PERSINGGUNGAN HUKUM ADMINISTRASI DENGAN Subjek hukum pidana

F IRMA H UKUM MTM & A SSOCIATES

Paper Penelitian Hukum 2017-02

Mei 2017

P ERSINGGUNGAN H UKUM A DMINISTRASI DENGAN H UKUM P IDANA DALAM P ENYELESAIAN P ERKARA K ORUPSI

Oleh M UHAMMAD T ABRANI M UTALIB F AKULTAS H UKUM U NIVERSITAS M UHAMMADIYAH M ALUKU U TARA

Paper ini dapat di unduh gratis dari akun Academia Penulis:

https://ummu.academia.edu/MuhammadTabrani

P ERSINGGUNGAN H UKUM A DMINISTRASI DENGAN H UKUM

P IDANA DALAM P ENYELESAIAN P ERKARA K ORUPSI

Oleh M UHAMMAD T ABRANI M UTALIB

F AKULTAS H UKUM U NIVERSITAS M UHAMMADIYAH M ALUKU U TARA Jl. KH Ahmad Dahlan No. 100, Sasa, Ternate-Maluku Utara firmahukum.mtm@gmail.com

Abstract

This research investigates the problem of intersection (aanknopingspunten) between criminal law and administrative law in the settlement of corruption crime cases by using administrative law jurisdiction based on paradigm of ultimum remidium doctrine.

The results of the study found that there is indeed a connection (aanknopingspunten) between the field of administrative law with criminal law in the case of corruption. To be able to resolve the intersection, then in the prosecution of officials suspected of committing corruption crime must first or must use legal norms used by officials when doing its activities, namely administrative law as the entry way for the application and enforcement of law in corruption cases not only focus on aspects of punishment only, but rather should be more proportional, effective and targeted.

The benchmark to test the legality (legitimacy) of government action is the legislation and the general principles of good governance.

Keywords: Intersection between Criminal Law and Administrative Law, Corruption Cases, review the legality of government action

A. Pendahuluan Sejak runtuhnya rezim orde baru yang berkuasa selama hampir 32 tahun dan

dimulainya suatu era baru yang disebut era reformasi telah memunculkan pelbagai desakan kuat masyarakat yang menginginkan terwujudnya berbagai langkah nyata oleh pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya dalam hal pemberantasan dan pencegahan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Tuntutan demokratisasi, pembaruan komitmen dan kemauan politik untuk memberantas dan mencegah korupsi, kolusi, dan nepotisme memerlukan langkah- langkah percepatan. Sebab permasalahan korupsi, kolusi, dan nepotisme yang melanda dimulainya suatu era baru yang disebut era reformasi telah memunculkan pelbagai desakan kuat masyarakat yang menginginkan terwujudnya berbagai langkah nyata oleh pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya dalam hal pemberantasan dan pencegahan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Tuntutan demokratisasi, pembaruan komitmen dan kemauan politik untuk memberantas dan mencegah korupsi, kolusi, dan nepotisme memerlukan langkah- langkah percepatan. Sebab permasalahan korupsi, kolusi, dan nepotisme yang melanda

Membangun suatu sistem pemerintahan yang bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme memang bukan perkara mudah yang dapat diwujudkan dengan menggosok lampu Aladin seperti dalam dongeng. Pemerintahan yang ideal bebas dari korupsi memang selamanya mungkin tidak akan terwujud dalam realitas, sebab dalil tersebut memang mengandung unsur utopia. Pengawasan dari rakyat sebagai pemegang kedaulatan yang diharapkan mampu melahirkan suatu sistem yang akuntabel pun terhalang oleh pelbagai rintangan- rintangan politis dan prosedural. Namun terlepas dari itu, sejak tahun 1998 masalah kejahatan korupsi telah ditetapkan Negara sebagai musuh bersama dan memerlukan langkah-langkah percepatan berupa perumusan politik hukum pemberantasan korupsi. Hal itu tampak dalam rumusan konsideran butir (a) dan (b) UU No. 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yang menyatakan bahwa:

“Tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional, sehingga harus diberantas dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945”. “Akibat tindak pidana korupsi yang terjadi selama ini selain merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan

pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi”. 2

1 Lihat Konsideran menimbang butir (a), (b), (c), dan (d) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor VIII/MPR/2001 Tahun 2001 Tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan

dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. 2 Konsideran menimbang butir (a) dan (b) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi, Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 40.

Lebih lanjut, dalam konsideran menimbang butir (a) UU No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, rumusan di atas, lebih dipertegas lagi sebagai berikut:

“Tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan

sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa”. 3 Atas dasar pertimbangan itulah, maka para perumus UU a quo saat itu dengan gagah

berani mendeklarasikan sekaligus menggolongkan kejahatan korupsi sebagai kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crimes) yang berimplikasi pada cara penanganan dan

penyelesaian secara luar biasa pula (extra ordinary treatment). 4 Sebab-musabab (asbābun wurud) dari pertimbangan tersebut ialah didasarkan pada dalil bahwa perbuatan korupsi dianggap berdampak menimbulkan kerugian negara yang sangat besar yang pada gilirannya berimplikasi pada timbulnya krisis di berbagai bidang sehingga pada akhirnya

menghambat perwujudan masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera. 5 Dalam sistem hukum Indonesia, tugas pemberantasan kejahatan korupsi sebagai musuh bersama dijalankan oleh lembaga-lembaga negara (Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK), kinerja ini diperkuat juga dengan pembentukan Komisi Kepolisian Nasional, Komisi

3 Konsideran menimbang butir a Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang- Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2001 Nomor 134. 4 “...Mengingat korupsi di Indonesia terjadi secara sistematik dan meluas sehingga tidak hanya merugikan keuangan negara,

tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, maka pemberantasan korupsi perlu dilakukan dengan cara luar biasa. Dengan demikian, pemberantasan tindak pidana korupsi harus dilakukan dengan cara yang khusus, antara lain penerapan sistem pembuktian terbalik yakni pembuktian yang dibebankan kepada terdakwa.” Lihat paragraf kedua penjelasan umum Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang- Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 4150. Lihat hal senada juga dalam Pertimbangan Hukum Hakim Mahkamah Konstitusi No. 25/PUU-XIV/2016, poin no. [3.10.8] hlm. 115. Yang berbunyi “....oleh karenanya setiap tindak pidana korupsi digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa atau biasa disebut sebagai perbuatan yang bersifat extra ordinary crime.”

5 Disarikan dari penjelasan umum Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 3874.

Kejaksaan, dan Komisi Yudisial. 6 Disamping peran kelompok dari civil society yang terus- menerus mengawasi kinerja lembaga-lembaga di atas. Meskipun demikian, hasil dari semangat reformasi dan upaya luar biasa pemberantasan kejahatan korupsi ternyata pada kenyataannya belum menunjukan capaian yang signifikan. Hal itu tampak dari Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia dari tahun 2010-2014 yang dilakukan oleh lembaga Transparancy International (TI). Hasilnya antara lain:

“Pada tahun 2010, Indonesia berada pada peringkat 110 sebagai negara terbersih di dunia, lalu di tahun 2011 mengalami kenaikan pada angka 100. Peringkat Indonesia kembali turun pada 2012 ke-urutan 118, sedangkan peringkat Timor Leste pada tahun yang sama bahkan lebih baik. Peringkat Indonesia sedikit membaik di tahun 2013 pada peringkat 114 dan ditahun 2014 mengalami perbaikan lagi menempati urutan 107. Dengan merujuk data tersebut, Indonesia hingga 2014 belum berhasil masuk 50 teratas

negara terbersih di dunia.” 7

Sekalipun Indeks Persepsi Korupsi tersebut tidak dapat hanya dijadikan satu-satunya parameter untuk mengukur keberhasilan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia, namun data tersebut setidaknya menunjukan bahwa cara penanganan tindak pidana korupsi yang lebih mengutamakan kuantitas perkara dan pendekatan retributif (penjeraan) belum maksimal dan efektif dalam mengurangi dampak destruktif kejahatan korupsi. Kebijkan hukum pemberantasan korupsi selama ini dirasa belum optimal diarahkan pada upaya pencegahan (preventif) ataupun pengembalian kerugian keuangan negara.

Sejak tahun 2004 hingga akhir 2010, Menteri dalam Negeri telah mengeluarkan 157 izin pemeriksaan terhadap kepala daerah yang terdiri dari 118 untuk pemeriksaan Bupati, 19

6 Romli Atmasasmita et.al, Sisi Lain Akuntabilitas KPK dan Lembaga Pegiat Antikorupsi: Fakta dan Analisis, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2016, hlm. 3-4.

7 “.....Sebelum tahun 2010, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia berada di peringkat 85 bersama Angola. IPK Indonesia memburuk 2001 di peringkat 88, berbagi posisi dengan Uganda, kemudian pada 2002 dan 2003

makin memburuk menjadi masing-masing peringkat 96 dan 122, berbagi dengan Kenya. Peringkat Indonesia makin turun ke peringkat 133 pada 2004, berbagi skor yang sama dengan Pantai Gading, Congo, Angola, Georgia, Tajikistan, dan Turkmenistan, dan peringkat137 pada 2005, berbagi skor yang sama dengan Azerbaijan, Kamerun, Ethiopea, Irak, Liberia, dan Uzbekistan. Titik balik harapan adanya perbaikan peringkat Indonesia sebagai negara bersih korupsi baru terjadi pada 2006 dengan peringkat 130, namun pada 2007 kembali memburuk, turun ke peringkat 143. Dalam kurun waktu 2008 sampai dengan 2009, adanya perbaikan dengan naiknya peringkat Indonesia menjadi 126 pada 2008 dan naik lagi di urutan 111 pada 2009”. ibid, hlm. 5-6.

surat izin pemeriksaan Walikota dan 20 untuk pemeriksaan Gubernur. 8 Data ini diperkirakan akan mengalami peningkatan dimasa yang akan datang, mengingat strategi penanganan korupsi yang masih menitikberatkan pada kuantitas jumlah perkara korupsi ketimbang strategi pencegahan dan alternatif upaya hukum lain.

Dalam laporan tahunan Indonesian Coruption Watch (ICW) disebutkan bahwa pada 2011 terdapat 1.056 jumlah tersangka korupsi, dan pada 2013 naik menjadi 1.271 kasus. Selain itu, laporan kejaksanaan menyebutkan bahwa pada 2011 terdapat 699 kasus di tahap penyelidikan korupsi, kemudian meningkat menjadi 1.696 kasus pada 2013. Namun, kuantitas kasus korupsi tersebut tidak sebanding dengan pengembalian kerugian keuangan negara. Penghasilan Negara Bukan Pajak (PNBP) fungsional tiga lembaga penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan dan KPK) tahun 2013 dan 2014 secara total sebesar Rp 7.058.154.097.096, sedangkan khusus KPK sendiri pada periode yang sama hanya Rp.

231.522.173.193 yang dikembalikan ke kas negara. 9

Berkenaan dengan itu, Romli Atmasasmita mengatakan bahwa keadaan tersebut disebabkan oleh masih melekatnya pengaruh aliran klasik dalam proses penegakan hukum, khususnya dalam pemberantasan korupsi, yang lebih mengutamakan pendekatan retributif (penjeraan) daripada pendekatan restoratif (pemulihan), dalam hal ini penyelamatan

keuangan negara. 10 Patut pula disebutkan pandangan Syaiful Bakhri terkait pidana selain penjara yakni bahwa implementasi pidana dalam hukum positif Indonesia tidak sesuai dengan tujuan pemidanaan sebagaimana diatur dalam KUHP, dalam kenyataannya pidana denda tidak berjalan efektif, walaupun banyak aturan mengenai pidana denda yang

8 http://www.beritasatu.com/nasional/8794-tahun-ini-15-bupati-akan-diperiksa.html diakses tanggal 9 Mei 2017

9 Romli Atmasasmita et.al, Op, Cit, hlm. 7-8. 10 Ibid, hlm. 8-9.

mengenakan pidana denda yang tinggi kepada pelaku kejahatan, tetapi tidak mampu menciptakan efek pencegahan dan efek jera. Ditambah lagi keefektifan penerapan pidana denda masih menjadi hal yang dipertanyakan. Dalam kasus korupsi, hakim lebih cenderung memberikan pidana penjara yang tinggi dan hanya mengenakan pidana denda yang relatif rendah. Ketiga, formulasi kebijakan pidana denda harus dilakukan secara efektif, pasti dan

rasional. 11 Adapun dilihat dari optik hukum administrasi, Henk Addink dan G. Ten Berge mengemukakan bahwa pendekatan terhadap korupsi hanya dilakukan dari satu sisi saja (pendekatan pemidanaan dan represif) dan karenanya perspektifnya terlalu sempit. 12 Konsekuensi dari pendekatan a quo ialah meletakan instrumen hukum pidana berada didepan (premium remidium) sebagai alat pemukul paling utama dan satu-satunya terhadap kejahatan korupsi. Padahal tujuan hukum pidana di era modern tidak lagi hanya sekedar memerangi kejahatan korupsi semata, melainkan juga memperhatikan ilmu lain atau alternatif upaya hukum lain terlebih dahulu. Dengan kata lain, menaruh hukum pidana berada di belakang (ultimum remidium) sebagai sarana terakhir atau senjata pamungkas yang

digunakan untuk menyelesaikan perkara korupsi. 13

Secara keilmuan hukum, telah jelas bahwa korupsi yang didalamnya ada unsur merugikan keuangan negara atau perekonomian negara itu tidak semata-mata perkara

11 Syaiful Bakhri, Kebijakan Legislatif tentang Pidana Denda dan Penerapannya dalam Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi, dalam Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, No. 2, Vol. 17, April 2010, hlm. 317.

12 Henk Addink dan Gio Ten Berge, Inovasi Sarana Hukum Dalam Rangka Pemberantasan Korupsi Dalam Pelayanan Publik di Belanda, judul asli Innovation of legal Means for Eliminating Corruption in The Public Service,

Dalam Philipus M. Hadjon, Hukum Administrasi dan Tindak Pidana Korupsi, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2012, hlm. 82.

13 Disarikan dari Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Edisi Revisi, Cetakan Pertama, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, 2016, hlm. 31.

hukum pidana, namun terkait pula dengan administrasi dan hukum perdata. 14 Terkait hal itu, Philipus M. Hadjon menyatakan bahwa peran hukum administrasi tidak bisa diabaikan dalam kaitannya dengan tindak pidana korupsi, baik dari segi preventif (pencegahan) maupun represif (penindakan). Lebih lanjut kata Hadjon, instrumen hukum yang utama

untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih adalah hukum administrasi. 15 Sebab dalam menjalankan setiap aktivitasnya, seorang pejabat (amsdragers) atau pegawai negeri (ambtenaren) tunduk dan diatur oleh norma hukum administrasi. Disamping itu, korupsi juga berkaitan dengan penggunaan wewenang. Hal tersebut yang sering luput dari perhatian para penegak hukum, padahal pemahaman terhadap hukum administrasi sangatlah penting agar penerapan dan penegakkan hukum dalam perkara korupsi tidak hanya fokus pada aspek pidana saja, melainkan harus lebih proporsional, efektif dan tepat sasaran.

Acapkali dalam penanganan kasus-kasus korupsi, seringkali muncul ungkapan seperti “kriminalisasi jabatan atau kebijakan, kriminalisasi tindakan diskresi, atau kriminalisasi tindakan bisnis”. Ungkapan-ungkapan seperti itu mengemuka dalam berbagai wacana (discours) publik karena disebabkan adanya “salah pasang” atau penerapan norma hukum yang kurang tepat dalam penyelesaian perkara-perkara korupsi. Ambil contoh, seringkali Jaksa Penuntut Umum (JPU) dengan hanya menggunakan an sich perspektif hukum pidana, meletakkan unsur “melawan hukum” dan unsur “menyalahgunakan wewenang” yang digandengkan dengan unsur “kerugian keuangan negara/perekonomian negara” tanpa mempertimbangkan norma hukum administrasi yang menjadi pedoman atau patokan dasar tindakan seorang pejabat/pegawai pemerintahan melakukan aktivitasnya. Ataupun unsur

14 Ridwan, Persinggungan Antar Bidang Hukum Dalam Perkara Korupsi, Cetakan Pertama, FH UII Press, Yogyarkarta, 2016, hlm. v.

15 Philipus M. Hadjon, Op.Cit, hlm. v.

“kerugian keuangan negara/perekonomian negara” oleh JPU dijadikan sebagai dasar sangkaan untuk mendakwa seorang pejabat/pegawai negeri tanpa disebutkan terlebih dahulu bentuk pelanggarannya. Padahal korupsi sendiri merupakan tindak pidana (delik)

formil yang menitikberatkan pada perbuatan atau pelanggarannya 16 dan bukan pada akibat perbuatannya, yakni unsur “kerugian keuangan negara/perekonomian negara”. Pola pikir penegakan hukum seperti itu merupakan cara berfikir yang terbalik, sebab yang harus didudukkan terlebih dahulu sebagai dugaan awal ialah bentuk pelanggarannya, baik itu unsur “melawan hukum” atau “menyalahgunakan kewenangan”.

Selain itu juga, sering JPU dalam dakwaannya memaknai perbuatan melawan hukum dalam kasus korupsi sekedar perbuatan pejabat/pegawai negeri yang melanggar UU atau peraturan perundang-undangan tanpa menjelaskan lebih spesifik bentuk perbuatan melawan hukumnya, apakah seorang pejabat pemerintahan melampaui wewenang (beyond authority) atau telah menyalahgunakan wewenang (detournement de puvoir), ataukah melakukan tindakan sewenang-wenang (willekeur)? Padahal ketiganya dalam perspektif hukum administrasi memiliki batu uji (parameter) yang berbeda.

Secara teoretik, telah menjadi pendapat umum para ahli hukum (communis opinio doctorum) bahwa tindakan melampaui wewenang (beyond authority) yang hakikatnya adalah tidak berwenang (onbevoegd) di ukur dengan asas legalitas (legaliteitbeginsel). adapun menyalahgunakan kewenangan (detournement de puvoir) di ukur dengan asas spesialitas (specialiteitbeginsel), sedangkan tindakan sewenang-wenang (willekeur/arbitrary) di ukur dengan asas rasionalitas (redelijkheid). Disamping itu juga, ketiga konsep a quo merupakan

16 “...Dalam Undang-undang ini, tindak pidana korupsi dirumuskan secara tegas sebagai tindak pidana formil. Hal ini sangat penting untuk pembuktian. Dengan rumusan secara formil yang dianut dalam Undang-undang ini,

meskipun hasil korupsi telah dikembalikan kepada negara, pelaku tindak pidana korupsi tetap diajukan ke pengadilan dan tetap dipidana”. Lihat Penjelasan umum paragraf kelima Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 4150.

species dari perbuatan melawan hukum sebagai genus-nya. Hubungan genus dengan species dapat diilustrasikan bahwa jika unsur melawan hukum (genus) terbukti, belum tentu atau tidak secara mutatis mutandis unsur penyalahgunaan wewenang atau melampaui wewenang atau tindakan sewenang-wenang (species) terbukti. Tetapi sebaliknya, unsur penyalahgunaan wewenang/melampaui wewenang/tindakan sewenang-wenang terbukti, maka unsur melawan hukum tidak perlu dibuktikan karena dengan sendirinya telah terbukti. Mengenai hal tersebut akan diurai lebih lanjut pada bagian pembahasaan.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, nampak bahwa memang tidak dapat dipungkiri dalam sebuah penyelesaian perkara korupsi, akan ditemui suatu titik persinggungan atau pertautan (aanknopingspunten) antar bidang hukum, paling tidak in casu antara hukum administrasi dengan hukum pidana. Berkenaan dengan itu, Ridwan menulis sebagai berikut:

“Ketika pejabat melaksanakan tugas dan wewenangnya, ia tunduk pada norma-norma hukum administrasi, dan ketika pejabat yang bersangkutan melakukan korupsi, ia melanggar norma-norma hukum pidana, di samping ia juga melanggar norma perilaku (gedragnorm) hukum administrasi, dalam hal ini, ada persinggungan atau ada titik pertautan (aanknopingspunten) antara norma-norma hukum pidana dengan norma hukum

administrasi.” 17 Dalam konteks itulah, tulisan ini—dengan segala kekurangan dan keterbatasannya—

bermaksud menelaah secara akademis permasalahan persinggungan kedua bidang hukum a quo dengan menggunakan kacamatan hukum administrasi dalam menyelesaikan perkara korupsi yang didasarkan pada kasus-kasus kongkrit yang telah diputus oleh lembaga Peradilan. Paradigma penelitian ini bersandar pada doktrin ultimum remidium atau ajaran yang memandang bahwa hukum pidana seharusnya berperan sebagai sarana, upaya, dan senjata pamungkas terakhir dalam menyelesaikan perkara korupsi. Titik tumpuan ini

17 Ridwan, Op,Cit, hlm. 6.

sengaja dipilih dengan reasoning membatasi ruang lingkup kajian sekaligus sebagai titik pangkal analisis dalam penelitian hukum ini.

B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, pembahasan penelitian ini akan

dimulai dengan mengajukan 2 (dua) persoalan utama:

1. Adakah persinggungan hukum administrasi dengan hukum pidana dalam penyelesaian kasus korupsi?

2. Bagaimanakah mengukur tindakan pejabat pemerintahan dapat dikualifikasikan sebagai tindakan korupsi berdasarkan optik hukum administrasi?

C. Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini yaitu: pertama, mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam mengenai titik singgung atau pertautan

(aanknopingspunten) antara hukum administrasi dan hukum pidana untuk menghindari ketidaktepatan dan tidak proporsionalnya penerapan norma dalam penyelesaian perkara korupsi. Kedua, diharapkan dapat memberikan sumbangan teoretis, paling tidak untuk memahami parameter untuk mengukur tindakan korupsi pejabat pemerintah berdasarkan perspektif hukum administrasi. Penulis sadar bahwa kajian ini hanya akan memberikan rumusan teoretis dalam bentuk demikian, karena apa yang dikaji hanyalah terbatas pada bahan hukum yang dikumpulkan dan terbatas pula pada kasus tertentu.

D. Metode Penelitian Seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa metode yang digunakan dalam

penelitian ini adalah penelitian hukum (legal research) dengan menggunakan beberapa pendekatan, antara lain: pertama, pendekatan perundang-undangan (statuta approach) untuk menelaah pelbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan isu hukum penelitian ini adalah penelitian hukum (legal research) dengan menggunakan beberapa pendekatan, antara lain: pertama, pendekatan perundang-undangan (statuta approach) untuk menelaah pelbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan isu hukum

Negeri Ternate No. 06/PID.TIPIKOR/2012/PN-TTE jo. Putusan Pengadilan Tinggi Maluku Utara No. 01/PID.TIPIKOR/2013 PT.MALUT jis. Putusan Kasasi No. 12 K/Pid.Sus/2013 dan Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung No. 147 PK/PID.SUS/2014; (2) Putusan Pengadilan Negeri Ternate No. 13 /Pid. TIPIKOR/2015/PN.Tte jo. Putusan Pengadilan Tinggi Maluku Utara No. 09/PID.SUS-TPK/2015/PT.TTE. ketiga, pendekatan konseptual (conceptual approach) yakni beranjak dari pandangan-pandangan atau doktrin ahli hukum serta prinsip-prinsip hukum yang terkait dengan isu hukum pada rumusan masalah untuk dijadikan acuan dalam penelitian ini. Sasaran penelitian ini adalah menemukan norma hukum terkait dengan isu hukum yang dirumuskan dalam rumusan masalah di atas, baik yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan maupun yurisprudensi (putusan pengadilan), asas hukum, doktrin, teori terkait selebihnya.

Bahan hukum dalam penelitian ini terdiri dari bahan hukum primer yaitu peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan terkait, sedangkan bahan hukum sekunder terdiri dari buku-buku dan jurnal hukum. Hasil penelitian diperoleh dari pengelolaan bahan hukum yang terkumpul dengan cara identifikasi, sistematisasi dan mengeliminasi hal-hal yang tidak relevan. Lalu kemudian diberikan interpretasi dalam bentuk argumentasi untuk setiap isu hukum dalam rumusan masalah dan menarik kesimpulan. Setelah itu langkah terakhir yang dilakukan adalah memberikan preskripsi terhadap kesimpulan penelitian. Penulis menyadari bahwa hakikat ilmu adalah relatif dan akan selalu mengalami perubahan terus-menerus, sebab itulah, hasil analisis ini akan selalu tidak memuaskan siapa pun, namun paling tidak analisis ini dapat dinilai sebagai suatu ikhtiar untuk mencari dan mengupas sebuah kebenaran relatif ilmu pengetahuan.

E. Hasil Penelitian dan Pembahasan Sebagaimana pernah disinggung sebelumnya dalam pendahuluan di atas bahwa ajaran

dalam hukum pidana yang berlaku secara universal yaitu ajaran ultimum remidium yang berarti bahwa hukum pidana seharusnya berperan sebagai sarana, upaya, dan senjata pamungkas terakhir dalam menyelesaikan perkara korupsi. Ajaran ultimum remidium ini juga merupakan salah satu dari tiga (disamping memerangi kejahatan dan memperhatikan ilmu yang lain) sebagai pijakan dasar aliran modern dalam hukum pidana.

Salah seorang ahli hukum Jerman Merkel mengatakan “der strafe komt eine subsidiare stellung zu” (bahwa tempat hukum pidana adalah selalu subsider terhadap upaya hukum lainnya). Senada dengan itu, menurut Eddy O.S. Hiariej bahwa hukum pidana merupakan hukum terakhir yang digunakan jika instrumen hukum lainnya tidak dapat digunakan atau

tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. 18 Doktrin ultimum remidium tidak sekedar berlaku terhadap pidana umum, melainkan juga bagi pidana khusus termasuk dalam penyelesaian perkara korupsi.

Doktrin ultimum remidium ternyata dalam realitas penegakan hukum tindak pidana korupsi tidak selalu di ikuti. Hal itu terlihat dari konsideran UU TIPIKOR yang telah disebutkan diatas, menyatakan bahwa tindak pidana korupsi adalah kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) sehingga perlu adanya upaya-upaya penanganan yang luar biasa pula. Dalil itu ditafsir bahwa UU TIPIKOR menganut ajaran premium remedium yang berarti hukum pidana sebagai alat pemukul paling utama dan satu-satunya terhadap kejahatan korupsi. Ajaran premium remedium yang terkandung dalam UU TIPIKOR berimplikasi ditutupnya upaya hukum lain diluar dari kerangka (frame of thinking) hukum pidana. Cara pandang pemberantasan korupsi seperti demikian itu dan didukung dengan pola pikir

18 Eddy O.S. Hiariej, Op,Cit., hlm. 32-33.

“serba” hukum pidana para aparatur penegak hukum baik di Kepolisian, Kejaksaan maupun KPK menyebabkan terhadap perkara-perkara yang substansinya melanggar hukum administrasi atau norma hukum perdata namun kemudian dituntut dengan norma pidana.

Berdasarkan hukum pidana Indonesia, sebelum adanya Putusan MK No. 25/PUU- XIV/2016, 19 kejahatan ‘korupsi’ diterjemahkan sebagai tindakan yang bertentangan dengan norma hukum pidana dalam arti formil (formele wederrechtelijkheid) dan terhadap perbuatan tersebut diancam dengan sanksi pidana. Ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi (selanjutnya

disebut UU TIPIKOR). 20 Tafsiran seperti itu dipertegas lagi dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 003/PUU-4/2006 yang menyatakan bahwa suatu perbuatan itu dikategorikan melawan hukum jika perbuatan tersebut bertentangan dengan undang-undang (wettelijk straftbepaling), dengan konsekuensi bahwa penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 mengenai sifat melawan hukum materil tidak lagi memiliki kekuatan mengikat dan yang

masih berlaku hanyalah perbuatan hukum dalam arti formil. 21

19 Putusan MK No. 25/PUU-XIV/2016 tentang Pengujian UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31

Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap UUD NRI Tahun 1945 20 Lihat Pasal 2 ayat (1), “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri

atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonornian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.

Lihat juga Pasal 3, “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.

21 Ridwan, Op,Cit, hlm. 37.

Paradigma seperti itu kemudian mengalami pergeseran sejak lahirnya UU APEM pada tahun 2014, menyebabkan politik hukum di bidang pemberantasan tindak pidana korupsi mengalami pergeseran dari yang mengutamakan pendekatan pidana menjadi mengutamakan pendekatan hukum administrasi negara, dari pendekatan yang mengutamakan penghukuman pidana penjara menjadi pendekatan yang mengutamakan pengembalian uang negara. Disamping itu adanya Putusan MK No. 25/PUU-XIV/2016, lebih mempertegas bahwa Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU TIPIKOR merupakan tindak pidana materiil. Kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor sebagaimana disebutkan di atas pernah diputus MK dalam Putusan No. 003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006, dengan menyatakan tidak bertentangan dengan hak atas kepastian hukum yang adil sebagaimana dimaksudkan oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 sepanjang ditafsirkan sesuai dengan tafsiran Mahkamah (conditionally constitutional), yakni bahwa unsur kerugian negara harus dibuktikan dan harus dapat dihitung, meskipun sebagai perkiraan atau meskipun belum terjadi. Menurut MK, bahwa unsur merugikan keuangan negara tidak lagi dipahami sebagai perkiraan (potential loss) namun harus dipahami benar-benar sudah terjadi atau nyata (actual loss) untuk dapat diterapkan dalam tindak pidana korupsi.

Bahwa pencantuman kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor membuat delik dalam kedua pasal tersebut menjadi delik formil. Hal itu menurut MK dalam praktik seringkali disalahgunakan untuk menjangkau banyak perbuatan yang diduga merugikan keuangan negara, termasuk terhadap kebijakan atau keputusan diskresi atau pelaksanaan asas freies Ermessen yang diambil bersifat mendesak dan belum ditemukan landasan hukumnya, sehingga seringkali terjadi kriminalisasi dengan dugaan terjadinya penyalahgunaan wewenang. Demikian juga terhadap kebijakan yang terkait dengan bisnis namun dipandang dapat merugikan keuangan negara maka dengan pemahaman kedua

pasal tersebut sebagai delik formil seringkali dikenakan tindak pidana korupsi. Kondisi tersebut tentu dapat menyebabkan pejabat publik takut mengambil suatu kebijakan atau khawatir kebijakan yang diambil akan dikenakan tindak pidana korupsi, sehingga di antaranya akan berdampak pada stagnasi proses penyelenggaraan negara, rendahnya penyerapan anggaran, dan terganggunya pertumbuhan investasi. Kriminalisasi kebijakan terjadi karena terdapat perbedaan pemaknaan kata “dapat” dalam unsur merugikan keuangan negara dalam tindak pidana korupsi oleh aparat penegak hukum, sehingga seringkali menimbulkan persoalan mulai dari perhitungan jumlah kerugian negara yang sesungguhnya sampai kepada lembaga manakah yang berwenang menghitung kerugian negara. Oleh sebab itu, pencantuman kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor menimbulkan ketidakpastian hukum dan telah secara nyata bertentangan dengan jaminan bahwa setiap orang berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28G ayat (1) UUD 1945. Kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor juga bertentangan dengan prinsip perumusan tindak pidana yang harus memenuhi prinsip hukum harus tertulis (lex scripta), harus ditafsirkan seperti yang dibaca (lex stricta), dan tidak multitafsir (lex certa), oleh karenanya bertentangan dengan prinsip negara hukum sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Lebih lanjut MK menegaskan sebagai berikut:

“[3.10.6] Bahwa penerapan unsur merugikan keuangan dengan menggunakan konsepsi actual loss menurut MK lebih memberikan kepastian hukum yang adil dan bersesuaian dengan upaya sinkronisasi dan harmonisasi instrumen hukum nasional dan internasional, seperti dengan UU Administrasi Pemerintahan sebagaimana diuraikan dalam paragraf [3.10.2] dan paragraf [3.10.3] di atas, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (UU Perbendaharaan Negara) dan Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (UU BPK) serta Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa Anti Korupsi, 2003 (United Nation Convention

Against Corruption, 2003) yang telah diratifikasi Indonesia melalui Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 2006.” 22

Unsur delik dalam rumusan Pasal 2 ayat 1 UU TIPIKOR antara lain: (1) setiap orang; (2) secara melawan hukum; (3) melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri/orang lain/korporasi; (4) merugikan keuangan negara/perekonomian negara. Sedangkan unsur delik dalam rumusan Pasal 3 yaitu: (1) setiap orang; (2) tujuan menguntungkan diri sendiri/orang lain/korporasi; (3) menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, sarana karena jabatan; (4) merugikan keuangan negara/perekonomian negara. Inti delik (bestandeel delict) Pasal 2 ayat 1 ialah perbuatan melawan hukum (wederrechtelijkheid) dan Inti delik Pasal 3 ialah penyalahgunaan kewenangan (detournement de puvoir). Oleh karena itu, bila merujuk Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU TIPIKOR maka, tindakan badan/pejabat pemerintahan atau pegawai negeri dapat dikatakan kejahatan korupsi dengan syarat adanya perbuatan melawan hukum (wederrechtelijkheid) dan/atau penyalahgunaan wewenang (detournement de puvoir) yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Terkait hal itu, secara ilustrasi Ridwan menggambarkan kedua pasal

a quo sebagai berikut: “Dakwaan terhadap tindak pidana korupsi umumnya dirumuskan secara subsidaritas,

yakni: pertama, primair melanggar Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 23 UU No. 31 tahun 1999

22 Lihat Putusan No. 25/PUU-XIV/2016, diputus rabu tanggal 25 Januari 2017, hlm. 114. 23 Bunyi Pasal 18 ayat (1): “Selain pidana tambahan dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana sebagai

pidana tambahan adalah : a. perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud, barang tidak bergerak yang digunakan untuk yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pun harga dari barang yang menggantikan barang tersebut;

b. pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. c. penutupan usaha atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun; d. pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan atau sebagian keuntungan tertentu,

yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana;” Ayat (2) berbunyi “Jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut”. Ayat (3)-nya: “Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b , maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana;” Ayat (2) berbunyi “Jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut”. Ayat (3)-nya: “Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b , maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak

ayat (1) ke-1 24 KUHP; kedua, subsidair melanggar Pasal 3 jo. Pasal 18 UU No. 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU No. 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Inti delik (bestandeel delict) dakwaan primair adalah perbuatan melawan hukum (wederrechtelijkheid) yang merupakan yang merupakan genus delict, sedangkan inti delik subsidair adalah penyalahgunaan wewenang (detournement de

puvoir) yang merupakan species delict. 25

Lebih lanjut, Ridwan menyebutkan bahwa dakwaan berlapis (subsidaritas) dengan menggunakan Pasal 2 dan pasal 3 tersebut sebenarnya tidak tepat karena ketentuan kedua Pasal a quo secara substansial sejenis dan hanya berbeda sifat, yakni yang pertama genus dan yang kedua species. Oleh karena itu, semestinya dirumuskan secara alternatif. Senada dengan hal itu, Nur Basuki Winarno juga mengatakan bahwa:

“...Secara implisit penyalahgunaan wewenang in haeren dengan melawan hukum, karena penyalahgunaan wewenang esensinya merupakan perbuatan melawan hukum. Unsur “melawan hukum” merupakan genusnya, sedangkan “penyalahgunaan wewenang” adalah spesiesnya. Sifat in haeren penyalahgunaan wewenang dan melawan hukum tidaklah berarti ‘melawan hukum’ terbukti tidak secara mutatis mutandis ‘penyalahgunaan wewenang’ terbukti, tetapi untuk sebaliknya unsur ‘penyalahhgunaan wewenang’ terbukti, maka unsur ‘melawan hukum’ tidak perlu dibuktikan karena dengan sendirinya unsur ‘melawan hukum’ telah terbukti. Dalam hal unsur ‘penyalahhgunaan wewenang’ tidak terbukti maka belum tentu unsur ‘melawan hukum’

tidak terbukti.” 26 Berdasarkan pandangan di atas, tampak bahwa tidaklah proporsional dalam suatu

penyelesaian kasus korupsi, dakwaan dirumuskan secara subsidaritas (subsidair) atau dengan kata lain, terdiri dari dua atau beberapa dakwaan disusun atau dijejerkan secara berurutan mulai dari dakwaan tindak pidana terberat (Pasal 2 ancaman hukumannya paling singkat 4 tahun) sampai kepada dakwaan tindak pidana teringan (Pasal 3 ancaman

melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini dan karenanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan”.

24 Pasal 55 ayat (1) ke-1 berbunyi: “dihukum sebagai orang yang mlakukan peristiwa pidana: orang yang melakukan, menyuruh melakukan atau turut serta melakukan perbuatan itu”.

25 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Cetakan Kesepuluh, Jakarta: Rajawali Pers, 2014, hlm. 377. Lihat uraian senada juga dalam Ridwan, Persinggungan...Op,Cit, hlm. 4-5.

26 Ibid., hlm. 377-378.

hukumannya paling singkat 1 tahun). Melainkan harus dirumuskan secara alternatif, oleh karena antara ketentuan Pasal 2 yang mengandung unsur “melawan hukum” dengan Pasal

3 yang mengandung unsur “menyalahgunakan wewenang” pada dasarnya adalah sejenis dan hanya memiliki perbedaan sifat. Pilihan dakwaan alternatif juga bertujuan supaya antara dakwaan yang satu dengan yang lain saling mengecualikan (one that substitutes for another) dan memberikan pilihan kepada hakim untuk menentukan dakwaan mana yang tepat dipertanggungjawabkan kepada terdakwa sehubungan dengan tindak pidana yang

dilakukannya. 27 Dalam kerangka hukum administrasi negara, menurut Indriyanto Seno Adji bahwa parameter yang membatasi gerak bebas kewenangan aparatur negara ‘discretionary power’ adalah detournement de puvoir (penyalahgunaan wewenang) dan abus de droit (sewenang- wenang), sedangkan dalam area hukum pidana juga memiliki kriteria yang membatasi gerak bebas kewenangan aparatur negara berupa unsur ‘wederrechtelijkheid’ dan menyalahgunaan kewenangan. Permasalahannya adalah manakala aparatur negara melakukan perbuatan yang dianggap menyalahgunakan kewenangan dan melawan hukum, artinya mana yang dijadikan ujian bagi penyimpangan aparatur negara ini, hukum administrasi negara ataukah hukum pidana, khususnya dalam perkara-perkara Tindak Pidana Korupsi. Pemahaman yang berkaitan dengan penentuan yurisdiksi inilah yang masih sangat terbatas dalam kehidupan praktik yudisiel.

Dalam konsteks itulah, disadari memang konsep “perbuatan melawan hukum” dan “menyalahgunakan wewenang” berada pada wilayah abu-abu (grey area). Berkenaan dengan itu, Ridwan menjawab pertanyaan Indriyanto di atas, bahwa hukum mana yang

27 Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan, Edisi Kedua, Cetakan Kedua belas, Jakarta: Sinar Grafika, 2009, hlm. 399-400.

akan dijadikan ujian setiap aktivitas pejabat itu tidak lain adalah hukum administrasi, yang didalamnya memuat norma hukum pemerintahan (bestuursnorm) dan norma perilaku aparat (gedragsnorm) karena mengingat para pejabat itu dalam melakukan aktivitasnya mereka

tunduk dan diatur oleh norma hukum administrasi. 28 Secara umum seorang pejabat selalu memiliki dua kedudukan hukum (rechstpositie) yaitu disamping sebagai wakil (vertegenwoordiger) jabatan. Pejabat yang melakukan tindakan untuk dan atas nama jabatan (ambtshalve) berlaku norma pemerintahan (bestuursnorm) dan membawa konsekuensi tanggung jawab jabatan. Disamping itu, seorang pejabat juga berkedudukan sebagai manusia (natuurlijke persoon) yang tunduk pada norma perilaku aparat (gedragsnorm) dan berpotensi melakukan tindakan maladministrasi yang membawa konsekuensi tanggung jawab pribadi. Sanksi pidana baik berupa penjara maupun denda diterapkan terhadap

pejabat secara pribadi (in persoon) yang melakukan tindakan maladministrasi. 29 Atas dasar itulah, untuk menentukan titik persinggungan (aanknopingspunten) antara hukum pidana dengan hukum administrasi dalam penyelesaian kasus korupsi, berikut adalah beberapa putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap yang diuraikan secara singkat antara lain:

1. Putusan Pengadilan Negeri Ternate No. 06/PID.TIPIKOR/2012/PN-TTE jo. Putusan Pengadilan Tinggi Maluku Utara No. 01/PID.TIPIKOR/2013 PT.MALUT jis. Putusan Kasasi No. 12 K/Pid.Sus/2013 dan Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung No. 147 PK/PID.SUS/2014

Dalam perkara a quo, Isnain Ibrahim dalam jabatannya selaku Sekretaris Daerah Kota Ternate (Sekot) dan Ade Mustafa selaku Kepala Bagian Pemerintahan Sekretariat Daerah Kota Ternate (Kabag Pemerintahan Setda). Berdasarkan Surat Keputusan (SK) Walikota

28 Ridwan HR, Op,Cit., hlm. 376-377. 29 Ibid., hlm. 381.

Ternate No.80/1.1/KT/2011 tanggal 11 Maret 2011, Sekot Isnain Ibrahim bertindak sebagai Pengguna Anggaran pada Sekretariat Kota Ternate dan sebagai Ketua Panitia Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Pembangunan Umum Pemerintah Kota Ternate Tahun Anggaran 2011. Sedangkan Kabag Pemerintahan Setda, Ade Mustafa berdasarkan berdasarkan Surat Keputusan Walikota Ternate No.821/KEP/4758/ 2010 tanggal 20 Agustus 2010, sebagai Kuasa Pengguna Anggaran pada Bagian Pemerintahan Sekretariat Daerah Kota Ternate, sebagai Anggota Panitia Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Pembangunan Umum Pemerintah Kota Ternate Tahun Anggaran 2011. Keduanya didakwa bersama-sama dengan Burhan Abdulrahman, dalam jabatannya sebagai Walikota Ternate dan Johnny Hary Soetantyo dalam kedudukan sebagai Komisaris PT. Nelayan Bhakti sebagai orang yang melakukan atau turut serta melakukan.

Dalam dakwaan primair, Keduanya didakwa bersama-sama dengan Burhan Abdulrahman dan Johnny Hary Soetantyo melanggar Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU TIPIKOR jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) ke-1 KUHP. Sedangkan subsidair-nya didakwa melanggar Pasal 3 jo Pasal 18 UU TIPIKOR jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) ke-1 KUHP.

Adapun putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Ternate No. 06/Pid.Tipikor/2012/PN-Tte, tanggal 06 Februari 2013 menyatakan bahwa: (1) Menyatakan Isnain Ibrahim (Terdakwa I) dan Ade Mustafa (Terdakwa II) telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan “Tindak Pidana Korupsi Secara Bersama- Sama dan Berlanjut”; (2) Menjatuhkan pidana terhadap Isnain Ibrahim (Terdakwa I) dan Ade Mustafa (Terdakwa II) masing-masing oleh karena itu dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 8 (delapan) bulan. (3) Menghukum keduanya masing-masing untuk membayar denda sebesar Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah), subsidair 3 (tiga) bulan Adapun putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Ternate No. 06/Pid.Tipikor/2012/PN-Tte, tanggal 06 Februari 2013 menyatakan bahwa: (1) Menyatakan Isnain Ibrahim (Terdakwa I) dan Ade Mustafa (Terdakwa II) telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan “Tindak Pidana Korupsi Secara Bersama- Sama dan Berlanjut”; (2) Menjatuhkan pidana terhadap Isnain Ibrahim (Terdakwa I) dan Ade Mustafa (Terdakwa II) masing-masing oleh karena itu dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 8 (delapan) bulan. (3) Menghukum keduanya masing-masing untuk membayar denda sebesar Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah), subsidair 3 (tiga) bulan

Mahkamah Agung pada tingkat kasasi berpendapat bahwa alasan-alasan kasasi Para Terdakwa (Isnain Ibrahim dan Ade Mustafa) tidak dapat dibenarkan karena perbuatan Terdakwa I dan Terdakwa II yang membuat, memproses, menandatanganni surat-surat, dokumen-dokumen untuk mencairkan dan membayar biaya yang menjadi beban APBD merupakan perbuatan melawan hukum karena bertentangan dengan Pasal 7 Perpres No.

65 Tahun 2006. Lebih lanjut, MA berpandangan bahwa perbuatan Para Terdakwa dalam pengadaan tanah lahan eks. HGB No.1/Kayu Merah seluas 29.165 M2 dengan tidak melibatkan Panitia Pengadaan Tanah bertentangan dengan Pasal 6 ayat (1) jo Pasal 5 huruf g Perpres No. 65 Tahun 2006 dan Pasal 14 sampai dengan Pasal 53 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) RI No. 3 Tahun 2007. Atas dasar itulah, perbuatan Para Terdakwa yang melawan hukum dan memperkaya diri sendiri atau orang lain telah mengakibatkan kerugian keuangan Negara.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, MA dalam putusan No. 12 K/PID.SUS/2013 tanggal 21 Agustus 2013 menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi/para Terdakwa

(Isnain Ibrahim dan Ade Mustafa). Tidak berhenti sampai disitu, para Terdakwa (Isnain Ibrahim dan Ade Mustafa) pernah melakukan upaya peninjauan kembali (PK) namun, MA dalam Putusan No. 147 PK/PID.SUS/2014 tanggal 25 Februari 2015 telah menolak permohonan PK dari Para Pemohon PK yakni Terpidana I (Isnain Ibrahim) dan Terpidana II (Ade Mustafa) tersebut dan menetapkan putusan yang dimohonkan PK tersebut tetap berlaku.