Kajian Yuridis Tindak Pidana Pemalsuan Surat Izin Mengemudi (Study Putusan Nomor 600/PID.B/2009/PN.Mdn)

(1)

KAJIAN YURIDIS TINDAK PIDANA PEMALSUAN SURAT IZIN MENGEMUDI

(STUDY PUTUSAN NOMOR 600/Pid.B/2009/PN.MDN)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

Oleh:

Putra Jaya Hamonangan Manalu Nim: 070200145

Departemen Hukum Pidana

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

KAJIAN YURIDIS TINDAK PIDANA PEMALSUAN SURAT IZIN MENGEMUDI

(STUDI PUTUSAN NOMOR 600/Pid.B/2009/PN.MDN)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

Oleh:

Putra Jaya Hamonangan Manalu Nim: 070200145

Departermen Hukum Pidana Disetujui oleh:

Ketua Departemen Hukum Pidana

(M. Hamdan, SH, M.Hum) NIP: 196107021989031001

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

(Dr. Madiasa Ablisar, SH, M.Hum) (Rafiqoh Lubis, SH, M.Hum) NIP: 196104081986011002 NIP: 197407252002122002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

ABSTRAKSI

Putra Jaya Hamonangan Manalu* Dr. Madiasa Albisar S.H., M.Hum.**

Rafiqoh Lubis, S.H., M.Hum.***

Skripsi ini berbicara tentang bagaimana pengaturan tindak pidana pemalsuan Surat Izin Mengemudi (SIM) yang melihatnya dalam hukum positif di Indonesia, dimana kita tahu bahwa kendaraan bermotor seperti sepeda motor telah menjelma menjadi suatu kebutuhan yang harus dimiliki oleh setiap orang demi menunjang kegiatannya sehari-hari dalam beraktifitas, yang apabila terjadi pemalsuan SIM terkhusus pada SIM C yakni SIM untuk jenis kendaraan sepeda motor, kita dapat mengetahuinya pengaturan hukumnya.

Dari uraian di atas maka ditarik permasalahan yang mengangkat tentang: − Bagaimanakah pengaturan tindak pidana pemalsuan Surat Izin Mengemudi

(SIM)?

− Bagaimanakah penerapan sanksi pidana terhadap pemalsuan Surat Izin Mengemudi (SIM) di dalam Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 600/Pid.B/2009/PN.MDN?

Metode penelitian yang di gunakan adalah penelitian hukum normatif yakni penelitian yang mempelajari bagaimana norma-norma hukum. Penelitian ini menggunakan data skunder yang di peroleh dari berbagai literatur dan peraturan yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi ini. Di samping itu skripsi ini menganalsis putusan pengadilan negeri Medan yang memutus terdakwa telah terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana Menyuruh Membuat Surat Palsu dan Mempergunakannya dengan pidana penjara selama 10 (sepuluh) bulan.

Bahwa berdasarkan penelitian tersebut ditemukan bahwa dalam terjadinya pemalsuan SIM, pengaturan hukum atas tindak pidana pemalsuan tersebut masih memakai KUHP sebagai pengaturan umum dalam Bab XII tentang memalsukan surat-surat, dengan tidak adanya pengaturan secara khusus mengenai tindak pidana pemalsuan SIM. Dan di dalam analisis putusan pengadilan negeri Medan tersebut dinilai terlalu kecil mengingat dengan terbukti dilakukannya tindak pidana pemalsuan surat maka telah menciderai kebenaran akan kepercayaan seseorang tentang keabsahan suatu surat yang nantinya akan memiliki dampak luas seperti ketidakpastian hukum dalam

* Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara. ** Pembimbing I, Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

*** Pembimbing II, Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya ucapakan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas berkat dan rahmatNya saya dapat menyelesaikan penulisan skiripsi ini dengan semoga Tuhan tetap melindungi pada hari yang akan datang.

Telah menjadi kewajiban bagi setiap mahasiswa yang hendak menyelesaikan studinya di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara untuk menyusun dan menyelesaikan suatu skirpsi, dan untuk itu saya memberanikan diri untuk menyusun suatu skirisi dengan judul “KAJIAN YURIDIS TINDAK PIDANA PEMALSUAN SURAT IZIN MENGEMUDI (STUDI PUTUSAN NOMOR 600/Pid.B/2009/PN.MDN).”

Kepada Ayahanda Daulat Manalu dan Ibunda Suryati br. Manullang, terimakasih atas kasih sayang, doa dan dukungan kalian, baik dukungan moril maupun materiil. Abangku Riris Hariadi Parsaoran Manalu, Adik-adikku Monika br. Manalu, Lidwina br. Manalu, Sangap Andreas Manalu, Maria br. Manalu terimakasih kasih atas cinta, dukungan dan doanya. Skripsi ini saya persembahan buat kalian semua, semoga Tuhan Yang Maha Kuasa memberikan berkat dan rahmadNya kepada kalian semua.

Saya menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan serta doanya sehingga skiripsi ini dapat diselesaikan, khususnya saya mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, beserta seluruh Pembantu Dekan Fakultas


(5)

2. Bapak Muhammad Hamdan, S.H., M.Hum, selaku Ketua Departermen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan masukan dan pandangan dalam pengerjaan skripsi;

3. Ibu Liza Erwina, S.H., M.Hum., selaku Sekretaris Departermen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan masukan dan pandangan dalam pengerjaan skripsi;

4. Bapak Dr. Madiasa Ablisar, S.H., M.Hum, selaku Pembimbing I yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing, mengarahkan dan memberikan masukan, pandangan yang berguna kepada saya sehingga skiripsi ini selesai; 5. Ibu Rafiqoh Lubis, S.H., M.Hum, selaku Pembimbing II yang telah

meluangkan waktunya untuk membimbing, megarahkan dan memberikan masukan, pandangan yang berguna kepada saya sehingga skiripsi ini selesai; 6. Seluruh dosen dan staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara yang telah mangajar dan membimbing saya selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

7. Seluruf Staf Tata Usaha dan Staf Administrasi Perpustakaan serta para pegawai di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

8. Terimakasih kepada Alm. Opung Manalu, Alm. Opung br. Siregar, Opung Manullang, Opung br. Pakpak, Bapakudah, Inangudah, Bapaktua, Maktua, Tulang, Nantulang, Paman, Tante, dan seluruh Keluarga Besar Manalu serta Keluarga Besar Manullang atas segala dukungan, cinta, doa, dan kasih sayang yang telah menguatkan dan membantu saya dalam menyelesaikan skripsi ini;


(6)

9. Sahabat-sahabatku yang tersayang stambuk 2007. Terimakasih buat doa dan dukungan kalian.

Oleh karena keterbatasan saya dalam mengerjakan skirpsi ini, maka saya menyadari bahwa tulisan ini masih banyak kekurangannya, sehingga saya mengharapkan saran ataupun masukan dari pembaca semua.

Akhir kata saya, semoga skiripsi ini dapat bermanfaat dan berguna bagi kita semua. Dan ilmu yang diperoleh saya dapat dipergunakan dan diterapkan oleh penulia untuk nusa dan bangsa

Harapan saya semoga Tuhan Yang Maha Kuasa tetap melindungi kita semua. Terima kasih

Medan, 18 Desember 2012 Hormat saya,


(7)

DAFTAR ISI

Hal

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Permasalahan ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 5

D. Keaslian Penulisan... 6

E. Tinjauan Kepustakaan ... 6

1. Pengertian tindak pidana dan unsur tindak pidana ... 6

2. Pengertian pemalsuan surat ... 18

3. Pengertian kendaraan bermotor dan SIM ... 21

F. Metode Penelitian ... 24

G. Sistematika Penulisan ... 25

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA PEMALSUAN SIM ... 27

A. Pengaturan Tindak Pidana Pemalsuan Surat yang Diatur Di Dalam KUHP ... 27

1. Pemalsuan surat pada umumnya (Pasal 263 KUHP) ... 27

2. Pemlasuan surat yang diperberat (Pasal 264 KUHP) ... 40

3. Menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam akta autentik (Pasal 266 KUHP) ... 42


(8)

4. Pemalsuan surat tertentu (Pasal 269 KUHP dan Pasal 270

KUHP) ... 46

5. Menyimpan bahan atau benda untuk pemalsuan surat (Pasal 275 KUHP) ... 49

B. Pemalsuan SIM Dalam Hukum Pidana Di Indonesia... 50

BAB III KAJIAN YURIDIS TINDAK PIDANA PEMALSUAN SIM DITINJAU DARI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI MEDAN NOMOR 600/Pid.B/2009/PN.MDN ... 55

A. Posisi Kasus ... 55

1. Kronologis kasus ... 55

2. Dakwaan ... 58

3. Fakta-fakta hukum ... 58

4. Pertimbangan hakim ... 66

5. Putusan hakim ... 68

B. Analisa Kasus ... 69

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ... 82

A. Kesimpulan ... 82

B. Saran ... 83


(9)

ABSTRAKSI

Putra Jaya Hamonangan Manalu* Dr. Madiasa Albisar S.H., M.Hum.**

Rafiqoh Lubis, S.H., M.Hum.***

Skripsi ini berbicara tentang bagaimana pengaturan tindak pidana pemalsuan Surat Izin Mengemudi (SIM) yang melihatnya dalam hukum positif di Indonesia, dimana kita tahu bahwa kendaraan bermotor seperti sepeda motor telah menjelma menjadi suatu kebutuhan yang harus dimiliki oleh setiap orang demi menunjang kegiatannya sehari-hari dalam beraktifitas, yang apabila terjadi pemalsuan SIM terkhusus pada SIM C yakni SIM untuk jenis kendaraan sepeda motor, kita dapat mengetahuinya pengaturan hukumnya.

Dari uraian di atas maka ditarik permasalahan yang mengangkat tentang: − Bagaimanakah pengaturan tindak pidana pemalsuan Surat Izin Mengemudi

(SIM)?

− Bagaimanakah penerapan sanksi pidana terhadap pemalsuan Surat Izin Mengemudi (SIM) di dalam Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 600/Pid.B/2009/PN.MDN?

Metode penelitian yang di gunakan adalah penelitian hukum normatif yakni penelitian yang mempelajari bagaimana norma-norma hukum. Penelitian ini menggunakan data skunder yang di peroleh dari berbagai literatur dan peraturan yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi ini. Di samping itu skripsi ini menganalsis putusan pengadilan negeri Medan yang memutus terdakwa telah terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana Menyuruh Membuat Surat Palsu dan Mempergunakannya dengan pidana penjara selama 10 (sepuluh) bulan.

Bahwa berdasarkan penelitian tersebut ditemukan bahwa dalam terjadinya pemalsuan SIM, pengaturan hukum atas tindak pidana pemalsuan tersebut masih memakai KUHP sebagai pengaturan umum dalam Bab XII tentang memalsukan surat-surat, dengan tidak adanya pengaturan secara khusus mengenai tindak pidana pemalsuan SIM. Dan di dalam analisis putusan pengadilan negeri Medan tersebut dinilai terlalu kecil mengingat dengan terbukti dilakukannya tindak pidana pemalsuan surat maka telah menciderai kebenaran akan kepercayaan seseorang tentang keabsahan suatu surat yang nantinya akan memiliki dampak luas seperti ketidakpastian hukum dalam

* Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara. ** Pembimbing I, Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

*** Pembimbing II, Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Permasalahan

Pada saat ini kejahatan semakin beragam dan terus berkembang di dalam kehidupan masyarakat. Bukan saja pada masyarakat yang sudah maju, namun juga terdapat pada masyarakat yang sedang berkembang. Kejahatan timbul sejak manusia ada dan akan selalu ada selama manusia hidup dan mendiami bumi ini. Masalah kejahatan bukan hanya menyangkut masalah pelanggaran norma hukum saja, tetapi juga melanggar norma-norma yang lain, misalnya norma agama, norma susila, dan lain-lain. Di dalam realita kehidupan manusia kejahatan merupakan suatu permasalahan yang tidak akan pernah ada habisnya. Dengan demikian bahwa diperlukannya suatu eksistensi hukum ditengah-tengah masyarakat yang artinya hukum mempunyai keterkaitan yang erat dengan kehidupan masyarakat. Hukum sering disebut sebagai gejala sosial, dimana ada masyarakat disitu ada hukum. keberadaan hukum merupakan suatu kebutuhan masyarakat, baik kebutuhan masyarakat secara individual maupun dalam berinteraksi dengan orang lain dalam pergaulannya. Hukum bahkan dibutuhkan dalam pergaulan yang sederhana sampai pergaulan yang luas antar bangsa, karena hukumlah yang menjadi landasan aturan permainan dalam tata kehidupan.1

Adanya perkembangan budaya dan iptek yang sangat pesat berpengaruh terhadap perilaku manusia di dalam hidup bermasyarakat dan bernegara yang

1

Hasim Purba, Suatu Pedoman Memahami Ilmu Hukum, Cahaya Ilmu, Medan, 2006, hlm. 2.


(11)

menjadikannya semakin kompleks. Perilaku yang demikian apabila dipandang dari segi hukum tentunya ada perilaku yang sesuai dengan norma dan adapula yang tidak sesuai dengan norma. Perilaku yang sesuai dengan norma tentunya tidak ada masalah, akan tetapi terhadap perilaku yang tidak sesuai dengan norma yang biasanya menimbulkan permasalahan dibidang hukum atau penyelewengan terhadap norma yang telah disepakati. Perilaku yang tidak sesuai dengan norma yang berlaku, biasanya oleh masyarakat dicap sebagai suatu pelanggaran dan bahkan suatu kejahatan. Kejahatan dalam kehidupan manusia merupakan gejala sosial yang akan selalu dihadapi oleh setiap manusia, masyarakat bahkan negara. Kenyataan telah membuktikan bahwa kejahatan dan pelanggaran hanya dapat dicegah dan dikurangi, tetapi sulit untuk diberantas secara tuntas. Antisipasi atas kejahatan dan pelanggaran tersebut diantaranya dengan memfungsikan instrumen hukum pidana secara efektif dan tepat melalui penegakan hukum (law enforcement).2

Salah satu bentuk kejahatan yang sering terjadi pada lingkungan masyarakat adalah pemalsuan. Kejahatan pemalsuan tidak terbatas pada kalangan masyarakat tertentu saja, melainkan setiap ada kesempatan dan tersedia objeknya

Kejahatan konvensional seperti mencuri, menipu dan memalsu kualitasnya terus meningkat, karena modus operandinya terselubung cangih dan kerap kali memanfaatkan atau menyalahgunakan alat teknologi canggih seperti dalam perbuatan korupsi, pemalsuan dokumen kendaraan bermotor, pembobolan bank melalui situs komputer, kejahatan media, dan lain-lain yang terselubung.

2


(12)

maka kejahatan pemalsuan itu dapat terjadi. Delik pemalsuan merupakan bagian dari kejahatan terhadap harta benda. Kejahatan pemalsuan yang paling sering terjadi di dalam masyarakat adalah pemalsuan surat. Kejahatan mengenai pemalsuan atau disingkat dengan kejahatan pemalsuan adalah berupa kejahatan yang di dalamnya mengandung unsur keadaan ketidakbenaran atau palsu atas sesuatu (objek), yang sesuatunya itu tampak dari luar seolah-olah benar adanya padahal sesungguhnya bertentangan dengan yang sebenarnya.3 Juga dalam pemalsuan surat ini sangat mengemukakan terancamnya kepentingan masyarakat (terutama yang sudah melek huruf) berupa kepercayaan terhadap surat-surat yang mempunyai akibat hukum.4 Penyerangan terhadap kepercayaan atas kebenaran adalah perbuatan yang patut di pidana, yang oleh undang-undang ditentukan sebagai suatu kejahatan. Memberikan atau menempatkan sifat terlarangnya bagi perbuatan-perbuatan berupa penyerangan terhadap kepercayaan itu dalam undang-undang adalah berupa suatu perlindungan hukum terhadap kepercayaan atas kebenarannya dari objek-objek itu. Penggolongan kejahatan pemalsuan didasarkan atas objek dari pemalsuaan, yang jika dirincikan lebih lanjut ada 6 (enam) objek kejahatan, yaitu (1) keterangan di atas sumpah; (2) mata uang; (3) uang kertas; (4) materai; (5) merek; dan (6) surat.5

Kejahatan pemalsuan dengan objek pemalsuan surat yang tidak kalah banyak ditemukan di lingkungan masyarakat adalah kejahatan pemalsuan surat kendaraan bermotor. Kendaraan bermotor merupakan sarana transportasi yang

3

Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Pemalsuan, Rajawali Pers, Jakarta, 2000, hlm. 3.

4

S.R. Sianturi, Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya, Alumni AHM-PTHM, Cetakan Pertama, Jakarta, 1983. hlm. 5.

5


(13)

sangat dibutuhkan oleh manusia untuk mendukung kegiatan sehari-hari dalam memenuhi kebutuhannya. Transportasi adalah pergerakan manusia, barang dan informasi dari suatu tempat ke tempat lain dengan aman, nyaman, cepat, murah dan sesuai dengan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia.6 Transportasi yang pada intinya berupa pergerakan manusia dan barang sebenarnya hanyalah merupakan kebutuhan turunan, sedangkan kebutuhan dasar manusia adalah pemenuhan terhadap kebutuhan hidup manusia berupa barang dan jasa.7 Dalam usaha mewujudkan pemenuhan tersebut, seringkali terjadi perbuatan-perbuatan yang bersifat “melawan hukum” sehingga menimbulkan perselisihan di antara anggota masyarakat yang akhirnya akan menimbulkan keresahan atau ketidaktentraman dalam kehidupan masyarakat. Surat yang biasanya dipalsukan adalah seperti Surat Izin Mengemudi (yang selanjutnya disingkat dengan SIM). Yang dimana menurut Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, maka setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di jalan wajib memiliki SIM sesuai dengan jenis Kendaraan Bermotor yang dikemudikan.8

6

Budiarto dan Mahmudah, Rekayasa Lalu Lintas, UNS Press, Malang, 2007, hlm. 1.

7

Ibid.

8

Pasal 77 ayat (1) Undang-undang No. 22 Thn. 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Dalam hal ini juga nantinya akan adanya sanksi pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp. 250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) kepada setiap orang


(14)

yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang tidak dapat menunjukkan Surat Izin Mengemudi yang sah.9

B. Rumusan Masalah

Maka dalam hal ini yang akan dibahas tentang pemalsuan SIM. Dalam skripsi ini juga nantinya akan dibahas putusan perkara Nomor 600/Pid.B/2009/PN.Mdn tentang tindak pidana pemalsuan SIM.

Berdasarkan uraian di atas, maka sangatlah tertarik untuk mengkaji masalah tersebut dengan judul, “Kajian Yuridis Tindak Pidana Pemalsuan Surat Izin Mengemudi (Studi Putusan Nomor 600/Pid.B/2009/PN.Mdn)”.

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaturan tindak pidana pemalsuan SIM?

2. Bagaimana penerapan sanksi pidana terhadap pemalsuan SIM di dalam Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 600/Pid.B/2009/PN.Mdn?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Penelitian dan pembahasan terhadap suatu permasalahan sudah selayaknya memiliki tujuan dan manfaat sesuai dengan masalah yang dibahas. Maka yang menjadi tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui pengaturan tindak pidana pemalsuan SIM.

9

Pasal 288 ayat (2) Undang-undang No. 22 Thn. 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.


(15)

2. Untuk mengetahui penerapan sanksi pidana terhadap pemalsuan SIM di dalam Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 600/Pid.B/2009/PN.Mdn.

Penulisan skripsi ini juga diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun praktis sebagai berikut:

1. Secara teoritis, penulisan skripsi ini dapat memberikan manfaat sebagai bahan kajian maupun masukan terhadap pemahaman mengenai tindak pidana pemalsuan SIM serta pemahamannya di dalam menganalisis Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 600/Pid.B/2009/PN.Mdn.

2. Secara praktis, penulisan skripsi ini dapat memberikan manfaat sebagai bahan referensi demi perkembangan ilmu pengetahuan, serta sebagai informasi mengenai tindak pidana pemalsuan SIM serta pemahamannya di dalam menganalisis Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 600/Pid.B/2009/PN.Mdn.

D. Keaslian Penulisan

Berdasarkan penelitian di Fakultas Hukum Universitas Utara, maka skripsi yang berjudul ”Kajian Yuridis Tindak Pidana Pemalsuan Surat Izin Mengemudi (Studi Putusan Nomor 600/Pid.B/2009/PN.Mdn)” belum pernah diajukan. Oleh karena itu, maka penulisan skripsi ini adalah asli dan dapat dipertanggungjawabkan.

E. Tinjauan Kepustakaan


(16)

Menurut Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya asas-asas hukum pidana di Indonesia memberikan definisi “tindak pidana” atau dalam bahasa Belanda strafbaar feit, yang sebenarnya merupakan istilah resmi dalam Strafwetboek atau Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yang sekarang berlaku di Indonesia. Ada istilah dalam bahasa asing, yaitu delict. Tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenai hukum pidana dan pelaku ini dapat dikatakan merupakan “subjek” tindak pidana.10

Sedangkan dalam buku pelajaran hukum pidana karya Adami Chazawi, menyatakan bahwa istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu “strafbaar feit“, tetapi tidak ada penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit itu. Karena itu para ahli hukum berusaha memberikan arti dan isi dari istilah itu. Sayangnya sampai kini belum ada keragaman pendapat.11

a. Rumusan Simon

Strafbaar feit memiliki pengertian yang berbeda di kalangan para sarjana, antara lain :

Strafbaar feit adalah sebagai suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan

10

Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2008, hlm. 58.

11

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 67.


(17)

atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.12

b. Rumusan Van Hamel

Strafbaar feit adalah kelakuan orang (menselijke gedraging) yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut di pidana (strafwaardig) dan dilakukan dengan kesalahan.13

c. Rumusan V.O.S.

Memberikan definisi yang singkat, bahwa “strafbaar feit” kelakuan atau tingkah laku manusia, yang oleh peraturan perundang-undangan diberikan pidana.14

d. Rumusan Pompe

Pompe memberikan pengertian straafbaarfeit dengan membedakan antara definisi menurut teori dengan menurut hukum positif, sebagai berikut:15

1) definisi menurut teori yaitu suatu pelanggaran terhadap norma atau kaedah hukum yang dilakukan karena kesalahan si pelaku dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan hukum.

2) definisi menurut hukum positif yaitu suatu feit (kejadian) yang oleh undang-undang dirumuskan sebagai perbuatan yang dihukum.

12

C. S. T. Kansil & Christine S. T. Kansil, Pokok-Pokok Hukum Pidana, Cetakan I, Pradnya Paramita, Jakarta, 2004, hlm. 37.

13

Moelyatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Bina Cipta, Jakarta, 2002, hlm. 56.

14

A. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hlm. 225.

15


(18)

Istilah-istilah yang pernah digunakan baik dalam perundang-undangan yang ada maupun dari berbagai literatur hukum sebagai terjemahan dari istilah strafbaar feit adalah: 16

a. Tindak pidana, berupa istilah resmi dalam perundang-undangan pidana kita dan hampir seluruh peraturan perundang-undangan kita menggunakan istilah ini.

b. Peristiwa pidana, digunakan oleh beberapa ahli hukum misalnya, R. Tresna dalam bukunya “Azas-Azas Hukum Pidana”. Dan para ahli hukum lainnya.

c. Delik, berasal dari bahasa latin “delictum” digunakan untuk menggambarkan apa yang dimaksud dengan strafbaar feit. Istilah ini dapat dijumpai di beberapa literatur, misalnya Utrect.

d. Pelanggaran pidana, dijumpai dibeberapa buku pokok-pokok hukum pidana yang ditulis oleh M.H. Tirtaamidjaja.

e. Perbuatan yang boleh dihukum, istilah ini digunakan oleh Karni dalam bukunya”Ringkasan tentang Hukum Pidana”.

f. Perbuatan yang dapat dihukum, digunakan dalam pembentukan undang-undang dalam UUD No. 12/Drt/1951 tentang senjata api dan bahan peledak (Pasal 3).

g. Perbuatan pidana, digunakan oleh Moelyatno dalam beberapa tulisan beliau.

16


(19)

Menurut Moelyatno, memakai istilah perbuatan pidana yang memberi pengertian yakni perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan yang mana disertai ancaman yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut.17

Usman Simanjuntak, dalam bukunya “Teknik Penuntutan dan Upaya Hukum” mengatakan bahwa perbuatan pidana adalah suatu perbuatan phisik yang termasuk kedalam perbuatan pidana.

Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam pada itu diingat bahwa larangan ditunjukkan kepada perbuatan, yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang, sedangkan ancaman pidananya ditunjukkan kepada orang yang menimbulkannya kejadian itu. Antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat, oleh karena antara kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian itu, ada hubungan yang erat pula. Dan justru untuk menyatakan hubungan yang erat itu, maka dipakailah perkataan perbuatan, yaitu suatu pengertian abstrak yang menunjukkan kepada dua keadaan konkrit: pertama, adanya kejadian yang tertentu dan kedua, adanya orang yang berbuat, yang menimbulkan kejadian itu.

18

17

Moelyatno, Op. Cit., 2008, hlm. 54.

18

Usman Simanjutak, Teknik Penuntutan dan Upaya Hukum, Bina Cipta, Jakarta, 1994, hlm. 95.

Pendapat Usman Simanjuntak ini cenderung menggunakan istilah “Perbuatan Pidana” dalam mengartikan “Straff baar Feit”, karena istilah perbuatan pidana itu lebih kongkrit yang mengarah ke dalam perbuatan phisik perbuatan pidana, karena tidak semua perbuatan phisik itu


(20)

perbuatan pidana, dan begitu juga sebaliknya dengan suatu perbuatan phisik dapat menimbulkan beberapa perbuatan pidana.

Tindak pidana dapat dibeda-bedakan atas dasar-dasar tertentu, yaitu:19 a. Menurut sistem KUHP, dibedakan antara kejahatan (misdrijven) dimuat

dalam buku II dan pelanggaran (overtredingen) dimuat dalam buku III.

b. Menurut cara merumuskannya, dibedakan antara tindak pidana formil (formeel delicten) dan tindak pidana materiil (materieel delicten).

c. Berdasarkan bentuk kesalahannya, dibedakan antara tindak pidana sengaja (doleus delicten) dan tindak pidana dengan tidak disengaja (culpose delicten).

d. Berdasarkan macam perbuatannya, dapat dibedakan antara tindak pidana aktif/positif dapat juga disebut tindak pidana komisi (delicta commissionis) dan tindak pidana pasif/negatif, disebut juga tindak pidana omisi (delicta omissionis).

e. Berdasarkan saat dan jangka waktu terjadinya, maka dapat dibedakan antara tindak pidana terjadi seketika dan tindak pidana terjadi dalam waktu lama atau berlangsung lama/berlangsung terus.

f. Berdasarkan sumbernya, dapat dibedakan antara tindak pidana umum dan tindak pidana khusus.

19


(21)

g. Dilihat dari sudut subyek hukumnya, dapat dibedakan antara tindak pidana communia (yang dapat dilakukan oleh siapa saja), dan tindak pidana propria (dapat dilakukan hanya oleh orang memiliki kualitas pribadi tertentu).

h. Berdasarkan perlu tidaknya pengaduan dalam hal penuntutan maka dibedakan antara tindak pidana biasa (gewone delicten) dan tindak pidana aduan (klacht delicten).

i. Berdasarkan berat ringannya pidana yang diancamkan, maka dapat dibedakan antara tindak pidana bentuk pokok (eencoudige delicten), tindak pidana yang diperberat (gequalificeerde delicten) dan tindak pidana yang diperingan (gequalifeceerde delicten) dan tindak pidana yang diperingan (gepriviligieerde delicten).

j. Berdasarkan kepentingan hukum yang dilindungi, maka tindak pidana tidak terbatas macamnya bergantung dari kepentingan hukum yang dilindungi, seperti tindak pidana terhadap nyawa dan tubuh, terhadap harta benda, tindak pidana pemalsuan, tindak pidana terhadap nama baik, terhadap kesusilaan dan lain sebagainya.

k. Dari sudut berapa kali perbuatan untuk menjadi suatu larangan, dibedakan antara tindak pidana tunggal (ekelovoudige delicten) dan tindak pidana berangkai (samengestelde delicten).

Setiap tindak pidana (perbuatan pidana) harus terdiri dari unsur-unsur lahiriah (fakta) oleh perbuatan, mengandung kelakuan dan akibat yang


(22)

ditimbulkan karenanya.20

Ada begitu banyak rumusan terkait unsur-unsur dari perbuatan pidana. Setiap sarjana memiliki perbedaan dan kesamaan dalam rumusannya. Seperti P.A.F Lamintang yang merumuskan pokok-pokok perbuatan pidana sejumlah tiga sifat. Wederrechtjek (melanggar hukum), aan schuld te wijten (telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja), dan strafbaar (dapat dihukum).

Sebuah perbuatan tidak bisa begitu saja dikatakan perbuatan pidana. Oleh karena itu, harus diketahui apa saja unsur atau ciri dari perbuatan pidana itu sendiri.

21

Adapun Cristhine-Cansil memberikan lima rumusan. Selain harus bersifat melanggar hukum, perbuatan pidana haruslah merupakan Handeling (perbuatan manusia), Strafbaar gesteld (diancam dengan pidana), toerekeningsvatbaar (dilakukan oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab), dan adanya schuld (terjadi karena kesalahan).22

Sementara itu, Schaffmeister, Keijzer, dan Sutoris merumuskan empat hal pokok dalam perbuatan pidana. Seperti yang terlihat dalam definisinya sendiri. Perbuatan pidana adalah perbuatan manusia yang termasuk dalam ruang lingkup rumusan delik, bersifat melawan hukum, dan dapat dicela.23

20

Moelyatno, Op. Cit., hlm. 64.

21

P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1992, hlm. 173.

22

C. S. T. Kansil & Christine S. T. Kansil, Op. Cit., 2007, hlm. 38.

23

Schaffmeister, Keijzer, dan Sutoris, Hukum Pidana, LIBERTY, Yokyakarta, 1995, hlm.27.


(23)

pidana mengandung unsur Handeling (perbuatan manusia), termasuk dalam rumusan delik, Wederrechtjek (melanggar hukum), dan dapat dicela.

Tidak jauh berbeda dengan berbagai rumusan di atas, Moelyatno menyebutkan bahwa perbuatan pidana terdiri dari lima elemen. Yaitu kelakuan dan akibat (perbuatan), Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan, keadaan tambahan yang memberatkan pidana, unsur melawan hukum yang subjektif, dan unsur melawan hukum yang objektif.24

a. Handeling (perbuatan manusia)

Dari kesemua rumusan di atas dapat kita lihat bahwa ada beberapa kriteria yang satu atau dua bahkan semua sarjana menyebutkannya. Pertama, unsur melanggar hukum yang disebutkan oleh seluruh sarjana. Kedua, unsur “perbuatan” yang disebutkan oleh seluruh sarjana kecuali P.A.F Lamintang. Selebihnya para sarjana berbeda dalam penyebutannya.

Meskipun P.A.F Lamintang tidak menyebutkan perbuatan manusia sebagai salah satu unsur perbuatan pidana. Namun, secara tidak langsung ia juga mengakui perbuatan manusia sebagai bagian dari perbuatan pidana. Jika kita berusaha untuk menjabarkan sesuatu rumusan delik ke dalam unsur-unsurnya, maka yang mula-mula dapat kita jumpai adalah disebutkannya suatu tindakan manusia.25

24

Moelyatno, Op. Cit., hlm. 69.

25

P.A.F Lamintang, Op. Cit., hlm. 183.

Handeling yang dimaksudkan tidak saja een doen (melakukan sesuatu) namun juga een nalaten atau niet doen (melalaikan atau tidak


(24)

berbuat).26 Juga dianggap sebagai perbuatan manusia adalah perbuatan badan hukum.27 Penjelasan terkait melakukan sesuatu dan tidak berbuat atau tidak melakukan sesuatu dapat dijelaskan dengan menggambarkan perbedaan antara kelakuan seorang pencuri dan kewajiban seorang ibu. Seorang pencuri dapat di pidana dikarenakan ia berbuat sesuatu. Dalam hal ini seperti yang dirumuskan dalam Pasal 362 KUHP yaitu ”Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.” Terlihat dari pasal tersebut, seorang dapat diancam karena pencurian disebabkan oleh perbuatan mengambil barang. Inilah yang disebut sebagai een doen (melakukan sesuatu). Sedangkan, seorang ibu yang tidak memberi makan kepada anaknya yang masih bayi sehingga anak itu meninggal dunia. Kini, ibu itu dapat dipersalahkan melakukan pembunuhan dari Pasal 338 KUHP.28

26

C. S. T. Kansil & Christine S. T. Kansil, Log. Cit.

27

Schaffmeister, Keijzer, dan Sutoris, Log. Cit.

28

Wirjono Prodjodikoro, Op. Cit., hlm. 61.

Ibu tersebut tidak diancam karena pembunuhan yang diakibatkan oleh ketidak berbuatannya. Inilah yang dikenal sebagai een nalaten atau niet doen. Perlu diingat, bahwasannya ibu tersebut dapat di pidana dikarenakan ia memiliki kewajiban untuk merawat anaknya. Hal tersebut berdasar pada Pasal 298 KUH Perdata. Masalah ini haruslah di jelaskan demi membatasi cakupan subjek perbuatan pidana. Kalau seorang anak mati karena tidak diberi makan, maka dapat dikatakan bahwa semua orang yang tidak mencegah kelaparannya, merapas nyawa anak itu. Dengan


(25)

demikian lingkuangan pembuat tidak dibatasi. Yang dapat di pidana hanya tidak adanya perbuatan yang diwajibkan oleh undang-undang.29

b. Wederrechtjek (melanggar hukum)

Terkait dengan sifat melanggar hukum, ada empat makna yang berbeda-beda yang masing-masing dinamakan sama.30

1) Sifat melawan hukum formal

Maka haruslah dijelaskan keempatnya.

Artinya bahwa semua bagian atau rumusan (tertulis) dalam undang-undang telah terpenuhi. Seperti dalam Pasal 362 KUHP tentang pencurian. Maka rumusannya adalah:

• Mengambil barang orang lain

• Dengan maksud dimiliki secara melawan hukum 2) Sifat melawan hukum materil

Artinya perbuatan tersebut telah merusak atau melanggar kepentingan hukum yang dilindungi oleh rumusan delik tersebut. Kepentingan yang hendak dilindungi pembentuk undang-undang itu dinamakan “kepentingan hukum”.31

3) Sifat melawan hukum umum

Seperti di pidananya pembunuhan itu demi melindungi kepentingan hukum berupa nyawa manusia. Pencurian diancam pidana karena melindungi kepentingan hukum yaitu kepemilikan.

29

Schaffmeister, Keijzer, dan Sutoris, Op. Cit., hlm. 33.

30

Ibid, hlm. 39.

31


(26)

Sifat ini sama dengan sifat melawan hukum secara formal. Namun, ia lebih menuju kepada aturan tak tertulis. Dalam artian ia bertentangan dengan hukum yang berlaku umum pada masyarakat yaitu keadilan.

4) Sifat melawan hukum khusus

Dalam undang-undang dapat ditemukan pernyataan-pernyataan tertulis terkait melawan hukum. Seperti pada rumusan delik pencurian “...dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum..”. Meskipun pada rumusan perbuatan pidana lainnya tidak ditemukan adanya pernytaan tersebut. Dicontohkan dengan Pasal 338 KUHP “Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.” Seperti yang terlihat dari rumusan pencurian, sifat perbuatan pengambilan saja tidaklah cukup untuk menyifati sebuah pencurian. Ia baru disebut mencuri bila memiliki maksud untuk memiliki secara melawan hukum. Sehingga, bila seorang mahasiswa mengambil buku mahal dari kamar temannya. Tidaklah berarti bahwa dia berbuat melawan hukum. Ini tergantung dari apakah ia telah mendapat izin dari si pemilik atau tidak.

Selain itu, sifat melawan hukum dilihat dari sumber perlawanannya terbagi menjadi dua. Pertama, unsur melawan hukum yang objektif yaitu menunjuk kepada keadaan lahir atau objektif yang menyertai perbuatan.32

32

Moelyatno, Op. Cit., hlm. 68.

Hal ini digambarkan pada Pasal 164 ayat 1 KUHP:


(27)

(1) Barang siapa memaksa masuk ke dalam rumah, ruangan atau pekarangan tertutup yang dipakai orang lain dengan me- lawan hukum atau berada di situ dengan melawan hukum, dan atas permintaan yang berhak atau suruhannya tidak pergi dengan segera, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Hal yang menjadi tuntutan atau larangan disitu ialah keadaan ekstern dari si pelaku. Yaitu tidak dizinkan atau dalam istilah di atas “dan atas permintaan yang berhak atau suruhannya tidak pergi dengan segera”. Maka ia melanggar atau melawan hukum yang objektif.

Kedua, unsur melawan hukum yang subjektif yaitu yang kesalahan atau peanggarannya terletak dihati terdakwa sendiri. Seperti rumusan pencurian yang mencantumkan maksud pengambilan untuk memiliki barang secara melawan hukum.

Selain kedua rumusan yang disepakati oleh banyak sarjana di atas. Masih ada begitu banyak rumusan lain yang muncul dari setiap sarjana. pada pembahasan selanjutnya kami akan mencoba menjabarkan beberapa unsur-unsur atau rumusan-rumusan tersebut.

2. Pengertian pemalsuan surat

Pemalsuan berasal dari kata dasar palsu yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia artinya adalah tiruan.33

33Kamus Besar Bahasa Indonesia

, edisi ke-3, Balai Pustaka, Jakarta, 2001, hlm. 817.


(28)

atau Bedrog yang artinya proses, cara atau perbuatan memalsu.34 Pemalsuan yang artinya tidak tulen, tidak sah, tiruan, gadungan, tidak jujur, sumbang. Pemalsuan berarti proses, cara, perbuatan memalsukan. Dengan kata lain perbuatan pemalsuan merupakan suatu jenis pelanggaran terhadap kebenaran dan kepercayaan, dengan tujuan memperoleh keuntungan bagi diri sendiri atau bagi orang lain. Sedangkan, surat (geschrift) adalah suatu lembar kertas yang di atasnya terdapat tulisan yang terdiri dari kalimat dan huruf termaksud angka yang mengandung/berisi buah pikiran atau makna tertentu, yang dapat berupa tulisan tangan, dengan mesin ketik, printer komputer, dengan mesin cetakan dan dengan alat dan cara apapun.35

Kejahatan pemalsuan adalah kejahatan yanng di dalamnya mengandung sistem ketidak benaran atau palsu atas suatu hal (objek) yang sesuatunya itu nampak dari luar seolah-olah benar adanya, padahal sesungguhnya bertentangan dengan yang sebenarnya.36 Perbuatan pemalsuan merupakan suatu jenis pelanggaran terhadap dua norma dasar:37

a. Kebenaran (kepercayaan) yang pelanggaranya dapat tergolong dalam kelompok kejahatan penipuan.

b. Ketertiban masyarakat, yang pelanggaranya tergolong dalam kelompok kejahatan terhadap negara/ketertiban masyarakat.

34Kamus Hukum

, Pramadya Puspa, Semarang, 1997, hlm. 618.

35

Adam Chazawi, Kejahatan Terhadap Pemalsuan, Op. Cit., hlm. 97.

36

Ibid., hlm. 2-3.

37

H.A.K. Moch. Anwar, Hukum Pidana di Bidang Ekonomi, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990, hlm. 128.


(29)

Ketidakbenaran dari sesuatu tersebut menyebabkan banyaknya masyarakat yang tidak dapat membedakan mana yang asli dan mana yang palsu hal ini dikarenakan sipelaku menggunakan banyak cara yang menyebabkan masyarakat terjebak dalam kondisi tersebut. Ketidakbenaran terhadap kebenaran tersebut dapat dilakukan dengan cara:38

a. Pemalsuan intelektuil dapat terdiri atas pernyataan atau pemberitahuan yang diletakkan dalam suatu tulisan atau surat, pernyataan atau pemberitahuan mana sejak semula adalah tidak benar dengan perkataan lain orang yang memberikan pernyataan atau pemberitahuan itu mengetahui atau memahami, bahwa hal itu tidak benar atau tidak sesuai dengan kebenaraan, hingga tulisan atau surat itu mempunyai isi tidak benar.

b. Pemalsuan materiil

1) Perbuatan mengubah sesuatu benda, tanda, merk, mata uang, tulisan/huruf yang semula asli dan benar sedemikian rupa hingga benda, tanda, merk, mata uang, tulisan/surat itu menunjukkan atau menyatakan sesuatu hal yang lain daripada yang aslinya. Benda, tanda, merk, mata uang, tulisan/surat itu telah secara materiil dipalsukan, tetapi karenanya isinya juga menjadi palsu atau tidak benar;

2) Perbuatan membuat benda, tanda, merk, mata uang atau tulisan/surat sejak semula sedemikian rupa, hingga mirip dengan yang aslinya atau yang benarnya, tetapi bukan yang asli.

38

H.A.K. Moch. Anwar, Hukum Pidana bagian khusus (KUHP buku II), Alumni, Bandung, 1980, hlm. 155.


(30)

Dari pengertian tindak pidana pemalsuan ini dapat ditarik 6 (enam) objek dari tindak pidana pemalsuan seperti yang terdapat dalam KUHP yang antra lain adalah :

a. Keterangan di atas sumpah. b. Mata uang.

c. Uang kertas. d. Materai. e. Merk. f. Surat.

Dengan perbuatan tersebut di atas, meskipun dapat digolongkan di dalam pemalsuan secara materiil, tetapi berhubung karenanya juga isinya menjadi palsu atau tidak benar, maka sekaligus terjadi pemalsuan materiil dan pemalsuan intelektuil. Pemalsuan intelektuil yang murni hanya dapat terjadi apabila suatu data/tulisan/surat merupakan data/tulisan/surat sendiri yang keseluruhannya asli, tidak diubah, tetapi pernyataan yang termuat di dalamnya adalah tidak asli atau tidak benar.

3. Pengertian kendaraan bermotor dan SIM

Kendaraan bermotor adalah kendaraan yang digerakkan oleh peralatan teknik untuk pergerakkannya, dan digunakan untuk transportasi darat. Umumnya kendaraan bermotor menggunakan mesin pembakaran dalam, namun motor listrik dan mesin jenis lain (misalnya kendaraan listrik hibrida) juga dapat digunakan. Kendaraan bermotor memiliki roda, dan biasanya berjalan di atas jalanan.


(31)

Jenis-jenis kendaraan bermotor dapat bermacam-macam, mulai dari mobil, bus, sepeda motor, kendaraan off-road, truk ringan, sampai truk berat.39

Adapun esensi dari tujuan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan antara lain untuk menciptakan kondisi lalu lintas dan angkutan jalan yang selamat, aman, lancar, tertib dan teratur. Kondisi yang demikian sangat diharapkan oleh masyarakat khususnya pemakai atau pengguna jalan. Bahwa untuk menciptakan situasi dan kondisi lalu lintas yang selamat, aman, lancar, tertib dan teratur perlu ditunjang dengan sistem penindakan pelanggaran lalu lintas ya ng efektif dan berdampak positif terhadap sistem lalu lintas. Undang-undang tersebut sebagai sarana kontrol dalam perkembangan transportasi yang sangat cepat dan memiliki mobilitas yang tinggi disegala bidang yang sebagian besar dari kegiatannya menggunakan angkutan jalan sebagaimana dikatakan H.S Djajoesman “Angkutan jalan sebagaimana halnya dengan angkutan lainnya sangat penting bagi perkembangan tata kehidupan dalam bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial dan budaya masyarakat-masyarakat Indonesia.”40

Menurut Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menyebutkan bahwa:

41

a. Kendaraan adalah suatu sarana angkut di jalan yang terdiri atas Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Tidak Bermotor.

b. Kendaraan Bermotor adalah setiap Kendaraan yang digerakkan oleh peralatan mekanik berupa mesin selain Kendaraan yang berjalan di atas rel.

39

ISO 3833:1977, International Organization for Standardization, Diakses tanggal 6 Oktober 2012, pukul 17.26 WIB.

40

H.S. Djajoesman, Polisi dan Lalu Lintas, Dinas Hukum Polri, Jakarta, 1976, hlm. 14.

41


(32)

c. Kendaraan Tidak Bermotor adalah setiap Kendaraan yang digerakkan oleh tenaga manusia dan/atau hewan.

d. Kendaraan Bermotor Umum adalah setiap Kendaraan yang digunakan untuk angkutan barang dan/atau orang dengan dipungut bayaran.

SIM adalah tanda bukti legitimasi kompetensi, alat kontrol, dan data forensik kepolisian bagi seseorang yang telah lulus uji pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan untuk mengemudikan Ranmor di jalan sesuai dengan persyaratan yang ditentukan berdasarkan Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.42

Adapun penggunaan golongan pada SIM yakni:43 a. Golongan SIM A

berlaku untuk mengemudikan mobil penumpang dan barang perseorangan dengan jumlah berat yang diperbolehkan tidak melebihi 3.500 kg.

b. Golongan SIM B I

berlaku untuk mengemudikan mobil penumpang dan barang perseorangan dengan jumlah berat yang diperbolehkan lebih dari 3.500 kg.

c. Golongan SIM B II

berlaku untuk mengemudikan kendaraan alat berat, kendaraan penarik, atau kendaraan bermotor dengan menarik kereta tempelan atau gandengan perseorangan dengan berat yang diperbolehkan untuk kereta tempelan atau gandengan lebih dari 1.000 kg.

42

Pasal 1 ayat 4 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 9 Thn. 2012 tentang Surat Izin Mengemudi.

43


(33)

d. Golongan SIM C

berlaku untuk mengemudikan sepeda motor. e. Golongan SIM D

berlaku untuk mengemudikan kendaraan khusus bagi penyandang cacat.

F. Metode Penelitian

1. Jenis penelitian

Pendekatan penelitian ini dilakukan adalah pendekatan yuridis normatif yaitu penelitian dilakukan dengan cara lebih dahulu meneliti bahan-bahan perpustakaan hukum yang berhubungan dengan permasalahan dan selanjutnya melihat secara obyektif melalui ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Penelitian ini bersifat deskriptif yaitu menggambarkan dan menganalisis permasalahan yang dikemukakan yang bertujuan untuk mendeskriptifkan secara konkret tentang kajian yuridis tindak pidana pemalsuan SIM.

2. Sumber data

Penelitian ini data yang dikumpulkan untuk selanjutnya dijadikan sebagai bahan dalam pengolahan data yang bersumber dari:

Data sekunder, yakni data yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan yang berlaku, dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, undang-undang, Putusan Pengadilan dan buku-buku literatur yang menyangkut pemalsuan surat.


(34)

3. Metode pengumpulan data

Metode yang dipergunakan untuk mengumpulkan data adalah memakai data sekunder yakni studi pustaka dengan cara mempelajari literatur-literatur buku tentang pemalsuan surat.

4. Analisa data

Data akan dianalisa secara kualitatif dengan mempelajari berbagai literatur buku. Karena sifat penelitian adalah deskriptif maka semua data yang dikumpulkan dan diseleksi serta dianalisis sedang data yang diperoleh di putusan pengadilan akan di analisis sesuai dengan data yang diperlukan sehingga akan diperoleh gambaran dalam prakteknya terhadap permasalahan yang ingin di jawab.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan menjadi salah satu metode yang dipakai dalam melakukan penulisan skripsi. Hal ini bertujuan untuk mempermudah dalam melakukan penulisan skripsi ini. Hal ini juga bertujuan untuk mempermudah dalam menyusun serta mempermudah pembaca untuk memahami dan mengerti isi dari skripsi ini. Keseluruhan skripsi ini meliputi 4 (empat) bab yang secara garis besar isi dari bab perbab diuraikan sebagai berikut:


(35)

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab ini diuraikan latar belakang, permasalahan, tujuan dan manfaat penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II : PENGATURAN TINDAK PIDANA PEMALSUAN SIM

Dalam bab ini akan diuraikan tentang bagaimana pengaturan tindak pidana pemalsuan SIM dalam hukum pidana di Indonesia.

BAB III : KAJIAN YURIDIS TINDAK PIDANA PEMALSUAN SIM DITINJAU DARI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI MEDAN NOMOR 600/PID.B/2009/PN.MDN

Dalam bab ini akan diuraikan tentang bagaimana pengaturan tindak pidana pemalsuan SIM di dalam Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 600/Pid.B/2009/PN.Mdn.

BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini merupakan bagian terakhir yang memuat kesimpulan dan saran setiap permasalahan.


(36)

BAB II

PENGATURAN TINDAK PIDANA

PEMALSUAN SIM

A. Pengaturan Tindak Pidana Pemalsuan Surat yang Diatur Di Dalam KUHP

1. Pemalsuan surat pada umumnya (Pasal 263 KUHP)

Perbuatan pemalsuan merupakan suatu jenis pelanggaran terhadap kebenaran dan kepercayaan, dengan tujuan memperoleh keuntungan bagi diri sendiri atau bagi orang lain. Suatu pergaulan hidup yang teratur di dalam masyarakat yang teratur dan maju tidak dapat berlangsung tanpa adanya jaminan kebenaran atas beberapa bukti surat dan alat tukarnya. Karenanya perbuatan pemalsuan dapat merupakan ancaman bagi kelangsungan hidup dari masyarakat tersebut.44 Perbuatan pemalsuan dapat digolongkan pertama-tama dalam kelompok kejahatan “penipuan”, tetapi tidak semua perbuatan penipuan adalah pemalsuan. Perbuatan pemalsuan tergolong kelompok kejahatan penipuan, apabila seseorang memberikan gambaran tentang sesuatu keadaan atas sesuatu barang (surat) seakan-akan asli atau kebenaran tersebut dimilikinya. Karena gambaran ini orang lain terpedaya dan mempercayai bahwa keadaan yang digambarkan atas barang/surat tersebut itu adalah benar atau asli.45

44

H.A.K. Moch. Anwar, Hukum Pidana di Bidang Ekonomi, Log. Cit.

45

Ibid.

Pemalsuan terhadap tulisan/surat terjadi apabila isinya atas surat itu yang tidak benar digambarkan sebagai benar.


(37)

Pembahasan tentang pemalsuan surat yang tertuang di dalam Pasal 263 KUHP terlebih dahulu diuraikan aspek-aspek tentang unsur-unsur di dalam suatu tindak pidana atau perbuatan pidana itu. Seperti diketahui bersama bahwa terdapat beberapa istilah yang merupakan terjemahan dari istilah Belanda "Strafboarfrii" ke dalam bahasa Indonesia. Istilah "peristiwa pidana" adalah sebagai terjemahan dari istilah Belanda "Strafbaar feit" atau "delict". Dalam perumusan unsur-unsur delik atau tindak pidana, perbuatan pidana maupun peristiwa pidana, dikenal beberapa cara. Oleh Junkers disebutkan empat jenis metode rumusan delik di datum undang-undang, yang terdiri atas :46

a. Cara yang paling lazim adalah menerangkan isi delik dari keterangan itu dapat dijabarkan unsur-unsur perbuatan yang dapat di pidana, seperti misalnya Pasal 279, 281, 286, 242 dan sebagainya dari KUHP.

b. Dengan cara menerangkan/memberikan unsur-unsur dan memberikan pensifatan/kualitikasi, seperti misalnya pemalsuan Pasal 263, pencurian Pasal 362, penggelapan Pasal 372, penipuan Pasal 378 dari KUHP.

c. Cara yang jarang dipakai adalah hanya memberikan pensifatan kualifikasi saja seperti misalnya penganiayaan Pasal 351, pembunuhan Pasal 338 dari KUHP.

d. Kadangkala undang-undang merumuskan ancaman pidana- nya saja untuk peraturan-peraturan yang masih akan dibuat kemudian seperti misalnya, Pasal 521 dan Pasal 122 ayat 1 KUHP).

46

Mustafa Abdullah; Ruben Achmad, Intisari Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983. hlm. 12.


(38)

Tentang elemen-elemen "Strajbaar fell" oleh Vos disebutkan kemungkinan adanya beberapa elemen, yaitu:47

a. Elemen perbuatan atau kekuatan orang, dalam hal berbuat atau tidak berbuat (een doen of een whiten).

b. Elemen akibat dari perbuatan, yang terjadi dalam delik selesai.

c. Elemen subyektif yaitu kesalahan, yang diwujudkan dengan kata-kata sengaja (opzet) atau alpa (culpa).

d. Elemen melawan hukum (wederrelutellikeheid).

e. Dan sederetan elemen-elemen lain menurut rumusan undang-undang, dan dibedakan menjadi segi obyektif misalnya di dalam Pasal 160 KUHP diperlukan elemen di muka umum (in het openbaar) dan segi subyektif misalnya Pasal 340 KUHP diperlukan unsur direncanakan lebh dahulu (voorbedachterdaad).

Suatu tindak pidana atau perbuatan pidana itu juga dibagi unsur-unsurnya ke dalam dua golongan, yaitu:48

a. Unsur-unsur yang obyektif; b. Unsur-unsur yang subyektif.

Satochid Kartanegara, menerangkan tentang unsur-unsur yang obyektif adalah unsur-unsur yang terdapat di luar manusia, yaitu yang berupa :

a. suatu tindak tanduk, jadi suatu tindakan; b. suatu akibat tertentu (eem bepaald gevolg);

47

Bambang Poernomo, Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Cetakan III, Jakarta, 1978. hlm._85

48


(39)

c. keadaan (omstanddigheid), yang kesemuanya ini dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang.

Sedangkan unsur-unsur yang subyektif, dapat berupa :49

a. Toerekeningsvaibawbeid (dapat dipertanggungjawabkan).

b. Schuld (kesalahan).

Dari uraian-uraian di atas, marilah kita kaji dan bahas tentang Pasal 263 KUHP dan unsur-unsurnya di mana bunyi daripada Pasal 263 KUHP, sebagai berikut : (1) “Barangsiapa membuat surat palsu atau memalsukan surat, yang dapat

menerbitkan sesuatu hak, sesuatu perjanjian (kewajiban) atau sesuatu pembebasan utang, atau yang boleh dipergunakan atau menyuruh orang lain mempergunakan surat-surat itu seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, maka kalau mempergunakannya dapat mendatangkan sesuatu kerugian dihukum karena pemalsuan surat, dengan hukuman penjara selama-lamanya enam tahun.

(2) “Dengan hukuman serupa itu juga dihukum, barangsiapa dengan sengaja menggunakan surat palsu atau yang dipalsukan itu seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, kalau hal mempergunakan dapat mendatangkan sesuatu kerugian.

Unsur-unsur daripada Pasal 263 ayat (1) KUHP ini adalah meliputi:50 a. Unsur Objektif:

49

R.Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) serta

Komentar-komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal, Politeia, Cetakan ke-8, Bogor, 1985.

50


(40)

1) Perbuatan:

a) membuat surat palsu;

b) memalsu.

2) Objeknya yakni surat:

a) yang dapat menimbulkan hak;

b) yang menimbulkan suatu perikatan;

c) yang menimbulkan suatu pembebasan hutang;

d) yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal.

3) Dapat menimbulkan akibat kerugian dari pemakaian surat tertentu.

b. Unsur Subjektif:

Dengan maksud untuk menggunakannya sebagai surat yang asli dan tidak dipalsukan atau untuk membuat orang lain menggunakan orang tersebut. Adapun penjelasan terhadap Pasal 263 ayat (1) KUHP ini adalah:51

a. Yang diartikan surat dalam Pasal 263 ayat (1) KUHP ini adalah segala surat yang baik ditulis tangan, dicetak, maupun ditulis memakai mesin dan lain-lainnya. Namun oleh penulis, dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sekarang ini, surat tidak hanya ditulis, dicetak dan lainnya, tetapi telah ada pula surat elektronik yang tidak ditulis atau tertera pada selembar kertas.52

51

R. Soesilo, Op. Cit., hlm. 197-198.

52

R. Soesilo, Log. Cit.


(41)

bahwa surat atau tulisan adalah sesuatu yang terdiri atas serangkaian huruf- huruf yang mengandung arti dan yang memuat sesuatu isi tertentu.53

Di dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) dibedakan dua macam surat, yakni :

1) Surat berharga, terjemahan dari istilah aslinya dalam bahasa Belanda "waarde papier", di negara-negara Anglo Saxon dikenal dengan istilah “negotiable instruments”;

2) Surat yang mempunyai harga atau nilai, terjemahannya dari istilah aslinya dalam bahasa Belanda "papier van waarde"; dalam bahasa Inggrisnya "letter of value".54

Oleh Abdulkadir Muhammad, disebutkan adalah tiga fungsi utama dari surat berharga, yaitu:

1) Sebagai alat pembayaran (alat tukar uang);

2) Sebagai alat untuk memindahkan hak tagih (diperjualbelikan dengan mudah atau sederhana);

3) Sebagai surat bukti hak tagih (surat legitimasi).55 b. Surat yang dipalsu itu harus suatu surat yang:

1) dapat menerbitkan suatu hak (misalnya: ijazah, karcis tanda masuk, surat andil dan lain-lain),

2) dapat menerbitkan suatu perjanjian (misalnya: surat perjanjian piutang, perjanjian jual beli, perjanjian sewa dan sebagainya),

53

H.A.K. Moch. Anwar, Hukum Pidana Bagian Khusus KUHP Buku II, Log. Cit.

54

Abdulkadir Muhammad, Hukum Dagang tentang Surat-surat Berharga, Citra Aditya Bakti, Cetakan ke-3, Bandung, 1989. hlm. 5.

55


(42)

3) dapat menerbitkan suatu pembebasan utang (kwitansi atau surat semacam itu) atau,

4) suatu surat yang boleh dipergunakan sebagai suatu keterangan bagi sesuatu perbuatan atau peristiwa (misalnya: surat tanda kelahiran, buku tabungan pos, buku kas, buku harian kapal, surat angkutan, obligasi dan masih banyak lagi).

Walaupun pada umumnya sebuah surat tidak melahirkan secara langsung adanya suatu hak, melainkan hak itu timbul dari adanya perikatan hukum (perjanjian) yang tertuang dalam surat itu, tetapi ada surat-surat tertentu yang disebut surat formil yang langsung melahirkan suatu hak tertentu, misalnya cek, bilyet giro, wesel, surat izin mengemudi, ijazah dan lain sebagainya.

Surat yang berisi suatu perikatan pada dasarnya adalah berupa surat yang karena perjanjian itu melahirkan hak. Misalnya surat jual beli melahirkan hak si penjual untuk menerima uang pembayaran harga benda, dan pembeli mempunyai hak untuk memperoleh atau menerima benda yang dibelinya. Begitu juga dengan surat yang berisi pembebasan hutang. Lahirnya pembebasan hutang pada dasarnya disebabkan karena dan dalam hubungannya dengan suatu perikatan. Misalnya suatu Kuitansi yang bersisi penyerahan sejumlah uang tertentu dalam hal dan dalam hubungannya dengan misalnya jual beli, hutang piutang dan lain sebagainya.


(43)

Mengenai unsur “surat yang diperuntuhkan sebagi bukti akan adanya sesuatu hal” di dalamnya ada 2 (dua) hal yang perlu dibicarakan, yakni: • Mengenai diperuntuhkan sebagai bukti;

• Tentang sesuatu hal.

Sesuatu hal, adalah berupa kejadian atau peristiwa tertentu baik yang karena diadakan (misalnya perkawinan) Maupun karena peristiwa alam (misalnya kelahiran dan kematian), peristiwa mana mempunyai suatu akibat hukum.56

c. Perbuatan yang dicantum hukuman di sini ialah “membuat surat palsu” atau “memalsukan surat”.

HR dalam suatu arrestnya (22-10-1923) menyatakan bahwa “yang diperhatikan sebagai bukti suatu hal adalah kejadian yang menurut hukum mempunyai, jadi yang berpengaruh terhadap hubungan hukum orang-orang yang bersangkutan”.

“Membuat surat palsu” sama dengan membuat yang isinya bukan semestinya (tidak benar), atau membuat surat demikian rupa, sehingga menunjukkan asal surat itu yang tidak benar. Pegawai polisi membuat prosesperbal yang berisi sesuatu cerita yang tidak benar dari orang yang menerangkan kepadanya, tidak masuk pengertian membuat perbal palsu. Ia membuat proses-perbal palsu, apabila pegawai polisi itu menuliskan dalam proses proses-perbalnya lain daripada hal yang diceritakannya kepadanya oleh orang tersebut. “Memalsu surat” sama dengan mengubah surat demikian rupa, sehingga isinya menjadi lain dari isi yang asli atau sehingga surat itu menjadi lain dari

56

Soenarto Soerodibroto, KUHP dan KUHAP Dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Hoge Raad, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1994, hlm. 155.


(44)

yang asli. Adapun caranya bermacam-macam, tidak senantiasa perlu, bahwa surat itu diganti dengan yang lain. Dapat pula dilakukan dengan jalan mengurangkan, menambah atau merubah sesuatu dari surat itu. Memalsu tandatangan masuk pengertian memalsu surat dalam pasal ini. Demikian pula penempelan foto orang lain daripada pemegang yang tidak berhak dalam suatu surat ijazah sekolah, ijazah mengemudi (rijbewijs), harus dipandang dalam suatu pemalsuan.

Sedangkan perbuatan memalsu surat menurut Soenarto Soerodibroto adalah berupa perbuatan mengubah dengan cara bagaimanapun oleh orang yang tidak berhak atas sebuah surat yang berakibat sebagian atau seluruh isinya menjadi lain/berbeda dengan isi surat semula. Tidak penting apakah dengan perubahan itu lalu isinya menjadi benar atau tidak ataukah bertentangan dengan kebenaran ataukah tidak, bila perbuatan mengubah itu dilakukan oleh orang yang tidak berhak, memalsu surat telah terjadi. Orang yang tidak berhak itu adalah orang selain si pembuat surat.57

Yurisprudensi di Jawa Barat, Mahkamah Agung R.I (MARI) membenarkan bahwa pengertian pemalsuan surat dalam Pasal 263 KUHP adalah termasuk mengubah surat asli sedemikian rupa sehingga isinya atau tanggalnya atau tanda tangannya bertentangan dengan kebenaran yang mempunyai maksud tertentu, seumpamanya untuk membuktikan suatu perkara.58

Dan dalam Yurisprudensi Tetap MARI No. 40/Kr/1973, tertanggal 5 Juni 1975, menyatakan bahwa mengisi blangko kuitansi tidak mempunyai unsur

57

Ibid, hlm. 100.

58

Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia, Pengadilan Negeri Cirebon Nomor 12/1972 B, tertanggal 5 Juli 1972.


(45)

melawan hukum sepanjang pengisiannya tidak bertentangan dengan maksud dari si-penandatangan untuk apa kuitansi itu ditandatanganinya.59

Ditambahkan lagi menurut Soenarto Soerodibroto dalam hal ini ada suatu arrest HR (14-4-1913) yang menyatakan bahwa “barang siapa di bawah suatu penulisan membubuhkan tanda tangan orang lain sekalipun atas perintah dan persetujuan orang tersebut telah memalsukan tulisan itu”60

Menurut Adami Chazawi, membuat surat palsu adalah membuat sebuah surat yang seluruh atau sebagian isinya palsu. Membuat surat palsu ini dapat berupa:

Perbedaan prinsip antara perbuatan membuat surat palsu dan memalsu surat, adalah bahwa membuat surat palsu/membuat palsu surat sebelum perbuatan dilakukan belum ada surat, kemudian di buat suatu surat yang isinya sebagaian atau seluruhnya adalah bertentangan dengan kebenaran atau palsu. Seluruh tulisan dalam tulisan itu di hasilkan membuat surat palsu. Surat yang demikian di sebut dengan surat palsu atau surat tidak asli. Tidak demikian dengan perbuatan memalsu surat. Sebelum perbuatan ini dilakukan, sudah ada sebuah surat disebut surat asli. Kemudian pada surat yang asli ini, terhadap isinya (termasuk tanda tangan dan nama si pembuat asli) dilakukan perbuat memalsu yang akibatnya surat yang semula benar menjadian surat yang semula benar dan bertentangan dengan kebenaran atau palsu.

61

59

Yurisprudensi Tetap Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 40/Kr/1973, tertanggal 5 Juni 1975.

60

Soenarto Soerodibroto, Op. Cit.,hlm. 154.

61


(46)

• Membuat sebuah surat yang sebagian atau seluruh isi surat tidak sesuai atau bertentangan dengan kebenaran. Membuat surat yang demikian disebut dengan pemalsuan intelektual.

• Membuat sebuah surat yang seolah-olah surat itu berasal dari orang lain selain si pembuat surat. Membuat surat palsu yang demikian ini disebut dengan pemalsuan materil. Palsunya surat atau tidak benarnya surat terletak pada asalnya atau si pembuat surat

d. Supaya dapat dihukum menurut pasal ini, maka pada waktu pemalsuan surat itu harus dengan maksud akan menggunakan atau suruh orang lain menggunakan surat itu seolah-olah asli dan tidak palsu. Jadi pemalsuan surat untuk kepentingan pelajaran, penyelidikan atau percobaan dilaboratorium, tidak dapat dikenakan pasal ini. Dengan demikian memiliki makna bahwa:62 1) adanya orang-orang yang terpedaya dengan digunakannya surat-surat yang

demikian;

2) surat itu berupa alat yang digunakan untuk memperdaya orang, orang mana adalah orang yang menganggap surat itu asli dan tidak dipalsu, orang terhadap siapa maksud surat itu digunakan, bisa orang-orang pada umumnya dan bisa juga orang tertentu. Seperti membuat SIM (Surat Ijin Mengemudi) dirinya secara palsu, yang terpedaya adalah Polisi, dan bila penggunaannya dengan maksud untuk diterimanya bekerja sebagai sopir, maka yang terpedaya adalah majikannya yang akan mempekerjakan orang itu.

62


(47)

e. Penggunaannya itu harus dapat mendatangkan kerugian. “Dapat” maksudnya tidak perlu kerugian itu betul-betul sudah ada, baru kemungkinan saja akan adanya kerugian itu sudah cukup, yang diartikan dengan “kerugian” di sini tidak saja hanya meliputi kerugian materiil, akan tetapi juga kerugian dilapangan kemasyrakatan, kesusilaan, kerhormatan dan sebagainya.

Menurut Soenarto Soerodibroto “Kerugian yang dapat timbul akibat dari pemakaian surat palsu atau surat dipalsu, tidak perlu diketahui atau disadari oleh petindak”. Hal ini ternyata dari adanya suatu arrest HR (8-6-1897) yang menyatakan bahwa “petindak tidak perlu mengetahui terlebih dulu kemungkinan timbulnya kerugian ini”. Tidak ada ukuran-ukuran tertentu untuk menentukan akan adanya kemungkinan kerugian jika surat palsu atau surat dipalsu itu dipakai, hanya berdasarkan pada akibat-akibat yang dapat dipikirkan oleh orang-orang pada umumnya yang biasanya terjadi dari adanya penggunaan surat semacam itu.63

a. Membuat dengan meniru tanda tangan seseorang yang tidak ada orangnya, seperti orang yang telah meninggal dunia atau secara fiktif;

Di samping isi dan asalnya sebuah surat disebut surat palsu, apabila tanda tangannya yang tidak benar. Hal ini dapat terjadi dalam hal misalnya:

b. Membuat dengan meniru tanda tangan orang lain baik dengan persetujuannya ataupun tidak.64

Tanda tangan yang dimaksud di sini termasuk tanda tangan dengan menggunakan cap/stempel tanda tangan. Hal ini ternyata dari suatu arrest HR (12-2-1920) yang

63

Ibid, hlm. 156.

64


(48)

menyatakan bahwa disamakan dengan menandatangani suatu surat ialah membubuhkan stempel tanda tangannya.65

a. Unsur Objektif

Unsur-unsur daripada Pasal 263 ayat (2) KUHP ini adalah meliputi:

1) Perbuatan: Memakai.

2) Objeknya:

a) Surat palsu;

b) Surat yang dipalsukan.

3) Pemakaian surat tersebut dapat menimbulkan kerugian.

b. Unsur Subjektif yakni dengan sengaja.

Adapun penjelasan dalam Pasal 263 ayat (2) KUHP ini tersebut menurut R. Soesilo adalah:

Yang dihukum menurut pasal ini tidak saja “memalsukan” surat (ayat 1), tetapi juga “sengaja mempergunakan” surat palsu (ayat 2), “sengaja” maksudnya, bahwa orang yang menggunakan itu harus mengetahui benar-benar bahwa surat yang ia gunakan itu palsu. Jika ia tidak tahu akan hal itu, ia tidak dihukum.66

Pengertian kesengajaan yang dirumuskan oleh Satochid Kartanegara, ialah melaksanakan sesuatu perbuatan, yang didorong oleh suatu keinginan untuk

65

Soenarto Soerodibroto, Log. Cit.

66


(49)

berbuat atau bertindak.67 Oleh Bambang Poernomo, dikemukakannya bahwa kesengajaan itu secara alternatif dapat ditujukan kepada tiga elemen perbuatan pidana sehingga terwujud kesengajaan terhadap perbuatan, kesengajaan terhadap akibat dan kesengajaan terhadap hal ikhwal yang menyertai perbuatan pidana.68 Sebab dianggap sebagai mempergunakan, ialah misalnya menyerahkan surat itu kepada orang lain yang harus mempergunakan lebih lanjut atau menyerahkan surat itu ditempat dimana surat tersebut harus dibutuhkan. Dalam hal ini menggunakan surat palsu inipun harus pula dibuktikan, bahwa orang itu bertindak seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, demikian pula perbuatan itu harus dapat mendatangkan kerugian.69

2. Pemalsuan surat yang diperberat ( Pasal 264 KUHP)

Dalam Pasal 264 KUHP merumuskan sebagai berikut:70

• Akta-akta otentik;

(1) Pemalsuan surat di pidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun, jika dilakukan terhadap:

• Surat hutang atau sertifikat hutang dari suatu negara atau bagiannya ataupun dari suatu lembaga umum;

67

Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Bagian Satu, Balai Lektur Mahasiswa, Jakarta, 1890. hlm. 183.

68

Bambang Poernomo, Log. Cit.

69

R. Soesilo, Op. Cit., hlm. 196.

70


(50)

• Surat sero atau surat hutang atau sertifikat sero atau hutang dari suatu perkumpulan, yayasan, perseroan, atau maskapai;

• Talon, tanda bukti deviden atau bunga dari salah satu surat yang diterangkan dalam 2 (dua) dan 3 (tiga), atau tanda bukti yang dikeluarkan sebagai pengganti surat-surat itu;

• Surat kredit atau surat dagang yang diperuntukkan unutk diedarkan;

(2) Di pidana dengan pidana yang sama barangsiapa dengan sengaja memakai surat tersebut dalam ayat pertama, yang isinya tidak asli atau dipalsukan seolah-olah benar dan tidak dipalsu, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.

Adapun penjelasan terhadap Pasal 264 KUHP tersebut adalah:71

a. Sudah barang tentu perbuatan yang diancam hukuman dalam pasal ini harus memuat segala elemen-elemen atau syarat-syarat yang termuat dalam Pasal 263 KUHP dan selain daripada itu ditambah dengan syarat, bahwa surat yang dipalsukan itu terdiri dari surat autentik dan sebagainya, yang tersebut berturut-turut pada sub 1 (satu) sampai 5 (lima) dalam pasal ini, surat-surat mana bersifat umum dan harus tetap membahayakan kepercayaan umum, sehingga menurut pasal ini diancam hukuman yang lebih berat dari pemalsuan surat biasa.

71


(51)

b. Akta otentik adalah akte yang dibuat dihadapan seorang pegawai negeri umum yang berhak untuk itu, biasanya notaris, pegawai pencatatan jiwa dan sebagainya.

Kepercayaan yang lebih besar terhadap kebenaran akan isi dari macam-macam surat itulah yang menyebabkan diperberat ancaman pidananya. Penyerangan terhadap kepercayaaan masyarakat yang lebih besar terhadap isi surat-surat yang demikian dianggap membahayakan kepentingan umum masyarakat yang lebih besar pula.

3. Menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam akta autentik ( Pasal 266 KUHP)

Dalam Pasal 266 KUHP merumuskan sebagai berikut:72

(1) Barangsiapa menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam suatu akta autentik mengenai sesuatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu, dengan maskud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai akta itu seolah-olah keterangannya sesuai dengan kebenaran, di pidana, jika pemakaian itu dapat menimbulkan kerugian, dengna pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun;

(2) Di pidana dengan pidana yang sama, barangsiapa dengan sengaja memakai akta tersebut seolah-olah isinya sesuai dengan kebenaran, jika karena pemakaian tersebut dapat menimbulkan bukan kerugian.

72


(52)

Adapun penjelasan terhadap Pasal 266 KUHP tersebut adalah:73

a. Yang dinamakan akta autentiek yaitu suatu surat yang dibuat menurut bentuk dan syarat-syarat yang ditetapkan oleh undang-undang, oleh pegawai umum.

b. Yang dapat dihukum menurut pasal ini misalnya orang yang memberikan keterangan tidak benar kepada pegawai Burgerlijke Stand untuk dimasukkan kedalam akte kelahiran yang harus dibuat oleh pegawai tersebut, dengan maksud untuk mempergunakan atau menyuruh orang lain menggunakan akte itu seolah-olah keterangan yang termuat di dalamnya itu benar.

c. Yang diancam hukuman itu tidak hanya orang yang memberikan keterangan tidak benar dan sebagainya, akan tetapi juga orang yang dengan sengaja menggunakan surat (akte) yang memuat keterangan tidak benar itu. Dalam dua hal ini senantiasa harus dibuktikan, bahwa orang itu seakan-akan isi surat itu benar dan perbuatan itu dapat mendatangkan kerugian.

d. Orang yang memberikan keterangan palsu (tidak benar) kepada pegawai polisi untuk dimasukkan kedalam proses-perbal itu tidak dapat dikenakan pasal ini, karena proses-perbal itu gunanya bukan untuk membuktikan kebenaran dari keterangan orang itu, tetapi hanya untuk membuktikan bahwa keterangan yang diberikan orang itu demikianlah adanya. Ini beda sekali dengan surat (akte) kelahiran yang gunanya benar-benar untuk membuktikan kebenaran kelahiran itu.

73


(53)

e. Dapat dihukum menurut pasal ini misalnya pedagang yang menyuruh membuat persetujuan dagang kepada seorang notaris mengenai sebidang tanah, jika terlebih dahulu ia menjual tanah itu kepada orang lain. Dalam hal ini maka akte notaris merupakan suatu surat yang digunakan sebagai bukti terhadap suatu pemindahan hak milik. Kerugian yang akan diderita oleh pembeli sudah terang, ialah jumlah uang yang telah dibayar untuk pembelian itu yang bukan semestinya, biaya notaris dan sebagainya pun dapat dihukum pula seorang yang menyuruh pegawai kantor pencatatan jiwa untuk membuat suatu akte tentang kelahiran seorang anak dari istrinya dengan nama kecil A, sedangkan anak itu sebenarnya telah dilahirkan oleh perempuan lain daripada istrinya itu, sehingga pemakaian akte itu dapat menimbulkan kerugian bagi anaknya yang sebenarnya. Akan tetapi menurut keputusan ketua Pengadilan Negeri Indramayu 17 Januari 1939, demikian tulis W.F.L. Buschkens, maka seorang terdakwa yang telah menikah dihadapkan penghulu, sambil tidak mengatakan pada ketika itu, bahwa antara mereka ada hubungan paman dan keponakan, hubungan kekeluargaan mana menurut hukum islam merupakan penghalang untuk menikah tidak menimbulkan pemalsuan surat oleh karena dalam apa yang biasa dinamakan “surat kawin” itu hubungan kekeluargaan yang ada antara pihak-pihak yang menikah tidak pernah disebutkan.

Untuk selesainya perbuatan menuyuruh memasukkan dalam arti selesainya kejahatan secara sempurna, tidak cukup dengan selesainya perbuatan memberikan keterangan tentang sesuatu hal/kejadian, melainkan harus sudah tenyata tentang


(54)

hal/kejadian itu telah nyata-nyata dimuatnya dalamakta autentik yang dimaksudkannya.

Objek kejahatan ini adalah keterangan palsu, artinya suatu keterangan yang bertentangan dengan kebenaran, keterangan mana mengenai sesuatu hal/kejadian. Tidak semua hal/kejadian berlaku di sini, melainkan kejadian yang harus dibuktikan oleh akta autentik itu. Suatu hal atau kejadian yang dimaksud adalah sesuatu hal yang menjadi isi pokok dari akta autentik yang dibuat itu. Akta nikah isi pokoknya adalah perihal pernikahan, akta jual beki isi pokoknya perihal jual beli, akta kelahiran isi pokoknya adalah perihal kelahiran, dan bukan mengenai hal-hal di luar mengenai isi pokok dari akta.

Memberikan keterangan palsu dalam Pasal 266 KUHP memang berkaitan erat dengan ketentuan-ketentuan serta unsur-unsur yang ada dalam Pasal 263 dan Pasal 264 KUHP. Bahwa Pasal 264 ayat (1) KUHP memiliki unsur-unsur yang sama dengan Pasal 263 ayat (1) KUHP, sedangkan perbedaannya terletak dalam obyek daripada pemalsuan. Obyek daripada pemalsuan ini adalah beberapa jenis surat tertentu, seperti akta otentik, dan sebagainya.74

Tentang Pasal 266 KUHP ini, dapat dijelaskan lebih lanjut apabila seorang yang memiliki sebidang tanah datang menghadap kepada pejabat umum yakni Notaris untuk dibuatkan suatu akte tanah sebagai bukti pemilikannya, padahal batas-batas tanahnya dilebihkan dari batas-batas tanah sebenarnya dengan cara menambah beberapa bagian dari tanah tetangganya. Kepada Notaris dikemukakan

74


(55)

batas-batas tanah termasuk tanah tambahan yang sebenarnya bukan miliknya tetapi milik tetangganya. Di sini si pelaku telah memberikan keterangan yang tidak benar kepada Notaris. Apabila kemudian Notaris membuatkan bukti kepemilikan tanah dari keterangan palsu tersebut, lalu orang yang memberikan keterangan palsu itu menjual kembali tanah yang dibuatkan aktanya oleh Notaris, kemudian digugat oleh si pemilik tanah (tetangganya), maka di sini telah ada kerugian yang diderita. Namun lebih prinsipil dari kajian ini, bukan unsur kerugiannya, melainkan memberikan keterangan palsu atau tidak benar, dan yang lebih penting lagi keterangan itu diberikannya dengan sengaja (opzet). Ini yang penting sehubungan dengan unsur-unsur dalam Pasal 266 KUHP tersebut.

4. Pemalsuan surat tertentu ( Pasal 269 KUHP dan Pasal 270 KUHP)

Dalam Pasal 269 KUHP merumuskan sebagai berikut:75

(1) Barangsiapa membuat surat palsu atau memalsu surat keterangan tanda kelakuan baik, kecakapan, kemiskinan, kecacatan atau keadaan lain, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat itu supaya diterima dalam pekerjaan atau supaya menimbulkan kemurahan hati dan pertolongan, di pidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 4 (empat) bulan.

(2) Di pidana dengan pidana yang sama barangsiapa yang dengan sengaja memakai surat keterangan yang palsu atau yang dipalsukan tersebut dalam ayat pertama, seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsu.

75


(56)

Adapun penjelasan terhadap Pasal 269 KUHP tersebut adalah:76

a. Orang yang membuat palsu atau memalsukan surat keterangan tentang kekuasaan baik, kecakapan, kemiskinan, cacat atau keadaan lain-lain dengan maksud akan menggunakan satu menyuruh menggunakan surat itu supaya dapat masuk pekerjaan, menerbitkan kemurahan hati atau perasaan suka member pertolongan;

b. Orang yang menggunakan surat semacam itu sedang ia tahu akan kepalsuaannya.

Jenis surat yang menjadi objek kejahatan Pasal 269 KUHP tersebut di atas yang menurut kebiasaan dikeluarkan oleh pejabat umum yang berwenang. Misalnya surat keterangan tanda kelakuan baik yang dikeluarkan Pejabat Kepolisian setempat, surat tentang kemiskinan atau tidak mampu oleh Kepala Desa atau Lurah setempat, bahkan kadang juga dikeluarkan oleh Camat atas surat Kepala Desa atau Lurah setempat. Subjek hukum kejahatan ini dapat pejabat itu sendiri, orang lain selain pejabat yang bersangkutan.

Pasal 270 KUHP merumuskan sebagai berikut:77

(1) Barangsiapa membuat secara palsu atau memalsu surat jalan atau surat penggantinya, kartu keamanan, surat perintah jalan atau surat yang diberikan menurut ketentuan undang-undang tentang pemberian izin kepada orang asing untuk masuk dan menetap di Indonesia, ataupun barangsiapa menyuruh memberikan surat serupa itu atas nama palsu atau nama kecil yang palsu atau dengan menunjuk pada keadaan palsu, dengan maksud untuk memakai atau

76

Ibid.

77


(57)

menyuruh orang lain memakai surat itu seolah-olah asli dan tidak dipalsukan atau seolah-olah isinya sesuai dengna kebenaran, di pidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun 8 (delapan) bulan.

(2) Di pidana dengan pidana yang sama, barangsiapa yang dengan sengaja memakai surat yang tidaka benar atau yang dipalsu tersebut ayat pertama, seolah-olah benar dan tidak dipalsu atau seolah-olah isinya sesuai dengan kebenaran.

Adapun penjelasan terhadap Pasal 270 KUHP tersebut adalah:78

a. Yang menjadi objek pemalsuan dalam pasal ini ialah surat pas jalan, surat pengganti pas jalan, surat keselamatan (jaminan atas keamanan diri), surat perintah, surat-surat izin yang diberikan menurut peraturan undang-undang izin masuk ke Indonesia tersebut dalam L.N. 1949 No. 331, misalnya: surat izin masuk paspor, surat izin mendarat, surat izin berdiam dan sebagainya. b. Seorang pembesar polisi atau pembesar lain-lainya mengeluarkan surat

perintah jalan yang tidak betul, umpanya kepada seorang partikulir disebutkan sebagai berpangkat agen polisi, atau sebenarnya untuk kepentingan prive disebutkan untuk kepentingan dinas, agar supaya mendapat ongkos jalan dari dinas, dapat dikenakan pasal ini. Bukan pembesar itu saja, akan tetapi orangnya yang sengaja mempergunakan surat perintah jalan palsu itu dapat dikenakan pasal ini pula.

Pemalsuan tehadap surat-surat seperti ini dapat dilakukan baik oleh pejabat

78


(58)

tersebut maupun orang lain selain pejabat, maupun oleh pemilik maupun orang lain selain pemilik. Kejahatan membuat secara palsu atau memalsu dan kejahatan menyuruh memberi surat jenis paspor palsu beserta kejahatan menggunakannya sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 270 KUHP dapat terjadi secara berbarengan dengan kejahatan mengenai objek paspor menurut Undang-undang Nomor 9 Tahun 1992 Tentang Keimigrasian.79

5. Menyimpan bahan atau benda untuk pemalsuan surat ( Pasal 275 KUHP) Misalnya seorang waga negara asing memiliki paspor palsu atau paspor dipalsu (hasil kejahatan Pasal 270 ayat (1) KUHP), kemudian ia menggunakannya untuk masuk dan berada di Indonesia, maka ia telah melanggar sekaligus Pasal 270 ayat (2) KUHP dan Pasal 1 Undang-undang Keimigrasian.

Pada kejahatan yang dimaksud Pasal 270 ayat (1) KUHP, yang di pidana adalah orang-orang yang melakukan perbuatan minta dikeluarkannya surat-surat yang disebutkan dalam ayat (1). Sedangkan pada pejabat pembuat surat-surat palsu itu, apabila sikap batinnya sama dengan orang yang meminta dibuatkan surat semacam ini, maka ia dapat di pidana berdasarkan kejahatan ayat (1).

Mengenai unsur kesalahan, yakni maksud untuk menggunakan surat seperti itu seolah-olah surat yang isinya benar dan tidak palsu (ayat 1) maupun dengan sengaja (ayat 2) telah dibahas secara cukup pada pembicaraan pasal-pasal sebelumnya.

Dalam Pasal 275 KUHP merumuskan sebagai berikut:80

79

Soenarto Soerodibroto, Op. Cit., hlm. 131.

80


(59)

(1) Barangsiapa menyimpan bahan atau benda yang diketahuinya bahwa diperentukkan untuk melakukan salah satu kejahatan berdasarkan Pasal 264 No.2-5, di pidana dengan pidana penjara paling lama 9 tahun atau pidana denda paling banyak Rp 4.500,.

(2) Bahan-bahan dan benda-benda itu dirampas.

Perbuatan menyimpan adalah berupa perbuatan membuat benda berada dalam kekuasaanya sedemikian rupa yang bilamana diperlukan ia dapat segera mempergunakannya.81

Unsur kesalahan dalam kejahatan ini adalah berupa yang diketahuinya bahwa bahan atau benda itu dipergunakan untuk melakukan pemalsuan surat Pasal 264 butir 2-5 KUHP.

Dalam menyimpan tidak perlu benda itu berada langsung dalam kekuasaannya, dapat juga berada dalam tangan orang lain atas permintaannya atau perintahnya, dan orang lain itu tunduk sepenuhnya atas perintah orang itu mengenai benda tadi. Benda yang dimaksudkan adalah benda-benda yang digunakan sebagai alat dalam membuat palsu atau memalsu surat objek cetak, stempel, pulpen, dan sebagainya. sedangkan bahan berupa bahan pembuat surat palsu atua surat yang dipalsu, misalnya tinta dan kertas.

82

B. Pemalsuan SIM Dalam Hukum Pidana Di Indonesia

Adapun hukum positif di Indonesia yang mengatur wajibnya kepemilikan SIM sesuai dengan jenis Kendaraan Bermotor dalam mengendarai/mengemudikan kendaraan bermotor di jalan adalah sebagaimana tertulis di dalam Pasal 77 ayat (1) Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan

81

Soenarto Soerodibroto, Op. Cit., hlm. 138.

82


(1)

palsu atau memalsu. Yang berdasarkan fakta persidangan terungkap adalah yang membuat SIM C palsu tersebut adalah Wahyu Abdilah, S.T. bukan terdakwa. Sedangkan di dalam amar putusan menuliskan terdakwa telah terbukti melakukan tindak pidana Menyuruh membuat Surat Palsu dan Mempergunakan, yang apabila di kualifikasikan maka itu termaksud di dalam delik Pasal 263 ayat (2) KUHP yang unsur objektifnya yakni adanya perbuatan memakai surat palsu atau surat yang dipalsukan dalam hal ini adalah SIM C palsu.

Dengan demikian terjadinya kekhilafan dan atau kekeliruan dalam penulisan pertimbangan hakim tersebut yang seharunya ditulis Pasal 263 ayat (2) KUHP bukan Pasal 263 ayat (1) KUHP.


(2)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dari uraian-uraian dan pembahasan yang telah dikemukakan dalam skiripsi ini, dari Bab I sampai Bab III maka dapatlah ditarik kesimpulan yakni seperti berikut:

1. Pengaturan tindak pidana pemalsuan Surat Izin Mengemudi (SIM) adalah masih menggunakan pengaturan secara umum yang tertuang di dalam KUHP yakni Bab XII tentang memalsukan surat-surat di dalam Pasal 263 KUHP. Yang artinya bahwa tidak adanya pengaturan secara khusus di dalam undang-undang organik yang mengatur tentang pemalsuan Surat Izin Mengemudi (SIM).

2. Penerapan sanksi pidana terhadap pemalsuan SIM di dalam Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 600/Pid.B/2009/PN.Mdn yang dimana menjatuhkan sanksi kepada Terdakwa SRI BAKTI als BEKTI dengan pidana penjara selama 10 (sepuluh) bulan, dinilai terlalu kecil sehingga tidak dapat memberikan efek jera terhadap terdakwa yang dikhawatirkan nantinya terdakwa akan mengulangi perbuatannya akan memberikan ketidakpastian hukum di dalam proses tata cara pengeluaran SIM oleh pihak yang berwenang sebagaimana mestinya.


(3)

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan tersebut di atas, maka dapatlah diajukan saran sebagai berikut:

1. Perlu adanya pengaturan tindak pidana pemalsuan Surat Izin Mengemudi (SIM) secara khusus di dalam undang-undang organik yang berkaitan dengan kendaraan bermotor seperti misalnya penambahan pasal yang secara khusus mengatur tentang pemalsuan SIM di dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, ataupun produk-produk hukum lainnya yang mengatur secara khusus tentang pemalsuan SIM di luar daripada pengaturan secara umum yakni KUHP itu sendiri.

2. Di dalam memutus suatu perkara terutama di dalam penjatuhan sanksi tindak pidana pemalsuan surat yang apabila melihat dari KUHP dengan hukuman penjara selama-lamanya 6 (enam) tahun, maka seharusnya Jaksa Penuntut Umum di dalam menyusun Surat Tuntutan haruslah dengan benar-benar memperhatikan semangat yang tertuang di dalam penjatuhan sanksi yang ada di KUHP itu sendiri yang mengganggap bahwa tindak pidana pemalsuan surat merupakan salah satu yang mesti mendapatkan perhatian serius guna untuk menjaga kepercayaan masyarakat akan keaslian suatu surat tertentu. Karena atas dasar penyusunan Surat Tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum sajalah Majelis Hakim dalam musyawarahnya dapat menentukan sanksi yang nantinya akan diberikan terhadap orang yang melakukan tindak pidana pemalsuan surat. Dimana berdasarkan Pasal 178 ayat (3) HIR, Pasal 189 ayat (3) RBG dan Pasal 50 Rv yakni putusan yang dijatuhkan pengadilan tidak


(4)

boleh mengabulkan melebihi tuntutan yang dikemukakan dalam gugatan (ultra petitum partium). Maka diharapkan Jaksa Penuntut Umum dapat dengan cermat menyusun Surat Tuntutan demi untuk mewujudkan tujuan daripada hukum itu sendiri yakni berkeadilan, berkepastian dan berkemanfaatan hukum.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Mustafa dan Ruben Achmad, 1983, Intisari Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Anwar, H. A. K. Moch., 1980, Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II), Alumni, Bandung.

_______, 1990, Hukum Pidana di Bidang Ekonomi, Citra Aditya Bakti, Bandung. Budiarto dan Mahmudah, 2007, Rekayasa Lalu Lintas, UNS Press, Malang. Chazawi, Adami, 2000, Kejahatan Terhadap Pemalsuan, Rajawali Pers, Jakarta. _______, 2002, Pelajaran Hukum Pidana, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Djajoesman, H. S., 1976, Polisi dan Lalu Lintas, Dinas Hukum Polri, Jakarta. Farid, A. Zainal Abidin, 2007, Hukum Pidana I, Sinar Grafika, Jakarta.

Hamzah, Andi, 2000, Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Revisi, Sinar Grafika, Jakarta.

Internasional Organization for Standardization, ISO 3833:1977.

Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2001, Edisi ke-3, Balai Pustaka, Jakarta. Kamus Hukum, 1997, Pramadya Puspa, Semarang.

Kansil, C. S. T., dan Christine S. T. Kansil, 2004, Pokok-Pokok Hukum Pidana, Cetakan I, Pradnya Paramita, Jakarta.

Kartanegara, Satochid, 1890, Hukum Pidana Bagian Satu, Balai Lektur Mahasiswa, Jakarta.

Lamintang, P. A. F., 1992, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung.

Moelyatno, 2002, Asas-Asas Hukum Pidana, Bina Cipta, Jakarta.

Muhammad, Abdulkadir, 1989, Hukum Dagang tentang Surat-surat Berharga, Citra Aditya Bakti, Cetakan ke-3, Bandung.

Poernomo, Bambang, 1978, Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Cetakan III, Jakarta.


(6)

Prodjodikoro, Wirjono, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, Refika Aditama, Bandung.

Purba, Hasim, 2006, Suatu Pedoman Memahami Ilmu Hukum, Cahaya Ilmu, Medan.

Schaffmeister, Keijzer dan Sutoris, 1995, Hukum Pidana, LIBERTY, Yokyakarta. Sianturi, S. R., 1983, Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya, Alumni

AHM-PTHM, Cetakan Pertama, Jakarta.

Simanjuntak, Usman, 1994, Teknik Penuntutan dan Upaya Hukum, Bina Cipta, Jakarta.

Soerodibroto, Soenarto, 1994, KUHP dan KUHAP Dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Hoge Raad, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. Soesilo, R., 1985, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) serta

Komentar-komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal, Politeia, Cetakan ke-8, Bogor.

Vademinkum Polisi Lalu Lintas, 2005, Cetakan kedua, Mabes Polri. Waluyo, Bambang, 2000, Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta.

PERUNDANG-UNDANGAN:

Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2012 tentang

Surat Izin Mengemudi

Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1993 tentang Kendaraan dan Pengemudi. Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia, Pengadilan Negeri Cirebon

Nomor 12/1972 B, tertanggal 5 Juli 1972.

Yurisprudensi Tetap Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 40/Kr/1973, tertanggal 5 Juni 1975.