DAKWAAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG
DAKWAAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN
ORANG BATAL DEMI HUKUM
Oleh. Paul SinlaEloE
Eksepsi atau keberatan dari Penasihat Hukum
Terdakwa Yosep Paragaye alias Yosep,
diterima dan surat dakwaan Penuntut Umum
Nomor
Reg.
Perkara:
PDM02/KEFAM/02/2017, tanggal 22 Maret 2017,
batal demi hukum karena dakwaan Jaksa
Penuntut Umum (JPU) kabur, tidak memenuhi
syarat formal dan materil. Itulah inti dari amar
putusan sela terkait perkara Tindak Pidana
Perdagangan Orang (TPPO), yang di bacakan
majelis hakim, pada sidang tanggal 28 April
2017 di Pengadilan Negeri Kefamenanu.
Vonis batal demi hukum atas dakwaan
Penuntut Umum Nomor Reg. Perkara: PDM02/KEFAM/02/2017, meninggalkan sejumlah ”tanda tanya” bagi masyarakat awam
maupun korban beserta keluarganya. Tanggapan dari para aktivis anti perdagangan
orang dan pemerhati hukum diberbagai media terkait dengan amar putusan sela ini
adalah sangat beragam. Keseluruhan tanggapan tersebut pada intinya
mempertanyakan tentang: Pertama, apakah JPU dari Kejaksaan Negeri Kefamenanu
tidak mampu membuat suatu surat dakwaan yang sempurna? Kedua, apakah terjadi
kekeliruan penafsiran surat dakwaan oleh Majelis Hakim? Ketiga, apakah terjadi
proses negosiasi perkara yang berimplikasi pada terjadinya korupsi dalam proses
peradilan (judicial corruption)?
Tulisan ini dibuat tidak dalam rangka untuk mengkritisi dokumen dakwaan dari JPU
ataupun menggugat materi putusan sela dari Majelis Hakim. Tulisan ini dimaksudkan
untuk membangun pemahaman bersama tentang bagimana seharusnya menyusun
suatu surat dakwaan yang sempurna, bagaimana modus korupsi dalam proses
peradilan (judicial corruption) terkait dengan penyusunan surat dakwaan. Dalam
tulisan ini akan dibahas juga tentang langkah-langkah yang harus dilakukan oleh JPU
terkait vonis batal demi hukum.
Surat Dakwaan dan Judicial Corruption
Surat Dakwaan (telastelegging) menempati posisi sentral, strategis dan merupakan
dasar dalam pemeriksaan perkara pidana di pengadilan. Ditinjau dari berbagai
kepentingan para pihak yang berkepentingan dengan pemeriksaan perkara pidana,
Paul SinlaEloE (2015:2) berpendapat bahwa surat dakwaan berfungsi untuk:
Pertama, Pengadilan/hakim. Surat dakwaan merupakan dasar dan sekaligus
membatasi ruang lingkup pemeriksaan, sebagai dasar melakukan pemeriksaan di
sidang pengadilan, dan dasar pertimbangan dalam penjatuhan keputusan;
Page 1 of 6
Kedua, Penuntut Umum. Surat dakwaan merupakan dasar pembuktian, dasar
melakukan penuntutan, dasar pembahasan yuridis dalam requisitoir, dasar melakukan
upaya hukum; Ketiga, Terdakwa/penasehat hukum. Surat dakwaan merupakan dasar
utama untuk mempersiapkan pembelaan dalam pledoi, dasar mengajukan bukti
meringankan, dasar mengajukan upaya hukum; Keempat, Pemantau
peradilan/masyarakat sipil, surat dakwaan merupakan dasar untuk menilai kinerja
penegak hukum dalam proses penegakan hukum.
Dengan posisi surat dakwaan yang sangat penting (sentral dan strategis) dalam
proses penegakan hukum suatu tindak pidana (termasuk TPPO), maka tidaklah
mengherankan apabila dalam proses pembuatannya seringkali terjadi proses negosiasi
perkara yang berimplikasi pada terjadinya korupsi dalam proses peradilan (judicial
corruption).
Menurut Paul SinlaEloE (2015:3-4), pengalaman Pengembangan Inisiatif dan Advokasi
Rakyat (PIAR) Nusa Tenggara Timur dalam melakukan advokasi untuk membongkar
mafia peradilan, menemukan sejumlah modus korupsi dalam pembuatan surat
dakwaan, di antaranya: Pertama, pola utamanya adalah pengurangan tuntutan
dengan modus Jaksa akan menawarkan pada tersangka pasal apa yang akan
diterapkan kalau ingin tuntutan yang ringan dan konsekwensinya, tersangka harus
menyerahkan uang kepada Jaksa. Aktor dari modus ini adalah Jaksa, Penasehat
Hukum dan tersangka.
Kedua, pola yang dipergunakan adalah melepaskan tersangka. Modus yang
dipergunakan adalah membuat dakwaan yang kabur (obscuur libel) sehingga
tersangka bisa bebas. Dengan demikian, tersangka akan dibebaskan melalui
pengadilan yang sah dan Jaksa/Penuntut Umum dan akan diberi imbalan sesuai
kesepakatan. Pada modus sepeti ini, Jaksa/Penuntut Umum dan Penasehat Hukum
yang menjadi aktornya.
Surat Dakwaan yang Sempurna
Dalam proses penegakan hukum suatu tindak pidana, terdakwa hanya dapat dipidana
berdasarkan apa yang terbukti mengenai kualifikasi tindak pidana yang dilakukan oleh
seorang terdakwa menurut rumusan surat dakwaan (Pasal 191 ayat (1) Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana/KUHAP). Jadi walaupun terdakwa terbukti melakukan
tindak pidana dalam pemeriksaan persidangan tetapi tidak didakwakan dalam surat
dakwaan, maka terdakwa dimaksud tidak dapat dijatuhi hukuman dan hakim jadinya
akan membebaskan terdakwa. Bahkan menurut Pasal 191 ayat (2) KUHAP, jika
pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan képada terdakwa
terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa
harus diputus lepas dari segala tuntutan hukum (onslaag van alle recht vervolging).
Berpijak pada aturan main yang demikian, maka sudah seharusnya JPU yang adalah
Jaksa pilihan dari institusi Kejaksaan dan merupakan satu-satunya jabatan di
Indonesia yang diberikan kewenangan oleh negara untuk membuat surat dakwaan
(Pasal 14 huruf d KUHAP), harus mampu membuat suatu surat dakwaan yang
sempurna. Sutau surat dakwaan dikatakan sempurna apabila telah memenuhi syarat
formil dan syarat materil serta diuraikan secara cermat, jelas dan lengkap. Apalagi
Page 2 of 6
dalam Pasal 143 ayat (2) KUHAP dan Surat Edaran Jaksa Agung Republik Indonesia
Nomor: SE-004/.A/11/1993, Tentang Pembuatan Surat Dakwaan, telah diatur dengan
cermat, jelas dan lengkap bagaimana seharusnya suatu surat dakwaan dibuat.
Menurut Pasal 140 ayat (1) KUHAP, pembuatan surat dakwaan dilakukan oleh
Penuntut Umum bila ia berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan
penuntutan. Sesuai amanat Pasal 143 ayat (2) KUHAP, syarat formil dan syarat materil
yang harus terdapat dalam surat dakwaan adalah: Pertama, Syarat Formil. Syarat
formil yang harus dipenuhi atau terdapat dalam suatu surat dakwaan, yakni harus
terdapat tanggal dari surat dakwaan, surat dakwaan harus ditandatangani oleh JPU
dan wajib berikan identitas terdakwa/para terdakwa. Apabila syarat formil yang
terdapat dalam Pasal 143 ayat (2) huruf a KUHAP tidak seluruhnya dipenuhi, maka
surat dakwaan dapat dibatalkan oleh hakim (vernietigbaar) karena dinilai tidak jelas
terhadap siapa dakwaan tersebut ditujukan.
Pentingnya pencantuman tanggal dalam surat dakwaan diperlukan guna memenuhi
syarat sebagai suatu akte/surat. Selain itu, pencantuman tanggal dalam surat
dakwaan sangat bermanfaat untuk mengantisipasi terjadinya pembuatan surat
dakwaan mendahului terjadinya suatu peristiwa pidana. Surat dakwaan harus ditanda
tangani oleh Penuntut Umum dalam rangka memenuhi syarat sebagai suatu
akte/surat. Alasan lain dalam kaitannya dengan surat dakwaan harus ditanda tangani
oleh Penuntut Umum adalah untuk menunjukan identitas dari pihak yang bertanggung
jawab atas surat dakwaan dan merupakan penegasan tentang pihak yang berwenang
(Pasal 14 huruf d KUHAP) untuk menandatangai suatu surat dakwaan.
Syarat formil lainnya yang wajib terdapat dalam surat dakwaan adalah identitas dari
terdakwa/para terdakwa. Pentingnya identitas dari terdakwa/para terdakwa dalam
suatu surat dakwaan adalah untuk menghindari agar orang yang didakwa dan
diperiksa di depan sidang pengadilan adalah benar-benar terdakwa yang sebenarnya
dan bukan orang lain (error in persona). Menurut Pasal 143 ayat (2) huruf a KUHAP,
identitas dari terdakwa/para terdakwa yang harus terdapat dalam surat dakwaan
meliputi nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin,
kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa.
Kedua, Syarat Materil. Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP, mengamanatkan bahwa
surat dakwaan harus memuat secara cermat, jelas, dan lengkap mengenai tindak
pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana
dilakukan oleh terdakwa. Jika syarat materil ini tidak dipenuhi, maka Pasal 143 ayat
(3) KUHAP mengharuskan dakwaan dinyatakan tidak dapat diterima (niet onvanklijk
verklaard) dan batal demi hukum (absolut niettig).
Walaupun di dalam KUHAP tidak dijelaskan tentang apa yang dimaksud dengan istilah
cermat, jelas, dan lengkap, namun JPU memaknainya sesuai amanat yang terdapat
dalam Surat Edaran Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: SE-004/.A/11/1993,
Tentang Pembuatan Surat Dakwaan, yakni: Pertama, Uraian Harus Lengkap.
Uraian harus lengkap adalah bahwa dalam menyusun surat dakwaan uraian surat
dakwaan harus mencakup semua unsur yang ditentukan secara lengkap. Jangan
sampai terjadi ada unsur delik yang tidak dirumuskan secara lengkap atau tidak
Page 3 of 6
diuraikan perbuatan materilnya secara tegas dalam dakwaan, sehingga berakibat
perbuatan itu bukan merupakan tindak pidana menurut undang-undang.
Kedua, Uraian Harus Cermat. Cermat yang dimaksud di sini adalah ketelitian JPU
dalam mempersiapkan surat dakwaan yang didasarkan undang-undang yang berlaku
bagi terdakwa, serta tidak terdapat kekurangan dan atau kekeliruan yang dapat
mengakibatkan batalnya surat akwaan atau tidak dapat dibuktikan. Dengan kata lain,
JPU diharuskan untuk bersikap teliti dengan semua hal yang berhubungan dengan
keberhasilan penuntutan perkara di persidangan, di antaranya: (a) apakah ada
pengaduan dalam hal delik khusus atau tindak pidana umum?; (b) apakah penerapan
hukumnya sudah tepat?; (c) apakah terdakwa dapat diminta pertanggungjawaban
dalam suatu tindak pidana; (d) apakah tindak pidana tersebut belum atau sudah
daluwarsa; (e) apakah tindak pidana yang didakwakan itu tidak nebis in idem, yakni
terdakwa diadili lebih dari satu kali atas satu perbuatan kalau sudah ada keputusan
yang menghukum atau membebaskannya.
Ketiga, Uraian Harus Jelas. Uraian yang jelas dan mudah dimengerti dengan cara
menyusun redaksi yang mempertemukan fakta-fakta (perbuatan materil) terdakwa
dengan unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan, sehingga terdakwa atau
penasehat hukum yang mendengar atau membacanya akan mengerti dan
mendapatkan gambaran tentang: (a) siapa yang melakukan tindak pidana; (b) tindak
pidana apa yang dilakukan; (c) kapan dan di mana tindak pidana tersebut dilakukan;
(d) apa akibat yang ditimbulkan; dan (e) mengapa terdakwa melakukan tindak
pidana itu. Uraian komponen-komponen tersebut disusun secara sistematik dan
kronologis dengan bahasa yang sederhana. Hal ini dimaksudkan untuk para pihak
yang terlibat dalam berperkara dapat mengetahui secara jelas, apakah unsur yang
diuraikan tersebut sebagai tindak pidana dengan kualifikasi, misalnya penipuan atau
penggelapan atau pencurian, dsb.
Dalam kejelasan terkait uraian yang terdapat dalam surat dakwaan harus diperincikan
dengan jelas dan tegas apakah terdakwa dalam melakukan tindak pidana yang
didakwakan tersebut dalam kapasitas sebagai pelaku (dader) dengan peran: Orang
yang melakukan (pleger), orang yang menyuruh melakukan (doenpleger), orang yang
turut serta melakukan (medepleger), orang yang menganjurkan untuk melakukan
(uitlokker), atau hanya sebagai pembantu melakukan (medeplichting). Khusus untuk
kasus TPPO harus cermati juga apakah terdakwa merupakan subjek hukum yang
berkategori pelaku dengan peran sebagai orang yang merencanakan melakukan
(ontwerpen) suatu tindak pidana.
Putusan Sela dan Perlawanan JPU
Putusan sela (interim meascure) adalah putusan yang dijatuhkan oleh hakim
sebelum memeriksa substansi atau pokok perkara. Materi putusan sela hanya terkait
dengan aspek kesempurnaan dari suatu surat dakwaan yang telah disyaratkan dalam
produk hukum acara pidana. Putusan sela merupakan bagian dari mekanisme kontrol
terhadap kinerja Jaksa/Penuntut Umum, yang mana dimaksudkan agar mereka tidak
gegabah dalam membuat surat dakwaan, dalam mengajukan suatu tuntutan atau
dalam melakukan suatu penyidikan. Dalam Praktik pemeriksaan perkara pidana,
Page 4 of 6
putusan sela biasanya dijatuhkan karena adanya eksepsi (keberatan/penolakan atas
dakwaan) dari terdakwa atau Penasihat Hukumnya.
Terhadap eksepsi yang disampaikan terdakwa maupun penasihat hukumnya, hakim
dapat menjatuhkan putusan sela berupa: Pertama, putusan yang berisi pernyataan
tentang tidak berwenangnya pengadilan untuk mengadili suatu perkara (onbevoegde
verklaring). Sesuai dengan pasal 148 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP, perkara tersebut
diserahkan kembali kepada penuntut umum untuk selanjutnya dilimpahkan kepada
pengadilan negeri di wilayah yang berhak untuk mengadilinya. Kedua, putusan yang
menyatakan bahwa surat dakwaan penuntut umum batal (nietig) karena tidak
memenuhi syarat formil yang terdapat dalam 143 ayat (2) huruf a KUHAP atau
putusan dinyatakan batal demi hukum karena tidak memenuhi syarat materil yang
terdapat dalam 143 ayat (2) huruf b KUHAP.
Ketiga, putusan yang berisi pernyataan bahwa surat dakwaan penuntut umum tidak
dapat diterima (niet ontvelijk verklaard), misalnya karena perkara yang diajukan oleh
penuntut umum sudah daluarsa, nebis in idem, perkara memerlukan syarat aduan
(klacht delict). Keempat, Putusan yang berisi penundaan pemeriksaan perkara oleh
karena ada perselisihan prejedusiel (perselisihan kewenangan), karena di dalam
perkara yang bersangkutan diperlakukan untuk menunggu suatu putusan hakim
perdata. Kelima, putusan yang menyatakan bahwa keberatan dari terdakwa atau
penasihat hukumnya tidak dapat diterima atau hakim berpendapat bahwa hal
tersebut baru diputus setelah selesai pemeriksaan perkara a quo, maka dakwaan
penuntut umum dinyatakan sah dan persidangan dapat dilanjutkan untuk
pemeriksaan materi pokok perkara, sesuai degan ketentuan dalam Pasal 156 ayat
(2) KUHAP.
Dalam kaitannya dengan vonis putusan sela yang menyatakan bahwa dakwaan
Penuntut Umum Nomor Reg. Perkara: PDM-02/KEFAM/02/2017, tanggal 22 Maret
2017 adalah batal demi hukum, maka sudah seharusnya JPU mengajukan upaya
hukum berupa perlawanan (verzet) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 156 ayat
(3) KUHAP. Apalagi dalam amar putusan sela atas kasus TPPO dengan nomor perkara
7/Pid.Sus/2017/PN Kfm, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kefamenanu juga
memerintahkan mengembalikan berkas perkara ini kepada Penuntut Umum;
memerintahkan terdakwa dibebaskan dari tahanan segera setelah putusan ini
diucapkan; dan membebankan biaya perkara kepada Negara.
Perlawanan (verzet) sebagai upaya hukum dari JPU atas putusan sela yang
menyatakan bahwa dakwaan Penuntut Umum Nomor Reg. Perkara: PDM02/KEFAM/02/2017, tanggal 22 Maret 2017 adalah batal demi hukum, pada dasarnya
bertujuan untuk membuktikan apakah dakwaan JPU memang lemah atau terjadi
kekeliruan penafsiran oleh majelis hakim. Mekanismenya adalah JPU mengajikan
perlawanan (verzet) ke Pengadilan Tinggi, melalui Pengadilan Negeri dimana perkara
tersebut diperiksa. Walaupun upaya hukum perlawanan (verzet) ini diperiksa oleh
Pengadilan Tinggi, namun upaya hukum perlawanan (verzet) tidaklah sama dengan
upaya hukum banding.
Page 5 of 6
Secara sederhana Yahya Harahap (2002:456-457) menjelaskan bahwa anatara upaya
hukum perlawanan (verzet) dengan upaya hukum banding, memiliki beberapa
perbedaan pokok, yaitu: Pertama, upaya perlawanan bersifat insidentil karena
disediakan oleh Undang-Undang dalam hal-hal tertentu. Kedua, upaya perlawanan
tidak ditujukan terhadap putusan akhir. Ketiga, upaya perlawanan hanya dapat
diajukan terhadap putusan atau penetapan Pengadilan Negeri yang berkaitan dengan
perlawanan tersangka atau penasehat hukum terhadap perpanjangan penahanan
(Pasal 29 ayat 2 KUHAP), perlawanan Penuntut Umum atas penetapan pengadilan
negeri tentang tidak berwenang mengadili (Pasal 154 ayat 1 KUHAP); dan perlawanan
terhadap putusan eksepsi sesuai dengan ketentuan Pasal 156 KUHAP. Keempat,
proses pemeriksaan perlawanan sangat sederhana jika dibandingkan dengan
pemeriksaan perkara di tingkat banding.
KETERANGAN:
1. Penulis adalah Aktivis PIAR NTT
2. Tulisan ini merupakan hasil editing (Pengoreksian dan Penyempurnaan) dari makalah
berjudul: Kinerja Jaksa Dalam Perkara Tindak Pidana Perdagangan Orang, yang
dipresentasikan dalam diskusi terbatas “Peranan Jaksa Dalam Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang”, yang dilaksanakan oleh Lembaga Advokasi Masyarakat
Sipil Cendana Wangi (Lakmas CW - NTT), di Kantor Lakmas CW - NTT, Kefamenanu,
pada tanggal 2 Mei 2017.
Page 6 of 6
ORANG BATAL DEMI HUKUM
Oleh. Paul SinlaEloE
Eksepsi atau keberatan dari Penasihat Hukum
Terdakwa Yosep Paragaye alias Yosep,
diterima dan surat dakwaan Penuntut Umum
Nomor
Reg.
Perkara:
PDM02/KEFAM/02/2017, tanggal 22 Maret 2017,
batal demi hukum karena dakwaan Jaksa
Penuntut Umum (JPU) kabur, tidak memenuhi
syarat formal dan materil. Itulah inti dari amar
putusan sela terkait perkara Tindak Pidana
Perdagangan Orang (TPPO), yang di bacakan
majelis hakim, pada sidang tanggal 28 April
2017 di Pengadilan Negeri Kefamenanu.
Vonis batal demi hukum atas dakwaan
Penuntut Umum Nomor Reg. Perkara: PDM02/KEFAM/02/2017, meninggalkan sejumlah ”tanda tanya” bagi masyarakat awam
maupun korban beserta keluarganya. Tanggapan dari para aktivis anti perdagangan
orang dan pemerhati hukum diberbagai media terkait dengan amar putusan sela ini
adalah sangat beragam. Keseluruhan tanggapan tersebut pada intinya
mempertanyakan tentang: Pertama, apakah JPU dari Kejaksaan Negeri Kefamenanu
tidak mampu membuat suatu surat dakwaan yang sempurna? Kedua, apakah terjadi
kekeliruan penafsiran surat dakwaan oleh Majelis Hakim? Ketiga, apakah terjadi
proses negosiasi perkara yang berimplikasi pada terjadinya korupsi dalam proses
peradilan (judicial corruption)?
Tulisan ini dibuat tidak dalam rangka untuk mengkritisi dokumen dakwaan dari JPU
ataupun menggugat materi putusan sela dari Majelis Hakim. Tulisan ini dimaksudkan
untuk membangun pemahaman bersama tentang bagimana seharusnya menyusun
suatu surat dakwaan yang sempurna, bagaimana modus korupsi dalam proses
peradilan (judicial corruption) terkait dengan penyusunan surat dakwaan. Dalam
tulisan ini akan dibahas juga tentang langkah-langkah yang harus dilakukan oleh JPU
terkait vonis batal demi hukum.
Surat Dakwaan dan Judicial Corruption
Surat Dakwaan (telastelegging) menempati posisi sentral, strategis dan merupakan
dasar dalam pemeriksaan perkara pidana di pengadilan. Ditinjau dari berbagai
kepentingan para pihak yang berkepentingan dengan pemeriksaan perkara pidana,
Paul SinlaEloE (2015:2) berpendapat bahwa surat dakwaan berfungsi untuk:
Pertama, Pengadilan/hakim. Surat dakwaan merupakan dasar dan sekaligus
membatasi ruang lingkup pemeriksaan, sebagai dasar melakukan pemeriksaan di
sidang pengadilan, dan dasar pertimbangan dalam penjatuhan keputusan;
Page 1 of 6
Kedua, Penuntut Umum. Surat dakwaan merupakan dasar pembuktian, dasar
melakukan penuntutan, dasar pembahasan yuridis dalam requisitoir, dasar melakukan
upaya hukum; Ketiga, Terdakwa/penasehat hukum. Surat dakwaan merupakan dasar
utama untuk mempersiapkan pembelaan dalam pledoi, dasar mengajukan bukti
meringankan, dasar mengajukan upaya hukum; Keempat, Pemantau
peradilan/masyarakat sipil, surat dakwaan merupakan dasar untuk menilai kinerja
penegak hukum dalam proses penegakan hukum.
Dengan posisi surat dakwaan yang sangat penting (sentral dan strategis) dalam
proses penegakan hukum suatu tindak pidana (termasuk TPPO), maka tidaklah
mengherankan apabila dalam proses pembuatannya seringkali terjadi proses negosiasi
perkara yang berimplikasi pada terjadinya korupsi dalam proses peradilan (judicial
corruption).
Menurut Paul SinlaEloE (2015:3-4), pengalaman Pengembangan Inisiatif dan Advokasi
Rakyat (PIAR) Nusa Tenggara Timur dalam melakukan advokasi untuk membongkar
mafia peradilan, menemukan sejumlah modus korupsi dalam pembuatan surat
dakwaan, di antaranya: Pertama, pola utamanya adalah pengurangan tuntutan
dengan modus Jaksa akan menawarkan pada tersangka pasal apa yang akan
diterapkan kalau ingin tuntutan yang ringan dan konsekwensinya, tersangka harus
menyerahkan uang kepada Jaksa. Aktor dari modus ini adalah Jaksa, Penasehat
Hukum dan tersangka.
Kedua, pola yang dipergunakan adalah melepaskan tersangka. Modus yang
dipergunakan adalah membuat dakwaan yang kabur (obscuur libel) sehingga
tersangka bisa bebas. Dengan demikian, tersangka akan dibebaskan melalui
pengadilan yang sah dan Jaksa/Penuntut Umum dan akan diberi imbalan sesuai
kesepakatan. Pada modus sepeti ini, Jaksa/Penuntut Umum dan Penasehat Hukum
yang menjadi aktornya.
Surat Dakwaan yang Sempurna
Dalam proses penegakan hukum suatu tindak pidana, terdakwa hanya dapat dipidana
berdasarkan apa yang terbukti mengenai kualifikasi tindak pidana yang dilakukan oleh
seorang terdakwa menurut rumusan surat dakwaan (Pasal 191 ayat (1) Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana/KUHAP). Jadi walaupun terdakwa terbukti melakukan
tindak pidana dalam pemeriksaan persidangan tetapi tidak didakwakan dalam surat
dakwaan, maka terdakwa dimaksud tidak dapat dijatuhi hukuman dan hakim jadinya
akan membebaskan terdakwa. Bahkan menurut Pasal 191 ayat (2) KUHAP, jika
pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan képada terdakwa
terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa
harus diputus lepas dari segala tuntutan hukum (onslaag van alle recht vervolging).
Berpijak pada aturan main yang demikian, maka sudah seharusnya JPU yang adalah
Jaksa pilihan dari institusi Kejaksaan dan merupakan satu-satunya jabatan di
Indonesia yang diberikan kewenangan oleh negara untuk membuat surat dakwaan
(Pasal 14 huruf d KUHAP), harus mampu membuat suatu surat dakwaan yang
sempurna. Sutau surat dakwaan dikatakan sempurna apabila telah memenuhi syarat
formil dan syarat materil serta diuraikan secara cermat, jelas dan lengkap. Apalagi
Page 2 of 6
dalam Pasal 143 ayat (2) KUHAP dan Surat Edaran Jaksa Agung Republik Indonesia
Nomor: SE-004/.A/11/1993, Tentang Pembuatan Surat Dakwaan, telah diatur dengan
cermat, jelas dan lengkap bagaimana seharusnya suatu surat dakwaan dibuat.
Menurut Pasal 140 ayat (1) KUHAP, pembuatan surat dakwaan dilakukan oleh
Penuntut Umum bila ia berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan
penuntutan. Sesuai amanat Pasal 143 ayat (2) KUHAP, syarat formil dan syarat materil
yang harus terdapat dalam surat dakwaan adalah: Pertama, Syarat Formil. Syarat
formil yang harus dipenuhi atau terdapat dalam suatu surat dakwaan, yakni harus
terdapat tanggal dari surat dakwaan, surat dakwaan harus ditandatangani oleh JPU
dan wajib berikan identitas terdakwa/para terdakwa. Apabila syarat formil yang
terdapat dalam Pasal 143 ayat (2) huruf a KUHAP tidak seluruhnya dipenuhi, maka
surat dakwaan dapat dibatalkan oleh hakim (vernietigbaar) karena dinilai tidak jelas
terhadap siapa dakwaan tersebut ditujukan.
Pentingnya pencantuman tanggal dalam surat dakwaan diperlukan guna memenuhi
syarat sebagai suatu akte/surat. Selain itu, pencantuman tanggal dalam surat
dakwaan sangat bermanfaat untuk mengantisipasi terjadinya pembuatan surat
dakwaan mendahului terjadinya suatu peristiwa pidana. Surat dakwaan harus ditanda
tangani oleh Penuntut Umum dalam rangka memenuhi syarat sebagai suatu
akte/surat. Alasan lain dalam kaitannya dengan surat dakwaan harus ditanda tangani
oleh Penuntut Umum adalah untuk menunjukan identitas dari pihak yang bertanggung
jawab atas surat dakwaan dan merupakan penegasan tentang pihak yang berwenang
(Pasal 14 huruf d KUHAP) untuk menandatangai suatu surat dakwaan.
Syarat formil lainnya yang wajib terdapat dalam surat dakwaan adalah identitas dari
terdakwa/para terdakwa. Pentingnya identitas dari terdakwa/para terdakwa dalam
suatu surat dakwaan adalah untuk menghindari agar orang yang didakwa dan
diperiksa di depan sidang pengadilan adalah benar-benar terdakwa yang sebenarnya
dan bukan orang lain (error in persona). Menurut Pasal 143 ayat (2) huruf a KUHAP,
identitas dari terdakwa/para terdakwa yang harus terdapat dalam surat dakwaan
meliputi nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin,
kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa.
Kedua, Syarat Materil. Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP, mengamanatkan bahwa
surat dakwaan harus memuat secara cermat, jelas, dan lengkap mengenai tindak
pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana
dilakukan oleh terdakwa. Jika syarat materil ini tidak dipenuhi, maka Pasal 143 ayat
(3) KUHAP mengharuskan dakwaan dinyatakan tidak dapat diterima (niet onvanklijk
verklaard) dan batal demi hukum (absolut niettig).
Walaupun di dalam KUHAP tidak dijelaskan tentang apa yang dimaksud dengan istilah
cermat, jelas, dan lengkap, namun JPU memaknainya sesuai amanat yang terdapat
dalam Surat Edaran Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: SE-004/.A/11/1993,
Tentang Pembuatan Surat Dakwaan, yakni: Pertama, Uraian Harus Lengkap.
Uraian harus lengkap adalah bahwa dalam menyusun surat dakwaan uraian surat
dakwaan harus mencakup semua unsur yang ditentukan secara lengkap. Jangan
sampai terjadi ada unsur delik yang tidak dirumuskan secara lengkap atau tidak
Page 3 of 6
diuraikan perbuatan materilnya secara tegas dalam dakwaan, sehingga berakibat
perbuatan itu bukan merupakan tindak pidana menurut undang-undang.
Kedua, Uraian Harus Cermat. Cermat yang dimaksud di sini adalah ketelitian JPU
dalam mempersiapkan surat dakwaan yang didasarkan undang-undang yang berlaku
bagi terdakwa, serta tidak terdapat kekurangan dan atau kekeliruan yang dapat
mengakibatkan batalnya surat akwaan atau tidak dapat dibuktikan. Dengan kata lain,
JPU diharuskan untuk bersikap teliti dengan semua hal yang berhubungan dengan
keberhasilan penuntutan perkara di persidangan, di antaranya: (a) apakah ada
pengaduan dalam hal delik khusus atau tindak pidana umum?; (b) apakah penerapan
hukumnya sudah tepat?; (c) apakah terdakwa dapat diminta pertanggungjawaban
dalam suatu tindak pidana; (d) apakah tindak pidana tersebut belum atau sudah
daluwarsa; (e) apakah tindak pidana yang didakwakan itu tidak nebis in idem, yakni
terdakwa diadili lebih dari satu kali atas satu perbuatan kalau sudah ada keputusan
yang menghukum atau membebaskannya.
Ketiga, Uraian Harus Jelas. Uraian yang jelas dan mudah dimengerti dengan cara
menyusun redaksi yang mempertemukan fakta-fakta (perbuatan materil) terdakwa
dengan unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan, sehingga terdakwa atau
penasehat hukum yang mendengar atau membacanya akan mengerti dan
mendapatkan gambaran tentang: (a) siapa yang melakukan tindak pidana; (b) tindak
pidana apa yang dilakukan; (c) kapan dan di mana tindak pidana tersebut dilakukan;
(d) apa akibat yang ditimbulkan; dan (e) mengapa terdakwa melakukan tindak
pidana itu. Uraian komponen-komponen tersebut disusun secara sistematik dan
kronologis dengan bahasa yang sederhana. Hal ini dimaksudkan untuk para pihak
yang terlibat dalam berperkara dapat mengetahui secara jelas, apakah unsur yang
diuraikan tersebut sebagai tindak pidana dengan kualifikasi, misalnya penipuan atau
penggelapan atau pencurian, dsb.
Dalam kejelasan terkait uraian yang terdapat dalam surat dakwaan harus diperincikan
dengan jelas dan tegas apakah terdakwa dalam melakukan tindak pidana yang
didakwakan tersebut dalam kapasitas sebagai pelaku (dader) dengan peran: Orang
yang melakukan (pleger), orang yang menyuruh melakukan (doenpleger), orang yang
turut serta melakukan (medepleger), orang yang menganjurkan untuk melakukan
(uitlokker), atau hanya sebagai pembantu melakukan (medeplichting). Khusus untuk
kasus TPPO harus cermati juga apakah terdakwa merupakan subjek hukum yang
berkategori pelaku dengan peran sebagai orang yang merencanakan melakukan
(ontwerpen) suatu tindak pidana.
Putusan Sela dan Perlawanan JPU
Putusan sela (interim meascure) adalah putusan yang dijatuhkan oleh hakim
sebelum memeriksa substansi atau pokok perkara. Materi putusan sela hanya terkait
dengan aspek kesempurnaan dari suatu surat dakwaan yang telah disyaratkan dalam
produk hukum acara pidana. Putusan sela merupakan bagian dari mekanisme kontrol
terhadap kinerja Jaksa/Penuntut Umum, yang mana dimaksudkan agar mereka tidak
gegabah dalam membuat surat dakwaan, dalam mengajukan suatu tuntutan atau
dalam melakukan suatu penyidikan. Dalam Praktik pemeriksaan perkara pidana,
Page 4 of 6
putusan sela biasanya dijatuhkan karena adanya eksepsi (keberatan/penolakan atas
dakwaan) dari terdakwa atau Penasihat Hukumnya.
Terhadap eksepsi yang disampaikan terdakwa maupun penasihat hukumnya, hakim
dapat menjatuhkan putusan sela berupa: Pertama, putusan yang berisi pernyataan
tentang tidak berwenangnya pengadilan untuk mengadili suatu perkara (onbevoegde
verklaring). Sesuai dengan pasal 148 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP, perkara tersebut
diserahkan kembali kepada penuntut umum untuk selanjutnya dilimpahkan kepada
pengadilan negeri di wilayah yang berhak untuk mengadilinya. Kedua, putusan yang
menyatakan bahwa surat dakwaan penuntut umum batal (nietig) karena tidak
memenuhi syarat formil yang terdapat dalam 143 ayat (2) huruf a KUHAP atau
putusan dinyatakan batal demi hukum karena tidak memenuhi syarat materil yang
terdapat dalam 143 ayat (2) huruf b KUHAP.
Ketiga, putusan yang berisi pernyataan bahwa surat dakwaan penuntut umum tidak
dapat diterima (niet ontvelijk verklaard), misalnya karena perkara yang diajukan oleh
penuntut umum sudah daluarsa, nebis in idem, perkara memerlukan syarat aduan
(klacht delict). Keempat, Putusan yang berisi penundaan pemeriksaan perkara oleh
karena ada perselisihan prejedusiel (perselisihan kewenangan), karena di dalam
perkara yang bersangkutan diperlakukan untuk menunggu suatu putusan hakim
perdata. Kelima, putusan yang menyatakan bahwa keberatan dari terdakwa atau
penasihat hukumnya tidak dapat diterima atau hakim berpendapat bahwa hal
tersebut baru diputus setelah selesai pemeriksaan perkara a quo, maka dakwaan
penuntut umum dinyatakan sah dan persidangan dapat dilanjutkan untuk
pemeriksaan materi pokok perkara, sesuai degan ketentuan dalam Pasal 156 ayat
(2) KUHAP.
Dalam kaitannya dengan vonis putusan sela yang menyatakan bahwa dakwaan
Penuntut Umum Nomor Reg. Perkara: PDM-02/KEFAM/02/2017, tanggal 22 Maret
2017 adalah batal demi hukum, maka sudah seharusnya JPU mengajukan upaya
hukum berupa perlawanan (verzet) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 156 ayat
(3) KUHAP. Apalagi dalam amar putusan sela atas kasus TPPO dengan nomor perkara
7/Pid.Sus/2017/PN Kfm, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kefamenanu juga
memerintahkan mengembalikan berkas perkara ini kepada Penuntut Umum;
memerintahkan terdakwa dibebaskan dari tahanan segera setelah putusan ini
diucapkan; dan membebankan biaya perkara kepada Negara.
Perlawanan (verzet) sebagai upaya hukum dari JPU atas putusan sela yang
menyatakan bahwa dakwaan Penuntut Umum Nomor Reg. Perkara: PDM02/KEFAM/02/2017, tanggal 22 Maret 2017 adalah batal demi hukum, pada dasarnya
bertujuan untuk membuktikan apakah dakwaan JPU memang lemah atau terjadi
kekeliruan penafsiran oleh majelis hakim. Mekanismenya adalah JPU mengajikan
perlawanan (verzet) ke Pengadilan Tinggi, melalui Pengadilan Negeri dimana perkara
tersebut diperiksa. Walaupun upaya hukum perlawanan (verzet) ini diperiksa oleh
Pengadilan Tinggi, namun upaya hukum perlawanan (verzet) tidaklah sama dengan
upaya hukum banding.
Page 5 of 6
Secara sederhana Yahya Harahap (2002:456-457) menjelaskan bahwa anatara upaya
hukum perlawanan (verzet) dengan upaya hukum banding, memiliki beberapa
perbedaan pokok, yaitu: Pertama, upaya perlawanan bersifat insidentil karena
disediakan oleh Undang-Undang dalam hal-hal tertentu. Kedua, upaya perlawanan
tidak ditujukan terhadap putusan akhir. Ketiga, upaya perlawanan hanya dapat
diajukan terhadap putusan atau penetapan Pengadilan Negeri yang berkaitan dengan
perlawanan tersangka atau penasehat hukum terhadap perpanjangan penahanan
(Pasal 29 ayat 2 KUHAP), perlawanan Penuntut Umum atas penetapan pengadilan
negeri tentang tidak berwenang mengadili (Pasal 154 ayat 1 KUHAP); dan perlawanan
terhadap putusan eksepsi sesuai dengan ketentuan Pasal 156 KUHAP. Keempat,
proses pemeriksaan perlawanan sangat sederhana jika dibandingkan dengan
pemeriksaan perkara di tingkat banding.
KETERANGAN:
1. Penulis adalah Aktivis PIAR NTT
2. Tulisan ini merupakan hasil editing (Pengoreksian dan Penyempurnaan) dari makalah
berjudul: Kinerja Jaksa Dalam Perkara Tindak Pidana Perdagangan Orang, yang
dipresentasikan dalam diskusi terbatas “Peranan Jaksa Dalam Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang”, yang dilaksanakan oleh Lembaga Advokasi Masyarakat
Sipil Cendana Wangi (Lakmas CW - NTT), di Kantor Lakmas CW - NTT, Kefamenanu,
pada tanggal 2 Mei 2017.
Page 6 of 6