6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Tumbuhan 2.1.1 Sejarah Tumbuhan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Tumbuhan

  2.1.1 Sejarah Tumbuhan

  Kelor (Moringa oleifera Lam.) merupakan tanaman yang berasal dari dataran sepanjang sub Himalaya, yaitu India, Pakistan, Bangladesh, dan Afghanistan. Kelor dibudidayakan dan telah beradaptasi dengan baik di luar jangkauan daerah asalnya, termasuk bagian barat, timur, dan selatan Afrika, Asia tropis, Amerika Latin, Karibia, Florida, dan Kepulauan Pasifik (Fahey, 2005).

  Di Indonesia, kelor dikenal berupa pohon dengan tinggi 5 – 10 m. Batang kayu getas sehingga mudah patah. Namun, kayunya dibungkus dengan kulit yang tidak mudah terpotong selain menggunakan benda tajam. Percabangan tanaman jarang dan tumbuh memanjang. Cabang menghasilkan tangkai daun yang banyak sehingga tanamannya terlihat rimbun (Mardiana, 2013).

  2.1.2 Sistematika Tumbuhan

  Sistematika tanaman kelor adalah sebagai berikut. (Integrated Taxonomic Information System, 2013): Kingdom : Plantae Sub kingdom : Tracheobionta Super divisi : Spermatophyta Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Sub kelas : Dilleniidae Ordo : Capparales Famili : Moringaceae Genus : Moringa Species : Moringa oleifera Lam.

  2.1.3 Nama Asing

  Selama berabad-abad, tanaman kelor telah dibawa ke berbagai daerah, mulai dari wilayah semi-tropis hingga tropis. Kini kelor dikenal di 82 negara dengan 210 nama yang berbeda, diantaranya horse radish tree, drumstick tree,

  benzolive tree (Inggris), mlonge (Tanzania), marango (Nikaragua), moonga

  (India), mulangay (Filipina), nebeday (Senegal), sajna (Bangladesh), dan sebagainya. Berdasarkan manfaatnya, tumbuhan ini dikenal dengan mother’s best

  friend, miracle vegetable, dan miracle tree (Mardiana, 2013).

  2.1.4 Nama Daerah

  Penanaman kelor di Indonesia tersebar di seluruh daerah, mulai dari Aceh hingga Meurauke. Oleh karena itu, tanaman kelor dikenal berbagai daerah, seperti

  

murong (Aceh), munggai (Sumatera Barat), kilor (Lampung), kelor (Jawa Barat

  dan Jawa Tengah), marongghi (Madura), kiloro (Bugis), parongge (Bima), kawona (Sumba), dan kelo (Ternate) (Mardiana, 2013).

  2.1.5 Morfologi Tumbuhan

  Kelor merupakan tanaman yang tinggi pohonnya dapat mencapai 12 meter dengan diameter 30 cm; berakar tunggang berwarna putih yang membesar seperti lobak; mempunyai batang bulat dengan arah tumbuh lurus ke atas dan permukaannya kasar. Percabangan pada batangnya terjadi secara simpodial; daun majemuk, bertangkai panjang, tersusun berseling; helai daun saat muda berwarna hijau muda, setelah dewasa hijau tua, bentuk helai daun bulat telur, panjang 1 – 3 cm, lebar 4 mm sampai 1 cm, ujung daun tumpul, pangkal daun membulat, dan tepi daun rata, susunan pertulangan menyirip, pemukaan atas dan bawah halus; bunga berwarna putih agak krem, menebar aroma khas; buah berbentuk segitiga memanjang berwarna cokelat setelah tua; biji berbentuk bulat, ketika muda berwarna hijau terang dan berubah berwarna cokelat kehitaman ketika polong matang dan kering Bagian kayu warna cokelat muda atau krem berserabut (Anwar, et al., 2007).

  2.1.6 Kandungan Kimia

  Hasil penelitian menunjukkan bahwa daun kelor banyak mengandung nutrisi dan senyawa kimia, antara lain: protein (27%), kaya vitamin A dan C, zat besi, kalsium, fosfor, alkaloid, flavonoid, alkaloid, glikosida, saponin/triterpenoid, polisakarida, asam amino, serta kandungan polifenol lainnya (Gaikwad, et al., 2011). Selain itu, daun kelor juga mengandung nitril glikosida, yaitu niazirin dan niazirinin; three mustard oil glycosides, seperti 4 [(4'-O-acetyl-

  α-L- rhamnosyloxy) benzyl] isotiosianat, niaziminin A ,dan niaziminin B; asam-asam fenolik, seperti asam gallat, klorogenik, asam ferulat, dan asam ellagat; flavonoid (kaempferol, quercetin dan rutin) dan karotenoid (terutama lutein and β-karoten) (Pandey, et al., 2012).

  2.1.7 Khasiat Tumbuhan

  Pemanfaatan tanaman kelor cukup beragam. Kelor biasanya ditanam sebagai bahan sayur dan tanaman pagar. Selain itu, dapat pula dimanfaatkan sebagai pakan ternak sapi dan kambing. Kelor juga dapat dimanfaatkan sebagai obat-obatan. Akar kelor ampuh menyembuhkan nyeri, rematik, sariawan, dan asma. Kulit akar juga mujarab mengatasi pembengkakan dan sariawan. Sementara kulit batang digunakan untuk pelancar haid, flu, dan sariawan. Ramuan daun kelor dapat membantu penyembuhan pembengkakan limpa, penurun gula darah, dan meningkatkan nafsu makan. Selain itu, daun juga bersifat diuretik serta dapat menangani panas dalam, anemia, dan mempelancar air susu ibu. Berbagai penelitian yang telah dilakukan seperti antioksidan, urolitiasis, hepatoprotektor, immunomodulator, hipokolesterolemik (penurun kolesterol), dan hipoglikemik (penurun gula darah) (Mardiana, 2013). Secara tradisional daun kelor juga digunakan sebagai obat malaria, penyembuh luka, antiasma, antiinflammasi, antiarthritis dan analgesik, antitiroid, antimikroba, antitumor, antipiretik, anafilaksis, antiulser, antifertilitas, antiplasmodial, antihipertensi (Pandey, et al., 2012).

2.2 Ekstraksi

  Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair (Ditjen POM, 2000). Hasil dari ekstraksi disebut dengan ekstrak, yaitu sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan

  a sedemikian sehingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Ditjen POM , 1995).

  Menurut Ditjen POM (2000), metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut dapat dibagi ke dalam dua cara, yaitu :

1. Cara dingin

  Ekstraksi menggunakan pelarut dengan cara dingin terdiri dari: a.

  Maserasi Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan (kamar). Remaserasi berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama dan seterusnya.

  b.

  Perkolasi Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Proses terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak) secara terus-menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat).

2. Cara Panas

  Ekstraksi menggunakan pelarut dengan cara panas terdiri dari: a. Refluks

  Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik.

  b.

  Sokletasi Sokletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik.

  c.

  Digesti Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada

  o

  temperatur yang lebih tinggi dari temperatur (40 – 50 C). d.

  Infundasi Infundasi adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air

  (bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 96 –

  o

  98 C) selama waktu tertentu (15 – 20 menit).

  e.

  Dekoktasi Dekoktasi adalah infus pada waktu yang lebih lama (30 menit) dan temperatur sampai titik didih air.

2.3 Metotreksat

  a

Gambar 2.1 Struktur Metotreksat (Ditjen POM , 1995).

  Metotreksat merupakan derivat pteridin yang menghambat reduksi asam folat menjadi asam tetrahydrofolat (THFA) dengan jalan pengikatan pada enzim reduktase. THFA mempunyai peranan penting bagi sintesa DNA dan pembelahan sel. Antagonis folat ini adalah sitostatikum pertama yang efektif pada leukemia akut dan kanker. Pengobatan pada kanker biasanya dikombinasi dengan asam folinat untuk menghindari efek sampingnya yang hebat (Tan dan Rahardja, 2007).

  Efek samping utama metotreksat adalah penekanan sumsum tulang (leukopenia, trombositopenia). Dosis di atas 25 – 30 mg dapat menyebabkan efek yang hebat. Selain itu, efek samping yang ditimbulkan dapat berupa kerusakan mukosa mulut dan saluran pencernaan, tetapi jarang terjadi rasa lelah, rontok rambut, dan demam. Dosis untuk pengobatan kanker tergantung dari jenis dan keadaan pasien, yaitu oral 5 – 30 mg sehari selama 5 hari. Setelah istirahat 2 – 3 minggu dapat diulang lagi 3 – 5 kali. Dosis untuk psoriasis dan rematik: oral, i.m. atau i.v. 15 – 25 seminggu. Pada dosis rendah ini imunosupresi bersifat ringan, namun perlu dilakukan monitoring darah secara teratur (Tan dan Rahardja, 2007).

  2.4 Darah

  Darah merupakan komponen esensial makhluk hidup, mulai dari binatang primitif sampai dengan manusia. Dalam keadaan fisiologik, darah selalu berada dalam pembuluh darah sehingga dapat menjalankan fungsinya sebagai: (a) pembawa oksigen (oxsygen carrier); (b) mekanisme pertahanan tubuh terhadap infeksi; dan (c) mekanisme hemostasis. Darah terdiri atas 2 komponen utama, yaitu: a. Plasma darah: bagian cair darah yang sebagian besar terdiri atas air, elektrolit, dan protein darah.

  b. Butir-butir darah (blood corpuscles), yang terdiri atas: 1) eritrosit: sel darah merah (SDM) – red blood cell (RBC) 2) leukosit: sel darah putih (SDP) – white blood cell (WBC) 3) trombosit: butir pembeku – platelet (Bakta, 2003).

  2.5 Hemopoiesis

  Hemopoiesis atau hematopoiesis ialah proses pembentukan darah. Tempat hemopoiesis pada manusia berpindah-pindah sesuai umur (Bakta, 2003), yaitu: a. yolk sac : umur 0 – 3 bulan intrauterine

  b. hati dan lien : umur 3 – 6 bulan intrauterin c. sumsum tulang : umur 4 bulan intrauterin – dewasa Hemopoiesis bermula terjadi dari suatu sel induk primitif yang disebut sebagai pluripotent stem cell yang dapat menimbulkan berbagai jalur sel yang terpisah. Sel induk yang berperan penting pada hemopoiesis adalah sel induk hemopoietik. Sel induk hemopoietik ialah sel-sel yang akan berkembang menjadi sel-sel darah, termasuk sel darah merah, sel darah putih, keping darah, dan juga beberapa sel dalam sumsum tulang seperti fibroblast. Satu sel induk mampu

  6

  menghasilkan 10 sel yang matang setelah 20 kali pembelahan sel. Sel induk pluripotent memiliki beberapa sifat, antara lain: (a) self renewal: kemampuan memperbarui diri sehingga tidak akan pernah habis meskipun terus membelah; (b) proliferatif: kemampuan membelah atau memperbanyak diri; dan (c) diferensiatif: kemampuan untuk mematangkan diri menjadi sel-sel dengan fungsi tertentu (Bakta, 2003). Gambar skematik susunan sel induk hemopoietik dapat dilihat pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2 Peran Faktor Pertumbuhan dan Hemopoiesis Normal (Hoffrand, et

  al., 2005)

  Menurut sifat kemampuan diferensiasinya, sel induk hemopoietik dapat dibagi menjadi: a. Pluripotent (totipotent) stem cell: sel induk yang mempunyai kemampuan untuk menurunkan seluruh jenis sel-sel darah.

  b. Committed stem cell : sel induk yang mempunyai komitmen untuk berdiferensiasi melalui salah satu garis keturunan sel (cell line). Sel induk yang termasuk golongan ini ialah sel induk mieloid dan sel induk limfoid.

  c. Oligopotent stem cell : sel induk yang dapat berdiferensiasi menjadi hanya beberapa jenis sel, misalnya CFU-GM (Colony Forming Unit-

  Granulocyte/Monocyte ) yang dapat berkembang hanya menjadi sel-sel granulosit dan sel-sel monosit.

  d. Unipotent stem cell : sel induk yang hanya mampu berkembang menjadi satu jenis saja. Contoh: CFU-E (Colony Forming Unit-Erythrocyte) hanya dapat menjadi eritrosit, CFU-G (Colony Forming Unit-Granulocyte) hanya mampu berkembang menjadi sel-sel granulosit.

2.6 Trombosit

2.6.1 Definisi Trombosit

  Trombosit adalah elemen terkecil darah. Sel ini tidak berinti, berbentuk bulat atau oval, memberikan struktur mirip piringan dengan diameter 1 – 2 mikrometer dan volume sel rata-rata 5,8 fl. Jumlah trombosit normal adalah sekitar 250 x 10

  9

  /L (rentang 1,5 – 4,5 x 10

  5 /µl) dengan lama hidup 7 – 10 hari.

  Trombosit dapat dibagi menjadi 3 daerah (zona), yaitu zona perifer yang berperan dalam adhesi dan agregasi; zona “sol-gel” yang menunjang struktur dan mekanisme interaksi trombosit; dan zona organel yang berperan dalam pengeluaran isi trombosit. Aktivitas trombosit penting pada proses awal pembekuan darah (hemostasis) dan akan berakhir dengan pembentukan sumbat trombosit. Normalnya, dua pertiga total trombosit berada di sirkulasi darah, sementara sepertiga lainnya berada di organ limpa (Hoffbrand, et al., 2005).

2.6.2 Pembentukan Trombosit

  Trombosit dihasilkan di dalam sumsum tulang melalui fragmentasi sitoplasma megakariosit. Prekursor megakariosit, megakarioblast, muncul melalui proses diferensiasi dari sel induk hemopoietik. Megakariosit mengalami pematangan melalui replikasi inti endomitotik yang sinkron. Volume sitoplasma akan bertambah besar sejalan dengan bertambahnya lobus inti menjadi dua kali lipat. Pada stadium inti delapan, sitoplasma akan menjadi granular dan melepaskan trombosit. Setiap megakariosit akan menghasilkan 4000 trombosit. Trombosit yang beredar dalam sirkulasi darah merupakan hasil keseimbangan antara produksi trombosit di sumsum tulang serta distribusi pada darah tepi dan limpa (Hoffbrand, et al., 2005).

  Regulator utama produksi trombosit adalah TPO (Trombopoietin) dan reseptornya, c-MPL. T rombopoietin berperan dalam meningkatkan jumlah dan kecepatan maturasi megakariosit. Pada saat jumlah trombosit dalam darah rendah, maka kadar trombopoietin plasma akan mengalami peningkatan karena berkurangnya pengikatan trombopoietin oleh trombosit. Peningkatan kadar trombopoietin plasma ini akan merangsang megakariopoiesis. Sebaliknya, pada saat jumlah trombosit dalam darah tinggi, maka deplesi plasma trombopoietin akan menurunkan megakariopoiesis. Selain trombopoietin, pembentukan trombosit juga diatur oleh faktor pertumbuhan hemopoietik. Faktor pertumbuhan hemopoietik adalah glikoprotein yang dihasilkan oleh sel stroma dalam sumsum tulang, limfosit T, hati dan ginjal. Beberapa di antaranya, yaitu faktor perangsang koloni (CSF), IL-3 (Interleukin-3), IL-6 (Interleukin-6), dan IL-11 (Interleukin- 11) (Hoffbrand, et al., 2005).

  Interleukin-3 (IL-3) merupakan sitokin yang dihasilkan oleh limfosit T yang mampu merangsang trombositopoesis dengan menstimulasi progenitor megakariosit. IL-11 dapat meningkatkan jumlah megakariosit dan jumlah trombosit dalam sirkulasi darah. IL-6 dan IL-3 berperan dalam pematangan megakariosit dan secara tidak langsung meningkatkan produksi trombopoietin oleh hati (Hoffbrand, et al., 2005).

2.6.3 Struktur Trombosit

  Secara ultrastruktur trombosit dapat dibagi atas:

  1. Zona perifer terdiri atas glikokalik (suatu membran ekstra yang terletak di bagian paling luar), di dalamnya terdapat membran plasma dan lebih dalam lagi terdapat sistem kanal terbuka. Membran trombosit mengandung glikoprotein yang berfungsi sebagai reseptor. Glikoprotein (GP) penting untuk reaksi adhesi dan agregasi trombosit yang merupakan kejadian awal yang mengarah pada pembentukan sumbat trombosit selama hemostasis.

  Adhesi pada kolagen difasilitasi oleh GPIa. GPIb dan GPIIb//IIIa penting dalam perlekatan trombosit pada faktor von Willebrand (vWF) dan pada perlekatan pada subendotel vaskular. GPIIb/IIIa juga merupakan reseptor untuk fibrinogen yang penting dalam agregasi trombosit.

  2. Zona sol-gel terdiri atas mikrotubulus, mikrofilamen, sistem tubulus padat (berisi nukleotida adenin dan kalsium).

  3. Zona organela terdiri atas granula padat elektron (electron dense bodies), mitokondria, granula- α dan organela (lisosom dan retikulum endoplasmik).

  Granula padat lebih sedikit dan mengandung ADP, ATP, 5-hidroksitriptamin (5-HT atau serotonin), dan kalsium. Granula-

  α berisi antagonis heparin (platelet factor 4

  , PF4), β-tromboglobulin, vWF, faktor pertumbuhan yang berasal dari trombosit/PDGF (platelet-derived growth factor), dan faktor pembekuan lain. Organel spesifik lain meliputi lisosom yang mengandung enzim hidrolitik (Hoffbrand, et al., 2005).

2.6.4 Fungsi Trombosit

  Peran trombosit dalam hemostasis antara lain berperan pada proses adhesi pada jaringan subendotel, memicu agregasi pada tempat terjadinya kerusakan pembuluh darah, memicu proses koagulasi pada permukaan fosfolipid. Selain itu trombosit juga berperan melepaskan substansi biokimia yang penting dalam hemostasis (Hoffbrand, et al., 2005).

2.7 Kelainan Trombosit Kuantitatif

  Kelainan trombosit kuantitatif (gangguan jumlah trombosit), dapat dibagi menjadi 2, yaitu: trombositopenia dan trombositosis.

2.7.1 Trombositopenia

  Trombositopenia didefinisikan sebagai jumlah trombosit yang kurang dari

  3

  batas bawah nilai rujukan (< 150.000 per mm ). Keadaan ini dapat disebabkan oleh penurunan produksi trombosit, peningkatan dekstruksi, dan distribusi tidak normal. Penyebab trombositopenia antara lain: 1.

  Kegagalan produksi trombosit. a.

  Depresi selektif megakariosit karena obat, bahan kimia, atau infeksi virus.

  b.

  Sebagai bagian dari bone marrow failure umum, seperti anemia aplastik, leukemia akut, radioterapi, obat sitotoksik, anemia megaloblastik, karsinoma, dan lain-lain.

2. Peningkatan dektruksi trombosit.

  a.

  Autoimun (idiopatik) b. Akibat induksi obat c. Infeksi HIV, virus malaria 3. Distribusi tidak normal.

  Sindrom hiperspleinism: dimana terjadi pooling trombosit dalam limpa (Bakta, 2003).

  Pada umumnya manifestasi klinis trombositopenia terjadi jika jumlah

  3

  trombosit di bawah 100.000 per mm yang disertai dengan leukemia atau penyakit hati. Perdarahan yang lama akibat trauma ringan ditemukan pada jumlah

  3

  trombosit kurang dari 50.000 per mm . Petekie adalah manifestasi utama yang

  3

  ditemukan bila jumlah kurang dari 30.000 per mm . Perdarahan mukosa, jaringan dalam dan intrakranial ditemukan bila jumlah trombosit kurang dari 20.000 per

  3 mm (Baldy, 1994).

2.7.2 Trombositosis

  Trombositosis didefinisikan sebagai peningkatan jumlah trombosit di atas normal. Trombositosis dapat terjadi secara primer dan sekunder. Trombositosis primer terjadi pada gangguan mieloproliferatif, seperti polisitemia vera dan leukemia kronik. Trombositosis sekunder terjadi sebagai akibat dari adanya keadaan lain, seperti stress atau kerja fisik disertai pengeluaran trombosit dari

  3

  sumber cadangan (limpa). Peningkatan jumlah trombosit melebihi 1 juta per mm dapat menyebabkan perdarahan atau trombosis.

2.8 Pemeriksaan Trombosit dengan Cara Manual (Hemositometer)

  Salah satu pemeriksaan laboratorium pada trombosit adalah hitung jumlah trombosit menggunakan alat hemositometer yang terdiri dari kamar hitung, kaca penutup, dan pipet. Mutu kamar hitung serta pipet-pipet harus memenuhi syarat ketelitian tertentu.

  1) Kamar hitung.

  Kamar hitung yang sebaiknya dipakai ialah yang memakai garis bagi

  2 Improved Neubauer . Luas seluruh bidang yang dibagi adalah 9 mm dan bidang

  2 ini dibagi menjadi sembilan “bidang besar” yang luasnya masing-masing 1 mm .

  Bidang besar dibagi lagi menjadi 16 ”bidang sedang” yang luasnya masing-

  2

  masing 1/4 x 1/4 mm . Bidang besar yang letaknya di tengah-tengah dibagi menjadi 25 bidang dan tiap bidang itu dibagi lagi menjadi 16 “bidang kecil”.

  Dengan demikian jumlah bidang kecil itu seluruhnya 400 buah, masing-masing

  2

  luasnya 1/20 x 1/20 mm . Tinggi kamar hitung, yaitu jarak antara permukaan yang bergaris-garis dan kaca penutup yang berpasangan adalah 1/10 mm. Maka volume di atas tiap-tiap bidang menjadi sebagai berikut.

  3

  1 bidang kecil `= 1/20 x 1/20 x1/10 =1/4000 mm

  3

  1 bidang sedang = 1/4 x 1/4 x 1/10 =1/160 mm

  3

  1 bidang besar = 1 x 1 x 1/10 = 1/10 mm

  3 Seluruh bidang yang dibagi = 3 x 3 x 1/10 = 9/10 mm

  2) Kaca penutup.

  Kaca penutup digunakan adalah kaca penutup khusus dan lebih tebal dari kaca penutup biasa. Hanya dalam keadaan darurat kaca penutup biasa boleh dipakai. Kaca penutup untuk menghitung jumlah trombosit dengan teknik fase kontrast lebih tipis daripada yang dipakai untuk mikroskop biasa.

  3) Pipet.

  Pipet Thoma yang digunakan untuk pengenceran eritrosit maupun trombosit (pipet eritrosit) terdiri dari sebuah pipa kapiler yang bergaris bagi dan membesar pada salah satu ujung menjadi bola. Dalam bola tersebut terdapat sebutir kaca merah. Pada pertengahan pipa kapiler itu terdapat garis bertanda ”0,5” dan pada bagian atasnya, yaitu dekat bola, terdapat garis bertanda “1,0”. Pada bagian atas bola juga terdapat garis bertanda “101”. Angka-angka tersebut tidak menandakan satu volume yang mutlak melainkan perbandingan volume. Hal yang paling penting dan menentukan ialah pengenceran darah yang terjadi dalam pipet. Seandainya lebih dulu diisap darah sampai garis tanda “0,5” kemudian cairan pengencer (Ress Ecker) sampai garis tanda “101”, maka darah dalam bola pipet diencerkan 200 kali (Gandasoebrata, 1985).

  Ress Ecker berfungsi sebagai pengencer darah (pelarut) dan pemberi warna pada platelet. Kandungan dari Ress Ecker ini adalah Natrium sitrat yang berfungsi sebagai pencegah koagulasi, memelihara sel darah merah, menyediakan gravitasi spesifik yang rendah; formalin sebagai fiksatif; Brilliant crecyl blue sebagai pemberi warna pada platelet; akuades sebagai pelarut. Perhitungan menggunakan bantuan mikroskop dengan perbesaran 40 kali untuk melihat trombosit tampak refraktif dan mengkilat berwarna biru muda/nila, lebih kecil dari eritrosit serta bentuk bulat, lonjong atau tersebar atau bergerombol (Pal dan Pal, 2005). Trombosit dihitung dalam 25 bidang sedang yang terletak di bidang basar paling tengah. Hitung jumlah trombosit dapat diperoleh dari rumus jumlah trombosit = (n x F)/Vb (Gandasoebrata, 1985). Keterangan: N = jumlah trombosit yang dihitung F = faktor pengenceran Vb = volume bidang yang di hitung

Gambar 2.3 Kamar Hitung Improved Neubauer (Gandasoebrata, 1985).

  Keterangan: W = kotak untuk hitung jumlah leukosit R = kotak untuk hitung jumlah eritrosit