BAB I PENDAHULUAN - Kajian Yuridis Tindak Pidana Pemalsuan Surat Izin Mengemudi (Study Putusan Nomor 600/PID.B/2009/PN.Mdn)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Pada saat ini kejahatan semakin beragam dan terus berkembang di dalam

  kehidupan masyarakat. Bukan saja pada masyarakat yang sudah maju, namun juga terdapat pada masyarakat yang sedang berkembang. Kejahatan timbul sejak manusia ada dan akan selalu ada selama manusia hidup dan mendiami bumi ini. Masalah kejahatan bukan hanya menyangkut masalah pelanggaran norma hukum saja, tetapi juga melanggar norma-norma yang lain, misalnya norma agama, norma susila, dan lain-lain. Di dalam realita kehidupan manusia kejahatan merupakan suatu permasalahan yang tidak akan pernah ada habisnya. Dengan demikian bahwa diperlukannya suatu eksistensi hukum ditengah-tengah masyarakat yang artinya hukum mempunyai keterkaitan yang erat dengan kehidupan masyarakat. Hukum sering disebut sebagai gejala sosial, dimana ada masyarakat disitu ada hukum. keberadaan hukum merupakan suatu kebutuhan masyarakat, baik kebutuhan masyarakat secara individual maupun dalam berinteraksi dengan orang lain dalam pergaulannya. Hukum bahkan dibutuhkan dalam pergaulan yang sederhana sampai pergaulan yang luas antar bangsa, karena

   hukumlah yang menjadi landasan aturan permainan dalam tata kehidupan.

  Adanya perkembangan budaya dan iptek yang sangat pesat berpengaruh terhadap perilaku manusia di dalam hidup bermasyarakat dan bernegara yang

  Hasim Purba, Suatu Pedoman Memahami Ilmu Hukum, Cahaya Ilmu, Medan, 2006, menjadikannya semakin kompleks. Perilaku yang demikian apabila dipandang dari segi hukum tentunya ada perilaku yang sesuai dengan norma dan adapula yang tidak sesuai dengan norma. Perilaku yang sesuai dengan norma tentunya tidak ada masalah, akan tetapi terhadap perilaku yang tidak sesuai dengan norma yang biasanya menimbulkan permasalahan dibidang hukum atau penyelewengan terhadap norma yang telah disepakati. Perilaku yang tidak sesuai dengan norma yang berlaku, biasanya oleh masyarakat dicap sebagai suatu pelanggaran dan bahkan suatu kejahatan. Kejahatan dalam kehidupan manusia merupakan gejala sosial yang akan selalu dihadapi oleh setiap manusia, masyarakat bahkan negara. Kenyataan telah membuktikan bahwa kejahatan dan pelanggaran hanya dapat dicegah dan dikurangi, tetapi sulit untuk diberantas secara tuntas. Antisipasi atas kejahatan dan pelanggaran tersebut diantaranya dengan memfungsikan instrumen hukum pidana secara efektif dan tepat melalui penegakan hukum (law

   enforcement ).

  Kejahatan konvensional seperti mencuri, menipu dan memalsu kualitasnya terus meningkat, karena modus operandinya terselubung cangih dan kerap kali memanfaatkan atau menyalahgunakan alat teknologi canggih seperti dalam perbuatan korupsi, pemalsuan dokumen kendaraan bermotor, pembobolan bank melalui situs komputer, kejahatan media, dan lain-lain yang terselubung.

  Salah satu bentuk kejahatan yang sering terjadi pada lingkungan masyarakat adalah pemalsuan. Kejahatan pemalsuan tidak terbatas pada kalangan masyarakat tertentu saja, melainkan setiap ada kesempatan dan tersedia objeknya maka kejahatan pemalsuan itu dapat terjadi. Delik pemalsuan merupakan bagian dari kejahatan terhadap harta benda. Kejahatan pemalsuan yang paling sering terjadi di dalam masyarakat adalah pemalsuan surat. Kejahatan mengenai pemalsuan atau disingkat dengan kejahatan pemalsuan adalah berupa kejahatan yang di dalamnya mengandung unsur keadaan ketidakbenaran atau palsu atas sesuatu (objek), yang sesuatunya itu tampak dari luar seolah-olah benar adanya

  

  padahal sesungguhnya bertentangan dengan yang sebenarnya. Juga dalam pemalsuan surat ini sangat mengemukakan terancamnya kepentingan masyarakat (terutama yang sudah melek huruf) berupa kepercayaan terhadap surat-surat yang

  

  mempunyai akibat hukum. Penyerangan terhadap kepercayaan atas kebenaran adalah perbuatan yang patut di pidana, yang oleh undang-undang ditentukan sebagai suatu kejahatan. Memberikan atau menempatkan sifat terlarangnya bagi perbuatan-perbuatan berupa penyerangan terhadap kepercayaan itu dalam undang-undang adalah berupa suatu perlindungan hukum terhadap kepercayaan atas kebenarannya dari objek-objek itu. Penggolongan kejahatan pemalsuan didasarkan atas objek dari pemalsuaan, yang jika dirincikan lebih lanjut ada 6 (enam) objek kejahatan, yaitu (1) keterangan di atas sumpah; (2) mata uang; (3)

   uang kertas; (4) materai; (5) merek; dan (6) surat.

  Kejahatan pemalsuan dengan objek pemalsuan surat yang tidak kalah banyak ditemukan di lingkungan masyarakat adalah kejahatan pemalsuan surat kendaraan bermotor. Kendaraan bermotor merupakan sarana transportasi yang 3 4 Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Pemalsuan, Rajawali Pers, Jakarta, 2000, hlm. 3.

  S.R. Sianturi, Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya, Alumni AHM-PTHM, Cetakan Pertama, Jakarta, 1983. hlm. 5. sangat dibutuhkan oleh manusia untuk mendukung kegiatan sehari-hari dalam memenuhi kebutuhannya. Transportasi adalah pergerakan manusia, barang dan informasi dari suatu tempat ke tempat lain dengan aman, nyaman, cepat, murah

   dan sesuai dengan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia.

  Transportasi yang pada intinya berupa pergerakan manusia dan barang sebenarnya hanyalah merupakan kebutuhan turunan, sedangkan kebutuhan dasar manusia adalah pemenuhan terhadap kebutuhan hidup manusia berupa barang

  

  dan jasa. Dalam usaha mewujudkan pemenuhan tersebut, seringkali terjadi perbuatan-perbuatan yang bersifat “melawan hukum” sehingga menimbulkan perselisihan di antara anggota masyarakat yang akhirnya akan menimbulkan keresahan atau ketidaktentraman dalam kehidupan masyarakat. Surat yang biasanya dipalsukan adalah seperti Surat Izin Mengemudi (yang selanjutnya disingkat dengan SIM). Yang dimana menurut Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, maka setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di jalan wajib memiliki SIM sesuai dengan

  

  jenis Kendaraan Bermotor yang dikemudikan. Dalam hal ini juga nantinya akan adanya sanksi pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp. 250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) kepada setiap orang

  6 7 Budiarto dan Mahmudah, Rekayasa Lalu Lintas, UNS Press, Malang, 2007, hlm. 1.

  Ibid.

Pasal 77 ayat (1) Undang-undang No. 22 Thn. 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan

  yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang tidak dapat

   menunjukkan Surat Izin Mengemudi yang sah.

  Maka dalam hal ini yang akan dibahas tentang pemalsuan SIM. Dalam skripsi ini juga nantinya akan dibahas putusan perkara Nomor 600/Pid.B/2009/PN.Mdn tentang tindak pidana pemalsuan SIM.

  Berdasarkan uraian di atas, maka sangatlah tertarik untuk mengkaji masalah tersebut dengan judul, “Kajian Yuridis Tindak Pidana Pemalsuan Surat Izin Mengemudi (Studi Putusan Nomor 600/Pid.B/2009/PN.Mdn)”.

B. Rumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai berikut:

  1. Bagaimana pengaturan tindak pidana pemalsuan SIM? 2.

  Bagaimana penerapan sanksi pidana terhadap pemalsuan SIM di dalam Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 600/Pid.B/2009/PN.Mdn? C.

   Tujuan dan Manfaat Penulisan

  Penelitian dan pembahasan terhadap suatu permasalahan sudah selayaknya memiliki tujuan dan manfaat sesuai dengan masalah yang dibahas. Maka yang menjadi tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

  1. Untuk mengetahui pengaturan tindak pidana pemalsuan SIM.

Pasal 288 ayat (2) Undang-undang No. 22 Thn. 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan

2. Untuk mengetahui penerapan sanksi pidana terhadap pemalsuan SIM di dalam Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 600/Pid.B/2009/PN.Mdn.

  Penulisan skripsi ini juga diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun praktis sebagai berikut:

  1. Secara teoritis, penulisan skripsi ini dapat memberikan manfaat sebagai bahan kajian maupun masukan terhadap pemahaman mengenai tindak pidana pemalsuan SIM serta pemahamannya di dalam menganalisis Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 600/Pid.B/2009/PN.Mdn.

  2. Secara praktis, penulisan skripsi ini dapat memberikan manfaat sebagai bahan referensi demi perkembangan ilmu pengetahuan, serta sebagai informasi mengenai tindak pidana pemalsuan SIM serta pemahamannya di dalam menganalisis Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 600/Pid.B/2009/PN.Mdn.

  D. Keaslian Penulisan

  Berdasarkan penelitian di Fakultas Hukum Universitas Utara, maka skripsi yang berjudul ”Kajian Yuridis Tindak Pidana Pemalsuan Surat Izin Mengemudi (Studi Putusan Nomor 600/Pid.B/2009/PN.Mdn)” belum pernah diajukan. Oleh karena itu, maka penulisan skripsi ini adalah asli dan dapat dipertanggungjawabkan.

  E. Tinjauan Kepustakaan 1.

  Pengertian tindak pidana dan unsur tindak pidana

  Menurut Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya asas-asas hukum pidana di Indonesia memberikan definisi “tindak pidana” atau dalam bahasa Belanda

  

strafbaar feit , yang sebenarnya merupakan istilah resmi dalam Strafwetboek atau

  Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yang sekarang berlaku di Indonesia. Ada istilah dalam bahasa asing, yaitu delict. Tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenai hukum pidana dan pelaku ini dapat dikatakan

   merupakan “subjek” tindak pidana.

  Sedangkan dalam buku pelajaran hukum pidana karya Adami Chazawi, menyatakan bahwa istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu “strafbaar feit“, tetapi tidak ada penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit itu. Karena itu para ahli hukum berusaha memberikan arti dan isi dari istilah itu. Sayangnya sampai kini belum

   ada keragaman pendapat.

  Strafbaar feit memiliki pengertian yang berbeda di kalangan para sarjana,

  antara lain : a.

  Rumusan Simon

  Strafbaar feit adalah sebagai suatu tindakan melanggar hukum yang telah

  dilakukan dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan

10 Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2008, hlm. 58.

  Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai

  

suatu tindakan yang dapat dihukum.

  b.

  Rumusan Van Hamel

  Strafbaar feit adalah kelakuan orang (menselijke gedraging) yang dirumuskan

  dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut di pidana

   (strafwaardig) dan dilakukan dengan kesalahan.

  c.

  Rumusan V.O.S.

  Memberikan definisi yang singkat, bahwa “strafbaar feit” kelakuan atau tingkah laku manusia, yang oleh peraturan perundang-undangan diberikan

   pidana.

  d.

  Rumusan Pompe Pompe memberikan pengertian straafbaarfeit dengan membedakan antara

  

  definisi menurut teori dengan menurut hukum positif, sebagai berikut: 1) definisi menurut teori yaitu suatu pelanggaran terhadap norma atau kaedah hukum yang dilakukan karena kesalahan si pelaku dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan hukum. 2) definisi menurut hukum positif yaitu suatu feit (kejadian) yang oleh undang-undang dirumuskan sebagai perbuatan yang dihukum.

  12 C. S. T. Kansil & Christine S. T. Kansil, Pokok-Pokok Hukum Pidana, Cetakan I, Pradnya Paramita, Jakarta, 2004, hlm. 37. 13 Moelyatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Bina Cipta, Jakarta, 2002, hlm. 56.

A. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hlm. 225.

  Istilah-istilah yang pernah digunakan baik dalam perundang-undangan yang ada maupun dari berbagai literatur hukum sebagai terjemahan dari istilah

   strafbaar feit adalah: a.

  Tindak pidana, berupa istilah resmi dalam perundang-undangan pidana kita dan hampir seluruh peraturan perundang-undangan kita menggunakan istilah ini.

  b.

  Peristiwa pidana, digunakan oleh beberapa ahli hukum misalnya, R. Tresna dalam bukunya “Azas-Azas Hukum Pidana”. Dan para ahli hukum lainnya.

  c.

  Delik, berasal dari bahasa latin “delictum” digunakan untuk menggambarkan apa yang dimaksud dengan strafbaar feit. Istilah ini dapat dijumpai di beberapa literatur, misalnya Utrect.

  d.

  Pelanggaran pidana, dijumpai dibeberapa buku pokok-pokok hukum pidana yang ditulis oleh M.H. Tirtaamidjaja.

  e.

  Perbuatan yang boleh dihukum, istilah ini digunakan oleh Karni dalam bukunya”Ringkasan tentang Hukum Pidana”.

  f.

  Perbuatan yang dapat dihukum, digunakan dalam pembentukan undang- undang dalam UUD No. 12/Drt/1951 tentang senjata api dan bahan peledak (Pasal 3).

  g.

  Perbuatan pidana, digunakan oleh Moelyatno dalam beberapa tulisan beliau.

  Menurut Moelyatno, memakai istilah perbuatan pidana yang memberi pengertian yakni perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan yang mana disertai ancaman yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar

  

  larangan tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam pada itu diingat bahwa larangan ditunjukkan kepada perbuatan, yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang, sedangkan ancaman pidananya ditunjukkan kepada orang yang menimbulkannya kejadian itu. Antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat, oleh karena antara kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian itu, ada hubungan yang erat pula. Dan justru untuk menyatakan hubungan yang erat itu, maka dipakailah perkataan perbuatan, yaitu suatu pengertian abstrak yang menunjukkan kepada dua keadaan konkrit: pertama, adanya kejadian yang tertentu dan kedua, adanya orang yang berbuat, yang menimbulkan kejadian itu.

  Usman Simanjuntak, dalam bukunya “Teknik Penuntutan dan Upaya Hukum” mengatakan bahwa perbuatan pidana adalah suatu perbuatan phisik yang

  

  termasuk kedalam perbuatan pidana. Pendapat Usman Simanjuntak ini cenderung menggunakan istilah “Perbuatan Pidana” dalam mengartikan “Straff

  

baar Feit ”, karena istilah perbuatan pidana itu lebih kongkrit yang mengarah ke

  dalam perbuatan phisik perbuatan pidana, karena tidak semua perbuatan phisik itu

17 Moelyatno, Op. Cit., 2008, hlm. 54.

  Usman Simanjutak, Teknik Penuntutan dan Upaya Hukum, Bina Cipta, Jakarta, 1994, perbuatan pidana, dan begitu juga sebaliknya dengan suatu perbuatan phisik dapat menimbulkan beberapa perbuatan pidana.

   Tindak pidana dapat dibeda-bedakan atas dasar-dasar tertentu, yaitu: a.

  Menurut sistem KUHP, dibedakan antara kejahatan (misdrijven) dimuat dalam buku II dan pelanggaran (overtredingen) dimuat dalam buku III.

  b.

  Menurut cara merumuskannya, dibedakan antara tindak pidana formil (formeel delicten) dan tindak pidana materiil (materieel delicten).

  c.

  Berdasarkan bentuk kesalahannya, dibedakan antara tindak pidana sengaja (doleus delicten) dan tindak pidana dengan tidak disengaja (culpose delicten).

  d.

  Berdasarkan macam perbuatannya, dapat dibedakan antara tindak pidana aktif/positif dapat juga disebut tindak pidana komisi (delicta commissionis) dan tindak pidana pasif/negatif, disebut juga tindak pidana omisi (delicta omissionis ).

  e.

  Berdasarkan saat dan jangka waktu terjadinya, maka dapat dibedakan antara tindak pidana terjadi seketika dan tindak pidana terjadi dalam waktu lama atau berlangsung lama/berlangsung terus.

  f.

  Berdasarkan sumbernya, dapat dibedakan antara tindak pidana umum dan tindak pidana khusus. g.

  Dilihat dari sudut subyek hukumnya, dapat dibedakan antara tindak pidana communia (yang dapat dilakukan oleh siapa saja), dan tindak pidana propria (dapat dilakukan hanya oleh orang memiliki kualitas pribadi tertentu).

  h.

  Berdasarkan perlu tidaknya pengaduan dalam hal penuntutan maka dibedakan antara tindak pidana biasa (gewone delicten) dan tindak pidana aduan (klacht

  delicten ).

  i.

  Berdasarkan berat ringannya pidana yang diancamkan, maka dapat dibedakan antara tindak pidana bentuk pokok (eencoudige delicten), tindak pidana yang diperberat (gequalificeerde delicten) dan tindak pidana yang diperingan (gequalifeceerde delicten) dan tindak pidana yang diperingan (gepriviligieerde delicten). j.

  Berdasarkan kepentingan hukum yang dilindungi, maka tindak pidana tidak terbatas macamnya bergantung dari kepentingan hukum yang dilindungi, seperti tindak pidana terhadap nyawa dan tubuh, terhadap harta benda, tindak pidana pemalsuan, tindak pidana terhadap nama baik, terhadap kesusilaan dan lain sebagainya. k.

  Dari sudut berapa kali perbuatan untuk menjadi suatu larangan, dibedakan antara tindak pidana tunggal (ekelovoudige delicten) dan tindak pidana berangkai (samengestelde delicten).

  Setiap tindak pidana (perbuatan pidana) harus terdiri dari unsur-unsur lahiriah (fakta) oleh perbuatan, mengandung kelakuan dan akibat yang

  

  ditimbulkan karenanya. Sebuah perbuatan tidak bisa begitu saja dikatakan perbuatan pidana. Oleh karena itu, harus diketahui apa saja unsur atau ciri dari perbuatan pidana itu sendiri.

  Ada begitu banyak rumusan terkait unsur-unsur dari perbuatan pidana. Setiap sarjana memiliki perbedaan dan kesamaan dalam rumusannya. Seperti P.A.F Lamintang yang merumuskan pokok-pokok perbuatan pidana sejumlah tiga sifat. Wederrechtjek (melanggar hukum), aan schuld te wijten (telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja), dan strafbaar (dapat

   dihukum).

  Adapun Cristhine-Cansil memberikan lima rumusan. Selain harus bersifat melanggar hukum, perbuatan pidana haruslah merupakan Handeling (perbuatan manusia), Strafbaar gesteld (diancam dengan pidana), toerekeningsvatbaar (dilakukan oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab), dan adanya schuld

   (terjadi karena kesalahan).

  Sementara itu, Schaffmeister, Keijzer, dan Sutoris merumuskan empat hal pokok dalam perbuatan pidana. Seperti yang terlihat dalam definisinya sendiri.

  Perbuatan pidana adalah perbuatan manusia yang termasuk dalam ruang lingkup

  

  rumusan delik, bersifat melawan hukum, dan dapat dicela. Sehingga perbuatan

  20 21 Moelyatno, Op. Cit., hlm. 64.

  P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1992, hlm. 173. 22 C. S. T. Kansil & Christine S. T. Kansil, Op. Cit., 2007, hlm. 38.

  Schaffmeister, Keijzer, dan Sutoris, Hukum Pidana, LIBERTY, Yokyakarta, 1995, pidana mengandung unsur Handeling (perbuatan manusia), termasuk dalam rumusan delik, Wederrechtjek (melanggar hukum), dan dapat dicela.

  Tidak jauh berbeda dengan berbagai rumusan di atas, Moelyatno menyebutkan bahwa perbuatan pidana terdiri dari lima elemen. Yaitu kelakuan dan akibat (perbuatan), Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan, keadaan tambahan yang memberatkan pidana, unsur melawan hukum yang

   subjektif, dan unsur melawan hukum yang objektif.

  Dari kesemua rumusan di atas dapat kita lihat bahwa ada beberapa kriteria yang satu atau dua bahkan semua sarjana menyebutkannya. Pertama, unsur melanggar hukum yang disebutkan oleh seluruh sarjana. Kedua, unsur “perbuatan” yang disebutkan oleh seluruh sarjana kecuali P.A.F Lamintang.

  Selebihnya para sarjana berbeda dalam penyebutannya.

  a.

  Handeling (perbuatan manusia) Meskipun P.A.F Lamintang tidak menyebutkan perbuatan manusia sebagai salah satu unsur perbuatan pidana. Namun, secara tidak langsung ia juga mengakui perbuatan manusia sebagai bagian dari perbuatan pidana. Jika kita berusaha untuk menjabarkan sesuatu rumusan delik ke dalam unsur-unsurnya, maka yang mula-mula dapat kita jumpai adalah disebutkannya suatu tindakan

  

  manusia. Handeling yang dimaksudkan tidak saja een doen (melakukan sesuatu) namun juga een nalaten atau niet doen (melalaikan atau tidak

  Moelyatno, Op. Cit., hlm. 69.

  

  berbuat). Juga dianggap sebagai perbuatan manusia adalah perbuatan badan

  

  hukum. Penjelasan terkait melakukan sesuatu dan tidak berbuat atau tidak melakukan sesuatu dapat dijelaskan dengan menggambarkan perbedaan antara kelakuan seorang pencuri dan kewajiban seorang ibu. Seorang pencuri dapat di pidana dikarenakan ia berbuat sesuatu. Dalam hal ini seperti yang dirumuskan dalam Pasal 362 KUHP yaitu ”Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.” Terlihat dari pasal tersebut, seorang dapat diancam karena pencurian disebabkan oleh perbuatan mengambil barang. Inilah yang disebut sebagai een doen (melakukan sesuatu). Sedangkan, seorang ibu yang tidak memberi makan kepada anaknya yang masih bayi sehingga anak itu meninggal dunia. Kini, ibu itu dapat dipersalahkan melakukan pembunuhan

  

  dari Pasal 338 KUHP. Ibu tersebut tidak diancam karena pembunuhan yang diakibatkan oleh ketidak berbuatannya. Inilah yang dikenal sebagai een

  

nalaten atau niet doen. Perlu diingat, bahwasannya ibu tersebut dapat di

  pidana dikarenakan ia memiliki kewajiban untuk merawat anaknya. Hal tersebut berdasar pada Pasal 298 KUH Perdata. Masalah ini haruslah di jelaskan demi membatasi cakupan subjek perbuatan pidana. Kalau seorang anak mati karena tidak diberi makan, maka dapat dikatakan bahwa semua orang yang tidak mencegah kelaparannya, merapas nyawa anak itu. Dengan 26 C. S. T. Kansil & Christine S. T. Kansil, Log. Cit.

  Schaffmeister, Keijzer, dan Sutoris, Log. Cit. demikian lingkuangan pembuat tidak dibatasi. Yang dapat di pidana hanya tidak adanya perbuatan yang diwajibkan oleh undang-undang.

   b.

  Wederrechtjek (melanggar hukum) Terkait dengan sifat melanggar hukum, ada empat makna yang berbeda-beda yang masing-masing dinamakan sama.

  

  1) Sifat melawan hukum formal

  Maka haruslah dijelaskan keempatnya.

  Artinya bahwa semua bagian atau rumusan (tertulis) dalam undang-undang telah terpenuhi. Seperti dalam Pasal 362 KUHP tentang pencurian. Maka rumusannya adalah:

  • Mengambil barang orang lain
  • Dengan maksud dimiliki secara melawan hukum 2)

  Sifat melawan hukum materil Artinya perbuatan tersebut telah merusak atau melanggar kepentingan hukum yang dilindungi oleh rumusan delik tersebut. Kepentingan yang hendak dilindungi pembentuk undang-undang itu dinamakan “kepentingan hukum”.

  

  3) Sifat melawan hukum umum

  Seperti di pidananya pembunuhan itu demi melindungi kepentingan hukum berupa nyawa manusia. Pencurian diancam pidana karena melindungi kepentingan hukum yaitu kepemilikan.

29 Schaffmeister, Keijzer, dan Sutoris, Op. Cit., hlm. 33.

  Ibid, hlm. 39.

  Sifat ini sama dengan sifat melawan hukum secara formal. Namun, ia lebih menuju kepada aturan tak tertulis. Dalam artian ia bertentangan dengan hukum yang berlaku umum pada masyarakat yaitu keadilan. 4)

  Sifat melawan hukum khusus Dalam undang-undang dapat ditemukan pernyataan-pernyataan tertulis terkait melawan hukum. Seperti pada rumusan delik pencurian “...dengan

  maksud untuk dimiliki secara melawan hukum..” . Meskipun pada rumusan perbuatan pidana lainnya tidak ditemukan adanya pernytaan tersebut.

  Dicontohkan dengan Pasal 338 KUHP “Barang siapa dengan sengaja

  merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.” Seperti yang terlihat dari rumusan

  pencurian, sifat perbuatan pengambilan saja tidaklah cukup untuk menyifati sebuah pencurian. Ia baru disebut mencuri bila memiliki maksud untuk memiliki secara melawan hukum. Sehingga, bila seorang mahasiswa mengambil buku mahal dari kamar temannya. Tidaklah berarti bahwa dia berbuat melawan hukum. Ini tergantung dari apakah ia telah mendapat izin dari si pemilik atau tidak.

  Selain itu, sifat melawan hukum dilihat dari sumber perlawanannya terbagi menjadi dua. Pertama, unsur melawan hukum yang objektif yaitu menunjuk

  

  kepada keadaan lahir atau objektif yang menyertai perbuatan. Hal ini digambarkan pada Pasal 164 ayat 1 KUHP:

  (1) Barang siapa memaksa masuk ke dalam rumah, ruangan atau pekarangan

  tertutup yang dipakai orang lain dengan me- lawan hukum atau berada di situ dengan melawan hukum, dan atas permintaan yang berhak atau suruhannya tidak pergi dengan segera, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

  Hal yang menjadi tuntutan atau larangan disitu ialah keadaan ekstern dari si pelaku. Yaitu tidak dizinkan atau dalam istilah di atas “dan atas permintaan

  

yang berhak atau suruhannya tidak pergi dengan segera” . Maka ia melanggar

atau melawan hukum yang objektif.

  Kedua, unsur melawan hukum yang subjektif yaitu yang kesalahan atau peanggarannya terletak dihati terdakwa sendiri. Seperti rumusan pencurian yang mencantumkan maksud pengambilan untuk memiliki barang secara melawan hukum.

  Selain kedua rumusan yang disepakati oleh banyak sarjana di atas. Masih ada begitu banyak rumusan lain yang muncul dari setiap sarjana. pada pembahasan selanjutnya kami akan mencoba menjabarkan beberapa unsur-unsur atau rumusan-rumusan tersebut.

2. Pengertian pemalsuan surat

  Pemalsuan berasal dari kata dasar palsu yang dalam Kamus Besar Bahasa

33 Indonesia artinya adalah tiruan. Pemalsuan dari bahasa Belanda yaitu Vervalsing

  

  atau Bedrog yang artinya proses, cara atau perbuatan memalsu. Pemalsuan yang artinya tidak tulen, tidak sah, tiruan, gadungan, tidak jujur, sumbang. Pemalsuan berarti proses, cara, perbuatan memalsukan. Dengan kata lain perbuatan pemalsuan merupakan suatu jenis pelanggaran terhadap kebenaran dan kepercayaan, dengan tujuan memperoleh keuntungan bagi diri sendiri atau bagi orang lain. Sedangkan, surat (geschrift) adalah suatu lembar kertas yang di atasnya terdapat tulisan yang terdiri dari kalimat dan huruf termaksud angka yang mengandung/berisi buah pikiran atau makna tertentu, yang dapat berupa tulisan tangan, dengan mesin ketik, printer komputer, dengan mesin cetakan dan dengan

   alat dan cara apapun.

  Kejahatan pemalsuan adalah kejahatan yanng di dalamnya mengandung sistem ketidak benaran atau palsu atas suatu hal (objek) yang sesuatunya itu nampak dari luar seolah-olah benar adanya, padahal sesungguhnya bertentangan

  

  dengan yang sebenarnya. Perbuatan pemalsuan merupakan suatu jenis

  

  pelanggaran terhadap dua norma dasar: a.

  Kebenaran (kepercayaan) yang pelanggaranya dapat tergolong dalam kelompok kejahatan penipuan.

  b.

  Ketertiban masyarakat, yang pelanggaranya tergolong dalam kelompok kejahatan terhadap negara/ketertiban masyarakat.

  34 35 Kamus Hukum, Pramadya Puspa, Semarang, 1997, hlm. 618. 36 Adam Chazawi, Kejahatan Terhadap Pemalsuan, Op. Cit., hlm. 97.

  Ibid., hlm. 2-3. H.A.K. Moch. Anwar, Hukum Pidana di Bidang Ekonomi, Citra Aditya Bakti, Ketidakbenaran dari sesuatu tersebut menyebabkan banyaknya masyarakat yang tidak dapat membedakan mana yang asli dan mana yang palsu hal ini dikarenakan sipelaku menggunakan banyak cara yang menyebabkan masyarakat terjebak dalam kondisi tersebut. Ketidakbenaran terhadap kebenaran tersebut dapat dilakukan dengan cara:

   a.

  Pemalsuan intelektuil dapat terdiri atas pernyataan atau pemberitahuan yang diletakkan dalam suatu tulisan atau surat, pernyataan atau pemberitahuan mana sejak semula adalah tidak benar dengan perkataan lain orang yang memberikan pernyataan atau pemberitahuan itu mengetahui atau memahami, bahwa hal itu tidak benar atau tidak sesuai dengan kebenaraan, hingga tulisan atau surat itu mempunyai isi tidak benar.

  b.

  Pemalsuan materiil 1)

  Perbuatan mengubah sesuatu benda, tanda, merk, mata uang, tulisan/huruf yang semula asli dan benar sedemikian rupa hingga benda, tanda, merk, mata uang, tulisan/surat itu menunjukkan atau menyatakan sesuatu hal yang lain daripada yang aslinya. Benda, tanda, merk, mata uang, tulisan/surat itu telah secara materiil dipalsukan, tetapi karenanya isinya juga menjadi palsu atau tidak benar;

  2) Perbuatan membuat benda, tanda, merk, mata uang atau tulisan/surat sejak semula sedemikian rupa, hingga mirip dengan yang aslinya atau yang benarnya, tetapi bukan yang asli.

  H.A.K. Moch. Anwar, Hukum Pidana bagian khusus (KUHP buku II), Alumni, Dari pengertian tindak pidana pemalsuan ini dapat ditarik 6 (enam) objek dari tindak pidana pemalsuan seperti yang terdapat dalam KUHP yang antra lain adalah : a.

  Keterangan di atas sumpah.

  b.

  Mata uang.

  c.

  Uang kertas.

  d.

  Materai.

  e.

  Merk.

  f.

  Surat.

  Dengan perbuatan tersebut di atas, meskipun dapat digolongkan di dalam pemalsuan secara materiil, tetapi berhubung karenanya juga isinya menjadi palsu atau tidak benar, maka sekaligus terjadi pemalsuan materiil dan pemalsuan intelektuil. Pemalsuan intelektuil yang murni hanya dapat terjadi apabila suatu data/tulisan/surat merupakan data/tulisan/surat sendiri yang keseluruhannya asli, tidak diubah, tetapi pernyataan yang termuat di dalamnya adalah tidak asli atau tidak benar.

3. Pengertian kendaraan bermotor dan SIM

  Kendaraan bermotor adalah kendaraan yang digerakkan oleh peralatan teknik untuk pergerakkannya, dan digunakan untuk transportasi darat. Umumnya kendaraan bermotor menggunakan mesin pembakaran dalam, namun motor listrik dan mesin jenis lain (misalnya kendaraan listrik hibrida) juga dapat digunakan.

  Kendaraan bermotor memiliki roda, dan biasanya berjalan di atas jalanan. Jenis- jenis kendaraan bermotor dapat bermacam-macam, mulai dari mobil, bus, sepeda

   motor, kendaraan off-road, truk ringan, sampai truk berat.

  Adapun esensi dari tujuan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan antara lain untuk menciptakan kondisi lalu lintas dan angkutan jalan yang selamat, aman, lancar, tertib dan teratur. Kondisi yang demikian sangat diharapkan oleh masyarakat khususnya pemakai atau pengguna jalan. Bahwa untuk menciptakan situasi dan kondisi lalu lintas yang selamat, aman, lancar, tertib dan teratur perlu ditunjang dengan sistem penindakan pelanggaran lalu lintas ya ng efektif dan berdampak positif terhadap sistem lalu lintas. Undang-undang tersebut sebagai sarana kontrol dalam perkembangan transportasi yang sangat cepat dan memiliki mobilitas yang tinggi disegala bidang yang sebagian besar dari kegiatannya menggunakan angkutan jalan sebagaimana dikatakan H.S Djajoesman “Angkutan jalan sebagaimana halnya dengan angkutan lainnya sangat penting bagi perkembangan tata kehidupan dalam bidang ideologi,

  

  politik, ekonomi, sosial dan budaya masyarakat-masyarakat Indonesia.” Menurut Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan

41 Angkutan Jalan menyebutkan bahwa: a.

  Kendaraan adalah suatu sarana angkut di jalan yang terdiri atas Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Tidak Bermotor.

  b.

  Kendaraan Bermotor adalah setiap Kendaraan yang digerakkan oleh peralatan mekanik berupa mesin selain Kendaraan yang berjalan di atas rel. 39 ISO 3833:1977, International Organization for Standardization, Diakses tanggal 6 Oktober 2012, pukul 17.26 WIB.

  H.S. Djajoesman, Polisi dan Lalu Lintas, Dinas Hukum Polri, Jakarta, 1976, hlm. 14. c.

  Kendaraan Tidak Bermotor adalah setiap Kendaraan yang digerakkan oleh tenaga manusia dan/atau hewan.

  d.

  Kendaraan Bermotor Umum adalah setiap Kendaraan yang digunakan untuk angkutan barang dan/atau orang dengan dipungut bayaran.

  SIM adalah tanda bukti legitimasi kompetensi, alat kontrol, dan data forensik kepolisian bagi seseorang yang telah lulus uji pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan untuk mengemudikan Ranmor di jalan sesuai dengan persyaratan yang ditentukan berdasarkan Undang-Undang Lalu Lintas dan

42 Angkutan Jalan.

   Adapun penggunaan golongan pada SIM yakni: a.

  Golongan SIM A berlaku untuk mengemudikan mobil penumpang dan barang perseorangan dengan jumlah berat yang diperbolehkan tidak melebihi 3.500 kg.

  b.

  Golongan SIM B I berlaku untuk mengemudikan mobil penumpang dan barang perseorangan dengan jumlah berat yang diperbolehkan lebih dari 3.500 kg.

  c.

  Golongan SIM B II berlaku untuk mengemudikan kendaraan alat berat, kendaraan penarik, atau kendaraan bermotor dengan menarik kereta tempelan atau gandengan perseorangan dengan berat yang diperbolehkan untuk kereta tempelan atau gandengan lebih dari 1.000 kg. 42 Pasal 1 ayat 4 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 9 Thn. 2012 tentang Surat Izin Mengemudi. d.

  Golongan SIM C berlaku untuk mengemudikan sepeda motor.

  e.

  Golongan SIM D berlaku untuk mengemudikan kendaraan khusus bagi penyandang cacat.

F. Metode Penelitian 1.

  Jenis penelitian Pendekatan penelitian ini dilakukan adalah pendekatan yuridis normatif yaitu penelitian dilakukan dengan cara lebih dahulu meneliti bahan-bahan perpustakaan hukum yang berhubungan dengan permasalahan dan selanjutnya melihat secara obyektif melalui ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Penelitian ini bersifat deskriptif yaitu menggambarkan dan menganalisis permasalahan yang dikemukakan yang bertujuan untuk mendeskriptifkan secara konkret tentang kajian yuridis tindak pidana pemalsuan SIM.

2. Sumber data

  Penelitian ini data yang dikumpulkan untuk selanjutnya dijadikan sebagai bahan dalam pengolahan data yang bersumber dari: Data sekunder, yakni data yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan yang berlaku, dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, undang-undang, Putusan Pengadilan dan buku-buku literatur yang menyangkut pemalsuan surat.

  3. Metode pengumpulan data Metode yang dipergunakan untuk mengumpulkan data adalah memakai data sekunder yakni studi pustaka dengan cara mempelajari literatur-literatur buku tentang pemalsuan surat.

  4. Analisa data Data akan dianalisa secara kualitatif dengan mempelajari berbagai literatur buku. Karena sifat penelitian adalah deskriptif maka semua data yang dikumpulkan dan diseleksi serta dianalisis sedang data yang diperoleh di putusan pengadilan akan di analisis sesuai dengan data yang diperlukan sehingga akan diperoleh gambaran dalam prakteknya terhadap permasalahan yang ingin di jawab.

G. Sistematika Penulisan

  Sistematika penulisan menjadi salah satu metode yang dipakai dalam melakukan penulisan skripsi. Hal ini bertujuan untuk mempermudah dalam melakukan penulisan skripsi ini. Hal ini juga bertujuan untuk mempermudah dalam menyusun serta mempermudah pembaca untuk memahami dan mengerti isi dari skripsi ini. Keseluruhan skripsi ini meliputi 4 (empat) bab yang secara garis besar isi dari bab perbab diuraikan sebagai berikut: BAB I : PENDAHULUAN Dalam bab ini diuraikan latar belakang, permasalahan, tujuan dan manfaat penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan sistematika penulisan.

  BAB II : PENGATURAN TINDAK PIDANA PEMALSUAN SIM Dalam bab ini akan diuraikan tentang bagaimana pengaturan tindak pidana pemalsuan SIM dalam hukum pidana di Indonesia. BAB III : KAJIAN YURIDIS TINDAK PIDANA PEMALSUAN SIM DITINJAU DARI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI MEDAN NOMOR 600/PID.B/2009/PN.MDN Dalam bab ini akan diuraikan tentang bagaimana pengaturan tindak pidana pemalsuan SIM di dalam Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 600/Pid.B/2009/PN.Mdn.

  BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN Bab ini merupakan bagian terakhir yang memuat kesimpulan dan saran setiap permasalahan.