Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Pemalsuan Surat Kuasa Yang Dibuat Notaris (Study Kasus Putusan MA NO. 303 K/PID/2004)
TESIS
OLEH
IRDA PRATIWI
087011053/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
M E D A N
(2)
T E S I S
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
Oleh
IRDA PRATIWI
087011053/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
M E D A N
(3)
Nomor Pokok : 087011053 Program Studi : Kenotariatan
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN)
Pembimbing Pembimbing
(Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum) (Notaris Dr. Syahril Sofyan, SH, MKn)
Ketua Program Studi, Dekan,
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)
(4)
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN Anggota : 1. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum
2. Notaris Dr. Syahril Sofyan, SH, MKn 3. Chairani Bustami, SH, SpN, MKn 4. Notaris Syafnil Gani, SH, MHum
(5)
otentik salah satunya dapat dilihat dalam pembuatan akta surat kuasa. Yang mana dalam pembuatan akta tersebut, notaris secara bersama-sama dengan Ir. Soediono dan Syamsuri dengan cara memalsukan tanda tangan pemilik asli (Alm. Ny. Siswo Sunarto) atas 2 benar dan tidak dipalsukan, sehingga merugikan Nyonya Syamsuri telah mengetahui bahwa Ny. Siswo Sunarto sudah meninggal dunia. Atas permasalahan tersebut apabila terdapat alasan yang dijadikan dasar untuk mempidanakan notaris diantaranya bahwa notaris telah membuat surat palsu, atau memalsukan surat berdasarkan pasal 263 jo 264 KUHP, maka notaris tersebut harus mempertanggung jawabkan akta otentik yang mengandung adanya unsur pidana.
Jenis penelitian tesis ini adalah penelitian normatif, dengan metode pendekatan deskriptif analisis, dengan cara meneliti bahan hukum pustaka, dilengkapi dengan pendekatan yuridis normatif dan disamping itu untuk mendukung hasil penelitian ini maka dilakukan penelitian lapangan dengan cara wawancara kepada narasumber.
Dengan demikian, bahwa akibat hukum yang ditimbulkan oleh notaris terhadap akta surat kuasa yang mengandung unsur pemalsuan yaitu dengan cara memalsukan tanda tangan pemilik tanah (Alm. Ny. Siswo Sunarto) ke dalam suatu akta otentik tersebut dapat menyebabkan akta yang dikeluarkan oleh notaris tersebut menjadi batal demi hukum, hal ini disebabkan karena akta yang dikeluarkan tidak sesuai dengan isi dan tanda tangan sebenarnya. Dalam hal ini yang menjadi faktor penyebab terjadinya tindak pidana yang dilakukan notaris dapat dilihat dalam substansi hukum, aparat pelaksana dan kesadaran hukum masyarakat. Dan untuk mengatasi perbuatan notaris tersebut maka diambil langkah melalui upaya represif/pidana, yaitu dengan cara Klausula penundukan pada undang-undang, dan Legalisasi kode etik. Dari uraian tersebut, maka disarankan agar sebaiknya pengaturan sanksi pidana dapat diatur di dalam ketentuan tentang jabatan notaris itu sendiri, sebaiknya untuk pengawasan terhadap pelanggaran kode etik jabatan notaris diserahkan kepada Dewan Kehormatan Notaris, agar kewibawaan institusi notaris dapat terwujud dari suatu Dewan Kehormatan Notaris yang harus dituntut caranya melaksanakan tindakan untuk menjatuhkan sanksi kepada notaris yang melakukan pelanggaran kode etik jabatan notaris, Majelis pengawas notaris dalam melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran jabatan dan perilaku notaris yang harus diproses dalam persidangan hendaknya hukum yang berkaitan dengan penjatuhan sanksi. Oleh karena itu penjatuhan sanksi kepada notaris bukanlah tujuan, melainkan bagian dari pembinaan terhadap pelaksanaan jabatan dan perilaku notaris.
(6)
Syamsuri, forged the signature of the original owner of two plots of land, the late Mrs. Siswo unarto. On this occasion, the proxy letter was claimed as if it were authentic so that Mrs. Aminah, the heir of the late Mrs. Siswo Sunarto, was injured financially. Ir. Soediono, Syamsuri, and the notary themselves actually knew that Mrs. Siswo Sunarto had already died. In consequence, the notary could be prosecuted for forging the proxy letter, or for doing forgery which was stipulated in Article 263 in conjunction with Article 264 of Penal Code; the notary ha dto be responsible for the spurious proxy letter which contained criminal count.
This researh was a normative study with analytic descriptive method by examining legal reference and being provided by judicial normative approach. Besides that, in order to support the analysis, the researcher did field study by interviewing resource persons.
The legal consequence which was done by the notary in forging the signature of the land owner (the late Mrs. Siswo Sunarto) in the authentic proxy letter had caused this proxy letter to be legally null and void, dor it did not contain the real content and signature. On this occasion, for factor which caused the criminal act done by the notary could be seen in the legal substance, in the law enforcement, and in the public legal awareness. The solution of the notary’s illegal act should be done by repression/punishment; that is, by the stipultion of law and the legalization of ethical code.
It was recommended that the regulatory of the criminal sanction should be regulated in the legal provision about the notary’s position. It was also suggested that the control on the violation of the ethical code of the notary’s position should be handled by the Notarial Review Board so that the notarial authority could be realized in order to impose the sanction on the notary who had violated the notarial ethical code. The Notarial Supervisory Council should be careful and serious in auditing the suspected offence commited by the notary who was being on trial. The Council should also give legal consideration in giving the sanction. Therefore, giving the sanction to the notary was not merely the goal, but it was a part of the guidance in the implementation of the notary’s position and behaviour.
(7)
Alhamdulillah dengan rasa syukur kehadirat Allah SWT yang dengan rahmat dan hidayah-Nya, tesis yang berjudul “TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PEMALSUAN SURAT KUASA YANG DIBUAT NOTARIS (STUDY KASUS PUTUSAN MA NO. 303 K/PID/2004)” ini telah selesai sebagai salah satu persyaratan yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Dalam penulisan tesis ini, penulis banyak mendapat bimbingan, arahan dan bantuan, sehingga pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada seluruh Dosen Pembimbing yaitu kepada Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum dan Bapak Notaris Dr. Syahril Sofyan, SH, MKn yang telah membimbing demi selesainya tesis ini. Terimakasih juga penulis ucapkan kepada Komisi Penguji Bapak Notaris Syafnil Gani, SH, M.Hum dan Ibu Chairani Bustami, SH, SpN, MKn atas saran dan masukkannya yang sangat membangun terhadap penulisan tesis ini.
Selanjutnya penulis ucapkan terimakasih atas semua bimbingan, bantuan, dan dorongan secara khusus kepada:
(8)
Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Ketua, Sekretaris dan Staf Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yaitu kepada:
a. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. b. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum, selaku Sekretaris
Program Studi Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. c. Seluruh Staf Biro Program Studi Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara.
4. Bapak dan Ibu Guru besar serta Staf Pengajar pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu pengetahuannya kepada penulis.
5. Seluruh pihak yang telah memberikan keterangan dan informasi selama penulis melakukan penelitian di Kota Medan.
6. Kedua orang tua tercinta, Ayahanda H. Irwan Nasution, SE dan Ibunda Hj. Zaidar Nasution yang telah mencurahkan segenap doa, perhatian, cinta kasih, kesabaran dan dukungan, serta orang yang paling penulis sayangi.
(9)
8. Seluruh teman-teman khususnya Kelas B angkatan 2008 atas bantuan dan perhatiaannya.
Akhirnya atas segala bantuan semua pihak, semoga mendapat balasan dari Allah SWT. Besar harapan penulis, tesis ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua. Amiin.
Medan, Februari 2011 Penulis,
(10)
Nama : Irda Pratiwi Nasution Tempat/Tanggal Lahir : Kisaran/27 Februari 1986
Alamat : Jalan Bukit Barisan No. 76A, Glugur Darat I Medan Jenis Kelamin : Wanita
Umur : 24 Tahun
Kewarganegaraan : Indonesia
Agama : Islam
II. KELUARGA
Nama Orang Tua : Ayah : H. Irwan Nasution, SE Ibu : Hj. Zaidar Nasution Saudara Kandung : Irza Fauzan Nasution, SE
Faisal Nowanda Nasution, SE Ahmad Fauzi Nasution
III. Latar Belakang Pendidikan
Sekolah Dasar : Negeri Kisaran, Asahan (1991-1997) Sekolah Menengah Pertama : MTss PP At-Thoyyibah Indonesia Pinang
Lombang, Rantau Prapat (1997-2000) Sekolah Menengah Atas : Mas PP At-Thoyyibah Indonesia Pinang
Lombang, Rantau Prapat (2000-2003)
S1 (Strata Satu) : Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (2003-2007)
S2 (Strata Dua) : Program Studi Magister Kenotariatan FH-USU (2008-2011)
(11)
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi
DAFTAR ISI... vii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 10
C. Tujuan Penelitian ... 10
D. Manfaat Penelitian ... 10
E. Keaslian Penelitian ... 11
F. Kerangka Teori dan Konsep ... 12
1. Kerangka Teori ... 12
2. Kerangka Konsepsi ... 29
G. Metode Penelitian ... 30
1. Spesifikasi Penelitian ... 30
2. Metode Pendekatan ... 31
3. Alat Pengumpulan Data ... 32
4. Analisis Data ... 32
BAB II AKIBAT HUKUM YANG DITIMBULKAN OLEH NOTARIS TERHADAP AKTA SURAT KUASA YANG MENGANDUNG UNSUR PIDANA ... 34
A. Tugas dan Jabatan Notaris ……….. 34
1. Kedudukan Notaris Di Masyarakat ……….. 34
(12)
A. Tinjauan Umum Mengenai Etika Profesi ……… 62
B. Faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Pemalsuan Surat Kuasa ……….. 73
BAB IV UPAYA PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PEMALSUAN SURAT KUASA YANG DILAKUKAN OLEH NOTARIS ... 87
A. Tindak Pidana Pemalsuan ... 87
B. Upaya Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Pemalsuan Surat Kuasa Yang Dilakukan Oleh Notaris ... 109
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 114
A. Kesimpulan ... 114
B. Saran ... 115
(13)
otentik salah satunya dapat dilihat dalam pembuatan akta surat kuasa. Yang mana dalam pembuatan akta tersebut, notaris secara bersama-sama dengan Ir. Soediono dan Syamsuri dengan cara memalsukan tanda tangan pemilik asli (Alm. Ny. Siswo Sunarto) atas 2 benar dan tidak dipalsukan, sehingga merugikan Nyonya Syamsuri telah mengetahui bahwa Ny. Siswo Sunarto sudah meninggal dunia. Atas permasalahan tersebut apabila terdapat alasan yang dijadikan dasar untuk mempidanakan notaris diantaranya bahwa notaris telah membuat surat palsu, atau memalsukan surat berdasarkan pasal 263 jo 264 KUHP, maka notaris tersebut harus mempertanggung jawabkan akta otentik yang mengandung adanya unsur pidana.
Jenis penelitian tesis ini adalah penelitian normatif, dengan metode pendekatan deskriptif analisis, dengan cara meneliti bahan hukum pustaka, dilengkapi dengan pendekatan yuridis normatif dan disamping itu untuk mendukung hasil penelitian ini maka dilakukan penelitian lapangan dengan cara wawancara kepada narasumber.
Dengan demikian, bahwa akibat hukum yang ditimbulkan oleh notaris terhadap akta surat kuasa yang mengandung unsur pemalsuan yaitu dengan cara memalsukan tanda tangan pemilik tanah (Alm. Ny. Siswo Sunarto) ke dalam suatu akta otentik tersebut dapat menyebabkan akta yang dikeluarkan oleh notaris tersebut menjadi batal demi hukum, hal ini disebabkan karena akta yang dikeluarkan tidak sesuai dengan isi dan tanda tangan sebenarnya. Dalam hal ini yang menjadi faktor penyebab terjadinya tindak pidana yang dilakukan notaris dapat dilihat dalam substansi hukum, aparat pelaksana dan kesadaran hukum masyarakat. Dan untuk mengatasi perbuatan notaris tersebut maka diambil langkah melalui upaya represif/pidana, yaitu dengan cara Klausula penundukan pada undang-undang, dan Legalisasi kode etik. Dari uraian tersebut, maka disarankan agar sebaiknya pengaturan sanksi pidana dapat diatur di dalam ketentuan tentang jabatan notaris itu sendiri, sebaiknya untuk pengawasan terhadap pelanggaran kode etik jabatan notaris diserahkan kepada Dewan Kehormatan Notaris, agar kewibawaan institusi notaris dapat terwujud dari suatu Dewan Kehormatan Notaris yang harus dituntut caranya melaksanakan tindakan untuk menjatuhkan sanksi kepada notaris yang melakukan pelanggaran kode etik jabatan notaris, Majelis pengawas notaris dalam melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran jabatan dan perilaku notaris yang harus diproses dalam persidangan hendaknya hukum yang berkaitan dengan penjatuhan sanksi. Oleh karena itu penjatuhan sanksi kepada notaris bukanlah tujuan, melainkan bagian dari pembinaan terhadap pelaksanaan jabatan dan perilaku notaris.
(14)
Syamsuri, forged the signature of the original owner of two plots of land, the late Mrs. Siswo unarto. On this occasion, the proxy letter was claimed as if it were authentic so that Mrs. Aminah, the heir of the late Mrs. Siswo Sunarto, was injured financially. Ir. Soediono, Syamsuri, and the notary themselves actually knew that Mrs. Siswo Sunarto had already died. In consequence, the notary could be prosecuted for forging the proxy letter, or for doing forgery which was stipulated in Article 263 in conjunction with Article 264 of Penal Code; the notary ha dto be responsible for the spurious proxy letter which contained criminal count.
This researh was a normative study with analytic descriptive method by examining legal reference and being provided by judicial normative approach. Besides that, in order to support the analysis, the researcher did field study by interviewing resource persons.
The legal consequence which was done by the notary in forging the signature of the land owner (the late Mrs. Siswo Sunarto) in the authentic proxy letter had caused this proxy letter to be legally null and void, dor it did not contain the real content and signature. On this occasion, for factor which caused the criminal act done by the notary could be seen in the legal substance, in the law enforcement, and in the public legal awareness. The solution of the notary’s illegal act should be done by repression/punishment; that is, by the stipultion of law and the legalization of ethical code.
It was recommended that the regulatory of the criminal sanction should be regulated in the legal provision about the notary’s position. It was also suggested that the control on the violation of the ethical code of the notary’s position should be handled by the Notarial Review Board so that the notarial authority could be realized in order to impose the sanction on the notary who had violated the notarial ethical code. The Notarial Supervisory Council should be careful and serious in auditing the suspected offence commited by the notary who was being on trial. The Council should also give legal consideration in giving the sanction. Therefore, giving the sanction to the notary was not merely the goal, but it was a part of the guidance in the implementation of the notary’s position and behaviour.
(15)
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (untuk selanjutnya disebut UUJN) dan Kode Etik Profesi Notaris dalam menjalankan jabatannya diminta selalu berpedoman pada kode etik profesi. Hal ini disebabkan karena jabatan notaris dinilai mudah tergelincir pada hal-hal yang merugikan dan melanggar kode etik profesi. Notaris dalam melakukan tugas jabatannya harus dengan penuh tanggung jawab dengan menghayati keseluruhan martabat jabatannya dan dengan keterampilannya melayani kepentingan masyarakat yang meminta jasanya dengan selalu mengindahkan ketentuan undang-undang, etika, ketertiban umum dan berbahasa Indonesia yang baik.
Istilah notaris diambil dari nama pengabdinya, notarius yang kemudian menjadi istilah/titel bagi golongan orang penulis cepat atau stenografer. Notaris adalah salah satu cabang dari profesi hukum yang tertua di dunia. Jabatan notaris ini tidak ditempatkan di lembaga yudikatif, eksekutif ataupun yudikatif.1 Dalam menjalankan tugasnya, notaris harus memiliki posisi netral, dan apabila notaris ditempatkan di salah satu dari ketiga badan negara tersebut maka notaris tidak lagi dapat dianggap netral. Dengan posisi netral tersebut, notaris diharapkan dapat
(16)
memberikan penyuluhan hukum untuk dan atas tindakan hukum yang dilakukan notaris atas permintaan kliennya. Dalan hal melakukan tindakan hukum untuk kliennya.2
Kebutuhan akan jasa notaris dalam masyarakat modern tidak mungkin dapat dihindarkan. Notaris sebagai pejabat umum diangkat oleh pemerintah dan pemerintah sebagai organ negara mengangkat notaris bukan semata untuk kepentingan notaris itu sendiri, melainkan juga untuk kepentingan masyarakat luas. Jasa yang diberikan oleh notaris terkait erat dengan persoalan trust (kepercayaan diantara para pihak), artinya negara memberikan kepercayaan yang besar terhadap notaris dan dengan demikian dapat dikatakan bahwa pemberian kepercayaan kepada notaris berarti bahwa notaris itu mau tidak mau telah memikul tanggung jawab atasnya. Tanggung jawab ini dapat berupa tanggung jawab secara hukum maupun moral.3
Sebagai pejabat umum notaris memiliki wewenang dan tugas pokok untuk membuat akta otentik sebagai alat bukti tertulis, mengenai keadaan, peristiwa, atau perbuatan hukum tertentu, untuk menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum bagi masyarakat pengguna jasa notaris. Akta otentik pada hakikatnya memuat kebenaran formal sesuai dengan apa yang diberitahukan para pihak kepada Notaris. Namun, Notaris mempunyai kewajiban untuk memasukkan bahwa apa yang termuat dalam akta notaris sungguh-sungguh telah dimengerti dan sesuai dengan kehendak para pihak, yaitu dengan cara membacakannya sehingga
2. Ibid.
3 http://www.adln.lib.unair.ac.id/go.php?id=gdlhub-gdl-S3-2007-kusumawati-5091&
(17)
menjadi jelas isi akta notaris, serta memberikan akses terhadap informasi, termasuk akses terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait bagi para pihak dapat menentukan dengan bebas untuk menyetujui atau tidak menyetujui isi akta notaris yang akan ditandatanganinya.4
Saat ini notaris di Indonesia tidak hanya berpedoman pada Undang-Undang Jabatan Notaris No. 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN) semata namun juga pada kode etik profesinya, karena tanpa kode etik, harkat dan martabat dari profesinya akan hilang.5 Dalam hal ini antara kode etik dengan UUJN terdapat adanya hubungan yaitu dalam Pasal 4 UUJN mengenai sumpah jabatan. Notaris melalui sumpahnya berjanji untuk menjaga sikap, tingkah lakunya dan akan menjalankan kewajibannya sesuai dengan kode etik profesi, kehormatan, martabat dan tanggung jawabnya sebagai notaris.
Adanya hubungan antara kode etik dan UUJN memberikan arti terhadap profesi notaris itu sendiri. UUJN dan kode etik notaris menghendaki agar notaris dalam menjalankan tugas jabatannya sebagai pejabat umum, selain harus tunduk pada UUJN juga harus taat pada kode etik profesi serta harus bertanggung jawab kepada masyarakat yang dilayaninya, organisasi profesi (Ikatan Notaris Indonesia atau INI) maupun terhadap negara.6 Dengan adanya hubungan ini, maka terhadap notaris yang mengabaikan keluhuran dari martabat jabatannya selain dapat dikenai sanksi moril,
4
Penjelasan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, halaman 48.
5
http://zulpiero.wordpress.com/2010/04/20/hubungan-peraturan-jabatan-notaris-dan-kode-etik-dalam-pelaksanaan-tugas-notaris, tanggal 1 Januari 2010.
(18)
ditegur atau dipecat dari keanggotaan profesinya juga dapat dipecat dari jabatannya sebagai notaris. Menurut Muhammad sebagaimana dikutip Nico, bahwa notaris dalam menjalankan tugas jabatannya :7
1. Notaris dituntut melakukan pembuatan akta dengan baik dan benar. Artinya akta yang dibuat itu memenuhi kehendak hukum dan permintaan pihak-pihak yang berkepentingan karena jabatannya.
2. Notaris dituntut menghasilkan akta yang bermutu. Artinya, akta yang dibuatnya itu sesuai dengan aturan hukum dan kehendak pihak-pihak yang berkepentingan dalam arti yang sebenarnya, bukan mengada-ada. Notaris harus menjelaskan kepada pihak-pihak yang berkepentingan akan kebenaran isi dan produk akta yang dibuatnya itu.
3. Berdampak positif, artinya siapapun akan mengakui akta notaris itu mempunyai kekuatan bukti sempurna.
Adapun syarat-syarat untuk diangkat menjadi notaris adalah sebagai berikut :8 1. Warga negara Indonesia
Karena notaris adalah pejabat umum yang menjalankan sebagian dari fungsi publik dari negara, khususnya di bagian hukum perdata. Kewenangan ini tidak dapat diberikan kepada warga negara asing, karena menyangkut dengan menyimpan rahasia negara, notaris harus bersumpah setia atas Negara Republik Indonesia, sesuatu yang tidak mungkin bisa ditaati sepenuhnya oleh warga negara asing.
2. Berumur minimal 27 tahun
Umur 27 tahun dianggap sudah stabil secara mental. 3. Bertakwa kepada tuhan YME
Diharapkan notaris tidak akan melakukan perbuatan asusila, amoral dll. 4. Pengalaman
Telah menjalani magang atau nyata-nyata telah bekerja sebagai karyawan notaris dalam waktu 1 tahun berturut-turut pada kantor notaris, atas prakarsa sendiri atau rekomendasi organisasi notaris setelah lulus magister kenotariatan; Supaya telah mengetahui praktek notaris, mengetahui struktur hukum yang dipakai dalam pembuatan aktanya, baik otentik ataupun di bawah tangan, dan mengetahui administrasi notaris.
5. Ijazah
Berijazah sarjana hukum dan lulusan strata dua kenotariatan; telah mengerti dasar-dasar hukum Indonesia.
7 Abdul Ghofur Anshori,
Kenotariatan Indonesia Perspektif Hukum dan Etika, (Yogyakarta : UII Press, 2009), halaman 48.
(19)
6. Non-PNS
Tidak berstatus pegawai negeri, pejabat negara, advokat, pemimpin maupun karyawan BUMN, BUMD, dan perusahaan swasta atau jabatan lain yang oleh undang-undang dilarang untuk dirangkap dengan jabatan notaris. Notaris tidak boleh merangkap jabatan karena notaris dilarang memihak dalam kaitannya sebagai pihak netral supaya tidak terjadi beturan kepentingan.
Notaris dalam menjalankan jabatannya sebagai pejabat umum sekaligus sebagai penegak hukum ada juga yang tidak berpegang pada peraturan jabatan notaris dan kode etik profesi, hal ini disebabkan karena para pejabat kurang menyadari akan kewajiban untuk memelihara hukum dan kurangnya pengertian akan tujuan serta fungsinya dalam pembangunan. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi penegakan hukum yang seyogyanya menegakkan hukum justru melanggar hukum yaitu:9
1. Faktor hukumnya sendiri.
2. Faktor penegakkan hukum yaitu pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakkan hukum.
4. Faktor masyarakat yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.
5. Faktor kebudayaan yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan hidup.
Didalam menjalankan jabatannya, terdapat kemungkinan bagi seorang notaris untuk melakukan penyimpangan-penyimpangan, salah satunya adalah melakukan pemalsuan surat kuasa yang dibuatnya. Perbuatan tersebut, bukan saja merupakan perbuatan yang melanggar keluhuran jabatan notaris, akan tetapi perbuatan tersebut juga merupakan tindak pidana.
9 Soerjono Soekanto,
Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada), halaman 5.
(20)
Pada dasarnya, dalam suatu kejadian atau peristiwa selalu ada penyebabnya. Demikian halnya dengan suatu tindak pidana, bahwa penyebab-penyebab terjadinya tindak pidana dapat berupa suatu perbuatan tertentu, suatu kehendak, suatu keadaan atau suatu dorongan, dan lain-lain. Suatu penyebab tidak terbatas hanya kepada suatu tindakan yang dapat dipidana saja, melainkan berlaku untuk semua kejadian atau peristiwa.
Pada saat ini banyaknya ditemukan kasus-kasus yang menjerat notaris ke pengadilan mulai dari pelanggaran Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang jabatan notaris, pemalsuan surat kuasa otentik yang dibuat oleh notaris dimana pemakai atau penggunaan surat itu dapat menimbulkan kerugian bagi orang lain.
Dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 303 K/Pid/2004, terdapat adanya kesengajaan dari notaris untuk melakukan tindak pidana pemalsuan surat kuasa yang dilakukan secara bersama-sama dengan Ir. Soediono dan Syamsuri dengan cara memalsukan tanda tangan pemilik asli (Alm. Ny. Siswo Sunarto) atas 2 (dua) bidang tanah yaitu Sertipikat Hak Milik (SHM) Nomor 435/Bangka seluas 1.590 M2 dan Sertipikat Hak Milik (SHM) Nomor 434/Bangka luas 651 M2, yang seolah-olah bahwa kedua surat kuasa otentik tersebut adalah benar dan tidak dipalsukan, sehingga merugikan Nyonya Suminah (ahli waris alm. Ny. Siswo Sunarto). Padahal notaris H. Mohammad Afdal Gazali, SH maupun Ir. Soediono dan Syamsuri telah mengetahui bahwa Ny. Siswo Sunarto sudah meningal dunia.
(21)
Perbuatan yang dilakukan notaris tersebut telah melanggar Pasal 263 jo Pasal 266 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi :
Pasal 263 KUHP :
(1) Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat, yang dapat menerbitkan sesuatu hak, sesuatu perjanjian (kewajiban) atau sesuatu pembebasan utang, atau yang boleh dipergunakan sebagai keterangan bagi sesuatu perbuatan, dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan surat-surat itu seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, maka kalau mempergunakannya dapat mendatangkan sesuatu kerugian dihukum karena pemalsuan surat, dengan hukuman penjara selama-lamanya enam tahun.
(2) Dengan hukuman serupa itu juga dihukum, barang siapa dengan sengaja menggunakan surat palsu atau yang dipalsukan itu seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, kalau hal mempergunakan dapat mendatangkan sesuatu kerugian.
Pasal 266 KUHP :
(1) Barang siapa menyuruh menempatkan keterangan palsu kedalam sesuatu akte authentiek tentang sesuatu kejadian yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akte itu, dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan akte itu seolah-olah keterangannya itu cocok dengan hal sebenarnya, maka kalau dalam mempergunakannya itu dapat mendatangkan kerugian, di hukum penjara selama-lamanya tujuh tahun.
(2) Dengan hukuman serupa itu juga dihukum barang siapa dengan sengaja menggunakan akte itu seolah-olah isinya cocok dengan hal yang sebenarnya jika pemakaian surat itu dapat mendatangkan kerugian.
Dan akibat yang dapat ditimbulkan atas perbuatan yang dilakukan notaris tersebut, dapat diberhentikan dengan tidak hormat dalam jabatannya sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (UUJN).
Walaupun didalam isi Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 303 K/Pid/2004, Majelis Hakim menjatuhkan pidana penjara selama 1 tahun, akan tetapi tidak menutup kemungkinan notaris tersebut terlepas dari sanksi administrasi dan Kode
(22)
Etik Notaris yang salah satunya dapat berupa pemecatan dengan tidak hormat. Dengan hukuman pidana penjara selama 1 tahun tersebut, notaris juga dapat diberhentikan secara tidak hormat. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 12 huruf D Undang-undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris menyebutkan Notaris dapat diberhentikan dengan tidak hormat, jika melakukan pelanggaran berat terhadap kewajiban dan larangan jabatan. Maksud dari pelanggaran berat tersebut adalah pelanggaran yang tidak memenuhi kewajiban dan melanggar larangan jabatan notaris, yang mana pelanggaran tersebut dapat dilihat dalam Pasal 16 huruf a yang berbunyi :
“bertindak jujur, seksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum,”
dan juga dapat dilihat dalam Pasal 17 huruf i yang berbunyi :
“melakukan pekerjaan lain yang bertentangan dengan norma agama, kesusilaan, atau kepatutan yang dapat mempengaruhi kehormatan dan martabat jabatan notaris.”
Dengan kata lain, tindakan yang dilakukan notaris tersebut jelas sangat bertentangan dengan norma agama, kesusilaan atau kepatutan yang tercantum dalam Pasal 17 huruf I Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Sebagaimana diketahui bahwa notaris dalam menjalankan profesinya sebagai penegak hukum diwajibkan selalu bertindak jujur, seksama, tidak berpihak dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum, sehingga tidak menimbulkan kerugian bagi pihak lain. Kerugian tersebut tidak hanya merugikan salah satu pihak secara khusus, yaitu penghadap yang menghendaki dibuatnya suatu
(23)
akta, baik dengan cara menghadap sendiri maupun melalui kuasanya, akan tetapi akan merugikan pihak-pihak lainnya yang memiliki keterkaitan dengan akta yang dibuatnya. Meskipun di dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, tidak dimuat secara khusus mengenai sanksi pidana, akan tetapi bagi notaris yang melakukan penyimpangan tersebut tetap dapat dimintai pertanggungjawaban pidana berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang diatur di dalam Buku II, Bab XII.
Dalam menyusun suatu perundang-undangan, agar aturan hukum itu dapat berlaku efektif dalam arti mempunyai dampak positif, menurut Soerjono Soekanto haruslah memperhatikan empat hal, satu di antaranya yaitu hukum positif tertulis yang ada harus mempunyai taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal yang selaras.10 Artinya dalam menyususn peraturan perundang-undangan harus memperhatikan ketentuan yang lebih tinggi dan jangan bertabrakan antar sesama peraturan yang setingkat, apalagi yang kedudukannya lebih tinggi. Maka dari itu perlu diusahakan supaya kebijakan legislatif yang berupa undang-undang itu merupakan produk politik yang berkualitas, dalam arti dapat dipertanggung jawabkan kepada publik, baik dalam proses pembuatannya maupun pada bentuk dan substansinya. Sedangkan untuk pembinaan, seharusnya dilakukan oleh Mahkamah Agung, karena produk notaris adalah akta otentik yang bisa menjadi bukti yang sempurna di pengadilan.
10 . Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan
(24)
B. Perumusan Masalah
Adapun yang menjadi permasalahan dalam hasil penelitian ini adalah :
1. Bagaimana akibat hukum yang ditimbulkan oleh notaris terhadap akta surat kuasa yang mengandung unsur tindak pidana?
2. Faktor-faktor apakah penyebab terjadinya tindak pidana pemalsuan surat kuasa yang dibuat notaris dalam Putusan MA No. 303 K/Pid/2004?
3. Bagaimana upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana pemalsuan surat kuasa yang dilakukan oleh notaris?
C. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengkaji akibat hukum yang ditimbulkan oleh notaris terhadap akta surat kuasa yang mengandung unsur tindak pidana.
2. Untuk mengkaji faktor-faktor penyebab terjadinya tindak pidana pemalsuan surat kuasa yang dibuat notaris dalam Putusan MA No. 303 K/Pid/2004.
3. Untuk mengkaji upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana pemalsuan surat kuasa yang dilakukan oleh notaris.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penulisan ini adalah sebagai beriku: 1. Secara Teoritis
(25)
Mengharapkan bahwa hasil penelitian ini dapat menyumbangkan pemikiran di bidang hukum yang akan mengembangkan disiplin ilmu hukum, khususnya mengenai Perbuatan notaris dalam jabatannya.
2. Secara Praktis
Mengharapkan bahwa hasil penelitian ini dapat memberikan jalan keluar yang akurat terhadap permasalahan yang diteliti dan disamping itu hasil penelitian ini dapat mengungkapkan teori-teori baru serta pengembangan teori-teori yang sudah ada.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan penelusuran kepustakaan baik Perpustakaan Pusat maupun yang ada di sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, ternyata belum ditemukan judul mengenai Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Pemalsuan Surat Kuasa Yang Dibuat Notaris. Oleh karena itu, penulis berkeyakinan bahwa judul tesis ini dan permasalahan yang diajukan belum pernah diteliti dan dibahas, sehingga dapat dikatakan asli.
(26)
F. Kerangka Teori dan Konsep 1. Kerangka Teori.
Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis.11
Teori berguna untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya. Menurut Soerjono Soekanto bahwa “kontinuitas perkembangan ilmu hukum, selain bergantung pada metodologi, aktifitas penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori”.12Menurut Burhan Ashofa, suatu teori merupakan serangkaian asumsi, preposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antara konsep.13
Menurut Siswojo teori dapat diartikan sebagai seperangkat konsep dan definisi yang saling berhubungan yang mencerminkan suatu pandangan sistematik mengenai fenomena dengan menerangkan hubungan antara variable dengan tujuan untuk menerangkan dan meramalkan fenomena.14 Menurut Snelbecker yang mendefinisikan teori sebagai seperangkat proposisi yang terintegrasi secara sintaksis
(yaitu yang mengikuti aturan tertentu yang dapat dihubungkan secara logis satu
11 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: CV. Mandar Maju, 1994),
halaman 80.
12
Soerjono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum(Jakarta: UI Press, 1986), halaman 6.
13 Burhan Ashofa,Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 1996), halaman 19. 14Mardalis,Metode Penelitian, (Jakarta : Bumi Aksara, 1995), halaman 42.
(27)
dengan lainnya dengan data dasar yang dapat diamati) dan berfungsi sebagai wahana untuk meramalkan dan menjelaskan fenomena yang diamati.15
Kerangka teori yang akan dibahas dalam penelitian ini dengan aliran hukum positif yang analitis dariJhon Austin, yang mengartikan :
Hukum itu sebagai a command of the lawgiver (perintah dari pembentuk undang-undang atau penguasa), yaitu suatu perintah mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan, hukum dianggap sebagai suatu sistem yang logis, tetap, dan bersifat tertutup (closed logical system). Hukum secara tegas dipisahkan dari moral dan keadilan tidak didasarkan pada penilaian baik-buruk.16
Lembaga kenotariatan dikenal di Indonesia sejak Indonesia dijajah oleh Belanda. Pada mulanya lembaga ini diperuntukam bagi golongan Eropa dalam bidang hukum perdata, yaitu dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau Burgerlijk Wetboek yang disingkat menjadi KUHPerdata. Didalam perkembangannya, lembaga kenotariatan tersebut, diadopsi menjadi Hukum Notariat Indonesia dan berlaku untuk semua golongan, berkaitan dengan perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh para pihak, membuat keberadaan profesi notaris menjadi profesi yang sangat penting dan dibutuhkan oleh masyarakat.
Fungsi dan peran notaris dalam gerak pembangunan nasional yang semakin kompleks dewasa ini tentunya makin luas dan makin berkembang, sebab kelancaran dan kepastian hukum segenap usaha yang dijalankan oleh segenap pihak makin banyak dan luas, dan hal ini tentunya tidak terlepas dari pelayanan dan produk hukum
15
Lexy J. Moeleong,Metodologi Penelitian Hukum, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1990), halaman 34.
16Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi,Pengantar Filsafat Hukum, (Bandung: Mandar Maju, 2002),
(28)
yang dihasilkan oleh notaris. Pemerintah dan masyarakat banyak tentunya mempunyai harapan agar pelayanan jasa yang diberikan oleh notaris benar-benar memiliki nilai dan bobot yang dapat diandalkan.
Jabatan notaris, selain sebagai jabatan yang menggeluti masalah-masalah teknis hukum, juga harus turut berpartisipasi aktif dalam pembangunan hukum nasional, oleh karena itu harus senantiasa selalu menghayati idealisme perjuangan bangsa secara menyeluruh. Untuk itu notaris harus selalu mengikuti perkembangan hukum nasional, yang pada akhirnya notaris mampu melaksnanakan profesinya secara proporsional. Yang mana dalam menjalankan tugas jabatannya seorang notaris harus berpegang teguh kepada kode etik jabatan notaris, karena tanpa itu harkat dan martabat profesionalisme akan hilang sama sekali.17
Kode Etik dalam arti materil adalah norma atau peraturan yang praktis baik tertulis maupun tidak tertulis mengenai etika berkaitan dengan sikap serta pengambilan putusan hal-hal fundamental dari nilai dan standar perilaku orang yang dinilai baik atau buruk dalam menjalankan profesinya yang secara mandiri dirumuskan, ditetapkan dan ditegakkan oleh organisasi profesi. Kode Etik Notaris merupakan suatu kaidah moral yang ditentukan oleh perkumpulan Ikatan Notaris Indonesia berdasarkan Keputusan Kongres Perkumpulan dan/atau yang ditentukan dan diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hal itu dan
(29)
yang berlaku bagi serta wajib ditaati oleh setiap dan semua anggota perkumpulan dan semua orang yang menjalankan tugas dan jabatan sebagai Notaris.18
Jabatan notaris merupakan suatu lembaga yang diciptakan oleh Negara. Menempatkan notaris sebagai jabatan merupakan suatu bidang pekerjaan atau tugas yang sengaja dibuat oleh aturan hukum untuk keperluan dan fungsi tertentu (kewenangan tertentu) serta bersifat berkesinambungan sebagai suatu lingkungan pekerjaan tetap.19 Setiap wewenang yang diberikan kepada jabatan harus ada aturan hukumnya, dengan kata lain jika seorang pejabat (notaris) melakukan suatu tindakan diluar wewenang yang telah ditentukan dapat dikategorikan sebagai perbuatan melanggar hukum. Wewenang notaris sebagai mana yang dimaksud diatas tercantum dalam Pasal 15 Undang-Undang No. 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang berisi :
1. Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.
2. Notaris berwenang pula:
a. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus.
b. Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus.
18
Abdul Ghofur Anshori,Lembaga Kenotariatan Indonesia, (Yogyakarta : UII Press, 2009), halaman 162.
19 Habib Adjie,Sekilas Dunia Notaris & PPAT Indonesia, (Bandung : CV. Mandar Maju,
(30)
c. Membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan.
d. Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya. e. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta. f. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan.
g. Membuat akta risalah lelang. ,,
3. Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Berkaitan dengan wewenang yang telah ditentukan, maka notaris telah melakukan tindakan di luar wewenang, maka produk atau akta notaris tersebut tidak mengikat secara hukum atau tidak dapat dilaksanakan (Non-executable), dan pihak atau mereka yang merasa dirugikan oleh tindakan notaris di luar wewenang tersebut, maka notaris dapat digugat secara perdata ke Pengadilan Negeri.20
Berdasarkan wewenang yang ada pada notaris sebagaimana tersebut dalam Pasal 15 UUJN dan kekuatan pembuktian dari akta notaris, maka ada 2 (dua) kesimpulan yaitu:
1. Tugas jabatan notaris adalah memformulasikan keinginan/tindakan para pihak kedalam akta otentik, dengan memperhatikan aturan hukum yang berlaku.
2. Akta notaris sebagai akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, sehingga tidak perlu dibuktikan atau ditambah dengan alat bukti lainnya, jika ada orang/pihak yang menilai atau menyatakan bahwa akta tersebut tidak benar, maka orang/pihak yang menilai atau menyatakan tidak benar tersebut wajib membuktikan penilaian atau pernyataannya sesuai aturan hukum yang berlaku. Kekuatan pembuktian akta notaris ini berhubungan dengan sifat publik dari jabatan notaris.21
Dalam Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris, dikemukakan bahwa Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua
20 Ibid, Halaman 25. 21 Ibid, Halaman 26
(31)
perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang akta itu oleh suatu peraturan tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain.22
Dari apa yang dikemukakan pasal tersebut terlihatlah dengan jelas bahwa tugas jabatan notaris adalah membuat akta otentik, adapun yang dimaksud dengan akta otentik terdapat dalam Pasal 1868, KUHPerdata, dinyatakan:
Suatu akta otentik ialah suatu akta yang didalam bentuknya ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat mana akta dibuatnya.
Adapun unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 1868 KUHPerdata adalah sebagai berikut:
1. Bahwa akta itu dibuat dan diresmikan dalam bentuk menurut hukum. 2. Bahwa akta itu dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum.
3. Bahwa akta itu dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang untuk membuatnya ditempat dimana akta itu dibuat.
Seorang pejabat umum hanya dapat membuat akta-akta tertentu yang ditugaskan atau dikecualikan kepadanya berdasarkan peraturan perundang-undangan. Dimana notaris tidak berwenang membuat akta untuk kepentingan setiap orang, dimana bahwa notaris tidak diperbolehkan membuat akta bagi notaris itu sendiri, isterinya, suaminya, keluarga sedarah atau keluarga semenda notaris dalam garis
(32)
lurus tanpa pembatasan derajat dan dalam garis kesamping sampai dengan derajat ketiga, baik secara pribadi maupun melalui kuasa.23 Maksud dan tujuan dari ketentuan ini ialah untuk mencegah terjadinya tindakan memihak dan penyalahgunaan jabatan.
Sebelum menjalankan jabatannya, terlebih dahulu notaris wajib mengucapkan/janji menurut agamanya di hadapan Menteri atau pejabat yang ditunjuk. Sumpah atau janji tersebut mengandung dua hal yaitu :24
1. Secara vertikal wajib bertanggung jawab kepada Tuhan
Secara vertikal kita wajib bertanggung jawab kepada Tuhan karena sumpah atau janji yang diucapkan berdasarkan agama masing-masing. Artinya segala sesuatu yang kita lakukan akan diminta pertanggungjawabannya dalam bentuk yang dikehendaki Tuhan.
2. Secara horizontal wajib bertanggung jawab kepada negara dan masyarakat
Artinya, negara telah memberi kepercayaan kepada kita untuk menjalankan sebagai tugas negara dalam bidang hukum perdata, yaitu dalam pembuatan alat bukti berupa akta yang mempunyai kekuatan pembuktian sempurna dan kepada masyarakat yang telah percaya bahwa notaris mampu memformulasikan kehendaknya ke dalam bentuk akta notaris, dan percaya bahwa notaris mampu menyimpan (merahasiakan) segala keterangan atau ucapan yang diberikan di hadapan notaris.
Bagi setiap notaris ditentukan daerah hukumnya (daerah jabatannya) dan hanya di dalam daerah yang ditentukan baginya itu ia berwenang untuk membuat akta otentik. Akta yang dibuatnya diluar daerah jabatannya adalah tidak sah. Notaris tidak boleh membuat akta selama ia masih cuti atau dipecat dari jabatannya, demikian juga notaris tidak boleh membuat akta sebelum ia memangku jabatannya (sebelum diambil sumpah). Apabila salah satu persyaratan diatas tidak dipenuhi, maka akta yang
23 Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
24 Habib Adjie, Meneropong Khazanah Notaris dan PPAT Indonesia (Kumpulan Tulisan
(33)
dibuatnya itu tidak otentik dan hanya mempunyai kekuatan seperti akta yang dibuat dibawah tangan, apabila akta itu ditandatangani oleh para penghadap.
Pasal 17 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris mengatur tentang larangan. Larangan tersebut meliputi :
a. menjalankan jabatan di luar wilayah jabatannya;
b. meninggalkan wilayah jabatannya lebih dari 7 (tujuh) hari kerja berturut-turut tanpa alasan yang sah;
c. merangkap sebagai pegawai negeri;
d. merangkap jabatan sebagai pejabat negara; e. merangkap jabatan sebagai advokat;
f. merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah atau badan usaha swasta.
g. merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah di luar wilayah jabatan notaris;
h. menjadi notaris pengganti; atau
i. melakukan pekerjaan lain yang bertentangan dengan norma agama, kesusilaan, atau kepatutan yang dapat mempengaruhi kehormatan dan martabat jabatan notaris.
Dalam melaksanakan tugas jabatannya notaris diberi hak untuk menolak memberikan bantuannya di dalam melakukan sesuatu yang dimintakan kepadanya, tetapi harus mempunyai alasan yang mendasar (gegronde redenen) untuk itu.
(34)
Alasan-alasan yang mendasar bagi notaris untuk melakukan penolakan memberikan bantuan adalah:25
1. Apabila notaris sakit sehingga tidak dapat memberikan berhalangan karena sakit atau karena pekerjaan jabatan lain.
2. Apabila notaris tidak ada di tempat karena sedang dalam masa cuti.
3. Apabila notaris karena kesibukan pekerjaannya tidak dapat melayani orang lain. 4. Apabila surat-surat yang diperlukan untuk membuat suatu akta tidak diserahkan
kepada notaris.
5. Apabila penghadap atau saksi yang diajukan oleh penghadap tidak dikenal oleh notaris atau tidak dapat diperkenalkan kepadanya.
6. Apabila yang berkepentingan tidak mau membayar biaya bea materai yang diwajibkan.
7. Apabila karena pemberian jasa tersebut, notaris melanggar sumpahnya atau melakukan perbuatan melanggar hukum.
8. Apabila pihak-pihak menghendaki bahwa notaris membuat akta dalam bahasa yang tidak dikuasai oleh notaris yang bersangkutan, atau apabila orang-orang yang menghadap berbicara dengan bahasa yang tidak jelas, sehingga notaris tidak mengerti apa yang sebenarnya dikehendaki oleh mereka.
Mengenai ketentuan pidana tidak diatur di dalam UUJN namun tanggung jawab notaris secara pidana dikenakan apabila notaris melakukan perbuatan pidana. UUJN hanya mengatur sanksi atas pelanggaran yang dilakukan oleh notaris terhadap UUJN sanksi tersebut dapat berupa akta yang dibuat oleh notaris tidak memiliki kekuatan otentik atau hanya mempunyai kekuatan sebagai akta di bawah tangan. Terhadap notarisnya sendiri dapat diberikan sanksi yang berupa teguran hingga pemberhentian dengan tidak hormat.
Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum. Larangan tersebut disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi yang melanggar larangan tersebut. Tentu pidana dalam hal ini adalah perbuatan pidana
25 Habib Adjie,Hukum Notaris Indonesia, Tafsir Tematik Terhadap Undang-Undang Nomor
(35)
yang dilakukan notaris dalam kapasitasnya sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta dan tidak dalam konteks individu sebagai warga negara pada umumya. Unsur-unsur perbuatan pidana meliputi :26
a. Perbuatan (manusia)
Perbuatan adalah tindakan dan kejadian yang ditimbulkan oleh perbuatan tersebut. Menurut Moeljatno, di dalam hukum pidana perbuatan ada yang bersifat positif maupun negatif. Positif berarti terdakwa berbuat sesuatu sedangkan negatif berarti seseorang tidak berbuat sesuatu yang diwajibkan atasnya. Adapun yang dimaksud dengan kelakuan (perbuatan) adalah suatu sikap jasmani, sebab tidak berbuat sesuatu tidak dapat dimasukkan dalam pengertian tersebut dan yang termasuk dalam kelakuan tersebut terbatas hanya pada sikap jasmani yang disadari saja.
b. Memenuhi rumusan peraturan perundang-undangan
Agar suatu perbuatan dapat disebut sebagai tindak pidana harus memenuhi rumusan undang-undang artinya berlaku asas legalitas. Asas legalitas menyatakan bahwa nulum delictum nulla poena sine praevia lege poenali yang memiliki makna bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika hal tersebut tidak atau belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang. Arti penting adanya asas legalitas adalah untuk menjamin adanya kepastian hukum dan demi keadilan. Memenuhi peraturan perundang-undangan sebagai syarat dari tindak pidana adalah merupakan syarat formil.
c. Bersifat melawan hukum
Adanya sifat melawan hukum dalam tindak pidana merupakan syarat mutlak dan juga merupakan syarat materiil. Setidaknya ada dua pendapat mengenai arti dari unsur sifat melawan hukum yang merupakan terjemahan dari bahasa Belanda
wederrechtelijk. Pendapat tersebut adalah ajaran mengenai wederrechtelijkdalam arti formil dan dalam arti materiil. Menurut ajaran wederrechtelijk dalam arti formil suatu perbuatan dapat dipandang sebagai bersifat melawan hukum apabila perbuatan tersebut memenuhi semua unsur yang terdapat di dalam rumusan suatu delik menurut undang-undang. Sedangkan ajaran wederrechtelijk dalam arti materiil menilai suatu perbuatan digolongkan sebagai bersifat melawan hukum atau tidak, perbuatan tersebut tidak hanya ditinjau dari segi yuridis formal semata namun juga harus ditinjau dan diukur menggunakan asas-asas hukum umum dari hukum yang tidak tertulis.
Berbicara mengenai hukum pidana, maka untuk menentukan apakah seseorang telah melakukan perbuatan melawan hukum harus memenuhi unsur-unsur
(36)
dari tindak pidana. Adapun yang menjadi unsur tindak pidana dibedakan atas unsur subjektif dan unsur objektif. Unsur Subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku, termasuk didalamnya adalah segala sesuatu yang terkandung didalam hatinya. Unsur subjektif dari tindak pidana meliputi :27
1. Kesengajaan atau ketidak sengajaan (dolus atau culpa).
2. Maksud pada suatu percobaan (seperti yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP).
3. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti misalnya yang terdapat dalam tindak pidana pencurian.
4. Merencanakan terlebih dahulu, seperti misalnya yang terdapat dalam Pasal 340 KUHP.
Sedangkan unsur objektifnya adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan yaitu didalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan. Unsur objektif dari tindak pidana meliputi :28
1. Sifat melanggar (melawan hukum).
2. Kualitas dari si pelaku, misalnya keadaan sebagai seorang pegawai negeri dalam kejahatan menurut Pasal 415 KUHP.
3. Kasualitas, yaitu hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan kenyataan sebagai akibat.
Dalam hal melakukan tindak pidana pemalsuan surat kuasa yang dilakukan oleh notaris sebagaimana dalam kasus Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 303 K/Pid/2004, seharusnya seorang notaris tersebut dapat menolak memberikan bantuan. Seorang notaris dalam hal menjalankan/melaksanakan tugas jabatan seharusnya lebih cermat, hati-hati, dan tidak menyimpang dari ketentuan undang-undang yang telah ditetapkan didalamnya. Pemberian kuasa (lastgeving) diatur di dalam Buku III Bab
27 A. Fuad Usfa dan Tongat,
Pengantar Hukum Pidana, (Malang: Universitas Muhammadiyah malang, 2004), halaman 33.
(37)
XVI mulai dari Pasal 1792 sampai Pasal 1819 KUHPerdata. Pada Pasal 1792 KUHPerdata berbunyi sebagai berikut:
“Pemberian kuasa adalah suatu persetujuan dengan mana seorang memberi kekuasaan kepada orang lain, yang menerimanya untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan”.
Dari hal tersebut dapat dilihat, bahwa unsur-unsur dari pemberian kuasa adalah: 1. Persetujuan
2. Memberi kekuasaan kepada penerima kuasa
3. Atas nama pemberi kuasa menyelenggarakan suatu urusan
Dalam hal melakukan kejahatan pemalsuan surat pada umumnya berupa pemalsuan surat dalam bentuk pokok (bentuk standar) yang dimuat di dalam Pasal 263 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang rumusannya adalah sebagai berikut: (1) Barangsiapa membuat surat palsu atau memalsukan surat, yang dapat
menerbitkan sesuatu hak, sesuatu perjanjian (kewajiban) atau sesuatu pembebasan utang, atau yang boleh dipergunakan sebagai keterangan bagi sesuatu perbuatan, dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan surat-surat itu seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, maka kalau mempergunakannya dapat mendatangkan sesuatu kerugian dihukum karena pemalsuan surat, dengan hukuman penjara selama-lamanya enam tahun.
(2) Dengan hukuman serupa itu juga dihukum, barang siapa dengan sengaja menggunakan surat palsu atau yang dipalsukan itu seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, kalau hal mempergunakan dapat mendatangkan sesuatu kerugian.
Membuat surat palsu adalah membuat sebuah surat yang seluruh atau sebagian isinya palsu. Palsu disini artinya tidak benar atau bertentangan dengan yang sebenarnya.29Dalam hal membuat surat palsu ini dapat berupa:
29Adam Chazawi,Kejahatan Terhadap Pemalsuan, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2001),
(38)
1. Membuat sebuah surat yang sebagian atau seluruh isi surat tidak sesuai atau bertentangan dengan kebenaran, disebut juga dengan pemalsuan intelektual (intelectuele valschheid);
2. Membuat sebuah surat yang seolah-olah surat ini berasal dari orang lain selain si pembuat surat, disebut juga dengan pemalsuan materiil (materiele Valschheid). Palsunya surat atau tidak benarnya surat terletak pada asalnya atau si pembuat surat.
Disamping isinya dan asalnya surat yang tidak benar dari membuat surat palsu, dapat juga tanda tangannya yang tidak benar. Hal ini dapat terjadi dalam hal misalnya:
1. Membuat dengan meniru tanda tangan seseorang yang tidak ada orangnya, seperti orang yang telah meninggal dunia atau secara fiktif (dikarang-karang).
2. Membuat dengan meniru tanda tangan orang lain baik dengan persetujuannya ataupun tidak.
Tanda tangan yang dimaksud di sini adalah termasuk juga tanda tangan dengan menggunakan cap/stempel tanda tangan. Sedangkan perbuatan memalsukan (vervalsen) surat adalah berupa perbuatan mengubah dengan cara bagaimanapun oleh orang yang tidak berhak atas sebuah surat yang berakibat sebagian atau seluruh isinya menjadi lain/berbeda dengan isi surat semula.
Adapun surat-surat yang dapat dijadikan objek pemalsuan ini dibatasi dengan empat macam surat, yaitu:
(39)
Dimana pada umumnya sebuah surat tidak melahirkan adanya suatu hak, melainkan hak itu timbul dari adanya perikatan hukum (perjanjian) yang tertuang dalam surat itu, akan tetapi terdapat surat-surat tertentu yang disebut surat formil, yang langsung melahirkan suatu hak tertentu, misalnya cek, bilyet giro, wesel, surat izin mengemudi, ijazah dan lain-lain. Dengan kata lain surat yang menimbulkan suatu hak adalah surat yang memuat suatu kesepakatan, perjanjian dan sebagainya yang dimuat secara tertulis yang dapat menimbulkan suatu hak.30 2. Surat yang dapat menimbulkan suatu perikatan
Surat yang berisi suatu perikatan pada dasarnya berupa surat yang memuat berbagai perjanjian yang menyebabkan timbulnya hak-hak dan keawajiban-kewajiban dari masing-masing pihak. Misalnya surat jual beli yang melahirkan hak si penjual untuk menerima uang pembayaran harga suatu benda, dan pembeli mempunyai hak untuk memperoleh atau menerima benda yang dibelinya.
3. Surat yang dapat menimbulkan pembebasan utang
Dalam suatu surat pembebasan utang, pembebasan utang pada dasarnya disebabkan karena dan dalam hubungannya dengan suatu perikatan. Misalnya suatu kuitansi yang berisi penyerahan sejumlah uang tertentu dalam hal dan dalam hubungannya dengan jual beli, utang piutang dan lain-lain.
4. Surat yang diperuntukkan sebagai bukti mengenai sesuatu hal
30Sianturi,Tindak Pidana di KUHP Beserta Uraiannya, (Jakarta: Alumni Ahaem-Petehaem,
(40)
Dimana terdapat dua hal penting yang harus dimuat, yaitu:31
a. mengenai diperuntukkan sebagai bukti (mempunyai kekuatan pembuktian); yang dimaksud dengan bukti adalah sifatnya surat itu memiliki kekuatan pembuktian (bewijskracht), kemudian diadakan pembatasan bahwa yang akan ditindak dengan hukuman pidana hanya surat-surat tertentu yaitu yang ditunjuk untuk membuktikan suatu kejadian atau peristiwa.
b. tentang sesuatu hal;
Sesuatu hal yang dimaksudnya adalah kejadian atau peristiwa tertentu, baik yang sengaja dilangsungkan, contohnya perkawinan, maupun karena peristiwa alam contonya peristiwa kelahiran dan kematian. Dimana peristiwa-peristiwa tersebut mempunyai akibat hukum, yaitu kejadian yang memiliki pengaruh terhadap hubungan hukum orang-orang yang bersangkutan.
Dalam hal seseorang melakukan perbuatan dengan sengaja, maka dapat dikualifikasikan ke dalam tiga bentuk kesengajaan, yaitu :32
1. Kesengajaan sebagai maksud/tujuan (opzet als oogmerk) atau sering disebut dengandolus directus.
Kesengajaan dengan maksud akan terjadi, apabila seseorang menghendaki melakukan suatu perbuatan sekaligus menghendaki terhadap timbulnya akibat perbuatan itu. Artinya kehendak untuk melakukan perbuatan tersebut memang dimaksudkan atau ditujukan untuk menimbulkan akibat yang dikehendaki.
2. Kesengajaan dengan tujuan yang pasti atau yang merupakan keharusan.
Jenis kesengajaan ini akan terjadi apabila seseorang melakukan suatu perbuatan mempunyai tujuan untuk menimbulkan akibat tertentu, tetapi di samping akibat yang dituju itu pelaku insyaf atau menyadari, bahwa dengan melakukan perbuatan untuk menimbulkan akibat yang tertentu itu, perbuatan tersebut pasti akan menimbulkan akibat lain yang sebenarnya tidak dikehendaki hanya disadari kepastian akan terjadinya.
3. Kesengajaan dengan sadar akan kemungkinan atau kesengajaan dengan syarat (voorwardelijk opzet) atau juga sering disebut dengan istilahdolus evantualis.
Terjadi apabila seseorang melakukan suatu perbuatan mempunyai tujuan untuk menimbulkan akibat tertentu, tetapi di samping akibat yang dituju itu pelaku insyaf atau menyadari, bahwa dengan melakukan perbuatan untuk menimbulkan akibat yang tertentu itu, perbuatan tersebut mungkin akan menimbulkan akibat lain yang sebenarnya tidak dikehendaki hanya disadari kemungkinan akan terjadinya.
31Adami Chazawi,
Op.Cit., halaman 102
32Tongat,Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam PerspektifPembaharuan, (Malang :
(41)
Dengan hal-hal tersebut diatas, maka akta yang terbukti palsu yang terdapat dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia (RI) Nomor 303 K/Pid/2004 menjadi tidak sah33, dan tidak mempunyai kekuatan sebagai bukti yang sempurna, atau kehilangan otentisitasnya sebagai akta otentik. Dalam hal ini notaris yang terbukti telah melakukan perbuatan pidana tersebut tetap dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana serta dijatuhi hukuman pidana sesuai dengan ketentuan yang terdapat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dimana penjatuhan hukuman pidana terhadap notaris yang melakukan tindak pidana dalam menjalankan jabatannya, dilakukan berdasarkan perbuatan pidana yang dilakukan serta ditambah dengan hukuman pemberat.
Dengan demikian notaris harus memiliki perilaku profesional yang unsur-unsurnya adalah sebagai berikut :34
a. Harus menunjuk pada keahlian yang didukung oleh pengetahuan dan pengalaman yang tinggi.
b. Memiliki integritas moral, dalam arti segala pertimbangan moral harus melandasi tugas-tugas professional. Pertimbangan moral profesional ini harus diselaraskan dengan nilai-nilai kemasyarakatan, nilai-nilai sopan santun dan agama.
c. Menunjuk pada kejujuran, tidak saja pada pihak kedua atau ketiga, tetapi juga pada dirinya sendiri.
d. Dalam melakukan tugas jabatannya, notaris tidak boleh semata-mata didorong oleh pertimbangan uang, tidak boleh diskriminatif.
e. Notaris profesional harus memegang teguh kode etik profesi.
33 Maksud dikatakan akta yang tidak sah adalah :
1. isi dari akta tersebut bukan asli dari orang yang namanya dimuat dalam akta.
2. Tanda tangan akta dipalsukan, yaitu tanda tangan orang yang sudah meninggal ditiru.
34E. Sumaryono, Etika Profesi Hukum (Norma-norma bagi Penegak Hukum), (Yogyakarta:
(42)
Dengan demikian, notaris merupakan suatu profesi yang mempunyai tugas berat sebag harus menempatkan pelayanan masyarakat di atas segala-galanya. Di samping profesi notaris juga merupakan expertise. Oleh karenanya rasa tanggung jawab baik individual maupun sosial, terutama ketaatan terhadap norma-norma hukum positif dan kesediaan untuk tunduk pada kode etik profesi, merupakan suatu hal yang wajib sehingga akan memperkuat hukum positif yang sudah ada.35
Agar notaris dapat menjalankan profesinya sesuai dengan tuntutan etika profesi, maka harus memiliki tiga ciri moral, yaitu :36
1. Harus menjadi orang yang tidak diselewengkan dari tekadnya oleh segala macam perasaan takut, malas, malu, emosi, dan lain sebagainya. Artinya ia harus memiliki kepribadian moral yang kuat.
2. Harus sadar bahwa mempertahankan tuntutan etika profesi merupakan suatu kewajiban yang berat.
3. Harus memiliki cukup idealisme.
Sehingga dengan prilaku profesional tersebut seorang notaris dalam menjalankan tugas jabatannya haruslah senantiasa bertindak dengan seksama, hati-hati, jujur serta bertanggungjawab, sehingga tidak seharusnya seorang notaris dapat terkena tipu daya, bahkan terbujuk, atau karena adanya suatu hubungan yang terjalin begitu baik oleh penghadap dalam bentuk apapun juga, bahkan sampai melakukan
35
Liliana Tedjosaputro, Etika Profesi Notaris Dalam Menegakkan Hukum Pidana, (Yogyakarta : BIGRAF Publishing, 1995), halaman 13.
36 Franz Magnis Suseno, dkk,Etika Sosial, (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 1989),
(43)
pekerjaan (yaitu membuat surat kuasa) di luar wilayah jabatannya. Dalam hal ini terbukti bahwa notaris tersebut telah sengaja melakukan kesalahan, sehingga tidak ada alasan pemaaf dan alasan pembenar untuk kesalahannya tersebut.
2. Kerangka Konsepsi
Kerangka konsepsi sehubungan penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang.37
b. Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana dan pelaku itu dapat dikatakan merupakan subjek tindak pidana.38
c. Pemalsuan adalah perbuatan mengubah atau meniru dengan menggunakan tipu muslihat sehingga menyerupai aslinya.39
d. Surat kuasa adalah surat yang berisi pelimpahan wewenang dari seseorang atau pejabat tertentu kepada seseorang atau pejabat lain. Pelimpahan wewenang dapat mewakili pihak yang memberi wewenang.
e. Jabatan adalah kedudukan seseorang didalam menjalankan suatu profesi yang sesuai dengan keahliannya.
37Pasal 1 Undang-undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. 38
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: PT. Eresco, 1986), halaman 55.
39 Jur. Andi Hamzah, Terminologi Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008),
(44)
G. Metode Penelitian 1. Spesifikasi Penelitian
Penelitian mengenai Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Pemalsuan Surat Kuasa Yang Dibuat Notaris merupakan penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka (data sekunder) atau penelitian hukum perpustakaan40, yang bersifat deskriptif analisis dengan pendekataan yuridis normatif.
Pada penelitian normatif data sekunder sebagai sumber/bahan informasi dapat merupakan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Pelaksanaan penelitian normatif secara garis besar ditujukan kepada :
a. penelitian terhadap asas-asas hukum. b. penelitian terhadap sistematika hukum. c. penelitian terhadap sinkronisasi hukum. d. penelitian terhadap sejarah hukum.41 e. penelitian terhadap perbandingan hukum.42
Dari unsur-unsur penelitian hukum normatif tersebut diatas dikaitkan dengan judul penelitian tersebut diatas, peneliti lebih memberatkan terhadap menemukan asas-asas hukum dalam jabatan notaris mengenai kapan seorang notaris dapat dikatakan telah melakukan tindak pidana dalam menjalankan tugasnya serta sinkronisasi aturan-aturan hukum mengenai perbuatan notaris ke dalam sistem hukum pidana nasional di Indonesia.
40Soerjono Soekanto, 1995, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta:
PT. Raja Grapindo Persada, 1985), halaman 12.
41
Ibid,halaman 14.
42 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktik, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996),
(45)
Penelitian ini dititik beratkan pada studi kepustakaan, sehingga data sekunder atau bahan pustaka lebih diutamakan dari data primer. Data sekunder yang diteliti terdiri atas :
a. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mengikat, antara lain berupa : 1. Pancasilan.
2. Undang-Undang dasar 1945.
3. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. 4. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
5. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan yang berhubungan dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa dan memahami bahan hukum primer, antara lain :
1. Rancangan peraturan-peraturan perundang-undangan. 2. Hasil karya ilmiah para sarjana.
3. Hasil-hasil penelitian.
c. Bahan hukum tertier yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi tentang bahan primer dan sekunder antara lain :
1. Kamus besar bahasa Indonesia. 2. Ensiklopedi Indonesia.
3. Berbagai majalah hukum yang berkaitan dengan jabatan notaris.43 2. Metode Pendekatan
Penelitian ini mempergunakan metode pendekatan deskriptif analisis dengan pendekatan yuridis normatif, dimulai analisis terhadap pasal-pasal yang mengatur hal-hal yang menjadi permasalahan diatas, dengan mengingat permasalahan yang
(46)
diteliti berdasarkan pada peraturan-peraturan perundang-undangan yaitu hubungan peraturan satu dengan peraturan lain serta kaitannya dengan penerapannya dalam praktek.
3. Alat Pengumpulan Data
Pada umumnya para peneliti mempergunakan alat pengumpulan data berupa: a. Studi kepustakaan.
Studi kepustakaan ini untuk mencari konsep-konsep, teori-teori, pendapat-pendapat atau penemuan-penemuan yang berhubungan erat dengan pokok permasalahan. Kepustakaan tersebut dapat berupa peraturan perundang-undangan, karya ilmiah para sarjana dan lain-lain.
b. Studi Lapangan.
Studi lapangan adalah cara memperoleh data yang bersifat primer. Hal ini akan diusahakan untuk memperoleh data-data dengan mengadakan wawancara. Pada wawancara ini yang akan dijadikan sumber informan akan dipilih dari Notaris/PPAT, Majelis Pengawas Daerah (MPD), dan Pengadilan Negeri Medan.
4. Analisis Data
Setelah pengumpulan data dilakukan, maka data tersebut dianalisa secara
kualitatif44 yakni dengan mengadakan pengamatan data-data yang diperoleh dan menghubungkan tiap-tiap data yang diperoleh tersebut dengan ketentuan-ketentuan
44 Bambang Sunggono, Metodelogi Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
(47)
maupun asas-asas hukum yang terkait dengan permasalahan yang diteliti. Karena penelitian ini normatif , dilakukan interpretasi dan konstruksi hukum dengan menarik kesimpulan menggunakan cara deduktif menjawab dari permasalahan dan tujuan penelitian yang ditetapkan.
(48)
BAB II
AKIBAT HUKUM YANG DITIMBULKAN OLEH NOTARIS TERHADAP AKTA SURAT KUASA YANG MENGANDUNG UNSUR PIDANA
A. Tugas Dan Jabatan Notaris
1. Kedudukan Notaris Di Masyarakat
Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang jabatan Notaris yang kini berlaku sebagian besar masih didasarkan pada peraturan perundang-undangan peninggalan zaman kolonial Hindia Belanda dan sebagian lagi merupakan peraturan perundang-undangan nasional yaitu:40
1. Reglement Op Het Notaris Ambt in Indonesie (Stb. 1860:3) sebagaimana telah diubah terakhir dalam Lembaran Negara tahun 1954 Nomor 101;
2. Ordonantie 16 September 1931 tentang Honorarium Notaris;
3. Undang-undang Nomor 33 Tahun 1954 tentang Wakil Notaris dan Wakil Notaris Sementara (Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara Nomor 700);
4. Undang-undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 34, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4379); dan
40Abdul Ghofur Anshori,
Lembaga Kenotariatan Indonesia Perspektif Hukum Dan Etika, (Yogyakarta : UII Press, 2009), halaman 102.
(49)
5. Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1949 tentang Sumpah atau Janji Jabatan Notaris.
Berbagai ketentuan dalam peraturan perundang-undangan tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, perlu diadakan pembaharuan dan pengaturan kembali secara menyeluruh dalam satu undang-undang yang mengatur tentang jabatan notaris sehingga dapat tercipta suatu unifikasi hukum yang berlaku untuk semua penduduk di seluruh wilayah negara Republik Indonesia. Dalam rangka mewujudkan unifikasi hukum dibidang kenotariatan tersebut, dibentuk undang-undang tentang jabatan notaris. Pada saat undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris mulai berlaku, semua peraturan yang telah disebutkan diatas dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Para notaris diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah c.q. Menteri Kehakiman sebagai Pembantu Presiden (Pasal 17 UUD RI 1945). Sebelum menjalankan jabatannya itu seorang notaris harus mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya dihadapan Menteri atau Pejabat yang ditunjuk, paling lambat 2 bulan terhitung sejak tanggal keputusan pengangkatan sebagai notaris. Pengangkatan notaris diatur dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN). Pemberhentian jabatan notaris diatur didalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 14 UUJN.
Notaris sebagai sebuah profesi yang mulia (officium nobile) memegang peranan penting dalam kehidupan bermasyarakat, terutama masyarakat modern yang menghendaki adanya pendokumentasian suatu peristiwa hukum atau perbuatan
(50)
hukum tertentu yang dilakukan oleh subjek hukum baik dalam arti subjek hukum berupa orang (natuurlijke persoon) maupun subyek hukum dalam arti badan hukum (recht persoon). Subyek hukum diartikan sebagai penyandang hak dan kewajiban dan padanya dapat melakukan perbuatan hukum tertentu untuk menimbulkan akibat hukum tertentu.
Secara sosiologis keberadaan notaris di tengah-tengah kehidupan masyarakat sangat dibutuhkan, terutama untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan alat bukti yang mempunyai kekuatan pembuktian sempurna. Alat bukti yang mempunyai kekuatan pembuktian sempurna ini lazim disebut dengan akta notariil atau akta otentik (authentic acte) yaitu akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang. Adapun pejabat yang berwenang dimaksud antara lain adalah pejabat kantor catatan sipil yang mempunyai kewenangan mengeluarkan akta kelahiran dan akta perkawinan bagi orang-orang non muslim, Pejabat Kantor Urusan Agama (KUA) sebagai pejabat yang berwenang mengeluarkan kutipan Akta Nikah, serta Notaris sebagai pejabat umum (openbaar ambtelijk) yang berwenang mengeluarkan akta terkait dengan perjanjian yang dibuat oleh subjek hukum misalnya perjanjian pendirian PT yang dituangkan dalam Anggaran Dasar yang dibuat secara notariil, wasiat, perjanjian jual-beli untuk barang-barang tertentu, dan sebagainya.41
Dalam konteks UUJN landasan sosiologis adanya notaris pada dasarnya adalah adanya kebutuhan masyarakat yang semakin meningkat terhadap jasa notaris, khususnya di era pembangunan di segala bidang kehidupan yang terjadi di negara
(51)
Republik Indonesia. Kemudian landasan diperlukannya undang-undang tentang jabatan notaris adalah karena notaris merupakan jabatan tertentu yang menjalankan profesi dalam pelayanan hukum kepada masyarakat yang perlu mendapatkan perlindungan dan jaminan demi tercapainya kepastian hukum.42
UUJN sebagai hukum positif yang mengatur perihal notaris, selain memberikan kewenangan, kewajiban, dan larangan bagi notaris hendaknya juga dapat memberikan perlindungan hukum yang seimbang bagi para pihak dalam proses pembuatan suatu akta. Hal ini penting mengingat akhir-akhir ini semakin banyak notaris yang diminta menjadi saksi atau bahkan ada yang mendapatkan gugatan atau bahkan tuntutan dari klien atau pihak lain karena ia dianggap terlibat dalam kasus tertentu yang sangat terkait erat dengan produknya berupa akta notariil.43
2. Tugas Notaris
Secara historis tugas dan kewenangan utama notaris adalah membuat akta otentik baik akta pejabat maupun akta partij dalam bentuk minuta akta, kecuali untuk akta akta tertentu dan atas permintaan yang langsung berkepentingan, notaris dapat membuat akta dalam bentuk in originali. Minuta Akta adalah asli akta yang disimpan dan merupakan bagian dalam protokol notaris dan dari minuta akta yang disimpan ini, notaris berwenang untuk mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta dan Kutipan Akta. Sedangkan akta in Originali adalah asli akta yang diberikan kepada yang langsung berkepentingan dalam akta dan akta in originali ini tidak disimpan dalam
42 Ibid.
(52)
protokol notaris, sehingga untuk akta dalam in originali, notaris tidak dapat mengeluarkan Salinan Akta, Kutipan Akta dan Grosse Akta.44 Pasal 1888 jo 1889 KUH.Perdata
Kewajiban adalah tugas yang harus dilaksanakan oleh seseorang, sehingga kewajiban notaris adalah tugas yang harus dilaksanakan oleh notaris dalam menjalankan jabatannya. Selain dari pada membuat akta autentik dan lain-lain itu yang memang merupakan tugas pokok atau utama, sehari-hari ia melakukan pula antara lain:45
1. Bertindak selaku penasehat hukum, terutama yang menyangkut masalah hukum perdata;
2. Mendaftarkan akta-akta atau surat-surat dibawah tangan (stukken), melakukan
waarmerking;
3. Melegalisir tanda tangan;
4. Membuat dan mensahkan (waarmerking) salinan atau turunan berbagai dokumen; 5. Mengusahakan disahkannya badan-badan, seperti perseroan terbatas dan
perkumpulan, agar memperoleh persetujuan atau pengesahan sebagai badan hukum dari Menteri Kehakiman;
6. Membuat keterangan hak waris (di bawah tangan); dan
7. Pekerjaan-pekerjaan lain yang bertalian dengan lapangan yuridis dan perpajakan, seperti urusan bea materai dan sebagainya.
Seorang notaris dalam menjalankan tugas jabatannya, harus sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh UUJN, sebagaimana ketentuan yang dimuat dalam Pasal 15 UUJN, yang berbunyi :46
1. Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang
44
http://arigawa.blogspot.com/2010/04/notaris-sebagai-saksi-atau-tergugat.html, tanggal 28 Nopember 2010.
45 Ibid.
(53)
dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.
2. Notaris berwenang pula :
a. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus.
b. Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar di dalam buku khusus.
c. Membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan di gambarkan dalam surat yang bersangkutan.
d. Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya. e. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta. f. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan, atau
g. Membuat akta risalah lelang.
3. Selain kewenangan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur di dalam perundang-undangan.
Menurut hemat peneliti, tidak setiap pejabat umum dapat membuat akta, akan tetapi seorang pejabat umum hanya dapat membuat akta-akta tertentu, yang ditugaskan atau dikecualikan kepadanya berdasarkan peraturan perundang-undangan.
(54)
Notaris tidak berwenang membuat akta untuk kepentingan setiap orang bahwa notaris tidak diperbolehkan membuat akta, bagi notaris itu sendiri, isterinya suaminya, keluarga sedarah atau keluarga semenda notaris dalam garis lurus tanpa pembatasan derajat dan dalam garis kesamping sampai dengan derajat ketiga, baik secara pribadi maupun melalui kuasa. Maksud dan tujuan dari ketentuan ini adalah untuk mencegah terjadinya tindakan memihak dan penyalahgunaan jabatan. Bagi setiap notaris ditentukan daerah hukumnya (daerah jabatannya) dan hanya di dalam daerah yang ditentukan baginya itu ia berwenang untuk membuat akta otentik. Akta yang dibuatnya di luar daerah jabatannya adalah tidak sah. Notaris tidak boleh membuat akta selama ia masih cuti atau dipecat dari jabatannya, demikian juga notaris tidak boleh membuat akta sebelum ia memangku jabatannya (sebelum diambil sumpahnya).
Apabila salah satu persyaratan di atas tidak terpenuhi, maka akta yang dibuatnya itu adalah tidak otentik dan hanya mempunyai kekuatan seperti akta yang dibuat di bawah tangan, apabila akta itu ditandatangani oleh para penghadap. Berbagai akta yang biasa atau sering dibuat dihadapan atau oleh notaris dalam menjalankan tugas jabatannya adalah sebagai berikut :47
1. Akta-akta yang menyangkut hukum perorangan (personen recht), Burgerlijk WetboekBuku I, antara lain :
a. Berbagai izin kawin baik dari orang tua ataupun kakek/nenek (harus otentik/ Pasal 71 BW).
b. Pencabutan pencegahan perkawinan (harus otentik/Pasal 70 BW).
c. Berbagai perjanjian kawin berikut perubahannya (harus otentik/Pasal 147, 148 BW dan sebagainya).
(55)
d. Kuasa melangsungkan perkawinan (harus otentik/Pasal 70 BW).
e. Hibah yang berhubungan dengan perkawinan dan penerimaannya (harus otentik/Pasal 176 dan 177 BW).
f. Berbagai kuasa/bantuan suami kepada istrinya (Pasal 108 dan 139 BW). g. Pembagian harta perkawinan setelah adanya putusan pengadilan tentang
pemisahan harta (harus otentik/Pasal 191 BW).
h. Kuasa melepaskan harta campur (Pasal 132 dan 133 BW).
i. Pemulihan kembali harta campur yang telah dipisah (harus otentik/Pasal 196 BW).
j. Syarat-syarat untuk mengadakan perjanjian pisah meja dan ranjang (Pasal 237 BW).
k. Perdamaian antara suami istri yang telah pisah meja dan ranjang (Pasal 248 dan 249 BW).
l. Keingkaran sahnya anak (Pasal 253 dan 256 BW).
m. Pengakuan anak luar kawin (harus otentik/Pasal 281 BW). n. Pengangkatan wali (harus otentik/Pasal 355 BW).
o. Pengakuan terima perhitungan dan sebagainya dari/kepada Balai Harta Peninggalan (Pasal 412 BW).
p. Pengakuan terima perhitungan wali (Pasal 412 BW). q. Pembebasan wali dari tanggung jawab (Pasal 412 BW).
2. Akta-akta yang menyangkut hukum kebendaan (zaken recht),Burgerlijk Wetboek
Buku II, antara lain :
a. Berbagai macam jenis surat wasiat, termasuk di antaranya penyimpanan wasiat umum, wasiat pendirian yayasan, wasiat umum, wasiat pemisahan dan pembagian harta peninggalan, fideicommis, pengangkatan pelaksana wasiat dan pengurusan harta peninggalan dan pencabutannya (harus otentik/ Pasal 874 dan seterusnya BW, dikecualikancodicil).
b. Berbagai kuasa yang menyangkut warisan, seperti kuasa keterangan menimbang, menerima secara terbatas, menolak harta peninggalan (Pasal 1023 dan sebagainya 1044 dan seterusnya BW).
c. Berbagai akta pemisahan dan pembagian harta penginggalan/warisan (dalam berbagai hal harus otentik/ Pasal 1066 dan seterusnya BW).
d. Pencatatan harta peninggalan (Pasal 1073 BW).
e. Jaminan kebendaan gadai (Pasal 1150 dan seterusnya BW).
f. Jaminan kebendaan hipotik (harus otentik/ Pasal 1162 dan seterusnya 1171, 1195 dan 1196 BW juncto peraturan agraria).
3. Akta-akta yang menyangkut hukum perikatan (verbintenissen recht), Burgerlijk WetboekBuku III, antara lain :
a. Berbagai macam/jenis jual beli (Pasal 1457 dan seterusnya BW) untuk tanah dengan PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah).
b. Berbagai macam/jenis tukar menukar (Pasal 1541 dan seterusnya BW), untuk tanah dengan akta PPAT.
(1)
pertimbangan hukum yang berkaitan dengan penjatuhan sanksi. Oleh karena itu penjatuhan sanksi kepada notaris bukanlah tujuan, melainkan bagian dari pembinaan terhadap pelaksanaan jabatan dan perilaku notaris.
(2)
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Adjie, Habib,Hukum Notaris Indonesia, Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.Rafika Aditama. Bandung. 2008.
---, Sekilas Dunia Notaris & PPAT Indonesia, CV. Mandar Maju, Bandung, 2009.
---, Meneropong Khazanah Notaris dan PPAT Indonesia (Kumpulan Tulisan Notaris dan PPAT),PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2009.
Anshori, Abdul Ghofur, Lembaga Kenotariatan Indonesia Perspektif Hukum dan Etika,UII Press, Yogyakarta, 20093.
Anwar, H.A.K Moch., Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II), Bandung : Alumni, 1986.
Arief, Barda Nawawi, Kebijakan legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjaa,CV. Ananta, Semarang, 1994.
Ashofa, Burhan,Metode Penelitian Hukum,Rineka Cipta, Jakarta, 1996
Chazawi, Adami, Kejahatan Mengenai Pemalsuan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2005.
Darmodiharjo, Darji dan Sidharta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum,Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1995.
Hamzah, Jur. Andi,Terminologi Hukum Pidana,Jakarta : Sinar Grafika, 2008.
Van Bemmelen J.M, Hukum Pidana I Hukum Pidana Material Bagian Umum, Binacipta : 1984
Kansil, C.S.T dan Christine T. Kansil, Pokok-Pokok Profesi Hukum, Jakarta : Pradnya Paramitha, 1995
(3)
Kanter, E.Y, Etika Profesi Hukum; Sebuag Pendekatan Religius, Jakarta : Storia Grafika, 2001
Kartanegara, Satochid, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Seri I, Balai Lektur Mahasiswa, Tanpa Tahun.
Laminating, P.A.F,Dasar- Dasar Hukum Pidana Indonesia,Bandung : Citra Aditya Bakti, 1997.
Lubis, M. Solly,Filsafat Ilmu dan Penelitian,CV. Mandar Maju, Bandung, 1994. Lubis, Suhrawardi K.,Etika Profesi Hukum,Sinar Grafika, Jakarta, 2002.
Loqman, Loebby, Percobaan, Penyertaan dan gabungan Tindak Pidana, Jakarta : Universitas Tarumanegara, 1995.
Mardalis,Metode Penelitian,Bumi Aksara, jakarta, 1995.
Moeleong, Lexy J.Metodologi Penelitian Hukum,Liberti, Yogyakarta, 2004.
Prints, DarwanPemberantasan Tindak Pidana Korupsi,Bandung, Citra Aditya Bakti, 2002.
---, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2 (Penafsiran Hukum Pidana, Dasar Pemidanaan, Pemberatan & Peringanan, Kejahatan aduan, Perbarengan & Ajaran Kauswalitas),Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2005.
---, Pelajaran Hukum Pidana 3, Percobaan dan Penyertaan, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2002.
Prodjodikoro, wirjono,Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia,Bandung, PT. Eresco, 1986.
Santoso, Topo, Menggagas Hukum Pidana Islam, Bandung, Asy Syaamil Press & Grafika, 2001.
--- dan Eva Achjani Zulfa, Kriminologi, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2001.
Sianturi, Tindak Pidana Di KUHP Beserta Uraiannya, Jakarta, Alumni Ahaem-Petehaem, 1989.
(4)
---, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta, Alumni Ahaem-Petehaem, 1996.
Soekanto, Soerjono,Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
---,Pengantar Penelitian Hukum,UI Press, jakarta, 1986
---, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1985.
Suharjono, Sekilas Tinjauan Akta Menurut Hukum, Varia Peradilan 123, Desember 1995.
Sunggono, Bambang,Metodology Penelitian Hukum,Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1997.
Sumaryono, E., Etika Profesi Hukum (Noma-norma bagi penegak Hukum), Yogyakarta, Kanisius, 1995.
Suseno, Franz Magnis, dkk, Etika Sosial, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 1989.
Tedjosaputro, Liliana, Etika Profesi Notaris Dalam Menegakkan Hukum Pidana, Yogyakarta : BIGRAF Publishing, 1995.
Tobing, G.H.S. Lumban,Peraturan Jabatan Notaris,Jakarta, Erlangga, 1999.
Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan, Malang UMM Press, 2008.
Tresna, R.,Asas-Asas Hukum Pidana,Bandung, Universitas Padjajaran, 1959.
Usfa, A. Fuad dan Tongat, Pengantar Hukum Pidana,Universitas Muhammadiyah Malang, Malang 2004.
Utrecht, E.,Hukum Pidana I,Bandung, Universitas Padjajaran, 1958.
Waluyo, Bambang,Penelitian Hukum Dalam Praktik,Jakarta, Sinar Grafika, 1996. Widyadharma, Ignatius Ridwan, Etika Profesi Hukum, Semarang, Badan Penerbit
(5)
B. Peraturan Perundang-undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHPidana)
Undang-undang No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.
C. Internet
http://id.wikipedia.org/wiki/Notaris, tanggal 1 Januari 2010
http://zulpiero,wordpress.com/2010/04/20hubungan-peraturan-jabatan-notaris-dan-kode-etik-dalam-pelaksanaan-tugas-notaris, tanggal 1 Januari 2010.
http://ucupnepture.blogspot.com/2007/11/ketentuan-dan-kode-etik-notaris.html, tanggal 1 Januari 2010, pukul 13.00 Wib.
http://law.uii.ac.id/berita-yes/berita-coba/seminar-nasional-prospek-politik-penegakan-hukum-di-indonesia.html, tanggal 10 Juli 2010.
http://irmadevita.com/2008/perbedaan-akta-otentik-dengan-surat-di-bawah-tangan, tanggal 20 Oktober 2010.
http://perpustakaan.uns.ac.id/jurnal/upload_file/53-fullteks.pdf, tanggal 25 Oktober 2010.
http://zulpiero.wordpress.com/2010/04/26/kewenangan-kewajiban-dan-larangan-notaris-dalam-uujn, tanggal 27 Oktober 2010.
http://h-monokonsultasihukum.blogspot.com/2009/10/memalsukan-surat-atau-membuat-surat.html.
http://72legalogic. Wordpress.com/2009/03/23/akta-otentik-dalam-hukum-positif-indonesia/, tanggal 18 Nopember 2010.
http://www.syamsul-rijal.co.cc/2010//tujuan-hukum-pidana.html, tanggal 17 Desember 2010.
http://www.effendi.googlepages.com/Pertemuan VI dan VII. Pdf, tanggal 17 Desember 2010.
(6)
http://verry-punyaverry.blogspot.com, tanggal 17 Desember 2010.
http://www.oneofthesky.co.cc/2010/05/teori-kejahatan.html, tanggal 17 Desember 2010.
http://rangerwhite09-artikel.blogspot.com/2010/05/azas-pembuktian.html, tanggal 25 Januari 2011.
http://elfatsani.blogspot.com/2009/04/pembuktian-di-muka-persidangan.html, tanggal 25 Januari 2011.