Reformulasi Konsep Ekoturisme Berbasis P

I SBN : 9 7 8 -6 0 2 -5 0 7 3 0 -0 -7

Prosiding Seminar Nasional Planoearth#1 2017
Program Studi Teknik Perencanan Wilayah dan Kota
Universitas Muhammadiyah Mataram-NTB
Alamat: Jl. KH. Ahmad Dahlan No 1 Pagesangan – Kota Mataram – 83127
Telp/Fax : (0370) 631904
Online: http://planoearth.ummat.ac.id

Tema: Implementasi New Urban Agenda Melalui Pengembangan Pariwisata Yang Berbasis
Budaya Lokal dan Pemberdayaan Komunitas
Isi: 1. Pembicara Utama / Keynote Speaker
2. Studi Pariwisata Perkotaan
3. Pengembangan Infrastruktur dan Sistem Informasi Terhadap Kepariwisataan
4. Pemberdayaan Komunitas Terhadap Kepariwisataan
5. Pengelolaan Lingkungan Terhadap Kepariwisataan

ISBN: 978-602-50730-0-7
Reviewer:
Dr. Eng. Islamy Rusyida.,MT
Dr. Ibrahim Ali, M.Sc

Editor:
Ima Rahmawati Sushanti, ST.,M.MT
Fariz Primadi Hirsan, ST.,MT
Baiq Harly Widayanti, ST.,MM
Febrita Susanti, ST.,M.Eng
Sri Apriani Puji Lestari, ST.,MT
Yusril Ihza Mahendra, ST.,MT
Desain Sampul:
Ardi Yuniarman ST.,M.Sc
Agus Kurniawan, S.Ip.,M.Eng
Rasyid Ridha ST.,M.Si
Nahrul Hayat Imansyah, ST.,M.Si
Diterbitkan Oleh:
Program Studi Perencanaan Wilayah Dan Kota
Fakultas Teknik
Universitas Muhammadiyah Mataram

Hak cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apapun


tanpa ijin tertulis dari penerbit
Seminar Nasional Planoearth#1 – “Implementasi New Urban Agenda Melalui Pengembangan Pariwisata yang Berbasis Budaya Lokal dan
Pemberdayaan Komunitas” - Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Muhammadiyah Mataram, 2017

Reformulasi
Konsep Ekoturisme Berbasis Partisipasi Masyarakat
1

Wara Indira Rukmi
Fakultas Teknik, Universitas Brawijaya, Malang
1
Email: wara_indira@yahoo.com

1

ABSTRAK
Belajar dari kegagalan penyelesaian persoalan kerusakan lingkungan atau
relasi disharmonis antara manusia dan lingkungan alam selama ini, maka perlu
menempatkan pemahaman filosofis sebagai standpoint terhadap persoalan
lokal-kontemporer relasi manusia dengan alam. Ini hanya dapat digali melalui

pemahaman tentang relasi manusia dengan ruang atau lingkungan. Dalam
kerangka pandangan tersebut, maka konsep ―ekoturisme‖ adalah alat untuk
mewujudkan tujuan penyelenggaraan kepariwisataan yang memegang teguh
dan menerapkan nilai yang dikandung dalam prinsip penyelenggaraan
kepariwisataan Indonesia dan konsep sustainable and responsible tourism
seperti yang dirumuskan oleh UNWTO (2005). Dalam hal ini, pemahaman
tentang budaya atau cara manusia berkomunikasi, melestarikan dan
mengembangkan pengetahuan serta sikapnya terhadap ruang hidup dan
kehidupannya adalah titik tolak bagi upaya preskriptif-implementatif berkenaan
dengan pelestarian budaya dan lingkungan, khususnya basis praksis
pengembangan dan keberlanjutan sektor ekonomi-pariwisata.
Trend pemikiran tentang pembangunan berkelanjutan yang menuntut adanya
partisipasi masyarakat dalam setiap upaya pembangunan berlandaskan
pandangan politikal-ekonomi liberal, dikhawatirkan menuai runtuhnya makna
penting dari objek itu sendiri. Eksistensi sebuah jalinan ruang alam dan buatan
dengan pandangan hidup-kehidupan, gagasan, cita-cita, orientasi nilai dan
sistem kepercayaan dari suatu individu/kelompok yang terwariskan dari generasi
ke generasi, yang menjadi identitas lokal dan perlu dilestarikan. Karena itu,
penerapan ekoturisme harus dikembalikan kepada tujuan dasarnya, yaitu
pelestarian. Demikian, sehingga reformulasi konsep ekoturisme signifikan untuk

dilakukan.
Kata kunci: Ekoturisme, Partisipasi Masyarakat, Reformulasi

I. PENDAHULUAN
―Every time we travel, for whatever reason, we are part of a global
movement; a movement that has the power to drive inclusive
development, create jobs and build the sustainable societies we want for
our future; a movement that builds mutual understanding and can help us
safeguard our shared natural and cultural heritage.‖
Dikutip oleh Menteri Pariwisata Republik Indonesia (2015) dari pernyataan
Sekjen UNWTO (2012), bahwa setiap kali kita melakukan perjalanan untuk alasan apa
pun, kita adalah bagian dari gerakan global. Sebuah gerakan yang memiliki kekuatan
untuk mendorong pembangunan yang inklusif, menciptakan lapangan kerja dan
membangun masyarakat berkelanjutan yang kita inginkan untuk masa depan kita.
Sebuah gerakan membangun rasa saling pengertian dan membantu menjaga warisan
alam dan budaya bersama. Dengan tujuan tersebut, semestinya wisata tak saja
menawarkan eskapisme, yang dipahami sekadar sebagai sebuah jalan keluar dari
rutinitas keseharian dengan iming-iming keindahan alam, surga-surga dunia, dan atau
lorong-lorong perkotaan yang menawarkan sejuta romantisme. Meski tujuan tak
692

Seminar Nasional Planoearth#1 – “Implementasi New Urban Agenda Melalui Pengembangan Pariwisata yang Berbasis Budaya Lokal dan
Pemberdayaan Komunitas” - Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Muhammadiyah Mataram, 2017

menemukan realitanya, namun karena keduanyalah maka pariwisata senantiasa
dipandang dengan positif.
Beberapa tahun terakhir, terutama pada era pemerintahan Indonesia saat ini,
pariwisata menggeliat menjadi primadona dan dicap sebagai juru selamat dari rutinitas
yang dianggap membosankan. Dengan kemasan industri yang cantik, pariwisata
menjadi sumber pemasukan utama bagi negara.3 Tak dapat dihindari, pariwisata pun
identik dengan bisnis, perhotelan, hospitality, dan banyak hal lain yang terkait dengan
mendatangkan, memanjakan dan mengeruk ―kantong‖ wisatawan di destinasi. Seperti
yang tersirat dibalik slogan yang melekat pada peringatan World Tourism Day 2015, ―1
Billion Tourists, 1 Billion Opportunities‖. Harapan munculnya sejuta peluang yang
bermuara pada tujuan devisa negara.
Di Indonesia, studi kritis tentang pariwisata masih merupakan barang langka.
Hal ini mungkin disebabkan oleh segala keindahan yang ditawarkan. Gejala yang
sama juga berlaku di dunia. Namun demikian, pada tahun 1970-an mulai tampak
adanya perkembangan analisis kritis soal pariwisata. Holden (2016) mencatat bahwa
status pariwisata sebagai ―smokeless industry‖ pada era tersebut, mulai digugat.
Banyak ahli juga membeberkan berbagai dampak negatif pariwisata terhadap

lingkungan, juga terhadap budaya lokal. Holden menyatakan bahwa wisata budaya
etnik mencapai puncaknya sekitar tahun 1980-an. Analisis kritis tentang ekses negatif
pariwisata pun bermunculan pada waktu tersebut. Di Indonesia, Bali dan Toraja
menjadi contoh muram objek pariwisata yang sering diekspos.
Gigantisme sektoral yang terjadi di Indonesia tak dapat dipungkiri dipicu oleh
industri pariwisata yang selalu menempati urutan ke-4 atau ke-5 penghasil devisa bagi
negara dalam beberapa tahun terakhir. Dengan target kunjungan wisatawan
mancanegara (wisman) tahun 2019 sebesar 20 juta dan wisatawan nusantara
(wisnus) sebesar 275 juta, maka pemerintah menetapkan pariwisata sebagai salah
satu sektor unggulan dan memberikan anggaran belanja yang naik cukup signifikan
demi tercapainya target utama pembangunan (Kemenpar RI, 2015). Tak dapat
dipungkiri, target pembangunan kepariwisataan adalah identik dengan target utama
pembangunan. Implikasinya, demi tercapainya target tersebut, maka komodifikasi
budaya kontemporer hingga warisan leluhur dan atau lanskap alamiah --pegunungan
dan lautan-- dianggap sah dan terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia.
Sejalan dengan tujuan mewujudkan penyelenggaraan kepariwisataan yang
memegang teguh dan menerapkan nilai dalam prinsip penyelenggaraan
kepariwisataan Indonesia dan konsep sustainable and responsible tourism yang
dirumuskan UNWTO (2005), yaitu: 1) kepariwisataan berbasis budaya, yang
dimengerti sebagai kegiatan kepariwisataan berlandaskan nilai-nilai agama, budaya,

adat-istiadat dan tradisi bangsa Indonesia; 2) kepariwisataan berbasis masyarakat,
yaitu
bertujuan
utama
mensejahterakan
masyarakat
setempat
dengan
memberdayakan, peran serta langsung serta kepemilikan secara proporsionalitas
untuk kemanfaatan sebesar-besarnya bagi masyarakat; dan 3) kepariwisataan
berbasis lingkungan, menempatkan alam pada kedudukan yang sama sebagai ciptaan
Tuhan, menggunakan sekaligus melestarikan alam agar dapat dimanfaatkan oleh
3

Disampaikan oleh Deputi Bidang Pengembangan Destinasi dan Investasi Pariwisata
Kementerian Pariwisata (DBPDIP Kemenpar) pada Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Kemenpar
dala te a Akselerasi Pembangunan Kepariwisataan dalam Rangka Pencapaian Target 12 JutaWisman
da 6 Juta Wis us
6 , bahwa kontribusi sektoral pariwisata terhadap PDB tahun 2014 sebesar 9%
akan ditingkatkan menjadi 15% di tahun 2019. Selain itu, devisa sebesar 140 triliun dan serapan tenaga

kerja sebesar 11 juta pada tahun 2014, akan ditingkatkan menjadi 280 triliun dan 13 juta pada tahun
2019.

693
Seminar Nasional Planoearth#1 – “Implementasi New Urban Agenda Melalui Pengembangan Pariwisata yang Berbasis Budaya Lokal dan
Pemberdayaan Komunitas” - Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Muhammadiyah Mataram, 2017

generasi yang akan datang; maka tulisan ini mengajukan refleksi kritis tentang konsep
―ekoturisme berbasis partisipasi masyarakat‖.
Dalam kerangka tujuan tersebut, maka pemahaman tentang budaya atau cara
manusia berkomunikasi, melestarikan dan mengembangkan pengetahuan serta
sikapnya terhadap ruang hidup dan kehidupannya adalah standpoint bagi upaya
preskriptif-implementatif dalam pelestarian budaya dan lingkungan, sebagai basis
praksis pengembangan dan keberlanjutan sektor ekonomi pariwisata.
II. METODE
Tulisan ini didasarkan pada kajian yang bersifat desk study dan dikategorikan
dalam jenis penelitian content analysis. Pilihan jenis penelitian ini menuntut berlakunya
beberapa prinsip, yaitu 1) melakukan analisis hanya terhadap isi teori atau dokumen
yang tersedia secara sekunder; 2) analisis dilakukan terhadap: definisi, tema, topik,
ideologi, paradigma, dan atau pernyataan-pernyataan khusus; 3) dilakukan secara

obyektif dan sistematis dengan cara mendialogkan dengan sumber lain yang relevan;
dan 4) membangun generalisasi ilmu dan atau teori, sehingga hasil akhirnya harus
memberikan sumbangan teoritik yang relevan. Berdasarkan prinsip tersebut, maka
sumber data utama dalam penelitian ini adalah dokumen sekunder atau tertulis,
sehingga tidak menuntut adanya kunjungan lapangan.
Prinsip analisis dalam metode content analysis adalah melakukan analisis intertextual atau memaknai teks melalui dialog dengan teks lain. Langkah analisis dalam
metode ini adalah: 1) penentuan unit analisis; 2) kategorisasi unit analisis; 3)
pemaknaan unit-unit yang serumpun berdasarkan karakteristiknya; 4) pemaknaan
melalui dialog dengan teks atau sumber-sumber teori lain; dan 5) konsepsualisasi atau
teorisasi hasil dialog (no 4) (Sudaryono, 2000).
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pembangunan: perkembangan paradigmatis
Terminologi ―pembangunan‖ selama ini dimengerti sebagai sebuah kata benda
yang berarti proses atau usaha yang dilakukan demi tercapainya tujuan peningkatan
kondisi: 1) lahiriah seperti sandang, pangan, papan; 2) batiniah seperti pendidikan,
rasa aman, rasa keadilan, rasa sehat; dan 3) hidup berkeadilan sosial yang meliputi
seluruh rakyat (Salim, 1987; Fakih, 2001). Dalam pengertian tersebut, ―pembangunan‖
dapat dimengerti sebagai sebuah ―perubahan sosial‖. Lebih dari itu, ―pembangunan‖
dipahami pula sebagai sebuah pandangan ideologis, teoritis dan praktik perubahan
sosial. Karenanya, membicarakan pembangunan adalah membicarakan keyakinan

ideologis atau ―isme‖ yang menjadi latar belakang terjadinya perubahan sosial.
Gagasan tentang pembangunan mengalami perkembangan luar biasa dan
seolah menjadi ―agama‖ karena janjinya untuk menyelesaikan persoalan sosial,
ekonomi, politik, dan kultural. Dalam naungan payung paradigma filsafat positivisme
hingga fenomenologis, gagasan tersebut berkembang dalam kerangka pandangan
instrumental knowledge menuju pandangan interpretatif dan critical atau emancipatory
knowledge (Barrel dan Morgan, 1979; Black, 1991; McMichael, 1996; Fakih, 2001).
Pandangan instrumental knowledge, meyakini bahwa pengetahuan dimaksudkan untuk
mendominasi objek --manusia, benda dan alam--, dan kebenaran bersifat universalgeneral, sehingga dapat diberlakukan pada semua fenomena sosial dengan cara
mempertahankan objektivitas. Pandangan ini mempercayai bahwa rakyat tidak mampu
menyelesaikan masalah sendiri. Karena itu, para ahli, perencana, dan teknisi muncul
sebagai agen solutif terhadap setiap persoalan rakyat. Sementara itu, pandangan
interpretatif dalam ilmu sosial lebih menekankan pada upaya membangun pemahaman
secara sungsuh-sungguh terhadap hakekat persoalan. Tujuan ini diyakini dapat teraih
melalui pemahaman mendalam tentang hakekat objek, dengan membangun
694
Seminar Nasional Planoearth#1 – “Implementasi New Urban Agenda Melalui Pengembangan Pariwisata yang Berbasis Budaya Lokal dan
Pemberdayaan Komunitas” - Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Muhammadiyah Mataram, 2017

subjektivitas dan menolak cara berpikir deterministik dan reduksionistik. Meski menjadi

tradisi besar dalam perkembangan pengetahuan, namun kalangan ilmuwan sosial
menganggap bahwa pengetahuan dalam naungan pandangan ini tidak dimaksudkan
sebagai proses yang membebaskan. Anggapan ini mengarahkan pada munculnya
pandangan baru, yaitu pandangan critical atau emancipatory knowledge yang
dipahami sebagai proses atau gerakan mempercepat perubahan untuk pembebasan
manusia dari ketidakadilan. Seperti halnya pandangan interpretatif yang menolak cara
berpikir deterministik dan reduksionistik, pandangan kritis meyakini bahwa
pengetahuan tidak mungkin bersifat netral. Berbeda dengan instumental knowledge,
pandangan kritis ini menempatkan rakyat sebagai subjek utama dalam proses
perubahan, penciptaan dan pengontrol pengetahuan mereka. Demikian, sehingga
dalam pandangan ini subjektivitas, keberpihakan dan kesadaran berperan penting
dalam membangun pengetahuan.
Pada akhirnya, pandangan critical atau emancipatory knowledge menjadi dasar
ideologis dan teoritik bagi gerakan partisipatoris, baik dalam riset maupun praksis
proses perubahan sosial. Dalam pembangunan, pandangan ini juga menaungi model
pendekatan pembangunan politikal-ekonomi.
B. Pembangunan: pendekatan politikal-ekonomi
Pada prinsipnya, ekonomi dan politik dibedakan dalam tiga hal, yaitu 1) tujuan;
2) arena dan lembaga; dan 3) aktor utama atau pelaku (Clark, 1991). Ekonomi
bertujuan untuk mencapai kesejahteraan melalui pasar sebagai institusi, dengan
pelaku-pelaku individual yang dominan. Politik mencapai tujuan keadilan kolektif
menggunakan institusi pemerintah, dengan masyarakat sebagai pelaku utama.
Sementara itu, politikal-ekonomi sebagai sebuah alternatif yang berupaya
mengintegrasikan antara market dan pemerintah untuk mencapai tujuan kolektif, yaitu
kesejahteraan dan keadilan.
Berdasarkan ketiga prinsip tersebut, dikenal pandangan individualism,
hierarchism, communitarianism, dan egalitarianism yang menjadi asumsi dasar dari
paradigma politikal-ekonomi. Pandangan filosofis ini menjadi dasar kategorisasi
paradigma dalam pendekatan politikal-ekonomi, yaitu: paradigma liberal klasik, radikal,
konservatif, dan modern liberal (neo liberal). Penganut paradigma liberal klasik
meyakini bahwa kesejahteraan ekonomi dapat dicapai melalui pembentukan hierarki
sosial yang menjamin kebebasan individual. Dipengaruhi oleh semangat
enlightenment, kelompok radikal memberikan respon kepada paradigma liberal klasik
dengan menawarkan rekonstruksi sosial melalui egalitarianisme. Dalam paradigma
radikal diyakini bahwa pembangunan manusia dan ekonomi hanya tercapai bila
seluruh masyarakat diberdayakan melalui pembentukan lembaga-lembaga kolektif,
penguatan partisipasi masyarakat, dan penggunaan sumber daya secara kolektif.
Paradigma ini menjadi ide dasar dari gerakan-gerakan politik progresif yang
berkembang luar biasa di United State demi tercapainya reformasi kapitalisme
ekonomi melalui institusionalisme. Sebuah tradisi berpikir dalam kerangka pandangan
radikal yang mempercayai pentingnya peran pemerintah sebagai pengontrol dan
pengarah kegiatan perekonomian untuk mencapai tujuan kesejahteraan bersama.
Sebagai respon terhadap semangat enlightenment, muncul paradigma konservatif
yang dipengaruhi semangat romanticism. Penganut paradigma konservatif meyakini
pentingnya mempertahankan hierarki sosial untuk mencapai tujuan-tujuan individual.
Pandangan ini menganggap bahwa kekuatan hierarki sosial adalah cermin loyalitas
dan persatuan antar individu dalam masyarakat. Kaum neo liberal atau dikenal sebagai
moderm liberal merespon dengan proposisi bahwa kesejahteraan bersama adalah
jaminan pembangunan kapasitas individu secara optimal. Dalam kerangka tujuan
tersebut, maka pemerintah diperlukan untuk membangun keseimbangan antara
kepentingan individu dan kepentingan kolektif.
695
Seminar Nasional Planoearth#1 – “Implementasi New Urban Agenda Melalui Pengembangan Pariwisata yang Berbasis Budaya Lokal dan
Pemberdayaan Komunitas” - Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Muhammadiyah Mataram, 2017

Gambar 1. Konsep pembangunan berkelanjutan dalam payung paradigma politikal-ekonomi.

Pergeseran paradigma tersebut tentu saja diikuti oleh pergeseran konsep
pembangunan. Belakangan, konsep pembangunan berkelanjutan muncul dan diyakini
sebagai jawaban atas persoalan-persoalan kemanusiaan dan lingkungan yang terjadi
oleh praktik-praktik pembangunan sebelumnya.
C. Pembangunan Berkelanjutan: keadilan sosial dan kelestarian
"...development that meets the needs of the present without
compromising the ability of future generations to meet their own need.‖
Sejak tahun 1987, sudah dinyatakan oleh World Commission bahwa
pembangunan berkelanjutan adalah sebuah proses pemenuhan kebutuhan manusia
saat ini dengan jaminan terpenuhinya kebutuhan generasi di masa mendatang oleh
sumber daya yang ada. Dalam pengertian tersebut, maka semestinya dipahami bahwa
keadilan sosial dan kelestarian sumber daya adalah ruh dalam setiap upaya
pembangunan saat ini. Karenanya, pembangunan berkelanjutan sebenarnya adalah
sebuah etika politik pembangunan, yang didalamnya terkandung komitmen moral
tentang tatacara pencapaian tujuan dalam pembangunan.
Tersirat dari 17 tujuan yang ingin dicapai, terdapat tiga perspektif dasar dari
pembangunan berkelanjutan, yaitu ekonomi, sosial-budaya (manusia), dan lingkungan
hidup (ekologi). Sejalan dengan pandangan Hoehn (1996), ketiganya dipahami
sebagai sebuah kesatuan integratif yang tidak dapat saling menegasikan. Demikian,
sehingga perlu merenungkan kembali pandangan maupun orientasi pembangunan
yang berlaku. Benarkah menempatkan satu aspek sebagai aras utama, dan kedua
aspek lainnya sebagai penunjang dalam orientasi pembangunan? Jika ketiganya
memiliki bobot yang sama, bagaimana halnya dengan pandangan tentang
pembangunan yang kontekstual? Yang terikat oleh ruang, pelaku, dan waktu.
Bukankah setiap ruang, setiap komunitas, setiap waktu memiliki persoalan dan
membutuhkan pemecahan yang khas?
Ketika ―politik‖ dipahami dalam pengertian ―strategi‖, maka kecenderungan
reduktif antar aspek pembangunan berkelanjutan tersebut sangat mungkin terjadi.
Pencapaian kesejahteraan --baik individu atau masyarakat—dengan mendorong
pertumbuhan pendapatan, bermuara pada munculnya persoalan fundamental yaitu
696
Seminar Nasional Planoearth#1 – “Implementasi New Urban Agenda Melalui Pengembangan Pariwisata yang Berbasis Budaya Lokal dan
Pemberdayaan Komunitas” - Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Muhammadiyah Mataram, 2017

menempatkan manusia dan lingkungan sekedar sebagai faktor produksi. Meski secara
teoritik keberdayaan manusia adalah tujuan yang dicita-citakan, tetapi bagaimana
realitanya? Apakah keberdayaan itu cukup hanya dipahami dari turunnya angka
kemiskinan, dari kemampuan produktif yang meningkatkan nilai tambah, kehadiran
dalam sejumlah kelembagaan, kehadiran dalam setiap acara yang diprogramkan
lembaga formal setempat? Terpenuhinya kursi-kursi atau lembar-lembar absensi?
Apakah keberdayaan tidak terkait erat dengan eksistensi individu maupun komunitas
setempat? Apakah kehadiran sama dengan keberadaan? Sama dengan eksistensi?
Apakah eksistensi hanya terjadi secara eventual? Bagaimana kesehariannya?
Implementasi keadilan sosial sebagai ruh pembangunan menuai kesangsian
mendasar, dan persoalan partisipasi masyarakat pun memerlukan refleksi mendalam.
Bagaimana dengan kelestarian lingkungan?

Gambar 2. Konsep pembangunan berkelanjutan.

D. Ekoturisme: Trend pengembangan pariwisata berkelanjutan.
Selama ini ditemukan hubungan kontradiktif antara praktik pembangunan
(developmental) dan pelestarian. Beberapa pihak menganggap bahwa pelestarian
berorientasi ekosentrisme dan mengabaikan kehidupan manusia di dalamnya.
Sementara itu, praktik developmental dianggap berlandaskan pada pandangan
antroposentrisme, sehingga berbuah kerusakan lingkungan alam.
Ekoturisme, yang muncul pada tahun 1900-an, memberi jawaban atas
hubungan kontradiktif tersebut. Kemunculannya dilatar belakangi oleh anggapan
bahwa pariwisata merupakan kegiatan ekonomi global terbesar yang dapat menjadi
jalan untuk menyediakan sumber pembiayaan bagi upaya konservasi alam dan
meningkatkan nilai lahan yang dibiarkan dalam kondisi alamiahnya (Lindberg and
Donald, 1993). Seiring dengan pandangan tersebut, muncul kesadaran bahwa aktivitas
konservasi alam tak dapat dilangsungkan dengan mengorbankan warga yang selama
ini hidup dalam lingkungan tersebut. Masyarakat lokal berhak mendapat keadilan atas
ruang hidupnya. Ekoturisme menggabungkan komitmen kuat terhadap alam dan
tanggung jawab sosial. Dapat dikatakan bahwa ekoturisme adalah wujud gerakan
pembangunan berkelanjutan.
Hal ini sesuai dengan pandangan UNEP (United Nations Environmental
Program) terhadap ekoturisme terutama dalam hal keterkaitannya dengan
697
Seminar Nasional Planoearth#1 – “Implementasi New Urban Agenda Melalui Pengembangan Pariwisata yang Berbasis Budaya Lokal dan
Pemberdayaan Komunitas” - Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Muhammadiyah Mataram, 2017

konservasi, keanekaragaman hayati, dan pembangunan berkelanjutan. Ekoturisme
sebagai alat pembangunan dapat digunakan untuk mencapai tiga tujuan dasar
Konvensi Keanekaragaman Hayati, yakni :
1. melindungi keanekaragaman hayati dan budaya;
2. mempromosikan penggunaan secara berkelanjutan terhadap keanekaragaman
hayati, dengan menghasilkan pendapatan, lapangan kerja di ekoturisme;
3. membagikan keuntungan dari pembangunan ekowisata secara adil terhadap
masyarakat lokal, dengan melibatkan mereka dalam perencanaan dan
manajemen ekoturisme (Wood, 2002).
Demikian, sehingga ekoturisme adalah identik dengan sustainable tourism.
Prinsip sustainabilitas mengacu pada terbangunnya keseimbangan aspek lingkungan,
sosio-kultural; dan ekonomi berkelanjutan dalam pengembangan kegiatan wisata
(UNEP and UNWTO, 2005).
Di Indonesia, partisipasi menjadi konsep yang problematis, terutama dalam
kaitannya dengan pengembangan ekoturisme. Masyarakat Ekoturisme Internasional
(The International Ecotourism Society-TIES) menuntut pemenuhan prinsip dasar untuk
mencapai tujuan ekoturisme, yaitu:
1. menghormati budaya lokal serta sensitif terhadap keberadaan dan
pengembangan budaya; menghindari dampak negatif yang dapat merusak
integritas atau keunikan lingkungan;
2. mendidik wisatawan mengenai pentingnya konservasi dengan menyediakan
layanan informasi atau pendidikan bagi pengunjung dalam menikmati alam dan
atau budaya lokal;
3. menekankan pentingnya perencanaan dan pertumbuhan berkelanjutan dalam
industri pariwisata, dan meneliti agar pembangunan pariwisata tidak melampaui
daya dukung sosial dan lingkungan;
4. melakukan penanganan kegiatan wisata yang memberikan efek terbaik dalam
memelihara kelestarian ekologi melalui penggunaan infrastruktur yang bersahabat
dengan lingkungan;
5. menjadikan aspirasi pengunjung sebagai masukan dalam mengembangkan
kegiatan wisata;
6. memberikan kontribusi pendapatan untuk konservasi lingkungan dan warisan
budaya setempat;
7. mengarahkan pendapatan bagi kehidupan sosial-ekonomi masyarakat lokal
berkelanjutan;
8. mempertahankan presentase pendapatan yang tinggi bagi negara penyelenggara
pariwisata dengan mengutamakan penggunaan fasilitas dan jasa lokal (Wood,
1996; 2002).
Dalam tujuan tersebut, tersirat bahwa kelestarian budaya lokal dan lingkungan
alam setempat yang terwariskan dari generasi ke generasi, juga keadilan bagi
masyarakat lokal untuk mendapat kesempatan mengelola dan mencapai
kesejahteraan hidupnya adalah tujuan dasar dalam pengembangan ekoturisme.
Mempertimbangkan hal tersebut, semestinya disadari bahwa partisipasi sosial atau
partisipasi masyarakat, yang selama ini digunakan sebagai basis upaya preskriptif
pariwisata atau perencanaan pembangunan seperti yang dilakukan dalam riset-riset
terapan lain, sebenarnya adalah bagian dari budaya hidup atau potensi cultural living
dalam sebuah ruang lokal di Indonesia. Dalam hal ini ―partisipasi masyarakat‖ tidak
ditempatkan sebagai basis penerapan perencanaan pembangunan, dengan
argumentasi bahwa ―gotong-royong‖ sebagai konsepsi lokal dari ―partisipasi
698
Seminar Nasional Planoearth#1 – “Implementasi New Urban Agenda Melalui Pengembangan Pariwisata yang Berbasis Budaya Lokal dan
Pemberdayaan Komunitas” - Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Muhammadiyah Mataram, 2017

masyarakat‖ adalah salah satu tradisi yang telah terwariskan dari generasi ke generasi
(Pangarsa, 2006; Rukmi, 2014; 2015). Karena itu, ―partisipasi masyarakat‖ semestinya
dipahami sebagai bagian dari ―cultural heritage‖ itu sendiri. Jadi, mengapa dalam
tradisi pembangunan Indonesia saat ini, khususnya ekonomi-pariwisata, partisipasi
masyarakat atau gotong-royong diposisikan sekadar sebagai alat pembangunan?
Mengingat sejarah perkembangannya yang panjang, di Indonesia problem
tersebut terjadi karena konsep partisipatif ini muncul dari tradisi hidup masyarakat
Barat yang khas. Tradisi partisipasi kontradiksi dengan tradisi hidup masyarakat Barat
yang dominan individualis, berbasis konsumen, dan dominasi rasionalisme yang
menolak sosialisasi dengan kelompok-kelompok masyarakat tradisional. Karenanya,
menumbuhkan kesadaran, yang menjadi fokus dasar dalam gerakan partisipasi,
adalah sebuah tantangan berat bagi para pelaku pembangunan dalam menyelesaikan
persoalan sosialisasi pada konsumen-konsumen yang pasif. Implikasinya, tokenisme
justru muncul dan menciptakan citra keberhasilan sosialisasi antar komunitas.
Tujuan pembangunan, ekoturisme, yang telah dirumuskan disosialisasikan
pada kelompok masyarakat lokal. Ketika masyarakat lokal tersebut dikumpulkan untuk
mendapat informasi tentang program pembangunan yang akan dilakukan atas diri
mereka dan ruang hidupnya demi kesejahteraan, apakah telah diketahui kesejahteraan
dalam pandangan mereka? Apakah mereka memang betul-betul memerlukan
peningkatan pendapatan untuk memenuhi kesejahteraannya? Dalam konteks
kelestarian lingkungan, apakah sudah dipahami bagaimana masyarakat berhubungan
dengan lingkungan hidupnya? Bagaimana mereka memandang lingkungannya?
Program-program pengembangan tiba-tiba datang, diinformasikan dan
―dikonsultasikan‖ kepada rakyat, tetapi mereka sebenarnya sangat sedikit atau bahkan
tidak punya sama sekali kekuatan untuk mempengaruhi keputusan dalam programprogram tersebut. Jadi, sebenarnya siapa yang diberdayakan dalam proses partisipatif
tersebut? Persoalan hospitality sudah bukan lagi rahasia merupakan perilaku hidup
masyarakat tradisional di Indonesia yang terwariskan secara turun-temurun.
Mengundang, memuliakan, dan membawa tamu dalam kehidupan keseharian, juga
bekerja sama dengan sesama warga tak sekadar kebiasaan, namun disadari sebagai
kewajiban dan kebutuhan bagi masyarakat lokal setempat. Jadi, mengapa harus
diajarkan dan diperjual belikan?
Program-program ekoturisme berbasis partisipasi masyarakat sebenarnya
penuh lubang. Lubang yang membuat terperosok ke dalam ―kosmetikanisasi‖,
eksploitasi, ko-optasi demi jaminan tercapainya motif-motif yang telah dirumuskan, dan
kolonisasi pandangan. Jika direnungkan kembali, penyimpangan dari idealisme awal
perumusan konsep tersebut menyimpan kejahatan tersembunyi. Dehumanisasi yang
menuai socio-cultural cost tak ternilai di kemudian hari.

Gambar 3. Relasi ekoturisme, ruang, dan konsep pembangunan berkelanjutan.
699
Seminar Nasional Planoearth#1 – “Implementasi New Urban Agenda Melalui Pengembangan Pariwisata yang Berbasis Budaya Lokal dan
Pemberdayaan Komunitas” - Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Muhammadiyah Mataram, 2017

E. Pemahaman kembali konsep sustainable and responsible tourism:
reformulasi.
Bukan berarti sikap skeptis terhadap konsep ekoturisme berbasis partisipasi
masyarakat dapat dibenarkan. Yang diperlukan adalah pemahaman kembali ruh dari
konsep ekoturisme yang menjadi manifestasi pembangunan berkelanjutan, yaitu
keadilan sosial dan kelestarian. Berdasarkan kasus-kasus implementatif yang terjadi,
maka reformulasi konsep ekoturisme berbasis partisipasi masyarakat perlu
dipertimbangkan dalam kerangka: 1) tujuan bagi setiap individu dan kelompok
masyarakat; 2) peran lembaga lokal atau tradisional dalam setiap pengambilan
keputusan atau perencanaan program; dan 3) hak keterlibatan individu dan komunitas
sebagai subjek dalam setiap proses pembangunan.
Tujuan pengembangan ekoturisme diarahkan pada tercapainya kesejahteraan
dan keadilan bersama. Demi tercapainya tujuan tersebut, maka diperlukan
pemahaman tentang konsepsi ―kesejahteraan, keadilan, dan kelestarian‖ yang menjadi
azas hidup masyarakat setempat dan bersumber dari pandangan hidup (keyakinan
religius dan atau kepercayaan mitologis), orientasi nilai, kesatuan ide yang mewujud
dalam tradisi dan sikap perilaku dalam beraktivitas keseharian (Rukmi, 2015; 2016).
Pengungkapan konsepsi lokal tersebut akan menjadi landasan penting dalam upaya
pencapaian kepentingan dan pengembangan karakter individual untuk memberikan
kontribusi pada kesejahteraan dan keadilan bersama. Demi mencapai kesejahteraan
kolektif dan melindungi lingkungan, maka pengembangan ekoturisme perlu
mempertahankan keteranyaman individu-individu tersebut dalam jalinan kerjasama
kooperatif atas dasar tanggung jawab bersama. Karenanya, regulasi-regulasi lokal
dalam upaya perlindungan lingkungan yang diproduksi berdasar konsensus bersama
harus mendapat dukungan. Demikian, sehingga kekuatan sosial yang ada sangat
memungkinkan dan memfasilitasi individu untuk melakukan kontrol atasnya.
Berdasarkan prinsip tersebut, maka diharapkan lubang-lubang penerapan
konsep ekoturisme berbasis partisipatif tak lagi ditemukan. Pengungkapan
pengetahuan lokal masyarakat, penghargaan terhadap individu dan lembaga sosial
setempat tidak memungkinkan para perencana untuk berjarak dengan lingkungan,
yaitu manusia dan alam setempat. Inilah humanisasi yang dicita-citakan konsep
pembangunan berkelanjutan dan ekoturisme secara khusus.

Gambar 4. Ekoturisme berbasis warisan kultural-lingkungan.

700
Seminar Nasional Planoearth#1 – “Implementasi New Urban Agenda Melalui Pengembangan Pariwisata yang Berbasis Budaya Lokal dan
Pemberdayaan Komunitas” - Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Muhammadiyah Mataram, 2017

IV. KESIMPULAN: EKOTURISME BERBASIS OBJEK
Kesadaran bahwa ekoturisme menjadi bagian dalam mewujudkan
pembangunan berkelanjutan, mengarahkan pada kesadaran baru bahwa keadilan
sosial dan kelestarian sumber daya adalah ruh dalam setiap upaya
pengembangannya. Keinginan untuk mewujudkan pembangunan yang berkeadilan
sosial, berdampak pada banyak upaya penerapan konsep ekoturisme berbasis
partisipasi masyarakat.
Di Indonesia, partisipasi masyarakat menjadi konsep yang problematis.
Program-program ekoturisme berbasis partisipasi masyarakat yang dijalankan sangat
memungkinkan untuk terperosok ke dalam lubang dehumanisasi. Karena itu
reformulasi konsep ekoturisme berbasis partisipasi masyarakat harus didasarkan pada
upaya pengungkapan pengetahuan lokal yang berazas pada potensi kultural
masyarakat, serta penghargaan terhadap karakter individual dan lembaga sosial
setempat. Hal ini mustahil untuk dapat dilakukan oleh para perencana atau peneliti
dengan mempertahankan objektivitas dan mengabaikan keberpihakan terhadap
lingkungan, yaitu manusia dan alam lokal. Dengan demikian, partisipasi masyarakat
diposisikan kembali sebagai bagian dari nilai kultural yang harus dilestarikan. Akhirnya,
konsep ekoturisme perlu dirumuskan kembali untuk menempatkan objek, yaitu objek
warisan budaya (manusia) dan lingkungan alam lokal, sebagai basis pengembangan.
DAFTAR PUSTAKA
Agus, M. (2011). Pengelolaan Ekowisata Petungkriyono Berbasis Partisipasi
Masyarakat, Prosiding, Seminar dan Lokakarya Nasional “Ekowisata
Petungkriyono
Berbasis
Kewirausahaan”.
Pekalongan:
Universitas
Pekalongan, 24 – 25 September 2011.
Attar, M., Luchman, H. dan Bagyo, Y. (2013). Analisis Potensi dan Arahan Strategi
Kebijakan Pengembangan Desa Ekowisata Di Kecamatan Bumiaji – Kota
Batu. Journal Of Indonesian Tourism and Development Studies, Vol. 1 No.
2 April, 2013.
Black, J.K. (1997). Development in Theory and Practice. Boulder, CO: Westview
Press.
Clark, B. (1991). Political Economy. A Comparative Approach. New York: Praeger.
Djaelani, MS. (2011). Etika Lingkungan dalam Pembangunan Berkelanjutan.
Econosains. Vol. IX No. 1 Maret 2011.
Fakih, M. (2002). Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Fandeli, C.; Raharjana,D.T.; Kaharudin. (2003). Pengembangan Kawasan
Pedesaan sebagai Objek Wisata (Perencanaan Model Kelembagaan, Pasar
dan Paket Wisata Pedesaan Sekitar Gunung Merapi) Yogyakarata.
Yogyakarta: Lembaga Penelitian Universitas Gadjah Mada.
Fowler, P.J. (2003). World Heritage Cultural Landscapes 1992 – 2002. Paris,
Perancis : UNESCO World Heritage Centre.
Inskeep, E. (1991). Tourism Planning, and Integrated and Sustainable Development
Approach. New York: Van Nostrand.
James, P.E and Martin, G. (1981). All Possible Worlds: A History of Geographical
Ideas. New York: John Wiley & Sons.
Morgan, D. (1979). Merchant of Grain. New York: Viking.
Pannell, S. (2006). Reconciling Nature and Culture in a Global Context: Lessons
form the World Heritage List. Australia: James Cook University.
Roseland, M. (1997). Eco-City Dimensions: Healthy Communities, Healthy Planet.

701
Seminar Nasional Planoearth#1 – “Implementasi New Urban Agenda Melalui Pengembangan Pariwisata yang Berbasis Budaya Lokal dan
Pemberdayaan Komunitas” - Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Muhammadiyah Mataram, 2017

Rukmi, W.I.; Achmad, Dj.; Sudaryono S.; Heddy S.A. (2016). The Construction of
Spatial Concept Based Upon Beliefs and Life Orientation. Nobility Building
Space of Majapahit Ancient City, Indonesia. Proceeding. Sriwijaya
International Conference on Engineering, Science and Technology (SICEST).
Bangka: Universitas Sriwijaya, 9-10 November 2016.
Rukmi, W.I. (2015). Ruang Kemulian: Konstruksi Gerak Meruang Dalam Kawasan
Pusat Situs Purbakala Majapahit. Tidak dipublikasikan. Disertasi. Yogyakarta:
UGM.
Rukmi, W.I.; Achmad, Dj.; Sudaryono S.; Heddy S.A. (2015). Monopluralitas Dalam
Ruang Pusaka Majapahit di Trowulan. Proceeding. Seminar Nasional dan
Workshop Sustainable Culture Architecture and Nature (SCAN) #6. Finding
the Fifth Element. Yogyakarta: UAJY, 21 Mei 2015.
Sudaryono. (2000). Bahan Kuliah Metodologi Penelitian untuk Program S2 MPKDI.
Yogjakarta: UGM.
Suryawan, I.B. (2013). Pengelolaan Potensi Ekowisata di Desa Cau Belayu
Kecamatan Marga Kabupaten Tabanan. Analisis Wisata, Vol. 13 No. 1 Tahun
2013, Fakultas Pariwisata Universitas Udayana, Denpasar.
UNEP and UNWTO. (2005). Making Tourism More Sustainable - A Guide for Policy
Makers.
UNESCO. (2012). Operational Guidelines for the Implementation of the World
Heritage Convention. Http://whc.unesco.org/archive/opguide12-en.pdf. Paris:
UNESCO World Heritage Centre.

702
Seminar Nasional Planoearth#1 – “Implementasi New Urban Agenda Melalui Pengembangan Pariwisata yang Berbasis Budaya Lokal dan
Pemberdayaan Komunitas” - Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Muhammadiyah Mataram, 2017

ISBN: 978-602-50730-0-7