PENYULUHAN DIALOGIS UNTUK MENJADIKAN PET

PENYULUHAN DIALOGIS UNTUK
MENJADIKAN PETANI PENYULUH DAN MANDIRI

UNIVERSITAS GADJAH MADA

Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar
Pada Fakultas Pertanian
Universitas Gadjah Mada

Oleh:
Prof. Dr. Ir. Sunarru Samsi Hariadi, M.S.

2

PENYULUHAN DIALOGIS UNTUK
MENJADIKAN PETANI PENYULUH DAN MANDIRI

UNIVERSITAS GADJAH MADA

Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar
Pada Fakultas Pertanian

Universitas Gadjah Mada

Diucapkan di depan Rapat Terbuka Majelis Guru Besar
Universitas Gadjah Mada
Pada tanggal 25 Februari 2009
Di Yogyakarta

Oleh
Prof. Dr. Ir. Sunarru Samsi Hariadi, M.S.

3
PENYULUHAN DIALOGIS UNTUK
MENJADIKAN PETANI PENYULUH DAN MANDIRI
Pendahuluan
Penyuluhan lahir di Inggris pada pertengahan abad 19, istilah
university extension muncul di negeri tersebut. Sekitar tahun 1850
dilakukan diskusi-diskusi di Universitas Oxford dan Cambride
mengenai bagaimana memberikan pelayanan untuk memenuhi
kebutuhan pendidikan di sekitar tempat tinggal penduduk, terutama
dengan cepatnya pertumbuhan penduduk di daerah industri dan

perkotaan. Para pengajar terutama memberikan pengajaran mengenai
topik-topik sosial, namun pada dekade 1890 an topik-topik pertanian
juga dimasukan bahan pengajaran untuk masyarakat pedesaan. Keberhasilan kegiatan penyuluhan di Inggris ini berpengaruh berkembangnya kegiatan sejenis di berbagai negara terutama di Amerika Serikat.
Selama dua dekade awal abad tersebut, kegiatan dari Land Grant
College di AS dalam pelayanan keluarga tani berkembang cepat dan
terorganisasi secara formal, namun penggunaan istilah “extension”
terus digunakan (Jones and Garforth dalam Swanson et al, 1997).
Sejak awal abad ke 20 istilah “penyuluhan pertanian” mulai
digunakan secara umum di Amerika Serikat untuk menunjukkan
bahwa sasaran pengajaran dari universitas tidak hanya terbatas di
lingkungan kampus saja, tetapi juga diperluas hingga semua fihak
yang hidup di lingkungan manapun. Kegiatan penyuluhan pertanian
semakin berkembang karena ada krisis merebaknya penyakit pada
tanaman kentang (“potato blight”) di Eropa pada tahun 1845, di
Irlandia banyak terjadi kematian tanaman kentang, dan terjadi
kelaparan kentang (“potato famine”) sampai dengan tahun 1851.
Penyuluhan dapat dipandang sebagai suatu bentuk pendidikan
untuk orang dewasa/andragogy (Knowles. 1980). Dalam bahasa
Belanda digunakan kata “voorlichting” yang berarti memberi penerangan untuk menolong seseorang menemukan jalannya, Indonesia
mengikuti cara Belanda dengan menggunakan kata “penyuluhan”

yang berasal dari kata “suluh” atau “obor” yang berfungsi memberi
penerangan di kegelapan (Anonim, 2001). Ferver dan Leagans
mengatakan bahwa penyuluhan adalah ilmu terapan, Ferver
memberikan definisi bahwa penyuluhan adalah ilmu terapan yang

4
secara khusus mempelajari teori, prosedur, dan cara-cara yang dapat
dipergunakan untuk menyampaikan teknologi baru yang ditemukan
dari hasil penelitian ilmu pertanian dan ilmu sosial kepada masyarakat
melalui proses pendidikan sehingga mereka mengerti, menerima, dan
mempergunakannya untuk memecahkan persoalan-persoalan yang
dihadapi (Nuraini, 1977; Prodjosoehardjo, 1979). Cruz dari FAO
merumuskan bahwa penyuluhan pertanian pada dasarnya adalah
pendidikan orang dewasa dengan tujuan memberikan arahan dan
persuasi kepada petani agar mau mengadopsi praktek yang terbaik
usaha pertanian dan ternak yang selanjutnya merubah mentalitas dan
berinisiatif memperbaiki praktek dan pengetahuannya. Padmanegara
mengartikan bahwa penyuluhan pertanian sebagai sistem pendidikan
di luar sekolah (non formal) untuk para petani dan keluarganya
dengan tujuan agar mereka mampu, sanggup, dan berswadaya

meningkatkan kesejahteraannya sendiri serta masyarakatnya (Anonim,
2001). Dalam Undang Undang Sistem Penyuluhan Pertanian
Perikanan dan Kehutanan Tahun 2006 (UU SP3K), Penyuluhan
pertanian didefinisikan sebagai proses pembelajaran bagi pelaku
utama serta pelaku usaha agar mereka mau dan mampu menolong dan
mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar,
teknologi, permodalan, dan sumberdaya lainnya, sebagai upaya untuk
meningkatkan produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan dan
kesejahteraannya, serta meningkatkan kesadaran dalam pelestarian
fungsi lingkungan hidup. Dengan demikian, pengertian penyuluhan
sangat berbeda dengan penerangan, karena penerangan hanya sekedar
memberi tahu saja (to inform). Dari berbagai definisi tersebut,
penyuluhan pertanian dapat dipandang sebagai suatu ilmu terapan dan
juga suatu proses pendidikan atau pembelajaran bagi orang dewasa
atau petani agar mereka mampu menolong dirinya sendiri.
Ilmu Terapan dan Falsafah Penyuluhan
Sebagai ilmu, penyuluhan pertanian merupakan ilmu terapan
(interdisipliner), yang mempelajari masyarakat/petani, sudah barang
tentu ilmu penyuluhan memiliki hubungan dengan ilmu-ilmu lain
yang sama-sama mempelajari masyarakat/petani, misalnya ilmu

komunikasi, psikologi, sosiologi, antropologi. Menurut Peursen
(1985), ilmu terapan berusaha mengalih ragamkan kebetulan-

5
kebetulan dalam sistemnya sendiri menjadi jaringan hubungan yang
dapat diterapkan, oleh karena itu bersifat mutlak. Percobaan atau
penelitian untuk menyusun teori juga berfungsi sebagai penerapan.
Ilmu terapan memasuki masyarakat lebih mendalam, tujuan dunia
praktis menjadi bagian dari teori ilmu. Ilmu penyuluhan obyeknya
adalah masyarakat terutama yang terkait dengan pertanian ditinjau
dari segi perilaku dalam upaya menolong diri sendiri melalui proses
pendidikan. Metode dan teknik penelitian yang digunakan
menggunakan pendekatan kuantitatif atau kualitatif, ataupun memadu
pendekatan kualitatif dan kuantitatif.
Perkembangan ilmu penyuluhan tidak terlepas dari perkembangan riset dari berbagai pendekatan ilmu, misalnya teori “difusi
inovasi” dalam penyuluhan, berkembang dari pengalaman dan riset
Antroplogi oleh Wissler (1923) dan Wellin (1955), riset Sosiologi
Pedesaan oleh Ryan & Gross (1943), riset pendidikan oleh Paul Mort
(1920), riset komunikasi oleh Shannon & Weaver (1949). Demikian
juga teori “proses adopsi inovasi” oleh Rogers, yang kemudian

diperkaya oleh teori penerapan melalui peniruan yakni “social
learning” yang dikemukakan oleh Bandura (1977). Melalui epistemologi yang telah dilakukan oleh para pemikir terdahulu tersebut,
menghasilkan karya-karya yang memperkaya teori penyuluhan
sebagai ilmu dan mempertajam analisis guna memecahkan problema
yang dihadapi oleh petani dan masyarakat.
Dalam penerapannya, penyuluhan sebagai proses suatu
pendidikan atau pembelajaran memiliki nilai-nilai dan landasan idiil
yang dikenal sebagai falsafah penyuluhan. Falsafah penyuluhan
pertanian yang dimaksudkan adalah kumpulan nilai-nilai yang
mendasari program atau tujuan tertentu, falsafah merupakan unsurunsur yang mencakup landasan idiil dan pendekatan dasar yang akan
ditempuh, sebagai landasan berfikir yang dipergunakan untuk
melaksanakan kegiatan. Falsafah penyuluhan pertanian di Inggris
yang merupakan awal aktivitas penyuluhan, dikemukakan oleh Harold
Dusenberry (Nuraini, 1977), didasarkan atas 3 hal, yakni: Intelegent,
Capable, dan Desire. Maknanya:1. penyuluhan harus berdasarkan
pada anggapan bahwa petani memiliki intelegensi, kecerdasan, akal
yang cukup untuk menerima inovasi, 2. penyuluhan harus berdasar
pada anggapan bahwa petani itu memiliki kecakapan dan mampu

6

melaksanakan sesuatu, 3. penyuluhan berdasar pada anggapan bahwa
petani mempunyai keinginan untuk memperoleh informasi/inovasi dan
memanfaatkannya untuk memperbaiki usahanya. Falsafah penyuluhan
pertanian di Amerika Serikat dikenal dengan sebutan 3T, yang
dirumuskan oleh Mosher (Mosher, 1978) sebagai : True, Truth, dan
Teach (Kebenaran, Kenyataan, dan Pendidikan), yang maknanya:
bahwa materi yang disuluhkan itu harus benar menurut rasio dan
diperoleh dari hasil penelitian, materi yang benar tersebut harus secara
nyata dapat diterapkan dan penyuluh yakin dapat menerapkan
ditempat tersebut, kemudian penyebaran materi penyuluhan tersebut
melalui proses pendidikan.
Di Indonesia, secara luas Pancasila menjadi dasar falsafah
penyuluhan, namun ada yang berpendapat bahwa hal itu terlalu luas,
sehingga secara khusus falsafah penyuluhan identik dengan falsafah
pendidikan. Penyuluhan adalah juga merupakan proses pendidikan,
sehingga falsafah pendidikan Ki Hadjar Dewantara/Taman Siswa juga
digunakan sebagai falsafah penyuluhan: Ing ngarso sung tulodo, Ing
Madyo mbangun karso, Tut Wuri Handayani, yang maknanya:
penyuluh bila berada di depan petani harus memberi contoh/ teladan,
apabila berada ditengah-tengah petani harus memberikan inisiatif dan

semangat untuk berkarya, dan apabila berada dibelakang petani harus
tetap mengamati/ mengiringi untuk memperbaiki apabila ada
kesalahan. Departemen Pertanian RI lebih cenderung menganut
falsafah seperti yang dianut di Inggris (Nuraini, 1977), yang
menganggap petani memiliki: intelegensi/kecerdasan, kecakapan, dan
keinginan memperbaiki usahanya/kehidupannya. Berdasarkan pada
falsafah penyuluhan tersebut, berarti apabila terjadi kesulitan dan
masalah dalam penyuluhan dan bahkan terjadi kegagalan, maka
kegagalan tersebut tidak boleh ditimpakan dengan alasan “kebodohan
petani”, akan tetapi harus diletakkan pada penyuluhnya untuk
introspeksi diri dan mencari solusinya.
Penyuluhan Pertanian sebagai Proses Pendidikan bagi petani
Penyuluhan yang merupakan proses pendidikan bagi
masyarakat/ petani, sejak awal sejarah pembangunan pertanian yakni
melalui kebun Raya Bogor sampai dengan zaman orde baru, telah
mencoba menggunakan berbagai teknik dan metode pendidikan,

7
namun di berbagai hal belum sesuai dengan falsafah dan prinsip
penyuluhan. Ketika era Pangreh Praja, penyuluhan dilakukan dengan

cara memerintah. Pada zaman orde baru, penyuluhan sebagai mesin
pembangunan banyak program yang top down, crash-program yang
harus dikerjakan secara cepat dan menyeluruh oleh petani, sehingga
dalam penyuluhan ada istilah “dipaksa- terpaksa- bisa- terbiasa”
(Tohir. 2000), yang artinya penyuluhan dilakukan dengan cara dipaksakan kepada petani, yang kemudian terpaksa melakukan, akhirnya
bisa melakukan, dan menjadi terbiasa melakukan, suatu “metode”
yang jauh dari falsafah penyuluhan yang diharapkan. Dalam beberapa
hal memang dapat meningkatkan produksi, namun kurang menjadikan
“kemandirian dan kreativitas” petani. Disamping itu, pendekatan
penyuluhan banyak dilakukan melalui target oriented dan sistem paket
yang kurang memperhatikan keragaman masyarakat dan ekologi.
Di berbagai belahan dunia, penyuluhan dengan pendekatan
kelompok banyak dilakukan. Di Afrika 51% penyuluhan dengan
pendekatan kelompok, di Asia dan Pasifik 36 %, di Eropa 31 %, di
Amerika Latin 45 %, dan di Amerika Utara 42 % (Swanson, Burton,
1990). Di Indonesia, penyuluhan pertanian umumnya juga dilakukan
melalui pendekatan kelompok tani, penyuluh hadir dalam pertemuan
kelompok dan memberikan penyuluhan kepada seluruh anggota
kelompok tani (Martaatmadja, 1993). Sayangnya dalam penerapan
penyuluhan pertanian, sadar atau tidak, diberbagai kesempatan petani

masih dianggap “bodoh”, atau tidak tahu, sehingga harus diberi
pengetahuan yang sebanyak-banyaknya agar pengetahuannya
bertambah. Model ini mendorong petani tidak mandiri dan secara
mekanis melaksanakan apa yang dimaui penyuluh. Malahan lebih
buruk lagi, para petani dijadikan semacam “tong tempat penyimpan
barang buangan”, yakni suatu tempat simpanan yang harus diisi
pengetahuan oleh sang penyuluh. Semakin lengkap penyuluh mengisi
tempat-tempat penyimpanan ini, maka semakin baik reputasinya
sebagai penyuluh. Semakin patuh para petani membiarkan diri mereka
untuk diisi, makin dipuja mereka sebagai “petani teladan”. Dengan
demikian, penyuluhan menjadi kegiatan yang menyimpang dari
kaidah pendidikan orang dewasa (andragogy) dan falsafah
penyuluhan, petani menjadi “celengan” dan penyuluh menjadi
“penyimpan”. Penyuluh bukannya berkomunikasi, melainkan

8
mengadakan “pengumuman” serta “menyetor simpanan” yang oleh
para petani diterima dengan sabar untuk diterapkan. Inilah yang oleh
Paulo Frairie (Joebhaar. 1984) disebut dengan konsep pendidikan
“sistem bank”.

Dalam konsep pendidikan “sistem bank”, pengetahuan
merupakan hadiah yang dianugerahkan oleh orang- orang yang
menganggap diri sebagai pemilik pengetahuan, kepada orang-orang
yang mereka anggap tidak tahu sesuatu apapun. Dalam pendidikan
atau penyuluhan sistem bank, posisi guru dan pelajar, atau posisi
penyuluh dan petani jauh berbeda, konsep pendidikan penyuluhan
sistem bank:
1. Penyuluh mengajari dan petani diajari
2. Penyuluh mahatahu dan petani tidak tahu apa-apa
3. Penyuluh berfikir dan petani difikirkan
4. Penyuluh berbicara dan para petani mendengarkan dengan patuh
5. Penyuluh mendisiplinkan dan petani didisiplinkan
6. Penyuluh melakukan pilihan-pilihan serta melaksanakan
pilihannya, dan petani menerima pilihan itu
7. Penyuluh bertindak dan petani mendapatkan ilusi seolah mereka
bertindak melalui tindakan penyuluh
8. Penyuluh memilih materi untuk penyuluhan, dan para petani
menyesuaikan diri pada pilihan tersebut
9. Penyuluh mengacaukan wewenang pengetahuannya dengan
wewenang profesinya, yang diterapkan dengan cara melawan
kebebasan petani
10. Penyuluh menjadi subyek dalam proses penyuluhan, sedangkan
petani merupakan obyek penyuluhan belaka.
Penyuluhan Dialogis
Dalam konsep pendidikan “sistem bank”, manusia dianggap
sebagai mahluk- mahluk yang dapat disesuaikan, dan dapat diatur.
Semakin rajin para petani berusaha menyimpan bahan-bahan
simpanan yang diberikan kepadanya, semakin sedikit para petani
mengembangkan kesadaran kritis yang ditimbulkan oleh campur
tangan penyuluh sebagai pelaksana transformasi dunia. Pendidikan

9
model sistem bank mengurangi daya kreatif para petani atau malah
sama sekali menghilangkannya, sehingga justru menyebabkan pasif
dan tidak mandiri.
Penyuluh yang sejati haruslah menolak konsep “sistem bank”
secara keseluruhan, dan sebagai penggantinya adalah konsep
mengenai manusia sebagai mahluk yang sadar, kesadaran yang
ditujukan terhadap dunia, seperti yang dikonsepsikan oleh Rogres
(2000) dalam proses adopsi (awareness, interest, trial, evaluation, dan
adoption). Penyuluh sejati haruslah melepaskan tujuan menyuluh
untuk memberikan “simpanan” kepada petani, harus mengganti
penyuluhan “system bank” dengan “penyuluhan dialogis”.
Penyuluhan dialogis, yakni penyuluhan bersifat terbuka dan
komunikatif, dengan cara “dialektika” yaitu penalaran dengan dialog
sebagai cara untuk menyelidiki suatu masalah, yang kemudian
mencari solusinya. Disini penyuluh menggunakan cara berfikir yang
“dialektik”, yakni berfikir secara teratur, logis dan teliti, yang diawali
dengan tesis, antitesis dan sintesis dalam mengatasi problema petani
untuk dihadapi bersama-sama dengan melibatkan peran serta
(partisipasi) petani. Penyuluhan dialogis dengan cara “dialektika”
mengemukakan problema, menanggapi hakekat kesadaran, dan terarah
mewujudkan komunikasi dua arah. Teknik penyuluhan ini
memberikan ciri khas dari kesadaran “sadar akan”, tidak saja
ditujukan kepada obyek di luar melainkan juga terarah ke dalam
dirinya sendiri sebagai kesadaran mengenai kesadaran. Penyuluhan
dengan cara dialektika “mengemukakan problema” memberi arah
kepada petani untuk mengenal dan mengetahui serta mencari solusi,
bukan hanya menerima perpindahan inovasi pertanian saja.
Melaksanakan penyuluhan dialogis tersebut pertama-tama menuntut
agar kontradiksi penyuluh – petani dipecahkan. Karena itu, hubungan
dialog mutlak diperlukan bagi penyuluh dengan petani yang secara
partisipatif turut terlibat mencari solusi problema pertanian.
Model: Penyuluh petani – Petani penyuluh
Penyuluhan dialogis dengan menggunakan cara dialektika untuk
mencari solusi “permasalahan”, akan memecahkan pola vertikal yang
merupakan ciri khas pendidikan sistem bank. Melalui dialog, pola
guru terhadap pelajar, dan pelajar dari seorang guru akan hilang, dan

10
timbullah sebuah konsep baru, yakni: guru-pelajar dengan pelajarguru. Dalam penyuluhan pertanian, akan menciptakan model:
penyuluh-petani dengan petani-penyuluh. Ini berarti, penyuluh tidak
lagi merupakan sekedar orang yang menyuluh kepada petani,
melainkan orang yang dalam dialog dengan para petani juga belajar
kepada petani, sedangkan para petani sambil belajar dari penyuluh
juga mengajar kepada penyuluh berdasar pengalamannya. Penyuluh
dan petani bersama-sama bertanggung jawab atas sesuatu proses
pertumbuhan bagi semua yang terlibat. Disini, tidak ada mengajar
orang lain, juga tidak ada yang belajar sendiri. Manusia saling
mengajar tentang dunia/ pertanian, yang dalam pendidikan sistem
bank mengajar itu hanya “dipunyai” oleh penyuluh.
Penyuluhan “system bank” membius serta menghalangi daya
kreatif petani, sedangkan penyuluhan dialogis dengan cara dialektika
mencakup pengungkapan realitas secara terus menerus. Pada
penyuluhan dialogis, dengan meningkatnya jumlah masalah yang
dihadapi oleh petani, justru akan mendorong petani semakin merasa
ditantang serta berkewajiban untuk menaggapi tantangan tersebut.
Mereka menganggap tantangan tersebut berkaitan dengan masalahmasalah lain dalam keseluruhan suatu konteks, dan bukan suatu
masalah teoritis, dalam fikiran mereka cenderung untuk menjadi
semakin kritis terhadap realitas dunia. Sambutan mereka terhadap
tantangan menimbulkan tantangan-tantangan baru, disusul dengan
pengertian- pengertian baru, dan lambat laun sang petani sampai
kepada saat merasa dirinya terlibat dan turut bertanggung jawab
(berpartisipasi) dalam proses mengatasi masalah.
Berlainan dengan penyuluhan berdasarkan metoda bank dengan
“depositonya” yang non-komunikatif, isi program dari teknik
dialektika dengan cara petani mengemukakan masalah, dibentuk dan
disusun oleh pandangan petani tentang dunianya, sumber tema berasal
dari para petani sendiri, sehingga petani juga memberikan wawasan
dan pengalamannya, memberikan penyuluhan kepada penyuluh, yang
dalam proses selanjutnya menjadikan petani penyuluh yang terbiasa
memberikan penyuluhan kepada petani lain. Dengan demikian, isi /
materi penyuluhan terus menerus meluas dan memperbaharui diri.
Tugas seorang penyuluh yang dialogis adalah menggarap dunia
pertanian yang diungkapkan dari penyelidikannya, kemudian

11
menampilkan alam dunia nyata tersebut kepada para petani dan
menyajikannya bukan sebagai suatu “kuliah”, melainkan sebagai suatu
“masalah” yang perlu diatasi bersama-sama secara partisipatif.
Sebenarnya, penyuluhan dialogis dengan cara dialektika yang
membahas problema petani, dan mencari solusi pemecahannya
berdasar pengalaman petani (experiential learning) pernah diterapkan
dalam metode Sekolah Lapangan Pengendalian Hama Terpadu sejak
tahun 1990an, yang kemudian melahirkan petani penyuluh-petani
penyuluh yang dikenal dengan penyuluh swadaya atau “petani
pemandu”, yakni para petani mantan peserta SLPHT yang dengan
sukarela menjadi penyuluh swadaya. Penyuluhan partisipatif dengan
model Sekolah Lapangan (Farmer Field Schools) ini merupakan
model yang dikembangkan dan juga diaplikasikan di berbagai negara
dengan biaya dari FAO, diantaranya di Negara-negara Asia (sejak Th
1980an), dan juga Bolivia, Equador, serta Peru (Rivera, 2001).
Petani Mandiri
Penyuluhan dialogis dengan cara dialektika yang menyajikan
problema mengakui bahwa manusia sebagai mahluk dalam proses
“menjadi”, sebagai mahluk yang tidak “lengkap”, tidak selesai dan
yang sedang berada dalam realitas yang juga tidak selesai. Berbeda
dengan hewan, meskipun hewan juga belum selesai, tetapi ia tidak
bersejarah, sedangkan manusia mengetahui bahwa dirinya tidak
selesai, ia sadar akan ketidak lengkapan dirinya yang berjalan dalam
proses sejarah. Dalam kesadaran dan ketidak lengkapan ini tertanam
akar pendidikan sebagai manifestasi yang semata-mata bersifat
manusiawi. Sifat tidak selesai manusia serta sifat realitas yang selalu
dalam transformasi berakibat bahwa penyuluhan harus merupakan
suatu kegiatan yang berlangsung terus menerus. Penyuluhan yang
merupakan proses pendidikan dengan menggunakan cara “dialogis”
mendasarkan diri pada kreatifitas dan merangsang refleksi serta
tindakan sejati terhadap realitas, menciptakan pemikir-pemikir kritis
dan kreatif, sehingga menjadikan petani lebih “mandiri” yang selalu
berusaha mengatasi problemanya tanpa menggantung kan orang lain.
Penyuluhan dialogis menyajikan masalah dan memaparkan hari
depan yang bersifat revolusioner. Dengan demikian, cara “dialogis”
mengandung ramalan dan harapan dan sesuai dengan watak manusia

12
yang menyejarah. Maka, ia mengakui manusia sebagai mahluk yang
maju serta memandang ke depan, yang menganggap kemandegan
merupakan suatu ancaman. Bagi sistem pendidikan/ penyuluhan
dialogis menoleh kebelakang masa lalu hanyalah merupakan suatu
sarana untuk lebih memahami persoalan apa dan siapa mereka, agar
bisa membangun masa depan dengan lebih bijaksana.
Dialogis merupakan pertemuan antara manusia yang memiliki
tugas bersama untuk belajar dan bertindak, akan terpecah apabila
salah satau atau kedua fihak tidak mampu berendah hati. Dialog tidak
mungkin berkembang manakala tanpa kerendahan hati. Bagaimana
mungkin penyuluh bisa memulai dialog dengan petani, manakala
penyuluh selalu memproyeksikan kebodohan kepada petani dan tidak
menyadari bahwa dirinya juga memiliki kekurangan. Bagaimana
mungkin penyuluh bisa memulai dialog, jika ia menganggap dirinya
adalah pemilik kebenaran dan pengetahuan, yang memandang orang
lain/petani serba tidak tahu dan tidak mandiri. Selanjutnya, dialog
memerlukan kepercayaan mendalam terhadap manusia, kepercayaan
bahwa ia mampu membuat dan membuat kembali, mencipta dan
mencipta kembali. Kepercayaan akan seseorang merupakan syarat
terjadinya dialog, “manusia dialog” percaya akan sesama manusia
bahkan sebelum ia bertemu muka dengan mereka.
Dengan berakar pada cinta-kasih terhadap sesama, kerendahan
hati, serta kepercayaan, dialog menjadi suatu hubungan horizontal
yang secara logis menjadi saling percaya. Dengan demikian, prinsip
“mengasihi sesama manusia seperti mengasihi diri sendiri”
merupakan prinsip yang harus dimiliki oleh setiap penyuluh, bahkan
oleh setiap orang. Suatu hal yang kontradiksi, manakala dialog, yang
penuh cinta kasih, kerendahan hati, serta kepercayaan, ternyata tidak
mewujudkan iklim saling percaya yang mendorong orang-orang yang
bersangkutan agar lebih bahu membahu mengatasi problema.
Kepercayaan terhadap sesama manusia merupakan syarat mutlak
adanya dialog, demikian pula kepercayaan juga dibina oleh dialog.
Apabila hal ini gagal, akan terlihatlah bahwa prakondisinya tidak ada,
yakni cinta-kasih palsu, kerendahan hati palsu, dan kepercayaan yang
goyah, sehingga tidak mampu menciptakan kepercayaan yang sejati.
Kepercayaan bergantung pada bukti yang diadakan oleh fihak satu

13
terhadap yang lain, kepercayaan tidak mungkin ada manakala katakata fihak satu tersebut tidak sesuai dengan perbuatannya.
Pemahaman Karakteristik Petani dalam Penyuluhan: Farmer vs
Peasant
Dalam penyuluhan, penyuluh harus memahami siapa petani
dengan karakteristiknya. Selama ini, petani sering difahami sebagai
“farmer”, padahal banyak diantara petani Indonesia ini yang masih
“peasant”. Farmer adalah petani pengusaha pertanian, memiliki lahan
luas, orientasi pasar, dan dalam berusaha memiliki prinsip “profit
maximization” yakni memaksimalkan keuntungan (Mosher,1984),
dengan demikian farmer selalu mencari peluang- peluang pasar untuk
meningkatkan keuntungannya, mencari dan menerapkan inovasi
pertanian, menyebabkan ia mudah menerima inovasi atau teknologi
baru. Sedangkan “peasant” adalah petani yang lebih bersifat subsisten,
memiliki lahan sempit, kurang berorientasi pasar, dan dalam berusaha
memiliki prinsip “risk minimization” atau meminimalkan resiko dan
bukan mementingkan keuntungan (Scott,1983). Peasant digambarkan
seperti orang yang sedang tenggelam di air sebatas leher, bila ada air
beriak sedikit saja dapat menenggelamkannya. Dengan demikian,
peasant sangat takut resiko gagal panen, menyebabkan agak susah
menerima inovasi atau teknologi baru. Dalam pengertian ini, bukan
dilihat dari luas atau sempit lahan yang dikelola, tetapi lebih melihat
prinsip dalam berusaha tani, banyak petani/peasant di pedesaan yang
masih takut resiko, selalu meminimalkan resiko gagal panen, petani
inilah yang seringkali sulit diyakinkan oleh para penyuluh mengenai
inovasi pertanian, mereka harus melihat sendiri buktinya, petani mau
mengadopsi bila hasilnya memuaskan dan resikonya kecil. Petani
“peasant” inilah yang harus dibimbing secara dialogis yang intensif,
agar secara bertahap mampu menemukan akar problemanya dan
mampu mengatasi persoalannya. Berlainan dengan petani “farmer”
yang inovatif dan kosmopolit serta berani mengambil resiko,
bimbingan melalui dialogis akan mempercepat dan mempermudah
mencari solusi permasalahan yang dihadapi.
Perubahan “peasant” menjadi “farmer” dapat terjadi ketika
petani “peasant” memiliki keyakinan diri mampu berhasil (self
efficacy) yang tinggi, ia berani mengambil resiko dalam bisnis, karena

14
didalam bisnis pasti ada resiko-resiko. Hariadi (2004) dalam
penelitiannya di Gunungkidul menemukan, bahwa kelompok tani
yang maju berkembang karena dipengaruhi oleh keyakinan diri
mampu berhasil (self efficacy) yang tinggi, kelompok tani tersebut
memiliki bisnis; usaha warung, koperasi, bermitra dengan perusahaan.
Menurut Bandura (1977), peningkatan self efficacy bagi seseorang
(termasuk petani) dapat dilakukan melalui kegiatan: magang di
lembaga bisnis yang berhasil, pelatihan-pelatihan, dan sebagainya.
Realitasnya, banyak diantara petani yang sudah mulai mandiri
dan menjadi farmer serta sumber inovasi bagi petani lainnya,
Padmanegara (Setyorini et al, 2000) mencatat bahwa petani
Indramayu telah mampu melakukan kajian-kajian yang hasilnya
disajikan pada media cetak yang dikelola oleh petani tersebut, dan
hasil kajian mereka mendapat dukungan pemerintah setempat, DPRD,
serta telah menjadi program daerah yang didukung dana yang
memadai. Di Pangalengan, melalui studi dan pengkajian, kelompok
tani mampu menghasilkan insektisida baru untuk tanaman kentang. Di
Indramayu, terdapat ARF (Action Research Facility) yang merupakan
wadhah belajar melakukan penelitian oleh kelompok tani yang
disponsori FAO. Di Turi Sleman, beberapa petani telah mampu
membuat percobaan-percobaan beragam rasa salak melalui
pemupukan dan persilangan, dan hasil penelitiannya (coba-coba)
disebarluaskan kepada: kerabat, tetangga, anggota kelompok tani,
yang dikenal. Petani peneliti dan sekaligus petani penyuluh ini
memiliki karakteristik umur sekitar 29-50 tahun, pendidikan
SLTA/PT, status sosial cukup tinggi (pengurus kelompok, tokoh
masyarakat, pemilik lahan salak luas ( 3500-17500 m2), suka bergaul
(Hariadi, 2007). Dengan demikian, kedepan penyuluhan dialogis yang
merupakan model “penyuluh- petani dan petani- penyuluh” perlu
dikembangkan, bahkan mewujudkan petani- peneliti.
Undang-undang Penyuluhan Pertanian
Semenjak otonomi daerah tahun 2000 an, penyuluhan pertanian
sangat lemah bahkan dapat dikatakan stagnasi karena Pemda yang
belum siap, hal ini berakibat langsung maupun tidak langsung
terhadap produksi dan produktivitas berbagai hasil pertanian yang
menurun, daya saing dengan produk pertanian luar negeri amat

15
rendah, hal ini mengakibatkan membanjirnya produk- produk
pertanian masuk ke Indonesia, misalnya: beras, kedele, bawang
merah, dsb. Cukup ironis ketika Negara Indonesia ini merupakan
Negara agraris, akan tetapi mengimpor produk-produk pertanian.
Tampaknya, kondisi ini menyadarkan kita semua mengenai
pentingnya peran penyuluhan pertanian bagi petani, maka dibuatlah
UU Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (UU SP
3 K) yang ditetapkan pada tahun 2006, sebagai landasan untuk
revitalisasi penyuluhan pertanian di Indonesia. Melalui UU ini,
memberi jaminan kepastian hukum bagi Penyuluh Pertanian, dan
memberikan kepastian hak bagi petani untuk memperoleh penyuluhan.
Menurut UU SP3 K tahun 2006 ini, penyuluh pertanian tidak hanya
memperoleh tunjangan transportasi, tetapi juga tunjangan jabatan
fungsional dan profesi, dengan demikian diharapkan kinerja penyuluh
pertanian semakin tinggi, mengingat problem yang dihadapi di bidang
pertanian semakin kompleks.
Sejak adanya otonomi daerah, menuntut perubahan pengelolaan
pembangunan pertanian dari sentralisasi top down menjadi
desentralisasi bottom up. Pada masa desentralisasi ini peran
masyarakat diharapkan menjadi dominan. Pemerintah terutama
pemerintah daerah akan menjadi fasilitator dan motivator
pembangunan di daerahnya. Masyarakatlah yang menggerakkan
pembangunan (people driven). Perencanaan, strategi, pelaksanaan,
monitoring dan evaluasi, serta pembiayaan semua ditentukan oleh
masyarakat yang difasilitasi pemerintah daerah. Dengan demikian,
penyuluhan dialogis yang melibatkan peranserta petani dengan cara
dialektika menjadi suatu teknik yang perlu diterapkan dan
dikembangkan.
Penyuluh pertanian harus bekerja lebih professional. Sementara
itu, tuntutan pentingnya pelestarian lingkungan hidup juga semakin
gencar sebagai dampak dari pembangunan yang tidak ramah
lingkungan. Kerusakan lingkungan bukan hanya sebagai isu lokal atau
nasional, tetapi sudah menjadi isu global. Ecolabeling, green label,
organic certificate, dan ISO 14.000 merupakan tuntutan yang
berkaitan langsung dengan lingkungan hidup, dan ini menjadi bagian
penting tugas penyuluh pertanian. Penyuluhan pertanian diharapkan
mampu menjadikan lingkungan hidup menjadi bagian dari

16
pembangunan itu sendiri. Permasalahan petani dan teknologi pertanian
menjadi semakin kompleks, dengan terbatasnya penyuluh negeri dan
perlunya dukungan dari berbagai pihak, maka tidak dapat dipungkiri
perlunya penyuluh swasta (Ameur. 1994). Privatisasi penyuluhan ini
akan terus meningkat karena problema yang dihadapi petani dan
masyarakat pedesaan juga terus berkembang, ditambah lagi dengan
perkembangan sistem informasi elektronik menyebabkan privatisasi
penyuluhan semakin dipercepat seperti terjadi di Amerika, Belanda,
dan Australia (Rivera & Cary, 1997).
Penyuluhan Pertanian di Masa Depan
Pembangunan pertanian di era orde baru lebih menitik beratkan
peningkatan produksi terutama pangan sebagai realitas dari revolusi
hijau di Indonesia, Pembangunan pertanian ke depan lebih menitik
beratkan peningkatan pendapatan dan kesejahteraan, sehingga perlu
meningkatkan produktivitas dan nilai tambah. Untuk mencapai tujuan
tersebut, yang dikembangkan bukan hanya usaha tani (produksi) saja,
tetapi juga usaha agroindustri, pemasaran hasil pertanian, dan usaha
jasa penunjang pertanian pedesaan. Adanya perubahan orientasi
pembangunan tersebut, tentu berakibat pada perubahan materi
penyuluhan pertanian dari materi produksi usaha tani ke materi
pengembangan agroindustri, pemasaran hasil pertanian, pengembangan usaha jasa penunjang pertanian, disamping juga materi
produksi usaha tani. Untuk implikasi penyuluhannya, dapat belajar
dari konsep AKIS (Agricultural Knowledge Information System) yang
dikembangkan oleh Roling & Engel (1990), yakni seperangkat
organisasi ataupun orang-orang yang membentuk jaringan kerjasama
dalam mengelola beragam informasi dan pengetahuan pertanian guna
mendukung aplikasi inovasi pertanian.
Sebagai ilmu, penyuluhan akan terus berkembang searah dengan
perkembangan riset. Sebagai terapan, penyuluhan pertanian
merupakan suatu proses siklis yang terus menerus dilakukan, tidak
berhenti pada suatu titik. Hal ini disebabkan; kebutuhan petani dan
masyarakat terus berkembang, penduduk berkembang, problema
pertanian berubah, teknologi pertanian berkembang, teknologi
informasi berkembang. Berkembangnya problema di bidang pertanian
tersebut, menuntut ditemukannya inovasi-inovasi mutakhir tentang

17
teknis pertanian dan sosial ekonomi. Inovasi pertanian harus terus
menerus dikaji oleh lembaga penelitian dan perguruan tinggi, bahkan
petani pun mulai banyak yang berperan menemukan inovasi. Melihat
gejala perkembangan tersebut, Roling & Engel (1990) menyatakan
bahwa sebenarnya penyuluhan merupakan 2 ilmu, pertama ilmu
Pertanian yang mencakup pengendalian biologi dan proses usaha tani,
dan ke-dua, ilmu penyuluhan yang mencakup sistematika pemanfaatan
komunikasi guna membantu petani mengatasi masalahnya melalui
proses belajar. Dengan demikian; penelitian, penyuluh an, dan petani
merupakan tiga komponen yang harus terus berinteraksi dalam proses
pembangunan pertanian (Valera et al, 1987).
Paradigma penyuluhan pertanian untuk menghadapi era
agribisnis masa depan tentulah harus memposisikan petani sebagai
fokus kegiatan pembangunan pertanian, yakni petani sebagai pelaku
utama atau subyek, bukan sebagai obyek. Petani merupakan manajer
pada usaha taninya sendiri harus dilihat sebagai manusia yang
memiliki potensi untuk mengambil keputusan dalam perencanaan,
pengelolaan, dan pengembangan usaha taninya bagi kesejahteraan
keluarga, masyarakat, serta memiliki kemampuan yang memadai
dalam menghadapi tantangan keras di era persaingan bebas dan
globalisasi, serta mampu mengaplikasikan nilai kelestarian
pembangunan pertanian. Oleh karena itu, sosok petani masa depan
adalah usahawan pertanian yang professional. Dengan demikian, tugas
penyuluh pertanian di masa depan semakin berat, harus merubah sifat
“peasant” menjadi “farmer”, merubah pola pikir dari “risk
minimization” menjadi “ profit maximization”. Perubahan ini searah
dengan perubahan penyuluhan yang terjadi di negara Asia pada akhirakhir ini, yakni perubahan: a. dari penyuluhan untuk meningkatkan
produksi ke penyuluhan yang membantu petani meningkatkan power
dalam sistem penawaran dan pemasaran, b. dari penyuluhan yang
mentransfer teknologi asal lembaga penelitian ke penyuluhan yang
mendorong petani melakukan eksperiment dan belajar dari
pengalaman, c. dari penyuluhan top down ke penyuluhan dialogis
yang melibatkan peran serta (partisipasi) petani, dan d. dari
penyuluhan oleh pemerintah ke sistem penyuluhan plural yang
dilakukan LSM, Organisasi Petani, Konsultan, dan Perusahaan
Pertanian (Van den Ban & Samanta, 2006).

18
Model-model penyuluhan pertanian ke depan tentu harus lebih
memperhatikan karakteristik dan potensi sumber daya manusia
pertanian, potensi lokalita wilayah, jaringan kerja, kelembagaan
ekonomi/ masyarakat. Pengembangan potensi lokal tersebut dapat
dicapai ketika penyuluh mampu melakukan penyuluhan dialogis
menggunakan cara pikir dialektik, sehingga terjadi proses petani yang
kreatif serta memiliki “self efficacy” yang tinggi yakni keyakinan diri
mampu berhasil dalam bisnis, pada akhirnya menjadikan petani
mandiri, yang berhasil dalam bisnis dan meningkat kesejahteraannya
serta berhasil dalam melestarikan nilai-nilai pembangunan.
Ke depan, meningkatnya kemampuan dan tingkat pendidikan
petani serta teknologi komunikasi, akan meningkatkan penggunaan
Teknologi Komunikasi Informasi (ITC) dalam pembangunan
pertanian, meningkatkan pula efektivitas dan efisiensi penyuluhan,
seperti terjadi di negara India (Van den Ban & Samanta, 2006).
Penggunaan Teknologi Komunikasi Informasi, akan mendukung
terjadinya proses penyuluhan dialogis. Melalui modifikasi program
pengembangan penyuluhan pertanian (Deptan, 2003), unsur-unsur
yang penting dalam arah pengembangan penyuluhan pertanian ke
depan meliputi:
Unsur
1. Metode Belajar

Masa lalu
Penyuluh mengajar petani,
Demonstrasi

Kedepan
Dialogis/partisipatif, Belajar
melalui pengalaman dan
penemuan
Mitra sejajar petani, Memandu petani, Ikut belajar bersama petani
Mitra aktif dalam penyuluhan
dan pengkajian teknologi

2. Peranan Penyuluh

Mengajar/sebagai guru

3. Kedudukan petani

Penerima pesan, Pengguna
teknologi

4. Program penyuluhan

Berorientasi sektoral

Berorientasi kebutuhan petani
dan terpadu

5. Pendekatan

Top down, Kurang mendahulukan kebutuhan petani

Bottom up, Kebutuhan petani
dida- hulukan

19
6. Model

Alih teknologi, Linier

7. Maksud
8. Strategi

Penyampaian rekomendasi,
Adopsi inovasi linier
Umum, Seragam

9.Sumber informasi

Lembaga Penelitian

10.Tujuan Utama

Peningkatan produksi

Teknologi spesifik lokasi,
Interaktif
Petani berdaya,Petani ahli
memilih alternatif inovasi
Berorientasi: sumberdaya,
sistem sosial, budaya lokal
Petani, sektor swasta, Lembaga Pendidikan, Lembaga
Penelitian
Petani yang mandiri & sejahtera, Agrisbisnis berdaya
saing,berkerakyatan,
berkelanjutan

20
REFERENSI
Ameur, C. 1994. Agricultural Extension, A Step Beyond The Next
Step. The World Bank. Washington.
Anonim. 2001. Penyuluhan pertanian. Yayasan Sinar Tani. Jakarta.
Bandura, A. 1977a. Social Learning Theory. Englewood Clifft.
Prentice Hall. New Jersey.
Bandura, A. 1977b. Self Efficacy: The Exercise of Control. WH
Freeman and Company. New York.
Departemen Pertanian. 2002. Kebijaksanaan Nasional Penyelenggaraan Penyuluhan Pertanian. Badan Pengembangan SDM
Pertanian. Jakarta.
Departemen pertanian. 2003. Program Nasional Pengembangan
Penyuluhan Pertanian. Badan Pengembangan SDM Pertanian.
Jakarta.
Hariadi, SS and Chamala. 1995. Women in Farming: The Indonesian
Experience. In Samanta RK (ed) 1995. Women in Agriculture.
MD Publications. PvtLtd. New Delhi.
Hariadi, SS. 2000. Dinamika Kelompok Tani dalam Pembangunan
Pertanian. Fakultas Pertanian UGM. Yogyakarta.
Hariadi, SS. 2004. Kajian Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap
Keberhasilan Kelompok Tani sebagai Media Belajar,
Kerjasama, Produksi, dan Usaha. Disertasi. Universitas Gadjah
Mada. Yogyakarta.
Hariadi, SS. 2007. Model Pemberdayaan Petani Salak menjadi
Peneliti dan Penyuluh Swadaya. Jurnal PIRAMIDA,
Kependudukan dan Pengembangan SDM. Pusat Penelitian
Kependudukan dan PSDM Universitas Udayana. Denpasar. Vol
III. No.2 Desember 2007. ISSN: 1907-3275. Hal: 73-79.
Joebhaar, Mien. 1984. Paulo Freire: Pendidikan, Pembebasan,
Perubahan Sosial. PT Sangkala Pulsar. Jakarta.
Jones & Garforth. 1997. The History, Development, and Future of
Agricultural Extension. Dalam: Swanson, BE and Robert P
Bentz, Andrew J Sofrano. 1997. Improving Agricultural
Extension. FAO. Rome.
Knowles, M. 1980. The Modern Practice of Adult Education, From
Pedagogy to Andragogy. Cambridge Adult Education.

21
Englewood Cliffs.
Martaatmadja, AS. 1993. Agricultural Extension System in Indonesia.
Ministry of Agriculture, Republic of Indonesia. Jakarta.
Martins, Christine & Monika Fischer, Eva G Castener, Maren
Lieberum, Frank Lowen, Bernd Seiffert. 1997. Indonesian
Agricultural Extension Planning at a Crossroads. Humboldt
Universitat. Berlin.
Maunder, A. 1977. Agricultural Extension. FAO. Rome
Mosher, AT. 1984. Menggerakkan dan Membangun Pertanian. CV
Yasaguna. Jakarta.
Nuraini, K. 1977. Penyuluhan Pertanian. Fakultas Pertanian UGM.
Yogyakarta.
Peursen, C. 1985. Susunan Ilmu Pengetahuan: Sebuah Pengantar
Filsafat Ilmu. PT Gramedia. Jakarta.
Prodjosoehardjo, M. 1979. Ilmu Penyuluhan Pertanian. Departemen
Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian UGM. Yogyakarta.
Rivera, WM. 2001. Agricultural and Rural Extension Worldwide:
Option for Institutional Reform in The Developing Countries.
FAO. Rome.
Rivera, WM & Carry. 1997. Privatizing Agricultural Extension in
Swanson, BE Bentz, Sofrano. 1997. Improving Agricultural
Extension. FAO-UN. Rome.
Roling, N & Engel. 1990. The Development of The Concept of
Agricultural Knowledge Information System (AKIS):
Implication for Extension. In. Rivera, WM & Gustafson. 1990.
Agricultural Extension: Worldwide Institutional Evolution and
Forces for Change. Elsevie. Noew York.
Roling, N & Pretty, JN. 1997. Extensions Role in Sustainable
Agricultural Development. in Swanson, BE, Bentz, Sofrano.
1997. Improving Agricultural Extension. FAO-UN. Rome.
Scott, J. 1983. Moral Ekonomi Petani. LP3ES. Jakarta.
Swanson, BE. 1990. Report of The Global Consultation on
Agricultural Extension. FAO-UN. Rome.
Tohir, W. 2000. Inovasi Teknologi Pertanian, Pengalaman Petani.
Dalam: Setyorini, Endang, Tisyo Haryono, Intan YN, Usep P.
2000. Penyebaran Inovasi Pertanian Era Otonomi Daerah.
Deptan. Jakarta.

22
Valera, Martinez, Flopino. 1987. Extension Delivery System. Island
Publishing House Inc. Manila.
Van den Ban & Samanta. 2006. Changing Roles of Agricultural
Extension in Asian Nations. BR Publishing Coorporation. New
Delhi.
Zachri, Z. 2000. Penyuluhan Pertanian Era Otonomi Daerah. Dalam:
Setyorini, Endanf, Tisyo Haryono, Intan YN, Usep P. 2000.
Penyebaran Inovasi Pertanian Era Otonomi Daerah. Deptan.
Jakarta.