Gambaran Resiliensi Pada Mahasiswa Univesitas Sumatera Utara dalam Hal Penyalahgunaan Zat

(1)

GAMBARAN RESILIENSI PADA MAHASISWA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

DALAM HAL PENYALAHGUNAAN ZAT

Guna Memenuhi Persyaratan Skripsi Bidang Psikologi Klinis

Oleh :

RISDAWATI PURBA

051301085

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2011


(2)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertandatangan di bawah ini, menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul Gambaran Resiliensi Pada Mahasiswa Univesitas Sumatera Utara dalam Hal Penyalahgunaan Zat adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian- bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari hasil karya orang lain telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, April 2011

Risdawati Purba NIM : 051301085


(3)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji dan syukur peneliti panjatkan kepada Allah SWT karena atas berkat rahmat-Nya, peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam peneliti ucapkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin dan suri tauladan dalam hidup. Skripsi ini berjudul “Gambaran Resiliensi Pada Mahasiswa Universitas Sumatera Utara dalam Hal Penyalahgunaan Zat”.

Skripsi ini disusun untuk memenuhi syarat dalam menempuh ujian akhir guna memperoleh gelar jenjang strata satu (S-1) di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara. Tidak dapat disangkal butuh usaha yang keras, kegigihan, dan kesabaran untuk menyelesaikannya. Selesainya skripsi ini tidak terlepas dari peranan ayah dan ibu yang telah memberikan motivasi yang besar dalam diri peneliti.

Selain dari pengaruh orang tua dan keluarga, peneliti menyadari selesainya skripsi ini tidak terlepas dari peranan berbagai pihak yang turut membantu peneliti dalam penyusunannya. Pada kesempatan ini peneliti ingin mengucapkan terima kasih setulus-tulusnya dan sebesar-besarnya kepada :

1. Ibu Prof. Dr. Irmawati, psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Sri Supriyantini, M.Si, psikolog selaku dosen pembimbing peneliti. Terima kasih untuk semua hal yang telah kakak berikan selama membimbing peneliti. Terima kasih untuk saran, komentar, dukungan, perhatian, kesabaran, dan waktu yang Ibu curahkan kepada peneliti.


(4)

3. Seluruh dosen-dosen yang ada di Fakultas Psikologi USU khususnya di departemen pendidikan. Terima kasih atas dukungan, masukan serta bimbingan yang diberikan kepada peneliti.

4. Seluruh teman yang ada di departemen pendidikan dan teman-teman yang ada di Fakultas Psikologi USU khususnya stambuk 2005 yang membantu dan mendukung peneliti dalam menyelesaikan perkuliahan, terima kasih atas semua bantuan yang kalian berikan.

Sebagai manusia yang masih belajar, peneliti menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, peneliti mengharapkan saran dan kritik dari pembaca demi hasil yang lebih baik. Akhir kata peneliti berharap somoga penelitian skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca sekalian.

Medan, Januari 2010


(5)

DAFTAR ISI

Halaman LEMBAR PERNYATAAN

ABSTRAK

KATA PENGANTAR ……….i

DAFTAS ISI ………...v

DAFTAR TABEL ………...ix

DAFTAR GAMBAR ……….x

BAB I. PENDAHULUAN ………..1

A. Latar Belakang ………..…..1

B. Rumusan Masalah... ………..………...9

C. Tujuan Penelitian ……….……..10

D. Manfaat Penelitian ……….………10

1.Manfaat teoritis ……….……....10

2.Manfaat praktis ……….….…....10

E. Sistematika Penulisan ...11

BAB II. LANDASAN TEORI ……….12

A. Resiliensi... ……….12

1. Definisi Resiliensi...……….……….…...….12

2 .Fungsi Resiliensi....……..………...13


(6)

4. Sumber-sumber Resiliensi...….………..….…23

B. Penyalahgunaan Zat...………....26

1.Definisi Penyalahgunaan Zat...…...26

2. Jenis-jenis Zat...……...27

3 Faktor-faktor yang Menyebabkan Individu Menggunakan Zat..31

C. Gambaran Resiliensi Pada Mahasiswa Universitas Sumatera Utara dalam Hal Penyalahgunaan Zat...35

BAB III. METODE PENELITIAN ………..38

A. Identifikasi Variabel Penelitian ……….38

B. Definisi Operasional ………..38

C. Populasi, Sampel dan Metode pengambilan Sampel...40

D. Alat Ukur yang Digunakan... ………....…41

E. Uji Coba Alat Ukur ………...43

1. Validitas alat ukur ...43

2. Daya beda aitem dan reabilitas alat ukur...44

3. Hasil Uji Coba Alat Ukur ...45

F. Prosedur Pelaksanaan Penelitian ...48

1.Tahap persiapan ...46

2.Tahapan pelaksanaan penelitian ...49

3.Tahapan pengolahan data penelitian ...50


(7)

BAN IV. ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN ………...50

a. Analisa Data ……….….52

1. Gambaran Subjek Penelitian ………..……..52

2. Hasil Utama Penelitian....………...63

3. Hasil Tambahan Penelitian ………...72

4. Pembahasan ...………...76

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ………...80

A. Kesimpulan ………..80

B. Saran ………...81

1. Saran metodologis ………....81

2. Saran praktis ………..…...82

DAFTAR PUSTAKA ………... DAFTAR LAMPIRAN………..


(8)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Kategori Norma Nilai Resiliensi...42

Tabel 2. Blue-print skala resiliensi sebelum uji coba...46

Tabel 3. Blue-print Skala Resiliensi Setelah Uji Coba...47

Tabel 4. Blue-Print Skala Resiliensi Untuk Penelitian...48

Tabel 5. Penyebaran Subjek Berdasarkan Usia...52

Tabel 6. Penyebaran subjek penelitian berdasarkan usia...53

Tabel 7. Penyebaran Subjek Penelitian Berdasarkan Status Pengguna dan Bukan Pengguna Zat...54

Tabel 8. Penyebaran Subjek Penelitian Pengguna Zat Berdasarkan Jenis Kelamin...55

Tabel 9. Penyebaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Zat yang Digunakan...56

Tabel 10. Gambaran frekuensi penggunaan Nikotin (rokok)...58

Tabel 11. Gambaran Frekuensi Penggunaan Alkohol...59

Tabel 12. Gambaran frekuensi penggunaan ganja...60

Tabel 13. Gambaran Frekuensi Penggunaan Shabu-shabu...61

Tabel 14. Gambaran frekuensi penggunaan ekstasi dan debu malaikat...62

Tabel 15. Uji Normalitas Sebaran One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test...64

Tabel 16. Gambaran Skor Minimum, Skor Maksimum, Mean, dan Standar Deviasi Resiliensi Mahasiswa...64

Tabel 17. Kategorisasi Norma Nilai Resiliensi...65

Tabel 18. Analisis Deskriptif Aspek-aspek Resiliensi...66

Tabel 19. Kategorisasi Resiliensi Pada Mahasiswa Universitas Sumatera Utara dalam Hal Penyalahgunaan Zat terhadap Aspek-aspek Resiliensi...67

Tabel 20. Analisa Deskriptif Berdasarkan Jenis Kelamin...72

Tabel 21. Kategorisasi Resiliensi Pada Mahasiswa Universitas Sumatera Utara dalam Hal Penyalahgunaan Zat berdasarkan Jenis Kelamin...73 Tabel 22. Analisa Deskriptif Berdasarkan status Pengguna atau Bukan


(9)

Pengguna Zat...74 Tabel 23. Kategorisasi Resiliensi Pada Mahasiswa Universitas Sumatera

Utara dalam Hal Penyalahgunaan Zat berdasarkan Status Pengguna atau Bukan Pengguna Zat...74 Tabel 24. Alasan Mahasiswa Menggunakan Zat...75


(10)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Jenis Kelamin Subjek Penelitian...53

Gambar 2. Usia Subjek Penelitian...54

Gambar 3. Status Subjek Penelitian Pengguna dan Bukan Pengguna Zat...55

Gambar 4. Jenis Kelamin Subjek Pengguna Zat...56

Gambar 5. Jenis Zat yang Digunakan...57

Gambar 6. Frekuensi Penggunaan Rokok...58

Gambar 7. Frekuensi Pengunaan Alkohol...59

Gambar 8. Frekuensi penggunaan Ganja...60

Gambar 9. Frekuensi Penggunaan Shabu-shabu...61

Gambar 10. Frekuensi penggunaan ekstasi dan debu malaikat...62

Gambar 11. Penggolongan Resiliensi Mahasiswa...65

Gambar 12. Resiliensi Pada Mahasiswa Universitas Sumatera Utara terhadap Aspek Pengaturan Emosi...68

Gambar 13. Resiliensi Pada Mahasiswa Universitas Sumatera Utara terhadap Aspek Impulse Kontrol...69

Gambar 14. Resiliensi Pada Mahasiswa Universitas Sumatera Utara terhadap Aspek Optimisme...69

Gambar 15. Resiliensi Pada Mahasiswa Universitas Sumatera Utara terhadap Aspek Causal Analysis...70

Gambar 16. Resiliensi Pada Mahasiswa Universitas Sumatera Utara terhadap Aspek Empati...70

Gambar 17. Resiliensi Pada Mahasiswa Universitas Sumatera Utara terhadap Aspek Efikasi Diri...71

Gambar 18. Resiliensi Pada Mahasiswa Universitas Sumatera Utara terhadap Aspek Reaching Out...71


(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Skala Resiliensi Sebelum Uji coba

Lampiran 2 : Skala Resiliensi Setrelah Uji coba Lampiran 3 : Data Try Out

Lampiran 4 : Data Penelitian


(12)

Gambaran Resiliensi Pada Mahasiswa Universitas Sumatera Utara dalam Hal Penyalahgunaan Zat

RISDAWATI PURBA ABSTRAK

Siswa diharapkan dapat menjadi individu yang tidak hanya memiliki prestasi akademik yang baik tetapi juga berakhlak mulia, sesuai dengan tujuan pendidikan Nasional. Pada umumnya, sekolah hanya lebih fokus pada masalah prestasi akademik siswa dibandingkan dengan masalah akhlak dan pengendalian diri siswa Hal ini menimbulkan ketidakseimbangan diantara prestasi akademik dan akhlak/ pengendalian diri. Melatih siswa untuk mengikuti dan menuruti aturan di sekolah adalah salah satu cara untuk memecahkan masalah ketidakseimbangan ini. Maka dari itu, perlu ditanamkannya kedisiplinan dalam diri siswa Dalam hal ini kedisiplinan merupakan sikap atau perilaku yang menggambarkan kepatuhan kepada suatu aturan atau ketentuan. Dengan adanya kedisiplinan diharapkan anak didik dapat mentaati peraturan sekolah sehingga proses belajar mengajar berjalan dengan lancar dan memudahkan pencapaian tujuan pendidikan. Anak didik perlu dibimbing atau ditunjukkan mana perbuatan yang melanggar tata tertib dan mana perbuatan yang menunjang terlaksananya proses belajar mengajar dengan baik. Siswa akan dapat bertindak dengan tepat sesuai dengan kemampuan yang ada pada dirinya dengan mengenal diri sendiri. Namun demikian tidak semua siswa mampu mengenal segala kemampuan dirinya. Mereka ini memerlukan bantuan orang lain agar dapat mengenal diri sendiri, lengkap dengan segala kemampuan yang dimilikinya, dan bantuan ini dapat diberikan melalui layanan Bimbingan Konseling (BK) di sekolah.

Penelitian ini merupakan penelitian dekriptif yang bertujuan untuk melihat gambaran kedisiplinan siswa SMAN 14 Medan yang menggunakan layanan BK di sekolah. Jumlah subjek dalam penelitian ini adalah sebanyak 164 orang. Subjek dalam penelitian ini adalah seluruh siswa SMA Negeri 14 Medan yang pernah, walaupun hanya sekali, mempergunakan layanan bimbingan konseling yang ada di sekolah. Alat ukur yang digunakan berupa skala kedisiplinan yang dibuat sendiri oleh peneliti berdasarkan aspek-aspek disiplin yang dikemukakan oleh Prijodarminto (1994) yaitu pemahaman, sikap mental, dan perilaku. Skala yang dibuat dalam penelitian ini terdiri dari 38 aitem. Uji validitas dengan analisis rasional atau lewat professional judgement dalam proses telaah soal skala. Untuk mengukur reliabilitas alat ukur dalam penelitian ini dengan menggunakan teknik koefisien alpha Cronbach dengan daya beda aitem rix ≥ 0,275.

Data yang diolah dalam penelitian ini yaitu skor minimum, skor maksimum, mean, dan standar deviasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada umumnya kedisiplinan siswa SMAN 14 Medan yang menggunakan layanan BK di sekolah berada pada kategori tinggi (mean empirik 115,48 > mean hipotetik 95) dengan kategori sebagai berikut, siswa yang kedisiplinannya tergolong tinggi sebanyak 99 orang (60,36%), kedisiplinan siswa yang tergolong sedang 61 orang (37,2%), dan kedisiplinan siswa yang tergolong rendah sebanyak 4 orang (2,43 %).


(13)

Description of Resilience on collage student of Uiversitas Sumatera Utara for substance abuse

Risdawati Purba ABSTRACT

Students are expected to be individuals who not only have good academic achievement but also noble, in accordance with national education goals. In general, schools focus more on the problem of student academic achievement compared to the problem of morality and self-control students. This has led to an imbalance between academic achievement and character / self-control. Train students to follow and obey the rules at school is one way to solve this imbalance problem. Therefore, it should be embedded in student discipline. In this discipline is an attitude or behavior that illustrate compliance with any rules or regulations. With the discipline students are expected to discipline themselves to keep the rules in school so that the learning process went smoothly and facilitate the achievement of educational goals. Students are shown need to be guided or where acts that violate the rules and where acts that support the implementation of the learning process well. Students will be able to act appropriately in accordance with existing capabilities on himself by knowing oneself. However, not all students are able to recognize all her abilities. They need the help of others in order to know yourself, complete with all the capabilities it possesses, and this assistance can be provided through the guidance and counselling service in school.

This research is aimed descriptif to see description of SMAN 14 Medan discipline students who use BK. The number of subjects in this study were as many as 164 people. Subjects in this study are all students of SMA Negeri 14 Medan ever, even if only once, use guidance and counselling service in the school. Measuring instruments used in the form of discipline scale made by researcher based on aspects of the discipline proposed by Prijodarminto (1994), namely comprehension, mental attitude, and behavior. Scale made in this study consisted of 38 aitem. Test validity by rational analysis or through professional judgment in the process of review questions scales. To measure the reliability of measurement in this study using Cronbach alpha coefficient technique with different power aitem ix r ≥ 0.275.

The data are processed in this study is the minimum score, maximum score, mean, and standard deviation. The results of this study show that in general discipline Medan 14 high school students who use the guidance and counselling service in school are at high category (empiric mean 115.48> hypothetyc mean 95) with the following categories, students with discipline is high as many as 99 people (60.36%), discipline students who are classified as being 61 people (37.2%), and a low discipline many as 4 people (2.43%).


(14)

Gambaran Resiliensi Pada Mahasiswa Universitas Sumatera Utara dalam Hal Penyalahgunaan Zat

RISDAWATI PURBA ABSTRAK

Siswa diharapkan dapat menjadi individu yang tidak hanya memiliki prestasi akademik yang baik tetapi juga berakhlak mulia, sesuai dengan tujuan pendidikan Nasional. Pada umumnya, sekolah hanya lebih fokus pada masalah prestasi akademik siswa dibandingkan dengan masalah akhlak dan pengendalian diri siswa Hal ini menimbulkan ketidakseimbangan diantara prestasi akademik dan akhlak/ pengendalian diri. Melatih siswa untuk mengikuti dan menuruti aturan di sekolah adalah salah satu cara untuk memecahkan masalah ketidakseimbangan ini. Maka dari itu, perlu ditanamkannya kedisiplinan dalam diri siswa Dalam hal ini kedisiplinan merupakan sikap atau perilaku yang menggambarkan kepatuhan kepada suatu aturan atau ketentuan. Dengan adanya kedisiplinan diharapkan anak didik dapat mentaati peraturan sekolah sehingga proses belajar mengajar berjalan dengan lancar dan memudahkan pencapaian tujuan pendidikan. Anak didik perlu dibimbing atau ditunjukkan mana perbuatan yang melanggar tata tertib dan mana perbuatan yang menunjang terlaksananya proses belajar mengajar dengan baik. Siswa akan dapat bertindak dengan tepat sesuai dengan kemampuan yang ada pada dirinya dengan mengenal diri sendiri. Namun demikian tidak semua siswa mampu mengenal segala kemampuan dirinya. Mereka ini memerlukan bantuan orang lain agar dapat mengenal diri sendiri, lengkap dengan segala kemampuan yang dimilikinya, dan bantuan ini dapat diberikan melalui layanan Bimbingan Konseling (BK) di sekolah.

Penelitian ini merupakan penelitian dekriptif yang bertujuan untuk melihat gambaran kedisiplinan siswa SMAN 14 Medan yang menggunakan layanan BK di sekolah. Jumlah subjek dalam penelitian ini adalah sebanyak 164 orang. Subjek dalam penelitian ini adalah seluruh siswa SMA Negeri 14 Medan yang pernah, walaupun hanya sekali, mempergunakan layanan bimbingan konseling yang ada di sekolah. Alat ukur yang digunakan berupa skala kedisiplinan yang dibuat sendiri oleh peneliti berdasarkan aspek-aspek disiplin yang dikemukakan oleh Prijodarminto (1994) yaitu pemahaman, sikap mental, dan perilaku. Skala yang dibuat dalam penelitian ini terdiri dari 38 aitem. Uji validitas dengan analisis rasional atau lewat professional judgement dalam proses telaah soal skala. Untuk mengukur reliabilitas alat ukur dalam penelitian ini dengan menggunakan teknik koefisien alpha Cronbach dengan daya beda aitem rix ≥ 0,275.

Data yang diolah dalam penelitian ini yaitu skor minimum, skor maksimum, mean, dan standar deviasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada umumnya kedisiplinan siswa SMAN 14 Medan yang menggunakan layanan BK di sekolah berada pada kategori tinggi (mean empirik 115,48 > mean hipotetik 95) dengan kategori sebagai berikut, siswa yang kedisiplinannya tergolong tinggi sebanyak 99 orang (60,36%), kedisiplinan siswa yang tergolong sedang 61 orang (37,2%), dan kedisiplinan siswa yang tergolong rendah sebanyak 4 orang (2,43 %).


(15)

Description of Resilience on collage student of Uiversitas Sumatera Utara for substance abuse

Risdawati Purba ABSTRACT

Students are expected to be individuals who not only have good academic achievement but also noble, in accordance with national education goals. In general, schools focus more on the problem of student academic achievement compared to the problem of morality and self-control students. This has led to an imbalance between academic achievement and character / self-control. Train students to follow and obey the rules at school is one way to solve this imbalance problem. Therefore, it should be embedded in student discipline. In this discipline is an attitude or behavior that illustrate compliance with any rules or regulations. With the discipline students are expected to discipline themselves to keep the rules in school so that the learning process went smoothly and facilitate the achievement of educational goals. Students are shown need to be guided or where acts that violate the rules and where acts that support the implementation of the learning process well. Students will be able to act appropriately in accordance with existing capabilities on himself by knowing oneself. However, not all students are able to recognize all her abilities. They need the help of others in order to know yourself, complete with all the capabilities it possesses, and this assistance can be provided through the guidance and counselling service in school.

This research is aimed descriptif to see description of SMAN 14 Medan discipline students who use BK. The number of subjects in this study were as many as 164 people. Subjects in this study are all students of SMA Negeri 14 Medan ever, even if only once, use guidance and counselling service in the school. Measuring instruments used in the form of discipline scale made by researcher based on aspects of the discipline proposed by Prijodarminto (1994), namely comprehension, mental attitude, and behavior. Scale made in this study consisted of 38 aitem. Test validity by rational analysis or through professional judgment in the process of review questions scales. To measure the reliability of measurement in this study using Cronbach alpha coefficient technique with different power aitem ix r ≥ 0.275.

The data are processed in this study is the minimum score, maximum score, mean, and standard deviation. The results of this study show that in general discipline Medan 14 high school students who use the guidance and counselling service in school are at high category (empiric mean 115.48> hypothetyc mean 95) with the following categories, students with discipline is high as many as 99 people (60.36%), discipline students who are classified as being 61 people (37.2%), and a low discipline many as 4 people (2.43%).


(16)

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang

Mahasiswa sebagai penerus bangsa dituntut untuk berperan aktif, menjadi individu-individu yang tangguh dan kompeten di bidangnya masing-masing, sehingga dapat mendukung pembangunan bangsa. Hal ini juga berlaku bagi mahasiswa di lingkungan Universitas Sumatera Utara. Oleh karena itu, mahasiswa Universitas Sumatera Utara harus membekali dirinya dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang memadai. Selain mengisi waktunya dengan belajar, mahasiswa juga perlu bersosialisasi. Menurut Waiten & Llyod (2006) sosialisasi adalah proses pembelajaran norma dan peran yang diharapkan dari individu pada masyarakat tertentu. Muchinsky (2003) menyatakan bahwa dalam sosialisasi terdapat proses penyesuaian diri yang menghasilkan perubahan dalam hubungan antara individu dan kelompoknya.

Kegiatan sosialisasi tersebut tidak jarang menjadi bomerang bagi mahasiswa, karena secara tidak sadar ajang sosialisai ini sering menjadi jembatan bagi mahasiswa untuk terjerumus pada hal-hal negatif, seperti misalnya penyalahgunaan zat. Hasil survey Badan Narkotika Nasional tahun 2009 menunjukkan bahwa prevalensi penyalalahgunaan zat (khususnya obat-obatan) di kalangan mahasiswa dan pelajar adalah 4,7% atau sekitar 921.695 orang.

Transisi seseorang dari SMA kemudian masuk ke dunia kampus atau menjadi seorang mahasiswa dapat menimbulkan stres bagi individu tersebut. Mereka yang biasanya tinggal bersama dengan keluarga, budaya yang dianut sejak


(17)

kecil, bahasa sehari-hari, dan dengan komunitasnya, harus pindah ke lingkungan yang baru, jauh dari keluarga, bergabung dengan budaya baru yang mereka belum tahu aturan yang terdapat di dalamnya, yang akan mereka dapati di tempat tinggal yang baru tersebut. Ditambah lagi mereka harus meninggalkan lingkungan akademisnya, dimana mereka telah sukses, dan kemudian bergabung dengan komunitas pelajar yang baru, yang menuntut skill akademik dan dasar pengetahuan yang sangat berbeda dengan apa yang mereka jalani di SMA (Magolda dalam Mc.Gillin, 2003).

Remaja yang biasanya tinggal di rumah bersama dengan keluarga, memiliki kamar sendiri, tempat tidur, serta kebiasaan mereka dalam hal makan dan waktu tidur. Pada saat remaja tersebut mengalami transisi menuju dewasa awal dan menjadi mahasiswa, mereka akan tinggal jauh dari rumah. Mereka akan kehilangan aturan yang biasa mereka jalankan di rumah, berganti dengan aturan baru yang mereka belum tahu jelas bagaimana aturan tersebut berjalan. Mereka juga kehilangan dukungan dari teman atau dari pacar. Sehingga membuat mereka harus mencari teman yang baru (Pittman dalam Mc.Gillin, 2003). Hal tersebut tentunya memberi tekanan terhadap mahasiswa. Sehingga menuntut mereka untuk mencari kelompok yang baru. Presley, Leichliter, & Meilman (1999) mengatakan bahwa hasil survey nasional terhadap penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan terlarang pada tahun pertama masa perkuliahan adalah dikarenakan faktor stres yang dialami oleh mahasiswa tersebut, sehingga mereka menggunakan alkohol dan narkoba untuk mencari dan membangun dukungan sosial dengan teman (dalam Mc.Gillin, 2003).


(18)

Anak muda atau remaja cenderung untuk mengadaptasi sikap dan perilaku dari teman sebayanya, walaupun dalam universitas dipisahkan oleh fakultas-fakultas, administrasi, dan kurikulum yang menekankan individualitas, tetap saja dalam hal penggunaan alkohol dan narkoba remaja terlihat sangat dipengaruhi oleh teman sebayanya (Kendals, 1980). Walaupun dalam beberapa hal pengaruh dari teman sebaya dan orangtua relatif bervariasi, tetapi dalam hal penggunaan narkoba teman sebaya sangat berpengaruh besar (Kandels, dalam Perkins 2002).

Penelitian yang dilakukan pada mahasiswa menunjukkan bahwa, mereka yang cenderung untuk menggunakan alkohol dan narkoba sangat dekat kaitannya dengan teman yang juga adalah pengguna dibandingkan dengan pengaruh dari keluarga (Perkins, 2002).

Hal ini dapat dilihat dari hasil komunikasi personal dengan Koki dan Firman (bukan nama sebenarnya) dua mahasiswa yang menjadi pengguna narkoba, seperti dibawah ini:

“Pertama kali make sih, dapat dari teman, ditawarin pas lagi ngumpul-ngumpul.”

(Komunikasi Personal, 8 September 2010)

“Pas lagi kemah waktu SMA, terus disuruh nyoba sama teman. Kan segan kalo nolak. Trus takut dibilang gak gaullah”

(Komunikasi Personal, 13 September 2010)

Selain alasan di atas, remaja menggunakan obat-obat terlarang dengan berbagai alasan lain. Wills et al ( dalam Zimmerman, 2005) dalam penelitiannya menemukan bahwa remaja akan merasa senang, tertarik, dan rileks atas masalah yang mereka hadapi setelah merokok, minum minuman keras, dan menggunakan


(19)

obat-obat terlarang. Dillon et al, (2007) melalui penelitan yang mereka lalukan, mengungkapkan beberapa alasan mengapa seseorang menggunakan obat-obat terlarang. Remaja biasanya menggunakan obat-obat terlarang karena hal-hal berikut : untuk keluar dari masalah, menghilangkan kebosanan, merasa nyaman, menghilangkan rasa sakit, lebih semangat, keingintahuan (coba-coba), serta tekanan dari teman sebaya.

Hal di atas didukung oleh komunikasi personal dengan Akil (bukan nama sebenarnya) seorang mahasiswa laki-laki berusia 20 tahun pengguna obat-obat terlarang, seperti dibawah ini :

“ya awalnya sih coba-coba, tapi lama-lama jadi enak, bisa enjoy, lupa dengan masalah, kayanya semua beban lepas. Pokoknya enaklah”

(Komunikasi personal 5 Oktober 2010)

Sama dengan Akil, Eka (bukan nama sebenarnya) seorang mahasiswa perempuan berusia 21 tahun pengguna narkoba, mengungkapkan alasannya menggunakan obat-obat terlarang seperti berikut:

“Awalnya sih dari teman, terus pas udah make, aku rasa enak, bisa lebih semangat aja, terus ngilangin pikiranlah kalo lagi banyak masalah.”

(Komunikasi Personal 13 Oktober 2010)

Penggunaan zat jenis apapun bukan tanpa resiko. Hawari (2005), menjelaskan bahwa semua zat yang termasuk narkoba dapat menimbulkan adiksi (ketagihan) yang pada gilirannya berakibat pada ketergantungan. Individu yang berada dalam kondisi ketergantungan tidak hanya mengalami ketergantungan secara fisik akan tetapi juga psikologis.

Mereka yang mengkonsumsi narkoba jenis amphetamin (Psikotropika golongan I), misalnya pil ekstasi (ditelan) atau shabu-shabu (dengan cara dihirup)


(20)

akan mengalami gejala fisik sebagai berikut : jantung berdebar-debar, pupil mata melebar, tekanan darah naik, keringat berlebihan atau kedinginan, serta mual dan muntah ( Hawari 2005). Individu yang mulai mengunakan narkoba pada usia 20-an ak20-an mengalami kesehat20-an y20-ang s20-angat buruk secara umum 10 tahun kemudi20-an (Chen, Scheier, & Kandel 1996 dalam Sarafino 2002).

Menurut Badan Narkotika Nasional (2004), dampak psikologis dan sosial dari pecandu narkoba diantaranya adalah: suka berbohong, emosi tidak terkendali, tidak bertanggungjawab, hubungan dengan teman dan keluarga terganggu, dikucilkan, tidak perduli dengan norma, menghindari komunikasi, dan cenderung untuk melakukan tindak pidana.

Selain hal-hal di atas masih terdapat berbagai hal lain yang menjadi efek buruk dari pemakaian narkoba tersebut pada kalangan mahasiswa. Antara lain adalah semakin maraknya seks bebas dan aborsi. Seperti yang diungkapkan oleh Sa’abah (dalam Prasetyo, 2008), mereka melakukan hubungan sekejap saja atau disebut one night stand karena pengaruh dari minuman keras, narkoba, saling membutuhkan dan juga ketagihan. Contohnya saja di diskotik “FN”, salah satu diskotik dijakarta yang pengunjungnya kebanyakan wanita terjadi transaksi seks dengan narkoba, seperti “inex” dan “putaw”.

Penyalahgunaan narkoba sendiri secara biologis dapat mempengaruhi fungsi seksual. Ada beberapa jenis narkoba yang dapat merangsang nafsu seksual. Kokain, mariyuana adalah perangsang seksual, amfetamin dapat meningkatkan reaksi seksual bila digunakan dalam dosis rendah, (Master dkk, dalam Prasetyo, 2008). Temuan tersebut dapat diartikan bahwa para penyalahguna ketiga jenis


(21)

narkoba tersebut akan cenderung untuk melampiaskan nafsu seksualnya setelah memakai narkoba (Prasetyo, 2008).

Terdapat banyak hal yang telah dilakukan untuk pencegahan penggunaan narkoba. Termasuk pemberian edukasi terhadap mahasiswa tentang jenis-jenis narkoba, efek dari penggunaannya, dan pengaruhnya terhadap kesehatan. Banyak pengguna yang bersemangat untuk mendengarkannya, tetapi hal ini tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap penurunan penggunaan narkoba (Tobler, 1986).

Tentu saja, tidak semua mahasiswa di kampus atau mahasiswa yang tinggal bersama dengan mahasiswa lain, akan berpikir untuk menggunakan narkoba. Disamping pengaruh dari lingkungan tempat tinggal, keluarga, agama, dan latar belakang sosial, mahasiswa akan berinteraksi dengan mahasiswa lain dan grup-grup lain, yang sangat bervariasi dalam komposisi dan gaya hidup. Pengaruh teman sebaya tidak selalu menjadi hal yang negatif. Tekanan dari teman sebaya untuk menggunakan narkoba atau tidak, tergantung pada posisi seseorang dalam kelompok, atau orientasinya berada di kelompok tersebut (Oetting & Beauvais, dalam Perkins, 2002).

Dari sekian banyak mahasiswa yang terhanyut dalam narkoba, masih banyak juga mahasiswa yang bertahan untuk tidak sama sekali bersentuhan dengan narkoba. Dillon et all (2007), dalam penelitiannya menemukan bahwa masih banyak remaja yang duduk di bangku SMA dan Universitas, yang memiliki akses untuk memperoleh narkoba, tetapi sama sekali tidak pernah mencoba atau bersentuhan dengan barang haram tersebut. Hal tersebut dapat dilihat dari ilustrasi


(22)

salah satu sampel penelitian Dillon, yang menolak untuk mengunakan narkoba seperti berikut :

“Katie is 19 and has been offered canabis at parties by her boyfriend’s friends ‘several times’. She has always said no because she has been ‘brought up not to use drugs’...”

Terdapat beberapa alasan kenapa orang tidak mau menggunakan narkoba yakni sebagai berikut : dikucilkan jika menggunakan narkoba, tidak mau melanggar hukum, aturan orang tua, karir masa depan, waktu, uang, pengalaman menggunakan narkoba, kondisi kesehatan, takut kehilangan kontrol, takut ketergantungan serta adanya dukungan untuk tidak menggunakan narkoba (Dillon et al, 2007)

Jessor dan Jessor (dalam Dilon, 2007), mengatakan bahwa perilaku untuk menolak dan membuat keputusan untuk tidak menggunakan narkoba, meskipun dengan ketersediaan akses yang cukup mudah untuk mendapatkannya, dikatakan sebagai resiliensi. Resiliensi merupakan aksi atau tindakan untuk menjadi resilient. Resiliensi bukanlah suatu hal yang permanen, tetapi setiap orang dapat meningkatkan resiliensinya.

Resiliensi adalah proses mengatasi efek negatif dari resiko yang ada, berhasil mengatasi pengalaman traumatik dan menghindari dampak negatif terkait resiko (Fergus & Zimmerman, 2005). Masten, Best, dan Garmezy (dalam Chen & George, 2005) mendefinisikan resiliensi sebagai sebuah proses, kemampuan seseorang, atau hasil dari adaptasi yang berhasil meskipun berhadapan dengan situasi yang mengancam.


(23)

Setiap orang membutuhkan resiliensi. Penelitian ilmiah yang telah dilakukan lebih dari 50 tahun, telah membuktikan bahwa resiliensi adalah kunci dari kesuksesan kerja dan kepuasan hidup (Reivich & Shatte, 2002). Resiliensi yang dimiliki oleh seorang individu, mempengaruhi kinerja individu tersebut baik di lingkungan sekolah maupun lingkungan kerja, memiliki efek terhadap kesehatan individu tersebut secara fisik maupun mental, serta menentukan keberhasilan individu tersebut dalam berhubungan dan berinteraksi dengan lingkungannya. Semua hal tersebut adalah faktor-faktor dasar dari tercapainya kebahagiaan dan kesuksesan hidup seseorang (Reivich & Shatte, 2002).

Mc.Gillin (2003) menunjukkan bahwa lebih dari 15 tahun penelitian di bidang kesehatan mental fokus pada suatu grup individu yang diberi label “resilien”. Dalam pendidikan tinggi, individu yang resilien adalah individu yang sukses dalam hal akademik serta dalam menghadapi stres, walaupun mereka dihadapkan pada faktor resiko.

Master, Best, dan Garmezy (1990) menunjukkan tiga definisi dari seorang individu yang dikatakan resilien, yaitu: pertama, individu yang berhasil keluar dari rintangan; kedua, individu yang berhasil mengatur kesehatan walaupun berhadapan dengan tingkat stres yang tinggi; ketiga, individu yang pulih dari spesifik trauma (dalam Mc.Gillin, 2003).

Elemen yang tersimpan dalam ketiga defenisi diatas adalah hadirnya “protective factor” yang membantu sesorang untuk sukses. Protective factor bekerja untuk mengurangi efek negatife dari stres yang dialami. Contohnya: adalah hasil dari pengalaman yang positif sebagai salah satu tipe dari protective


(24)

factor, serta self esteem dan self efficacy dari mahasiswa akan menjadi penguat. Protective factor yang lain adalah adanya faktor skill dalam menghadapi masa transisi tersebut (Cumming, Davies & Campbell dalam Mc.Gillin, 2003).

Penelitian menunjukkan bahwa mahasiswa yang resilien adalah mahasiswa yang berhasil keluar dari masalah-masalah yang dihadapi dan sukses dalam menjalani masa studinya. Serta menganggap masalah tersebut adalah bagian dari tantangan masa studinya, dan bukan hal yang harus dijadikan alasan untuk terpuruk (Gore & Eckenrode dalam Mc.Gillin 2003)

Dari penjelasan diatas maka peneliti memandang bahwa, mahasiswa dalam menjalani kehidupan sehari-hari, baik dalam hal akademis dan sosialisai membutuhkan resiliensi untuk bisa sukses dalam hidupnya. Untuk memperoleh kesuksesan tentu bukanlah hal yang mudah, mahasiswa harus dihadapkan kepada situasi yang belum tentu menyenangkan atau menguntungkan bagi dirinya, termasuk dalam hal penggunaan narkona dikalangan mahasiswa itu sendiri.

Berdasarkan uraian diatas maka peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian tentang Gambaran Resiliensi Pada Mahasiswa Universitas Sumatera Utara dalam Hal Penyalahgunaan Zat.

B. Perumusan Masalah

Untuk memudahkan penelitian, maka perlu dirumuskan masalah apa yang menjadi fokus penelitian. Dalam hal ini peneliti mencoba merumuskan masalah penelitian dalam bentuk pertanyaan penelitian yaitu, bagaimanakah


(25)

gambaran resiliensi pada mahasiswa Universitas Sumatera Utara dalam hal penyalahgunaan narkoba?

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan permasalahan dalam penelitian ini, maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat dan mengetahui gambaran resiliensi pada mahasiswa Universitas Sumatera Utara dalam hal penyalahgunaan Zat.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang ingin didapatkan dari penelitian ini antara lain adalah:

1. Manfaat Teoritis

a. Menambah khasanah dalam pembelajaran mengenai gambaran resiliensi pada mahasiswa Universitas Sumatera Utara dalam hal penyalahgunaan zat dan memberi sumbangan bagi ilmu psikologi khususnya Psikologi Klinis.

b. Menjadi acuan bagi penelitian lanjutan bagi pihak-pihak yang tertarik untuk meneliti resiliensi pada mahasiswa Universitas Sumatera Utara dalam hal penyalahgunaan zat.

2. Manfaat Praktis

a. Memberikan wacana dan informasi tentang fenomena penyalahgunaan Zat dikalangan mahasiswa.


(26)

E. Sistematika Penulisan

Penelitian ini dibagi atas lima bab dan masing-masing bab dibagi atas beberapa sub bab. Sistematika penulisan penelitian ini dirancang dengan susunan sebagai berikut :

Bab I : Pendahuluan

Bab ini terdiri dari latar belakang pemilihan masalah yang hendak diteliti. Tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II : Landasan Teori

Bab ini menguraikan landasan teori yang mendasari masalah yang menjadi objek penelitian.

Bab III : Metodologi Penelitian

Bab ini menguraikan identifikasi variabel, defenisi operasional variabel, metode pengambilan sampel, alat ukur yang digunakan, uji daya beda item dan reliabilitas alat ukur, serta metode analisa data yang digunakan untuk mengolah hasil data penelitian.

Bab IV : Analisa dan Interpretasi Data Hasil Penelitian

Bab ini membahas tentang interpretasi hasil dan analisis data-data sebagai hasil penelitian sesuai dengan tinjauan teoritis yang digunakan.

Bab V : Kesimpulan dan Saran

Bab ini terdiri dari kesimpulan dari pembahasan terhadap hasil penelitian dan syarat-syarat untuk perbaikan penelitian selanjutnya.


(27)

BAB II

LANDASAN TEORI A. RESILIENSI

1. Definisi Resiliensi

Resiliensi merupakan gambaran dari proses dan hasil kesuksesan beradaptasi dengan keadaan yang sulit atau pengalaman hidup yang sangat menantang, terutama keadaan dengan tingkat stres yang tinggi atau kejadian-kejadian traumatis (O’Leary, 1998; O’Leary & Ickovics, 1995; Rutter, 1987). Menurut Reivich. K dan Shatte. A yang dituangkan dalam bukunya “The Resiliency Factor” menjelaskan resiliensi adalah kemampuan untuk mengatasi dan beradaptasi terhadap kejadian yang berat atau masalah yang terjadi dalam kehidupan. Bertahan dalam keadaan tertekan, dan bahkan berhadapan dengan kesengsaraan (adversity) atau trauma yang dialami dalam kehidupannya (Reivich. K & Shatte. A, 2002 ).

Menurut Jackson (2002) resiliensi adalah kemampuan individu untuk dapat beradaptasi dengan baik meskipun dihadapkan dengan keadaan yang sulit. Dalam ilmu perkembangan manusia, resiliensi memilki makna yang luas dan beragam, mencakup kepulihan dari masa traumatis, mengatasi kegagalan dalam hidup, dan menahan stres agar dapat berfungsi dengan baik dalam mengerjakan tugas sehari-hari. Dan yang paling utama, resiliensi itu berarti pola adaptasi yang positif atau menunjukkan perkembangan dalam situasi sulit (Masten & Gewirtz, 2006).


(28)

Resiliensi dipandang oleh para ahli sebagai kemampuan untuk bangkit kembali dari situasi atau peristiwa yang traumatis. Siebert (2005) dalam bukunya The Resiliency Advantage memaparkan bahwa yang dimaksud dengan resiliensi adalah kemampuan untuk mengatasi dengan baik perubahan hidup pada level yang tinggi, menjaga kesehatan di bawah kondisi penuh tekanan, bangkit dari keterpurukan, mengatasi kemalangan, merubah cara hidup ketika cara yang lama dirasa tidak sesuai lagi dengan kondisi yang ada, dan menghadapi permasalahan tanpa melakukan kekerasan.

Menurut Grotberg (1999) resiliensi adalah kemampuan manusia untuk menghadapi, mengatasi, dan menjadi kuat atas kesulitan yang dialaminya. Grotberg mengatakan bahwa resiliensi bukanlah hal magic dan tidak hanya ditemui pada orang-orang tertentu saja dan bukan pemberian dari sumber yang tidak diketahui.

Dari berbagai pengertian resiliensi yang telah dipaparkan dapat disimpulkan bahwa resiliensi adalah kemampuan seseorang untuk bertahan dan tidak menyerah pada keadaan-keadaan yang sulit dalam hidupnya, serta berusaha untuk belajar dan beradaptasi dengan keadaan tersebut dan kemudian bangkit dari keadaan tersebut dan menjadi lebih baik.

2. Fungsi resiliensi

Penelitian tentang resiliensi hanya mencakup bidang yang kecil dan digunakan oleh beberapa profesional seperti psikolog, psikiater, dan sosiolog.


(29)

Penelitian mereka berfokus pada anak-anak, dan mengungkapkan kepada kita tentang karakteristik orang dewasa yang resilien (Reivich. K & Shatte. A, 2002).

Sebuah penelitian telah menyatakan bahwa manusia dapat menggunakan resiliensi untuk hal-hal berikut ini (dalam Reivich & Shatte, 2002):

a. Overcoming

Dalam kehidupan terkadang manusia menemui kesengsaraan, masalah-masalah yang menimbulkan stres yang tidak dapat untuk dihindari. Oleh karenanya manusia membutuhkan resiliensi untuk menghindar dari kerugian-kerugian yang menjadi akibat dari hal-hal yang tidak menguntungkan tersebut. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menganalisa dan mengubah cara pandang menjadi lebih positif dan meningkatkan kemampuan untuk mengontrol kehidupan kita sendiri. Sehingga, kita dapat tetap merasa termotivasi, produktif, terlibat, dan bahagia meskipun dihadapkan pada berbagai tekanan di dalam kehidupan.

b. Steering through

Setiap orang membutuhkan resiliensi untuk menghadapi setiap masalah, tekanan, dan setiap konflik yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Orang yang resilien akan menggunakan sumber dari dalam dirinya sendiri untuk mengatasi setiap masalah yang ada, tanpa harus merasa terbebani dan bersikap negatif terhadap kejadian tersebut. Orang yang resilien dapat memandu serta mengendalikan dirinya dalam menghadapi masalah sepanjang perjalanan hidupnya. Penelitian menunjukkan bahwa unsur esensi dari steering through dalam stres yang bersifat kronis adalah self-efficacy yaitu keyakinan terhadap diri


(30)

sendiri bahwa kita dapat menguasai lingkungan secara efektif dapat memecahkan berbagai masalah yang muncul.

c. Bouncing back

Beberapa kejadian merupakan hal yang bersifat traumatik dan menimbulkan tingkat stres yang tinggi, sehingga diperlukan resiliensi yang lebih tinggi dalam menghadapai dan mengendalikan diri sendiri. Kemunduran yang dirasakan biasanya begitu ekstrim, menguras secara emosional, dan membutuhkan resiliensi dengan cara bertahap untuk menyembuhkan diri. Orang yang resiliensi biasanya menghadapi trauma dengan tiga karakteristik untuk menyembuhkan diri. Mereka menunjukkan task-oriented coping style dimana mereka melakukan tindakan yang bertujuan untuk mengatasi kemalangan tersebut, mereka mempunyai keyakinan kuat bahwa mereka dapat mengontrol hasil dari kehidupan mereka, dan orang yang mampu kembali ke kehidupan normal lebih cepat dari trauma mengetahui bagaimana berhubungan dengan orang lain sebagai cara untuk mengatasi pengalaman yang mereka rasakan.

d. Reaching out

Resiliensi, selain berguna untuk mengatasi pengalaman negatif, stres, atau menyembuhkan diri dari trauma, juga berguna untuk mendapatkan pengalaman hidup yang lebih kaya dan bermakna serta berkomitmen dalam mengejar pembelajaran dan pengalaman baru. Orang yang berkarakteristik seperti ini melakukan tiga hal dengan baik, yaitu: tepat dalam memperkirakan risiko yang terjadi; mengetahui dengan baik diri mereka sendiri; dan menemukan makna dan tujuan dalam kehidupan mereka.


(31)

3. Aspek-aspek resiliensi

Reivich dan Shatte (2002), memaparkan tujuh kemampuan yang membentuk resiliensi, yaitu sebagai berikut :

a. Emotion Regulation

Regulasi emosi adalah kemampuan untuk tetap tenang di bawah kondisi yang menekan (Reivich & Shatte, 2002). Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang yang kurang memiliki kemampuan untuk mengatur emosi mengalami kesulitan dalam membangun dan menjaga hubungan dengan orang lain. Hal ini bisa disebabkan oleh berbagai macam faktor, di antara alasan yang sederhana adalah tidak ada orang yang mau menghabiskan waktu bersama orang yang marah, merengut, cemas, khawatir serta gelisah setiap saat. Emosi yang dirasakan oleh seseorang cenderung berpengaruh terhadap orang lain. Semakin kita terasosiasi dengan kemarahan maka kita akan semakin menjadi seorang yang pemarah (Reivich & Shatte, 2002).

Tidak semua emosi yang dirasakan oleh individu harus dikontrol. Tidak semua emosi marah, sedih, gelisah dan rasa bersalah harus diminimalisir. Hal ini dikarenakan mengekspresikan emosi yang kita rasakan baik emosi positif maupun negatif merupakan hal yang konstruksif dan sehat, bahkan kemampuan untuk mengekspresikan emosi secara tepat merupakan bagian dari resiliensi (Reivich & Shatte, 2002).

Reivich dan Shatte (2002), mengungkapkan dua buah keterampilan yang dapat memudahkan individu untuk melakukan regulasi emosi, yaitu yaitu tenang (calming) dan fokus (focusing). Dua buah keterampilan ini akan membantu


(32)

individu untuk mengontrol emosi yang tidak terkendali, menjaga fokus pikiran individu ketika banyak hal-hal yang mengganggu, serta mengurangi stres yang dialami oleh individu.

b. Impulse Control

Pada tahun 1970, Goleman (dalam Reivich & Shatte, 2002), penulis dari Emotional Intelligence, melakukan penelitian terkait kemampuan individu dalam pengendalian impuls. Penelitian dilakukan terhadap 7 orang anak kecil yang berusia sekitar 7 tahun. Dalam penelitian tersebut anak-anak tersebut masing-masing ditempatkan pada ruangan yang berbeda. Pada masing-masing-masing-masing ruangan tersebut telah terdapat peneliti yang menemani anak-anak tersebut. Masing-masing peneliti telah diatur untuk meninggalkan ruangan tersebut untuk beberapa selang waktu. Sebelum peneliti pergi, masing-masing anak diberikan sebuah marshmallow untuk dimakan oleh mereka. Namun peneliti juga menawarkan apabila mereka dapat menahan untuk tidak memakan marshmallow tersebut sampai peneliti kembali ke ruangan , maka mereka akan mendapatkan satu buah marshmallow lagi.

Setelah sepuluh tahun, peneliti melacak kembali keberadaan anak-anak tersebut dan terbukti bahwa anak-anak yang dapat menahan untuk tidak memakan Marshmallow, memiliki kemampuan akademis dan sosialisasi yang lebih baik dibandingkan anak-anak yang sebaliknya (Goleman dalam Reivich & Shatte, 2002).

Pengendalian impuls adalah kemampuan Individu untuk mengendalikan keinginan, dorongan, kesukaan, serta tekanan yang muncul dari dalam diri


(33)

(Reivich & Shatte, 2002). Individu yang memiliki kemampuan pengendalian impuls yang rendah, cepat mengalami perubahan emosi yang pada akhirnya mengendalikan pikiran dan perilaku mereka. Mereka menampilkan perilaku mudah marah, kehilangan kesabaran, impulsif, dan berlaku agresif. Tentunya perilaku yang ditampakkan ini akan membuat orang di sekitarnya merasa kurang nyaman sehingga berakibat pada buruknya hubungan sosial individu dengan orang lain.

Individu dapat mengendalikan impulsivitas dengan mencegah terjadinya kesalahan pemikiran, sehingga dapat memberikan respon yang tepat pada permasalahan yang ada. Menurut Reivich dan Shatte (2002), pencegahan dapat dilakukan dengan dengan menguji keyakinan individu dan mengevaluasi kebermanfaatan terhadap pemecahan masalah. Individu dapat melakukan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat rasional yang ditujukan kepada dirinya sendiri, seperti ‘apakah penyimpulan terhadap masalah yang saya hadapi berdasarkan fakta atau hanya menebak?’, ’apakah saya sudah melihat permasalahan secara keseluruhan?’, ’apakah manfaat dari semua ini?’, dll.

Kemampuan individu untuk mengendalikan impuls sangat terkait dengan kemampuan regulasi emosi yang ia miliki. Seorang individu yang memiliki skor Resilience Quotient yang tinggi pada faktor regulasi emosi cenderung memiliki skor Resilience Quotient pada faktor pengendalian impuls (Reivich & Shatte, 2002).


(34)

c. Optimism

Individu yang resilien adalah individu yang optimis, optimisme adalah ketika kita melihat bahwa masa depan kita cemerlang (Reivich & Shatte, 2002). Optimisme yang dimiliki oleh seorang individu menandakan bahwa individu tersebut percaya bahwa dirinya memiliki kemampuan untuk mengatasi kemalangan yang mungkin terjadi di masa depan. Hal ini juga merefleksikan self-efficacy yang dimiliki oleh seseorang, yaitu kepercayaan individu bahwa ia mampu menyelesaikan permasalahan yang ada dan mengendalikan hidupnya. Optimisme akan menjadi hal yang sangat bermanfaat untuk individu bila diiringi dengan self-efficacy, hal ini dikarenakan dengan optimisme yang ada seorang individu terus didorong untuk menemukan solusi permasalahan dan terus bekerja keras demi kondisi yang lebih baik (Reivich & Shatte, 2002).

Tentunya optimisme yang dimaksud adalah optimisme yang realistis (realistic optimism), yaitu sebuah kepercayaan akan terwujudnya masa depan yang lebih baik dengan diiringi segala usaha untuk mewujudkan hal tersebut. Berbeda dengan unrealistic optimism dimana kepercayaan akan masa depan yang cerah tidak dibarengi dengan usaha yang signifikan untuk mewujudkannya. Perpaduan antara optimisme yang realistis dan self-efficacy adalah kunci resiliensi dan kesuksesan (Reivich & Shatte, 2002).

d. Causal Analysis

Causal analysis merujuk pada kemampuan individu untuk mengidentifikasikan secara akurat penyebab dari permasalahan yang mereka hadapi. Individu yang tidak mampu mengidentifikasikan penyebab dari


(35)

permasalahan yang mereka hadapi secara tepat, akan terus menerus berbuat kesalahan yang sama.

Seligman (dalam Reivich & Shatte, 2002) mengidentifikasikan gaya berpikir explanatory yang erat kaitannya dengan kemampuan causal analysis yang dimiliki individu. Gaya berpikir explanatory dapat dibagi dalam tiga dimensi: personal (saya-bukan saya), permanen (selalu-tidak selalu), dan pervasive (semua-tidak semua).

Individu dengan gaya berpikir “Saya-Selalu-Semua” merefleksikan keyakinan bahwa penyebab permasalahan berasal dari individu tersebut (Saya), hal ini selalu terjadi dan permasalahan yang ada tidak dapat diubah (Selalu), serta permasalahan yang ada akan mempengaruhi seluruh aspek hidupnya (Semua). Sementara individu yang memiliki gaya berpikir “Bukan Saya-Tidak Selalu-Tidak semua” meyakini bahwa permasahalan yang terjadi disebabkan oleh orang lain (Bukan Saya), dimana kondisi tersebut masih memungkinkan untuk diubah (Tidak Selalu) dan permasalahan yang ada tidak akan mempengaruhi sebagian besar hidupnya (Tidak semua).

Gaya berpikir explanatory memegang peranan penting dalam konsep resiliensi (Reivich & Shatte, 2002). Individu yang terfokus pada “Selalu-Semua” tidak mampu melihat jalan keluar dari permasalahan yang mereka hadapi. Sebaliknya individu yang cenderung menggunakan gaya berpikir “Tidak selalu-Tidak semua” dapat merumuskan solusi dan tindakan yang akan mereka lakukan untuk menyelesaikan permasalahan yang ada.


(36)

Individu yang resilien adalah individu yang memiliki fleksibelitas kognitif. Mereka mampu mengidentifikasikan semua penyebab yang menyebabkan kemalangan yang menimpa mereka, tanpa terjebak pada salah satu gaya berpikir explanatory. Mereka tidak mengabaikan faktor permanen maupun pervasif. Individu yang resilien tidak akan menyalahkan orang lain atas kesalahan yang mereka perbuat demi menjaga self-esteem mereka atau membebaskan mereka dari rasa bersalah. Mereka tidak terlalu terfokus pada faktor-faktor yang berada di luar kendali mereka, sebaliknya mereka memfokuskan dan memegang kendali penuh pada pemecahan masalah, perlahan mereka mulai mengatasi permasalahan yang ada, mengarahkan hidup mereka, bangkit dan meraih kesuksesan (Reivich & Shatte, 2002).

e. Empathy

Empati sangat erat kaitannya dengan kemampuan individu untuk membaca tanda-tanda kondisi emosional dan psikologis orang lain (Reivich & Shatte, 2005). Beberapa individu memiliki kemampuan yang cukup mahir dalam menginterpretasikan bahasa-bahasa nonverbal yang ditunjukkan oleh orang lain, seperti ekspresi wajah, intonasi suara, bahasa tubuh dan mampu menangkap apa yang dipikirkan dan dirasakan orang lain. Oleh karena itu, seseorang yang memiliki kemampuan berempati cenderung memiliki hubungan sosial yang positif (Reivich & Shatte, 2002).

Ketidakmampuan berempati berpotensi menimbulkan kesulitan dalam hubungan sosial (Reivich & Shatte, 2002). Individu-individu yang tidak membangun kemampuan untuk peka terhadap tanda-tanda nonverbal tersebut


(37)

tidak mampu untuk menempatkan dirinya pada posisi orang lain, merasakan apa yang dirasakan orang lain dan memperkirakan maksud dari orang lain.

Ketidakmampuan individu untuk membaca tanda-tanda nonverbal orang lain dapat sangat merugikan, baik dalam konteks hubungan kerja maupun hubungan personal, hal ini dikarenakan kebutuhan dasar manusia untuk dipahami dan dihargai. Individu dengan empati yang rendah cenderung mengulang pola yang dilakukan oleh individu yang tidak resilien, yaitu menyamaratakan semua keinginan dan emosi orang lain (Reivich & Shatte, 2002).

f. Self-efficacy

efficacy adalah hasil dari pemecahan masalah yang berhasil. Self-efficacy merepresentasikan sebuah keyakinan bahwa kita mampu memecahkan masalah yang kita alami dan mencapai kesuksesan. Self-efficacy merupakan hal yang sangat penting untuk mencapi resiliensi (Reivich & Shatte, 2002).

g. Reaching out

Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, bahwa resiliensi lebih dari sekedar bagaimana seorang individu memiliki kemampuan untuk mengatasi kemalangan dan bangkit dari keterpurukan, namun lebih dari itu resiliensi juga merupakan kemampuan individu meraih aspek positif dari kehidupan setelah kemalangan yang menimpa (Reivich & Shatte, 2002).

Banyak individu yang tidak mampu melakukan reaching out, hal ini dikarenakan mereka telah diajarkan sejak kecil untuk sedapat mungkin menghindari kegagalan dan situasi yang memalukan. Mereka adalah


(38)

individu-individu yang lebih memilih memiliki kehidupan standar dibandingkan harus meraih kesuksesan namun harus berhadapan dengan resiko kegagalan hidup dan hinaan masyarakat. Hal ini menunjukkan kecenderungan individu untuk berlebih-lebihan (overestimate) dalam memandang kemungkinan hal-hal buruk yang dapat terjadi di masa mendatang. Individu-individu ini memiliki rasa ketakutan untuk mengoptimalkan kemampuan mereka hingga batas akhir.

4. Sumber-sumber Resiliensi

Menurut Grotberg (1999) ada beberapa sumber dari resiliensi yaitu sebagai berikut :

a. I Have ( sumber dukungan eksternal )

I Have merupakan dukungan dari lingkungan di sekitar individu. Dukungan ini berupa hubungan yang baik dengan keluarga, lingkungan sekolah yang menyenangkan, ataupun hubungan dengan orang lain diluar keluarga. Melalui I Have, seseorang merasa memiliki hubungan yang penuh kepercayaan. Hubungan seperti ini diperoleh dari orang tua, anggota keluarga lain, guru, dan teman-teman yang mencintai dan menerima diri anak tersebut.

Individu yang resilien juga mempunyai struktur dan aturan di dalam rumah yang ditetapkan oleh orang tua mereka. Para orang tua berharap bahwa anak-anak dapat mematuhi semua peraturan yang ada. Anak-anak juga akan menerima konsekuensi dari setiap tindakan yang mereka lakukan dalam menjalani aturan tersebut. Ketika mereka melanggar aturan, mereka butuh seseorang untuk


(39)

memeberi tahu kesalahan yang mereka perbuat dan jika perlu menerapkan hukuman.

Individu yang resilien juga memperoleh dukungan untuk mandiri dan dapat mengambil keputusan berdasarkan pemikiran serta inisiatifnya sendiri. Dukungan yang diberikan oleh orangtua ataupun anggota keluarga lainnya akan sangat membantu dalam membentuk sikap mandiri dalam diri seseorang. Orangtua akan mendukung serta melatih anak untuk dapat berinisiatif dan “berkuasa” atas dirinya sendiri untuk mengambil keputusan tanpa harus bergantung pada orang lain.

Individu yang resilien juga akan mendapatkan jaminan kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan serta keamanan dari orangtua. Sehingga hal ini akan membantu mereka untuk mengembangkan rasa percaya diri dalam diri anak. b. I Am ( kemampuan individu )

I am, merupakan kekuatan yang terdapat dalam diri seseorang, kekuatan tersebut meliputi perasaan, tingkah laku, dan kepercayaan yang ada dalam dirinya. Individu yang resilien merasa bahwa mereka mempunyai karakteristik yang menarik dan penyayang sessama. Hal tersebut ditandai dengan usaha mereka untuk selalu dicintai dan mencintai orang lain. Mereka juga sensitif terhadap perasaan orang lain dan mengerti yang diharapkan orang lain terhadap dirinya.

Mereka juga merasa bahwa mereka memiliki empati dan sikap kepedulian yang tinggi terhadap sesama. Perasaan itu mereka tunjukkan melalui sikap peduli mereka terhadap peristiwa yang terjadi pada orang lain. Mereka juga merasakan


(40)

ketidaknyamanan dan penderitaan yang dirasakan oleh orang lain dan berusaha membantu untuk mengatasi masalah yang terjadi.

Individu yang resilien juga merasakan kebanggaan akan diri mereka sendiri. Mereka bangga terhadap apa yang telah mereka capai. Ketika mereka mendapatkan masalah atau kesulitan, rasa percaya dan harga diri yang tinggi akan membantu mereka dalam mengatasi kesulitan tersebut. Mereka merasa mandiri dan cukup bertanggungjawab. Mereka dapat melakukan banyak hal dengan kemampuan mereka sendiri. Mereka juga bertanggungjawab atas pekerjaan yang telah mereka lakukan serta berani menangung segala konsekuensinya.

Selain itu mereka juga diliputi akan harapan dan kesetiaan. Mereka percaya bahwa akan memperoleh masa depan yang baik. Mereka memiliki kepercayaan dan kesetiaan dalam moralitas dan ke-Tuhan-an mereka.

c. I Can ( kemampuan sosial dan interpersonal )

I Can merupakan kemampuan anak untuk melakukan hubungan sosial dan interpersonal. Mereka dapat belajar kemampuan ini melalui interaksinya dengan semua orang yang ada disekitar mereka. Individu tersebut juga memiliki kemampuan untuk berkomunikasi serta memecahkan masalah dengan baik. Mereka mampu mengekspresikan pikiran dan perasaan mereka dengan baik.

Kemampuan untuk mengendalikan perasaan dan dorongan dalam hati juga dimiliki oleh individu yang resilien. Mereka mampu menyadari perasaan mereka dan mengekspresikannya dalam kata-kata dan perilaku yang tidak mengancam perasaan dan hak orang lain. Mereka juga mampu mengendalikan dorongan untuk


(41)

memukul, melarikan diri dari masalah, atau melampiaskan keinginan mereka pada hal-hal yang tidak baik.

Mereka juga dapat memahami karakteristik dirinya sendiri dan orang lain. Ini membantu individu untuk mengetahui seberapa banyak waktu yang diperlukan untuk berkomunikasi, dan seberapa banyak ia dapat menangani berbagai macam situasi. Selain itu, individu yang resilien juga dapat menemukan seseorang untuk meminta bantuan, untuk menceritakan perasaan dan masalah, serta mencari cara untuk menyelesaikan masalah pribadi dan interpersonal.

B. Penyalahgunaan Zat

1. Defenisi Penyalahgunaan Zat

Menurut DSM, peyalahgunaan zat melibatkan pola penggunaan berulang yang menghasilkan konsekuensi yang merusak. Konsekuensi yang merusak bisa termasuk kegagalan untuk memenuhi tanggung jawab utama seseorang (misalnya: sebagai pelajar, sebagai pekerja, atau sebagai orang tua), menempatkan diri dalam situasi di mana penggunaan zat secara fisik berbahaya (contoh mencampur minuman dan penggunaan obat), berhadapan dengan masalah hukum berulang kali yang meningkat karena penggunaan obat. Memiliki masalah sosial atau interpersonal yang kerap muncul karena pengunaan zat (contoh: berkelahi karena mabuk) (Greene, Rhatus dan Nevid, 2003).

Menurut Sarafino (2006) dalam kata “drug” memiliki pengertian berbagai macam zat, termasuk obat yang prescription atau nonprescription yang dikonsumsi individu dalam tubuh mereka.


(42)

Istilah yang berasal dari terjemahan asing seperti substace abuse dan substance dependence dikalangan awam dikenal dengan istilah narkoba yang merupakan singkatan dari narkotika dan obat berbahaya. Ada istilah lain yaitu NAPZA yang merupakan singkatan dari narkotika, psikotropika dan zat adiktif. Berbagai istilah yang sering digunakan tidak jarang menimbulkan salah pengertian tidak saja dikalangan medis tapi juga masyarakat awam (Hawari 2005). Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan istilah narkoba.

2. Jenis-jenis Zat

Menurut Greene, Rhatus dan Nevid (2003) dalam bukunya yang berjudul “Psikologi Abnormal” terdapat beberapa jenis obat yang sering disalahgunakan, yang pada umumnya digolongkan dalam tiga kelompok besar, yaitu:

1. Depresan

Depresan adalah obat yang menghambat atau mengekang sistem saraf pusat. Obat tersebut mengurangi perasaan tegang dan cemas, menyebabkan gerakan menjadi lebih lambat, dan merusak proses kognitif. Dalam dosis tinggi depresan dapat menahan fungsi vital dan menyebabkan kematian. Beberapa tipe depresan adalah sebagai berikut :

a. Alkohol

Mungkin banyak orang yang berpikir bahwa alkohol bukanlah obat, mungkin karena alkohol sangat populer, atau mungkin karena alkohol diminum bukannya dihisap atau disuntikkan. Namun minuman yang mengandung alkohol seperti anggur, bir dan minuman keras lain mengadung depresan yang disebut etil


(43)

alkohol (etanol). Konsentrasi obat bervariasi tergantung tipe minuman (anggur dan bir mengandung lebih sedikit alkohol pada setiap ons-nya dibanding rye, gin, atau vodka). Alkohol digolongkan sebagai obat depresan karena efek biokimiawinya serupa dengan golongan obat penenang minor. Kita dapat menganggap alkohol sebagai tipe obat penenang yang dapat dibeli tanpa resep dokter.

b. Opioid

Opioid adalah obat narkotik, istilah yang digunakan untuk obat adiktif yang memiliki kemampuan melepaskan rasa sakit dan menyebabkan tidur. Opioid terdiri dari opiat yang tumbuh secara alami (morfin, heroin, kodein) yang berasal dari sari tanaman poppy dan juga obat sintesis (demerol, percodan, darvon) yang dibuat dilaboratorium sehingga memiliki efek seperti opiat.

Opioid menghasilkan perasaan nikmat yang cepat dan intens, yang menjadi alasan utama dibalik popularitasnya sebagai obat jalanan. Opioid juga menumpulkan kesadaran seseorang akan masalah pribadinya, dimana hal tersebut menarik bagi orang yang mencari pelarian mental dari stres.

c. Morfin

Morfin (morphine) yang memperoleh namanya dari Morpheus, dewa mimpi Yunani, diperkenalkan pada sekitar perang sipil Amerika Serikat. Morfin, turunan opium yang kuat, digunakan secara bebas untuk mengurangi rasa sakit akibat terluka. Ketergantungan fisiologis pada morfin dikenal sebagai “penyakit tentara”. Hanya ada sedikit stigma yang dilekatkan pada ketergantungan hingga saat morfin menjadi zat yang dilarang.


(44)

d. Heroin

Heroin, opiat yang paling luas digunakan, merupakan depresan yang kuat yang dapat menciptakan euforia yang cepat. Pengguna heroin menyatakan bahwa heroin sangat nikmat sehingga dapat menghilangkan segala pikiran tentang makanan atau seks.

2. Stimulan

Stimulan adalah zat psikoaktif yang meningkatkan aktivitas sistem saraf. Efeknya agak berbeda antara obat yang satu dengan obat yang lainnya, namun sejumlah stimulan menyebabkan perasaan euforia dan self-confidence. Sebagian dari stimulan bahkan dapat meningkatkan tersedianya neurotransmiter norepinefrina dan dopamin pada otak. Dengan demikian, neurotransmiter ini tetap tersedia dalam level yang tinggi dalam simpul sinaptik antara neuron-neuron, menjaga aktivitas sistem saraf tetap tinggi dan kondisi keterangsangan tinggi. Beberapa tipe stimulan adalah sebagai berikut :

a. Amfetamin

Amfetamin merupakan golongan stimulan sintesis. Nama jalanan untuk stimulan ini termasuk speed, upper, bennies, (di Indonesia disebut shabu-shabu). Amfetamin digunakan dalam dosis tinggi karena menghasilkan euforia secara cepat. Sering digunakan dalam bentuk pil atau dihisap dalam bentuk murni. Beberapa pengguna menyuntikkan mentamfetamin berhari-hari untuk mempertahankan perasaan “melayang” yang lebih lama.


(45)

b. Ekstasi

Obat ekstasi adalah obat terlarang yang keras, tiruan murahan yang struktur kimianya mirip dengan amfetamin (Braun, 2001). Ekstasi menghasilkan euforia ringan dan halusinasi dan terus bertambah penggunanya di kalangan anak muda, terutama di kampus dan klub malam serta pesta-pesta riuh dibanyak kota. c. Kokain

Kokain adalah stimulan natural yang disuling dari daun tanaman coca. Telah lama diyakini bahwa kokain tidak menyebabkan adiksi secara fisik. Namun, bukti-bukti menunjukkan adanya ciri adiktif dari obat tersebut, yaitu menghasilkan efek toleransi dan sindrom putus zat yang dapat di identifikasi, yang ditandai oleh mood yang depresif dan gangguan dalam tidur serta selera makan.

d. Nikotin

Kebiasaan merokok bukan cuma kebiasaan yang buruk, tetapi juga merupakan bentuk adiksi fisik terhadap obat stimulan, nikotin, yang ditemukan dalam produk tembakau termasuk rokok , cerutu, dan tembakau tanpa asap. Merokok atau penggunaan tembakau lainnya merupakan sarana memasukkan obat ke tubuh.

3. Halusinogen

Halusinogen juga dikenal sebagai psychedelics, merupakan golongan obat yang menghasilkan distorsi sensori atau halusinasi, termasuk perubahan besar dalam persepsi warna dan pendengaran. Halusinogen dapat juga memberikan efek


(46)

tambahan seperti relaksasi dan euforia, atau, pada beberapa kasus menyebabkan panik. Beberapa jenis halusinogen adalah :

a. LSD ( lysergic acid diethylamide)

Merupakan singkatan dari lysergic acid diethylamide, obat halusinogen sintesis. Sebagai tambahan terhadap munculnya parade warna yang terang dan distorsi visual yang dihasilkan LSD, pengguna menyatakan LSD “memperluas kesadaran” dan membuka dunia baru seolah-olah melihat suatu kenyataan yang melampaui kenyataan yang biasa.

b. Phencylidine

Phencylidine atau PCP yang dikenal sebagai “debu malaikat” dikembangkan sebagai anastetik pada tahun 1950-an namun tidak diteruskan karena efek samping halusinasi obat.

c. Mariyuana

Mariyuana berasal dari tanaman canabis sativa. Mariyuana kadang menghasilkan halusinasi ringan, sehingga dianggap sebagai halusinogen minor.

3.Faktor- faktor yang Menyebabkan Individu Menggunakan Zat

Sarafino (2002) dalam bukunya “health psychology” penyalahgunaan drug menjadi salah satu permasalahan yang cukup serius dibanyak Negara didunia ini. Alasan seseorang dengan orang lainnya dalam mengunakan drug itu berbeda-beda. Perbedaan umur, jenis kelamin, dan sosial budaya dalam mengunakan drug. Jika kita menelusuri mengapa remaja bisa mengunakan drug , alasannya hampir serupa dengan awal mereka minum minuman keras dan merokok. Mereka


(47)

mungkin saja melihat dari orang tua mereka, teman sebaya, ataupun artis artis terkenal sehingga mereka juga menjadi tertarik untuk mengunakannya, model behavior dan attitudes bisa menjadi pemicu penggunaan drug.

Pada awal penggunaan drug dan bila mereka merasa perasaan mereka lebih baik maka ini bisa menjadi salah satu faktor yang menyebabkan penggunaan bisa berkelanjutan pada akhirnya bisa menyebabkan ketergantungan (Barret, 1985), banyak orang-orang mengakui bahwa penggunaan obat itu dapat mengurangi tegangan dan tekanan. Dengan kata lain drug memiliki efek yang kuat. Kemudian apabila penggunaan terus dilanjutkan maka akan menghasilkan kondisi yang membuat pemakai untuk mengunakannya lagi atau kecanduan (Childress, 1996; Robinson& Berridge, 2003).

Mengapa seseorang yang awalnya hanya menggunakan drug bisa menjadi pecandu? Menurut Brook (1986) kepribadian seseorang juga berpengaruh dalam hal ini, dibandingkan dengan individu yang tidak mengunakan drug biasanya mereka suka menentang, menuruti kata hati, menerima perlakuan yang tidak layak mereka berorientasi dengan cara mencari sensasi dan mereka cenderung kurang bersosialisasi dan kurang memiliki komitmen dalam hal keagamaan.

Menurut Buntje Harboenangin (dalam Yatim, 1986) ada beberapa faktor yang menyebabkan individu mengkonsumsi narkoba. Pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi dua bagian besar. Pertama, sebab-sebab yang berasal dari faktor individual dan kedua sebab-sebab yang berasal dari lingkungannya. Faktor individual yaitu meliputi :


(48)

a. Kepribadian

Kepribadian individu memiliki peranan yang besar dalam penyalahgunaan narkoba. Individu yang memiliki kepribadian yang lemah (mudah kecewa, tidak mampu menerima kegagalan) lebih rentan terhadap penyalahgunaan narkoba dibandingkan dengan individu yang memilki kepribadian yang kuat (individu yang mengetahui mana yang benar dan mana yang salah, berani mengatakan tidak, tidak mudah dipengaruhi oleh orang lain).

b. Inteligensi

Dalam konseling sering dijumpai bahwa kecerdasan pemakai narkoba lebih banyak berada pada taraf rata-rata dan dibawah rata-rata kelompok seusianya.

c. Usia

Mayoritas pemakai narkoba adalah kaum remaja. Hal ini disebabkan karena kondisi sosial psikologis yang butuh pengakuan, identitas dan kelabilan emosi sementara individu yang berada pada usia lebih tua menggunakan narkoba sebagai penenang.

d. Dorongan kenikmatan

Narkoba dapat memberikan kenikmatan yang unik dan tersendiri. Perasaan enak mulanya diperoleh dari mulai coba-coba lalu lama-lama akan menjadi suatu kebutuhan.


(49)

e. Perasaan ingin tahu

Rasa ingin tahu adalah kebutuhan setiap orang. Proses awal terbentuknya seorang pemakai diawali dengan coba-coba karena rasa ingin tahu, kemudian menjadi iseng, menjadi pemakai tetap dan pada akhirnya akan menjadi seorang pemakai tergantung.

f. Memecahkan persoalan

Kebanyakan para pemakai menggunakan narkoba untuk menyelesaikan persoalan. Pengaruh narkoba dapat menurunkan tingkat kesadaran pemakai dan membuatnya lupa pada persoalan yang dialaminya.

Faktor lingkungan :

a. Ketidakharmonisan keluarga

Banyak pemakai yang berasal dari keluarga yang broken karena keputusasaan dan kecewa maka pemakai terdorong untuk mencari dunianya yang lain yaitu menggunakan narkoba sebagai pelarian.

b. Pekerjaan

Pada umumnya pemakai mengunakan narkoba karena mereka lebih mudah memperoleh narkoba tersebut mengggunakan uang yang mereka peroleh dari hasil mereka bekerja.

c. Kelas sosial ekonomi

Umumnya pemakai berasal dari sosial ekonomi menengah ke atas. Hal ini mungkin terjadi karena mereka mudah mendapatkan informasi dan relatif memiliki uang yang cukup untuk membeli narkoba.


(50)

d. Tekanan kelompok

Kebanyakan pemakai mulai mengenal narkoba dari teman sekelompoknya. Bila kelompok pemakai narkoba menekankan anggotanya berbuat hal yang sama maka penolakan terhadap tekanan tersebut dapat mengakibatkan anggota yang menolak akan dikucilkan dan akan dikeluarkan dari kelompok.

C.Gambaran Resiliensi Pada Mahasiswa Universitas Sumatera Utara dalam Hal Penyalahgunaan Zat

Menurut Reivich. K dan Shatte. A yang dituangkan dalam bukunya “The Resiliency Factor” menjelaskan resiliensi adalah kemampuan untuk mengatasi dan beradaptasi terhadap kejadian yang berat atau masalah yang terjadi dalam kehidupan. Bertahan dalam keadaan tertekan, dan bahkan berhadapan dengan kesengsaraan (adversity) atau trauma yang dialami dalam kehidupannya (Reivich. K & Shatte. A, 2002 ). Resiliensi dipandang oleh para ahli sebagai kemampuan untuk bangkit kembali dari situasi atau peristiwa yang traumatis. Siebert (2005) dalam bukunya The Resiliency Advantage memaparkan bahwa yang dimaksud dengan resiliensi adalah kemampuan untuk mengatasi dengan baik perubahan hidup pada level yang tinggi, menjaga kesehatan di bawah kondisi penuh tekanan, bangkit dari keterpurukan, mengatasi kemalangan, merubah cara hidup ketika cara yang lama dirasa tidak sesuai lagi dengan kondisi yang ada, dan menghadapi permasalahan tanpa melakukan kekerasan.


(51)

Mahasiswa dalam menjalani tahun pertama masa perkuliahan dihadapkan dengan berbagai persoalan yang menyebabkan stres. Dimana hal ini bisa menjadi pemicu bagi mahasiswa untuk terjerumus kedalam penggunaan narkoba..

Transisi seseorang dari SMA kemudian masuk kedunia kampus atau menjadi seorang mahasiswa dapat menimbulkan stres bagi individu tersebut. Mereka yang biasanya tinggal bersama dengan keluarga, budaya yang dianut sejak kecil, bahasa sehari-hari, dan dengan komunitasnya. Harus pindah kelingkungan yang baru, jauh dari keluarga, bergabung dengan budaya yang mereka belum tahu aturan yang terdapat didalamnya, yang mereka temukan ditempat tinggalnya yang baru. Ditambah lagi mereka harus meninggalkan lingkungan akademisnya, yang dimana mereka telah sukses, dan kemudian bergabung dengan komunitas pelajar yang baru, yang menuntut skill akademik dan dasar pengetahuan yang sangat berbeda dengan apa yang mereka jalani dibangku SMA (Magolda dalam Mc.Gillin, 2003).

Hal tersebut tentunya memberi tekanan terhadap mahasiswa. Sehingga menuntut mereka untuk mencari kelompok yang baru. Presley, Leichliter, & Meilman (1999) mengatakan bahwa hasil survey nasional terhadap penyalahgunaan alkohol dan narkoba pada tahun pertama masa perkuliahan adalah dikarenakan faktor stres yang dialami oleh mahasiswa tersebut, sehingga mereka menggunakan alkohol dan narkoba untuk mencari dan membangun dukungan sosial dengan teman (dalam Mc.Gillin, 2003).

Tentu saja, tidak semua mahasiswa di kampus atau mahasiswa yang tinggal bersama dengan mahasiswa lain, akan berpikir untuk menggunakan


(52)

narkoba. Pengaruh teman sebaya tidak selalu menjadi hal yang negatif. Tekanan dari teman sebaya untuk menggunakan narkoba atau tidak, tergantung pada posisi seseorang dalam kelompok, atau orientasinya berada dikelompok tersebut (Oetting & Beauvais,1986).

Dari sekian banyak mahasiswa yang terhanyut dalam narkoba, masih banyak juga mahasiswa yang bertahan untuk tidak sama sekali bersentuhan dengan narkoba. Dillon et all (2007), dalam penelitiannya menemukan bahwa masih banyak remaja yang duduk dibangku SMA dan Universitas, yang memiliki akses untuk memperoleh narkoba, tetapi sama sekali tidak pernah mencoba atau bersentuhan dengan barang haram tersebut.

Jessor dan Jessor (1978), mengatakan bahwa perilaku untuk menolak dan membuat keputusan untuk tidak menggunakan narkoba, meskipun dengan ketersediaan akses yang cukup mudah untuk mendapatkannya, dikatakan sebagai resiliensi. Resiliensi merupakan aksi atau tindakan untuk menjadi resilien.

Mahasiswa yang berhasil untuk menjadi resilien terhadap penggunaan narkoba, bukanlah mahasiswa yang hanya dihadapkan kepada faktor resiko atau mudahnya untuk terjerumus kedalam penggunaan narkoba tersebut. Tetapi lebih dari itu mereka juga memiliki protective factor yang menjadikan mereka lebih kuat untuk menghindar dari penggunaan narkoba (Dillon et all, 2007).

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa resiliensi terhadap penggunaan narkoba pada mahasiswa adalah kemampuan mahasiswa tersebut untuk menolak mengunakan narkoba, walaupun dalam keadaan tekanan stres (masalah akademik serta tekanan dari teman sebaya).


(53)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian sangat menentukan penelitian karena menyangkut cara yang benar dalam pengumpulan data, analisa data, dan pengambilan kesimpulan hasil penelitian (Hadi, 2000). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif.

Menurut Azwar (2000) metode deskriptif merupakan metode yang bertujuan untuk menggambarkan secara sistematik dan akurat, fakta dan karakteristik mengenai populasi atau bidang tertentu. Dalam penelitian ini, data yang dikumpulkan semata-mata bersifat deskripstif, tidak bermaksud mencari penjelasan, menguji hipotesis, membuat prediksi maupun mempelajari implikasi.

A.Identifikasi Variabel Penelitian

Variabel yang hendak diteliti dalam penelitian ini adalah resiliensi paada mahasiswa Universitas Sumatera Utara dalam hal penyalahgunaan zat.

B.Defenisi Operasional

Resiliensi adalah kemampuan seseorang untuk bertahan dan tidak menyerah pada keadaan-keadan yang sulit dalam hidupnya, serta berusaha untuk belajar dan beradaptasi dengan keadaan tersebut dan kemudian bangkit dari keadaan tersebut dan menjadi lebih baik.


(54)

bantuan dari pakar bahasa di pusat linguistik Universitas Sumatera Utara. Skala tersebut berisi 56 (lima puluh enam) pernyataan dari skala resiliensi.

Semakin tinggi skor yang diperoleh sesorang dalan Skala Resiliensi yang diberikan, artinya semakin tinggi resiliensi yang dimiliki seseorang, yang menunjukkan semakin tinggi kemampuan seseorang untuk dapat beradaptasi dengan baik meskipun dihadapkan dengan keadaan yang sulit. Sebaliknya, semakin rendah skor yang diperoleh seseorang dalam Skala tersebut, maka semakin rendah kemampuan seseorang untuk dapat beradaptasi dengan keadaan yang sulit.

Sedangkan jenis-jenis zat yang dimaksud daslam penelitian ini, adalah jenis-jenis zat menurut Greene, Rhatus dan Nevid (2003) dalam bukunya yang berjudul “Psikologi Abnormal”, sebagai berikut:

1. Depresan

Beberapa tipe depresan adalah sebagai berikut : a. Alkohol

b. Opioid c. Morfin d. Heroin 2. Stimulan

Beberapa tipe stimulan adalah sebagai berikut : a. Amfetamin (di Indonesia disebut shabu-shabu) b. Ekstasi


(55)

d. Nikotin 3. Halusinogen

Beberapa jenis halusinogen adalah : a. LSD ( lysergic acid diethylamide) b. Phencylidine (debu malaikat) c. Mariyuana (ganja)

C.Populasi, Sampel dan Metode Pengambilan Sampel 1. Populasi dan sampel

Hadi (2000) mengemukakan bahwa semua individu yang memiliki keadaan atau kenyataan yang sama disebut dengan populasi, sedangkan individu yang diselidiki yang merupakan bagian dari populasi disebut dengan sampel. Sehubungan dengan hal ini, yang perlu mendapat perhatian bahwa sampel harus mencerminkan keadaan populasinya, agar sampel dapat digeneralisasikan terhadap populasinya. Populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswa Universitas Sumatera Utara yang sedang menjalani tahun pertama masa studi dan tinggal terpisah dari orangtua.

2. Metode pengambilan sampel

Teknik sampling adalah cara atau teknik yang digunakan untuk pengambilan sampel. Metode pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini dengan menggunakan teknik secara incidental sampling, dimana setiap anggota populasi tidak mendapat kesempatan yang sama untuk terpilih menjadi anggota sampel. Pemilihan sampel dari populasi didasarkan pada faktor


(56)

kesediaan dan kemudahan dijumpainya sampel yang sesuai dengan karakteristik tertentu (Hadi, 2000).

Karakteristik sampel yang akan dijadikan sampel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Mahasiswa Usu yang sedang menjalani tahun pertama masa studi. b. Mahasiswa yang tidak tinggal bersama orang tua (anak kos) 3. Jumlah sampel penelitian

Tidak ada batasan mengenai berapa jumlah sampel ideal yang harus digunakan dalam suatu penelitian. Menurut Azwar (2000), secara tradisional statistika menganggap bahwa jumlah sampel yang lebih dari 60 subjek sudah cukup banyak. Hadi (2000) menyatakan bahwa menetapkan jumlah sampel yang banyak lebih baik daripada menetapkan jumlah sampel yang sedikit. Mengingat keterbatasan peneliti untuk mendapatkan subjek yang bersedia, maka penelitian ini direncanakan akan menggunakan sampel sebanyak 90 orang.

D. Alat Ukur yang Digunakan

Metode pengumpulan data yang dilakukan pada penelitian ini adalah metode skala. Metode skala digunakan mengingat data yang ingin diukur berupa konsep psikologis yang dapat diungkap secara tidak langsung melalui indikator-indikator perilaku yang diterjemahkan dalam bentuk aitem-aitem pernyataan (Azwar, 2000).

Azwar (2000) mengemukakan kebaikan-kebaikan skala dan alasan-alasan penggunaannya, sebagai berikut :


(57)

1. Pertanyaan disusun untuk memancing jawaaban yang merupakan refleksi dari keadaan subjek sendiri yang tidak disadari.

2. Skala digunakan untuk mengungkapkan suatu atribut tunggal.

3. Subjek tidak menyadari arah jawaban yang sesungguhnya diungkap dari pernyataan skala.

Penelitian ini menggunakan penskalaan model Likert. Penskalaan ini merupakan model penskalaan pernyataan sikap yang menggunakan distribusi respons sebagai dasar penentuan nilai sikap (Azwar, 2000).

Skala resiliensi yang digunakan dalam penelitian ini adalah adaptasi dari skala resiliensi yang telah dibuat oleh Reivich & Shatte (2002) yang dimuat dalam bukunya The Resilience Factor.

Sebelum digunakan, skala Resiliensi akan diuji-cobakan terlebih dahulu untuk mengetahui daya beda aitem dan reliabilitasnya. Setelah dilakukan uji coba, skala resiliensi baru dapat digunakan dalam pengambilan data. Berdasarkan skor diperoleh, dilakukan kategorisasi berdasarkan norma nilai seperti berikut :

Tabel 1. Kategori Norma Nilai Resiliensi

Rentang Nilai Kategorisasi

X < ( µ - 1,0 σ ) (µ - 1,0 σ ) ≤ X < (µ + 1,0 σ ) (µ + 1,0 σ ) ≤ X

Rendah Sedang Tinggi Keterangan :

µ : mean

σ : standar deviasi

Model skala resiliensi menggunakan model skala Likert. Aitem-aitem dalam skala ini merupakan pernyataan dengan empat pilihan jawaban, yaitu :


(58)

STS = Sangat Tidak Sesuai TS = Tidak Sesuai

S = Sesuai

SS = Sangat Sesuai

Skala disajikan dalam bentuk pernyataan favorable dan unfavorable. Skor yang diberikan bergerak dari 1 sampai 4. Bobot penilaian untuk pernyataan favorable yaitu: SS = 4, S = 3, TS = 2, STS = 1, sedangkan bobot penilaian untuk pernyataan unfavorable yaitu : SS = 1, S = 2, TS = 3, STS = 4.

E. Uji Coba Alat Ukur 1. Validitas Alat Ukur

Azwar (2000) mendefinisikan validitas tes atau validitas alat ukur adalah sejauh mana tes itu mengukur apa yang dimaksudkannya untuk diukur, artinya derajat fungsi mengukurnya suatu tes atau derajat kecermatan suatu tes. Untuk mengkaji validitas alat ukur dalam penelitian ini, peneliti melihat alat ukur berdasarkan arah isi yang diukur yang disebut dengan validitas isi (content validity).

Validitas isi menunjukkan sejauh mana aitem-aitem yang dilihat dari isinya dapat mengukur apa yang dimaksudkan untuk diukur. Validitas isi alat ukur ditentukan melalui pendapat professional (professional judgement) dalam proses telaah soal sehingga aitem-aitem yang telah dikembangkan memang mengukur (representatif bagi) apa yang dimaksudkan untuk diukur (Suryabrata, 2000).


(1)

banyak berada pada kategori sedang. Sedangkan pada aspek empati subjek penelitian lebih banyak berada pada kategori rendah.

c. Pada hasil tambahan, diperoleh bahwa subjek penelitian yang berjenis kelamin perempuan memiliki tingkat resiliensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan subjek penelitian berjenis kelamin laki-laki.

d. Ditinjau dari penyalahgunaan zat, terlihat bahwa resiliensi pengguna zat lebih rendah dibandingkan yang tidak mengunakan zat.

e. Hasil tambahan terakhir, megungkapkan bahwa alasana pengunaan zat adalah karena ada masalah sebanyak 12.90%, ikut teman sebanyak 19.36%, coba-coa (penasaran) sebanyak 19.36%, kecanduan sebanyak 16.13%, merasa nyaman saat menggunakannya sebanyak 6.45%, senang-senang sebanyak 6.45%, kurang perhatian orang tua 3.23%, untuk mencari inspirasi sebanyak 3.23%, penceharan otak sebanyak 6.45%, obat penenang 3.23%.

B.Saran

Peneliti menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu, maka peneliti mengemukakan beberapa saran. Saran-saran ini diharapakan dapat berguna untuk penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan gambaran resiliensi pada mahasiswa.

1. Saran metodologis

a. Peneliti selanjutnya dengan tema yang sama diharapkan menambahkan variabel lain yang berhubungan dengan resiliensi.


(2)

b. Sebaiknya untuk penelitian berikutnya, selain melakukan penelitian kuantitatif perlu juga melakukan penelitian kualitatif untuk lebih menggali tentang resiliensi pada mahasiswa.

c. Pada peneliti selanjutnya sebaiknya skala yang ada harus lebih diperhatikan lagi. Jangan membedakan halaman antara skala bagian satu dan bagian dua karena subjek penelitian tidaka mengetahui terdapat skala bagian duanyang ada dihalaman selanjutnya, sehingga aitem pada skala bagian kedua tidak diberi jawaban.

2. Saran Praktis

a. Bagi mahasiswa diharapkan agar lebih berhati-hati dalam menjalin hubungan dengan orang lain. Karena apabila bertemu dengan orang yang salah, akan memberi pengaruh yang buruk bagi kelanjutan masa perkuliahannya.

b. Bagi mahasiswa agar bersikap lebih hati-hati ketika dihadapkan dengan masalah, baik masalah dengan teman atau yang berhubungan dengan kampus. Semakin mudahnya akses mendapatkan obat-obat terlarang pada saat ini. Hal tersebut susah untuk dicegah, tetapi dapat dikontrol dan mengendalikan efek-efeknya melalui pengembangan diri dan kebiasaan-kebiasaan yang positif.

c. Bagi para orang tua sebaiknya lebih meningkatkan komunikasi dengan anaknya, walaupun berada dikota yang berbeda. Misalnya meningkatkan intensitas komunikasi melalui telepon.


(3)

d. Sebaiknya orang tua bisa menjadi teman bagi anak-anaknya sehingga apabila mendapat masalah, anak remajanya yang sedang bertransisi kemasa dewasa awal tidak akan lari ke hal-hal yang negatif.

e. Bagi lembaga pendidikan (pihak universitas) sebaiknya menyediakan tempat konseling untuk mahasiswa. Sehingga ketika mereka merasa kesulitan dalam hal yang berhubungan dengan dunia kampus, mereka akan tahu ada tempat untuk mengutarakan dan mencari solusinya.

f. Bagi lembaga pendidikan (pihak univesitas) sebaiknya memberikan sanksi yang berat pada mahasiswa yang tertangkap mengunakan obat-obat terlarang.

g. Bagi lembaga pemerintahan sebaiknya lebih meningkatkan lagi pengawasan terhadap maraknya peredaran obat-obat terlarang dikalangan mahasiswa. h. Bagi pihak pengelola kos-kosan diharapkan agar lebih meningkatkan

penjagaan dan peraturan yang ada di tempat kos tersebut. Misalnya : jam bertamu.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Azwar, Saifuddin. (2000). Reliabilitas dan validitas. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar.

Dillon, Lucy., Matthews, Chivite, Natalia., Grewal, Ini., Brown, Richard., Webster, Stephen., Weddel, Emma., Brown, Geraldin., Smith, Nicola. (2007). Risk, protective factors and resilience to drug use: identifying resilient young people and learning from their experiences. British : Home office online report.

Fostering Resilience in Response to Terrorism: A Fact Sheet for Psychologists Working With Adults.(2008).

errorism%3A+For+Psychologists+Working+With+Adults+With+Serious+ Mental+Illness&btnG=Search Tanggal Akses : 3 Oktober 2009.

Grotberg, Henderson. (1999). Tapping Your Inner Strength. Newharbinger Publication, Inc.

Hadi, S. (2000). Metodologi Penelitian (Jilid 1-4). Yogyakarta: Penerbit Andi. Hawari, H.D. (2005). Penyalahgunaan dan Ketergantungan NAZA (Narkotika,


(5)

Jackson, S. (2002). Reducing Risk and Promoting Resilience in Vulnarable Children. _journal/issue04/articles/jackson.html/.

Masten & Gewirtz. (2006). Resilience in Development : The Importance of Early Childhood. Encyclopedia on Early Childhood Development 1 © 2006 Center of Excelence for Early Childhood Development Masten AS, Gewirtz AH. University og Minesota, USA.

Mc.Gillin, Victoria A. (2003). Academic Risk adn Resilience: Implication for Advising at Small Colleges and Universities. Nacada. Monograph series.

Number 8.

Muchinsky, Paul M. (2003). Psychology applied to work, 7th ed. Belmont:

Thompson Wadsworth Learning.

Nevid, Jeffrey & Rathus, Spencer & Greene, Beverly. (2003). Psikologi Abnormal. Edisi kelima. Jakarta : Penerbit Erlangga.

Perkins, Wesley H. & William and Hobart Smith Colleges. (2002). College Student Misperception of Alcohol and Other Drug Norm Among Peers: Exploring Causes, Consequences, and Implications for Prevention Program. Journal of Alcohol and Drug Education.Diakses 8 september 2010. http://alcohol.hws.edu/perkinstheorychapter.pdf.

Prasetyo, Munandar. (2008). Perilaku One Night Stand Pada Mahasiswa. Skripsi: Universitas Muhamdiyah Malang.


(6)

Reivich, Karen & Shuttle, A. (2002). The Resilience Factor : Seven Skill for Overcoming Life Epitable Obstacle. New York Random House, Inc. Sarafino, P, Edward. (2006). Health Psychology. Biopsychosocial Interaction fifth

edition. Amerika Serikat: John Wiley & Sons, Inc.

Weiten, Wayne & Margaret A. Llyod. (2006). Psychology applied to modern life (8th ed). Belmont: Thompson Wadsworth Learning.

Yatim, D.I., Irwanto. (1986). Kepribadian Keluarga dan Narkotika: tinjauan social-psikologis. Jakarta : Penerbit Arcan

Zimmerman, Marc.A. & Fergus Stevenson. (2005). Adolescent Resilience: A Framework for Understanding Healthy Development in the Face of Risk. Journal of Public Health. Diakses 15 oktober 2010.


Dokumen yang terkait

Gambaran Perilaku Mahasiswa Dalam Menggunakan Plastik Dan Styrofoam Sebagai Kemasan Makanan Di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara Tahun 2012

46 185 124

Gambaran Pengetahuan Mahasiswa Pendidikan Sarjana Kedokteran Universitas Sumatera Utara Mengenai Vaksin HPV.

3 47 75

Gambaran Kreativitas Pada Mahasiswa Psikologi Universitas Sumatera Utara

82 312 141

Gambaran Gangguan Ansietas dan Gangguan Depresi Terhadap Pembuatan Karya Tulis Ilmiah Pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Angkatan 2010 di Univesitas Sumatera Utara

2 17 82

Gambaran Gangguan Ansietas dan Gangguan Depresi Terhadap Pembuatan Karya Tulis Ilmiah Pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Angkatan 2010 di Univesitas Sumatera Utara

0 0 13

Gambaran Gangguan Ansietas dan Gangguan Depresi Terhadap Pembuatan Karya Tulis Ilmiah Pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Angkatan 2010 di Univesitas Sumatera Utara

0 0 2

Gambaran Gangguan Ansietas dan Gangguan Depresi Terhadap Pembuatan Karya Tulis Ilmiah Pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Angkatan 2010 di Univesitas Sumatera Utara

0 0 3

Gambaran Gangguan Ansietas dan Gangguan Depresi Terhadap Pembuatan Karya Tulis Ilmiah Pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Angkatan 2010 di Univesitas Sumatera Utara

0 0 16

Gambaran Gangguan Ansietas dan Gangguan Depresi Terhadap Pembuatan Karya Tulis Ilmiah Pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Angkatan 2010 di Univesitas Sumatera Utara

0 0 4

Gambaran Gangguan Ansietas dan Gangguan Depresi Terhadap Pembuatan Karya Tulis Ilmiah Pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Angkatan 2010 di Univesitas Sumatera Utara

0 0 23