Resiliensi Akademik pada Proses Pembelajaran Mahasiswa Tuna Netra
RESILIENSI AKADEMIK PADA PROSES PEMBELAJARAN
MAHASISWA TUNA NETRA
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Ujian Sarjana Psikologi
Oleh :
GRACIAS ANASTASIA GABRIELLA PURBA
081301082
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
GENAP, 2012/2013
(2)
SKRIPSI
RESILIENSI AKADEMIK PADA PROSES PEMBELAJARAN
MAHASISWA TUNA NETRA
Dipersiapkan oleh:
GRACIAS ANASTASIA GABRIELLA PURBA 081301082
Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Pada Tanggal 1 Agustus 2013
Mengesahkan Dekan Fakultas Psikologi
Prof. Dr. Irmawati, M.Si, psikolog NIP. 195301311980032001
Tim Penguji
1. Ika Sari Dewi, S.Psi, psikolog Penguji I ____________ NIP. 197809102005012001 Merangkap Pembimbing
2. Ari Widyanta, M.Si., psikolog Penguji II ____________ NIP. 197410282000121001
3. Tarmidi, M.Psi. psikolog Penguji III ____________ NIP. 198006072005011003
(3)
LEMBAR PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul :
Resiliensi Akademik pada Proses Pembelajaran Mahasiswa Tuna Netra
adalah hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.
Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.
Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Medan, Juli 2013
Gracias Anastasia Gabriella Purba NIM 081301082
(4)
Resiliensi Akademik pada Proses Pembelajaran Mahasiswa Tuna Netra
Gracias Anastasia Gabriella Purba dan Ika Sari Dewi, S.Psi., Psikolog
ABSTRAK
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif yang bertujuan untuk mengetahui gambaran resiliensi akademik pada proses pembelajaran mahasiswa tuna netra. Secara spesifik, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran kehidupan akademik seorang tuna netra yang berkuliah di Perguruan Tinggi umum, dan bagaimana mahasiswa tersebut menyikapi serta mengatasi segala permasalahan dan kendala yang dihadapinya. Henderson (2003) menyatakan bahwa resiliensi akademik seseorang dipengaruhi oleh faktor-faktor protektif internal dan eksternal orang tersebut. Usaha dan solusi atas setiap kesulitan (faktor-faktor resiko) mahasiswa tuna netra tersebut dipengaruhi oleh faktor-faktor protektif yang dimilikinya. Penelitian ini juga ingin melihat apa saja yang menjadi faktor resiko dan faktor protektif mahasiswa tuna netra dan bagiamana outcome akademik mahasiswa tuna netra yang berkuliah di Perguruan Tinggi umum.
Responden dalam penelitian ini berjumlah 3 orang. Prosedur pengambilan responden penelitian dilakukan berdasarkan teori atau berdasarkan konstrak operasional (theory-based / operational construct sampling). Data diperoleh dengan metode wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara. Setelah data diperoleh kemudian dilakukan coding atau dikategorisasikan, kemudian dilakukan intepretasi atau analisa terhadap data dari masing-masing responden penelitian.
Hasil peneltian ini menunjukkan bahwa ketiga responden dalam penelitian ini telah berhasil mengembangkan kemampuan resiliensi akademiknya. Faktor-faktor Protektif Internal dan Eksternal dimiliki oleh masing-masing responden. Ketiga responden penelitian juga menunjukkan bahwa masing-masing memiliki faktor protektif internal yang lebih kuat dibandingkan faktor protektif eksternal. Dukungan teman sebaya merupakan faktor protektif yang paling besar pada setiap responden. Dari ketiga responden penelitian, responden I yang paling banyak mengembangkan kemampuan resiliensinya dan responden II memiliki hasil akademik yang paling memuaskan.
(5)
Academic Resilience in the Learning Process of University Students with Visual Impairments
Gracias Anastasia Gabriella Purba and Ika Sari Dewi, S.Psi., Psikolog
ABSTRACT
This research is a descriptive qualitative study aimed to determine the description of academic resilience in the learning process of University students with visual impairments. Specifically, this study aims to find out about the academic life of students with visual impairment that go to college at an ordinary University, and how they deal with and overcome every problem and hurdle they meet. Henderson (2003) states that one’s academic resilience is influened by their internal and external protective factors. Each student’s effort and sollution of their problems (risk factors) are influenced by their protective factors. This study also aims to see what risk and protective factors that the students with visual impairments posses, and how their academic outcome appear to be.
There are three respondents in this study. The sampling procedure is based on theory-based/operational construct sampling. Data was obtained by interview, while using an interview guide. Afterwards, the data were coded and categorized, and then each of the respondent’s data were analyzed and interpreted.
The result of this research show that all three respondents have managed to improve their academic resilence. Each respondents own the internal and external protective factors. All three respondents also show that they have stronger internal protective factors than their external factors. Peer suport appear to be each respondents strongest protective factor. From all of the three respondents, respondent I has the most recilience factor and responden II has the best academic outcome.
(6)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan ke hadirat Tuhan Yesus Kristus, yang telah melimpahkan berkat dan karunia yang luar biasa kepada saya dan yang telah menjadi pembimbing utama dalam penyelesaian skripsi ini. Penyusunan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana jenjang strata satu (S-1) di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.
Skripsi yang berjudul “Resiliensi Akademik pada proses Pembelajaran
Mahasiswa Tuna Netra” ini dikerjakan dengan usaha keras dan dengan harapan dapat memberikan kontribusi terutama dalam bidang ilmu Psikologi Pendidikan, para mahasiswa tuna netra dan seluruh masyarakat secara umum. Saya sangat menyadari bahwa hadirnya penelitian ini tidak lepas dari bantuan dan bimbingan berbagai pihak. Sebagai ungkapan rasa syukur, dan dengan segala kerendahan hati, saya ingin mengucapkan terima kasih dan memberi penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:
1. Ibu Prof. Dr. Irmawati, psikolog, selaku Dekan Fakultas Psikologi USU,
2. Ibu Ika Sari Dewi, S. PSi., Psikolog selaku dosen pembimbing skripsi saya yang telah meluangkan waktu dan dengan sabar membimbing dan membantu penyelesaian penelitian ini hingga selesai,
3. Ibu Desvi Yanti Mukhtar, M.Si., Psikolog selaku dosen pembimbing seminar saya, yang telah berperan penting dalam pengerjaan awal skripsi ini. Terima kasih atas segala ilmu, bimbingan, kesabaran dan pengertian ibu.
4. Bapak Ferry Novliadi, M.Si selaku dosen pembimbing akademik,
5. Pak Ari Widiyanta, M.Si, psikolog selaku dosen penguji yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk membimbing saya,
(7)
6. Bang Tarmidi, M.Psi, psikolog selaku dosen penguji yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk membimbing saya,
7. Seluruh staff pengajar dan staff pegawai Fakultas Psikologi USU,
8. Kedua orangtua saya, Prof. Drs. Mauly Purba, M.A.,Ph.D dan Dra. Tetty Aritonang. Terima kasih yang tak terhingga untuk mami dan bapak, karena telah menjadi orangtua terbaik, yang selalu mendoakan, mendukung, memotivasi, membantu dan mencurahkan kasih sayang yang tak berkesudahan. Terima kasih karena telah mengesampingkan rasa kekecewaan dan mengubahnya menjadi support yang tak henti. I love you both, more than words can describe.
9. Kedua adik saya tercinta, Giovani Purba dan Frigga Purba, yang terus mendukung, menyemangati dan siap sedia membantu saya,
10. Ompung saya tersayang, Ny. Prof. Aritonang dan Inanguda saya, DR. Evawany Aritonang. Terima kasih atas perhatian Opung dan Inanguda yang luar biasa, yang secara intens mendorong dan membantu semaksimal mungkin agar skripsi ini dapat sesegera mungkin terselesaikan,
11. Keluarga besar Purba dan Aritonang, yang secara langsung maupun tidak langsung turut berperan membantu penyelesaian skripsi ini,
12. Ketiga orang responden saya. Terima kasih telah menjadi teman-teman yang sangat baik dan ramah serta sudah meluangkan waktu berjam-jam dan berbagi cerita dengan saya. Tanpa kalian penelitian ini tidak ada,
13. Sahabat-sahabat kampus yang paling saya sayangi, Elka Putri Tarigan, Puti Nilam Suri, Regina Ophelia Manurun, Vivi Fransiska Panjaitan, Dinda Hasni dan Sabethia Marissthella Sihombing. Terima kasih untuk persahabatan kalian, terima kasih telah menjadi bagian penting dalam hidupku. Thankyou for always having my back. Semoga kita semua menjadi orang-orang yang sukses dan persahabatan
(8)
kita bertahan selamanya. Special Thanks kepada Vivi dan Egi yang dengan tulus hati meluangkan waktu dan tenaga ekstra dalam membantu saya merampungkan skripsi ini. Semoga Tuhan membalas kebaikan kalian berdua.
14. Githa Priscilia Sidauruk dan Anggie Caradina Aruan, kedua sahabat terbaikku yang selalu bisa diandalkan. Terima kasih untuk pressure dan motivasinya Sahabat-sahabat SMA lainnya, Schilman Panggabean, Joel Tarigan, Juan Carson Marbun, Michael Frans Hasibuan, Mikhael Yudha Purba, Julian Simatupang, Kristina Sianipar, Yunita Sinurat, Romy Askaro Bangun, David Simanungkalit, Theodore Manurung, Putra Siregar, Sealtiel Saragih, Aran Simarmata. Thanks for the amazing friendship. You guys are the best!
15. VG Ekklesia, teman-teman gereja yang menambah keceriaan setiap Minggu. Semoga pelayanan kita semakin baik lagi,
16. Teman-teman angkatan 2008 yang kekompakannya tak tertandingi,
17. Semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan namanya satu per satu, yang telah memberikan bantuan dan dukungan dalam bentuk apapun kepada saya selama proses penyelesaian skripsi ini. Terima kasih untuk segalanya.
Saya menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh sebab itu, saya sangat mengharapkan masukan, kritikan dan saran yang membangun untuk dapat digunakan sebagai perbaikan di kemudian hari. Akhir kata, penulis berharap Tuhan berkenan membalas segala kebaikan saudara semua, dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi setiap orang yang membacanya.
Medan, Juli 2013
(9)
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PERNYATAAN ... i
ABSTRAK ... ii
ABSTRACT ... iii
KATA PENGANTAR ... iv
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL ... xi
DAFTAR GAMBAR ... xii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 16
C. Tujuan Penelitian ... 16
D. Manfaat Penelitian ... 16
1. Manfaat Teoritis ... 16
2. Manfaat Praktis ... 16
E. Sistematika Penulisan ... 17
BAB II LANDASAN TEORI ... 19
A.Resiliensi Akademik ... 19
1. Resiliensi ... 19
2. Resiliensi Akademik ... 20
a. Definisi ... 20
b. Model Resiliensi ... 20
c. Karakteristik Individu yang Resilien ... 22
d. Faktor-faktor Protektif Internal dan Eksternal ... 23
e. Tahapan Mengembangkan Resiliensi ... 25
B. Tuna Netra ... 29
1.Definisi dan Klasifikasi Tuna Netra ... 29
2.Ciri-ciri dan Karakteristik Tuna Netra ... 30
3.Jenis dan penyebab gangguan penglihatan(Visual Impairment) ... 35
4. Layanan Pendidikan untuk Tuna Netra ... 37
(10)
1. Definisi ... 39
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi belajar ... 40
D. Sistem Pendidikan Tinggi ... 45
E. Resiliensi Akademik terhadap Proses Pembelajaran Mahasiswa.... Tuna Netra ... 48
F. Paradigma Teoritis ... 53
BAB III METODE PENELITIAN ... 54
A. Pendekatan Kualitatif ... 54
B. Responden Penelitian ... 55
C. Metode Pengumpulan Data ... 57
D. Alat Bantu Pengambilan Data ... 58
1. Pedoman Wawancara ... 59
2. Pedoman Observasi ... 59
3. Alat Perekam (tape recorder)... 60
E. Kredibilitas Penelitian ... 60
F. Prosedur Penelitian ... 63
1. Tahap Persiapan Penelitian ... 63
2. Tahap Pelaksanaan Penelitian ... 63
3. Tahap Pencatatan Data ... 64
BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN ... 65
A. Responden I ... 66
1. Identitas Diri ... 66
2. Jadwal Pelaksanaan Wawancara ... 66
3. Gambaran Umum Responden 1 ... 67
4. Data Observasi Selama Wawancara ... 69
5. Analisa Data Wawancara ... 77
B. Responden II ... 128
1. Identitas Diri ... 128
2. Jadwal Pelaksanaan Wawancara ... 128
3. GambaranUmum Responden II ... 128
4. Data Observasi Selama Wawancara ... 131
5. Analisa Data Wawancara ... 136
C. Responden III ... 184
(11)
2. Jadwal Pelaksanaan Wawancara ... 184
3. Gambaran Umum Responden III ... 184
4. Data Observasi Selama Wawancara ... 187
5. Analisa Data Wawancara ... 192
D. Pembahasan ... 235
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 260
A. Kesimpulan ... 260
B. Hasil Tambahan ... 265
C. Saran ... 266
DAFTAR PUSTAKA ... 269
(12)
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 Deskripsi Umum Responden I ... 66
Tabel 2 Jadwal Wawancara Responden I ... 66
Tabel 3 Deskripsi Umum Responden II ... 128
Tabel 4 Jadwal Wawancara Responden II... 128
Tabel 5 Deskripsi Umum Responden III ... 184
Tabel 6 Jadwal Wawancara Responden III ... 184
(13)
DAFTAR GAMBAR
Halaman Bagan 1 Model Resiliensi ... 22 Bagan 2 Profil Siswa dengan Karakteristik Resiliensi ... 28 Bagan 3 Paradigma Teoritis ... 53 Bagan 4 Gambaran Resiliensi Akademik pada Proses Pembelajaran
Responden I ... 126 Bagan 5 Gambaran Resiliensi Akademik pada Proses Pembelajaran
Responden II ... 182 Bagan 6 Gambaran Resiliensi Akademik pada Proses Pembelajaran
(14)
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran I (Pedoman Wawancara) ... 273
Lampiran II (Lembaran Observasi) ... 276
Lampiran III (Lembar Persetujuan) ... 278
Lampiran IV (Verbatim Wawancara) ... 280
(15)
Resiliensi Akademik pada Proses Pembelajaran Mahasiswa Tuna Netra
Gracias Anastasia Gabriella Purba dan Ika Sari Dewi, S.Psi., Psikolog
ABSTRAK
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif yang bertujuan untuk mengetahui gambaran resiliensi akademik pada proses pembelajaran mahasiswa tuna netra. Secara spesifik, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran kehidupan akademik seorang tuna netra yang berkuliah di Perguruan Tinggi umum, dan bagaimana mahasiswa tersebut menyikapi serta mengatasi segala permasalahan dan kendala yang dihadapinya. Henderson (2003) menyatakan bahwa resiliensi akademik seseorang dipengaruhi oleh faktor-faktor protektif internal dan eksternal orang tersebut. Usaha dan solusi atas setiap kesulitan (faktor-faktor resiko) mahasiswa tuna netra tersebut dipengaruhi oleh faktor-faktor protektif yang dimilikinya. Penelitian ini juga ingin melihat apa saja yang menjadi faktor resiko dan faktor protektif mahasiswa tuna netra dan bagiamana outcome akademik mahasiswa tuna netra yang berkuliah di Perguruan Tinggi umum.
Responden dalam penelitian ini berjumlah 3 orang. Prosedur pengambilan responden penelitian dilakukan berdasarkan teori atau berdasarkan konstrak operasional (theory-based / operational construct sampling). Data diperoleh dengan metode wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara. Setelah data diperoleh kemudian dilakukan coding atau dikategorisasikan, kemudian dilakukan intepretasi atau analisa terhadap data dari masing-masing responden penelitian.
Hasil peneltian ini menunjukkan bahwa ketiga responden dalam penelitian ini telah berhasil mengembangkan kemampuan resiliensi akademiknya. Faktor-faktor Protektif Internal dan Eksternal dimiliki oleh masing-masing responden. Ketiga responden penelitian juga menunjukkan bahwa masing-masing memiliki faktor protektif internal yang lebih kuat dibandingkan faktor protektif eksternal. Dukungan teman sebaya merupakan faktor protektif yang paling besar pada setiap responden. Dari ketiga responden penelitian, responden I yang paling banyak mengembangkan kemampuan resiliensinya dan responden II memiliki hasil akademik yang paling memuaskan.
(16)
Academic Resilience in the Learning Process of University Students with Visual Impairments
Gracias Anastasia Gabriella Purba and Ika Sari Dewi, S.Psi., Psikolog
ABSTRACT
This research is a descriptive qualitative study aimed to determine the description of academic resilience in the learning process of University students with visual impairments. Specifically, this study aims to find out about the academic life of students with visual impairment that go to college at an ordinary University, and how they deal with and overcome every problem and hurdle they meet. Henderson (2003) states that one’s academic resilience is influened by their internal and external protective factors. Each student’s effort and sollution of their problems (risk factors) are influenced by their protective factors. This study also aims to see what risk and protective factors that the students with visual impairments posses, and how their academic outcome appear to be.
There are three respondents in this study. The sampling procedure is based on theory-based/operational construct sampling. Data was obtained by interview, while using an interview guide. Afterwards, the data were coded and categorized, and then each of the respondent’s data were analyzed and interpreted.
The result of this research show that all three respondents have managed to improve their academic resilence. Each respondents own the internal and external protective factors. All three respondents also show that they have stronger internal protective factors than their external factors. Peer suport appear to be each respondents strongest protective factor. From all of the three respondents, respondent I has the most recilience factor and responden II has the best academic outcome.
(17)
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Belajar merupakan suatu proses perubahan di dalam tingkah laku, sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, yang terjadi dalam kepribadian setiap manusia dan ditampakkan dalam bentuk peningkatan kualitas dan kuantitas tingkah laku manusia (Hemalik, 2004). Ditinjau dari sudut pandang psikologi pendidikan, berdasarkan modifikasi definisi dari Gregory A. Kimble, maka belajar merupakan perubahan perilaku atau potensi perilaku yang relatif permanen yang berasal dari pengalaman dan tidak bisa dinisbahkan ke temporary body states (keadaan tubuh temporer) seperti keadaan yang disebabkan oleh sakit, keletihan, dan obat-obatan (Hergenhahn & Olson, 2008).
Secara umum, ada banyak hal yang dapat dijadikan contoh terkait belajar. Secara formal dan akademis, belajar dikenal dengan istilah “pembelajaran”. Pembelajaran merupakan suatu proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran merupakan bantuan yang diberikan pendidik agar dapat terjadi proses belajar yang baik bagi peserta didik (Hergenhahn & Olson, 2008).
Setiap orang di dunia akan mengalami proses belajar maupun pembelajaran, dimana setiap proses yang dilalui juga berbeda, tergantung pada masing-masing individu. Sebuah penelitian yang dilakukan pada siswa Sekolah Dasar dan
(18)
Menengah dari beberapa negara bagian di Amerika Serikat pada tahun 2000, menunjukkan sekitar 9 % dari seluruh siswa tersebut diidentifikasi mengalami hambatan perkembangan belajar. Di Indonesia sendiri, kasus ini jumlahnya lebih banyak, yaitu sekitar 10 – 15 % dari seluruh siswa Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama (Departemen Pendidikan Nasional, Badan Penelitian dan Pengembangan, 2003).
Hambatan belajar yang dihadapi setiap individu juga berbeda, begitu pula dengan kemampuan masing-masing individu dalam mengatasinya. Hambatan belajar yang dihadapi individu normal pada umumnya akan dipengaruhi oleh berbagai faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal, misalnya lingkungan, sistem pendidikan, orang tua, guru atau teman-teman, dan faktor internal, seperti disfungsi sistem saraf pusat. Hambatan tersebut juga dapat terjadi bersamaan dengan hambatan maupun gangguan lainnya, misalnya hambatan penginderaan seperti tuna netra, tunarungu, keterbelakangan mental, hambatan sosial dan emosi – yang dikenal juga dengan istilah anak berkebutuhan khusus (Hidayat, 2009).
Anak berkebutuhan khusus merupakan anak yang membutuhkan pendidikan dan layanan khusus untuk mengoptimalkan potensi kemanusiaannya secara utuh akibat adanya perbedaan kondisi dengan kebanyakan anak lainnya. Perbedaannya meliputi ciri-ciri mental, kemampuan sensorik, fisik dan neuromaskular, perilaku sosial dan emosional, kemampuan berkomunikasi, ataupun kombinasi dua atau lebih dari berbagai hal tersebut. Anak berkebutuhan khusus dapat dikelompokkan menjadi tuna netra (gangguan penglihatan), tuna rungu (gangguan pendengaran), tuna wicara (gangguan bicara), tuna grahita (mental retardasi), tuna daksa
(19)
(gangguan fisik), tuna laras (gangguan emosi dan perilaku) dan tuna ganda (memiliki dua atau lebih gangguan) (Hallahan & Kauffman, 1991).
Semua jenis anak berkebutuhan khusus memiliki ciri-ciri dan pengklasifikasiannya masing-masing. Anak berkebutuhan khusus berbeda dengan anak-anak normal yang tidak memiliki gangguan, baik itu dari segi fisik maupun psikis. Setiap jenis anak berkebutuhan khusus juga memiliki masalah yang berbeda-beda dan dampak yang berbeda pula bagi penyandangnya. Salah satu hal yang cukup membedakan, diluar dari perbedaan dalam hal fisik adalah dalam proses belajarnya. Pada dasarnya, setiap anak berpotensi untuk mengalami gangguan dalam belajar, namun masalah tersebut ada yang ringan dan ada pula yang berat. Beberapa gangguan belajar tidak begitu memerlukan perhatian khusus dari orang lain karena dapat diatasi sendiri oleh anak yang bersangkutan. Di lain pihak ada juga yang masalah belajarnya cukup berat sehingga perlu mendapatkan perhatian dan bantuan orang lain (Suryaningsih, 2011).
Individu berkebutuhan khusus tidak selalu memiliki gangguan atau kesulitan yang sangat tinggi dalam belajar. Pada saat berintegrasi dalam sistem belajar reguler bersama dengan anak sebaya lainnya yang tidak memiliki gangguan fisik maupun psikis, maka ada hal-hal tertentu yang perlu mendapatkan perhatian khusus dari guru, sekolah maupun orang terdekatnya. Oleh sebab itu masing-masing jenis anak berkebutuhan khusus memiliki strategi layanan pembelajaran yang berbeda pula (Suryaningsih, 2011).
Proses belajar di sekolah maupun institusi lainnya menuntut adanya kemampuan individu untuk melihat, mendengar, berbicara, merasa/meraba dan
(20)
mencecap dalam mendukung segala aktifitasnya. Menurut Sistem Pendidikan Tinggi oleh Kementerian Pendidikan dan Budaya, contoh kegiatan mahasiswa antara lain adalah menyelesaikan 144 – 160 SKS, selama delapan sampai dua belas semester, memperhatikan ceramah atau presentasi dosen, bergabung dalam diskusi, mengerjakan tugas lisan atau tulisan, mengikuti ujian semester, mengikuti praktik dan berbagai hal lainnya. Ada beberapa kegiatan yang membutuhkan
softskill mahasiswa dan yang melibatkan penggunaan media seperti proyektor, papan tulis, radio, televisi, ataupun berbagai alat teknologi lainnya. Untuk hasil yang maksimal, kelengkapan panca indera akan sangat penting, Namun dari semua indera yang ada, kemampuan untuk melihat merupakan salah satu yang paling penting.
Teori Persepsi menyatakan bahwa persepsi visual merupakan topik utama dalam pembahasan persepsi secara umum, dan sekaligus merupakan persepsi yang umumnya paling sering dibicarakan dalam konteks sehari-hari. Persepsi adalah proses individu mengatur dan menginterpretasikan kesan-kesan sensorisnya guna memberikan arti bagi lingkungannya. Persepsi visual adalah kemampuan manusia untuk menginterpretasikan informasi yang ditangkap oleh mata. Hasil dari persepsi ini yang disebut sebagai penglihatan (eyesight, sight atau vision).
Perilaku individu sendiri sering didasarkan pada persepsi individu tersebut terhadap kenyataan, bukan pada kenyataan itu sendiri (Robbins, 2003).
Penyandang tuna netra merupakan salah satu anak berkebutuhan khusus yang memiliki masalah dalam penglihatan karena hilangnya fungsi indera visual orang tersebut. Untuk membantu segala kegiatan dan komunikasinya, penyandang
(21)
tuna netra menggunakan indera non-visual lainnya yang masih berfungsi seperti indera pendengaran, perabaan, pembau dan perasa (pencecapan) (Blackhurt & Berdine, 1981; Knededler, 1984).
Jumlah penderita anak berkebutuhan khusus di Indonesia oleh WHO (World Health Centre) pada tahun 2007 diperkirakan berkisar 7%, yang berarti sekitar enam juta dari seluruh penduduk Indonesia menderita cacat, dengan usia 0-18 tahun. Menurut data Sensus Nasional Biro Pusat Statistik tahun 2003 jumlah penyandang cacat di Indonesia sebesar 0,7% dari jumlah penduduk, atau sekitar 1,5 juta jiwa, dan hanya 14.4% saja yang tercatat terdaftar di Sekolah Luar Biasa (SLB). Menurut laporan dari Departemen Kesehatan Indonesia, pada tahun 2000, populasi tunanetra di Indonesia mencapai 1,5% dari jumlah penduduk. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan Nasional pada tahun 2000, tercatat jumlah anak tuna netra usia sekolah yang bersekolah hanya sekitar 0,87%. Hal ini menunjukkan bahwa ada faktor-faktor tertentu yang membuat tunanetra mengalami kesulitan atau tidak mampu untuk mengikuti proses belajar, selayaknya anak-anak pada umumnya.
Lowenfeld (dalam Friend, 2005) menggambarkan dampak kebutaan (totally blind) atau kurang lihat (low vision) terhadap perkembangan kognitif, dengan mengidentifikasi keterbatasan yang mendasar dalam tiga area yaitu berdasarkan tingkat dan keragaman pengalaman, kemampuan untuk berpindah tempat, dan penglihatan dalam interaksi dengan lingkungan. Ketiga area tersebut sangat mempengaruhi perkembangan kognitif individu tuna netra. Disamping itu, pengenalan dan pengertian terhadap dunia luarnya juga tidak dapat diperoleh
(22)
secara utuh. Akibatnya, perkembangan kognitif anak tuna netra cenderung terhambat terutama berkaitan dengan konsep yang abstrak karena tidak dibantu dengan pengamatan visual. Contoh yang paling mudah misalnya dalam memperlajari hal-hal seperti konsep menolong, membantu, bertoleransi, dan berbagai konsep lainnya. Selain mempengaruhi perkembangan kognitif, ketunanetraan juga berpengaruh terhadap perkembangan keterampilan akademis (Djahardja, 2008), atensi, dan mengurangi kemampuan fungsi anggota tubuh lain seperti kaki dan tangan (Sternberg, 2006).
Ditinjau dari segi kecerdasan, sebagian besar tuna netra tidak dipengaruhi oleh ketunaannya, kecuali bagi yang mengalami ketunaan ganda (double handicapped), namun tuna netra mengalami kesulitan dalam pembentukan ataupun penerimaan gagasan yang bersifat abstrak (Blackhurts & Berdine, 1981; Knededler, 1984). Penelitian oleh Ishartiwi (1991) terkait dengan kesulitan penerimaan konsep abstrak tersebut, menunjukkan bahwa pemberian layanan pendidikan bagi tuna netra sangat tergantung dari kondisi berat atau ringannya kelainan yang disandang. Di sisi lain, kondisi saat terjadinya ketunanetraan juga perlu diperhatikan dalam memberikan layanan. Kebutaan yang disandang sejak lahir akan lebih sedikit memperoleh pengalaman tentang konsep dibandingkan dengan kebutaan pada masa anak, remaja dan setelah dewasa. Bagi tuna netra yang mengalami kebutaan pada masa pasca lahir, sudah menyimpan pengalaman dalam memorinya, sehingga sudah memiliki persepsi tentang berbagai konsep.
Dalam kesehariannya, tuna netra banyak mendapatkan rintangan dan kesulitan dalam melakukan sesuatu. Mereka memiliki hambatan dan kelainan
(23)
dalam kondisi fisik dan psikisnya sehingga mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan perilaku dan kehidupannya. Bukan hanya aspek kognitif, namun aspek motorik, emosi dan sosialnya juga sangat dipengaruhi oleh kondisi ini (Somantri, 2006).
Hambatan lainnya dalam belajar sosial biasanya berkaitan dengan ketidakmampuan individu untuk memahami perasaan orang lain dan hambatan dalam melakukan imitasi dan identifikasi perilaku, emosi dan nilai-nilai masyarakat. Tantangan demi tantangan yang dihadapi sedikit banyak mempengaruhi dalam berbagai aspek kehidupan. Ishartiwi (1991) menyatakan bahwa pendekatan pembelajaran yang tepat bagi tuna netra menerapkan prinsip verbal maupun lisan, pengalaman konkrit maupun kontak langsung, dan stimulasi. Langkah dalam intervensi meliputi pemeriksaan penglihatan, assesmen kesiapan fisik, emosi, dan intelektual, dan assesmen kemampuan aktivitas sehari-hari, pelatihan orientasi mobilitas, dan latihan indera non-visual serta latihan pra-membaca dan pra-membaca Braille.
Terlepas dari berat atau ringannya masalah dan hambatan yang dihadapi dalam proses belajar, hal-hal inilah yang dapat menjadi stressor bagi seseorang dalam menjalani proses belajarnya, dan berpotensi menimbulkan stress bagi mereka. Menurut Weiten (dalam Sulistyaningsih, 2009), reaksi orang berbeda-beda terhadap stressor. Stress yang dialami dapat memberi pengaruh dalam tiga tingkatan yaitu respon fisiologis seperti arousal otonomik, fluktuasi hormonal, perubahan neurokimia; respon emosional, seperti jengkel, marah, cemas, takut, kesal, sedih; maupun respon perilaku, seperti upaya coping yang salah,
(24)
menyalahkan diri sendiri, mencari bantuan, memecahkan masalah dan melepaskan emosi (Sulistyaningsih, 2009).
Berdasarkan ketiga respon tersebut, maka stressor dapat memberikan
outcome yang berbeda-beda bagi setiap individu. Bagi kebanyakan orang, stressor
dapat menjadikan seseorang stress, depresi atau bahkan menimbulkan penderitaan atau trauma yang patologis, namun sebenarnya ada juga orang yang justru dapat bangkit dan memperjuagkan kesejahteraan (well-being) hidupnya. Para ahli telah melakukan penelitian yang menunjukkan bahwa ada kekuatan-kekuatan pada diri setiap manusia yang dapat membantu dirinya melewati badai kehidupan, yang mana salah satunya disebut dengan istilah resilence (resiliensi). (Weiten, 2004)
Berkaitan dengan hambatan-hambatan proses belajar yang dihadapi para anak berkebutuhan khusus, resiliensi ini sangat dibutuhkan. Resiliensi merupakan kemampuan seseorang untuk menilai, mengatasi, dan meningkatkan diri ataupun mengubah dirinya dari keterpurukan atau kesengsaraan dalam hidup. Setiap orang pasti akan pernah mengalami kesulitan maupun sebuah masalah dan tidak ada seseorang yang hidup di dunia tanpa suatu masalah ataupun kesulitan (Grotberg, 1995). Hal senada diungkapkan oleh Reivich dan Shatte (1999), bahwa resiliensi adalah kapasitas untuk merespon secara sehat dan produktif ketika menghadapi kesulitan atau trauma, dimana hal itu penting untuk mengelola tekanan hidup sehari-hari. Kualitas inilah yang dibutuhkan oleh setiap individu berkebutuhan khusus dalam menghadapi berbagai situasi sulit di dalam hidupnya.
Berdasarkan Grotberg (1995) ada tiga kemampuan atau tiga faktor resiliensi yang membentuk resiliensi. Untuk dukungan eksternal dan sumber-sumbernya,
(25)
digunakan istilah “I have”.Untuk kekuatan individu, dalam diri pribadi digunakan istilah “I am”, sedangkan untuk kemampuan interpersonal digunakan istilah “I can”. Masing-masing dimensi ini memiliki sumber kekuatannya masing-masing.
Reivich dan Shatte (2002) juga mengemukakan adanya beberapa kemampuan yang bisa mengungkap kemampuan resiliensi pada individu yaitu regulasi emosi, pengendalian impuls, optimisme, empati, analisis dan penyebab masalah, efikasi diri, dan peningkatan aspek positif. Kemampuan-kemampuan ini yang membantu seorang individu untuk mempertahankan hidupnya ketika menghadapi kesulitan, demikian pula mahasiswa yang berjuang di kampus.
Pada era globalisasi ini, institusi pendidikan berupa sekolah atau perguruan tinggi banyak mendapatkan tantangan dalam hal memastikan bahwa setiap peserta didiknya mendapatkan kesuksesan dan prestasi belajar yang baik dalam masa belajarnya (Henderson, 2003). Hal ini juga berdampak pada banyaknya tuntutan yang diterima seorang siswa untuk menunjang prestasi akademiknya, sehingga
stressor, hambatan dan masalah juga terlibat dalam proses belajar seseorang. Oleh sebab itu resiliensi juga diperlukan dalam bidang ini, yang disebut dengan
resiliensi akademik.
Resiliensi akademik berfokus pada peserta didik dan pendidik, dan dapat diartikan sebagai kemampuan untuk bangkit kembali, beradaptasi dengan sangat baik melawan kesulitan (adversity), dan mampu mengembangkan kompetensi sosial, akademik, dan vocational terlepas dari banyaknya stress berat maupun
(26)
stress ringan yang dihadapi. Dari definisi ini jelas terlihat bahwa setiap peserta didik, muda maupun tua perlu mengembangkan resiliensi (Henderson, 2003).
Dalam resiliensi akademik, ada yang dikenal dengan istilah faktor resiko
dan faktor protektif. Faktor resiko merupakan hal-hal yang mempengaruhi respon individu ke arah menurunnya kondisi kesehatan fisik dan mental. Faktor protektif adalah hal-hal yang dapat memperkecil dampak stres pada kesehatan fisik dan mental atau yang melindungi individu dari kemungkinan menurunnya kondisi kesehatan mental akibat stres (Sulistyaningsih, 2009). Semua faktor-faktor inilah yang dapat mempengaruhi seseorang untuk menjadi terpuruk atau malah bangkit dan menjadi lebih baik.
Tuna netra yang tidak mendapatkan pendekatan pembelajaran yang tepat, memiliki kemungkinan besar menghadapi banyak kesulitan. Berbeda dengan individu yang berkesempatan bersekolah di Sekolah Luar Biasa (SLB), individu yang hanya bersekolah di sekolah umum tidak mendapatkan fasilitas dan sistem pembelajaran yang selayaknya mereka terima. Hal serupa terjadi pula pada individu tuna netra yang beranjak remaja dan memasuki jenjang perkuliahan, dan menjadi mahasiswa.
Ada banyak anggapan mengenai arti “maha” pada “mahasiswa”, namun secara umum menyiratkan bahwa seorang mahasiswa sudah berada pada tingkat yang paling tinggi, serta mengalami proses belajar yang tak henti dan terus berulang. Menurut Tarsidi (2006), agar inidividu tuna netra dapat berhasil dalam mencapai kemandirian, mereka memerlukan pendidikan yang tepat. Pembentukan konsep diri yang tepat untuk mengaktualisasikan diri dengan menggunakan
(27)
berbagai teknik alternatif, memungkinkannya untuk melakukan kegiatan kehidupan sehari-hari secara efektif dan efisien, mampu mengatasi masalah-masalah sosial, serta mampu menampilkan diri secara wajar dalam pergaulan.
Berkuliah sebagai seorang tuna netra merupakan sebuah tantangan berat. Namun fakta menunjukkan bahwa ada banyak tuna netra yang justru memiliki kemampuan lebih dalam bidang yang mereka ambil. Tak sedikit pula yang bahkan sampai dikenal bangsa bahkan dunia. Sebut saja para musisi hebat, seperti Stevie Wonders, Ray Charles, dan Andrea Bocelli. Anak bangsa juga sudah banyak yang mengukir prestasi. Dalam acara televisi “Kick Andy”, pernah ditampilkan sejumlah orang tuna netra yang berhasil mencapai cita-citanya dan sukses. Mimi Mariani Lusli, kehilangan penglihatan sejak kelas 4 SD, telah menyelesaikan pendidikan S2 di Universitas Indonesia, melanjutkannya di University of Leads di Inggris, dan sekarang sedang melanjutkan kuliah kedokterannya di Faculty of Earth and Life Sciences Universities of Amsterdam di Belanda. Tak hanya itu Mimi juga aktif dalam berbagai lembaga sosial yang membantu penyandang cacat. Kisah sukses jika dimiliki Tolhas Damanik, penyandang tuna netra sejak lahir. Tolhas telah menyelesaikan gelar masternya di Universitas Ohio, Amerika Serikat dan sekarang telah kembali ke tanah air menjadi konsultan pendidikan di lembaga non-profit. Saharudin Daming, seorang yang mengalami kebutaan sejak berumur 10 tahun, menjadi penyandang tuna netra pertama yang menjadi Doktor di bidang hukum. Ramaditya Adikara, seorang blogger tuna netra yang pertama kali memiliki blog. Di blognya, (http://www.ramaditya.multiply.com) Rama menuliskan berbagai hal yang membangun dan memotivasi. Bidang musik juga
(28)
menjadi salah satu tempat mengukir prestasi bagi dua orang penyandang tuna netra yang masih sangat muda, bernama Michael Anthony (7 tahun) dan Ade Irawan (15 tahun). Michael adalah pianis termuda tuna netra dan autis yang mampu menguasai lebih dari seratus lagu, mulai dari aliran klasik hungga pop. Sementara Ade sudah malang melintang di dunia jazz dan blues hingga ke Chicago Amerika, Serikat. Mereka ini merupakan segelintir orang yang membuktikan bahwa keterbatasan panca indera, khususnya mata, beserta dengan segala kesulitan-kesulitan hidupnya tidak lantas menjadi penghalang bagi seseorang untuk berkarya, jika mereka memiliki resiliensi yang kuat dalam menjalankan kehidupannya.
Dewasa ini, sistem belajar di dunia perkuliahan sudah semakin berkembang dan dipenuhi dengan teknologi. Untuk mahasiswa pada umumnya hal ini sangat membantu, namun tidak selalu demikian dengan mahasiswa tuna netra. Pada dasarnya saja, mahasiswa tuna netra sudah memiliki kekurangan yaitu penglihatan. Media, sarana dan prasarana, serta sistem belajar yang digunakan dalam perkuliahan juga dapat semakin menambah kendala dalam proses belajarnya. Misalnya saja dalam bidang musik. Berdasarkan penjabaran mengenai kompetensi dasar untuk mata pelajaran musik dari Depdiknas (2003:9), sebenarnya kepekaan inderawi sangat dibutuhkan dalam proses pembelajaran musik. Tidak hanya penglihatan, namun juga pendengaran, perabaan, serta kemampuan untuk berbicara dan mengolah vokal juga sangat penting. Dalam hal ini, tuna netra memiliki keterbatasan dalam memenuhi kompetensi dasar tersebut, dimana ia tidak dapat melihat dan mengobservasi menggunakan matanya, dan
(29)
secara tidak langsung juga tidak leluasa dan maksimal dalam menggunakan anggota tubuh lainnya dan dalam mempraktekkan penggunaan alat musik. Selain itu proses pembelajaran musik yang bersifat teoritis serta proses mengenal dan mempelajari not balok dan pembacaan partitur juga sulit. Hal ini juga sejalan dengan yang dikatakan oleh FL, mahasiswa di bidang musik (pria, 25 tahun):
“Saya di kampus kan main biola. Nah kalau teman-teman saya biasanya langsung dikasih partitur, trus langsung latihan disitu. Kalau saya kan gak bisa. Jadi biasanya saya harus rekam dulu, lalu saya dengar dirumah baru pelajarin melodinya sendiri. Pas dikampus barulah belajar harmonisasinya”
(Komunikasi personal, 10 November 2012) Di sisi lain, keterbatasan tuna netra dalam penglihatan, secara tidak langsung mengasah kepekaan indera lainnya yang berfungsi dengan baik, seperti pendengaran dan perabaan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya unsur pendengaran dan perabaan juga berperan penting dalam proses pembelajaran. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh SA, seorang mahasiswa di Fakultas Sastra Inggris (wanita, 19 tahun):
“...yaa kalau mengikuti pelajaran bisa-bisa aja, karena aku suka merekam kak. Jadi ngandalin kupinglah. Aku kan kalau ngeliat gak bisa, jadi lebih banyak mendengar. Pas pakai laptop juga gitu, uda di program jadinya bunyi”.
(Komunikasi personal, 15 September 2012)
Perguruan Tinggi pada umumnya tidak menyediakan secara spesifik fasilitas yang dapat mendukung proses belajar tuna netra, dimana hal ini dapat menjadi suatu rintangan untuk mereka. Bertolak dari Undang-undang 1945 pasal 31, disusun undang-undang nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional atau yang dikenal dengan USPN. Dalam pasal 8 ayat (1) dinyatakan
(30)
bahwa “Warga negara yang mempunyai kelainan fisik dan/ atau mental berhak memperoleh pendidikan”, dan pada ayat (2) dinyatakan “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional, yang diatur dalam undang-undang. Namun kondisi yang justru terjadi di lapangan adalah mahasiswa tuna netra mengalami kesulitan karena mereka harus mengikuti kurikulum dan peraturan yang berlaku tanpa adanya bantuan atau pembimbing khusus. Hal-hal lain seperti pengerjaan tugas, ujian semester, praktik, dan sebagainya juga turut menambah kendala dalam proses belajar mereka. Mahasiswa tuna netra yang berkuliah di tempat tersebut mau tidak mau harus berhadapan dengan tekanan-tekanan tersebut, dan dapat mempengaruhi mereka secara negatif. Di lain sisi, pada kenyataannya, ada juga mahasiswa-mahasiswa tuna netra yang mampu untuk menjadi orang yang berprestasi, yang memiliki mobilitas tinggi, yang memiliki pergaulan luas, dan tidak sedikit yang memiliki segudang talenta.
Seorang mahasiswa yang mampu untuk bangkit dan termotivasi menjadi lebih baik akan mampu untuk mematahkan rintangan-rintangan yang dihadapinya. Ketunanetraan yang dimiliki oleh setiap mahasiswa tuna netra tidaklah sama, sehingga proses untuk bertahan juga pasti berbeda-beda, karena kualitas resiliensi setiap orang juga berbeda (Grotberg, 1995).
Resiliensi yang terbentuk pada setiap individu dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal dan internal yang dimiliki individu tersebut. Beberapa faktor-faktor utama yang dapat mempengaruhi resiliensi seseorang antara lain adalah keluarga dan pola asuh. Dalam mengasuh anak-anaknya, orang tua sangat dipengaruhi oleh
(31)
budaya yang ada di lingkungannya dan juga diwarnai oleh sikap-sikap tertentu dalam memelihara, membimbing, dan mengarahkan putera-puterinya (Monks, Knoers dan Haditono, 1994). Hal ini juga tergambar dari pernyataan AS (pria, 25 tahun):
“..emm kalau ditanya siapa yang paling berperan dalam membuat aku jadi kuat kek gini, yang pasti orang tuaku sama para suster dan pastur dulu waktu di asrama. Mereka semua ga memanjakan aku, atau terus-terusan membantu semua-semua, tapi aku dibantu untuk bisa mandiri dan mengerjakan apa-apa sebisa mungkin sendiri. Pada akhirnya, yang tadinya ga bisa makan sendiri, mandi sendiri ya kan jadinya bisa”
(Komunikasi personal, 10 November 2012) Bentuk pola asuh yang diterapkan orang tua kepada anaknya, terkhusus dalam hal ini, individu tuna netra, sudah pasti sangat mempengaruhi kemampuan resiliensi dirinya. Seiring waktu, resiliensi juga dapat semakin terbentuk berdasarkan tahapan resiliensi, yaitu overcome, steer through, bouncing back dan reach out (Revich dan Shatte, 2002). Terkait dengan usaha mahasiswa tuna netra untuk bertahan, berkenaan dengan proses belajarnya di kampus dan juga di kehidupannya sehari-hari, mereka juga memiliki resiliensi. Resiliensi yang dimilikinya bukan hanya dipengaruhi oleh keluarga dan pola asuh orang tua, namun juga dapat dibentuk oleh faktor resiko, protektif, faktor internal maupun eksternal lainnya. Disini peneliti tertarik untuk melihat bagaimana dinamika resiliensi akademik pada proses pembelajaran mahasiswa tuna netra.
(32)
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana gambaran resiliensi akademik pada proses pembelajaran mahasiswa tuna netra, yang mencakup:
1. Apa saja yang menjadi faktor-faktor resiko yang dimiliki oleh mahasiswa tuna netra?
2. Apa saja yang menjadi faktor-faktor protektif yang dimiliki oleh mahasiswa tuna netra?
3. Bagaimana outcome akademik mahasiswa tuna netra? C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana resiliensi akademik pada proses pembelajaran mahasiswa tuna netra.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi ilmu pengetahuan di bidang Psikologi, terutama bidang Pendidikan, begitu pula dengan institusi pendidikan, terkait dengan proses pembelajaran mahasiswa tuna netra.
2. Manfaat Praktis
(33)
a. Secara umum memberi gambaran dan pengetahuan kepada seluruh masyarakat perihal resiliensi terhadap proses pembelajaran yang meliputi kegiatan akademik, pergaulan sosial, serta emosi mahasiswa tuna netra. b. Secara khusus memberi gambaran dan pengetahuan kepada seluruh
mahasiswa tuna netra perihal dinamika resiliensi akademik terhadap proses pembelajaran di Perguruan Tinggi.
c. Menambah wawasan baru bagi para orang tua yang memiliki anak dengan keterbatasan penglihatan, untuk kemudian dapat semakin mendorong dan meningkatkan kemampuan belajar sang anak.
d. Memberi pengetahuan bagi institusi pendidikan, dalam memfasilitasi kebutuhan para tuna netra. Misalnya dengan menyediakan alat-alat bantu seperti Braille, alat perekam, dosen pembimbing khusus, ataupun alternatif-alternatif lain yang dapat lebih membantu ketertinggalan para mahasiswa tunanetra.
e. Menjadi kontribusi bagi subjek penelitian dalam mendorong dan meningkatkan kemampuan resiliensi akademik para mahasiswa tuna netra dalam proses belajar di Perguruan Tinggi.
E. Sistematika Penelitian
Sistematika penulisan proposal penelitian ini adalah: BAB I : Pendahuluan
Bab ini menguraikan tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.
(34)
BAB II : Landasan Teori
Bab ini menguraikan tentang tinjauan dan teori-teori yang menjelaskan dan mendukung data penelitian. Teori yang akan diuraikan pada bab ini adalah teori resiliensi.
BAB III : Metode Penelitian
Bab ini memberi penjelasan tentang alasan penggunaan pendekatan kualitatif, responden penelitian, metode pengambilan data, alat bantu pengumpulan data, kredibilitas penelitian serta prosedur penelitian.
BAB IV : Analisa Data dan Pembahasan
Bab ini berisi deskripsi data dari hasil wawancara yang dilakukan, dan membahas data-data penelitian tersebut dengan teori yang relevan untuk menjawab pertanyaan penelitian.
BAB V : Kesimpulan dan Saran
Bab ini berisi kesimpulan yang bersisi hasil dari penelitian yang telah dilaksanakan dan saran yang berisi saran praaktis dan saran untuk penelitian lanjutan dengan mempertimbangkan hasil penelitian yang diperoleh, keterbatasan dan kelebihan penelitian.
(35)
BAB II
LANDASAN TEORI
A.Resiliensi Akademik 1. Resiliensi
Shatte dan Revich (2002) menyebutkan bahwa resiliensi adalah kemampuan untuk berespon secara sehat dan produktif ketika menghadapi rintangan atau trauma. Menurut Papalia, Olds dan Feldman (2003) resiliensi adalah sikap ulet dan tahan banting yang dimiliki seseorang ketika dihadapkan dengan keadaan yang sulit.
Menurut Grotberg (1999) resiliensi adalah kemampuan manusia untuk menghadapi, mengatasi, menjadi kuat ketika menghadapi rintangan dan hambatan. Resiliensi bukan merupakan suatu keajaiban, tidak hanya ditemukan pada sebagian manusia dan bukan merupakan sesuatu yang berasal dari sumber yang tidak jelas. Setiap manusia memiliki kemampuan untuk menjadi resilience
(resilien) dan setiap orang mampu untuk belajar bagaimana menghadapi rintangan dan hambatan dalam hidupnya.
Berdasarkan beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa resiliensi adalah kemampuan manusia untuk menghadapi dan mengatasi rintangan dan kesulitan dalam hidup sehingga individu tersebut menjadi lebih kuat.
(36)
2. Resiliensi Akademik a. Definisi
Secara umum, resiliensi dapat dimanfaatkan oleh setiap individu dalam melawan berbagai problematika hidup. Namun jika berbicara dalam ruang lingkup akademis, resiliensi dapat lebih dispesifikkan menjadi resiliensi akademik.
Resiliensi akademik berfokus pada peserta didik dan pendidik, dimana banyak ditemukan di institusi pendidikan seperti sekolah dan Perguruan Tinggi. Resiliensi ini merupakan sebuah karakteristik yang memiliki perbedaan-perbedaan pada setiap orang dan dapat semakin meningkat ataupun menurun seiring berjalannya waktu (Henderson, 2003).
Menurut Rirkin dan Hoopman (dalam Henderson, 2003), berkaitan dengan pengembangan resiliensi dalam lingkungan belajar, resiliensi akademik didefinisikan sebagai kapasitas seseorang untuk bangkit, pulih, dan berhasil beradaptasi dalam kesulitan, dan mengembangkan kompetensi sosial, akademik dan keterampilan, terlepas dari tingkat stress yang dihadapinya.
b. Model Resiliensi
Richardson, Neiger, Jensen & Kumpfer (dalam Henderson, 2003) membentuk sebuah model resiliensi yang menunjukkan bahwa ketika seorang individu mengalami kesulitan, pada umumnya individu tersebut akan memiliki karaktersitik internal dan eksternal berupa faktor-faktor protektif, yang akan dapat mengurangi faktor resiko (kesulitan-kesulitan) yang dihadapi. Dengan “proteksi” yang cukup, individu tersebut akan mampu beradaptasi terhadap kesulitan itu tanpa harus mengalami gangguan (disruption) dalam hidupnya. Individu tersebut
(37)
dapat beralih ke zona nyaman atau yang disebut homeostatis, atau bahkan dapat lebih meningkat pada level resiliensi yang lebih tinggi karena adanya pembentukan kekuatan emosional dan mekanisme coping yang sehat selama proses mengatasi faktor-faktor resiko tersebut. Di lain pihak, tanpa adanya proteksi yang cukup, seorang individu dapat langsung terjerumus dalam gangguan psikologis, dan kemudian seiring waktu keluar dari gangguan tersebut. Namun perlu dicatat, ketersediaan faktor-faktor protektif individulah yang akan mengarahkan individu tersebut pada tipe reintegrasi yang mereka alami. Reintergrasi ini dapat disebabkan oleh berbagai hal seperti penyalahgunaan alkohol, narkoba, percobaan bunuh diri, ataupun karakteristik-karakteristik negatif lainnya, dan pada akhirnya dapat berujung pada reintegrasi yang buruk atau baik.
Model resilliensi pada gambar 1 menunjukkan bahwa adversitas tidak secara otomatis mengarahkan individu pada disfungsi, namun juga dapat menuju sejumlah outcome lainnya, dan bahkan seiring waktu dapat meningkatkan kemampuan resiliensi seseorang, seiring berjalannya waktu. Richardson (dalam Henderson, 2003) mengatakan bahwa resiliensi ini dapat diterapkan dalam setiap orang, dan bahwa ini merupakan sebuah proses dalam hidup.
Lingkungan juga sangat penting terhadap resiliensi individu dalam dua hal. Pertama, faktor-faktor protektif internal yang membantu individu menjadi resilien dihadapan stressor dan tantangan, sering kala merupakan dampak dari kondisi lingkungan yang mengembangkan karakteristik ini. Kedua, selain stressor dan tantangan yang dihadapi individu, lingkungan juga berkontribusi dalam reaksi individu dari maladaptasi atau disfungsi ke homeostatis atau resiliensi.
(38)
Bagan 1 Model resiliensi
(Sumber: Adaptasi dari Richardson dkk dalam Henderson & Milstein, 2003)
c. Karakteristik Individu yang Resilien
Anak yang resilien dan orang dewasa yang resilien pada umumnya tampaknya sama. Bernard (1991) menyatakan karakter anak yang resilien adalah memiliki kompetensi sosial, memiliki life skills seperti mampu memecahkan masalah, mampu berpikir kritis, dan mampu untuk mengambil inisiatif. Lebih
Stressors Adversity
Risks
Individual and Environmental Protective Factors
Disruption Reintegration
Dysfunctional Reintegration Reintegration with Loss (Maladaptation) Reintegration to Comfort Zone (Homeostatis) Reintegration with Resiliency
(39)
jauh lagi dikatakan bahwa anak yang resilien memiliki sense of purpose dan dapat melihat masa depan yang cerah pada dirinya. Mereka memiliki ketertarikan khusus, tujuan hidup, dan motivasi untuk meraih yang terbaik dalam sekolah.
Higgins (dalam Henderson 2003) memberi karakter yang hampir serupa pada orang dewasa yang resilien, dengan menekankan pada hubungan positif mereka, kemampuan baik dalam memecahkan masalah, dan motivasi untuk peningkatan diri. Motivasi pendidikan juga sangat jelas terlihat pada orang dewasa, yang dibuktikan dengan pencapaian pendidikannya. Orang dewasa sering dengan sengaja melibatkan diri dalam perubahan dan aktivitas sosial dan secara umum memiliki keyakinan serta kehidupan spiritual dan keagamaan. Kebanyakan dari orang dewasa yang resilien mampu menunjukkan kemampuan mereka dalam mengambil hikmah dan kebaikan dari segala stres, trauma dan tragedi yang pernah dialami. Walau demikian, Higgins juga menggarisbawahi bahwa banyak orang dewasa yang merasa dirinya resilien mengatakan bahwa ketika mereka masih anak-anak, kurang menyadari adanya resiliensi dalam diri mereka ataupun orang lain, pada masa kanak-kanaknya (Henderson, 2003).
d. Faktor-faktor Protektif Internal dan Eksternal
Berdasarkan yang dikemukakan oleh Richardson (dalam Henderson, 2003), Faktor Protektif Internal adalah karakteristik individu yang membentuk resiliensi:
1. Bersedia melayani orang lain
2. Menggunakan life skills, termasuk pengambilan keputusan yang baik, assertivitas, impulse control dan pemecahan masalah
(40)
3. Sosialibilitas; kemampuan untuk menjadi teman; kemampuan untuk membetuk hubungan yang postitf
4. Memiliki selera humor
5. Internal locus of control
6. Otonomi; kemandirian
7. Memiliki sudut pandang positif tentang masa depan 8. Fleksibilitas
9. Memiliki kapasitas untuk belajar 10. Motivasi diri
11. Memiliki keahlian; kompetensi personal
12. Memiliki perasaan self-worth dan kepercayaan diri
Faktor Protektif Eksternal adalah karakteristik keluarga, sekolah, komunitas dan kelompok teman sebaya yang mengembangkan resiliensi:
1. Memiliki ikatan yang kuat 2. Menjunjung tinggi pendidikan
3. Menggunakan gaya interaksi yang penuh kehangatan dan tidak menghakimi
4. Membuat batasan-batasan yang jelas (peraturan, norma dan hukum) 5. Mendorong hubungan yang supportif dengan orang lain
6. Melestarikan tanggung jawab, saling melayani, “required
helpfullness”
7. Menyediakan akses akan kebutuhan dasar rumah tangga, pekerjaan, kesehatan dan rekreasi
(41)
8. Menunjukkan harapan kesuksesan yang tinggi dan realistis 9. Mendorong pembuatan tujuan dan mastery
10. Mendorong perkembangan prososial akan nilai-nilai (misalnya altruisme) dan life skills (misalnya kerja sama)
11. Menyediakan kepemimpinan, pengambilan keputusan, dan kesempatan-kesempatan lain untuk partisipasi yang berarti.
12. Menghargai talenta unik dari masing-masing individu
e. Tahapan Mengembangkan Resiliensi
Teori resiliensi dan faktor resiko menekankan bahwa sekolah merupakan lingkungan yang penting dalam mengembangkan kemampuan individu untuk bangkit dari kesulitan, beradaptasi terhadap tekanan dan masalah-masalah yang dihadapi, dan juga mengembanagkan kompetensi-kompetensi sosial, akademik dan keterampilan, yang sangat diperlukan dalam hidup. Penelitian para ahli telah menunjukkan bahwa sekolah, keluarga dan juga komunitas dapat menyediakan faktor-faktor protektif lingkungan dan kondisi-kondisi yang mengembangkan faktor protektif individual. Hal ini membentuk sebuah strategi berupa 6 tahapan dalam mengembangkan resiliensi di sekolah (dapat dilihat pada gambar 2).
1. Meningkatkan bonding. Hal ini melibatkan peningkatan hubungan diantara individu dengan orang atau kegiatan yang bersifat prosocial
dan juga didasarkan pada bukti bahwa siswa dengan ikatan positif yang kuat lebih kecil kemungkinannya melakukan perilaku beresiko daripada siswa yang tidak memiliki ikatan. Sekolah juga berfokus
(42)
pada ikatan siswa terhadap sekolah dan pencapaian akademik dengan menyesuaikan gaya belajar yang disukai siswa.
2. Menetapkan batasan-batasan yang jelas dan konsisten. Ini melibatkan pengembangan dan implementasi yang konsisten dari peraturan sekolah dan prosedur-prosedur serta menegaskan pentingnya ekspektasi perilaku. Ekspektasi ini termasuk menjelaskan tentang perilaku beresiko bagi siswa dan harus dikomunikasikan secara jelas beserta dengan konsekuensinya.
3. Mengajarkan life skills. Ini termasuk kerjasama, resolusi konflik yang sehat, ketahanan dan kemampuan asertivitas, kemampuan komunikasi, kemampuan memecahkan masalah dan pengambilan keputusan, serta manajemen stress yang sehat. Jika kemampuan-kemampuan ini diajarkan dengan benar kepada siswa, akan dapat menolong siswa untuk jauh dari permasalahan remaja khususnya rokok, alkohol dan obat-obatan terlarang. Kemampuan-kemampuan ini juga dapat menciptakan lingkungan yang kondusif bagi proses pembelajaran siswa di sekolah.
4. Menyediakan kepedulian dan dukungan. Hal ini termasuk memberikan penghargaan dan dorongan yang positif dan ikhlas. Pada gambar 2, bagian ini diarsir, untuk menunjukkan bahwa elemen ini merupakan yang terpenting dalam membangun resiliensi. Bahkan, hampir mustahil untuk mampu “mengatasi” kesulitan tanpa adanya kepedulian. Kepedulian ini tidak harus berasal dari keluarga.
(43)
Guru, tetangga dan pekerja-pekerja muda juga sering menunjukkannya, begitu pula dengan elemen-elemen lain dari mengembangkan resiliensi. Teman sebaya dan hewan peliharaan juga dapat berperan sebagai pembangun resiliensi bagi orang dewasa dan anak-anak.
5. Menetapkan ekspektasi yang tinggi. Ekspektasi individu harus tinggi dan realistis agar dapat menjadi motivator yang efektif. Walaupun demikian, banyak anak-anak di sekolah, terutama mereka yang diberikan banyak label di sekolah, mengalami ekspektasi yang rendah dan juga memiliki ekspektasi yang rendah untuk dirinya. Pihak sekolah juga mengatakan bahwa hal ini juga berlaku bagi orang dewasa di sekolah, yang memiliki kemampuan dan potensial yang kurang dianggap.
6. Menyediakan peluang untuk keterlibatan yang berguna. Strategi ini berarti memberikan banyak tanggung jawab kepada siswa, keluarga mereka, dan staff untuk hal-hal yang terjadi di sekolah, memberikan peluang bagi mereka untuk memecahkan masalah, mengambil keputusan, merencanakan, menetapkan tujuan dan membantu sesama.
(44)
Bagan 2
Profil Siswa dengan karakteristik Resiliensi (Sumber: Adaptasi dari Richardson dkk
dalam Henderson & Milstein, 2003)
Provide Opportunities for Meaningful Participation Increase Prosocial Bonding Set Clear, Consistent Boundaries Teach “Life Skills” Set and Communicate High expectations
after-, and in school activities.
Is engaged in cooperative peer-to-peer interactions through teaching strategies and/or school programs.
Is positively connected to learning through cooperative learning,
service learning, peer helping, or other avenues.
Exhibits a sense of self-efficacy in taking on new challenges
Understands and abides by policies and rules
Paticipates in changing policies and rules.
Recieves ongoing instruction in life skills appropriate to developmental level.
Has integrated the skills so assertiveness, refusal skills, healthy conflict resolution, good decision making and problem solving, and healthy stress management are practced most of the time.
Feels that school is a caring place
Has a sense of belonging
Experiences school as a community
Sees many ways to be recognized
and rewarded.
Believes that any positive goal/ aspiration can be accomplished.
Shows confidence in
self and others.
Encourages self and others to do “the best
possible.” Provide
Caring & Support
(45)
B. Tuna Netra
1. Definisi dan Klasifikasi Tuna Netra
Tuna netra atau seseorang dengan keterbatasan penglihatan (visual impairment) adalah seseorang yang hanya memiliki ketajaman penglihatan 20/200 atau lebih kecil pada mata yang telah dikoreksi (misalnya dengan kacamata), atau ketajaman penglihatannya lebih baik dari 20/200, namun jangkauan pandangnya menyempit sedemikian rupa sehingga membentuk sudut pandang tidak lebih besar dari 20 derajat. Ketajaman visual 20/200 memiliki arti dimana seseorang tersebut dapat melihat sejauh 20 kaki sedangkan orang berpenglihatan normal dapat melihat sejauh 200 kaki. (Hallahan & Kauffman, 1991)
Somantri (2006) mengungkapkan bahwa pengertian tuna netra adalah individu yang kedua indera penglihatannya tidak berfungsi sebagaimana halnya individu berpenglihatan normal memilikinya sebagai penerima informasi. Individu dengan gangguan penglihatan ini dapat diketahui dalam kondisi berikut:
a. Ketajaman penglihatannya kurang dari ketajaman yang dimiliki orang berpenglihatan normal
b. Terjadi kekeruhan pada lensa mata atau terdapat cairan tertentu c. Posisi mata sulit dikendalikan oleh saraf otak
d. Terjadi kerusakan susunan syaraf otak yang berhubungan dengan penglihatan
(46)
Hallahan & Kauffman (1991) menggolongkan tuna netra menjadi dua macam, yaitu:
a. Blind (Buta)
Seseorang dikatakan buta jika ia sama sekali tidak mampu menerima rangsang cahaya dari luar (visusnya = 0)
b. Low vision (Penglihatan rendah)
Seseorang dikatakan memilki low vision ketika masih mampu menerima rangsang cahaya dari luar, tetapi ketajamannya lebih kecil dari 20/200. Misalnya saja, ia hanya mampu membaca headline pada surat kabar.
Dengan demikian, pengertian tuna netra adalah individu yang indera penglihatannya baik sebagian atau tidak berfungsi secara menyeluruh, sebagai saluran penerima informasi dalam kegiatan sehari-hari layaknya orang berpenglihatan normal atau dengan kata lain orang yang memiliki ketajaman penglihatan kurang dari 20/200 dan setelah diberikan pertolongan khusus masih memerlukan layanan khusus.
2. Ciri-ciri dan Karakteristik Tuna Netra
Individu yang memiliki gangguan penglihatan tentu memiliki ciri-ciri. Irham Hosni (dalam Ishartiwi, 1998) menyebutkan ciri-ciri untuk mengenali tuna netra yaitu:
a. Seseorang yang hanya mengenal bentuk dan objek (sedikit sisa penglihatan)
(47)
c. Tidak dapat melihat tangan yang digerakkan
d. Seseorang yang hanya dapat menunjuk sumber cahaya e. Seseorang yang tidak memiliki persepsi cahaya (buta total)
Somantri (2006) mengemukakan karakteristik tuna netra yang sangat bervariasi dalam empat aspek, yang ditinjau sejak kapan individu mengalami ketunanetraan, bagaimana tingkat ketajaman penglihatannya, berapa usianya dan bagaimana tingkat pendidikannya.
a. Aspek kognitif
Indera penglihatan merupakan indera yang sangat penting dalam menerima informasi yang datang dari luar. Melalui indera penglihatan, seseorang mampu melakukan pengamatan pada dunia sekitarnya sehingga menimbulkan kesan atau persepsi pada rangsang tersebut. Melalui berbagai pengamatan, individu akan semakin kaya pengetahuannya, tidak terbatas pada penjelasan verbal melainkan penghayatan lebih dengan mengamati berbagai aspek dari objek secara langsung.
Pada tuna netra, pengenalan dan pengertian terhadap dunia luarnya tidak dapat diperoleh secara utuh. Akibatnya, perkembangan kognitif tuna netra cenderung terhambat terutama berkaitan dengan konsep yang abstrak karena tidak dibantu dengan pengamatan visual. Individu tuna netra cenderung mengandalkan indera pendengaran sebagai sumber penerima informasi, oleh karena itu pengertian yang diperoleh pun terbatas pada pengertian verbal. Contohnya misalnya konsep seperti warna, arah dan jarak
(48)
merupakan konsep yang dipahami secara verbal saja oleh individu tuna netra (Somantri, 2006).
Pada individu tuna netra, umumnya mereka berpegang teguh pada pendapatnya karena secara visual mereka tidak mampu menggunakan teknik akomodasi dan asimilasi dalam mengubah struktur kognitifnya yang sudah terbentuk sebelumnya. Selain itu, tanpa kemampuan pengamatan yang baik, individu dapat mengalami kesulitan dalam melakukan pengklasifikasian objek terutama jika mengacu pada bentuk, warna, ruang dan lainnya. Lowenfeld (dalam Somantri, 2006) mengemukakan banyak hal tentang bagaimana pengaruh ketunanetraan terhadap proses-proses kognitif seperti persepsi ruang, synthesia, ketajaman sensori, daya ingat, kreativitas, inteligensi, prestasi akademik, kemampuan bicara dan kemampuan membaca. Taraf kecerdasan tuna netra pada dasarnya tidak berbeda dengan individu berpenglihatan normal, yaitu bagaimana individ tuna netra mengolah dan menganalisa informasi dari lingkungan. Yang berbeda adalah hambatannya dalam menerima informasi, persepsi dan konsepnya.
b. Aspek Motorik
Perkembangan motorik tuna netra cenderung lambat dibandingkan dengan individu berpenglihatan normal pada umumnya. Keterlambatan ini terjadi karena dalam perkembangan perilaku motorik diperlukan adanya koordinasi fungsional antara neuromascular system, fungsi psiks (kognitif, afektif, dan konatif) serta kesempatan yang diberikan oleh lingkungan.
(49)
Keterbatasan mereka dalam melakukan pengamatan secara visual biasanya membuat individu tuna netra memiliki hambatan dalam penyesuaian terhadap lingkungan yang baru dan menghindari untuk melakukan eksplorasi atau mobilitas ke tempat-tempat yang masih asing. Selain itu, biasanya mereka mengalami hambatan dalam motorik kasar seperti melompat maupun motorik halus seperti menggengan benda, terutama dalam ukuran kecil.
c. Aspek Emosi
Kematangan emosi ditunjukkan dengan adanya keseimbangan dalam mengendalikan emosi baik yang menyenangkan maupun tidak. Terdapat beberapa variabel yang berperan dalam perkembangan emosi yaitu oragnisme yang mencakup perubahan-perubahana fisiologis ketika seseorang mengalami emosi, stimulus atau rangsangan yang menimbulkan emosi dan respon terhadap rangsangan emosi yang datang dari lingkungan. Pengaruh belajar dari lingkungan memiliki peranan yang besar dalam perkembangan emosi ini karena melalui proses pengamatan dan imitasi seorang individu belajar bagaimana emosi dan pengekspresian.
Pada individu tuna netra, yang memiliki keterbatasan dalam pengamatan, cenderung mengalami hambatan dalam mengeksprsikan emosi secara tepat karena mereka tidak dapat melakukan pengamatan secara optimal terhadap rangsang emosi dan pengekspresian di lingkungan sehingga proses belajar melalui imitasi jadi terhambat. Karena hal tersebut, sering sekali ekspresi seorang tuna netra dinyatakan secara verbal. Hal ini akan semakin berkembang seiring dengan perkembangan kognitif dan
(50)
bahasa pada individu. Meskipun demikian, sebaiknya lingkungan tetap mengajarkan bagaimana mengekspresikan emosi secara non-verbal, baik mimik muka maupun gerak tubuh.
d. Aspek Sosial
Perkembangan sosial berarti individu memiliki seprangkat kemampuan untuk bertingkah laku sosial sesuai dengan tuntutan masyarakat. Pada individu tuna netra, perkembangan sosialnya sangat tergantung pada perlakuan dan penerimaan lingkungan terutama lingkungan keluarga. Jika keluarga memiliki sikap postif terhadap anak tuna netra, maka perasaan harga diri pun akan lebih positif dan ini akan menimbulkan rasa percaya diri untuk menghadapi lingkungan lainnya. Hambatan dalam belajar sosial biasanya berkaitan dengan ketidakmampuan individu untuk memahami perasaan orang lain dan hmabatan dalam melakukan imitasi dan identifikasi perilaku, emosi dan nilai-nilai masyarakat.
Sukini Pradopo (dalam Somantri, 2006) mengemukakan gambaran sifat tuna netra diantaranya ragu-ragu, rendah diri dan curiga pada orang lain. Sedangkan Sommer menyatakan bahwa tuna netra cendeung memiliki sifat-sifat yang berlebihan, menghindari kontak sosial, mempertahankan diri dan menyalahkan orang lain serta tidak mengakui kecacatannya.
(51)
3. Jenis dan penyebab gangguan penglihatan (Visual Impairment)
a. Refractive Errors
1. Refractive errors, dapat diperbaiki dengan menggunakan kacamata atau kontak lens, tapi jika cukup parah dapat mengakibatkan gangguan visual permanen
2. Myopia, mata lebih besar daripada normal, dari depan ke belakang. Benda yang diteruskan ke retina hilang fokus. Dapat melihat benda dekat dengan jelas, namun kesulitan melihat benda yang jauh.
3. Hyperopia, kebalikan dari myopia, jelas dalam melihat benda yang jauh namun kesulitan untuk melihat benda yang dekat 4. Astigmatism, penglihatan yang kabur karena kelainan pada
kornea mata permukaan lain dari mata, baik objek yang dekat maupun jauh, akan hilang fokus.
b. Jenis dan penyebab gangguan penglihatan lainnya
1. Ocular Motility, ketidakmampuan mata untuk bergerak
2. Binocular Vision, merupakan proses yang rumit, membutuhkan penglihatan yang baik pada kedua mata, otot mata yang normal, dan fungsi yang baik dalam mngkoordinasikan pusat otak.
3. Strabismus, ketidakmampuan untuk fokus pada objek yang sama menggunakan kedua mata karena adanya deviasi dalam dan luar dari mata.
(52)
4. Amblyopia, reduksi atau hilangnya penglihatan pada mata yang lemah akibat kurang digunakan maskipun tidak adanya penyakit apapun.
5. Accomodation, mata tidak dapat mengatur dengan baik untuk melihat benda-benda dengan jarak yang berbeda-beda
6. Nystagamus, pergerakan bolak-balik dan cepat dari mata dengan arah yang lateral, vertikal ataupun rotasi.
7. Albinism, kurangnya pigmentasi pada mata, kulit dan rambut. 8. Phoyophobia, mata yang sangat sensitif terhadap sinar
matahari
9. Catarac, kaburnya lensa mata, sehingga menutupi cahaya yang perlu untuk melihat dengan baik.
10. Glaucoma, ditandai dengan adanya tekanan tinggi yang tidak normal pada mata.
11. Diabetic retinopathy, penyebab utama kebutaan untuk orang usia 20-64 tahun.
12. Retinitis pigmentosa (RP), kelainan retinal yang paling umum. Penyakit ini menyebabkan degenerasi bertahap dari retina. 13. Usher’s Syndrome, penyebab signifikan kebutaan dan tuli pada
remaja dan dewasa.
14. Macular Degeneration, kondisi dimana bagian pusat dari retina (area mascular) memburuk secara bertahap.
(53)
15. Retinopathy of Prematurity (ROP), dapat terjadi karena menaruh bayi dengan berat badan yang ringan ke dalam inkubator dan memberikan oksigen dalam tingkat yang tinggi.
4. Layanan pendidikan untuk tuna netra
Berbicara tentang guru dari anak-anak yang memiliki gangguan penglihatan, orang sering terpikir tentang alat-alat khusus seperti Braille, alat perekam, dan sebagainya. Walaupun media dan material ini memiliki peran penting dalam pendidikan anak dengan gangguan penglihatan, namun guru yang efektif harus tahu lebih daripada hanya cara menggunakan peralatan tersebut. Banyak pendidik dan psikolog yang telah menggambarkan halangan-halangan terhadap belajar oleh gangguan penglihatan. (Heward, 1996)
Sebenarnya tidak ada batasan anak untuk berpartisipasi secara penuh dalam program sekolah. Para pendidik harus memastikan bahwa murid dengan gangguan penglihatan, didalamnya termasuk area noninstruksional, mereka yang belajar dengan teman sebaya nonhandicapped, mereka yang memerlukan instruksi khusus, dan mereka yang diluar kurikulum sekolah yang penting agar bisa berkompetisi dengan teman sebaya mereka ketika berannjak dewasa. Untuk dapat mencapai tujuan ini, membutuhkan pendidik khusus yang menyediakan dukungan, konsultasi dan materi untuk guru biasa yang memiliki murid dengan gangguan penglihatan di kelasnya. (Heward, 1996).
(54)
Menurut Hardman, M.L. dkk (dalam Purwanto, 2007), strategi khusus dan isi layanan pendidikan bagi anak tuna netra paling tidak meliputi 3 hal, yaitu:
a. Mobility training and daily living skill, yaitu latihan untuk berjalan dan orientasi tempat dan ruang dengan berbagai sarana yang diperlukan serta latihan keterampilan kehidupan keseharian yang berkaitan dengan pemahaman uang, belanja, mencuci, memasak, kebersihan diri, dan membersihkan ruangan
b. Traditional curriculum content area, yaitu orientasi dan mobilitas, keterampilan berbahasa termasuk ekspresinya, keterampilan berhitung. dan
c. Communication media, yaitu penguasaan Braille dalam komunikasi.
Annastasia Widjajanti dan Imanuel Hitipeuw, (dalam Purwanto, 2007) menyatakan bahwa layanan khusus bagi anak tuna netra meliputi:
a. Penguasaan Braille.
Penguasaan Braille yang dimaksud adalah kemampuan untuk menulis dan membaca Braille. Keterampilan menulis berkaitan dengan penggunaan alat tulis Braille, yaitu reglet, mesin ketik Braille; penelitian huruf, angka, kombinasi angka dan huruf, dan komputer Braille, sedangkan membaca lebih berkaitan dengan keterampilan membaca dari berbagai media tulisan.
(55)
b. Latihan orientasi dan mobilitas
Latihan orientasi dan mobilitas adalah jalan dengan pendamping awas, latihan jalan mandiri, latihan jalan dengan menggunakan alat bantu jalan (tongkat dan sign guide). Selain itu juga perlu penguasaan latihan bantu diri di kamar mandi dan kamar mandi, di rung makan, kamar tidur, dapur, ruang tamu, sampai mampu mandiri ke sekolah dan tempat yang lain.
c. Penggunaan alat bantu dalam pembelajaran berhitung dan matematika, meliputi cubaritma, papan taylor frame, abacus (sempoa) dalam operasi penambahan, pengurangan, perkalian, pembagian, dan beberapa komsep matematikan Braille.
d. Pembelajaran pendidikan jasmani bagai anak tuna netra.
Pembelajaran pendidikan jasmani bagi anak tuna netra menggunakan pendidikan jasmani adaptif. Adaptasi yang dilakukan berkaitan dengan jenis kecacatan anak, kemampuan fisik anak, dan memodifikasi sarana dan prasarana olah raga
C. Belajar dan Pembelajaran 1. Definisi
Belajar adalah proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya (Slameto, 2003).
(56)
Belajar dapat diartikan juga sebagai suatu proses yang kompleks yang terjadi pada semua orang dan berlangsung seumur hidup dan adanya perubahan tingkah laku dalam diri orang tersebut yang menyangkut perubahan yang bersifat pengetahuan (kognitif) dan ketrampilan (psikomotorik) maupun yang menyangkut nilai dan sikap (afektif).
Dalam proses belajar mengajar, akan terjadi interaksi antara peserta didik dan pendidik, yaitu pembelajaran. Pembelajaran adalah suatu proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. (Hargenhahn & Olson, 2008). Peserta didik adalah salah satu komponen manusiawi yang menempati posisi sentral dalam proses belajar mengajar, sedangkan pendidik adalah salah satu komponen manusiawi dalam proses belajar mengajar yang ikut berperan dalam usaha pembentukan sumber daya manusia yang potensial di bidang pembangunan. Mengajar adalah suatu aktivitas mengorganisasi atau mengatur lingkungan sebaik–baiknya dan menghubungkan dengan anak didik, sehingga terjadi proses belajar (Sadiman, 2001).
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi belajar
Belajar sebagai proses atau aktivitas disyaratkan oleh banyak sekali hal-hal atau faktor-faktor. Menurut Suryabrata (2002), faktor-faktor yang mempengaruhi belajar itu ada banyak, dan dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
(1)
Langkah 4
Dinamika Responden I, II dan III
1.
Responden I (LS)
Faktor-faktor Resiko pada Responden I
Hambatan dalam
proses belajar di
kampus
Fasilitas kampus
tidak memadai
Kesulitan mengikuti
pelajaran
Terkendala dalam
mengikuti ujian
Sumber referensi
kurang
Tidak cocok
dengan
teman-teman kampus
Hambatan dalam
pergaulan
Sering menyendiri
dan jarang
berbicara
Merasa kesepian
dan jenuh
(2)
Kompetensi Sosial
Keterampilan
Faktor Internal:
1. Bersedia melayani orang lain, selagi mampu dan tidak memberatkan 2. Menggunakan life skills, termasuk
pengambilan keputusan yang baik, assertivitas, impulse control dan pemecahan masalah
3. Sosiabilitas: mampu untuk menjadi teman, belum mampu untuk membentuk hubungan yang positif
4. Memiliki selera humor yang baik 5. Memiliki external locus of control 6. Mandiri
7. Memiliki sudut pandang yang positif tentang masa depan
8. Memiliki keahlian dalam olahraga, dan tennis meja tuna netra
9. Memiliki perasaan self-worth 10. Kurang percaya diri
Faktor Eksternal:
1. Memiliki ikatan yang baik dengan ayah, dam ikatan yang kuat dengan para teman-teman dan pengurus asrama. Memiliki hubungan baik namun tidak memiliki ikatan yang kuat dengan keluarga inti
2. Menjunjung tinggi pendidikan, memperoleh prestasi akademik yang baik
3. Memiliki gaya interaksi yang baik dengan ayah, terkadang memiliki teman-teman yang
menghakimi
4. Tidak memiliki peraturan rumah yang harus dipatuhi, namun memiliki peraturan yang sangat ketat di asrama. Memiliki tata peraturan di kampus
5. Ayah dan pihak asrama mendorong hubungan yang supportif dengan orang lain, begitu pula pihak kampus
6. Belum ada bentuk konkret yang menunjukkan bahwa kampus dan keluarga mendorong melestarikan tanggung jawab dan rasa saling melayani
7. Keluarga mampu menyediakan kebutuhan dasar rumah tangga dan kesehatan seadanya saja 8. Pihak asrama dan kampus menghargai talenta
unik responden
1. IPK 3,4 di kampus 2. Beasiswa kuliah selama 2
tahun berturut-turut 3. Memenangkan beberapa
lomba dan menerima hadiah uang
1. Mampu memecahkan masalah
2. Berpikir kritis 3. Mengambil inisiatif 4. Melihat masa depan yang cerah pada diri
1. Mampu bermain alat musik
2. Berhasil menambah kemampuan bermain alat musik tradisional 3. baik dalam bidang
olahraga, mis tenis meja tuna netra
Prestasi dan Hasil Akademik
Responden I
(3)
2.
Responden II (ES)
Faktor-faktor Resiko pada Responden II
Hambatan dari pihak
asrama
Hambatan dalam
proses belajar di
kampus
Permasalahan dalam
keluarga
Fasilitas kampus
tidak memadai
Sulit mendapatkan
izin untuk keluar
asraman
Kesulitan dalam
mengerjakan
tugas-tugas tertentu
Tidak mendapatkan
uang saku
Tidak memiliki hubungan
yang harmonis dengan
sang ibu
Tidak memiliki hubungan
yang baik dengan keluarga di
kampung
Ketinggalan dalam
mengerjakan catatan
di kelas
Banyak kebutuhan
diri yang tidak
terpenuhi
Tidak pernah
mendapat dukungan
moril atau materil
dari keluarga
Semangat diri yang
(4)
Kompetensi Sosial
Keterampilan
Faktor Internal:
1. Bersedia melayani orang lain, selagi mampu dan bisa
2. Kurang dapat menggunakan life skills, mampu mengambil keputusan yang baik, assertf, memiliki impulse control dan mampu memecahkan masalah 3. Sosiabilitas: mampu untuk menjadi
teman, malu untuk memulai percakapan, mampu untuk membentuk hubungan yang positif
4. Memiliki selera humor’
5. Memiliki interncal locus of control 6. Belum mandiri
7. Tidak memiliki sudut pandang yang positif tentang masa depan; masih bingung dengan visi misi ke depan 8. Fleksibilitas rendah, kapasitas belajar
tinggi, dan motivasi diri yang rendah 9. Tidak memiliki keahlian. Memiliki hobby
bernyanyi
10. Memiliki perasaan self-worth 11. Kurang percya diri. Masih perlu
mengembangkan rasa percaya dirinya
Faktor Eksternal:
1. Tidak memiliki ikatan emosional sama sekali dengan kedua orang tua. Memiliki ikatan dengan pihak panti dan nenek
2. Kurang menjunjung tinggi pendidikan 3. Kurang memiliki gaya interaksu yang penuh
kehangatan dengna pihak panti. Memiliki interaksi yang baik dengan para teman. Memiliki imteraksi yang buruk dengan ibu 4. Tidak memiliki peraturan rumah yang harus
dipatuhi, namun memiliki peraturan asrama yang sangat ketat. Memiliki tata peraturan di kampus
5. Kampus dan asrama mendorong hubungan yang supportif dengan orang lain
6. Asrama melestarikan rasa tanggung jawab dan saling melayani
7. Asrama menyediakan kebutuhan dasar rumah tangga dan kesehatan bagi responden, namun seadanya saja
1. IPK 3,6 di kampus 2. Berhasil meraih IP diatas 3,5 di setiap semester
1. Mampu memecahkan masalah
2. Mengambil inisiatif
1.
Hobby dalam kegiatan bernyanyi2. Hobby dalam menulis puisi
Prestasi dan Hasil
Akademik Responden II
(5)
3.
Responden III (DD)
Faktor-faktor Resiko pada Responden III
Permasalahan dalam
keluarga
Hambatan dalam
proses belajar di
kampus
Keterbatasan dan sifat
negatif responden
Fasilitas kampus
tidak memadai
Hubungan ayah dan
ibu retak dan telah
berpisah tiga tahun
Kesulitan dalam
mengerjakan
tugas-tugas tertentu
Trauma masa lalu
karena perlakuan
ayah kepada
responden dan
keluarga
Tertutup, sulit untuk
percaya kepada orang lain
Mudah mengeluh dan tidak
suka dengan banyak hal
Menerima penolakan
dari teman dalam hal
membantu
Sering memendam
perasaan
Terkendala
mengerjakan tugas
praktik lapangan
Kepercayaan diri
yang rendah
(6)
Kompetensi Sosial
Keterampilan
Faktor Internal:
1. Bersedia melayani orang lain 2. Menggunakan life skills, termasuk
pengambilan keputusan yang baik, assertif, impulse control dan mampu memecahkan masalah
3. Sosiabilitas: mampu untuk menjadi teman, belum mampu untuk membentuk hubungan yang positif
4. Memiliki selera humor yang tinggi 5. Memiliki internal locus of control 6. Mandiri
7. Memiliki sudut pandang positif tentang masa depan
8. Memiliki sedikit kemampuan memainkan beberapa alat musik 9. Memiliki perasaan self-worth 10. Kurang percaya diri
Faktor Eksternal:
1. Memiliki ikatan yang kuat dengan teman-teman kampus. Kurang dapat menjaga hubungan yang baik dengan keluarga 2. Tidak menjunjung tinggi pendidikan 3. Memiliki interaksi yang baik dengan
teman-teman, memiliki interaksi yang kurang baik dengan ayah dan ibu
4. Tidak memiliki peraturan rumah yang harus dipatuhi, namun memiliki peraturan ketat di asrama dan kampus
5. Pihak asrama, sekolah dan teman-teman mendorong hubungan yang supportif dengan orang lain, namun tidak demikian dengan keluarga
6. Pihak asrama menyediakan segala kebutuhan dasar rumah tangga bagi DD
1. IPK 3,0 di kampus 2. Belum menuntaskan
skripsi 1. Mampu memecahkan
masalah
2. Sangat terbuka dalam menerima pendapat 3. Memiliki keyakinan
serta kehidupan spiritual dan keagamaan
4. Mampu mengambil hikmah dan kebaikan dari segala stress
1. Mampu mengaransemen lagu
2. Memiliki sedikit pengetahuan dalam memainkan alat musik