau dengan asumsi bahwa zat makanan tersebut dicerna oleh hewan, apabila dinyatakan dalam persentase maka disebut koefisisen cerna (Tillman, 1993). Kecernaan bahan makanan dapat dipengaruhi oleh umur ternak, level pemberian pakan, cara pengolahan dan pemberian pakan, komposisi pakan, dan kadar zat makanan yang dikandungnya. Faktor lain yang dapat mempengaruhi kecernaan pakan khususnya pakan hijauan adalah populasi mikroba dan laju alir makanan (Tomaszewska et al., 1993). Keberadaan pakan dalam alat pencernaan ruminansia akan mengalami perubahan kimia, biologi, dan fisik. Setiap jenis ternak memiliki kemampuan yang berbeda dalam mendegradasi pakan, sehingga mengakibatkan perbedaan kecernaan dalam rumen (Sutardi, 1980).

  Ternak ruminansia dapat memecah dan menggunakan sebagian karbohidrat struktural (selulosa dan hemiselulosa) dengan bantuan mikroba rumen. Ikatan lignin dengan komponen selulosa dan hemiselulosa dinding sel bertindak sebagai penghalang dari kerja enzim-enzim yang dikeluarkan oleh mikroba di dalam rumen. Terhambatnya aktivitas mikroba disebabkan oleh dinding sel yang terlignifikasi tidak cukup berpori untuk memungkinkan difusi enzim terutama selulase, sehingga mikroba hanya dapat menyerang permukaan dari dinding selnya saja (Tomaszewska et al., 1993). Dengan adanya bantuan mikroba rumen akan meningkatkan kecernaan bahan makanan yang mengandung karbohidrat struktural (karbohidrat pembangun); kandungan lignin dan silika pada bahan makanan dapat mempengaruhi produksi energi metabolis (ME), karena bahan makanan yang memiliki kandungan lignin dan silika yang tinggi akan lebih sulit dicerna, sehingga lebih banyak energi dari bahan makanan tersebut yang keluar melalui feses (Parakkasi, 1995).

  Terdapat beberapa metode yang digunakan untuk mengukur kecernaan suatu bahan pakan seperti in vivo, in sacco dan in vitro. Teknik evaluasi pakan secara in vivo mempunyai tingkat akurasi yang lebih tinggi dibanding teknik lain karena bersifat aplikatif pada ternak secara langsung. Dalam metoda ini semua pakan, sisa pakan dan feses ditimbang dan dicatat, kemudian diambil sampel untuk dianalisis. Dengan mengetahui jumlah pakan yang diberikan, sisa pakan, dan feses maupun urine yang dikeluarkan setiap ekor ternak serta mengetahui kandungan zat makanan bahan pakan, sisa pakan, feses atau urine, maka akan didapat nilai kecernaan dari masing-masing komponen (Suparjo, 2008). Selisih antara konsumsi zat makanan bahan pakan dengan ekskresi zat makanan feses menunjukkan jumlah zat makanan bahan pakan yang dapat dicerna (Church dan Pond, 1985).

  Rumen dan retikulum berisi mikroorganisme seperti bakteri dan protozoa. Nilai kecernaan yang meningkat berkaitan dengan peningkatan aktivitas mikroorganisme dalam rumen yang menunjukkan pemenuhan kebutuhan mikrorganisme untuk optimasi aktivitas mikroorganisme merupakan hal yang penting. Mikroorganisme memecah partikel-partikel kecil pakan untuk memproduksi zat-zat kimia sederhana yang beberapa diantaranya diserap melalui dinding lambung dan sebahagian lagi dimanfaatkan oleh mikroorganisme (Gatenby, 1991).

  Faktor-faktor yang mempengaruhi kecernaan pakan adalah komposisi pakan, daya cerna semu protein kasar, lemak, komposisi ransum, penyiapan pakan, faktor hewan dan jumlah pakan yang diberikan. Domba akan mengkonsumsi lebih banyak pakan halus dibanding pakan yang kasar. Konsumsi bahan kering pakan kasar bervariasi mulai dari 1,5% dari bobot badan untuk pakan dengan kualitas rendah hingga 3,0% untuk pakan dengan kualitas tinggi (Tillman et al, 1993).

  Secara keseluruhan semakin tinggi waktu inkubasi, terutama pada 1,5 – 4,5 jam semakin tinggi pula bahan kering terdegradasi. Fenomena ini dapat dijelaskan dengan dua pendekatan, pertama ditinjau dari kelarutan bahan pakan atau ransum itu sendiri terutama pada 0-1 jam inkubasi, semakin tinggi daya larut (solubilitas) suatu bahan akan memberi kontribusi tinggi terhadap meningkatnya bahan kering terdegradasi. Kedua pada 3 – 4,5 jam fermentasi merupakan puncak aktivitas mikroba rumen dalam mendegradasi pakan, karena semakin tinggi bahan kering terdegradasi lebih banyak ditentukan oleh aktivitas mikroba rumen itu sendiri (Putra, 2006)

  Substrat bagi mikroorganisme rumen adalah selulosa dan hemiselulosa dan degradasi lignin terjadi pada akhir pertumbuhan primer melalui metabolisme sekunder dalam kondisi defisiensi nutrien seperti nitrogen, karbon atau sulfur. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecernaan bahan kering adalah suhu, laju perjalanan melalui alat pencernaan, bentuk fisik dari pakan, komposisi ransum, dan pengaruh dari perbandingan dengan zat lainnya dari bahan pakan tersebut (Anggorodi, 1994).

  Menurut Tillman et al, (1993) kecernaan sering erat hubungannya dengan konsumsi, yaitu pada pemberian dengan kandungan serat tinggi yang sifatnya sangat voluminous, lamban dicerna dibandingkan pakan yang tidak berserat. Oktarina et al (2004) menyatakan bahwa peningkatan kadar protein kasar dalam pakan akan meningkatkan laju perkembangbiakan dan populasi mikroba rumen sehingga kemampuan mencerna menjadi lebih besar. Selain itu menurut Mackie et

  al (2002) adanya aktivitas mikroba dalam saluran pencernaan sangat mempengaruhi kecernaan.

  Kecernaan yang tinggi nilainya mencerminkan besarnya sumbangan nutrisi tertentu pada ternak, sementara itu pakan yang mempunyai kecernaan rendah menunjukkan bahwa pakan tersebut kurang mampu mensuplai nutrisi untuk diabsorbsi dalam memenuhi kebutuhan hidup pokok maupun tujuan produksi (Putra, 2006).

  Kecernaan bahan organik menggambarkan ketersediaan nutrien dari pakan. Bahan organik terdiri dari lemak, protein kasar, serat kasar, dan bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN). Faktor-faktor yang mempengaruhi kecernaan bahan organik adalah aktivitas mikroorganisme, bentuk fisik pakan, dan kecernaan bahan kering. Kecernaan serat suatu bahan pakan sangat mempengaruhi kecernaan pakan, baik dari segi jumlah maupun dari komposisi kimia seratnya (Tillman et al, 1993).

  Setelah 24 jam inkubasi, residu pakan dalam tabung dikeluarkan dan dicampur dengan larutan detergen netral, ditransfer ke cawan, dibilas, dikeringkan dan diabukan. Nilai kecernaan bahan organik didapat melalui selisih kandungan bahan organik awal sebelum inkubasi dan setelah inkubasi, proporsional terhadap kandungan bahan organik sebelum inkubasi (Jayanegara, et al, 2009) nilai degradasi bahan organik antara 48, 26 persen – 53,75 persen (Firsoni et al, 2008).

  Menurut sutardi (1980) bahan organik merupakan dari bahan kering, sehingga meningkatnya konsumsi bahan kering maka konsumsi bahan organik akan meningkat pula. Peningkatan kecernaan bahan organik sejalan dengan meningkatnya kecernaan bahan kering, karena sebahagian besar komponen bahan kering terdiri dari bahan organik.

  Van Soest (1994) menyatakan bahwa kemampuan mencerna bahan pakan ditentukan oleh beberapa faktor seperti jenis ternak, komposisi kimia pakan dan penyimpanan pakan. Daya cerna suatu bahan pakan tergantung pada keserasian zat-zat yang terkandung didalam bahan pakan.

  Income Over Feed Cost (IOFC)

  Tujuan akhir dari pemeliharaan ternak adalah untuk memperoleh keuntungan secara ekonomis. Keuntungan merupakan selisih antara penerimaan dengan pengeluaran. Income Over Feed Cost (IOFC) adalah salah satu cara dalam menentukan indikator keuntungan. IOFC ini biasa digunakan untuk mengukur performa pada program pemberian pakan. Analisis pendapatan dengan cara ini didasarkan pada harga beli bakalan, harga jual dan biaya pakan selama pemeliharaan. Income Over Feed Cost diperoleh dengan menghitung selisih pendapatan usaha peternakan dikurangi dengan biaya ransum. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi Income Over Feed Cost yaitu harga ransum, konsumsi ransum, dan besarnya pendapatan (Kasim, 2002).

  Kasim (2002) menambahkan bahwa IOFC dapat dihitung dengan pendekatan penerimaan dari nilai pertambahan bobot badan ternak dengan biaya ransum yang dikeluarkan selama penelitian. Faktor yang berpengaruh penting dalam perhitungan IOFC adalah pertambahan bobot badan selama penggemukan, konsumsi pakan dan harga pakan. Pertumbuhan yang baik belum tentu menjamin keuntungan maksimum, tetapi pertumbuhan yang baik dan diikuti dengan konversi pakan yang baik pula serta biaya pakan yang minimal akan mendapatkan keuntungan yang maksimal pula.