AGAMA CINTA AGAMA CINTA AGAMA CINTA

KASUS SAMPIT
ARIEF PRATAMA TARIGAN
XII-MIPA 7

Kerusuhan Sampit dengan korban ratusan jiwa ternyata hanya
bermula dari perkelahian siswa SMK di Baamang. Perkelahian itu
melibatkan anak warga Dayak dan Madura.
Perkelahian siswa itulah, yang kemudian memicu konflik
antarkeluarga, antaretnis, hingga pembantaian sampai pengusiran puluhan
ribu warga Madura. Anak polah, bapa kepradah. Pepatah Jawa yang berarti
anak berbuat, orang tua ikut terlibat ini terjadi atas diri keluarga Matayo.
Warga asal Madura yang sudah lama tinggal di Baamang, Sampit, ini tak
terima anaknya berkelahi dengan anak warga Dayak. Tapi, keterlibatan
Matayo atas perkelahian anaknya ini malah memicu kegeraman warga
dayak. Lalu, dibuatlah perhitungan.
Minggu dini hari sekitar pukul 03.00 (18 Februari) sekelompok
pemuda Dayak menyerang dan membunuh Matayo. Tiga orang anggota
keluarganya ikut tewas. Itu versi warga Madura. Versi warga Dayak agak
berbeda lagi. Mereka bilang, eksekusi terhadap Matayo dan keluarganya
terjadi karena yang bersangkutan sering melakukan tindak kriminal. Warga
setempat pun jengkel karena sering dirugikan. Hanya empat jam, eksekusi

Dayak terhadap Matayo ini menyebar.
Warga Madura tak bisa menerima. Sejumlah warga pendatang ini
lantas menyatroni Ketua Lembaga Musyawarah Masyarakat Dayak, Seruyan
Tengah, untuk membalas dendam. Lengkap dengan berbagai senjata, warga
Madura ini minta Iniel menyerahkan pembunuh Matayo yang bersembunyi
di rumahnya. Mereka mengancam akan membakar kalau pelaku tidak
diserahkan.

tapi, 39 orang di dalam rumah Iniel
tidak keluar. Warga Madura mulai tidak
sabar. Mereka melemparkan apa saja ke
pagar dan kaca rumah. Bahkan, ada
yang berusaha membakar rumah.
Mendengar ribut-ribut, polisi datang,
lalu mengamankan 39 orang yang ada di
rumah Iniel. Sebagian memang mengaku
membunuh Matayo. Tapi, warga Madura
tidak puas dan mengarahkan amarahnya
ke warga Dayak yang lain. Beberapa
rumah warga Dayak dibakar. Nasib

tragis dialami Jihan atau Seyan,
seorang purnawirawan TNI AD. Seyan
beserta ketujuh anak dan cucunya yang kabarnya masih kerabat Iniel
dibakar hidup-hidup dalam rumahnya. Sejak hari itu, warga Madura
menguasai Sampit. Dengan mengacung-acungkan senjata, puluhan warga
Madura pawai keliling kota. Mereka menggunakan berbagai kendaraan,
mulai roda dua sampai roda empat. Mereka tak hanya berpawai. Setiap
bertemu warga Dayak, mereka mengejar dan membunuhnya. Sedikitnya,
sepuluh rumah dibakar.
Tujuh orang tewas saat warga Madura menguasai Sampit. Bahkan,
seorang ibu muda hamil tujuh bulan ikut dibunuh dengan dirobek perutnya.
"Itu fakta," kata Bambang Sakti, tokoh muda Dayak asal Sungai Samba.
Situasi itu membuat Sampit Minggu malam mencekam. Listrik padam total.
Pembakaran di perkampungan warga di Jalan Baamang berlangsung
sporadis. Pengungsi mulai membanjiri gedung pertemuan di depan rumah
jabatan bupati sampit. Tapi, kemudian dialihkan ke kantor bupati.
Yang mengungsi bukan hanya warga Madura. Juga Dayak dan Cina. Mereka
berdesak-desakan mengungsi. Ini terjadi karena mereka belum tahu betul
siapa yang menguasai jalanan di Sampit malam itu, Madura atau Dayak. Di
pengungsian, Madura dan Dayak malah rukun.”Saya saat itu ikut mengungsi”

ujar seorang wartawan lokal. Untuk menghadang orang Dayak keluar-masuk
Sampit, warga Madura melakukan penjagaan di pertigaan Desa Bajarum
yang mengarah kota Kecamatan Kota Besi.
Penjagaan juga terjadi di Perenggean, Kecamatan Kuala Kuayan, dan
desa-desa pedalaman Hilir Mentayan. Selama berpawai itu, warga Madura
terus berteriak-teriak mencari tokoh Dayak. "Mana Panglima Burung?

Mana tokoh Dayak?" tantang
mereka. Tak hanya itu, seorang
tokoh Madura melakukan orasi lewat
pengeras suara, "Sampit akan jadi
Sampang kedua, Sampit jadi
Sampang Kedua".
Mereka juga memasang
spanduk: Selamat datang orang
Dayak di kota Sampang, Serambi Mekkah. "Spanduk itu yang kami cari
sekarang," kata Bambang Sakti. Bambang juga bilang telah menemukan
sejumlah bom di rumah-rumah warga Madura. "Ini bukan isapan jempol,"
tuturnya. Sedikitnya, pasukan Dayak sudah menyerahkan 300 bom yang
ditemukan di rumah warga Madura. Begitu juga beberapa pucuk pistol.

"Tidak tahu bagaimana tindak lanjutnya," jelasnya. Kabarnya, bom-bom itu
dirakit di Jawa, lalu dikirimkan ke Sampit. Tapi, sumber Jawa Pos
menyebutkan, bom rakitan dibuat di Sampit. Lalu, didistribusikan ke
berbagai warga Madura di kecamatan.
Mereka bilang bom itu untuk mempertahankan diri jika sewaktuwaktu diserang warga Dayak. Tapi, karena bom itu pula, 112 warga Madura
di Kecamatan Perenggean dibantai di lapangan kecamatan. Ini setelah
warga Dayak menemukan bom di rumah seorang warga Madura.
Melihat aksi penguasaan warga pendatang itu, warga Dayak tak tinggal
diam. Mereka lantas membawa bala bantuan pasukan dari Dayak pedalaman.
Warga Dayak yang tiba lebih dulu melakukan perlawanan sporadis. Selasa
malam (20 Februari), peta kekuatan mulai berbalik.
Warga Dayak pedalaman dari berbagai lokasi daerah aliran sungai
(DAS) Mentaya, seperti Seruyan, Ratua Pulut, Perenggean, Katingan Hilir,
bahkan Barito berdatangan ke kota Sampit melalui hilir Sungai Mentaya
dekat pelabuhan. Pasukan Dayak pedalaman yang rata-rata berusia muda
tak lebih 25 tahun membekali diri dengan berbagai ilmu kebal. Jumlahnya
sekitar sekitar 320 orang.
Pasukan itu lalu menyusup ke daerah Baamang dan sekitarnya, pusat
permukiman warga Madura. Meski dalam jumlah kecil, kemampuan
bertempur pasukan khusus Dayak sangat teruji. Buktinya, mereka mampu

memukul balik warga Madura yang terkosentrasi di berbagai sudut jalan
Sampit. Dengan ilmu kebal, mereka melawan ribuan warga Madura. Bahkan,
mereka sanggup menghadapi bom yang banyak digunakan warga Madura.
Dalam bentrok terbuka, seorang warga Madura melemparkan bom ke arah

pasukan Dayak. Tapi, bom dapat ditangkap dan dilemparkan kembali ke
arah kerumunan Madura. Meledak. Puluhan warga Madura tewas seketika.
Selain kebal senjata, pasukan Dayak pedalaman tidak mempan ditembak.
Mereka justru memunguti peluru untuk dikantongi. Karena itu, polisi juga
keder.
Sejak itu, mental Madura pun langsung down. Strategi yang
diterapkan warga Dayak dalam serangan balik cukup jitu. Selain masuk
lewat Baamang, sekitar empat perahu penuh pasukan dayak tidak langsung
merapat ke bibir sungai.
Mereka berhenti di seberang sungai Mentaya. Baru berenang
menuju kota pinggir sungai di tepian kota Sampit. Strategi ini untuk
menghindari pengawasan orang Madura. Lantas, secara tiba-tiba, mereka
muncul dan menyerang permukiman Madura. Madura pun dibuat kocarkacir. Pasukan Dayak pedalaman terus bergerak ke kantong-kantong tokoh
Madura. Seperti, Jalan Baamang III, Simpong atau dikenal Jalan Gatot
Subroto, dan S. Parman. Rumah tokoh Ikatan Keluarga Madura (Ikama)

Haji Marlinggi yang cukup megah di Jalan DI Panjaitan tak luput dari
sasaran. Banyak pengawal penguasa Pelabuhan Sampit itu yang terbunuh.
Sebagian lari. Sejumlah becak bekas dibakar berserakan di halaman rumah
yang hancur.
Rumah tokoh Madura lain seperti Haji Satiman dan Haji Ismail juga
dihancurkan. Tidak terkecuali rumah Mat Nabi yang dikenal sebagai
jagonya Sampit. Padahal, rumah tokoh-tokoh Madura yang berada di
Sampit, Samuda, maupun Palangkaraya tergolong cukup mewah. Serangan
pasukan inti Dayak kemudian diikuti warga Dayak lain. Mereka mencari
rumah dan warga di sepanjang kota Sampit. Ratusan warga Madura dibunuh
secara mengenaskan, lalu dipenggal kepalanya.
Hari-hari berikutnya gelombang serangan suku Dayak terus
berdatangan. Bahkan, sebelum menyerang, seorang tokoh atau panglima
Dayak lebih dulu membekali ilmu kebal kepada pasukannya. Karena itu, saat
melakukan serangan, biasanya mereka berada dalam alam bawah sadar.
Uniknya, mereka juga dibekali indera penciuman tajam untuk
membedakan orang Madura dan non-Madura. "Dari jarak sekitar 200
meter, baunya sudah tercium," ujar. Itu tak berlebihan. Saat ada evakuasi,
di tengah jalan seorang warga Madura disusupkan. Dia dikelilingi warga
non-Madura. Sebelum masuk ke lokasi penampungan, mereka kena sweeping

Dayak. Meski orang itu ada di tengah pengungsi, masih juga tercium dan
disuruh turun. Tanpa ampun, laki-laki tadi dibantai.

Agar serangan ke perkampungan Madura terkendali, para komando
warga Dayak menggunakan Hotel Rama sebagai pusat komando
penyerangan. Bahkan, di hotel itulah pasukan diberi ramuan ilmu kekebalan
oleh para panglima. Saat digerebek, aparat menemukan beberapa kepala
manusia. Tapi, para tokohnya sempat meloloskan diri. Kini, di depan hotel
bertingkat dua itu dibentangkan police line.
Berada di atas angin, pasukan Dayak lalu melebarkan serangan ke
berbagai kota Kecamatan Kotawaringin Timur. Sasaran pertama, Samuda,
ibu kota Kecamatan Mentaya Hilir Selatan, dan Parebok yang banyak dihuni
warga Madura. Samuda dan Parebok jadi sasaran setelah Sampit karena
banyak tokoh Madura tinggal di daerah itu. Di Parebok juga ada Ponpes
Libasu Taqwa.
Ponpes yang diasuh Haji Mat Lurah ini juga dijadikan tempat
berlindung banyak warga Madura. Warga Madura di kecamatan lain pun
tidak lepas dari buruan. Misalnya, Kuala Kuayan. Ratusan korban jatuh
dengan kepala terpenggal. Kini, warga Dayak praktis menguasai hampir
seluruh wilayah Kalimantan Tengah. Kecuali Pangkalan Bun. Kota ini aman

karena hampir tak ada warga Madura yang tinggal di semua kota
kecamatan. Penghuninya, saat itu, banyak yang lari menyelamatkan diri ke
hutan, baik Palangkaraya, Sampit, maupun Samuda.
Bohong, kalau Gubernur Kalteng Asnawi Agani mengatakan orang
Madura yang tewas 200 orang, meskipun itu informasi yang datang dari
Posko Sampit. Hal ini dikatakan sejumlah orang Madura yang ikut naik KRI
Teluk Ende 517. Dalam pelayaran menyusuri Sungai Mentaya (70 km), ABK
dan pengungsi bisa melihat puluhan mayat yang mengapung di sepanjang
sungai, dan sejumlah bangunan rumah warga Madura dan Pasar
Sampit/Pasar Ganal yang tinggal temboknya yang hangus.
Dikatakan seorang pengungsi yang bekerja di penggergajian kayu,
PT Sempagan Raya Sampit, Abdul Sari (30), bahwa yang tampak di sungai
saja ada puluhan yang mengapung dan tersangkut di pinggir. Sementara
yang hanyut dan tenggelam lebih dari 200 warga etnis Madura. "Ini baru
yang di sungai, belum yang terserak di pinggir sepanjang Jl. Masjid Nur
Agung saja tidak kurang dari 200 mayat," katanya.
Sementara di Jl. Sampit Pangkalan Bun, saat ini masih banyak
mayat yang bergelimpangan di tepi jalan. Mayat-mayat itu hanya ditutupi
dengan batu koral yang dibungkus karung sak. Tidak ada yang menolong
untuk dimakamkan, kami tidak mungkin untuk melakukan itu. Sedang untuk

bisa lolos dari kejaran dan tebasan mandau Dayak saja sudah bersyukur.

Abdul Sari juga mengatakan, sekarang pasukan Dayak tidak lagi
membedakan siapa yang akan dibunuh. Awalnya yang diserang hanya etnis
Madura, tapi kini semua pendatang, termasuk orang Jawa, dan Cina.
Mereka bukan hanya ditebas lehernya saja, tapi juga dipenggal jadi
beberapa potong.
Di mata etnis Madura, polisi setempat sudah kehilangan
kepercayaannya lagi. Mereka (warga etnis Madura) mengaku, siangnya di
sweeping dan senjatanya disita petugas, dan mereka (petugas)
mengatakan, semua sudah aman dan tidak ada apa-apa lagi. Maka warga
etnis Madura di Jl. Sampit Pangkalan Bun tenang-tenang saja dan percaya
pada petugas. Ternyata malamnya diawali dengan suara kuluk,... kuluk,...
kuluk,... sebentar kemudian pasukan Dayak muncul dan membunuhi warga
Madura. Tidak ada yang tersisa, mereka yang menyerah maupun yang lari
dibunuh. Umumnya mereka diserang pada malam hari, ratusan Dayak
dengan suara kuluk..., kuluk..., sambug-menyambung muncul dari segala
penjuru.
Esoknya warga etnis Madura mati mengenaskan dengan badan tanpa
kepala lagi. Parebuk Menurut warga etnis Madura yang ikut KRI Teluk

Ende, Sopian (56), warga yang banyak mati dari daerah Parebuk, Semuda.
Karena warga Madura yang ada di sini tidak menghindar tapi melakukan
perlawanan sengit. "Saat ini di sana yang tersisa tinggal wanita dan anakanak," kata Sopian.
Sopian yang datang ke pengungsian dengan jalan menyusuri sungai
mengatakan, dia berjalan sambil sembunyi-sembunyi di antara pohon hutan
yang cukup lebat. Ternyata setelah 7 hari di pengungsian ia hanya melihat
beberapa warga Madura dari Semuda. Berarti ada sedikitnya 500 orang
Madura yang tewas melawan Dayak di Semuda. "Kalau masih hidup
seharusnya perjalanan mereka tidak lebih dari satu atau dua hari saja,"
kata Sopian.
Sopian bersama pengungsi lain yang ada di pengungsian pun mengaku
masih dibayang-bayangi pasukan suku Dayak. Bahkan ada isu bahwa kamp
pengungsian di halaman Pemda Sampit akan diserbu oleh Dayak. Hal ini
membuat warga Madura yang ada di pengungsian menjadi resah, di samping
mereka sudah ketakutan, juga mereka sudah tidak memiliki senjata lagi.
Menurut Kilan, sejumlah orang Dayak membawa mayat orang Madura
dengan geledekan keliling kota. Tidak sampai di situ, geledekan yang berisi
orang Madura ditinggal begitu saja di depan Polres Sampit, Jl. Sudirman.
Kekesalan warga Madura terhadap oknum polisi di Polsek Jl. Ba Amang


Tengah semakin menjadi, seperti yang diungkapkan oleh Somad yang
mendatangi kantor Polsek. Ia minta perlindungan setelah dikejar-kejar
oleh sekitar 50 Dayak, Somad minta diantar ke tempat pengungsian.
Kapolsek bukannya menolong tapi justru memanggil Dayak yang ada di
sekitar situ. Somad mengaku lari ke belakang, dengan melompat lewat
pintu belakang Polsek ia akhirnya lolos lari ke semak-semak. Ia sempat
merangkak sejauh 300m sebelum lepas dari kejaran Dayak dan lari ke
hutan. Dari hutan ini ia menyusuri tepian hutan dan akhirnya sampai ke
tempat pengungsian. Ia pun bersyukur karena bisa ketemu dengan anak
istrinya.
Seorang pengungsi, Choiri (40), dari Pasuruan mengatakan, ada
peristiwa yang sangat mengenaskan dari daerah Belanti Tanjung Katung,
Sampit. Sebanyak 4 truk pengungsi Parengkuan yang dibawa oleh orang
yang mengaku petugas dengan mengatakan akan dibawa ke tempat
penampungan pengungsi di SMP 2, akhirnya dibantai habis. Ternyata
mereka yang mengaku petugas adalah pasukan Dayak, orang Madura
disuruh turun dan dibantai. "Jika tiap truk berisi 50 pengungsi berarti ada
200 pengungsi yang tewas dibantai," kata Choiri.
Choiri mengatakan, yang dibantai itu semuanya wanita dan anakanak. Begitu jemputan yang kedua tiba, yang diangkut adalah orang lakilaki dewasa, justru mereka selamat tidak di tempat pengungsian karena
dikawal oleh Brimob dari Jakarta.
Liar Pengakuan seorang pengungsi, Titin (19), asli Lumajang, yang
tinggal di Jl. Pinang 20 Sampit mengatakan, suaminya yang asli Dayak
Kapuas yang kini ikut pasukan Dayak. Ia menceritakan, suaminya pernah
bercerita padanya, mengapa orang Dayak menjadi pandai berkelahi dan
larinya cepat bagai kijang. Awalnya suaminya enggan menjadi pasukan
Dayak untuk membunuhi orang Madura. Tapi karena dihadapkan pada satu
di antara dua pilihan, jadi pasukan atau mati, terpaksa suaminya memilih
jadi pasukan Dayak. Saat itu ia disuruh minum cairan yang membuatnya ia
menjadi berani, kemudian alisnya diolesi dengan minyak yang membuat ia
melihat bahwa orang Madura itu berwujud anjing dan akhirnya harus
diburu dan dibunuh. Makanya orang Dayak tidak punya takut, tidak punya
rasa kasihan, ini menurut Titin karena sudah diberi minuman dan olesan
minyak tertentu. Sehingga mereka mirip dengan jaran kepang yang sedang
kesurupan, mungkin mereka kerasukan roh nenek moyangnya dan
membunuh sesuai dengan perintah panglima perang suku Dayak.

KOMENTAR
1. Terjadinya proses marginalisasi suku Dayak. Pendidikan yang minim dan
sedikitnya warga Dayak yang bisa menikmati pendidikan mengakibatkan
sedikitnya warga Dayak yang duduk di pemerintahan daerah. Pemerintahan
daerah lebih banyak di pegang oleh warga pendatang.
2. Penempatan transmigran di pedalaman Kalimantan yang mengakibatkan
singgungan hutan. Hutan bagi masyarakat Dayak adalah tempat tinggal dan
hidup mereka. Ketika transmigran ditempatkan di pedalaman Kalimantan,
dan mereka melakukan penebangan hutan, kehidupan masyarakat Dayak
terganggu. Sejak tahun 1995 para transmigran di tempatkan di pedalaman
Kalimantan, tidak seperti tahun-tahun sebelumnya yang selalu
menempatkan transmigran di pesisir. Para pendatang baru inilah, yang
dikenal keras dan pembuat masalah, tidak seperti pendatang-pendatang
sebelumnya. Selain soal transmigrasi, pemerintah juga telah memberikan
keleluasaan bagi para pengusaha untuk membuka hutan melalui HPH.
3. Masyarakat Dayak kehilangan pijakan, terganggunya harmoni kehidupan
masyarakat Dayak mengakibatkan masyarakat Dayak kehilangan pijakan.
Kekuatan adat menjadi berkurang. Kebijakan-kebijakan pemerintah telang
menghilangkan/mengurangi identitas mereka sebagai masyarakat adat.
4. Hukum yang tidak dijalankan dengan baik mengakibatkan banyaknya
terjadi tindak kekerasan dan kriminal yang dibiarkan. Proses pembiaran ini
berakibat pada lemahnya hukum dimata masyarakat, sehingga masyarakat
menggunakan caranya sendiri untuk menyelesaikan berbagai persoalan,
diantaranya dengan menggunakan kekerasan.