BAB II LANDASAN TEORI A. Resiliensi Akademik 1. Resiliensi - Resiliensi Akademik pada Proses Pembelajaran Mahasiswa Tuna Netra

LANDASAN TEORI

A. Resiliensi Akademik

1. Resiliensi

  Shatte dan Revich (2002) menyebutkan bahwa resiliensi adalah kemampuan untuk berespon secara sehat dan produktif ketika menghadapi rintangan atau trauma. Menurut Papalia, Olds dan Feldman (2003) resiliensi adalah sikap ulet dan tahan banting yang dimiliki seseorang ketika dihadapkan dengan keadaan yang sulit.

  Menurut Grotberg (1999) resiliensi adalah kemampuan manusia untuk menghadapi, mengatasi, menjadi kuat ketika menghadapi rintangan dan hambatan. Resiliensi bukan merupakan suatu keajaiban, tidak hanya ditemukan pada sebagian manusia dan bukan merupakan sesuatu yang berasal dari sumber yang tidak jelas. Setiap manusia memiliki kemampuan untuk menjadi resilience (resilien) dan setiap orang mampu untuk belajar bagaimana menghadapi rintangan dan hambatan dalam hidupnya.

  Berdasarkan beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa resiliensi adalah kemampuan manusia untuk menghadapi dan mengatasi rintangan dan kesulitan dalam hidup sehingga individu tersebut menjadi lebih kuat.

  a. Definisi

  Secara umum, resiliensi dapat dimanfaatkan oleh setiap individu dalam melawan berbagai problematika hidup. Namun jika berbicara dalam ruang lingkup akademis, resiliensi dapat lebih dispesifikkan menjadi resiliensi akademik.

  Resiliensi akademik berfokus pada peserta didik dan pendidik, dimana banyak ditemukan di institusi pendidikan seperti sekolah dan Perguruan Tinggi.

  Resiliensi ini merupakan sebuah karakteristik yang memiliki perbedaan- perbedaan pada setiap orang dan dapat semakin meningkat ataupun menurun seiring berjalannya waktu (Henderson, 2003).

  Menurut Rirkin dan Hoopman (dalam Henderson, 2003), berkaitan dengan pengembangan resiliensi dalam lingkungan belajar, resiliensi akademik didefinisikan sebagai kapasitas seseorang untuk bangkit, pulih, dan berhasil beradaptasi dalam kesulitan, dan mengembangkan kompetensi sosial, akademik dan keterampilan, terlepas dari tingkat stress yang dihadapinya.

  b. Model Resiliensi Richardson, Neiger, Jensen & Kumpfer (dalam Henderson, 2003)

  membentuk sebuah model resiliensi yang menunjukkan bahwa ketika seorang individu mengalami kesulitan, pada umumnya individu tersebut akan memiliki karaktersitik internal dan eksternal berupa faktor-faktor protektif, yang akan dapat mengurangi faktor resiko (kesulitan- kesulitan) yang dihadapi. Dengan “proteksi” yang cukup, individu tersebut akan mampu beradaptasi terhadap kesulitan itu tanpa harus mengalami gangguan (disruption) dalam hidupnya. Individu tersebut lebih meningkat pada level resiliensi yang lebih tinggi karena adanya pembentukan kekuatan emosional dan mekanisme coping yang sehat selama proses mengatasi faktor-faktor resiko tersebut. Di lain pihak, tanpa adanya proteksi yang cukup, seorang individu dapat langsung terjerumus dalam gangguan psikologis, dan kemudian seiring waktu keluar dari gangguan tersebut. Namun perlu dicatat, ketersediaan faktor-faktor protektif individulah yang akan mengarahkan individu tersebut pada tipe reintegrasi yang mereka alami. Reintergrasi ini dapat disebabkan oleh berbagai hal seperti penyalahgunaan alkohol, narkoba, percobaan bunuh diri, ataupun karakteristik-karakteristik negatif lainnya, dan pada akhirnya dapat berujung pada reintegrasi yang buruk atau baik.

  Model resilliensi pada gambar 1 menunjukkan bahwa adversitas tidak secara otomatis mengarahkan individu pada disfungsi, namun juga dapat menuju sejumlah outcome lainnya, dan bahkan seiring waktu dapat meningkatkan kemampuan resiliensi seseorang, seiring berjalannya waktu. Richardson (dalam Henderson, 2003) mengatakan bahwa resiliensi ini dapat diterapkan dalam setiap orang, dan bahwa ini merupakan sebuah proses dalam hidup.

  Lingkungan juga sangat penting terhadap resiliensi individu dalam dua hal. Pertama, faktor-faktor protektif internal yang membantu individu menjadi resilien dihadapan stressor dan tantangan, sering kala merupakan dampak dari kondisi lingkungan yang mengembangkan karakteristik ini. Kedua, selain stressor dan tantangan yang dihadapi individu, lingkungan juga berkontribusi dalam reaksi individu dari maladaptasi atau disfungsi ke homeostatis atau resiliensi.

  Stressors Adversity Risks

  Reintegration with Resiliency Individual and Environmental

  Protective Factors Reintegration to Comfort Zone

  (Homeostatis) Reintegration Reintegration

  Disruption with Loss (Maladaptation)

  Dysfunctional Reintegration Bagan 1 Model resiliensi (Sumber: Adaptasi dari Richardson dkk dalam Henderson & Milstein, 2003)

c. Karakteristik Individu yang Resilien

  Anak yang resilien dan orang dewasa yang resilien pada umumnya tampaknya sama. Bernard (1991) menyatakan karakter anak yang resilien adalah memiliki kompetensi sosial, memiliki life skills seperti mampu memecahkan masalah, mampu berpikir kritis, dan mampu untuk mengambil inisiatif. Lebih melihat masa depan yang cerah pada dirinya. Mereka memiliki ketertarikan khusus, tujuan hidup, dan motivasi untuk meraih yang terbaik dalam sekolah.

  Higgins (dalam Henderson 2003) memberi karakter yang hampir serupa pada orang dewasa yang resilien, dengan menekankan pada hubungan positif mereka, kemampuan baik dalam memecahkan masalah, dan motivasi untuk peningkatan diri. Motivasi pendidikan juga sangat jelas terlihat pada orang dewasa, yang dibuktikan dengan pencapaian pendidikannya. Orang dewasa sering dengan sengaja melibatkan diri dalam perubahan dan aktivitas sosial dan secara umum memiliki keyakinan serta kehidupan spiritual dan keagamaan. Kebanyakan dari orang dewasa yang resilien mampu menunjukkan kemampuan mereka dalam mengambil hikmah dan kebaikan dari segala stres, trauma dan tragedi yang pernah dialami. Walau demikian, Higgins juga menggarisbawahi bahwa banyak orang dewasa yang merasa dirinya resilien mengatakan bahwa ketika mereka masih anak-anak, kurang menyadari adanya resiliensi dalam diri mereka ataupun orang lain, pada masa kanak-kanaknya (Henderson, 2003).

d. Faktor-faktor Protektif Internal dan Eksternal

  Berdasarkan yang dikemukakan oleh Richardson (dalam Henderson, 2003), Faktor Protektif Internal adalah karakteristik individu yang membentuk resiliensi: 1.

  Bersedia melayani orang lain 2. Menggunakan life skills, termasuk pengambilan keputusan yang baik, assertivitas, impulse control dan pemecahan masalah

  Sosialibilitas; kemampuan untuk menjadi teman; kemampuan untuk membetuk hubungan yang postitf

  4. Memiliki selera humor 5.

   Internal locus of control 6.

  Otonomi; kemandirian 7. Memiliki sudut pandang positif tentang masa depan 8. Fleksibilitas 9. Memiliki kapasitas untuk belajar 10.

  Motivasi diri 11. Memiliki keahlian; kompetensi personal 12. Memiliki perasaan self-worth dan kepercayaan diri

  Faktor Protektif Eksternal adalah karakteristik keluarga, sekolah, komunitas dan kelompok teman sebaya yang mengembangkan resiliensi:

  1. Memiliki ikatan yang kuat 2.

  Menjunjung tinggi pendidikan 3. Menggunakan gaya interaksi yang penuh kehangatan dan tidak menghakimi

  4. Membuat batasan-batasan yang jelas (peraturan, norma dan hukum) 5.

  Mendorong hubungan yang supportif dengan orang lain 6. Melestarikan tanggung jawab, saling melayani, “required

  helpfullness” 7.

  Menyediakan akses akan kebutuhan dasar rumah tangga, pekerjaan, kesehatan dan rekreasi

  Menunjukkan harapan kesuksesan yang tinggi dan realistis 9. Mendorong pembuatan tujuan dan mastery 10.

  Mendorong perkembangan prososial akan nilai-nilai (misalnya altruisme) dan life skills (misalnya kerja sama)

  11. Menyediakan kepemimpinan, pengambilan keputusan, dan kesempatan-kesempatan lain untuk partisipasi yang berarti.

  12. Menghargai talenta unik dari masing-masing individu

e. Tahapan Mengembangkan Resiliensi

   Teori resiliensi dan faktor resiko menekankan bahwa sekolah merupakan

  lingkungan yang penting dalam mengembangkan kemampuan individu untuk bangkit dari kesulitan, beradaptasi terhadap tekanan dan masalah-masalah yang dihadapi, dan juga mengembanagkan kompetensi-kompetensi sosial, akademik dan keterampilan, yang sangat diperlukan dalam hidup. Penelitian para ahli telah menunjukkan bahwa sekolah, keluarga dan juga komunitas dapat menyediakan faktor-faktor protektif lingkungan dan kondisi-kondisi yang mengembangkan faktor protektif individual. Hal ini membentuk sebuah strategi berupa 6 tahapan dalam mengembangkan resiliensi di sekolah (dapat dilihat pada gambar 2).

  1. Meningkatkan bonding. Hal ini melibatkan peningkatan hubungan diantara individu dengan orang atau kegiatan yang bersifat prosocial dan juga didasarkan pada bukti bahwa siswa dengan ikatan positif yang kuat lebih kecil kemungkinannya melakukan perilaku beresiko daripada siswa yang tidak memiliki ikatan. Sekolah juga berfokus dengan menyesuaikan gaya belajar yang disukai siswa.

  2. Menetapkan batasan-batasan yang jelas dan konsisten. Ini melibatkan pengembangan dan implementasi yang konsisten dari peraturan sekolah dan prosedur-prosedur serta menegaskan pentingnya ekspektasi perilaku. Ekspektasi ini termasuk menjelaskan tentang perilaku beresiko bagi siswa dan harus dikomunikasikan secara jelas beserta dengan konsekuensinya.

  3. Mengajarkan life skills. Ini termasuk kerjasama, resolusi konflik yang sehat, ketahanan dan kemampuan asertivitas, kemampuan komunikasi, kemampuan memecahkan masalah dan pengambilan keputusan, serta manajemen stress yang sehat. Jika kemampuan- kemampuan ini diajarkan dengan benar kepada siswa, akan dapat menolong siswa untuk jauh dari permasalahan remaja khususnya rokok, alkohol dan obat-obatan terlarang. Kemampuan-kemampuan ini juga dapat menciptakan lingkungan yang kondusif bagi proses pembelajaran siswa di sekolah.

  4. Menyediakan kepedulian dan dukungan. Hal ini termasuk memberikan penghargaan dan dorongan yang positif dan ikhlas.

  Pada gambar 2, bagian ini diarsir, untuk menunjukkan bahwa elemen ini merupakan yang terpenting dalam membangun resiliensi.

  Bahkan, hampir mustahil untuk mampu “mengatasi” kesulitan tanpa adanya kepedulian. Kepedulian ini tidak harus berasal dari keluarga. menunjukkannya, begitu pula dengan elemen-elemen lain dari mengembangkan resiliensi. Teman sebaya dan hewan peliharaan juga dapat berperan sebagai pembangun resiliensi bagi orang dewasa dan anak-anak.

  5. Menetapkan ekspektasi yang tinggi. Ekspektasi individu harus tinggi dan realistis agar dapat menjadi motivator yang efektif. Walaupun demikian, banyak anak-anak di sekolah, terutama mereka yang diberikan banyak label di sekolah, mengalami ekspektasi yang rendah dan juga memiliki ekspektasi yang rendah untuk dirinya. Pihak sekolah juga mengatakan bahwa hal ini juga berlaku bagi orang dewasa di sekolah, yang memiliki kemampuan dan potensial yang kurang dianggap.

  6. Menyediakan peluang untuk keterlibatan yang berguna. Strategi ini berarti memberikan banyak tanggung jawab kepada siswa, keluarga mereka, dan staff untuk hal-hal yang terjadi di sekolah, memberikan peluang bagi mereka untuk memecahkan masalah, mengambil keputusan, merencanakan, menetapkan tujuan dan membantu sesama.

   Believe voice is heard in  Connects with at least one of the many caring classroom/ school decision. adults in school.

   Participates in helping others  Is involved with some of the many before-,

through cooperative learning, after-, and in school activities.

   Is engaged in cooperative peer-to-peer other avenues. interactions through teaching strategies and/or school programs.  Exhibits a sense of self-efficacy in taking on new challenges

   Is positively connected to learning Provide Increase Opportunities Prosocial for Bonding Meaningful Participation  Believes that any positive goal/ Set and  Understands and aspiration can be Communicate abides by policies accomplished. Set Clear, High and rules

   Shows confidence in Consistent expectations

   Paticipates in self and others. Boundaries changing policies

   Encourages self and and rules. others to do “the best Provide possible.”

  Teach Caring “Life Skills” &

  Support

 Feels that school is a caring place  Recieves ongoing instruction in

life skills appropriate to  Has a sense of belonging developmental level.  Experiences school as a community

   Has integrated the skills so assertiveness, refusal skills,  Sees many ways to be recognized healthy conflict resolution, good and rewarded. decision making and problem solving, and healthy stress management are practced most of the time.

  Bagan 2 Profil Siswa dengan karakteristik Resiliensi (Sumber: Adaptasi dari Richardson dkk dalam Henderson & Milstein, 2003)

1. Definisi dan Klasifikasi Tuna Netra

  Tuna netra atau seseorang dengan keterbatasan penglihatan (visual

  impairment) adalah seseorang yang hanya memiliki ketajaman penglihatan 20/200

  atau lebih kecil pada mata yang telah dikoreksi (misalnya dengan kacamata), atau ketajaman penglihatannya lebih baik dari 20/200, namun jangkauan pandangnya menyempit sedemikian rupa sehingga membentuk sudut pandang tidak lebih besar dari 20 derajat. Ketajaman visual 20/200 memiliki arti dimana seseorang tersebut dapat melihat sejauh 20 kaki sedangkan orang berpenglihatan normal dapat melihat sejauh 200 kaki. (Hallahan & Kauffman, 1991)

  Somantri (2006) mengungkapkan bahwa pengertian tuna netra adalah individu yang kedua indera penglihatannya tidak berfungsi sebagaimana halnya individu berpenglihatan normal memilikinya sebagai penerima informasi. Individu dengan gangguan penglihatan ini dapat diketahui dalam kondisi berikut: a.

  Ketajaman penglihatannya kurang dari ketajaman yang dimiliki orang berpenglihatan normal b.

  Terjadi kekeruhan pada lensa mata atau terdapat cairan tertentu c. Posisi mata sulit dikendalikan oleh saraf otak d.

  Terjadi kerusakan susunan syaraf otak yang berhubungan dengan penglihatan macam, yaitu:

  a. Blind (Buta) Seseorang dikatakan buta jika ia sama sekali tidak mampu menerima rangsang cahaya dari luar (visusnya = 0)

b. Low vision (Penglihatan rendah)

  Seseorang dikatakan memilki low vision ketika masih mampu menerima rangsang cahaya dari luar, tetapi ketajamannya lebih kecil dari 20/200.

  Misalnya saja, ia hanya mampu membaca headline pada surat kabar. Dengan demikian, pengertian tuna netra adalah individu yang indera penglihatannya baik sebagian atau tidak berfungsi secara menyeluruh, sebagai saluran penerima informasi dalam kegiatan sehari-hari layaknya orang berpenglihatan normal atau dengan kata lain orang yang memiliki ketajaman penglihatan kurang dari 20/200 dan setelah diberikan pertolongan khusus masih memerlukan layanan khusus.

2. Ciri-ciri dan Karakteristik Tuna Netra Individu yang memiliki gangguan penglihatan tentu memiliki ciri-ciri.

  Irham Hosni (dalam Ishartiwi, 1998) menyebutkan ciri-ciri untuk mengenali tuna netra yaitu: a.

  Seseorang yang hanya mengenal bentuk dan objek (sedikit sisa penglihatan) b.

  Hanya dapat menghitung jari dari berbagai jarak Tidak dapat melihat tangan yang digerakkan d.

  Seseorang yang hanya dapat menunjuk sumber cahaya e. Seseorang yang tidak memiliki persepsi cahaya (buta total)

  Somantri (2006) mengemukakan karakteristik tuna netra yang sangat bervariasi dalam empat aspek, yang ditinjau sejak kapan individu mengalami ketunanetraan, bagaimana tingkat ketajaman penglihatannya, berapa usianya dan bagaimana tingkat pendidikannya.

  a.

  Aspek kognitif Indera penglihatan merupakan indera yang sangat penting dalam menerima informasi yang datang dari luar. Melalui indera penglihatan, seseorang mampu melakukan pengamatan pada dunia sekitarnya sehingga menimbulkan kesan atau persepsi pada rangsang tersebut. Melalui berbagai pengamatan, individu akan semakin kaya pengetahuannya, tidak terbatas pada penjelasan verbal melainkan penghayatan lebih dengan mengamati berbagai aspek dari objek secara langsung.

  Pada tuna netra, pengenalan dan pengertian terhadap dunia luarnya tidak dapat diperoleh secara utuh. Akibatnya, perkembangan kognitif tuna netra cenderung terhambat terutama berkaitan dengan konsep yang abstrak karena tidak dibantu dengan pengamatan visual. Individu tuna netra cenderung mengandalkan indera pendengaran sebagai sumber penerima informasi, oleh karena itu pengertian yang diperoleh pun terbatas pada pengertian verbal. Contohnya misalnya konsep seperti warna, arah dan jarak

  (Somantri, 2006).

  Pada individu tuna netra, umumnya mereka berpegang teguh pada pendapatnya karena secara visual mereka tidak mampu menggunakan teknik akomodasi dan asimilasi dalam mengubah struktur kognitifnya yang sudah terbentuk sebelumnya. Selain itu, tanpa kemampuan pengamatan yang baik, individu dapat mengalami kesulitan dalam melakukan pengklasifikasian objek terutama jika mengacu pada bentuk, warna, ruang dan lainnya.

  Lowenfeld (dalam Somantri, 2006) mengemukakan banyak hal tentang bagaimana pengaruh ketunanetraan terhadap proses-proses kognitif seperti persepsi ruang, synthesia, ketajaman sensori, daya ingat, kreativitas, inteligensi, prestasi akademik, kemampuan bicara dan kemampuan membaca.

  Taraf kecerdasan tuna netra pada dasarnya tidak berbeda dengan individu berpenglihatan normal, yaitu bagaimana individ tuna netra mengolah dan menganalisa informasi dari lingkungan. Yang berbeda adalah hambatannya dalam menerima informasi, persepsi dan konsepnya.

  b.

  Aspek Motorik Perkembangan motorik tuna netra cenderung lambat dibandingkan dengan individu berpenglihatan normal pada umumnya. Keterlambatan ini terjadi karena dalam perkembangan perilaku motorik diperlukan adanya koordinasi fungsional antara neuromascular system, fungsi psiks (kognitif, afektif, dan konatif) serta kesempatan yang diberikan oleh lingkungan. biasanya membuat individu tuna netra memiliki hambatan dalam penyesuaian terhadap lingkungan yang baru dan menghindari untuk melakukan eksplorasi atau mobilitas ke tempat-tempat yang masih asing. Selain itu, biasanya mereka mengalami hambatan dalam motorik kasar seperti melompat maupun motorik halus seperti menggengan benda, terutama dalam ukuran kecil.

  c.

  Aspek Emosi Kematangan emosi ditunjukkan dengan adanya keseimbangan dalam mengendalikan emosi baik yang menyenangkan maupun tidak. Terdapat beberapa variabel yang berperan dalam perkembangan emosi yaitu oragnisme yang mencakup perubahan-perubahana fisiologis ketika seseorang mengalami emosi, stimulus atau rangsangan yang menimbulkan emosi dan respon terhadap rangsangan emosi yang datang dari lingkungan.

  Pengaruh belajar dari lingkungan memiliki peranan yang besar dalam perkembangan emosi ini karena melalui proses pengamatan dan imitasi seorang individu belajar bagaimana emosi dan pengekspresian.

  Pada individu tuna netra, yang memiliki keterbatasan dalam pengamatan, cenderung mengalami hambatan dalam mengeksprsikan emosi secara tepat karena mereka tidak dapat melakukan pengamatan secara optimal terhadap rangsang emosi dan pengekspresian di lingkungan sehingga proses belajar melalui imitasi jadi terhambat. Karena hal tersebut, sering sekali ekspresi seorang tuna netra dinyatakan secara verbal. Hal ini akan semakin berkembang seiring dengan perkembangan kognitif dan mengajarkan bagaimana mengekspresikan emosi secara non-verbal, baik mimik muka maupun gerak tubuh.

  d. Aspek Sosial Perkembangan sosial berarti individu memiliki seprangkat kemampuan untuk bertingkah laku sosial sesuai dengan tuntutan masyarakat. Pada individu tuna netra, perkembangan sosialnya sangat tergantung pada perlakuan dan penerimaan lingkungan terutama lingkungan keluarga. Jika keluarga memiliki sikap postif terhadap anak tuna netra, maka perasaan harga diri pun akan lebih positif dan ini akan menimbulkan rasa percaya diri untuk menghadapi lingkungan lainnya. Hambatan dalam belajar sosial biasanya berkaitan dengan ketidakmampuan individu untuk memahami perasaan orang lain dan hmabatan dalam melakukan imitasi dan identifikasi perilaku, emosi dan nilai-nilai masyarakat.

  Sukini Pradopo (dalam Somantri, 2006) mengemukakan gambaran sifat tuna netra diantaranya ragu-ragu, rendah diri dan curiga pada orang lain. Sedangkan Sommer menyatakan bahwa tuna netra cendeung memiliki sifat-sifat yang berlebihan, menghindari kontak sosial, mempertahankan diri dan menyalahkan orang lain serta tidak mengakui kecacatannya.

  a.

   Refractive Errors 1.

  Refractive errors, dapat diperbaiki dengan menggunakan kacamata atau kontak lens, tapi jika cukup parah dapat mengakibatkan gangguan visual permanen 2. Myopia, mata lebih besar daripada normal, dari depan ke belakang. Benda yang diteruskan ke retina hilang fokus. Dapat melihat benda dekat dengan jelas, namun kesulitan melihat benda yang jauh.

  3. Hyperopia, kebalikan dari myopia, jelas dalam melihat benda yang jauh namun kesulitan untuk melihat benda yang dekat

  4. Astigmatism, penglihatan yang kabur karena kelainan pada kornea mata permukaan lain dari mata, baik objek yang dekat maupun jauh, akan hilang fokus.

  b.

  Jenis dan penyebab gangguan penglihatan lainnya 1.

  Ocular Motility, ketidakmampuan mata untuk bergerak 2. Binocular Vision, merupakan proses yang rumit, membutuhkan penglihatan yang baik pada kedua mata, otot mata yang normal, dan fungsi yang baik dalam mngkoordinasikan pusat otak.

  3. Strabismus, ketidakmampuan untuk fokus pada objek yang sama menggunakan kedua mata karena adanya deviasi dalam dan luar dari mata.

  Amblyopia, reduksi atau hilangnya penglihatan pada mata yang lemah akibat kurang digunakan maskipun tidak adanya penyakit apapun.

  5. Accomodation, mata tidak dapat mengatur dengan baik untuk melihat benda-benda dengan jarak yang berbeda-beda

  6. Nystagamus, pergerakan bolak-balik dan cepat dari mata dengan arah yang lateral, vertikal ataupun rotasi.

  7. Albinism, kurangnya pigmentasi pada mata, kulit dan rambut.

  8. Phoyophobia, mata yang sangat sensitif terhadap sinar matahari

  9. Catarac, kaburnya lensa mata, sehingga menutupi cahaya yang perlu untuk melihat dengan baik.

  10. Glaucoma, ditandai dengan adanya tekanan tinggi yang tidak normal pada mata.

  11. Diabetic retinopathy, penyebab utama kebutaan untuk orang usia 20-64 tahun.

  12. Retinitis pigmentosa (RP), kelainan retinal yang paling umum.

  Penyakit ini menyebabkan degenerasi bertahap dari retina.

  13. Usher’s Syndrome, penyebab signifikan kebutaan dan tuli pada remaja dan dewasa.

  14. Macular Degeneration, kondisi dimana bagian pusat dari retina (area mascular) memburuk secara bertahap.

  Retinopathy of Prematurity (ROP), dapat terjadi karena menaruh bayi dengan berat badan yang ringan ke dalam inkubator dan memberikan oksigen dalam tingkat yang tinggi.

4. Layanan pendidikan untuk tuna netra

  Berbicara tentang guru dari anak-anak yang memiliki gangguan penglihatan, orang sering terpikir tentang alat-alat khusus seperti Braille, alat perekam, dan sebagainya. Walaupun media dan material ini memiliki peran penting dalam pendidikan anak dengan gangguan penglihatan, namun guru yang efektif harus tahu lebih daripada hanya cara menggunakan peralatan tersebut. Banyak pendidik dan psikolog yang telah menggambarkan halangan-halangan terhadap belajar oleh gangguan penglihatan. (Heward, 1996)

  Sebenarnya tidak ada batasan anak untuk berpartisipasi secara penuh dalam program sekolah. Para pendidik harus memastikan bahwa murid dengan gangguan penglihatan, didalamnya termasuk area noninstruksional, mereka yang belajar dengan teman sebaya nonhandicapped, mereka yang memerlukan instruksi khusus, dan mereka yang diluar kurikulum sekolah yang penting agar bisa berkompetisi dengan teman sebaya mereka ketika berannjak dewasa. Untuk dapat mencapai tujuan ini, membutuhkan pendidik khusus yang menyediakan dukungan, konsultasi dan materi untuk guru biasa yang memiliki murid dengan gangguan penglihatan di kelasnya. (Heward, 1996). isi layanan pendidikan bagi anak tuna netra paling tidak meliputi 3 hal, yaitu: a.

  Mobility training and daily living skill, yaitu latihan untuk berjalan dan orientasi tempat dan ruang dengan berbagai sarana yang diperlukan serta latihan keterampilan kehidupan keseharian yang berkaitan dengan pemahaman uang, belanja, mencuci, memasak, kebersihan diri, dan membersihkan ruangan b. Traditional curriculum content area, yaitu orientasi dan mobilitas, keterampilan berbahasa termasuk ekspresinya, keterampilan berhitung. dan c. Communication media, yaitu penguasaan Braille dalam komunikasi. Annastasia Widjajanti dan Imanuel Hitipeuw, (dalam Purwanto, 2007) menyatakan bahwa layanan khusus bagi anak tuna netra meliputi: a.

  Penguasaan Braille.

  Penguasaan Braille yang dimaksud adalah kemampuan untuk menulis dan membaca Braille. Keterampilan menulis berkaitan dengan penggunaan alat tulis Braille, yaitu reglet, mesin ketik Braille; penelitian huruf, angka, kombinasi angka dan huruf, dan komputer Braille, sedangkan membaca lebih berkaitan dengan keterampilan membaca dari berbagai media tulisan. Latihan orientasi dan mobilitas Latihan orientasi dan mobilitas adalah jalan dengan pendamping awas, latihan jalan mandiri, latihan jalan dengan menggunakan alat bantu jalan (tongkat dan sign guide). Selain itu juga perlu penguasaan latihan bantu diri di kamar mandi dan kamar mandi, di rung makan, kamar tidur, dapur, ruang tamu, sampai mampu mandiri ke sekolah dan tempat yang lain.

  c.

  Penggunaan alat bantu dalam pembelajaran berhitung dan matematika, meliputi cubaritma, papan taylor frame, abacus (sempoa) dalam operasi penambahan, pengurangan, perkalian, pembagian, dan beberapa komsep matematikan Braille.

  d.

  Pembelajaran pendidikan jasmani bagai anak tuna netra.

  Pembelajaran pendidikan jasmani bagi anak tuna netra menggunakan pendidikan jasmani adaptif. Adaptasi yang dilakukan berkaitan dengan jenis kecacatan anak, kemampuan fisik anak, dan memodifikasi sarana dan prasarana olah raga

C. Belajar dan Pembelajaran

1. Definisi

  Belajar adalah proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya (Slameto, 2003). terjadi pada semua orang dan berlangsung seumur hidup dan adanya perubahan tingkah laku dalam diri orang tersebut yang menyangkut perubahan yang bersifat pengetahuan (kognitif) dan ketrampilan (psikomotorik) maupun yang menyangkut nilai dan sikap (afektif).

  Dalam proses belajar mengajar, akan terjadi interaksi antara peserta didik dan pendidik, yaitu pembelajaran. Pembelajaran adalah suatu proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. (Hargenhahn & Olson, 2008). Peserta didik adalah salah satu komponen manusiawi yang menempati posisi sentral dalam proses belajar mengajar, sedangkan pendidik adalah salah satu komponen manusiawi dalam proses belajar mengajar yang ikut berperan dalam usaha pembentukan sumber daya manusia yang potensial di bidang pembangunan. Mengajar adalah suatu aktivitas mengorganisasi atau mengatur lingkungan sebaik

  • –baiknya dan menghubungkan dengan anak didik, sehingga terjadi proses belajar (Sadiman, 2001).

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi belajar

  Belajar sebagai proses atau aktivitas disyaratkan oleh banyak sekali hal- hal atau faktor-faktor. Menurut Suryabrata (2002), faktor-faktor yang mempengaruhi belajar itu ada banyak, dan dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Faktor-faktor yang berasal dari luar diri pelajar, dam dapat digolongkan kembali menjadi dua golongan

  • – dengan catatan bahwa overlapping tetap ada, yaitu: 1.

  Faktor-faktor non sosial dalam belajar Kelompok faktor-fakor ini boleh dikatakan juga tak terbilang jumlahnya, seperti keadaan udara, suhu udara, cuaca, waktu (pagi, siang atau malam), tempat (letak), alat-alat yang dipakai untuk belajar (alat tulis, buku, alat peraga, dan sebagainya).

  Semua faktor-faktor yang telah disebutkan tersebut dan juga faktor-faktor lain yang belum disebut, harus diatur sedemikian rupa sehingga dapat membantu proses belajar secara maksimal. Letak sekolah atau tempat belajar misalnya harus memenuhi syarat-syarat seperti di tempat yang tidak terlalu dekat dengan kebisingan atau jalan ramai, dan harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan dalam ilmu kesehatan sekolah. Demikian pula dengan alat-alat pelajaran yang digunakan, harus diusahakan memenuhi syarat-syarat menurut pertimbangan didaktis, psikologis maupun paedagogis.

2. Faktor-faktor sosial dalam belajar

  Yang dimaksud dengan faktor-faktor sosial disini adalah faktor manusia (sesama manusia), baik manusia itu ada (hadir) maupun kehadirannya itu dapat disimpulkan. Sehingga tidak langsung hadir. Kehadiran orang lain pada waktu seseorang sedang belajar, banyak sekali mengganggu proses belajar tersebut, misalnya, ketika satu kelas sedang cakap di sanping kelas, atau seseorang sedang belajar di kamar. Selain kehadiran langsung, ada juga yang disebut dengan kehadiran tidak langsung, misalnya saja potret dapat merupakan representasi dari seseorang; suara nyanyian yang sedang diputar lewat radio maupun tape

  rcorder juga dapat merupakan representasi kehadiran seseorang. Faktor-

  faktor sosial seperti itu pada umumnya mengganggu konsentrasi dan dapat mempengaruhi proses belajar dan prestasi belajar b.

  Faktor-faktor yang berasal dari dalam diri si pelajar, dan dapat digolongkan kembali menjadi dua golongan, yaitu:

1. Faktor-faktor fisiologis dalam belajar

  Faktor fisiologis ini masih dapat dibedakan lagi menjadi dua macam yaitu:

  1.1. Keadaan jasmani pada umumnya Keadaan jasmani pada umumnya ini dapat dikatakan melatarbelakangi aktivitas belajar; keadaan jasmani yang segar akan lain pengaruhnya dengan keadaan jasmani yang kurang segar; keadaan jasmani yang lelah lain pengaruhnya dengan yang tidak lelah. Dalam hubungan dengan hal ini ada dua hal yang perlu dikemukakan, a.

  Nutrisi harus cukup, karena kekurangan kadar makanan akan mengakibatkan kurangnya kesehatan jasmani, yang pengaruhnya dapat berupa lesu, cepat mengantuk, cepat lelah, dan sebagainya.

  Beberapa penyakit yang kronis sangat mengganggu proses belajar. Penyakit-penyakit seperti pilek, influensa, sakit gig, batuk dan yang sejenisnya sering diabaikan dan dipandang tidak cukup serius untuk mendapatkan perhatian dan pengobatan. Akan tetapi, dalam kenyataannya, penyakit semacam ini dapat mengganggu aktivitas belajar.

  1.2. Keadaan fungsi jasmani tertentu terutama fungsi panca indera Panca indera dapat dimisalkan sebagai pintu gerbang masuknya pengaruh ke dalam individu. Orang mengenal dunia sekitarnya dan belajar dengan mempergunakan panca inderanya. Fungsi panca indera yang baik merupakan syarat utama agar proses belajar berjalan dengan baik. Dalam sistem sekolah dewasa, dari seluruh panca indera yang ada, yang paling memegang peranan dalam belajar adalah mata dan telinga. Karena itu, adalah menjadi kewajiban bagi setiap pendidik untuk menjaga agar panca indera anak didiknya dapat berfungsi dengan baik, baik penjagaan yang bersifat kuratif maupun preventif, seperti pemeriksaan dokter secara periodik, penyediaan alat-alat pelajaran serta perlengkapan yang memenuhi syarat, penempatan murid-murid secara baik di dalam kelas, dan sebagainya, 2. Faktor-faktor psikologis dalam belajar

  Arden N. Frandsen (dalam Suryabrata, 2002) mengatakan bahwa hal yang mendorong seseorang untuk belajar adalah: adanya sifat ingin tahu dan ingin menyelidiki dunia yang lebih luas b. adanya sifat yang kreatif yang ada pada manusia dan keinginan untuk selalu maju c. adanya keinginan untuk mendapatkan simpati dari orang tua, guru dan teman-teman d. adanya keinginan untuk memperbaiki kegagalan yang lalu dengan usaha yang baru, baik dengan kerjasama maupun kompetisi e. adanya keinginan untuk mendapatkan rasa aman bila menguasai pelajaran f. adanya ganjaran atau hukuman

  Maslow mengemukakan motif-motif untuk belajar adalah

  a. adanya kebutuhan fisik

  b. adanya kebutuhan akan rasa aman, bebas dari kekhawatiran

  c. adanya kebutuhan akan kecintaan dan penerimaan dalam hubungan dengan orang lain d. adanya kebutuhan untuk mendapatkan kehormatan dari masyarakat

  e. sesuai dengan sifat untuk mengemukakan atau mengetengahkan diri Apa yang telah dikemukakan hanya sekedar penyebutan sejumlah kebutuhan-kebutuhan saja, yang tentu dapat ditambah lagi. Kebutuhan- kebutuhan tersebut tidak terlepas satu sama lain, melainkan sebagai suatu kesatuan yang mendorong proses belajar individu. Kompleksitas kebutuhan- kebutuhan tersebut bersifat individual, berbeda dari anak yang lain. belajar anak adalah cita-cita. Cita-cita merupakan pusat dari bermacam- macam kebutuhan, dimana kebutuhan-kebutuhan tersebut biasanya disentralisasikan disekitar cita-cita tersebut, sehingga dorongan itu mampu memobilisasikan energi psikis untuk belajar.

D. Sistem Pendidikan Tinggi

  Berdasarkan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Pendidikan tinggi terdiri atas Pendidikan Akademik, yang memiliki fokus dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan Pendidikan Vokasi, yang menitikberatkan pada persiapan lulusan untuk mengaplikasikan keahliannya. Institusi Pendidikan Tinggi yang menawarkan pendidikan akademik dan vokasi dapat dibedakan berdasarkan jenjang dan program studi yang ditawarkan seperti akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut dan universitas.

  1. Akademi dan Politeknik Akademi merupakan perguruan tinggi yang menyelenggarakan program pendidikan vokasi dalam satu cabang atau sebagian cabang ilmu pengetahuan, teknologi atau kesenian tertentu. Sedangkan Politeknik adalah perguruan tinggi yang menyelenggarakan program pendidikan profesional dalam sejumlah bidang pengetahuan khusus. Kedua bentuk pendidikan ini menyediakan pendidikan pada level diploma. Contoh pendidikan tinggi seperti ini adalah Akademi Bahasa dan Politeknik Pertanian.

  2. Sekolah Tinggi vokasi dan akademik dalam lingkup satu disiplin ilmu pengetahuan, teknologi atau kesenian tertentu. Oleh karena itu, sekolah tinggi ini menawarkam pendidikan baik pada level diploma maupun sarjana. Namun, ketika sebuah sekolah tinggi memenuhi persyaratan, mereka dapat menawarkam pendidikan tingkat lanjut setelah level sarjana. Sekolah Tinggi Ilmu Komputer merupakan salah satu contoh dari jenis pendidikan tinggi ini.

  3. Institut dan Universitas Kedua institusi ini merupakan perguruan tinggi yang menyediakan pendidikan tinggi yang mengarah kepada level sarjana. Institut menawarkan pendidikan akademik dan/atau vokasi dalam kelompok disiplin ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau seni tertentu. Disisi lain, Universitas menawarkan pendidikan akademik dan/atau vokasi dalam berbagai kelompok disiplin ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau seni. Institusi pendidikan tinggi ini dapat juga melayani pendidikan pada level profesional. Institut Seni adalah salah satu contohnya.

  4. Jenjang Pendidikan dan Syarat Belajar Institusi pendidikan tinggi menawarkan berbagai jenjang pendidikan baik berupa pendidikan akademis maupun pendidikan vokasi. Perguruan tinggi yang memberikan pendidikan akademis dapat menawarkan jenjang pendidikan Sarjana. Program Profesi, Magister (S2), Program Spesialis (SP) dan Program Doktoral. Sedangkan pendidikan vokasi menawarkan program Diploma I, II, III, dan IV. diwajibkan untuk mengambil 144

  • – 160 Satuan Kredit Semester (SKS) yang diambil selama delapan sampai dua belas semester. Pada jenjang S2 atau Program Pasca Sarjana, seorang mahasiswa harus menyelesaikan 39 sampai 50 SKS selama kurun waktu empat sampai sepuluh semester dan 79 sampai 88 SKS harus diselesaikan dalam jangka waktu delapan sampai empat belas semester bagi program doktoral.

  5. Metode Pembelajaran dan Jadwal Akademik Pendidikan tinggi dapat diterapkan dalam beberapa bentuk: reguler atau tatap muka dan pendidikan jarak jauh. Pendidikan reguler diterapkan dengan menggunakan komunikasi langsung diantara dosen dan mahasiswa, sedangkan pendidikan jarak jauh dilaksanakan dengan menggunakan berbagai jenis media komunikasi seperti surat menyurat, audio/video, televisi dan jaringan komputer.

  Baik pendidikan reguler maupun pendidikan jarak jauh memulai aktivitas akademis atau jadwal akademik pada bulan September setiap tahunnya. Satu tahun akademik terbagi atas minimal dua semester yang terdiri dari setidak- tidaknya 16 minggu. Institusi pendidikan tinggi juga dapat melangsungkan semester pendek diantara dua semester reguler.

  Penerimaan mahasiswa pada perguruan tinggi didasarkan atas beberapa persyaratan dan prosedur serta objek penyeleksian yang tidak diskriminatif.

  Hal tersebut diatur oleh Senat masing-masing institusi pendidikan tinggi. perguruan tinggi.

  Calon mahasiswa D1, D2, D3, D4 dan S1 harus menamatkan pendidikan menengah atas atau yang sederajat dan lulus pada ujian masuk masing-masing perguruan tinggi. Kandidat mahasiswa S2 harus memiliki ijazah Sarjana (S1) atau yang sederajat dan lulus ujian seleksi masuk perguruan tinggi. Untuk S3, mahasiswa harus memiliki ijazah S2 atau yang sederajat dam lulus seleksi masuk.

E. Resiliensi Akademik Terhadap Proses Belajar Pada Mahasiswa Tuna Netra

  Penyandang tuna netra merupakan salah satu bagian dari anak berkebutuhan khusus, dimana dapat disandang sejak lahir maupun pasca lahir. Semua penyandang tuna netra membutuhkan pendidikan dan layanan khusus untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya (Hallahan & Kauffman, 1991).

  Sama halnya dengan para anak normal lainnya, para tuna netra juga memiliki berbagai hambatan dalam kehidupan sehari-harinya, bahkan lebih berat.

  Salah satu bentuk hambatan yang dimaksud termasuk dalam proses belajar. Oleh sebab itu dibutuhkan strategi layanan pembelajaran yang tepat untuk dapat menggali potensi dirinya.

  Dalam proses belajar, kemampuan individu untuk melihat adalah sangat penting. Hal ini sesuai dengan teori persepsi yang menyatakan bahwa persepsi visual yang merupakan topik utama dalam pembahasan persepsi secara umum. Persepsi sendiri adalah proses individu mengatur dan mengintepretasikan kesan- adalah kemampuan manusia untuk menginterpretasikan informasi yang ditangkap oleh mata. Hasil dari persepsi ini disebut sebagai penglihatan (eyesight, sight atau

  vision), dan sangat berperan penting dalam proses belajar (Robbins, 2003).

  Saat seorang individu mengalami kebutaan, ada banyak dampak yang ditimbulkan oleh kebutaan tersebut yang dapat mempengaruhi tumbuh kembang serta perilaku individu tersebut. Beberapa hal diantaranya adalah dalam aspek kognitif, motorik, emosi dan sosial. Ketika aspek-aspek ini terganggu, maka akan merentet pada terganggunya atau menurunnya performa, perilaku ataupun fungsi hal-hal yang lain (Lownfeld, 2005).

  Dalam hal belajar, aspek kognitif sangat berperan penting. Namun pada tuna netra, pengenalan dan pengertian terhadap dunia luarnya tidak dapat diperoleh secara utuh. Akibatnya, perkembangan kognitif anak tuna netra cenderung terhambat terutama berkaitan dengan konsep yang abstrak karena tidak dibantu dengan pengamatan visual, begitu pula dengan perkembangan keterampilan akademis, khususnya dalam bidang membaca dan menulis. Terganggunya kognisi seseorang juga akan mempengaruhi atensinya (Stenberg, 2006).

  Dalam psikologi pendidikan, belajar merupakan proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya (Slameto, 2003). Pembelajaran yang diperoleh di institusi formal juga termasuk dalam bagian belajar. Pembelajaran merupakan suatu proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan terjadi proses belajar yang baik bagi peserta didik (Hergenhahn & Olson, 2008).

  Bagi mahasiswa tuna netra, fasilitas dan sistem pembelajaran yang disediakan oleh Perguruan Tinggi tentu tidak memenuhi kebutuhan mereka dalam proses belajar. Penelitian yang dilakukan oleh Ishartiwi (1991), mengenai pendekatan pembelajaran bagi tuna netra menyatakan perlunya diterapkan prinsip verbal maupun lisan, pengalaman konkrit maupun kontak langsung, dan stimulasi. Langkah dalam intervensi meliputi pemeriksaan, penglihatan, asesmen kesiapan fisik, emosi dan intelektual, serta asessmen kemampuan aktivitas sehari-hari, pelatihan orientasi mobilitas, dan latihan indera non-visual serta latihan pra- membaca dan membaca Braille.

  Jika para mahasiswa tuna netra tidak mendapatkan pendekatan pembelajaran yang tepat, maka besar kemungkinan tuna netra akan menghadapi kesulitan di Perguruan Tinggi, karena tidak tersedianya layanan khusus dan strategi pembelajaran yang sesuai. Perbedaan konsep belajar di sekolah dan perkuliahan akan membutuhkan penyesuaian diri setiap siswa, baik tuna netra maupun yang normal. Walaupun demikian, bagi mahasiswa tuna netra, hal ini dapat menjadi tantangan yang sangat besar, apalagi jika individu tersebut belum pernah merasakan bersekolah di sekolah reguler (Suryaningsih, 2011).

  Kepekaan inderawi sangat dibutuhkan dalam proses belajar. Tidak hanya penglihatan, namun juga pendengaran, perabaan, serta kemampuan untuk berbicara (Depdiknas, 2003). Dalam hal ini, tuna netra memiliki keterbatasan dalam memenuhi seluruh kompetensi dasar tersebut. Banyaknya kesulitan negatif dan memberikan dampak buruk terhadap studi bahkan perilaku mereka. Namun, yang menarik adalah bahwa pada kenyataannya tidak semua mahasiswa tuna netra berujung pada negatifitas dan kemunduran. Kondisi kebutaan yang dimiliki oleh setiap mahasiswa tuna netra tidak sama, sehingga kemampuan untuk bertahan juga akan berbeda- beda. Kualitas ini yang dinamakan “resiliensi”.

  Resiliensi adalah kemampuan seseorang untuk menilai, mengatasi, dan meningkatkan diri ataupun mengubah dirinya dari keterpurukan atau kesengasaraan dalam hidup. Karena setiap orang itu pasti mengalami kesulitan ataupun sebuah masalah dan tidak ada seseorang yang hidup di dunia tanpa suatu masalah ataupun kesulitan (Grotberg, 1998). Revich dan Shatte (1999) juga menyatakan bahwa resiliensi adalah kapasitas untuk merespon secara sehat dan produktif ketika menghadapi kesulitan atau trauma, dimana hal itu penting untuk mengelola tekanan hidup sehari-hari. Dalam ruang lingkup akademik, resiliensi akademik diperlukan, yaitu kemampuan untuk bangkit kembali, beradaptasi dengan sangat baik melawan kesulitan-kesulitan dan mampu mengembangkan kompetensi sosial akademis dan vocationalnya (Rirkin dan Hoopman dalam Henderson, 2003).

  Mahasiswa tuna netra yang ingin tetap bertahan dan terus maju menjadi lebih baik akan memiliki resiliensi yang kuat. Namun tanpa adanya resiliensi tersebut, maka akan sulit bagi mereka untuk bisa bertahan. Pada dasarnya, masing-masing orang memiliki kemampuan resiliensi tersebut (Grotberg, 1995), namun kualitas dan proses resiliensi akademik yang mereka miliki serta dimiliki untuk dapat bertahan, akan berbeda-beda, karena pada dasarnya setiap individu adalah berbeda dan unik (Suryabrata, 2002).

  • Aspek Kognitif Tuna netra di Perguruan Tinggi -Aspek Motorik -Aspek Emosional -Aspek Sosial Hambatan dan

  (Lowendfeld, 2005) Kesulitan dalam Faktor

  Belajar Resiko

  (Richardson, dkk

  DISRUPTION 2003)

  Faktor Protektif Internal dan

  Faktor Resiko > Faktor Protektif Eksternal Resiliensi Akademik Reintegration (Henderson, 2003)

  Faktor Protektif > Faktor Resiko Reintegration to

Reintegration with Reintegration with Dysfunctional

Comfort Zone