BAB 2 KAJIAN PUSTAKA 2.1. Budaya dan Arsitektur - Transformasi Penerapan Nilai Islam Dalam Hunian Di Indonesia, Studi Kasus: Kota Medan, Sumatera Utara

BAB 2 KAJIAN PUSTAKA

  2.1. Budaya dan Arsitektur 2.1.1.

  Budaya dan Teori Budaya Istilah budaya sendiri memiliki banyak makna, istilah ini dapat digunakan pada berbagai bidang, hal ini berarti bahwa istilah budaya tidak bisa dipakai sebagai definisi yang pasti dalam konteks yang berbeda (Loebis, 2002). Menurut Rapoport (1977), Parson dan Shils (1962) dalam Loebis (2002) budaya adalah sekelompok orang yang memiliki nilai, kepercayaan dan pandangan hidup yang sama, dan suatu sistem simbol yang dipelajari dan disebarkan. Budaya menciptakan suatu sistem aturan dan kebiasaan, yang merefleksikan idealisme dan menciptakan gaya hidup, tata cara hidup, peran, kelakuan, makanan, bahkan suatu bentuk buatan misalnya arsitektur.

  2.2. Perubahan Budaya

  Dalam teori strukturalisme, perubahan budaya diartikan sebagai proses alami yang terjadi akibat perubahan struktur dan fungsi suatu sistem sosial dalam masyarakat. Struktur yang dimaksud adalah pola kultur yang digunakan sebagai basis dalam pengukuran suatu sistem sosial, sedangkan fungsi adalah keterlibatan penggabungan suatu struktur dengan struktur lain dalam suatu sistem baru.

2.2.1. Sumber Perubahan

  Perubahan dapat didefinisikan sebagai serangkaian kejadian dalam kurun waktu tertentu yang melahirkan suatu modifikasi atau pergantian suatu elemen dari pola budaya yang mengarah pada pergerakan pola dalam waktu dan ruang dan menghasilkan pola kultural lain (Loebis, 2002). Perubahan kultural berkaitan dengan waktu. Perubahan kultural bersifat historis dan berhubungan dengan urutan kejadian dan pergerakan ruang dan waktu. Oleh karena itu, perubahan kultural hanya bisa dipelajari melalui catatan sejarah.

  Struktur dan proses perubahan budaya adalah suatu sistem yang terdiri dari bagian yang saling bergantung, setiap bagian ini memiliki fungsi masing-masing dan berperan dalam sistem (Durkheim dalam Loebis, 2002). Dalam teori ini, sistem adalah gerakan kekal, suatu titik keseimbangan dimana bagian dari sistem tersebut terus menerus menyesuaikan satu sama lain dan untuk merubah subsistem yang membentuk bagian baru. Maka dari itu, dalam suatu sistem terdapat penggerak untuk mencapai kondisi baru.

  Salah satu cara masuknya perubahan adalah dengan adaptasi. Adaptasi adalah proses dan sistem yang menghubungkan sistem kebudayaan dan alam semesta. Proses ini terjadi apabila misi kultural tercapai, dengan demikian masyarakat menggerakkan sumber daya dan menjaga pola budayanya sebagai upaya untuk menciptakan keseimbangan.

  Oleh karena itu Parson dan Shills (1962) dalam Loebis (2002) mengatakan bahwa kondisi ini tidak dapat ditetapkan sebagai kondisi statis, hal ini dikarenakan sistem memiliki potensi yang tinggi untuk merangsang dan melaksanakan perubahan dan adaptasi, dalam menjaga tujuan misi kultural bagi masyarakat.

  Adaptasi adalah faktor yang penting, tetapi dalam analisis proses perubahan dan transformasi adaptasi tidak cukup karena tidak dipertimbangkan sebagai faktor yang memiliki peran aktif dalam faktor eksternal.

2.2.2. Mekanisme Perubahan Melalui Pertukaran

  Ada beberapa mekanisme perubahana melalui pertukaran, yaitu: a.

  Pertukaran Internal (Evolusionisme) Dalam teori evolusionisme, proses perubahan budaya menunjukkan keteraturan dan gejala asli dalam setiap pola kultur untuk mengalami perubahan.

  Gejala ini dideskripsikan dalam teori dialektik Hegel yang menyatakan bahwa pendekatan dialektik menekankan kepentingan produk mental dan pikiran daripada material seperti yang diaplikasikan pada definisi sosial pada dunia fisik dan materi. Kegagalan dalam evolusionisme adalah ketidakmampuan paham ini untuk menyuguhi proses terputus yang radikal dan serangkaian kejadian yang diungkapkan dalam catatan sejarah.

  b.

  Pertukaran Eksternal (Difusionisme) Difusi adalah respon dari sumber perubahan internal seperti yang diusulkan oleh teori evolusionisme. Difusi disini dapat diartikan sebagai perpindahan elemen budaya dari satu budaya ke budaya lainnya. Menurut Smith (1976) dalam loebis (2002) proses difusi tidak membedakan elemen perpindahan dari kultur penyumbang dan terjadi secara tidak sengaja dalam perpindahan elemen ke kultur penerima. Dari sisi kultur penyumbang, perubahan dapat diarahkan maupun tidak diarahkan tetapi elemen budaya asing tidak akan bisa menembus budaya lain kecuali elemen budaya tersebut disetujui oleh kultur penerima. Budaya penerima kemudian akan memodifikasi elemen budaya yang mereka terima dengan cara yang lebih kompleks, modifikasi budaya inilah yang nantinya akan menjadi bentuk hybrid. Perubahan dalam difusionisme memiliki relevansi dan atraksi yang besar dalam proses sejarah masa kini dibandingkan dengan masa lalu.

  Difusionisme juga memiliki kekurangan yaitu, yang pertama paham ini cenderung berasumsi bahwa semua perubahan bersifat kualitatif. Yang kedua difusionisme cenderung menolak peran seleksi aktif oleh individu dan kelompok yang ditemukan oleh Malinowski. Yang ketiga, paham ini gagal menyediakan kriteria untuk membedakan jenis rangkaian kejadian historis eksternal yang dapat menghasilkan perubahan yang signifikan.

  c.

  Pertukaran Campuran Dalam paham difusionisme efek pertukaran internal dalam proses perubahan dan transformasi tidak diperhitungkan. Dalam Paham evolusionisme perubahan yang dihasilkan akibat faktor eksternal diabaikan. Namun dalam pertukaran campuran, kedua faktor ini diperhitungkan.

  Dalam penelitian ini, akan diuji proses pertukaran budaya sebagai penyebab transformasi berasal dari internal (evolusionisme) atau eksternal (difusionisme), atau bahkan keduanya. Pertukaran kultur internal terjadi karena pertukaran elemen budaya dalam suatu kebudayaan (internal difusionisme), sedangkan pertukaran budaya eksternal terjadi karena pertukaran elemen budaya dengan budaya lain (external evolusionisme).

2.3. Transformasi

  Transformasi adalah istilah yang berhubungan erat dengan perubahan yang dapat terukur baik berupa karakter objek atau konsep gagasan, persepsi dan budaya. Transformasi merupakan proses budaya yang relatif cepat dengan hasil yang besar. Khususnya pada perubahan susunan teknis dan moral masyarakat yang mengacu pada organisasi perasaan manusia dalam menghakimi hal yang benar pada ikatan antar manusia daripada kategori konten dari kultur itu sendiri (Redfield, 1953 dalam Loebis, 2002).

  Transformasi sebagai proses budaya yang tidak dapat dihindari dan tidak dapat ditahan. Besar perubahannya tergantung pada intensitas kontak dengan budaya asing tersebut. Transformasi sangat didasarkan budaya dari penggunanya seperti budaya asing yang diterima oleh masyarakat lokal harus sesuai dengan budaya lokal yang telah ada. Percampuran dari budaya asing dan budaya local memunculkan produk baru yang disebut dengan hybrid. Produk baru ini tidak hanya menyerupai bentuk lokal ataupun bentuk asing, namun merupakan sesuatu yang seluruhnya baru. Karena arsitektur ditentukan berdasarkan budaya (Rapoport, 1969 dalam Loebis, 2002), maka transformasi arsitektural dan prosesnya juga ditentukan oleh budaya, akibatnya perubahan dan transformasi budaya akan berdampak pada arsitektur.

2.4. Arsitektur Islam 2.4.1.

  Pengertian Arsitektur Islam Ketika berbicara tentang arsitektur Islam, ada banyak pendapat yang muncul. Pada umumnya arsitektur Islam dimengerti sebagai arsitektur yang digunakan untuk membangun bangunan ibadah, seperti masjid dan musholla. Namun apabila membahas tentang arsitektur Islam bukan berarti hanya membahas masjid dan musholla, tetapi juga semua bangunan, hanya saja penekanannya pada pengaplikasian syariat Islam. Pengertian ini juga diperkuat dengan pendapat Begam dalam jurnal Islamic Guiding Principle (S

  hari’ah Law) For Architectural Interpretation Of Housing yang menyatakan bahwa arsitektur Islam adalah

  kombinasi dari Islam dan arsitektur berupa arsitektur murni yang didasarkan pada prinsip Islam (Al-Quran dan Hadits).

  Utaberta (2008) lebih ringkas menjelaskan bahwa arsitektur Islam adalah arsitektur sebagai sebuah produk dari agama Islam. Namun, ada perbedaan yang mendasar antara produk yang dihasilkan dari masyarakat muslim dengan produk dari nilai-nilai dan prinsip Islam. Arsitektur sebagai produk dari masyarakat muslim artinya adalah sebuah karya arsitektural yang dihasilkan oleh suatu komunitas yang beragama Islam. Produk tersebut dapat berbeda bahkan bertentangan dengan prinsip Islam karena hanya merupakan sebuah produk masyarakat suatu kawasan. Hal ini sangat berbeda dengan arsitektur sebagai produk dari nilai-nilai dan prinsip Islam. Pada prinsipnya produk arsitektural yang berdasarkan prinsip-prinsip dan nilai-nilai dasar dari Islam berasal dari sumber- sumber ajaran Islam itu sendiri, dalam hal ini adalah Al- Qur’an, Sunnah, dan Ijtihad yang didasarkan kepada dua sumber sebelumnya secara benar.

  Oleh karena itu dapat diambil kesimpulan bahwa arsitektur Islam adalah arsitektur yang didasarkan pada pilar etika Islam, tidak berhubungan dengan monumen-monumen keagamaan tertentu atau elemen desain. Arsitektur Islam dapat disebut dengan arsitektur yang tersembunyi, benar-benar tidak dilihat sebagai monumen atau simbol yang mencolok, tetapi dapat dirasakan ketika berada didalam bangunan tersebut.

2.4.2. Kriteria Arsitektur Islam

  Arsitektur Islam yang dilandasi oleh akhlak dan perilaku Islami tidak mempunyai representasi bentuk yang satu dan seragam, tetapi arsitektur Islam mempunyai bahasa arsitektur yang berbeda, tergantung dari konteks dimana dan apa fungsi dari bangunan yang didirikan tersebut. Karya arsitektur Islam tidak pula dibatasi oleh wilayah benua dan negara, karena kita akan melihat kekayaan arsitektur Islam dari keragaman tempat yang membawa ciri khas dari wilayah masing-masing negara tersebut (Muchlis, 2013).

  Adapun Kriteria Arsitektur Islam adalah sebagai berikut (S.G. Haider dan

  A. Rehman dalam Farid dkk, 2009): a.

  Kosmologi arsitektur mengandung nilai bahwa alam dan manusia mempunyai misi untuk menyembah Allah SWT. Keberadaan bangunan tersebut tidak mengotori atau merusak alam, binatang, dan tumbuhan. b.

  Arsitektur yang menghormati konsep halal dan haram sebagaimana yang terdapat dalam syariah Islam. Hendaknya bangunan yang dibangun tidak mengandung unsur syirik dalam hal pembuatan, desain, dan ornament yang ada di dalamnya seperti elemen dekorasi, tidak menggunakan patung atau lukisan makhluk bernyawa.

  c.

  Arsitektur yang melambangkan spiritualitas, misalnya memasang ornamen islami seperti ornament yang merepresentasikan nilai-nilai menyembah dan mengingat Allah, seperti gambar ma sjid dan ka’bah. Adapun ornamen yang merepresentasikan nilai sejarah dan misi Islam antara lain gambar peta Makkah, Madinah ataupun peta perluasan Islam. Sedangkan ornamen yang melambangkan spritualitas yakni hiasan kaligrafi dan motif tumbuhan (arabesque).

2.5. Rumah 2.5.1.

  Pengertian Rumah Rumah menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti tempat tinggal ataupun kediaman (yang dihuni). Rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal dan sarana pembinaan keluarga (UU No. 4 Tahun 1992). Selain untuk tempat tinggal, rumah di fungsikan sebagai tempat bernaung dan berlindung dari cuaca dan bahaya. Rumah yang baik adalah rumah yang dapat menjadi tempat untuk hidup dan berkembang menjadi manusia yang lebih baik (Primasetra, 2013).

2.5.2. Pengertian Rumah Berdasarkan Islam

  Dalam Al- Qur’an ada tiga kata yang berhubungan dengan rumah, yaitu

  manzil (Q.S. Al-

  Mu’minun [23]: 29), maskan (Q.S. As-Saba’ [34]: 15), dan bait (Q.S. An-Nahl [16]: 80). Istilah manzil dapat diartikan sebagai bangunan rumah,

  maskan dapat diartikan sebagai letak rumah tetapi dapat juga diartikan sebagai

  tempat ketenangan atau kebahagiaan. Sedangkan bait berarti tempat yang paling nyaman.

  Yusuf Al-Qardawi (1996) menjelaskan pengertian rumah bersadarkan Islam yaitu tempat dimana individu melindungi dirinya dari unsur iklim, merupakan tempat dimana individu tersebut mendapatkan kebebasan dari batasan- batasan yang ada, tekanan sosial, dan juga sebagai tempat mengistirahatkan tubuh dan menenangkan fikiran.

  Rumah adalah struktur arsitektur dasar yang dimiliki setiap orang. Menurut begam dalam jurnal yang berjudul Islam And Architecture: Architectural

  interpretation from the values of the al Quran and sunnah mengatakan bahwa

  dalam membangun rumah ada beberapa hal yang dipertimbangkan, yaitu budaya, kepercayaan, iklim, status dan preferensi. Hal ini menunjukkan untuk mendesain rumah diperlukan pertimbangan dalam banyak aspek. Penerapan aturan Islam dalam rumah sangat penting karena dari pembentukan rumah yang islami, akan mempengaruhi pembentukan masyarakat dan peradaban. Adab dan aturan yang harus diterapkan oleh seorang muslim di dalam rumahnya turut menjadi faktor pendukung terciptanya rumah yang islami, oleh karena itu Pengetahuan tentang adab dan aturan tersebut merupakan hal yang sangat penting. Kebersihan, keasrian, keindahan, kesucian diri, kerahasiaan, kasih sayang, hubungan yang baik dengan orang lain, kasih sayang yang tercurah kepada yang lain, budi pekerti yang baik, yang menandai budaya islami, semuanya bersumber dari rumah yang islami.

2.5.3. Fungsi Rumah Berdasarkan Islam

  Sebagai agama yang lengkap dan menyeluruh, Islam tidak sekedar memberikan pedoman dalam menggapai impian setiap keluarga di dunia, namun juga memberikan pedoman dalam menggapai impian setiap keluarga di dunia, dengan sasaran akhir yang berupa kebahagiaan di akhirat. Agar senantiasa di rahmati oleh Allah SWT, sebaiknya memperhatikan fungsi rumah agar tidak menyalahi fungsi yang sesungguhnya. Adapun fungsi rumah berdasarkan Islam adalah (Ali, 2010; Farid dkk, 2009; Primasetra, 2013):

  a) Rumah sebagai masjid

  Rumah sebagai masjid berarti mengkondisikan rumah sebagai mana mengkondisikan masjid. Mesjid sendiri selain tempat untuk mengingat dan mendekatkan diri kepada Allah, masjid juga merupakan tempat membina umat, mempererat tali ukhuwah Islamiyah, dan merencanakan agenda dakwah sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Demikian juga dengan rumah, harus terbiasa menghidupkan nilai ilahiah dengan ibadah seperti sholat, tilawah Al-

  Qur’an, dan juga merekatkan ukhuwah antar anggota keluarga. Untuk itu rumah sebaiknya memiliki ruangan khusus untuk beribadah, dimana anggota keluarga dapat dengan leluasa melakukan aktifitas beribadah, seperti sholat dan membaca Al-

  Qur’an. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

  ‘Wahai sekalian manusia, sholatlah di rumah kalian karena sesungguhnya shalat yang paling utama adalah shalatnya seseorang di rumah kecuali shalat wajib.’ (HR. Bukhari dalam Farid dkk, 2009)

  Selain itu, penting untuk menjaga kesucian masjid dengan menjaga adab, maka begitu pula dengan rumah. Sebaiknya tetap menjaga kesucian rumah dengan tidak sembarangan berkata-kata, merendahkan suara, selektif dalam memilih hiburan, menjaga kesucian, dll.

  b) Rumah sebagai sekolah

  Rumah harus menjadi tempat pendidikan pertama dan terbaik. Selain itu rumah juga harus mendukung penghuninya untuk terus menuntut ilmu. Tidak hanya ilmu yang dipelajari disekolah seperti wawasan keagamaan, ilmu pengetahuan, dan etika, namun juga pelajaran tentang akhlak sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

  “Bergaullah dengan anak-anakmu, dan bimbinglah mereka ke arah

  pembentukan akhlak mulia’ (HR. Muslim dalam Farid dkk, 2009)

  Oleh sebab itu sebaiknya rumah memiliki ruangan khusus untuk belajar ataupun memiliki perpustakaan pribadi.

  c) Rumah sebagai tempat istirahat yang nyaman

  Rumah merupakan tempat kembali bagi setiap anggota keluarga setelah penat sepanjang hari beraktivitas. Oleh karena itu harus diupayakan membuat rumah yang merupakan tempat berteduh yang baik dan nyaman, tempat untuk mendapatkan makanan, minuman dan pakaian yang cukup, serta tempat untuk memenuhi kebutuhan istirahat jasmani. d) Rumah sebagai benteng rohani

  Kondisi keimanan setiap orang berbeda-beda dan tidak stabil, salah satu faktor terbesar yang mempengaruhi keimanan seseorang adalah keluarga. Oleh karena itu rumah adalah tempat yang didalamnya terjadi pembentukan model keluarga yang ideal serta menjadi tempat objek dakwah pertama dan utama sehingga membentuk pribadi yang unggul.

  2.5.4. Adab Islami dalam Rumah Telah dibahas sebelumnya bahwa untuk menciptakan rumah yang islami, faktor adab manusia sangat mempengaruhi, baik penghuni ataupun pengunjung rumah. Adapun adab yang dimaksud antara lain sebagai berikut (Hawwa, 2002):

  a) Kebersihan dan kesucian

  Seorang muslim harus menjaga kebersihan dan kesucian dirinya sebagaimana yang dijelaskan Rasulullah SAW dalam hadits riwayat:

  ‘Telah bersabda Rasulullah SAW, sesungguhnya Allah itu Maha Baik, bersih mencintai kebersihan, mulia menyenangi kemuliaan, dermawan menyenangi kedermawanan. Bersihkanlah pekarangan kalian, jangan menyerupai orang- orang yahudi.’ (HR. Tarmidzi dalam Hawwa, 2002) ‘Tidak ada yang dapat menjaga wudhunya, kecuali orang yang beriman’

  (HR. Ahmad dan Ibnu Majah dalam Hawwa, 2002)

  Dari Rasulullah SAW, bahwasanya beliau bersabda, ‘Sungguh kalian akan mendatangi saudara-saudaramu, maka perbaikilah kendaraanmu, dan rapikanlah pakaianmu, sehingga kamu nampak menarik dan pantas dimata orang. Sesungguhnya Allah tidak menyukai kedegilan.’ (HR. Abu

  Daud dalam Hawwa, 2002) b) Adab merendahkan suara, menjaga rahasia, dan tidak membuat kegaduhan

  Suatu keluarga terdiri dari beberapa individu maka ditekankan untuk memperhatikan hak-hak orang tersebut, yaitu tidak saling mengganggu. Dalam rumah yang islami, penghuninya tidak akan melanggar hal-hal yang menyakitkan, menyinggung perasaan, atau sesuatu yang mengacaukan suasana dan membuat gaduh.

  Rasulullah pernah bersabda untuk tidak saling mengeraskan suara dalam membaca Al- Qur’an (HR. Imam Malik dan Abu Daud dalam Hawwa, 2002).

  Tentu bukan hanya mengenai membaca Al- Qur’an namun juga dalam berbicara sehari-hari. Imam hasan Al-Bana juga pernah mengingatkan untuk tidak mengeraskan suara melebihi kebutuhan si pendengar, karena hal tersebut merupakan perbuatan yang bodoh dan mengganggu orang lain. Untuk wanita, sangat penting untuk mengendalikan suara, sebagian ulama berpendapat bahwa suara wanita adalah aurat, apabila berbicara diluar kepentingan dan kebutuhan, atau berbicara dengan gaya yang menarik perhatian laki-laki (QS. Al-Ahzab [33]: 32)

  c) Tata cara mengatur hal-hal yang berkaitan dengan ilmu dan ibadah

  Tidak ada yang lebih penting dalam kehidupan keluarga muslim selain memperhatikan dua permasalahan ini: ilmu dan ibadah. Setiap anggota keluarga harus saling membantu dalam merealisasikan dua tuntutan ini. Allah juga memerintahkan orang-orang yang beriman untuk memelihara diri dan keluarga dari Api neraka (QS. At-Thariim [66]: 6). Untuk itu dalam surah Al-Ahzab ayat 34, Allah SWT. menyiratkan untuk disetiap rumah harus ada yang mengingatkan untuk terus mengingat Allah dan menuntut ilmu. Oleh karena itu perlu untuk mengatur kegiatan belajar dan mengajar di dalam rumah selain mengatur waktu untuk pelaksanaan ibadah, khusunya sholat, tilawah Al- Qur’an, dan puasa.

  d) Bersikap sederhana dalam makan, minum, berpakaian, dan gaya hidup

  Rumah yang luas adalah idaman setiap manusia. Nabi Muhammad pun menganjurkan manusia untuk mendesain rumah yang luas. Rumah yang luas merupakan sebuah hadiah yang menyenangkan yang dianugrahkan Allah SWT kepada manusia di dunia. Akan tetapi, rumah yang luas sebaiknya bukanlah rumah yang terlampau mewah dan mahal. Yang dimaksud dengan bermegah- megahan adalah sifat melampaui batas yang dibuat-buat dan berbangga dengannya baik yang terkait ukuran luas, tinggi, maupun keindahan. Akan tetapi, bila memang demi memenuhi kebutuhan, maka tidak termasuk katagori bermegah-megahan. Kesederhanaan adalah budaya yang telah diterapkan oleh Rasulullah S.A.W sebagaimana adanya larangan untuk bermegah-megahan (QS.

  Al- Isra’ [17]: 27, QS. At-Takaatsur [102]: 1, Surah al-Qasas [28]: 76). Oleh karena itu kesederhanaan dalam sebuah rumah dan gaya hidup menjadi tuntutan.

  Salah satu contohnya seperti untuk tidak meenggunaan perkakas dari perak dan emas sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

  'Barangsiapa makan atau minuman dari peralatan emas atau perak berarti mengisi perutnya dengan api neraka'. (H.R. Muslim dalam

  Hawwa, 2002) e) Adab menjaga kesehatan

  Islam sangat memperhatikan masalah kesehatan. Oleh karena itu memperhatikan hal tersebut menjadi bagian dari pembinaan rumah yang islami.

  Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Hawwa (2002) dijelaskan:

  ‘Ada dua kenikmatan yang dilupakan oleh kebanyakan orang, yaitu kesehatan dan waktu luang.’

  f) Berbuat baik kepada tetangga dan menghormati tamu Rumah seorang muslim adalah rumah yang akan menghormati tamunya.

  Seorang muslim harus senantiasa menyiapkan dirinya, rumahnya, dan keluarganya untuk menerima tamu dan menghormatinya. Dan para tamu harus memahami kemampuan orang yang dikunjunginya. Diantara adab bertamu adalah tidak boleh memberatkan orang yang dikunjungi. Untuk memasuki rumah, tamu harus meminta izin terlebih dahulu kepada pemilik rumah (Q.S. Al-Nur [24]: 28).

  Banyak sekali hadits ayat menerangkan untuk memuliakan tamu, salah satunya hadits yang dirirwayatkan oleh Bukhari dalam Hawwa (2002) yang berbunyi:

  ‘Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah memuliakan tamunya

  Oleh karena itu sebaiknya dalam rumah yang islami disediakan adanya kamar tamu. Kamar tamu diusahakan sebisa mungkin harus terpisah dari kamar- kamar lain agar tamu tidak melihat aurat penghuni rumah. Bila memungkinkan, ruang tamu memiliki kamar mandi tersendiri.

  ‘Telah berkata sebuah laki-laki, ya Rasulullah sesungghunya si fulanah itu sering melaksanakan sholat, shaum dan shadaqah, hanya dia suka

  menyakiti tetanggaa dengan ucapannya’. Rasulullah SAW berkata ‘Dia termasu k ahli neraka’. Kemudian orang tersebut berkata lagi, ‘Ya Rasulullah, bahwasanya si fulanah itu shaumnya, shadaqahnya, dan shalatnya sangat sedikit sekali, kalaupun bershadaqah hanya dengan sepotong aqat (susu yang dimasamkan dan dipadatkan) akan tetapi dia tidak pernah menyakiti tetangganya dengan lisannya’. Rasulullah berkata, ‘Dia termasuk ahli syurga’ (HR. Ahmad dalam Hawwa, 2002)

  Sedangkan tetangga rumah harus merasakan damai, tidak menyakiti, dan mendapatkan hak-hak yang seharusnya. Selain itu juga dilarang untuk mengintip atau melihat ke dalam rumah tetangga sebagaimana sabda Rasulullah SAW. yang dikutip dari jurnal Begam yang berjudul Islam And Architecture: Architectural yang berbunyi:

  interpretation from the values of the al Quran and sunnah ‘Jika seorang pria menggeser tirai sehingga terlihat sesuatu yang ia ingin lihat di dalam rumah seseorang tanpa izin, ia telah melewati batas yang diperbolehkan

  .’ ( HR. Ahmad dan Tirmidzi)