DImensi Keadilan Dalam Al Quran

DIMENSI KEADILAN DALAM
AL-QUR’AN

Makalah
Disampaikan Pada Seminar Kelas
Mata Kuliah Pemikiran Politik Islam Semester 3
Program Pascasarjana (S2)

Oleh :
N U R D I N

NIM. 80100213100

Dosen Pemandu :
Prof. Dr. H. Usman Jafar, M.Ag
Prof. Dr. Darussalam Syamsuddin, M.Ag

PROGRAM PASCASARJANA (S2)
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) ALAUDDIN MAKASSAR
TAHUN 2014


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sebagai landasan normatif, Al-Qur’an memfungsikan dirinya menjadi
petunjuk bagi manusia (hudan li al nas), yang bertujuan untuk membimbing agar
hidup manusia menjadi bermoral. Semangat dasar Al-Qur’an adalah semangat
moral1. Pesan moral Al-Qur’an (al-Akhlaq al-Qur’an) terbentang dalam keseluruhan
isi dan kandunganya, dan menempatkan keadilan sebagai bahagian yang terpenting
di dalam pesan itu.
Ayat-ayat mengenai keadilan (al-adl) dan yang semakna dengan keadilan
seperti, al-qisth, al-mizan, dan al-wasath terdapat dalam berbagai tempat dalam Al
Qur’an. Selain dari ungkapan-ungkapan yang secara eksplisit menyebut kata
keadilan, sebenarnya pada ayat-ayat dan surat-surat yang paling awal, gagasan dan
pikiran tentang keadilan telah datang secara bersamaan. Kenyataan ini sangat
beralasan, karena kondisi riil dan objektif yang dihadapi oleh Nabi Muhammad
Saw. Setelah beliau memperkenalkan ajaran tauhid (monoteisme) adalah
implikasinya tentang keadilan.
Keadilan memang mempunyai hubungan yang sangat signifikan dengan
ajaran tauhid. Derivasi ajaran tauhid yang memberi penekanan kepada
“pemerdekaan diri” (tahrir al-nafs) secara individu, dan sekaligus membawa pesan

“persamaan” (al-musawah) dalam kehidupan sosial, jelas menurut tegaknya
keadilan dalam seluruh aspek kehidupan. Oleh karena itu, segala bentuk tindakan
yang tidak berkeadilan dan kepemilikan kekayaan yang berlebih-lebihan oleh
sementara penduduk Mekkah seperti yang dikritik dalam sejumlah ayat-ayat
Makkiyah2 jelas bertentangan dengan konsep tauhid dan pesan keadilan yang
diajarkan oleh Al Qur’an.
Izutsu menekankan bahwa manusia dituntut untuk berlaku adil dan berbuat
baik terhadap sesamanya, sebab Tuhan telah berbuat baik dan adil kepada
manusia. Manusia tidak dibenarkan berbuat zalim kepada orang lain, karena Tuhan
1

Lihat Fazlur Rahman, Islam, (Chicago: University or Chicago Press, 1979), h. 32 Menurut
Rahman, tauhid, keadilan dan kepercayaan kepada hari keadilan (akhirat) adalah tiga landasan moral
yang terkandung dalam Al-Qur’an. Di atas ketiga landasan itulah karier Nabi Muhammad Saw.
Terlihat ditegakkan sepanjang tugas kerasulanya.
2
Lihat antara lain, Q.s. al Takatsur/102: 1-8, al Humazah/104:1-9, al Lahab/ 111: 1-5.
Perjuangan hidup orang Mekkah yang tertuju hanya pada penumpukan kekayaan tanpa kepedulian
kepada orang lain dikatakan oleh Al-Qur’an sebagai “batas pengetahuan mereka” mablagh min ‘ilm),
karena mereka hanya mengetahui kehidupan yang Nampak di dunia ini saja. (Q.s. al Najm/53:29-30,

sementara mereka tidak memedulikan tujuan-tujuan hidup yang mulia (Qs. Rum/30:7).

2

sendiri tidak pernah berbuat zalim kepada orang lain, karena Tuhan sendiri tidak
pernah berbuat zalim kepada siapapun.3 Walaupun Izutsu menekankan pentingnya
ditegakan keadilan dan mengingatkan bahaya kezaliman, ia tidak merumuskan arti
keadilan secara tuntas.
Dilihat dari segi pendekatan yang dipergunakan oleh Izutsu, hampir sama
dengan Fazlur Rahman kedua-duanya sama-sama menempatkan Al-Qur’an sebagai
sumber informasi, terutama untuk mendapatkan penafsiran yang otentik tentang
konsep-konsep tertentu.
Kajian tentang keadilan, meskipun dalam pola pendekatan yang
dikembangkan dari informasi Al-Qur’an belum sepenuhnya objektif, namun
setidaknya dengan keterbatasan yang dimiliki mampu menjadi inspirasi tersendiri
bagi untuk melakukan kajian lebih mendalam lagi.
B. Rumusan Masalah
Masalah pokok yang akan dirumuskan dalam makalah ini sebagai kajian
utama adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana makna keadilan dalam perspektif Al-Qur’an ?

2. Bagaimana Prinsip Keadilan terkait dengan pemerintahan, serta keralatifan
keadilan penguasa?

3

Dalam tulisan Itsuzu, Ethico Religious Concepts in the Qur’an makna kezaliman (al-zulm)
secara rinci dibahasanya sebagai salah satu unsur bidang semantic al-kufr yang baginya merupakan
salah satu nilai etika religius negatif. Rincianya lihat Ibid, h. 164-172.

3

BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Keadilan Dalam Al-quran
Kata al-‘adl dari segi bahasa memiliki beberapa arti.4 Dari pengertian yang
bermacam-macam itu dapat dikembalikan kepada makna: “Luzum al-wast wa alijtinab ‘an janibaiy al-ifrat wa al-tafrith”.5 Keadilan adalah kata jadian dari kata
”adil” yang terambil dari bahasa Arab “adl”. Apabila dicermati term-term atau
simpul-simpul keadilan yang berakar kata ‘a-d-l terdapat dalam Al-Qur’an sebanyak
31 kali.6 Menurut M. Quraisy Syihab, “Kata adl yang dalam berbagai bentuk terulang
28 kali dalam Al-Qur’an, tidak satupun yang dinisbatkan kepada Allah menjadi sifatNya.

Kamus bahasa Arab mengimformasikan bahwa kata “adil” pada umumnya
berarti “sama”. Persamaan tersebut sering dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat
immaterial. Keadilan diungkapkan oleh Al-Qur’an antara lain dengan kata-kata al‘adl, al-qisth, al-mizan, dan dengan menafikan kezaliman, walaupun pengertian
keadilan tidak selalu menjadi antonim kezaliman. ‘Adl, yang berarti “sama”,
memberi kesan adanya dua pihak atau lebih; karena jika hanya satu pihak tidak akan
terjadi persamaan.
Qisth7 arti asalnya adalah “bahagian” (yang wajar dan patut). Ini tidak harus
mengantarkan adanya “persamaan”. Bukankah “bagian” dapat saja diperoleh oleh
4

Jamaluddin Muhammad Ibn Mukarram al-Ansari, Lisan al-‘Arab, Juz 13-14, (Mesir: Dar alMisriyah li al-Ta’lif wa al-Tarjamah, tt), h. 456-463
5
Artinya: Senantiasa mengambil sikap tengah dan menjauhkan dua sikap ekstrim yaitu ifrat
(berlebihan) dan tafrit (ketaksiran). Muhammad Husain al-Thabatabai, al-Mizan fi al- Tafsir AlQur’an, Juz 12, (Beirut: Muassasah al-A’la li al-Matbu’at, tt), h. 331
6
Muhammad Fuad ‘Abd al-Baqiy, al-Mu’jam al-Mufahras Li Alfaz Al-Qur’an al-Karim
(Beirut: Dar al-Fikr, 1981), h. 448-449
7
Dalil yang mendukung kata qisth di antaranya firman Allah dalam surat an-Nisa’ (4) :
135

‫ﯾﺎأﯾﮭﺎ اﻟﺬﯾﻦ ءاﻣﻨﻮا ﻛﻮﻧﻮا ﻗﻮاﻣﯿﻦ ﺑﺎﻟﻘﺴﻂ ﺷﮭﺪاء وﻟﻮ ﻋﻠﻰ أﻧﻔﺴﻜﻢ أو اﻟﻮاﻟﺪﯾﻦ واﻷﻗﺮﺑﯿﻦ إن ﯾﻜﻦ ﻏﻨﯿﺎ أو ﻓﻘﯿﺮا ﻓﺎ أوﻟﻰ ﺑﮭﻤﺎ ﻓﻼ‬
‫ﺗﺘﺒﻌﻮا اﻟﮭﻮى أن ﺗﻌﺪﻟﻮا وإن ﺗﻠﻮوا أو ﺗﻌﺮﺿﻮا ﻓﺈن ﷲ ﻛﺎن ﺑﻤﺎ ﺗﻌﻤﻠﻮن ﺧﺒﯿﺮا‬
Artinya:Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan,
menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika
ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti
hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata)

4

satu pihak? Karena itu, kata qisth lebih umum dari pada adil, dan karena itu pula
ketika Al-Qur’an menuntut seseorang untuk berlaku adil terhadap dirinya sendiri,
kata qisth itulah yang digunakannya.
Mizan berasal dari asal kata wazn yang berarti timbangan. Oleh karena itu,
mizan adalah “alat untuk menimbang”. Namun dapat pula berarti “keadilan”,
karena bahasa sering kali menyebutkan “alat” untuk makna hasil penggunaan alat
itu. Menurut Muhammad Mutawalli Sya’rawi, “acuan dari proses timbangan
tersebut adalah ketelitian dalam timbangan supaya tidak ada unsur kecurangan
sedikitpun di dalamnya. Karena itu pulalah dipilih kata al-mizan, karena kata ini
merupakan standar yang paling tepat untuk menentukan segala sesuatu tanpa
unsur kecurangan”.8

Adil dalam arti luas dapat diartikan menjaga keseimbangan dalam
masyarakat, artinya keadilan adalah segala sesuatu yang dapat melahirkan
kemaslahatan bagi masyarakat atau menjaga dan memeliharanya dalam bentuk
lebih baik sehingga masyarakat mendapatkan kemajuan.9 Jika diperhatikan secara
seksama ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang menjelaskan tentang keadilan, tampaknya
keadilan yang diperintahkan Tuhan kepada penguasa di bumi adalah keadilan yang
seimbang.
Keadilan yang dibicarakan dan dituntut Al-Qur’an amat beragam, tidak
hanya pada proses penepatan hukum atau terhadap pihak yang berselisih,
melainkan Al-Qur’an menuntut keadilan terhadap diri sendiri, baik ketika

atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang
kamu kerjaan.
8

Muhammad Mutawalli Sya’rawi, Adalatullah:Keadilan dan Hidayah Allah, terj. Ahsan
Askan, (Jakarta: Cendekia, 2005), h. 21
9
Murtadha Muthahhari, Islam dan Tantangan Zaman, Terj. Ahmad Sobandi, (Bandung:
Pustaka Hidayah, 1996), h. 225


5

berucap10, menulis11, atau bersikap batin12. Al-Qur’an memandang kepemimpinan
sebagai “perjanjian Ilahi” yang melahirkan tanggung jawab menentang kezaliman
dan menegakkan keadilan13. Demikian terlihat bahwa kepemimpinan dalam
pandangan ayat di atas bukan sekedar kontrak sosial, tetapi juga menjadi kontrak
atau perjanjian antara Allah dan sang pemimpin untuk menegakkan keadilan.
Bahkan Al-Qur’an menegaskan bahwa alam raya ini ditegakkan atas dasar keadilan.
Menurut M. Quraisy Syihab, Paling tidak, ada empat makna keadilan yang
dikemukakan oleh pakar agama, yaitu: Pertama, adil dalam arti “sama”. surat AlNisa’ (4): 5814 dinyatakan bahwa,

‫وإذﺣﻜﻤﺘﻢ ﺑﯿﻦ اﻟﻨﺎس ان ﺗﺤﻜﻤﻮا ﺑﺎﻟﻌﺪل‬
Kata “adil” dalam ayat ini bila diartikan ‘sama” hanya mencakup sikap dan
perlakuan hakim pada saat proses pengambilan keputusan. Kedua, adil dalam arti
“seimbang”. Keseimbangan15 ditemukan pada suatu kelompok yang didalamnya
Adil dalam berkata-kata terdapat dalam firman Allah berikut ini: ‫واذا ﻗﻠﺘﻢ ﻓﺎﻋﺪﻟﻮاوﻟﻮﻛﺎن ذاﻗﺮﺑﻰ‬
Artinya: Dan apbila kamu berkata, maka hendaklah berlaku adil walaupun terhadap kerabat…! (Q.S
Al Baqarah (2): 152)
11

Adil dalam menulis tercermin dalam firman Allah berikut ini: ‫ وﻟﯿﻜﺘﺐ ﺑﯿﻨﻜﻢ ﻛﺎﺗﺐ ﺑﺎﻟﻌﺪل‬Artinya:
Dan hendaklah ada di antara kamu seorang penulis yang menulis dengan adil (Q.S Al Baqarah (2):
282)
12
Adil dalam sikap tercermin dalam firman Allah berikut ini: ‫ﻟﻘﺪ ارﺳﻠﻨﺎ رﺳﻠﻨﺎ ﺑﺎﻟﺒﯿﻨﺖ وأﻧﺰﻟﻨﺎ ﻣﻌﮭﻢ‬
‫اﻟﻜﺘﺐ واﻟﻤﯿﺰان ﻟﯿﻘﻮم اﻟﻨﺎس ﺑﺎﻟﻘﺴﻂ‬Sesungguhnya kami telah mengutus rasul-rasul, dengan membawa
bukti-bukti nyata, dan telah kami turunkan bersama mereka Al-kitab dan neraca (keadilan) agar
manusia dapat melaksanakan keadilan (Q.S Al-Hadid (57): 25)
10

13
Ayat-ayat berikut ini menerangkan tentang pentingnya keadilan ditegakkan. Ayat-berikut
ialah: ‫ﻗﺎل إﱏ ﺟﺎﻋﻠﻚ ﻟﻠﻨﺎس إﻣﺎﻣﺎ ﻗﺎل وﻣﻦ ذرﻳﱴ ﻗﺎل ﻻﻳﻨﺎل ﻋﻬﺪى اﻟﻈﻠﻤﲔ‬
Allah berfirman, “sesungguhnya Aku akan menjadikanmu (hai Ibrahim) pemimpin untuk seluruh
manusia.” Dia (Ibrahim) berkata, “(Saya bermohon agar) termasuk juga keturunan-keturunanku.”
Allah berfirman, “Perjanjian-Ku ini tidak akan diterima oleh orang-orang yang zalim.” (Q.S Al Baqarah
(2): 124).
14
Artinya: Apabila kamu memutuskan perkara di antara manusia, maka hendaklah engkau
mengutuskannya dengan adil…

15
Seandainya ada salah satu anggota tubuh manusia berlebih atau berkurang dari kadar
atau syarat yang seharusnya, maka pasti tidak akan terjadi ketidak seimbangan (keadilan). Contoh
lain tentang keseimbangan adalah alam raya bersama ekosistemnya, Al-Qur’an menyatakan
bahwa:
‫اﻟﺬى ﺧﻠﻖ ﺳﺒﻊ ﺳﻤﻮت ﻃﺒﺎﻗﺎ ﻣﺎﺗﺮى ﻓﻰ ﺧﻠﻘﺎﻟﺮﺣﻤﻦ ﻣﻦ ﺗﻔﻮت ﻓﺎرﺟﻊ اﻟﺒﺼﺮ ﻫﻞ ﺗﺮى ﻣﻦ ﻗﻄﻮر‬
Artinya: Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis, kamu sekali-kali tidak melihat pada
ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang,
adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?

6

terdapat beragam bagian yang menuju satu tujuan tertentu. Salama syarat dan
kadar tertentu terpenuhi oleh setiap bagian surat al-Infithar ayat 6-7.16

‫ﯾﺎﯾﮭﺎ اﻻﻧﺴﻦ ﻣﺎﻏﺮك ﺑﺮﺑﻚ اﻟﻜﺮﯾﻢ؛ اﻟﺬى ﺟﻠﻘﻚ ﻓﺴﻮك ﻓﻌﺪﻟﻚ‬
Dari sini, keadilan identik dengan kesesuaian (keproporsionalan), bukan
lawan kata “kezaliman”. Ketiga, adil adalah “pengertian terhadap hak-hak
individu dan memberi hak-hak itu kepada setiap pemiliknya”. Keempat, adil yang
dinisbatkan kepada Ilahi. Adil di sini berati “memelihara kewajaran atas

berlanjutnya eksistensi, tidak mencegah kelanjutan eksistensi dan perolehan
rahmat sewaktu terdapat banyak kemungkinan untuk itu.” Semua wujud tidak
memiliki hak atas Allah. Keadilan Ilahi pada dasarnya merupakan rahmat dan
kebaikan-Nya. Keadilan-Nya mengandung konsekwensi bahwa rahmat Allah. tidak
tertahan untuk diperoleh sejauh makhluk itu dapat meraihnya.
Al-Qur’an17[ mengisahkan dua orang berperkara yang datang kepada Nabi
Daud a.s. untuk mencari keadilan. Orang petama memiliki sembilan puluh sembilan
ekor kambing betina, sedangkan orang kedua hanya memiliki seekor. Pemilik
kambing yang banyak mendesak agar diberi pula yang seekor itu agar genap
seratus. Nabi Daud tidak memutuskan perkara itu dengan mebagikan kambingkambing itu dengan jumlah yang sama, melainkan menyatakan bahwa pemilik
sembilan puluh sembilan kambing itu telah berlaku aniaya atas permintaannya itu
(Q.S Shad (38): 23). Menurut Muhammad Mutawalli Sya’rawi, “Ayat di atas
menyiratkan bahwa Nabi Daud agaknya telah terpengaruh oleh kondisi tertentu
ketika memutuskan sebuah kasus persengketaan. Beliau terpengaruh dengan
banyaknya jumlah kambing sehingga ia tidak rela melihat orang memiliki 99
kambing betina merampas seekor milik orang lain. Padahal penyebutan jumlah
yang banyak bukan suatu alasan tergugat telah bersalah. Bahkan boleh jadi yang

16

Artinya: Wahai manusia, apakah yang memperdayakan kamu (berbuat durhaka)
terhadap Tuhan-mu Yang Maha Pemurah? Yang menciptakan kamu lalu menyempurnakan
kejadianmu,dan menjadikan kamu (menjadikan susunan tubuhmu seimbang).
17

Al-Qur’an Surat Shad ayat 21-24

7

tidak memiliki sesuatu apapun atau yang memiliki sesuatu yang lebih sedikit adalah
pihak yang bersalah. Oleh karena itu, banyaknya kuantitas sesuatu semestinya
dijadikan alasan dalam menjastifikasi sebuah keputusan”18
Akan tetapi perasaan dan emosi Nabi Daud agaknya cenderung membela
orang miskin yang hanya memiliki seekor kambing betina. Oleh karena itu ketika
beliau diminta untuk memutuskan persengketaan di antara kedua orang tersebut,
beliau tidak sukses dalam mengadili kasus tersebut, malah beliau mengatakan:
“Sesungguhnya dia telah berbuat aniaya kepadamu dengan meminta kambingmu
itu untuk ditambahkan kepada kambingnya”.
Kesimpulannya, dalam Al-Qur’an dapat ditemukan pembicaraan tentang
keadilan, dari tawhid sampai keyakinan mengenai hari kebangkitan, dari nubuwwah
(kenabian) hingga kepemimpinan, dan dari individu hingga masyarakat. Keadilan
adalah syarat bagi terciptanya kesempurnaan pribadi, standar kesejahteraan
masyarakat, dan sekaligus jalan terdekat menuju kebahagiaan ukhrawi.
Kebahagiaan duniawi dan ukhrawi akan dapat dicapai bila penguasa dengan
sungguh-sungguh melaksanakan dan menegakkan keadilan.

B. Prinsip Keadilan Negara
1. Prinsip Keadilan Penguas
Selain prinsip tauhid, sebagai bagian yang paling penting dalam sistem
demokrasi, prinsip dasar dalam pengelolaan negara, menurut Nurcholish Madjid,
adalah prinsip keadilan, yang menurutnya sebagai "sunnatullah", dan usaha
mewujudkannya merupakan tantangan yang tidak pernah berhenti untuk
diperjuangkan.
"Keadilan", kata Nurcholish Madjid, "merupakan inti tugas suci (risalah) para
Nabi".19 Lebih lanjut dijelaskan, bahwa di dalam Al-Qur'ān , masalah keadilan
disebutkan dalam berbagai konteks. Kata adil mempunyai beragam terminologi
18

Muhammad Mutawalli Sya’rawi, Adalatullah:Keadilan…, h. 25-26
Nurcholish Madjid, "Konsep Keadilan dalam Al-Qur'ān dan Kemungkinan Perwujudannya
dalam Konteks Zaman Modern", (Serie KKA Paramadina, No. 35/Tahun. III/1997), h. 4
19

8

dalam bahasa Arab, seperti adl, qist, dan wast; juga kata mīzān yang padanannya
dalam bahasa Inggris ialah, just atau justice. Sedangkan pengertian adil dalam
kacamata Nurcholish Madjid, "tengah" atau "pertengahan". Namun diakuinya
bahwa membahas keadilan tidak cukup lewat penjelasan-penjelasan etimologis
belaka. Sebab, "konsep keadilan memiliki bentangan makna yang jauh lebih luas
dan rumit".20
Nurcholish Madjid dengan mengutip Murtadha Mutahhari, selanjutnya
membahas pembagian konsep keadilan: (1). Bermakna perimbangan atau keadaan
seimbang (mauzun, balanced), tidak pincang; (2) bermakna persamaan (musawah,
egalitarian); (3) bermakna hak-hak pribadi atau "pembagian hak kepada siapa saja
yang berhak"; khususnya yang berkaitan dengan hak pemilikan dan kekhususan
hakikat manusia.
Konsepsi keadilan merupakan bagian inti dari ajaran Islām, memang
agaknya sulit diragukan. Sebab menurut Nurcholish Madjid, cita-cita itu dirasakan
sekali denyut nadinya secara kuat dalam surat-surat atau ayat-ayat al-Qur'ān yang
semuanya termasuk hal-hal yang diturunkan kepada Rasulullah mengenai
masyarakat Makah misalnya, kata Nurcholish Madjid ialah politeismenya dan
kedhaliman (ketidakadilan) sistem ekonominya. Politeisme baginya, "merupakan
dosa yang tak terampuni,21 dan karena itu merupakan kejahatan terbesar manusia
kepada dirinya sendiri".22
20

Nurcholish Madjid, "Konsep Keadilan…, h. 9-10
Untuk itu ia mengutip firman Tuhan yang artinya "Allāh tidak memberi ampun jika
sesuatu dipersekutukan kepada-Nya, tetapi Ia mengampuni yang selain-Nya, kepada siapa saja yang
dikehendaki-Nya, dan siapa yang mempersekutukan Allāh, ia telah berbuat dosa yang besar". (Q.,s.
An-Nisā’/4:48).
Mengenai ayat ini ditafsirkan oleh A. Yusuf Ali dari dimensi politik dan tasawuf sebagai
berikut: "Seperti halnya dengan kerajaan negara di bumi, kejahatan yang paling buruk ialah
pengkhianatan, sebab ia justru yang akan menghancurkan eksistensi negara itu. Begitu juga dengan
dunia rohani, dosa yang tak berampun ialah pengkhianatan yang sifatnya tidak taat kepada Allāh
dengan menempatkan makhluk-makhluk Allāh sebagai saingan-Nya". Inilah yang disebut ingkar
terhadap inti dan sumber kehidupan rohani, yang oleh Plato disebut "kebohongan di dalam jiwa".
Tetapi sungguhpun begitu, jika kekufurannya disebabkan oleh kebodohan, lalu bertobat dengan
sepenuh hati dan memperbaiki diri, maka kasih Allāh selalu terbuka. A. Yusuf Ali, Al-Qur'ān Terjemah
dan Tafsirnya, Terj. Ali Audah, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1992), h. 195
22
Nurcholish Madjid, Islām Kemodernan…, h. 102
21

9

Karena itu, tingkah laku ekonomi yang menghalangi terwujudnya keadilan23
sosial, demikian ditandaskan Nurcholish Madjid, dikutuk Al-Qur'ān dengan keras.
Bahkan, tambah Nurcholish Madjid", tidak ada kutukan kitab suci yang lebih keras
daripada kutukan kepada para pelaku ekonomi yang tidak adil". Yang termasuk dari
kategori ini ialah, mereka yang tidak produktif dan egois. Untuk memperkuat
argumentasi ini, Nurcholish Madjid menunjukkan surat at-Takāsur, al-Humazah
dan al-Tawbah, ayat 35-36. Berdasarkan pendapat tersebut, Nurcholish Madjid
tampaknya mengkritik beberapa kebijakan ekonomi pemerintah Orde Baru yang
tidak berpihak kepada kaum lemah. Termasuk juga pola penggunaan kekayaan yang
disebutnya sebagai value judgment guna mengubah persepsi atas lembagalembaga yang sudah ada tersebut.
2. Perintah Menetapkan Hukum dengan Adil
Perintah menetapkan hukum dengan adil dapat dipahami dan dimulai
uraianya dengan mengutip Al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 57:

‫إن اﷲ ﯾﺄﻣرﻛم أن ﺗؤدوا اﻷﻣﺎﻧﺎت إﻟﻰ أﻫﻠﻬﺎ ٕواذا ﺣﻛﻣﺗم ﺑﯾن اﻟﻧﺎس أن ﺗﺣﻛﻣوا ﺑﺎﻟﻌدل إن اﷲ‬
‫ﻧﻌﻣﺎ ﯾﻌظﻛم ﺑﻪ إن اﷲ ﻛﺎن ﺳﻣﯾﻌﺎ ﺑﺻﯾ ار‬
Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia
supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha
Melihat.

Menurut Dr. Abd Muin Salim, secara struktural ayat di atas terdiri dari dua
klausa yang tidak dapat dilepaskan dari klausa inti di awal ayat, yakni inna Allah ya’

23

Konsep keadilan ini, dalam hukum fiqih, menurut ulasan Nurcholish Madjid, dijabarkan
menjadi ketentuan-ketentuan halal dan haram dalam perolehan ekonomi. Ini artinya, tidak boleh
ada penindasan manusia atas manusia-(Q.,s. al-Baqarah/2: 279); dan tidak boleh ada pembenaran
pada struktur atas, khususnya sistem pemerintahan dalam perundangan terhadap politik
penindasan-(Q.,s. al-Baqarah/2:288). Tapi masalahnya, bagaimana nilai dan cita-cita keadilan ini
dilaksanakan dan dioperasionalkan? Untuk ini, menurut Nurcholish Madjid, "kita perlu melakukan
telaah ulang tentang lembaga-lembaga ekonomi". Dedy Djamaluddin Malik dan Idi Subandy Ibrahim,
Zaman Baru…, h. 197

10

murukum. Hubungan ini terwujud oleh adanya partikel “wa” dan yang berfungsi
sebagai perangkai. Klausa pertama adalah klausa kondisional, karena di dahului
oleh partikel “iza” “apabila” yang tidak hanya berkonotasi temporal tetapi juga
kondisional (dharfiyat syarthiyah).24 Sedangkan klausa kedua berkedudukan
sebagai objek. Dengan demikian ayat di atas dapat dikonstruksikan ke dalam
ungkapan Inna Allah ya’ murukum an tahkumu bi al-‘adl iza hakamtum baina alnas. “Sesungguhnya Allah memerintahkan agar kamu menetapkan hukum dengan
adil apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia.”
Menetapkan hukum dalam ungkapan ayat di atas mencakup pengertian
“membuat dan menerapkan hukum”. Secara kontekstual perintah dalam ayat
tersebut tidak hanya ditujukan kepada kelompok sosial tertentu dalam masyarakat
Muslim, tetapi ditujukan kepada setiap orang yang mempunyai kekuasaan
memimpin orang-orang lain, seperti suami terhadap istri-istrinya, dan orang tua
terhadap anak-anaknya. Meskipun begitu, takhsis ungkapan tersebut dengan
kekuasaan politik seperti yang dikemukakan Muhammad Abduh dapat diterima
karena pandangan tersebut sejalan dengan sebab turunnya ayat itu.
Konsep lain yang terkandung dalam klausa di atas adalah “keadilan” yang
diungkapkan dengan al-‘adl. Al-Baidhawi menyatakan bahwa adil bermakna alinshaf wa al-sawiyayyat “berada dipertengahan dan mempersamakan”.25
Pendapat yang sama dikemukakan oleh al-Raghib dan Rasyid Ridha.26 Sejalan
dengan pendapat ini, Sayyid Quthb menyatakan bahwa dasar persamaan itu adalah
sifat kemanusiaan yang dimiliki oleh setiap orang.27 Ini berarti bahwa manusia
24

Badr al-Din Muhammad bin Abdillah al-Zarkasyi, al-Burhan fi ‘Ulum Al-Qur’an, (Mesir:
Dar al-Ihya al-Kutub al-‘Arabiyat, tt), h. 195
25
Nashr al-Din Abu al-Khair ‘Abdullah bin ‘Umar al-Baidhawi, Anwar al-Tanzil wa Asrar alTa’wil, Juz I, (Mesir: Mushthafa al-Bab al-Halabi, 1939/1358), h. 191
26
Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Al-Qur’an al-Hakim, (Tafsir al-Manar), Juz V, (Mesir:
Maktabah al-Qahirah, 1379/1960), h. 174. Ridha menyatakan bahwa keadilan yang diperintahkan
dalam ayat itu dikenal oleh ahli bahasa Arab, dan bukan berarti menetapkan hukum (memutuskan
perkara) berdasarkan apa yang telah pasti dalam agama.
27
Sayyid Quthb, Fi Dhilal Al-Qur’an, Juz V, (Beirut: Dar al-Ihya’ al-Turas al-‘Arabi,
1386/1967), h. 118. Sayyid Quthb menyatakan bahwa dalil di atas menghendaki keadilan yang
menyeluruh di antara sesama manusia, bukan keadilan di antara sesama Muslim atau sesama ahli
kitab dan tidak pula atas sebagian manusia saja. Keadilan adalah hak setiap manusia dengan sebab

11

mempunyai hak yang sama oleh karena mereka sama-sama manusia. Pengertian
yang berbeda dikemukakan oleh al-Maraghi. Ia tidak melihat keadilan dari segi
persamaan hak, tetapi menekankan aspek terselenggaranya atau terpenuhinya
hak-hak yang telah ditetapkan setelah menjadi milik seseorang. Konsep al-Maraghi
ini lebih relevan dengan kata al-qisth daripada kata al-‘adl.
Menurut Dr. Abd Muin Salim, pendapat Ibn Jarir dan Abduh tentang
keadilan berimplikasi yang berbeda. Pendapat Ibn Jarir mengandung arti bahwa
perintah menetapkan hukum dengan adil dalam ayat di atas terbatas pada
penerapan Al-Qur’an dan Sunnah. Ini juga berarti adanya pemberian kekuasaan
pelaksanaan (kekuasaan eksekutif). Sebaliknya pendapat Muhammad Abduh
mengandung arti bahwa perintah dalam ayat itu adalah perintah membuat hukum
sekaligus berisi pemberian kekuasaan pembentukan aturan-aturan hukum
(kekuasaan legislatif). Selanjutnya Abd Muin Salim mengatakan “meskipun
argumentasi Abduh di atas kurang dapat diterima, namun pendapatnya di atas
menarik ditelaah karena lebih konsisten dengan perintah yang terdapat dalam ayat
sebelumnya yang relevan dengan fungsi eksekutif dan yudikatif.”28
Tugas penguasa baik penguasa di bidang eksekutif, yudikatif maupun
legislatif adalah melaksanakan amanah Allah. Amanah

yang dimaksudkan

berkaitan dengan banyak hal, salah satu di antaranya adalah perlakuan adil.
Keadilan yang dituntut ini bukan hanya terhadap kelompok golongan, atau kaum
muslim saja, tetapi mencakup seluruh manusia bahkan seluruh makhluk. Ayat-ayat
Al-Qur’an yang menyangkut hal ini amat banyak, salah satu diantaranya berupa
teguran kepada Nabi SAW, yang hampir menyalahkan orang Yahudi karena
terpengaruh oleh pembelaan keluarga seorang pencuri. Dalam konteks inilah turun
firman Allah:

‫وﻻ ﺗﻜﻦ ﻟﻠﺨﺎﺋﻨﯿﻦ ﺧﺼﯿﻤﺎ‬
sifatnya sebagai manusia, dan sifat ini menjadi dasar keadilan di dalam ajaran-ajaran ketuhanan.
Pandangan ini perlu diteliti secara seksama karena Al-Qur’an sendiri menegaskan hak yang
diperoleh manusia berdasarkan usahanya.
28
Abd Muin Salim, Konsepsi Kekuasaan Politik …, h. 216-217

12

Artinya: Dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena
(membela) orang-orang yang khianat. (Q.S. An-Nisa’ [4]: 105).

Berdasarkan ayat tersebut, dituntut kepada pemimpin agar berhati-hati
dalam memutuskan suatu perkara, jangan sampai berat sebelah atau tidak sama
sehingga membuat kerugian sepihak. Kewajiban-kewajiban tersebut secara ringkas
dapat disimpulkan dalam dua hal, yaitu: Menunaikan amanah, dan menegakkan
hukum dengan adil kepada seluruh ummat. Mengatur kepentingan negara sesuai
dengan tuntutannya, sehingga membawa kebaikan bagi individu maupun jama'ah,
ke dalam maupun ke luar.
3. Relativitas Keadilan Penguasa
Mewujudkan keadilan yang objektif adalah sikap yang sangat sulit untuk
dicapai oleh manusia, disebabkan oleh kodrat manusia dengan kecenderungan
mengikuti hawa nafsu. Karena itulah banyak ulama yang menolak dirinya
dipromosikan menjadi hakim, bukan karena mereka enggan untuk menghakimi
suatu masalah, tetapi karena mereka khawatir kalau-kalau ia tidak mampu
mewujudkan keadilan yang objektif disebabkan oleh emosi ataupun hawa nafsu
yang menyelimuti dirinya29. Contoh relativitas keadilan manusia dapat disimak
kisah Nabi Daud ketika mengadili dua orang yang bersengketa sebagaimana telah
disebutkan terdahulu.
Allah SWT. tulis Rasyid Ridha yang menurunkan ayat-ayat ini mengetahui
perubahan-perubahan sikap pro atau kontra yang dapat terjadi bagi bangsa-bangsa
dan pemeluk-pemeluk agama seperti terlihat kemudian dari orang-orang Yahudi
yang pada awal masa Islam begitu benci terhadap orang Mukmin, namun berbalik
membantu kaum Muslimin dalam beberapa peperangan seperti di Andalusia atau
seperti halnya orang-orang Mesir yang membantu kaum Muslimin melawan
Romawi.

29

Muhammad Mutawalli Sya’rawi, Adillatuha: Keadilan…, h. 21-26

13

Dari sini terlihat bahwa Al-Qur’an tidak menjadikan perbedaan agama
sebagai alasan untuk tidak menjalin kerja sama apalagi mengambil sikap tidak
bersahabat. Al-Qur’an memerintahkan agar setiap umat berpacu dalam
kebijakan.30 Bahkan Al-Qur’an sama sekali tidak melarang kaum Muslimin untuk
berbuat baik dan memberi sebagian harta mereka kepada siapapun, selama
mereka tidak memerangi dengan motif keagamaan atau mengusir kaum Muslimin
dari kampung halaman mereka.31 Ditaati dalam hal-hal yang baik, mendapatkan
bantuan dalam hal-hal yang diperintahkan, mendapatkan hak finansial yang
mencukupi diri dan keluarganya secara tidak berlebihan.

30

Lihat Surat al-Baqarah: 148 “….Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan ”
Lihat, Surat al-Mumtahanah: 8 “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan
berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula)
mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”
31

14

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari beberapa uraian tentang tanggung jawab penguasa dalam
menegakkan keadilan yang ditinjau dari sudut Al-Qur’an dapat disimpulkan sebagai
berikut: Keadilan yang diungkapkan oleh Al-Qur’an antara lain dengan kata-kata al‘adl, al-qisth, al-mizan, dan dengan menafikan kezaliman, walaupun pengertian
keadilan tidak selalu menjadi antonim kezaliman. ‘Adl, yang berarti “sama”,
memberi kesan adanya dua pihak atau lebih; karena jika hanya satu pihak tidak akan
terjadi persamaan. Keadilan yang dibicarakan dan dituntut Al-Qur’an amat
beragam, tidak hanya pada proses penepatan hukum atau terhadap pihak yang
beselisih, melainkan Al-Qur’an menuntut keadilan terhadap diri sendiri, baik ketika
berucap, menulis, atau bersikap batin. Ketiga kata qisth, ‘adl, dan mizan pada
berbagai bentuk digunakan oleh Al-Qur’an dalam konteks perintah kepada manusia
untuk berlaku adil.
Paling tidak ada empat makna keadilan yang dikemukakan oleh pakar
agama, yaitu: Pertama, adil dalam arti “sama”. Kedua, adil dalam arti “seimbang”.
Ketiga, adil adalah “pengertian terhadap hak-hak individu dan memberi hak-hak
itu kepada setiap pemiliknya”. Keempat, adil yang dinisbatkan kepada Ilahi. Adil di
sini berarti “memelihara kewajaran atas berlanjutnya eksistensi, tidak mencegah
kelanjutan eksistensi dan perolehan rahmat sewaktu terdapat banyak kemungkinan
untuk itu.”
Semua jenis-jenis keadilan tersebut, oleh Al-Qur’an ditugaskan untuk
ditegakkan oleh penguasa karena mereka mempunyai kekuatan/power sekaligus
penguasa itu telah diberi mandat sosial oleh publik. Karena itu penguasa harus
bertanggung jawab untuk menegakkan keadilan seadil-adilnya, dan menetapkan
hukum dengan adil meskipun pada manusia terdapat keterbatasan dan inilah
sebuah relativitas manusia.

15

DAFTAR PUSTAKA
Al Qur’an dan Terjemahnya
Badr al-Din Muhammad bin Abdillah al-Zarkasyi, al-Burhan fi ‘Ulum Al-Qur’an,
(Mesir: Dar al-Ihya al-Kutub al-‘Arabiyat, tt)
Fazlur Rahman, Islam, (Chicago: University or Chicago Press, 1979)
https://ntanrahmah.wordpress.com/2013/01/09/makna-keadilan-dalam-alquran/
http://makalahmajannaii.blogspot.com/2012/02/keadilan-dalam-alquran.html
http://politeknik-lp3ibandung.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=884:peri
ntah-islam-untuk-berlaku-adil-perintah-islam-untuk-berlakuadil&catid=73:imtak&Itemid=178
Itsuzu, Ethico Religious Concepts in the Qur’an
Jamaluddin Muhammad Ibn Mukarram al-Ansari, Lisan al-‘Arab, Juz 13-14, (Mesir:
Dar
al-Misriyah
li
al-Ta’lif
wa
al-Tarjamah,
tt)
Muhammad Husain al-Thabatabai, al-Mizan fi al- Tafsir Al-Qur’an, Juz 12, (Beirut:
Muassasah al-A’la li al-Matbu’at, tt), h. 331
Muhammad Fuad ‘Abd al-Baqiy, al-Mu’jam al-Mufahras Li Alfaz Al-Qur’an al-Karim
(Beirut: Dar al-Fikr, 1981)
Muhammad Mutawalli Sya’rawi, Adalatullah:Keadilan dan Hidayah Allah, terj.
Ahsan Askan, (Jakarta: Cendekia, 2005)
Murtadha Muthahhari, Islam dan Tantangan Zaman, Terj. Ahmad Sobandi,
(Bandung: Pustaka Hidayah, 1996)
Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Al-Qur’an al-Hakim, (Tafsir al-Manar), Juz V,
(Mesir: Maktabah al-Qahirah, 1379/1960)
Nurcholish Madjid, "Konsep Keadilan dalam Al-Qur'ān dan Kemungkinan
Perwujudannya dalam Konteks Zaman Modern", (Serie KKA Paramadina,
No. 35/Tahun. III/1997)

16

Nashr al-Din Abu al-Khair ‘Abdullah bin ‘Umar al-Baidhawi, Anwar al-Tanzil wa Asrar
al-Ta’wil, Juz I, (Mesir: Mushthafa al-Bab al-Halabi, 1939/1358)
Sayyid Quthb, Fi Dhilal Al-Qur’an, Juz V, (Beirut: Dar al-Ihya’ al-Turas al-‘Arabi,
1386/1967)

17