BAB II KAJIAN PUSTAKA - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Model Problem Based Learning (PBL) terhadap Kemampuan Berpikir Kritis Matematika Siswa Kelas 4 SD Negeri Kebumen 01 Dan SD Negeri Kebumen 03 Semester 2 Tahun Pe
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kajian Teori
2.1.1 Belajar
Belajar merupakan kebutuhan setiap orang, sebab dengan belajar seseorang dapat memahami dan menguasai sesuatu sehingga kemampuannya dapat ditingkatkan. Salah satu pertanda bahwa seseorang telah belajar adalah adanya perubahan tingkah laku dirinya. Perubahan tingkah laku tersebut menyangkut baik perubahan yang bersifat pengetahuan (kognitif) dan keterampilan (psikomotor) maupun yang menyangkut nilai dan sikap (afektif) (Sadiman, 2007: 2)
Belajar merupakan kegiatan berproses yang dilakukan dalam pendidikan. Belajar dapat membuat siswa dari yang tadak tahu menjadi tahu, dari yang tidak bisa menjadi bisa dan siswa banyak mendapatkan informasi dari proses belajar. Ini berarti berhasil atau gagalnya siswa sangat bergantung yang dialami siswa baik ketika di sekolah, maupun lingkungan di rumah atau keluarga (Hasanah, 2010: 8)
Pengertian belajar yang dikemukakan Fontana (Panen, 2001: 1.2) yaitu “ suatu proses perubahan relatif tetap dalam perilaku individu sebagai hasil dari pengalaman”. Chaplin (Syah, 2010:88), membatasi belajar dengan dua macam
rumusan yaitu:
a. Acquisition of any relatively permanent change in behaviour as result of practice and experience . Belajar adalah perolehan perubahan tingkah laku yang relatif menetap sebagai akibat praktik dan pengalaman.
b. Process of acquiring responses as a result of special practice. Belajar ialah proses memperoleh respon-respon sebagai akibat adanya pelatihan khusus.
6) belajar adalah “ suatu perubahan di dalam kepribadian manusia dan perubahan tersebut di tampakkan dalam bentuk peningkatan kualitas dan kuantitas tingkah laku seperti peningkatan kecakapan, pengetahuan, sikap, kebiasaan pemahaman,
Menurut Hakim (Fathurrohman, 2007: Menurut Hakim (Fathurrohman, 2007:
Sejalan pendapat para ahli, Sadiman (2007) dan Sagala (2009) di atas, dapat disimpulkan bahwa belajar adalah proses perubahan tingkah laku yang mengakibatkan siswa dapat merespon ilmu pengetahuan yang diberikan sehingga terjadi peningkatan daya pikir, keterampilan, pemahaman, sikap, pengetahuan, dan lain-lain yang dilakukan melalui pembelajaran.
2.1.2 Pembelajaran
Pembelajaran berdasarkan makna leksikal berarti proses, cara perbuatan mempelajari (Suprijono, 2009:13). Menurut Gagne, Brigss, dan Wager (Panen, 2001:
1.5) pembelajaran adalah “serangkaian kegiatan yang dirancang untuk memungkinkan terjadinya proses belajar pada siswa”. Sedangkan (Depdiknas, 2007:17) kata “pembelajaran” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kata benda yang diartikan sebagai proses, cara menjadikan orang, atau makhluk hidup belajar. Menurut (Sanjaya, 2008:213) istilah mengajar bergeser pada istilah pembelajaran yang dapat diartikan sebagai proses pengaturan lingkungan yang diarahkan untuk mengubah perilaku siswa ke arah yang positif dan lebih baik sesuai potensi dan perbedaan yang dimiliki siswa.
Pada pembelajaran guru telah merancang kegiatan-kegiatan apa saja yang harus dilakukan dalam proses belajar, seperti materi, model, dan media sehingga dapat memudahkan siswa untuk memahami materi dan rancangan kegiatan tersebut harus sesuai dengan tujuan pembelajaran (Hasanah, 2010:11).
Pembelajaran mempunyai dua karakteristik, yaitu (1) dalam proses pembelajaran melibatkan proses mental siswa secara maksimal, bukan hanya menuntut siswa sekedar mendengar, mencatat, akan tetapi menghendaki siswa dalam proses berpikir, (2) dalam pembelajaran membangun suasana dialogis dan proses tanya jawab terus menerus yang diarahkan untuk memperbaiki dan meningkatkan kemampuan berpikir siswa, yang pada gilirannya kemampuan Pembelajaran mempunyai dua karakteristik, yaitu (1) dalam proses pembelajaran melibatkan proses mental siswa secara maksimal, bukan hanya menuntut siswa sekedar mendengar, mencatat, akan tetapi menghendaki siswa dalam proses berpikir, (2) dalam pembelajaran membangun suasana dialogis dan proses tanya jawab terus menerus yang diarahkan untuk memperbaiki dan meningkatkan kemampuan berpikir siswa, yang pada gilirannya kemampuan
Sejalan dengan Sanjaya (2008) dan Hasanah (2010) dari pendapat di atas, pembelajaran adalah usaha yang dilakukan guru agar siswa melakukan belajar melalui rancangan yang telah dibuat. Pada pembelajaran siswa yang lebih banyak berperan dari pada guru, guru hanya menjadi fasilitator saja. Oleh karena itu dalam pembelajaran siswa dituntut untuk aktif baik secara mental maupun fisik sehingga siswa dapat menggunakan kemampuan berfikir dan keterampilan-keterampilan dalam proses belajar.
2.2. Pembelajaran Matematika untuk Sekolah Dasar
2.2.1 Hakekat Matematika
Menurut (Suhendar, 2007: 7.4) istilah kata matematika menurut berbagai bahasa antara lain mathematics (bahasa Inggris), mathematik (bahasa Jerman), mathematique (bahasa Perancis), matematico (bahasa Italia), matematiceski (bahasa Rusia) dan mathematick (bahasa Belanda). Istilah matematika yang dinyatakan dalam berbagai ungkapan tersebut berasal dari bahasa Yunani, yaitu mathematike yang mengandung pengertian hal-hal yang berhubungan (relating to learning) . Kata tersebut mempunyai akar kata mathema yang artinya pengetahuan atau ilmu. Kata ini pun berhubungan erat dengan kata lain, yaitu mathamein yang maknanya adalah belajar.
Terdapat beberapa pengertian matematika menurut para ahli, diantaranya seperti yang diungkapkan Paling (Abdurrahman, 2002: 252) yaitu matematika adalah suatu cara untuk menemukan jawaban terhadap masalah yang dihadapi manusia, suatu cara menggunakan informasi, menggunakan pengetahuan tentang bentuk dan ukuran, menggunakan pengetahuan tentang menghitung, dan yang paling penting adalah memikirkan dalam diri manusia itu sendiri dalam melihat dan menggunakan hubungan-hubungan. Sedangkan James dan James (Suherman, 2003: 16) mengatakan bahwa matematika adalah ilmu tentang logika mengenai bentuk, susunan, besaran, dan konsep-konsep yang berhubungan satu dengan yang lainnya dengan jumlah yang banyak yang terbagi ke dalam tiga bidang, yaitu aljabar, analisis, dan geometri.
Menurut Skemp (Shadiq, 2009) inti belajar matematika adalah “agar siswa memiliki pemahaman relasional dimana para siswa dapat melakukan sesuatu namun ia juga harus dapat menjelaskan mengapa ia harus melakukan”.
Sejalan pendapat Abdurrahman (2002) dan Suherman (2003) di atas matematika adalah ilmu yang berisi struktur-struktur, konsep yang saling berhubungan satu sama lainnya. Agar siswa mengetahui dan memahami konsep-konsep serta struktur-struktur yang ada di matematika, maka diperlukan belajar matematika.
2.2.2 Karakteristik Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar.
Menurut Jean Piaget (Nyimas, 2007), menyatakan bahwa “proses berpikir manusia sebagai suatu perkembangan yang bertahap dari berpikir intelektual konkret ke abstrak”. Menurut Bruner (Nyimas, 2007) mengungkapkan bahwa dalam “proses belajar anak sebaiknya diberi kesempatan memanipulasi benda-benda atau alat peraga yang dirancang secara khusus dan dapat diotak-atik siswa dalam memahami suatu konsep matematika”.
Dengan demikian pembelajaran matematika di Sekolah Dasar tak bisa lepas dari sifat-sifat matematika yang abstrak dan perkembangan intelektual siswa yang masih konkret. Oleh karena itu perlu memperhatikan beberapa sifat atau karakteristik pembelajaran matematika di Sekolah Dasar (Wigar, 2012:15- 16).
1. Pembelajaran matematika berjenjang (bertahap) dimulai dari konsep yang sederhana ke konsep yang lebih sukar.
2. Pembelajaran matematika mengikuti metode spiral. Dalam setiap memperkenalkan konsep atau bahan yang baru perlu memperkenalkan konsep atau bahan yang telah dipelajari siswa sebelumnya. Bahan yang baru selalu dikaitkan dengan bahan yang telah dipelajari dan sekaligus untuk mengingatkannya kembali.
3. Pembelajaran matematika menekankan pada pola pendekatan induktif. Matematika adalah ilmu deduktif. Matematika tersusun secara deduktif aksiomatik. Namun sesuai dengan perkembangan intelektual di SD. Maka 3. Pembelajaran matematika menekankan pada pola pendekatan induktif. Matematika adalah ilmu deduktif. Matematika tersusun secara deduktif aksiomatik. Namun sesuai dengan perkembangan intelektual di SD. Maka
4. Pembelajaran matematika menganut kebenaran konsisten. Kebenaran matematika sesuai dengan struktur deduktif aksiomatiknya. Kebenaran- kebenaran dalam matematika pada dasarnya merupakan kebenaran konsistensi, tidak ada pertentangan antara konsep yang satu dengan konsep yang lainnya. Dalam pembelajaran matematika di SD kebenaran konsistensi tersebut mempunyai nilai didik yang sangat tinggi dan amat penting untuk pembinaan sumberdaya manusia dalam kehidupan sehari- hari.
Pada proses pembelajaran matematika, para guru matematika harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk dapat berpikir sesuai dengan kreativitasnya, karena pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari otak seorang guru ke otak siswanya. Setiap siswa harus membangun pengetahuan itu di dalam otaknya sendiri-sendiri berdasar pada pengetahuan atau pengalaman yang sudah dimiliki atau pernah dialami siswa (Hasanah, 2010: 12). Menurut Gagne (Suherman, 2003: 33), mengatakan bahwa dalam belajar matematika ada dua objek yang diperoleh siswa, yaitu objek langsung dan objek tak langsung. Objek langsung adalah objek yang diterima secara langsung oleh siswa melalui penjelasan guru atau diskusi, seperti fakta, konsep, definisi dan lain-lain. Jadi, secara langsung siswa mendapatkan pemahaman tentang konsep-konsep, aturan-aturan yang ada di dalam matematika. Sedangkan objek tidak langsung adalah ketika siswa mempunyai pengetahuan dan pemahaman tentang matematika secara tidak langsung siswa mampu memecahkan masalah, dapat belajar mandiri dengan menggunakan proses berpikir dan kreativitas-kreativitas yang mereka miliki untuk memecahkan masalah
Permendiknas No. 22 tahun 2006 mengenai Standar Isi dijelaskan bahwa mata pelajaran matematika bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut.
1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah.
2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.
3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh.
4. Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagaram. Atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah.
5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.
Cornelius (Abdurrahman, 2002: 253) mengemukakan lima alasan perlunya belajar matematika, yaitu:
1. Sarana berpikir yang jelas dan logis.
2. Sarana untuk memecahkan masalah dalan kehidupan sehari-hari.
3. Sarana mengenal pola-pola hubungan dan generalisasi pengalaman.
4. Sarana untuk mengembangkan kreativitas.
5. Sarana untuk meningkatkan kesadaran terhadap perkembangan budaya.
Pada pembelajaran matematika diperlukan keterampilan untuk dapat mewujudkan objek-objek yang abstrak menjadi yang lebih konkret, sehingga siswa dapat lebih mudah memahaminya (Hasanah, 2010:13).
Brownell (Suhendar, 2007:8.13) mengemukakan bahwa salah satu cara agar anak-anak dapat mengembangkan pemahaman tentang matematika adalah dengan menggunakan benda-benda yang telah mereka kenal dan relevan dengan konsep yang dibahas. Contohnya: guru menjelaskan konsep penjumlahan dan pengurangan. Guru bisa menggunakan benda-benda yang mereka kenal, seperti: pensil, gelas, kelereng, dan lain-lain. Benda-benda Brownell (Suhendar, 2007:8.13) mengemukakan bahwa salah satu cara agar anak-anak dapat mengembangkan pemahaman tentang matematika adalah dengan menggunakan benda-benda yang telah mereka kenal dan relevan dengan konsep yang dibahas. Contohnya: guru menjelaskan konsep penjumlahan dan pengurangan. Guru bisa menggunakan benda-benda yang mereka kenal, seperti: pensil, gelas, kelereng, dan lain-lain. Benda-benda
Menurut Kilpatrick, Swatford, dan Findell (Suhendar, 2007:9.6) terdapat lima kompetensi dalam matematika, yaitu: pemahaman konsep, pemahaman prosedur, kemampuan strategis, bernalar secara adaptif, dan disposisi yang produktif. Pemahaman konsep adalah kompetensi awal yang diperlukan dalam belajar matematika. Pahamnya siswa terhadap suatu konsep siswa akan mampu menerapkan suatu konsep dalam suatu masalah. Selanjutnya adalah pemahaman prosedur, kemampuan siswa menerapkan konsep dengan urutan atau langkah-langkah kerja secara logis dan sistematis serta memecahkan masalah. Kemampuan strategis adalah kemampuan siswa dalam memecahkan masalah dengan memilih strategi yang tepat untuk masalah tersebut. Bernalar secara adaptif adalah kemampuan siswa untuk berpikir secara logis, kreatif, serta dapat menjelaskan hasil pekerjaanya dengan argumen-argumen yang logis. Disposisi produktif adalah kemampuan siswa untuk menilai bahwa matematika itu adalah pelajaran yang bermanfaat, bermakna, dan selalu bersikap positif untuk memahami dan menguasai matematika.
Kompetensi-kompetensi tersebut dimulai dari kompetensi yang paling dasar, yaitu pemahaman konsep. Oleh karena itu dalam pembelajaran matematika perlu diberi penekanan pada pemahaman konsep yang baik dan benar. Agar kompetensi-kompetensi tersebut dapat dicapai dengan baik, maka dalam pembelajaran matematika perlu dilakukan belajar yang bermakna. Teori Ausabel (Suherman, 2003: 32) dikenal dengan teori belajar bermakna, pada belajar bermakna materi yang telah diperoleh dikembangkan lagi dengan keadaan lain sehingga belajarnya dapat lebih dimengerti. Pengetahuan atau pengalaman baru yang di dapat siswa berkaitan dengan pengetahuan lama yang sudah diketahui atau dialami siswa sebelumnya.
2.3 Berpikir Kritis
2.3.1 Definisi Berpikir
Pengertian berpikir menurut beberapa ahli pendidikan, diantaranya adalah sebagai berikut:
1. (Suryasubrata, 1990:54) berpendapat bahwa berpikir merupakan proses yang dinamis yang dapat dilukiskan menurut proses dan jalannya.
2. (Khodijah, 2006:117) berpikir adalah sebuah representasi simbol dari beberapa peristiwa atau item.
3. Solso (Khodijah, 2006:117) berpikir adalah sebuah proses dimana representasi mental baru dibentuk melalui transformasi informasi dengan interaksi yang komplek atribut-atribut mental seperti penilaian, abstraksi, logika, imajinasi, dan pemecahan masalah.
Ciri utama dari berpikir adalah adanya abstraksi. Sejalan dengan para ahli dapat disimpulkan bahwa berpikir adalah sebuah representasi simbol dari beberapa peristiwa atau item yang dapat dilukiskan menurut proses dan jalannya melalui transformasi informasi dengan interaksi yang komplek atribut-atribut mental seperti penilaian, abstraksi, logika, imajinasi, dan pemecahan masalah.
2.3.2 Definisi Kemampuan Berpikir Kritis
Beberapa ahli mengungkapkan beragam definisi berpikir kritis tetapi ada beberapa komponen yang mengandung kesamaan. Krulik & Rudnick (Sumardyono dan Ashari S, 2010: 9) mendefinisikan berpikir kritis sebagai berpikir yang menguji, menghubungkan, dan mengevaluasi semua aspek dari situasi masalah. Termasuk di dalam berpikir kritis adalah mengelompokkan, mengorganisasikan, mengingat, dan menganalisis informasi.
Berpikir kritis juga merupakan kemampuan untuk membaca dengan pemahaman dan mengidentifikasi materi-materi yang diperlukan. Selain itu juga merupakan kemampuan untuk mengambil kesimpulan dari sekumpulan data yang diberikan dan untuk menentukan inkonsistensi dan kontradiksi. Berpikir kritis adalah berpikir analitis dan reflektif. Sejalan dengan hal tersebut, (Norris dan Ennis dalam Davidson B. W. Dan Dunham R. A., 1997:3) menyatakan bahwa berpikir kritis adalah berpikir yang beralasan dan reflektif yang fokus untuk memutuskan apa yang dapat dipercaya dan apa yang tidak dapat dipercaya. Berpikir kritis menurut (Walker, Paul dan Finney, Nicholas, 1999) adalah suatu proses intelektual dalam pembuatan konsep, Berpikir kritis juga merupakan kemampuan untuk membaca dengan pemahaman dan mengidentifikasi materi-materi yang diperlukan. Selain itu juga merupakan kemampuan untuk mengambil kesimpulan dari sekumpulan data yang diberikan dan untuk menentukan inkonsistensi dan kontradiksi. Berpikir kritis adalah berpikir analitis dan reflektif. Sejalan dengan hal tersebut, (Norris dan Ennis dalam Davidson B. W. Dan Dunham R. A., 1997:3) menyatakan bahwa berpikir kritis adalah berpikir yang beralasan dan reflektif yang fokus untuk memutuskan apa yang dapat dipercaya dan apa yang tidak dapat dipercaya. Berpikir kritis menurut (Walker, Paul dan Finney, Nicholas, 1999) adalah suatu proses intelektual dalam pembuatan konsep,
Sejalan pendapat Krulik & Rudnick (Sumardyono dan Ashari S, 2010) dan (Walker, Paul dan Finney, Nicholas, 1999) di atas dapat disimpulkan bahwa kemampuan berpikir kritis adalah kemampuan berpikir yang menguji, menghubungkan, dan mengevaluasi semua aspek dalam mengelompokkan, mengorganisasikan, mengingat, menganalisis informasi, berpikir yang beralasan dan reflektif dalam memecahkan suatu masalah.
2.3.3 Aspek Kemampuan Berpikir Kritis
Norris dan Ennis (Davidson B. W. Dan Dunham R. A., 1997: 3) menyebutkan bahwa orang yang berpikir kritis idealnya mempunyai dua belas kemampuan yang dikelompokkan menjadi lima aspek kemampuan berpikir kritis. Berikut kelima aspek dalam berpikir kritis:
1. Elementary clarification (memberikan penjelasan dasar) yang meliputi:
1.1 Fokus pada pertanyaan (dapat mengidentifikasi pertanyaan/masalah, dapat mengidentifikasi jawaban yang mungkin, dan apa yang dipikirkan tidak keluar dari masalah itu).
1.2 Menganalisis pendapat (dapat mengidentifikasi kesimpulan dari masalah itu, dapat mengidentifikasi alasan, dapat menangani hal-hal yang tidak relevan dengan masalah itu).
1.3 Berusaha mengklarifikasi suatu penjelasan melalui tanya- jawab.
2. The basis for the decision (menentukan dasar pengambilan keputusan) yang meliputi:
2.1 Mempertimbangkan apakah sumber dapat dipercaya atau tidak
2.2 Mengamati dan mempertimbangkan suatu laporan hasil observasi.
2.3 Inference (menarik kesimpulan) yang meliputi:
2.3.1 Mendeduksi dan mempertimbangkan hasil deduksi.
2.3.2 Menginduksi dan mempertimbangkan hasil induksi.
2.3.3 Membuat dan menentukan pertimbangan nilai.
2.4 Advanced clarification (memberikan penjelasan lanjut) yang meliputi:
2.4.1 Mendefinisikan istilah dan mempertimbangkan definisi tersebut.
2.4.2 Mengidentifikasi asumsi.
2.5 Supposition and integration (memperkirakan dan menggabungkan) yang meliputi:
2.5.1 Mempertimbangkan alasan atau asumsi-asumsi yang diragukan tanpa menyertakannya dalam anggapan pemikiran kita.
2.5.2 Menggabungkan kemampuan dan karakter yang lain dalam penentuan keputusan. Dalam penelitian ini hanya akan dipilih empat aspek dari lima aspek kemampuan berpikir kritis yang dikemukakan Norris dan Ennis (Davidson B. W. Dan Dunham R. A., 1997: 3), yaitu:
1. Elementary clarification (memberikan penjelasan dasar). Dalam menyelesaikan soal matematika siswa harus fokus tentang apa masalahnya, apa yang diketahui dan apa yang merupakan inti persoalan sebelum ia memutuskan untuk memilih strategi atau prosedur yang tepat.
2. The basis for the decision (menentukan dasar pengambilan keputusan). Dalam menentukan suatu keputusan, siswa harus menyertakan alasan (reason) yang tepat sebagai dasar sebelum suatu langkah ditempuh. Alasan itu dapat berasal dari informasi yang diketahui, teorema ataupun sifat. Alasan ini digunakan siswa untuk bersikap kritis terhadap suatu situasi, misalnya situasi yang disediakan dalam bentuk suatu soal, ataupun situasi yang muncul karena pikiran sendiri yang perlu dikritisi berdasarkan alasan-alasan yang tepat agar kebenaran pemikiran itu mendapat penguatan.
3. Inference (menarik kesimpulan). Penarikan kesimpulan yang benar harus didasarkan pada langkah-langkah dari alasan-alasan ke kesimpulan yang masuk akal atau logis. Kesimpulan dapat melahirkan sesuatu yang baru yang dapat berperan sebagai fokus untuk dipikirkan, sedangkan alasan merupakan dasar bagi suatu proses penarikan kesimpulan.
4. Advanced clarification (memberikan penjelasan lanjut). Mendefinisikan istilah dan mempertimbangkan definisi tersebut dan mengidentifikasi asumsi.
2.3.4 Ciri- ciri Orang Berpikir Kritis
Ciri orang berpikir kritis menurut Raymon S. Nickerson (Lipman Matthew, (2003:58) adalah sebagai berikut:
1. Menggunakan bukti yang kuat dan tidak memihak.
2. Dapat mengungkapkan secara ringkas dan masuk akal.
3. Dapat membedakan secara logis antara simpulan yang valid dan tidak valid.
4. Menggunakan penilaian, bila tidak ada bukti yang cukup untuk mendukung sebuah keputusan.
5. Mampu mengantisipasi kemungkinan konsekkuensi dari suatu tindakan.
6. Dapat mencari kesamaan dan analogi (kemiripan).
7. Dapat belajar secara mandiri.
8. Menerapkan teknik Problem Based Learning (PBL)
9. Menyadari fakta bahwa pemahaman seseorang selalu terbatas.
10. Mengakui kekurangan terhadap pendapatnya sendiri.
2.4 Model Problem Based Learning (PBL)
2.4.1 Pengertian Model Pembelajaran
Model adalah bentuk representasi akurat sebagai proses aktual yang memungkinkan seseorang atau sekelompok orang mencoba bertindak berdasarkan model itu (Mills dalam Suprijono, 2012: 45). Pemilihan model yang tepat perlu memperhatikan tujuan pengajaran.
Model pembelajaran adalah kerangka konsptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan aktivitas belajar mengajar Soekamto (dalam Aris Shoimin, 2014:23).
Arends (dalam Aris Shoimin, 2014:23) menyatakan, “The term teaching model refers to a particular approach to instruction that includes its goals, Arends (dalam Aris Shoimin, 2014:23) menyatakan, “The term teaching model refers to a particular approach to instruction that includes its goals,
Joyce & Weil (dalam Rusman, 2011: 133), berpendapat bahwa model pembelajaran adalah suatu rencana atau pola yang dapat digunakan untuk membentuk kurikulum (rencana pembelajaran jangka panjang), merancang bahan-bahan pembelajaran, dan membimbing pembelajaran di kelas atau yang lain. Model pembelajaran dapat dijadikan pola pilihan, artinya para guru boleh memilih model pembelajaran yang sesuai dan efisien untuk mencapai tujuan pendidikan.
Model pembelajaran merupakan landasan praktik pembelajaran hasil penurunan teori psikologi pendidikan dan teori belajar yang dirancang berdasarkan analisis terhadap implementasi kurikulum dan implikasinya pada tingkat operasional di kelas (Suprijono, 2012: 46). Fungsi model pembelajaran yaitu guru dapat membantu peserta didik mendapat informasi, ide keterampilan, cara berpikir dan mengekspresikan ide. Sehinga model pembelajaran dapat diartikan sebagai suatu rencana atau pola yang digunakan dalam mangatur materi pelajaran dan memberi petunjuk kepada pengajar di kelas.
Sejalan dengan pendapat para ahli, Joyce & Weil (dalam Rusman, 2011) dan Arends (dalam Aris Shoimin, 2014), model pembelajaran adalah pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan kegiatan belajar mengajar (KBM) secara sistematis untuk mencapai tujuan belajar yang maksimal.
2.4.2 Model Problem Based Learning (PBL)
Problem Based Learning (PBL) adalah seperangkat model mengajar yang menggunakan masalah sebagai fokus untuk mengembangkan keterampilan pemecahan masalah, materi, dan pengaturan diri, menurut Hmelo, Serafino dan Ciccheli (Eggen Kauchak, 2012:307).
Menurut Akinoglu & Tandogan (Kartika, 2014), PBL merupakan salah satu bagian pembelajaran aktif (active learning). Dalam Active Learning, Menurut Akinoglu & Tandogan (Kartika, 2014), PBL merupakan salah satu bagian pembelajaran aktif (active learning). Dalam Active Learning,
“Problem Based Learning (PBL) is a method of learning in which learners first encounter a problem followed by a systematic, learner-centered inquiry and reflection process” (Teacher & Educational Development, 2002:2)
buku Scholaria PGSD hal.116. Artinya: Problem Based learning (PBL) adalah suatu metode pembelajaran di mana pembelajar bertemu dengan suatu masalah yang tersusun sistematis; penemuan terpusat pada pembelajar dan proses refleksi (Teacher & Educational Development, 2002:2) dalam buku Scholaria PGSD hal.116.
Sejalan dengan Wahyudi, (Supinah, 2010:17) berpendapat Problem Based Learning (PBL) adalah strategi pembelajaran yang berpusat pada siswa di mana siswa mengelaborasikan pemecahan masalah dengan pengalaman sehari- hari.
Wardhani (Supinah, 2010: 17) mengemukakan bahwa Problem Based Learning (PBL) merupakan model pembelajaran yang bertujuan merangsang terjadinya proses berpikir tingkat tinggi dalam situasi yang berorientasi masalah. Lebih lanjut dikemukakan PBL utamanya dikembangkan untuk membantu siswa sebagai berikut.
a. Mengembangkan keterampilan berfikir tingkat tinggi. Menurut Lauren Resnick (dalam Arends, 1997) berfikir tingkat tinggi mempunyai ciri-ciri: (1) non algoritmik yang artinya alur tindakan berfikir tidak sepenuhnya dapat ditetapkan sebelumnya, (2) cenderung kompleks, artinya keseluruhan alur berfikir tidak dapat diamati dari satu sudut pandang saja, (3) menghasilkan banyak solusi, (4) melibatkan pertimbangandan interpretasi, (5) melibatkan penerapan banyak kriteria, yang kadang- kadang satu dan lainnya bertentangan, (6) sering melibatkan ketidakpastian, dalam arti tidak segala sesuatu terkait dengan tugas yangtelah diketahui, (7) melibatkan pengaturan diri dalam proses berfikir, yang berarti bahwa dalam proses menemukan penyelesaian masalah, tidak a. Mengembangkan keterampilan berfikir tingkat tinggi. Menurut Lauren Resnick (dalam Arends, 1997) berfikir tingkat tinggi mempunyai ciri-ciri: (1) non algoritmik yang artinya alur tindakan berfikir tidak sepenuhnya dapat ditetapkan sebelumnya, (2) cenderung kompleks, artinya keseluruhan alur berfikir tidak dapat diamati dari satu sudut pandang saja, (3) menghasilkan banyak solusi, (4) melibatkan pertimbangandan interpretasi, (5) melibatkan penerapan banyak kriteria, yang kadang- kadang satu dan lainnya bertentangan, (6) sering melibatkan ketidakpastian, dalam arti tidak segala sesuatu terkait dengan tugas yangtelah diketahui, (7) melibatkan pengaturan diri dalam proses berfikir, yang berarti bahwa dalam proses menemukan penyelesaian masalah, tidak
b. Belajar berbagai peran orang dewasa. Dengan melibatkan siswa dalam pengalaman nyata atau simulasi (pemodelan orang dewasa), membantu siswa untuk berkinerja dalam situasi kehidupan nyata dan belajar melakukan peran orang dewasa.
c. Menjadi pelajar yang otonom dan mandiri. Pelajar yang otonom dan mandiri ini dalam arti tidak sangat tergantung pada guru. Hal ini dapat dilakukan dengan cara, guru secara berulang-ulang membimbing dan mendorong serta mengarahkan siswa untuk mengajukan pertanyaan, mencari penyelesaian terhadap masalah nyata oleh mereka sendiri. Siswa dibimbing, didorong dan diarahkan untuk menyelesaikan tugas-tugas secara mandiri. Kemampuan untuk menjadi pelajar yang otonom dan mandiri ini diharapkan dapat mendorong tumbuhnya kemampuan belajar secara autodidak dan kesadaran untuk belajar sepanjang hayat yang merupakan bekal penting bagi siswa dalam mengarungi kehidupan pribadi, sosial maupun dunia kerja selanjutnya.
HS Barrows (Supinah, 2010: 18) menyatakan bahwa proses Problem Based Learning (PBL) adalah suatu model pembelajaran yang didasarkan pada prinsip menggunakan masalah sebagai titik awal akuisisi dan integrasi pengetahuan baru. Sementara itu (Supinah, 2010: 18) mendefinisikan Problem Based Learning (PBL) sebagai suatu model pembelajaran dengan membuat konfrontasi kepada siswa dengan masalah-masalah praktis, berbentuk ill- structured , atau open ended melalui stimulus dalam belajar. Sementara itu Moffit (Supinah, 2010: 18) mendifinisikan Problem Based Learning (PBL) , sebagai suatu model pembelajaran yang melibatkan siswa dalam penyelidikan dalam pemecahan masalah yang memadukan ketrampilan dan konsep dari berbagai kandungan area.
Karena penyelidikan adalah bentuk Problem Based Learning (PBL), menerapkan pelajaran Penyelidikan sama dengan menerapkan pelajaran untuk Problem Based Learning (PBL) mana pun. (Eggen Kauchak, 2012:328). Penyelidikan, kadang disebut penyelidikan ilmiah, adalah model pengajaran yang dirancang untuk memberi murid pengalaman metode ilmiah. Metode ilmiah adalah polo pemikiran yang menekankan pada pengajuan pertanyaan, mengembangkan hipotesis untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dan menguji hipotesis dengan data (Eggen Kauchak, 2012:324).
Sejalan pendapat para ahli Wahyudi (2012) dan Supinah (2010) di atas mendefinisikan Problem Based Learning yang selanjutnya disebut “PBL”, sebagai model pembelajaran yang diawali dengan pemberian masalah kepada siswa di mana masalah tersebut dialami atau merupakan pengalaman sehari- hari siswa. Selanjutnya siswa menyelesaikan masalah tersebut untuk menemukan pengetahuan baru. Secara garis besar Problem Based Learning (PBL) terdiri dari kegiatan menyajikan kepada siswa suatu situasi masalah yang autentik dan bermakna serta memberikan kemudahan kepada mereka untuk melakukan penyelidikan dan inkuiri.
2.4.3 Alasan Peneliti Menerapkan Model Problem Based Learning (PBL)
Wardhani (Supinah, 2010: 19) mengemukakan PBL mengikuti tiga aliran pikiran utama yang berkembang pada abad duapuluh yaitu sebagai berikut:
a. Pemikiran John Dewey dan Kelas Demokratisnya (1916). Menurut Dewey, sekolah seharusnya mencerminkan masyarakat yang lebih besar dan kelas merupakan laboratorium untuk pemecahanmasalah kehidupan yang nyata. Pendapat Dewey ini memberikan dasar filosofis dari PBL.
b. Pemikiran Jean Piaget (1980). Menurut Piaget, anak memiliki rasa ingin tahu bawaan dan secara terus menerus berusaha memahami dunia di sekitarnya. Rasa ingin tahu itu memotivasi anak untuk secara aktif membangun tampilan dalam otak merekatentang lingkungan yang mereka hayati. Ketika tumbuh semakin dewasadan memperoleh lebih banyak kemampuan bahasa dan memori, tampilan mentalmereka tentang dunia menjadi lebih luas dan lebih abstrak. Pada semua tahap perkembangan, b. Pemikiran Jean Piaget (1980). Menurut Piaget, anak memiliki rasa ingin tahu bawaan dan secara terus menerus berusaha memahami dunia di sekitarnya. Rasa ingin tahu itu memotivasi anak untuk secara aktif membangun tampilan dalam otak merekatentang lingkungan yang mereka hayati. Ketika tumbuh semakin dewasadan memperoleh lebih banyak kemampuan bahasa dan memori, tampilan mentalmereka tentang dunia menjadi lebih luas dan lebih abstrak. Pada semua tahap perkembangan,
c. Pemikiran Lev Vygotsky (1934) dengan Konstruktivismenya, serta Jerome Bruner dengan Pembelajaran Penemuannya. Vygotsky berpandangan bahwa interaksi sosial dengan teman lain memacu terbentuknya ide baru dan memperkaya perkembangan intelektual siswa. Bruner menyatakan pentingnya pembelajaran penemuan, yaitu model pembelajaran yang menekankan perlunya membantu siswa memahami struktur atau ide dari suatu disiplin ilmu, perlunya siswa aktif terlibat dalam proses pembelajaran dan yakin bahwa pembelajaran yang sebenarnya adalah yang terjadi melalui penemuan pribadi.
2.4.4 Ciri-ciri Model Problem Based Learning (PBL)
Menurut Krajcik et.al, dan Slavin et.al, (Supinah, 2010: 20), ciri-ciri khusus dari PBL adalah sebagai berikut:
a. Pengajuan pertanyaan atau masalah. Pertanyaan dan masalah yang diajukan pada awal kegiatan pembelajaran adalah yang secara sosial penting dan secara pribadi bermakna bagi siswa.
b. Berfokus pada keterkaitan antar disiplin. Masalah yang diangkat hendaknya dipilih yang benar-benar nyata sehingga dalam pemecahannya siswa dapat meninjaunya daribanyak mata pelajaran.
c. Penyelidikan autentik. Penyelidikan autentik, berarti siswa dituntut untuk menganalisis dan mendefinisikan masalah, mengembangkan hipotesis dan membuat ramalan, mengumpulkan dan menganalisis informasi, melakukan eksperimen (jika diperlukan), membuat inferensi, dan merumuskan kesimpulan. Metode yang digunakan tergantung pada masalah yang dipelajari.
d. Menghasilkan produk atau karya dan memamerkannya. Siswa dituntut untuk menghasilkan produk tertentu dalam bentuk karya nyata atau artefak. Artefak yang dihasilkan antara lain dapat berupa transkrip debat, laporan, model fisik, video, program komputer. Siswa juga dituntut untuk d. Menghasilkan produk atau karya dan memamerkannya. Siswa dituntut untuk menghasilkan produk tertentu dalam bentuk karya nyata atau artefak. Artefak yang dihasilkan antara lain dapat berupa transkrip debat, laporan, model fisik, video, program komputer. Siswa juga dituntut untuk
2.4.5 Tahap-tahap Model Problem Based Learning (PBL)
Sebagai model pembelajaran, Arends dalam (Supinah, 2010: 21) mengemukakan ada lima tahap pembelajaran pada PBL. Lima tahap ini sering dinamai tahap interaktif, yang sering juga sering disebut sintaks dari PBL. Lama waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan tiap tahapan pembelajaran tergantung pada jangkauan masalah yang diselesaikan.
Tabel 2.1 Tahap-tahap model Problem Based Learning (PBL)
Tahap Kegiatan Tingkah Laku Guru
Orientasi siswa Menjelaskan tujuan pembelajaran, logistik pada situasi
yang dibutuhkan untuk menyelesaiakan
1. masalah tugas, memotivasi siswa agar terlibat pada aktivitas pemecahan masalah yang dipilihnya.
Mengorganisasi Membantu siswa mendefinisikan dan
2. siswa untuk relajar mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut.
Membimbing Mendorong siswa untuk mengumpulkan penyelidikan
informasi yang sesuai, melaksanakan
3. individual maupun
mendapatkan kelompok
eksperimen
untuk
penjelasan dan pemecahan masalah Mengembangkan
Membantu siswa dalam merencanakan dan dan menyajikan
menyiapkan karya yang sesuai sebagai hasil karya
hasil pelaksanaan tugas, misalnyaberupa
4. laporan, video, dan model serta
membantumereka untuk berbagi tugas dengan temannya
Menganalisis dan Membantu siswa untuk melakukan refleksi
Mengevaluasi proses atau evaluasi terhadap penyelidikan pemecahan masalah
mereka dan prosesproses yang mereka tempuh atau gunakan
Menurut Fogarty, dalam (Supinah, 2010: 22-31) proses pembelajaran dengan Problem Based Learning (PBL) dijalankan dengan delapan langkah, seperti berikut:
1. Menemukan masalah Siswa diberikan masalah yang tidak terdefinisikan secara jelas (ill- defined ) yang diangkat dari konteks kehidupan sehari-hari. Pernyataan permasalahan diungkapkan dengan kalimat-kalimat yang pendek dan memberikan sedikit faktafakta di seputar konteks permasalahan. Pernyataan permasalahan diupayakan memberikan peluang pada siswa untuk melakukan penyelidikan. Siswa menggunakan kecerdasan inter dan intra-personal untuk saling memahami dan saling berbagi pengetahuan antar anggota kelompok terkait dengan permasalahan yang dikaji.
2. Mendefinisikan masalah Siswa mendefinisikan masalah menggunakan kalimatnya sendiri. Permasalahan dinyatakan dengan parameter yang jelas. Siswa membuat beberapa definisi sebagai informasi awal yang perlu disediakan. Pada langkah ini, siswa melibatkan kecerdasan intra-personal dan kemampuan awal yang dimiliki dalam memahami dan mendefinisikan masalah.
3. Mengumpulkan fakta-fakta. Siswa membuka kembali pengalaman yang sudah diperolehnya dan pengetahuan awal untuk mengumpulkan fakta-fakta. Siswa melibatkan kecerdasan majemuk yang dimiliki untuk mencari informasi yang berhubungan dengan permasalahan. Pada tahap ini, siswa mengorganisasikan informasi- informasi dengan menggunakan istilah “apa yang diketahui (know) ”, “apa yang dibutuhkan (need to know)”, dan “apa yang dilakukan (need to do )” untuk menganalisis permasalahan dan fakta- fakta yang berhubungan dengan permasalahan.
4. Menyusun dugaan sementara Siswa menyusun
jawaban-jawaban sementara terhadap permasalahan dengan melibatkan kecerdasan logic-mathematical. Siswa juga melibatkan kecerdasan interpersonal yang dimilikinya untuk mengungkapkan apa yang dipikirkannya, membuat hubungan-hubungan, jawaban dugaannya, dan penalaran mereka dengan langkah-langkah yang logis.
5. Menyelidiki Siswa melakukan penyelidikan terhadap data-data dan informasi yang diperolehnya berorientasi pada permasalahan. Siswa melibatkan kecerdasan majemuk yang dimilikinya dalam memahami dan memaknai informasi dan faktafakta yang ditemukannya. Guru membuat struktur belajar yang memungkinkan siswa dapat menggunakan berbagai cara untuk mengetahui dan memahami (multiple ways of knowing and understanding) dunia mereka.
6. Menyempurnakan permasalahan yang telah didefinisikan Siswa menyempurnakan kembali perumusan masalah dengan merefleksikannya melalui gambaran nyata yang mereka pahami. Siswa melibatkan kecerdasan verbal-linguistic memperbaiki pernyataan rumusan masalah sedapat mungkin menggunakan kata yang lebih tepat. Perumusan ulang permasalahan lebih memfokuskan penyelidikan, dan menunjukkan secara jelas fakta-fakta dan informasi yang perlu dicari, serta memberikan tujuan yang jelas dalam menganalisis data.
7. Menyimpulkan alternatif-alternatif pemecahan secara kolaboratif Siswa berkolaborasi mendiskusikan datadan informasi yang relevan dengan permasalahan. Setiap anggota kelompok secara kolaboratif mulai bergelut untuk mendiskusikan permasalahan dari berbagai sudut pandang. Pada tahap ini proses pemecahan masalah berada pada tahap menyimpulkan alternatif-alternatif pemecahan yang dihasilkan dengan berkolaborasi. Kolaborasi menjadi mediasi untuk menghimpun sejumlah 7. Menyimpulkan alternatif-alternatif pemecahan secara kolaboratif Siswa berkolaborasi mendiskusikan datadan informasi yang relevan dengan permasalahan. Setiap anggota kelompok secara kolaboratif mulai bergelut untuk mendiskusikan permasalahan dari berbagai sudut pandang. Pada tahap ini proses pemecahan masalah berada pada tahap menyimpulkan alternatif-alternatif pemecahan yang dihasilkan dengan berkolaborasi. Kolaborasi menjadi mediasi untuk menghimpun sejumlah
8. Menguji solusi permasalahan Siswa menguji alternatif pemecahan yang sesuai dengan permasalahan aktual melalui diskusi secara komprehensip antar anggota kelompok untuk memperoleh hasil pemecahan terbaik. Siswa menggunakan kecerdasan majemuk untuk menguji alternatif pemecahan masalah dengan membuat sketsa, menulis, debat, membuat plot untuk mengungkapkan ide-ide yang dimilikinya dalam menguji alternatif pemecahan.
Pembelajaran dengan Problem Based Learning (PBL) memuat langkah- langkah yang koheren dengan proses pemecahan masalah. Telah dibahas sebelumnya empat tahap strategi pemecahan masalah dikemukakan Polya (1981) yaitu yaitu: (1) memahami masalah, (2) menyusun rencana pemecahan, (3) menjalankan rencana pemecahan, (4) menguji kembali penyelesaian yang diperoleh.
2.4.6 Karakteristik Model Problem Based Learning (PBL)
Menurut Satyasa (2008: 2-3), karakteristik PBL adalah sebagai berikut.
a. Belajar dimulai dengan suatu permasalahan,
b. Memastikan bahwa permasalahan yang diberikan berhubungan dengan dunia nyata siswa,
c. Mengorganisasikan pelajaran di seputar permasalahan, bukan di seputar disiplin ilmu,
d. Memberikan tanggung jawab sepenuhnya kepada siswa dalam mengalami secara langsung proses belajar mereka sendiri,
e. Menggunakan kelompok kecil, dan
f. Menuntut siswa untuk mendemonstrasikan apa yang telah mereka pelajari dalam bentuk produk atau kinerja (performance).
2.4.7 Pelaksanaan Model Problem Based Learning (PBL)
Menurut Wardhani (2006: 10-18), prinsip-prinsip yang harus diacu dalam pelaksanaan PBL adalah sebagai berikut: Menurut Wardhani (2006: 10-18), prinsip-prinsip yang harus diacu dalam pelaksanaan PBL adalah sebagai berikut:
Perencanaan yang dilakukan guru akan memudahkan pelaksanaan berbagai tahap kegiatan pembelajaran dan pencapaian tujuan yang diinginkan, yaitu antara lain sebagai berikut.
1. Menetapkan tujuan pembelajaran
Guru menetapkan tujuan pada saat perencanaan dan tujuan itu dikomunikasikan dengan jelas kepada siswa pada tahap berinteraksi.
2. Merancang situasi masalah yang sesuai
Hal penting yang harus dilakukan guru adalah adalah merancang situasi masalah yang sesuai dan merencanakan cara-cara untuk memberi kemudahan bagi siswa dalam melaksanakan proses perencanaan penyelesaian masalah. Situasi masalah yang baik memenuhi lima kriteria, yaitu:
1. Masalah harus autentik, artinya masalah harus lebih berakar pada dunia nyata daripada berakar padaprinsip-prinsip disiplin ilmu tertentu
2. Masalah seharusnya tak terdefinisi secara ketat dan dapat menghadapkan siswa pada suatu makna misteri atau teka-teki, hal tersebut akan mencegah jawaban sederhana dan dapat menimbulkan adanya alternatif pemecahan yang masing-masing alternatif memiliki kekuatan dan kelemahan.
3. Masalah hendaknya bermakna bagi siswa dan sesuai dengan tingkat perkembangan intelektual mereka, artinya masalah yang diberikan terjangkau oleh pikiran siswa dan modal dasar untuk menyelesaikan masalah sudah dimiliki siswa.
4. Masalah hendaknya cukup luas untuk memungkinkan guru menggarap tujuan pembelajaran mereka dan masih cukup terbatas untuk membuat layaknya pelajaran dalam waktu, tempat dan sumber daya yang terbatas.
5. Masalah hendaknya efisien dan efektif bila diselesaikan secara kelompok, artinya masalah itu memang layak dikerjakan dalam kelompok dan dengan dilaksanakan dalam kelompok akan lebih lancar dibandingkan kalau dilaksanakan secara individu, bukan sebaliknya.
3. Mengorganisasi sumberdaya dan rencana logistik
Dalam hal ini tugas guru adalah mengorganisasi sumber daya dan merencanakan kebutuhan untuk penyelidikan siswa. Guru bertanggung jawab dalam memasok bahan yang diperlukan dalam kegiatan. Bila bahan yang dibutuhkan tersedia di sekolah maka tugas perencanaan yang utama oleh guru adalah mengumpulkan bahan-bahan tersebut dan menyediakan bahan tersebut untuk siswa.
b. Tugas interaktif
1. Mengorientasikan siswa pada situasi masalah
Pada saat pembelajaran dimulai guru seharusnya mengkomuni- kasikan tujuan pembelajaran dengan jelas, menumbuhkan sikap-sikap positif terhadap pelajaran, dan menguraikan apa yang diharapkan untuk dilakukan oleh siswa. Pada tahap orientasi ini, guru perlu menyajikan situasi masalah dengan hati-hati atau dengan prosedur yang jelas dan melibatkan siswa dalam identifikasi masalah. Situasi masalah harus disampaikan kepada siswa semenarik dan setepat mungkin. Dalam hal ini yang penting diperhatikan guru adalah bahwa kegiatan orientasi pada situasi masalah akan menentukan pada tahap penyelidikan berikutnya, sehingga presentasinya harus menarik minat siswa dan menghasilkan rasa ingin tahu.
2. Mengorganisasi siswa untuk belajar
PBL membutuhkan pengembangan keterampilan kolaborasi antar siswa dalam kegiatan penyelidikan, sehingga kegiatan penyelidikan perlu dilakukan secara bersama. Untuk itu, disarankan agar guru mengorganisasikan siswa dalam kelompok-kelompok belajar kooperatif. Pembentukan kelompok utamanya didasarkan pada tujuan yang akan PBL membutuhkan pengembangan keterampilan kolaborasi antar siswa dalam kegiatan penyelidikan, sehingga kegiatan penyelidikan perlu dilakukan secara bersama. Untuk itu, disarankan agar guru mengorganisasikan siswa dalam kelompok-kelompok belajar kooperatif. Pembentukan kelompok utamanya didasarkan pada tujuan yang akan
3. Membimbing penyelidikan individual maupun kelompok dalam mengembangkan dan menyajikan hasil karya
Teknik penyelidikan dalam rangka memecahkan masalah dapat dilakukan secara mandiri, berpasangan, atau dalam kelompok kecil. Pada intinya kegiatan penyelidikan mencakup: pengumpulan data dan eksperimentasi (sesungguhnya atau secara mental), berhipotesis, menjelaskan hipotesa, memberikan pemecahan dan mengembangkan atau menyajikan artefak dan pameran.
4. Pengumpulan data dan eksperimentasi.
Pada tahap ini guru mendorong siswa untuk mengumpulkan data dan melaksanakan eksperimentasi mental atau eksperimen sesungguhnya sampai mereka betul-betul memahami dimensi-dimensi situasi masalahnya.
Tujuannya adalah agar siswa mengumpulkan cukup informasi untuk menciptakan dan membangun ide mereka sendiri. Untuk itu, guru dapat membantu siswa dalam mengumpulkan informasi dari berbagai sumber dan mengajukan pertanyaanpertanyaan yang membuat siswa memikirkan tentang masalah dan jenis-jenis informasi yang dibutuhkan agar siswa sampai pada; (1) pemecahan yang dapat dipertahankan; (2) berhipotesis, menjelaskan dan memberi pemecahan. Pada tahap ini guru diharapkan mendorong siswa untuk mengemukakan ideidenya dalam bentuk hipotesis, penjelasan dan pemecahan berdasarkan hasil yang diperoleh pada tahap
pengumpulan informasi dan eksperimentasi; (3) Guru diharapkan menerima sepenuhnya semua ide dan gagasan siswa. Selanjutnya guru mengajukan pertanyaanpertanyaan yang dapat membuat siswa memikirkan kelayakan dari hipotesis, penjelasan, pemecahan dan kualitas informasi yang telah mereka kumpulkan dan ajukan; (4) mengembangkan dan menyajikan artefak serta pameran. Artefak lebih dari sekedar laporan tertulis, yang meliputi berbagai karya nyata, misalnya: gambar video yang menunjukkan situasi masalah dan pemecahan yang diusulkan; (5) menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah,pada tahap ini guru meminta siswa untuk melakukan rekonstruksi pemikiran dan aktivitas mereka selama tahaptahap pelajaran yang telah dilewatinya. Kapan mereka pertama kali memperoleh pemahaman yangjelas tentang situasi masalah? Kapan mereka merasa yakin dalam pemecahan tertentu? Mengapa mereka dapat menerima penjelasan lebih awal dibanding lainnya? Mengapa mereka menolak beberapa penjelasan? Mengapa mereka mengadopsi pemecahan final mereka? Apakah mereka telah mengubah pemikirannya tentang situasi masalah itu ketika penyelidikan berlangsung? Apa penyebab perubahan itu? Apakah mereka akan melakukan hal berbeda di waktu yang akan datang?
2.4.8 Tugas Manajemen dalam model Problem Based Learning (PBL)
Berikut ini diuraikan tentang manajemen pada PBL.
a. Menangani situasi multi tugas
Pada situasi kelas dengan model PBL, beraneka macam tugas dapat terjadi secara serentak, misalnya: beberapa kelompok siswa belajar di dalam kelas, sedangkan lainnya berada di perpustakaan, dan yang lain lagi mungkin di luar sekolah, tergantung subtopik yang sedang dipelajari. Dapat pula terjadi pembelajaran semuanya di dalam kelas namun setiap pasangan atau kelompok kecil berdiskusi sesuai minat atau topik masing- masing yang saling berbeda antar kelompok, sebelum akhirnya bersama- sama mendiskusikan hasil pekerjaan mereka dengan seluruh kelas.