Pertanggungjawaban Pidana Notaris Dalam Hal Tindak Pidana Pemalsuan Surat Akta Authentik (Studi Putusan Nomor: 40/Pid.B/2013/Pn.Lsm)

(1)

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA NOTARIS DALAM HAL TINDAK PIDANA PEMALSUAN AKTA AUTHENTIK (STUDI PUTUSAN NOMOR:

40/Pid.B/2013/P.Lsm)

S K R I P S I

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Guna Memenuhi Syarat Dalam Mencapai Gelar Sarjana Hukum

Oleh:

ABDURRAHMAN HARIT’S KETAREN NIM: 110200382

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA NOTARIS DALAM HAL TINDAK PIDANA PEMALSUAN SURAT AKTA AUTHENTIK (STUDI PUTUSAN NOMOR:

40/PID.B/2013/PN.LSM) S K R I P S I

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Guna Memenuhi Syarat Dalam Mencapai Gelar Sarjana Hukum

Oleh:

ABDURRAHMAN HARIT’S KETAREN NIM: 110200382

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

Disetujui Oleh:

KETUA DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

(Dr. M. Hamdan, S.H., M.H) NIP. 195703261986011001

DOSEN PEMBIMBING I DOSEN PEMBIMBING II

(Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH.MS) (Alwan, S.H., M.Hum)

NIP.196303311987031001 NIP. 196005201998021001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

KATA PENGANTAR

Bismillahhirrahmanirrahim.

Syukur alhamdulillah saya ucapkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan ridho-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan sebaik-baiknya. Setiap mahasiswa yang akan menyelesaikan program S1 pada Universitas Sumatera Utara diwajibkan menyusun karya tulis/skripsi sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku.

Untuk memenuhi kewajiban tersebut, maka penulis menyusun skripsi yang diberi judul : PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA NOTARIS DALAM HAL TINDAK PIDANA PEMALSUAN AKTA AUTHENTIK ( STUDI PUTUSAN NOMOR : 40/PID.B/2013/P.Lsm)

Berpedoman pada judul tersebut, penulis menyadari di dalam pelaksanaan penulisan karya tulis / skripsi ini banyak mengalami kesulitan-kesulitan dan hambatan. Namun berkat bimbingan, arahan, serta petunjuk dari dosen pembimbing maka penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Saya menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini tidak luput dari kekurangan-kekurangan dalam hal penelitian skripsi ini. Maka dari tiu saya mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dimasa yang akan dating.

Dalam penelitian skripsi ini menerima banyak bantuan, bimbingan dan motivasi dari berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(4)

3. Bapak Syafruddin, S.H., M.H., DFM., selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. OK. Saidin, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr. M. Hamdan S.H., M.Hum., selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang sangat berjasa dan membantu penulis baik itu hal-hal kecil maupun besar serta terus memberikan jalan yang baik bagi penulis untuk dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik dan benar.

6. Bapak Prof. Dr. Alvi Syahrin S.H., M.Si., selaku Dosen Pembimbing I yang telah sangat membantu penulis dalam penulisan skripsi ini serta telah meluangkan waktu, tenaga dan pemikiran dalam membantu penulis.

7. Bapak Alwan S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini serta telah banyak meluangkan waktu serta ide dan tenaga untuk menyelesaikan skripsi ini.

8. Bapak Malem Ginting, S.H, M.Hum selaku dosen wali

9. Seluruh staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis ketika duduk di bangku perkuliahan.

10.Terima kasih tak terhingga kepada Ayahanda penulis, Ir. H. Kumala Ketaren M.M. dan Ibunda tercinta, T. Zam-Zam Safina yang menjadi motivasi utama serta selalu meluangkan baik materi, waktu, dan tenaga untuk mendengarkan keluh kesah penulis dalam menulis skripsi ini dan telah menjadi suatu pencerah bagi penulis untuk tetap terus melangkah lebih baik dari hari ke hari dan menjadi sosok yang harus tetap rendah hati.


(5)

11.Kepada abang, kakak dan adik penulis Budi Prakarsa Ketaren S.H., M.Hum., Siti Maimana Sari Ketaren S.H., M.Hum., Faisal Lafi Sa’din Ketaren S.Ab terima kasih atas doa-doanya serta saran-saran yang terus mendukung penulis sampai saat ini.

12.Kepada wanita terkasih yang sangat memberi waktu dan semangat kepada penulis yaitu Risa Utami Putri terima kasih atas doa-doanya serta saran-saran dan slalu mendukung penulis sampe saat ini.

13.Teman yang luar biasa dari pertama masuk kuliah, orang-orang yang memiliki segudang cerita dan kisah serta tingkah dan kepribadian unik dari masing-masing individu. Merekalah, Fikri Rizki, S.H., M.Kn., Mila Lailyana, S.H., Selaku Doping 3 penulis dan Syahnaz Miyagi Munira S.H., selaku mamak di kampus, Nur Aqmarina S.H. Irt., Cyndi Fransisca Ulina Hutagalung C.S.H, Astri Ramadhani Sipahutar, Merico Sitorus, Calvin Benyamin Panjaitan, Muhammad Fauzan Akmal Zaldy, Kathty Carissa Bangun, S.H., Dila Armaya, S.H., Michael Benhard Marhain Sipayung, Yogi Ar Chaniago, Boy Christian Tobing, Shofa Husra, Dila Armaya, S.H., M.Ibnu Hidayah, Oonk Damanik S.H., Teguh Arifianda, Alif Oemry S.H, Syaid Mustafa Siregar S.H dan sangat banyak lagi teman-teman luar biasa di luar sana yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu.. 14.Terima kasih teman-teman Grup A stambuk 2011 Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara.

15.Serta ucapan terima kasih kepada IMADANA (Ikatan Mahasiswa Hukum Pidana 2011) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang sangat luar biasa memberikan kesan selama di perkuliahan dan kepanitaan yang telah di buat serta kesan yang indah dalam kegiatan Hukum pidana lainnya.

16.Dan juga kepada teman-teman penulis lainnya yang berada di dalam maupun di luar wilayah Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(6)

Medan, Februari 2015 Penulis,


(7)

DAFTAR ISI Kata Pengantar

Daftar Isi Abstrak

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

D. Keaslian Penulisan ... 8

E. Tinjauan Kepustakaan ... 8

1. Pengertian Notaris ... 8

2. Pengertian Akta Autentik ... 10

3. Pengertian Tindak Pidana Pemalsuan ... 11

F. Metode Penelitian ... 11

G. Sistematika Penulisan ... 14

BAB II Pengaturan Hukum Mengenai Terhadap Notaris A. Peranan Notaris dalam pembuatan Akta Autentik ... 15

B. Kewenangan Notaris dalam pembuatan Akta Autentik ... 27

C. Sanksi bagi Notaris yang melakukan Tindak Pidana ... 37

BAB III Pertangung Jawaban Pidana Notaris dalam hal pemalsuan Akta Autentik A. Pengertian pertangung jawaban Pidana ... 49

B. Pemalsuan Akta Autentik di tinjau dari dari kode etik Notaris ... 54

C. Sanksi Pidana terhadap Notaris yang melakukan Tindak Pidana Pemalsuan... 63

D. Analisis Putusan 1. Kasus ... 71


(8)

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan ... 84 B. Saran ... 85 DAFTAR PUSTAKA


(9)

ABSTRAK

Abdurrahman Harits ketaren1

Prof. Dr. Alvi Syahrin, S.H, M.S.**

Alwan, S.H, M.Hum.***

Akta authentik merupakan bukti terkuat dan mengikat bagi para pihak yang berkepentingan. Akta dapat dikatakan authentik apabila dalam pembuatan akta tersebut dilakukan dihadapan pejabat yang berwenang dan dalam hal ini adalah Notaris. Wewenang membuat akta authentik ini hanya dilaksanakan oleh Notaris sejauh pembuatan akta authentik tertentu tidak dikhususkan bagi pejabat umum lainnya. Adapun disaat ini sudah semakin banyak perbuatan pidana yang dilakukan oleh pejabat negara maupun masyarakat biasa, salah satu perbuatan pidana yang dilakukan oleh pejabat berwenang adalah Notaris yang melakukan tindak pidana pemalsuan akta. Tindakan Notaris ini sangat bertentangan dengan sumpah jabatan yang menimbulkan akibat hukum berupa sanksi pidana sesuai yang tertuang dalam Pasal 264 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Maka judul skripsi “Pertanggungjawaban Pidana Notaris dalam Hal Tindak Pidana Pemalsuan Akta Authentik (Studi Putusan Nomor 40/Pid.B/2013/P.Lsm) melihat bagaimana peranan Notaris dalam pembuatan Akta authentik serta bagaimana pertanggungjawaban pidana dalam hal pemalsuan Akta Authentik

Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah metode penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian terhadap doktrin-doktrin dan asas-asas hukum. Penelitian dilakukan dengan menganalisis putusan yaitu Putusan Pengadilan Negeri Lhokseumawe Nomor 40/Pid.B/2013//PN.Lsm dengan pokok perkara pertanggungjawaban pidana Notaris dalam pemalsuan akta authentik, hal ini dilakukan untuk melihat penerapan hukum positif terhadap pertimbangan hakim yang menjadi dasar menjatuhkan putusan

Berdasarkan penelitian yang saya lakukan diketahui bahwa peranan Notaris dalam pembuatan akta authentik terdapat pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris, Notaris adalah satu-satunya yang mempunyai wewenang umum dalam membuat akta authentik, artinya tidak turut para pejabat lainnya. Notaris berwenang dalam hal membuat dan mengesahkan dalam artian memberikan kekuatan hukum dalam akta authentik tersebut. Pertanggungjawaban pidana Notaris adalah pertanggungjawaban Notaris atas akta yang dibuatnya apakah melanggar ketentuan-ketentuan hukum pidana yang telah di atur oleh KUHP, apabila melanggar ketentuan tersebut maka Notaris tersebut harus di kenakan sanksi berupa sanksi pidana kurungan penjara dan denda yang diatur dalam KUHP. Kata Kunci : Tanggung Jawab Pidana, Notaris

1

) Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara **

) Dosen Pembimbing I ***)


(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Pengertian perbuatan pidana telah banyak dikemukakan oleh para ahli hukum pidana. Antara satu pengertian perbuatan pidana dengan pengertian perbuatan pidana yang lain secara umum terbagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang memisahkan secara tegas antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana, dan kelompok yang menyamakan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana. Pengertian perbuatan pidana semata menunjuk pada perbuatan baik secara aktif maupun secara pasif. Sedangkan apakah pelaku ketika melakukan perbuatan pidana patut dicela atau memiliki kesalahan bukan merupakan wilayah perbuatan pidana, tetapi sudah masuk pada diskusi pertanggungjawaban pidana. Dengan kata lain, apakah inkonkreto, yang melakukan perbuatan tadi sungguh-sungguh dijatuhi pidana atau tidak, itu sudah di luar arti perbuatan pidana.2

Marshall mengatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan atau omisi yang dilarang oleh hukum yang berlaku. Dalam Konsep KUHP tindak pidana diartikan sebagai perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam pidana oleh peraturan

perundang-Moeljatno mengatakan bahwa pengertian perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Pada kesempatan yang lain, dia juga mengatakan dengan substansi yang sama bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang di larang dan diancam dengan pidana, barangsiapa melanggar larangan tersebut.

2


(11)

undangan harus juga bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat. Setiap tindak pidana selalu dipandang bersifat melawan hukum, kecuali ada alasan pembenar.3

Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana barangsiapa yang melakukannya. Dengan pengertian ini, maka ditolak pendapat Simons dan Van Hamel. Simons mengatakan bahwa strafbaarfeit itu adalah kelakuan yang di ancam dengan pidana, bersifat melawan hukum, dan berhubung dengan kesalahan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab. Sedangkan Van Hamel mengatakan bahwa srafbaarfeit adalah kelakuan orang yang dirumuskan dalam undang-undang, bersifat melawan hukum, patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan.4

Perbuatan pidana hanya menunjuk kepada dilarang dan diancamnya perbuatan dengan suatu ancaman pidana. Apakah orang yang melakukan perbuatan dijatuhi pidana, tergantung apakah dalam melakukan perbuatan itu orang tersebut memiliki kesalahan.

5

Dengan demikian, membicarakan pertanggungjawaban pidana mau tidak mau harus didahului dengan penjelasan tentang perbuatan pidana. Sebab seseorang tidak bisa dimintai pertanggungjawaban pidana tanpa terlebih dahulu ia melakukan perbuatan pidana. Adalah dirasakan tidak adil jika tiba-tiba seseorang harus bertanggung jawab atas suatu tindakan, sedangkan ia sendiri tidak melakukan tindakan tersebut.6

3

Andi Hamzah, Asas- Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1994, hlm. 89 4

Ibid., hlm. 98 5

Moeljatno, Perbuatan Pidana dan PertanggungJawaban Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1983, hlm. 35 6

Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana; Dua Pengertian Dasar dalam Hukum Pidana, Aksara Baru, Jakarta, 1983, hlm. 20-23


(12)

pertanggungjawaban pidana itu sendiri adalah pertanggungjawaban seseorang terhadap tindak pidana yang dilakukan.7

Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam udang-undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya. Wewenang membuat akta otentik ini hanya dilaksanakan oleh Notaris sejauh pembuatan akte otentik tertentu tidak dikhususkan bagi pejabat umum lainnya.

Menurut Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPdt) menyebutkan bahwa ”akta authentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya.”

Akta authentik merupakan bukti terkuat dan mengikat bagi para pihak yang ada dalam akta tersebut, suatu akta dapat menghasilkan bukti yang kuat bagaimana peristiwa yang tersebut terjadi dan akta harus dipercayai tidak bisa di ragukan kebenarannya dikarenakan dalam pembuatan akta, para pihak berada di depan pejabat yang berwenang untuk membuat akta tersebut, maka para pihak tidak bisa meragukan keasliannya. Apabila para pihak meragukan atau membantah akta tersebut seharusnya mereka dapat membuktikan terlebih dahulu ketidakbenaran akta autentik tersebut.

8

Adapun disaat ini sudah semakin banyak perbuatan pidana yang di lakukan oleh pejabat negara maupun masyarakat biasa, oleh karena itu penulis ingin mengetahui bagaimana peranan pejabat negara yang berwewenang dalam menjalankan tugasnya, dan

7

Ibid., hlm. 156 8

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 dan Penjelasan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004.


(13)

bagaimana pula pertanggungjawaban oleh pejabat tersebut apabila melakukan tindak pidana, dan sanksi apa saja yang di dapat oleh pejabat tersebut apabila melakukan tindak pidana.

Salah satu perbuatan Pidana yang dilakukan oleh pejabat yang berwenang menjalankan tugasnya adalah perbuatan seorang Notaris yang melakukan perbuatan pidana berupa pemalsuan akta di mana perbuatan ini sangat bertentangan dengan sumpah jabatannya yang menimbulkan akibat hokum berupa sanksi Pidana kasus yang di sengketakan di pengadilan yang melibatkan notaris sebagai tersangka akan di uraikan sebagai berikut :

Bahwa pada waktu dan tempat sebagaimana tersebut diatas, sekira pukul 10.00 Wib saksi ILMASTIN, S.Pd.i BIN RUSLI dan sanksi MUSLIM GUNAWAN, S.Sos BIN SUWANDI datang menghadap terdakwa ke Kantor Notaris IMRAN ZUBIR DAOED,S.H. di Jalan Pang Lateh Desa Simpang Empat Kecamatan Benda Sakti Kota Lhokseumawe untuk perubahan anggaran dasar Lembaga Serikat Pengembang Swadaya Masyarakat (SEPAKAT) dengan memberikan dokumen sebagai dasar perubahan Anggaran dasar kepada terdakwa berupa Daftar Absensi Rapat Anggota Lsm Sepakat Lhokseumawe, Berita Acara Rapat Anggota Lsm Sepakat Lhokseumawe dan foto suasana rapat Anggota lembaga Sepakat.

Selanjutnya setelah saksi ILMASTIN, S.Pd.i BIN RUSLI dan saksi MUSLIM GUNAWAN, S. Sos BIN SUWANDI memberikan dokumen sebagai dasar perubahan tersebut, kemudian terdakwa membuat minuta akta (asli akta notaris) nomor : 01,- Tanggal 02 November 2012 ;

Bahwa pada saat terdakwa membuat minuta akta (asli akta notaris) Nomor 01,- Tanggal 02 November 2012 tersebut, terdakwa melakukan pemalsuan surat terhadap akta notaris/akte otentik Nomor : 01,- Tanggal 02 November 2012 tersebut dengan cara membuat ada sebagai penghadap yang menghadap di hadapan terdakwa halaman 1 akta Notaris tersebut dengan mencantumkan pada angka III selaku TUAN EDI FADHIL, lahir di lamraya,


(14)

pada tanggal 16 juni 1984 (seribu sembilan ratus delapanpuluh empat), wiraswasta, bertempat tinggal di Desa Cot Jambo, Kecamatan Montasik, Kabupaten Aceh Besar Pemegang Kartu Tanda Penduduk Nomor : 1354/04/AB/CJ/2003. Warga Negara Indonesia.

Padahal TUAN EDI FADHIL/saksi EDI FADHIL Bin ILYAS sebagaimana tersebut dalam Akta Notaris tersebut tidak pernah menghadap dihadapkan terdakwa untuk pembuatan akta notaris Nomor:01,- Tanggal 02 November 2012 tersebut :

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas,maka dapat dirumuskan batasan permasalahan dalam penulisan ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana peranan Notaris dalam pembuatan Akta Authentik?

2. Bagaimana pertanggungjawaban Pidana dalam hal Tindak Pidana Pemalsuan Akta Authentik?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan permasalahan di atas, dapat disimpulkan yang menjadi tujuan dari penulisan skripsi ini. Adapun yang menjadi tujuan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui sejauh mana peranan Notaris dalam pembuatan Akta Authentik 2. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana yang dapat dimintakan kepada

seorang Notaris apabila beliau melakukan tindak pidana pemalsuan Akta Autentik dengan melihat Putusan Pengadilan Negeri Lhokseumawe Nomor 40 / Pid.B / 2013 / PN. Lsm.

Manfaat yang diharapkan dan akan diperoleh dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :


(15)

1. Manfaat teoritis

Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan tambahan bagi ilmu pengetahuan pada umumnya dan untuk perkembangan ilmu hukum pidana pada khususnya serta menambah literatur dan referensi atau bahan bacaan bagi mahasiswa fakultas hukum dan masyarakat luas mengenai pertanggungjawaban pidana notaris dalam hal tindak pidana pemalsuan akta authentik.

2. Manfaat praktis

a. Bagi rekan mahasiswa, masyarakat, praktisi hukum dan pemerintah diharapkan agar skripsi ini dapat menjadi pedoman atau rujukan dalam melakukan penelitian yang berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana notaris dalam hal tindak pidana pemalsuan akta authentik.

b. Bagi masyarakat luas diharapkan agar skripsi ini dapat memberikan masukan dan pertimbangan untuk dapat menghindarkan diri dari kerugian sebagai pengguna jasa notaris dan dapat memberikan pelajaran serta pengalaman bagi notaris agar dalam menjalankan tugas dan kewajiban sebagai profesinya harus mematuhi undang-undang dan kode etik profesi, menjunjung tinggi profesionalitas profesinya untuk mengurangi resiko timbulnya kesalahan terhadap pembuatan akta autentik.

c. Bagi penegak hukum diharapkan agar skripsi ini dapat memberikan sumbangan pemikiran dan bahan pertimbangan dalam menggambil keputusan, khususnya dalam hal menetapkan pertanggungjawaban pidana notaris dalam hal tindak pidana pemalsuan akta authentik apabila terjadi sengketa di pengadilan.

d. Bagi pemerintah dan pembuat undang-undang diharapkan agar skripsi ini dapat memberikan masukan kepada pemerintah untuk menetapkan pertanggungjawaban pidana notaris dalam hal tindak pidana pemalsuan akta authentik dengan tegas dan


(16)

jelas dalam suatu peraturan perundang-undangan agar terciptanya kepastian hukum dalam masyarakat luas yang menggunakan jasa notaris dan meningkatkan profesionalitas notaris dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.

D. Keaslian Penulisan

Penulis telah melakukan daftar penelusuran skripsi di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatara Utara dan keasripan di departemen Hukum Pidana, tidak di temukan adanya kesamaan judul ataupun permasalahan yang di angkat oleh penulis yaitu “ PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA NOTARIS DALAM HAL TINDAK PIDANA PEMALSUAN AKTA AUTHENTIK (STUDI PUTUSAN PN.Lsm NO. 40 / Pid.B / 2013 / PN. Lsm). ” Tulisan ini merupakan karya asli yang disusun berdasarkan dengan asas-asas keilmuan yang jujur. rasional dan ilmiah.

Skripsi ini merupakan karya asli yang berasal dari pemikiran murni penulis dan tidak meniru kepunyaan orang lain. Apabila ada ditemukan adanya kesamaan judul dan permasalahan skripsi ini dengan skripsi yang sebelumnya di Departemen Hukum Pidana maka penulis akan mempertanggungjawabkannya.

E.Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Notaris

Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam udang-undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya.9

9

Pasal 1 angka (1) Undang-Undang No. 2 Tahun 2014.


(17)

Adapun pengertian lain dari Notaris yaitu menurut Peraturan Jabatan Notaris yang mengatakan bahwa :“De zijn openbare ambtenaren, uitsluitendbevoegd, om authentieke akten op te maken wegens alle handelinggen, overeenkomsten en beschikkingen, waarvan eene algemeene verordening gebiedt of de belanghebbenden verlangen, dat bij authentiek geschrift bkijken zal, daarvan de dagteekening te verzekeren, de akten in bewaring te houden en daarvan grossen, afschriften en uittreksel uit te geven;alles voorzoor het opmaken dier akten door eene algemeene verordening niet ook aan andere ambtenaren of personen

opgeddragen of voorhebehouden is.” (Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya

berwenang untuk membuat akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta outentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semanya sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain).10

Jabatan Notaris diadakan atau kehadirannya dikehendaki oleh aturan hukum dengan maksud untuk membantu dan melayani masyarakat yang membutuhkan alat bukti tertulis yang bersifat otentik mengenai keadaan, peristiwa atau perbuatan hukum. Dengan dasar seperti ini mereka yang diangkat sebagai Notaris harus mempunyai semangat untuk melayani masyarakat, dan atas pelayanan tersebut, masyarakat yang telah merasa dilayani oleh Notaris sesuai dengan tugas jabatannya, dapat memberikan honorarium kepada Notaris. Oleh karena itu Notaris tidak berarti apa-apa jika masyarakat tidak membutuhkannya.11

10

Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, Refika Aditama, Bandung, 2011, hlm. 12

11

Ibid., hlm. 14.

Mengetahui pentingnya tugas dan kedudukan notaris di tengah-tengah masyarakat dan kekuatan pembuktian dari akta otentik yang dibuatnya, dapat dikatakan bahwa jabatan notaris merupakan jabatan kepercayaan. Jabatan kepercayaan yang diberikan undang-undang dan masyarakat ini mewajibkan seseorang yang berprofesi sebagai notaris bertanggung jawab untuk melaksanakan kepercayaan tersebut dengan sebaik-baiknya serta menjunjung tinggi etika hukum, martabat serta keluhuran jabatannya.


(18)

Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPdt) menyebutkan bahwa “ akta otentik adalah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya.” Menurut pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN), notaris adalah satu-satunya yang mempunyai wewenang umum itu, artinya tidak turut para pejabat lainnya. Wewenang notaris adalah bersifat umum, sedangkan wewenang pejabat lain adalah pengecualian.12

Pemalsuan surat berdasarkan Pasal 263 ayat (1) KUHP terdapat dua perbuatan ialah membuat palsu dan memalsu. Bila di hubungkan dengan objeknya sebuah surat, perbuatan yang pertama biasanya disebut sebagai perbuatan membuat surat palsu. Pengertian membuat surat palsu adalah membuat sebuat surat (yang sebelumnya tidak ada surat) yang isi seluruhnya atau pada bagian-bagian tertentu tidak sesuai dengan yang sebenarnya atau bertentangan dengan kebenaran atau palsu. Surat yang dihasilkan oleh perbuatan membuat surat palsu ini disebut dengan “ surat palsu” atau “surat yang tidak asli”.

3. Pengertian Tindak Pidana Pemalsuan

13

Penulisan skripsi ini menggunakan metode penelitian hukum normatif yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan. Penelitian hukum normatif dilakukan untuk meneliti hukum dalam pengertian ilmu hukum sebagai ilmu tentang kaidah atau apabila hukum di pandang sebagai sebuah kaidah yang F. Metode Penelitian

1. Jenis Penulisan

12

GHS.L.Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, cetakan ke-3, Penerbit Erlangga, Jakarta, 1983, hal.34. 13

Adami Chazawi | Ardi Ferdian, Tindak Pidana Pemalsuan, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2014, hlm. 138.


(19)

perumusannya secara otonom tanpa dikaitkan dengan masyarakat.14

Penelitian doctrinal dilakukan tidak sebatas melakukan inventarisasi hukum positif, akan tetapi juga memberikan koreksi terhadap suatu peraturan perundang-undangan. Kemudian menguji apakah postulat normatif dapat atau tidak dapat diterapkan untuk sebuah perkara konkrit

Penelitian tersebut di sebut juga dengan penelitian doctrinal (doctrinal research).

15

b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum dan seterusnya

. Penelitian dilakukan dengan menganalisis putusan yang bekaitan dengan pertanggungjawaban pidana notaris dalam hal tindak pidana pemalsuan surat yaitu studi Putusan MA No. 40 / Pid.B / 2013 / PN.Lsm. Hal ini dilakukan untuk melihat penerapan hukum positif terhadap perkara kongkrit yang terjadi di masyarakat terutama terhadap pertimbangan hakim yang menjadi dasar menjatuhkan putusan.

2. Sumber Data

Data yang dipergunakan penulis dalam penelitian ini adalah data sekunder.

Data sekunder tersebut mencangkup :

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan dibuat oleh pihak-pihak yang berwenang. Bahan hukum primer yang digunakan dalam penulisan skripsi ini yaitu Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Kitap Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) dan Undang-Undang.

16

14

Edy Ikhsan, Mahmul Siregar, Bahan Kuliah Metode Penelitian Hukum, hal 53 15

Ibid., hlm. 55 16

Soerjono Soekanto, Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif : Suatu Tinjauan Singkat, Edisi 1, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hal 13.

. Bahan hukum yang digunakan dalam penulisan skripsi ini ialah kamus hukum. Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah


(20)

buku-buku dan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana notaris, dan putusan MA No. 40 / Pid.B / 2013 / PN. Lsm. , majalah dan internet yang berkaitan dengan permasalahan yang telah dipaparkan penulis pada perumusan masalah di atas.

c. Bahan hukum tersier, yakni bahan yang dapat memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder.

3. Metode Pengumpulan Data

Keseluruhan sumber data hukum di dalam skripsi ini dikumpulkan melalui studi kepustakaan (library research), yakni melakukan penelitian dengan berbagai bahan bacaan seperti peraturan perundang-undangan, buku-buku, majalah, pendapat para sarjana dan bahan lainya yang berkaitan dengan skripsi. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan konsep, teori dan doktrin serta pendapat atau pemikiran konseptual dan penelitian pendahulu yang berhubungan dengan telaahan penelitian ini.

4. Analisis Data

Data sekunder yang telah diperoleh dan disusun secara sistematis, kemudian dianalisis secara kualitatif, yaitu menganalisis melalui data yang sering disebut penelitian yang holistik. Dikatakan holistik karena mencari informasi sedalam-dalamnya dan sebanyak-banyaknya tentang aspek yang diteliti. Ketentuan bahwa data-data yang berbeda tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh dari objek yang diteliti.17

Gambaran secara keseluruhan mengenai skripsi ini akan dijabarkan penulis dengan cara menguraikan sistematika penulisannya yang terdiri atas 4 ( empat ) bab, yaitu:

G. Sistematika Penulisan

17


(21)

Bab I Pendahuluan merupakan bab yang memberikan ilustrasi guna memberikan informasi yang bersifat umum dan menyeluruh secara sistematis terdiri dari latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II Pengaturan Hukum Mengenai Notaris. Memberikan penjelasan bagaimana peran notaris dalam pembuatan Akta Autentik, sejauh mana kewenangan notaris dalam pembuatan Akta Autentik menurut UUJN, Serta bagaimana wewenang Majelis Pengawas Daerah dan Majelis Pengawas Wilayah apabila menerima laporan dari masyarakat.

Bab III Pertanggung Jawaban Pidana Notaris dalam hal pemalsuan Akta Autentik. Memberikan penjelasan tentang teori pertanggungjawaban pidana, tindak pidana pemalsuan Akta Authentik di tinjau dari kode etik notaris, sanksi pidana terhadap notaris yang melakukan Tindak Pidana Pemalsuan, serta Analisis Yuridis Pertanggungjawaban Notaris dalam kasus Putusan MA No. 40 / Pid.B / 2013 / PN. Lsm. Memberikan analisis hukum terhadap kasus dengan melihat pertimbangan hukum dan penerapan hukum oleh hakim dalam menjatuhkan putusan, mengetahui teori-teori apa yang digunakan hakim dalam menjatuhkan putusan dan menetapkan pertanggungjawaban pidana notaris.

Bab IV Kesimpulan dan Saran. Merupakan bagian akhir yang berisikan kesimpulan dan saran dari penulis atas hasil penelitian dan kaitannya dengan masalah yang dirumuskan.


(22)

BAB II

PERANAN DAN PENGATURAN HUKUM TERHADAP NOTARIS


(23)

Keberadaan lembaga Notaris di indonesia senantiasa dikaitkan dengan keberadaan fakultas hukum, hal ini terbukti dari institusi yang menghasilkan Notaris (sekarang ini) semuanya dari fakultas hukum dengan kekhususan (sebelumnya) Program Pendidikan Spesialis Notaris atau sekarang ini Program Studi Magester Kenotariatan, dan secara subtansi yang di pelajari di fakultas hukum, padahal sebenarnya ada materi-materi yang bukan bagian dari materi ilmu hukum, artinya ada materi yang harus ditempatkan sebagai kajian yang tersendiri (otonom) dengan nama Hukum Notaris.

Adapun kaitan ini perlu dicermati pendapat A.Pitlo, bahwa :

“Hukum Notariat ( het notariele recht) sedang menampakkan diri sebagai suatu bagian otonom dalam ilmu hukum, hal mana telah didahului oleh Hukum Administrasi, Hukum Pajak, Hukum Publik, dan lain-lainnya. Dalam perkembangannya setiap bagian otonom ini membentuk suatu sistem dasar-dasarnya tersendiri.”†††††

†††††

Habib Adjie., Op.Cit.,hlm 1-2

Menurut Pasal 1868 KUH Perdata, Akta Authentik adalah suatu akta yang di buat dalam bentuk yang di tentukan oleh undang-undang, di buat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa uuntuk itu di tempat dimana akta di buatnya. Menurut Pasal 1 angka (1) Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris (UUJN), notaris adalah satu satunya yang mempunyai wewenang umum itu, artinya tidak turut para pejabat lainnya. Wewenang pejabat lain adalah pengecualian.


(24)

Menurut Wirjono Prodjodikoro, akta authentik adalah akta yang dibuat dengan maksud untuk dijadikan alat bukti oleh atau dimuka seorang pejabat umum yang berkuasa untuk itu, Sedangkan menurut Sudikno Mertokusumo, suatu akta tidaklah cukup apabila akta itu dibuat oleh atau dihadapan pejabat saja, disamping itu caranya membuat akta authentik haruslah menurut ketentuan yang ditetapkan oleh undang-undang, suatu akta yang dibuat oleh seorang pejabat tanpa ada wewenang dan tanpa kemampuan untuk membuatnya atau tidak memenuhi syarat, tidaklah dapat dianggap sebagai akta authentik, tetapi memopunyai kekuatan sebagai akta dibawah tangan apabila ditandatangani oleh pihak-pihak yang bersangkutan.‡‡‡‡‡

Menurut C.A. Kraan akta authentik mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :§§§§§ a. Suatu tulisan, dengan sengaja dibuat semata-mata untuk dijadikan bukti

atau suatu bukti dari keadaan sebagaimana disebutkan di dalam tulisan di buat dan dinyatakan oleh pejabat yang berwenang. Tulisan tersebut turut ditandatangani oleh atau hanya ditandatangani oleh pejabat yang bersangkutan saja.

b. Suatu tulisan sampai ada bukti sebaliknya, di anggap berasal dari pejabat yang berwenang

c. Ketentuan perundang-undangan yang harus dipenuhi; ketentuan tersebut mengatur tata cara pembuatannya (sekurang-kurangnya memuat ketentuan- ketentuan mengenai tanggal, tempat dibuatnya akta suatu

‡‡‡‡‡

Sjaifurrachman., Aspek Pertanggungjawaban Notaris dalam Pembuatan Akta, CV. Mandar Maju, Bandung, 2011, hlm. 25

§§§§§

Habib Adjie II, Hukum Notaris Indonesia, PT. Refika Aditama, Bandung, 2009, hlm 127


(25)

tulisan, nama dan kedudukan/jabatan pejabat yang membuatnya c.q. data dimana dapat diketahui mengenai hal-hal tersebut).

d. Seorang pejabat yang diangkat oleh Negara dan mempunyai sifat dan pekerjaan yang mandiri (onafhankelijk-independence) serta tidak memihak (onpartijdigheid-impartiality) dalam menjalankan jabatannya.

e. Pernyataan dari fakta atau tindakan yang disebutkan oleh pejabat adalah hubungan hukum didalam bidang hukum privat.

Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta authentik sejauh pembuatan akta authentik tidak di khususkan kepada pejabat umum lainnya. Pembuatan akta authentik ada yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dalam rangka menciptakan kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum. Selain itu, akta authentik yang di buat oleh atau di hadapan notaris, bukan saja karena diharuskan oleh peraturan perundang-undangan, tetapi juga kehendaki oleh pihak yang berkepentingan untuk memastikan hak dan kewajiban para pihak demi kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum bagi pihak yang berkepentingan sekaligus bagi masyarakat secara keseluruhan. Menurut Izenic, bentuk atau corak Notaris dibedakan menjadi dua kelompok utama, yaitu: ******

******

Ibid., hlm 8

Bilamana tindakan Notaris memenuhi rumusan suatu tindak pidana, tetapi ternyata berdasarkan UUJN dan Kode Etik Notaris bukan suatu pelanggaran, maka Notaris yang bersangkutan tidak dapat dijatuhi hukuman pidana, karena ukuran untuk menilai sebuah akta harus didasarkan pada UUJN dan Kode Etik Notaris.


(26)

Notaris dipidana tanpa memperhatikan aturan hukum yang berkaitan dengan tata cara pemanggilan Notaris yang terdapat pada pasal 66 UUJN dan hanya berdasarkan Kitap Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) saja, merupakan pelanggaran terhadap undang-undang dan dianggap menyepelekan pasal 66 UUJN.

Menurut Meijers, diperlukan adanya kesalahan besar (hard schuldrecht) untuk perbuatan yang berkaitan dengan pekerjaan di bidang ilmu pengetahuan seperti Notaris.††††††

Akta authentik merupakan alat bukti bagi para pihak yang mengadakan hubungan hukum perjanjian. Adanya akta ini untuk kepentingan para pihak, dan dibuat oleh para pihak. Sebagai alat bukti, akta demikian mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna bagi para pihak yang membuatnya. Sebagai alat bukti Notariat Fungsionnel, dalam mana wewenang-wewenang pemerintah di delegasikan (gedelegeerd), dan demikian diduga mempunyai kebenaran isinya, mempunyai kekuatan bukti formal dan mempunyai daya/kekuatan eksekusi. Di negara yang menganut macam/bentuk notariat seperti terdapat pemisahan yang keras antara “wettleijke” dan “niet wettleijke” weerzaamheden, yaitu pekerjaan-pekerjaan yang berdasarkan Undang-Undang/hukum dan yang tidak/bukan dalam notariat.

Notariat Professionel, dalam kelompok ini, walaupun pemerintah mengatur tentang organisasinya, tetapi akta-akta Notaris itu tidak mempunyai akibat khusus tentang kebenarannya, kekuatan bukti, demikian pula kekuatan eksekutorialnya.

††††††

Herlien Budiono, kumpulan tulisan hukum perdata di bidang kenotariatan, PT Citra Adtya Bakti, Bandung, 2008, hal. 37


(27)

yang sempurna maksudnya adalah kebenaran yang dinyatakan di dalam akta notaris itu tidak perlu dibuktikan dengan dibantu lagi dengan alat bukti yang lain. Undang-undang memberikan kekuatan pembuktian demikian itu atas akta tersebut karena akta itu dibuat oleh atau di hadapan Notaris sebagai pejabat umum yang di angkat oleh Pemerintah.‡‡‡‡‡‡

Menurut Pasal 1857 KHUPerdata, jika akta di bawah tangan diakui oleh orang terhadap siapa akta itu hendak dipakai, maka akta tersebut dapat merupakan alat pembuktian yang sempurna terhadap orang yang menandatangani serta para ahli warisnya dan orang-orang yang mendapatkan hak darinya.§§§§§§

Berbeda dengan akta authentik, akta di bawah tanggan adalah akta yang cara pembuatan atau terjadinya tidak dilakukan oleh dan atau di hadapan pejabat pegawai umum, tetapi hanya oleh pihak-pihak yang berkepentingan saja. Akta di bawah tangan contohnya adalah surat perjanjian sewa menyewa rumah, surat perjanjian jual beli, dsb.

Adapun pengertian dari akta notaris yaitu terdapat dalam pasal 1 ayat 7 Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 2 Tahun 2014 yaitu mengatakan bahwa “ Akta Notaris yang selanjutnya disebut Akta adalah akta authentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam undang-undang ini.” *******Oleh karena itu peranan notaris dalam pembuatan akta authentik terdapat pada pengeritan Notaris tersebut dan di kuatkan pada pasal 1

‡‡‡‡‡‡

PUTRI . A. R., Perlindungan Hukum Terhadap Notaris, PT. SOFT MEDIA, Jakarta, 2011, hlm. 2-3

§§§§§§

di akses pada tanggal

29 januari 2015 *******


(28)

ayat 1 Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 2 Tahun 2014 di mana pengertian Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta authentik. Pasal ini merupakan penegasan dari pasal 1868 KUH Perdata “ Suatu akta authentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang di tentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya.†††††††

†††††††

Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Akta yang dibuat oleh Notaris mempunyai peranan penting dalam menciptakan kepastian hukum di dalam setiap hubungan hukum, sebab akta Notaris yang bersifat authentik, dan merupakan alat bukti terkuat dan terpenuh dalam setiap perkara yang terkait dengan akta Notaris tersebut. Dalam berbagai macam hubungan bisnis, seperti kegiatan di bidang perbankan, pertanahan, kegiatan sosial dan lain-lain, baik dalam lingkup lokal, regional, maupun nasional, kebutuhan akan akta authentik sebagai alat bukti pembuktian semakin meningkat. Akta otentik menentukan secara jelas hak dan kewajiban, yang menjamin kepastian hukum sekaligus diharapkan dapat meminimalisasi terjadinya sengketa, walaupun sengketa tersebut pada akhirnya mungkin tidak dapat dihindari, dalam proses penyelesaian sengketa tersebut akta authentik yang merupakan alat bukti tertulis dan terkuat dan memberi sumbangan yang nyata bagi penyelesaian perkara secara mudah dan cepat. Sebagai alat bukti tertulis yang terkuat dan terpenuh apa yang dinyatakan dalam akta Notaris harus di terima kecuali pihak yang berkepentingan dapat membuktikan hal yang sebaliknya secara memuaskan dihadapan persidangan pengadilan.


(29)

Kekuatan akta notaris sebagai alat bukti terletak pada kekhasan karakter pembuatnya, yaitu Notaris sebagai pejabat umum yang secara khusus diberi wewenang untuk membuat akta. Pada asasnya setiap orang yang diangkat sebagai Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta authentik tanpa keuali sepanjang tidak ditujuk pejabat lain oleh undang-undang yang secara tegas memberikan kewenangan kepada pejabat lain tersebut.‡‡‡‡‡‡‡

1. Kekuatan pembuktian lahiriah (uitwendige bewijskract) yang merupakan kemampuan akta itu sendiri untuk membuktikan keabsahanya sebagai akta authentik

Akta Notaris merupakan alat bukti tulisan atau surat yang bersifat sempurna. Karena akta Notaris mempunyai 3 (tiga) kekuatan pembuktian yaitu :

2. Kekuatan pembuktian formil (formele bewijskracht) yang memberikan kepastian bahwa suatu kejadian dan fakta tersebut dalam akta betul-betul diketahui dan didengar oleh notaris dan diterangkan oleh pihak yang menghadap, yang tercantum dalam akta sesuai dengan prosedur yang sudah ditentukan dalam pembuatan akta Notaris.

3. Kekuatan pembuktian materil (materiele bewijskracht) yang merupakan kepastian tentang materi suatu akta.

Berbeda dengan perkara pidana akta Notaris sebagai akta authentik merupakan alat bukti yang tidak dapat mengikat penyidik dan hakim dalam pembuktian, atau

‡‡‡‡‡‡‡


(30)

bersifat bebas. Dasar alasan ketidakterkaitan atas alat bukti surat tersebut didasarkan beberapa asas, antara lain :§§§§§§§

a. Asas proses perkara pidana ialah untuk mencari kebenaran materil atau kebenaran sejati (materiel waarheid), bukan mencari kebenaran formal. Walaupun dari segi formil alat bukti surat telah benar dan sempurna, namun kebenaran dan kesempurnaan formal itu dapat disingkirkan demi mewujudkan kebenaran materill.

Dengan asas ini hakim bebas menilai kebenaran yang terkandung pada alat bukti surat.

b. Asas Keyakinan Hakim seperti terdapat dalam jiwa ketentuan pasal 183 KUHAP. Menurut pasal 183 KUHAP yang menganut ajaran system pembuktian “ menurut undang-undang secara negatif ” artinya bahwa hakim baru boleh menjatuhkan pidana kepada seorang terdakwa apabila kesalahan terdakwa telah terbukti sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan atas keterbuktian itu hakim “yakin” terdakwalah yang bersalah melakukannya.

c. Asas-asas minimum pembuktian, alat bukti surat resmi (authentik) berbentuk surat yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan undang-undang adalah alat bukti yang sah dan bernilai sempurna, namun nilai kesempurnaan yang melekat pada alat bukti surat yang bersangkutan tidak mendukung untuk berdiri sendiri.

§§§§§§§

Khoirun Nisa, Tanggung Jawab Notaris Sebagai Pejabat Umum Dalam Perkara Pidana Menegenai Akta yang diterbitkan, Universitas Brawijaya, Malang, 2013, hlm. 6-7


(31)

Jika dikaitkan dengan Pasal 183 KUHAP Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Oleh karena itu meskipun akta authentik merupakan alat bukti yang sempurna bagi para pihak, namum dalam perkara pidana, akta authentik masih dapat digugurkan dengan alat bukti lain yang lebih kuat yaitu keterangan pihak ketiga atau para pihak yang terkait dalam pembuatan akta tersebut. Karena dalam perkara pidana alat bukti yang sah menurut undang-undang di sebut secara rinci atau limitative sesuai dengan Pasal 184 ayat 1 KUHAP yaitu : Keterangan saksi, Keterangan ahli, Surat, Petunjuk dan Keterangan terdakwa.

Kekuatan pembuktian akta Notaris dalam perkara pidana,merupakan alat bukti yang sah menurut undang-undang dan bernilai sempurna. Namun nilai kesempurnaannya tidak dapat berdiri sendiri, tetapi memerlukan dukungan alat bukti lain. Notaris tidak menjamin bahwa apa yang di nyatakan oleh penghadap tersebut adalah benar atau suatu kebenaran.********

Dan mulai belaku/terjadinya pembatalan sejak akta tetap mengikat selama belum ada yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan akta menjadi tidak Akta notaris yang dapat dibatalkan apabila melanggar unsur subjektif, ialah Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya (de toetsemming van degenen die zich verbiden),Kecakapan untuk membuat suatu perikatan (de bekwaamheid om eene verbindtenis aaan te gaan).

********


(32)

mengikat sejak ada putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Akta notaris juga bisa batal demi hukum apabila melanggar unsur objektif, ialah suatu hal tertentu (een bepaald onderwerp), suatu sebab yang tidak terlarang ( eene geoorfloofde oorzaak).

Dan mulai berlaku/terjadinya pembatalan sejak saat akta tersebut ditandatangani dan tindakan hukum yang tersebut dalam akta dianggap tidak pernah terjadi, dan tanpa perlu ada putusan pengadilan.††††††††

††††††††

HABIB ADJIE, Sekilas Dunia Notaris dan PPAT Indonesia, CV. Mandar Maju, Bandung, 2009, hlm. 42

Akta Notaris sebagai produk dari Pejabat Publik, maka penilaian terhadap akta Notaris harus dilakukan dengan Asas Praduga Sah (Vermoeden van Rechtmatigheid) atau Presumptio lustae Causa. Asas ini dapat dipergunakan untuk menilai akta Notaris, yaitu akta Notaris harus dianggap sah sampai ada pihak yang menyatakan akta tersebut tidak sah. Untuk menyatakan atau menilai akta tersebut tidak sah harus dengan gugatan ke pengadilan umum. Selama dan sepanjang gugatan berjalan sampai dengan ada keputusan pengadilan umum. Selama dan sepanjang gugatan berjalan maka akta Notaris tetap sah dan mengikat para pihak atau siapa saja yang berkepentingan dengan akta tersebut.

Dalam gugatan untuk menyatakan akta Notaris tidak sah, maka harus dibuktikan ketidakabsahan dari aspek lahiriah, formal dan materil akta Notaris. Jika tidak dapat dibuktikan maka akta yang bersangkutan tetap sah mengikat para pihak atau siapa saja yang berkepentingan dengan akta tersebut.


(33)

Dengan demikian dengan alasan tertentu maka kedudukan akta Notaris :‡‡‡‡‡‡‡‡

1. dapat dibatalkan; 2. batal demi hukum;

3. mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan; 4. dibatalkan oleh para pihak sendiri;

5. dibatalkan oleh putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena penerapan asas Praduga Sah.

Kelima kedudukan akta Notaris sebagaimana tersebut di atas tidak dapat dilakukan secara bersamaan, tapi hanya berlaku satu saja, yaitu jika akta Notaris diajukan pembatalan oleh pihak yang berkepentingan kepada pengadilan umum (negeri) dan telah ada putusan pengadilan umum yang telah mempunyai kedudukan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau akta Notaris batal demi hukum atau akta Notaris dibatalkan oleh para pihak sendiri dengan akta Notaris lagi, maka pembatalan akta Notaris yang lainnya tidak berlaku. Hal ini berlaku pula untuk asas Praduga Sah.§§§§§§§§

Asas Praduga Sah ini berlaku, dengan ketentuan jika atas akta Notaris tersebut tidak pernah diajukan pembatalan oleh pihak yang berkepentingan kepada pengadilan umum (negeri) dan telah ada putusan pengadilan umum yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap atau akta Notaris tidak mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau tidak batal demi hukum atau tidak di batalkan oleh para pihak sendiri.Dengan demikian penerapan Asas Praduga Sah

‡‡‡‡‡‡‡‡

Habib Adjie., Op.Cit., hlm. 141 §§§§§§§§


(34)

untuk akta Notaris dilakukan secara terbatas, jika ketentuan sebagaimana tersebut di penuhi.*********

1. Ambtelijk acten, procesverbaal acten dan

Akta authentik yang dibuat oleh notaris ada dua (2) macam, yaitu :

2. Party acten

Ambtelijk acten, procesverbaal acten dimasudkan yaitu akta yang dibuat oleh ( door enn ) Notaris atau yang dinamakan “akta reelas” atau “akta pejabat” (ambtelijke akten) sebagai akta yang dibuat oleh Notaris berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh notaris tersebut. Akta jenis ini diantaranya akta berita acara rapat umum pemegang saham perseroan terbatas, akta pendaftaran atau inventarisasi harta peninggalan dan akta berita acara penarikan undian.

Sedangkan Party acten atau akta para pihak dimaksudkan sebagai akta yang dibuat oleh dan dihadapan Notaris berdasarkan kehendak atau keinginan para pihak dalam kaitannya dengan perbuatan hukum yang dilakukan oleh para pihak tersebut, dinamakan “ akta partij” ( partij aktan ). Akta jenis ini diantaranya akta jual beli, akta sewa menyewa, akta perjanjian kredit dan sebagainya †††††††††

Akta yang dibuat oleh (door) Notaris dalam praktek Notaris disebut Akta Relaas atau Akta Berita Acara yang berisi berupa uraian Notaris yang dilihat dan disaksikan Notaris sendiri atas permintaan para pihak, agar tindakan atau perbuatan para pihak yang dilakukan dituangkan ke dalam bentuk akta Notaris. Akta yang dibuat di hadapan (ten overstaan)\Notaris, dalam praktik Notaris

*********

Ibid., hlm. 142 †††††††††

G.H.S Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, Cetakan ke -5, Jakarta, Erlangga, hlm. 51-52


(35)

disebut Akta Pihak, yang berisi uraian atau keterangan, pernyataan para pihak yang diberikan atau yang diceritakan di hadapan Notaris. Para pihak berkeinginan agar uraian atau keterangannya dituangkan ke dalam bentuk akta Notaris.‡‡‡‡‡‡‡‡‡

Pengeritan seperti tersebut di atas merupakan salah satu karakter yuridis dari akta Notaris, tidak berarti Notaris sebagai pelaku dari akta tersbeut, Notaris tetap berada di luar para pihak atau bukan pihak dalam akta tersebut. Dengan kedudukan Notaris seperti itu, sehingga jika suatu akta Notaris dipermasalahkan, maka kedudukan Notaris bukan sebagai pihak atau yang turut serta melakukan atau membantu para pihak dalam kualifikasi Hukum Pidana atau sebagai Tergugat atau Turut Tergugat dalam pekara perdata. Penempatan Notaris sebagai pihak yang turut serta atau membantu para pihak dengan kualifikasi membuat atau Pembuatan akta Notaris baik akta relaas maupun akta pihak, yang menjadi dasar utama atau inti dalam pembuatan akta Notaris yaitu harus ada keinginan atau kehendak (wilsvorming) dan permintaan dari para pihak, jika keinginan permintaan para pihak tidak ada, maka Notaris tidak ada, maka Notaris tidak akan membuat akta yang dimaksud.

Untuk memenuhi keinginanan permintaan para pihak Notaris dapat memberikan salaran dengan tetap berpijak pada aturan hukum . Ketika saran Notaris diikuti oleh para pihak dan dituangkan dalam akta Notaris, meskipun demikian tetap bahwa hal tersebut tetap merupakan keinginan dan permintaan para pihak, bukan saran atau pendapat Notaris atau isi akta merupakan perbuatan para pihak bukan perbuatan atau tindakan notaris.

‡‡‡‡‡‡‡‡‡


(36)

menempatkan keterangan palsu ke dalam akta otentik atau menempatkan Notaris sebagai pihak dengan kualifikasi membuat atau menempatkan keterangan palsu ke dalam akta authentik atau menempatkan Notaris sebagai tergugat yang berkaitan dengan akta yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris, maka hal tersebut telah mencederai akta Notaris dan Notaris yang tidak dipahami oleh aparat hukum lainnya mengenai kedudukan akta Notaris dan Notaris di Indonesia. Siapapun tidak dapat memberikan penafsiran lain atas akta Notaris atau dengan kata lain terikat dengan akta Notaris tersebut.§§§§§§§§§

Jabatan Notaris diadakan atau kehadirannya dikehendaki oleh aturan hukum dengan maksud untuk membantu dan melayani masyarakat yang membutuhkan alat bukti tertulis yang bersifat authentik mengenai keadaan, peristiwa atau perbuatan hukum. Dengan dasar seperti ini mereka yang diangkat sebagai Notaris harus mempunyai semangat untuk melayani masyarakat, dan atas pelayanan tersebut, masyarakat yang telah merasa dilayani oleh Notaris sesuai dengan tugas dan jabatannya, dapat memberikan honorarium kepada Notaris. Oleh karena itu Notaris tidak berarti apa-apa jika masyarakat tidak membutuhkannya.**********

B. Kewenangan Notaris dalam pembuatan Akta Authentik

Dengan demikian Notaris merupakan suatu Jabatan (Publik) mempunyai karateristik, yaitu:††††††††††

a. Sebagai Jabatan

§§§§§§§§§

Habib Adjie.,Cetakan I., Op.Cit., hlm 44-45 **********

Dr. Habib Adjie, SH., M.Hum., Op.Cit., hlm 14 ††††††††††


(37)

UUJN merupakan unifikasi di bidang pengaturan Jabatan Notaris, Artinya satu satunya aturan hukum dalam bentuk undang-undang yang mengatur Jabatan Notaris di Indonesia, Sehingga segala hal yang berkaitan dengan Notaris di indonesia harus mengacu kepada UUJN. Jabatan Notaris merupakan suatu lembaga yang diciptakan oleh Negara. Menempatkan Notaris sebagai Jabatan merupakan suatu bidang pekerjaan atau tugas yang sengaja dibuat oleh aturan hukum untuk keperluan dan fungsi tertentu ( kewenangan tertentu) serta bersifat berkesinambungan sebagai suatu lingkungan pekerjaan tetap.

b. Notaris mempunyai kewenangan tertentu.

Setiap wewenang yang diberikan kepada jabatan harus ada aturan hukumnya. Sebagai batasan agar jabatan dapat berjalan dengan baik, dan tidak bertabrakan dengan wewenang jabatan lainnya. Dengan demikian jika seorang pejabat (Notaris) melakukan tindakan di luar wewenang yang telah di tentukan, dapat di kategorikan sebagai perbuatan melanggar wewenang. Wewenang notaris hanya di cantumkan dalam pasal 15 ayat (1), (2), dan (3) UUJN.

c. Diangkat dan di berhentikan oleh pemerintah

Pasal 2 UUJN menentukan bahwa Notaris diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah, dalam hal ini menteri yang membidangi kenotariatan . Notaris meskipun secara administratif diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah, tidak berarti Notaris menjadi subordinasi (bawahan) yang mengakngkatnya pemerintah. Dengan demikian notaris


(38)

dalam menjalankan tugas jabatannya : bersifat mandiri, tidak memihak siapapun, tidak tergantung kepada siapapun, yang berarti dalam menjalankan tugas jabatannya tidak dapat dicampuri oleh pihak yang mengangkatnya atau oleh pihak lain.

d. Tidak menerima gaji atau pensiun dari yang mengangkatnya.

Notaris meskipun diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah tapi tidak menerima gaji pensiun dari pemerintah. Notaris hanya menerima honorarium dari masyarakat yang telah dilayaninya atau dapat memberikan pelayanan cuma-cuma untuk mereka yang tidak mampu.

e. Akuntabilitas atas pekerjaannya kepada masyarakat.

Kehadiran Notaris untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang memerlukan dokumen hukum (akta) authentik dalam bidang hukum perdata, sehingga Notaris mempunyai tanggung jawab untuk melayani masyarakat, masyarakat dapat menggugat secara perdata notaris dan menuntut biaya ganti rugi dan bunga jika ternyata akta tersebut dapat dibuktikan dibuat tidak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, hal ini merupakan bentuk akuntabilitas Notaris kepada masyarakat.

Setiap perbuatan pemerintahan disyaratkan harus pada wewenang yang sah. Tanpa adanya kewenangan yang sah seorang pejabat ataupun Badan Tata Usaha Negara tidak dapat melaksanakan suatu perbuatan pemerintahan. Oleh karena itu kewenangan yang sah merupakan atribut bagi setiap pejabat ataupun bagi setiap badan.


(39)

Dalam hukum administrasi negara, dasar bagi pemerintah untuk melakukan perbuatan hukum publik adalah adanya kewenangan bevoegdheid

yang berkaitan dengan suatu jabatan ambt. Jabatan memperoleh wewenang melalui tiga sumber yakni atribusi, delegasi, dan mandat, ketiga sumber kewenangan ini akan melahirkan kewenangan (bevoegdhei, legal power, competence). Kewenangan yang diperoleh dengan cara atribusi, apabila terjadi pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh suatu kententuan perundang-undangan. Perundang- undanganlah yang menciptakan suatu wewenang pemerintahan baru.

Jadi pada atribusi terjadi pemberian suatu wewenang oleh suatu peraturan perundang-undangan. Kewenangan yang di peroleh dengan cara delegasi atau pelimpahan, merupakan pemberian wewenang yang sudah ada oleh suatu badan administrasi negara yang telah memperoleh suatu kewenangan pemerintahan secara atributif kepada badan administrasi negara lainnya. Suatu deligasi selalu didahului oleh adanya suatu atribusi lainnya. Suatu deligasi selalu didahului oleh adanya suatu atribusi wewenang. Jadi harus dipastikan apakah suatu badan yang mengeluarkan suatu keputusan yang berisi suatu pendelegasian wewenang itu berdasarkan suatu wewenang pemerintahan atributif yang sah atau tidak. Jadi, pada wewenang delegasi terjadi pelimpahan atau pemindahan wewenang yang telah ada kepada pejabat atau organ administrasi lainya.

Pada wewenang mandat, tidak terjadi suatu pemberian wewenang baru maupun pelimpahan wewenang dari suatu badan ke badan lainnya, pada mandat hanya terjadi suatu hubungan intern antara penerima mandat (mandataris) dengan pemberi mandat (mandan), sedangkan tanggung jawab tetap ada pada mandan,


(40)

dan tidak berlaih pada mandataris. Dari perspektif sumber kewenangan, Notaris memiliki wewenang atributif yang diberikan oleh pembentuk undang-undang (badan legislator), yang dalam hal ini melalui Undang-Undang Nomor 02 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris. Jadi, Notaris memiliki legalitas untuk melakukan perbuatan hukum membuat akta authentik.

Berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam pasal 15 UUJN kewenangan Notaris bisa dibedakan menjadi 3 (tiga) macam yaitu:‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡

1. Kewenangan utama/umum, pasal 15 ayat (1), 2. Kewenangan tertentu, pasal 15 ayat (2), dan 3. Kewenangan lain-lain, pasal 15 ayat (3).

Kewenangan utama/umum Notaris membuat akta authentik yang menyangkut semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta authentik, dan menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta , semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang di tetapkan oleh undang-undang.

Adapun pengaturan tentang kewenangan notaris yaitu terdapat pada pasal 15 Undang-Undang Nomor 02 Tahun 2014 yang berbunyi:§§§§§§§§§§

1. Notaris berwenang membuat Akta authentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan

‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡

Habib Adjie., Cetakan ke III., Op.Cit., hlm 78 §§§§§§§§§§


(41)

undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta authentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.

2. Selain wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Notaris berwenang pula :

a. mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus. b. membukukan seurat di bawah tangan dengan mendaftar dalam

buku khusus.

c. membuat kopi dari asli surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan.

d. melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya. e. memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan

akta.

f. membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan atau g. membuat akta risalah lelang.

3. Selain kewenangan sebagaimana di maksud pada ayat (1) dan ayat (2), Notaris mepunyai kewenangan lain yang di atur dalam peraturan perundang-undangan.


(42)

Di samping itu juga dapat dilihat dalam rumusan ketentuan Pasal 15 ayat (2) huruf f ini menimbulkan multi penafsiran dan penafsiran terhadap pasal ini menumbulkan adanya dua pandangan tentang arti kewenangan Notaris berkaitan dengan pertanahan yaitu:***********

a. Notaris berwenang membuat akta yang objeknya tanah dalam arti luas meliputi baik yang menjadi kewenangan PPAT berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 maupun kewenangan lainnya yang tidak diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998

b. Notaris berwenang membuat akta yang objeknya tanah dalam arti sempit, yang tidak termasuk kewenangan PPAT berdasarkan PP Nomor 37 Tahun 1998

Adapun rumusan Pasal 15 ayat (2) huruf g ini menimbulkan multi penafsiran, dan penafsiran terhadap pasal ini menimbulkan adanya dua pandangan tentang arti kewenangan Notaris berkaitan dengan akta risalah lelang yaitu;†††††††††††

a. Pertama, setiap Notaris secara serta merta berwenang untuk

membuat akta risalah lelang artinya jabatan Notaris dengan jabatan pejabat lelang disatukan, begitu menjadi Notaris otomatis ia menjalankan pekerjaan-pekerjaan pejabat lelang. Dengan demikian jika seorang sudah diangkat menjadi Notaris ia tidak perlu diangkat menjadi pejabat lelang.

***********

Sjaifurrachman.,Op.Cit., hlm 82-83 †††††††††††


(43)

b. Kedua, tidak semua Notaris mempunyai wewenang untuk membuat risalah lelang walaupun Notaris dan pejabat lelang mempunyai kualifikasi yang sama sebagai pejabat umum, hanya Notaris yang telah disahkan dan ditetapkan sebagai pejabat lelang kelas II yang berwenang untuk membuat akta risalah lelang.

Adapun beberapa akta authentik yang merupakan wewenang Notaris dan juga menjadi wewenang pejabat atau instansi lain, yaitu:‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡

1. Akta pengakuan anak di luar kawin (Pasal 281 BW);

2. Akta berita acara tentang kelalaian pejabat penyimpan hipotik (Pasal 1227 BW)

3. Akta berita acara tentang penawaran pembayaran tunai dan konsinyasi ( Pasal 1405 dan 1406 BW),

4. Akta protes wesel dan cek ( Pasal 143 dan 218 WvK).

5. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) – (Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996).

6. Membuat akta risalah lelang.

Adapun kewenangan khusus Notaris lainnya, yaitu membuat akta dalam bentuk in Originali, yaitu akta :§§§§§§§§§§§

a. Pembayaran uang sewa, bunga, dan pensiun; b. Penawaran pembayaran tunai;

c. Protes terhadap tidak dibayarnya atau tidak diterimannya surat berharga;

‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡

Habib Adjie., Cetakan ke III., Op.Cit., hlm 79 §§§§§§§§§§§


(44)

d. Akta kuasa;

e. Keterangan kepemilikan; atau

f. Akta lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Akta yang di buat oleh Notaris hanya akan menjadi akta authentik apabila notaris mempunyai wewenang untuk meliputi 4 hal, yaitu :************

1. Notaris harus berwenang sepanjang menyangkut akta yang dibuat itu. Hal ini sesuai dengan Pasal 15 ayat (1) UUJN, dimana notaris adalah pejabat umum yang dapat membuat akta yang ditugaskan kepadanya berdasarkan peraturan perundang-undangan.

2. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai orang untuk kepentingan siapa akta itu dibuat. Pasal 52 ayat (1) UUJN menyatakan bahwa Notaris tidak diperkenankan membuat akta untuk diri sendiri, istri/suami, atau orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan notaris baik karena perkawinan maupun hubungan darah dalam garis lurus ke bawah dan/ atau ke atas tanpa pembatasan derajat, serta dalam garis kesamping dengan derajat ketiga, serta menjadi pihak untuk diri sendiri, maupun dalam suatu kedudukan ataupun dengan perantara kuasa. Maksud dan tujuan dari ketentuan ini adalah untuk mencegah terjadinya tindakan memihak dan penyalahgunaan jabatan.

3. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai tempat dimana akta itu dibuat. Menurut Pasal 18 UUJN, notaris mempunyai tempat kedudukan di daerah kabupaten/kota. Wilayah jabatan notaris

************


(45)

meliputi seluruh wilayah propinsi dari tempat kedudukkannya. Akta yang dibuat di luar jabatannya adalah tidak sah.

4. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan akta itu. Notaris tidak boleh membuat akta selama ia masih cuti atau dipecat dari jabatannya, demikian juga notaris tidak boleh membuat akta sebelum ia memangku jabatannya.

C. Peran MPD dan MPW dalam hal menerima penngaduan masyarakat

Sejak berlakunya Undang-Undang Nomot 2 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, pengawasan Notaris tidak dilakukan oleh Pengadilan Negeri sesuai wilayah kerja Notaris yang bersangkutan berada. Ada dua lembaga yang berwenang untuk melakukan pengawasan terhadap Notaris, yaitu lembaga Majelis Pengawas Notaris yang dibentuk oleh menteri dalam hal ini Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dalam rangka pelaksanaan pengawas terhadap Notaris dan Dewan Kehormatan yang merupakan salah satu dari alat pelengkapan organisasi Notaris dalam hal ini Ikatan Notaris Indonesia. Kedua lembaga tersebut berwenang untuk mengawasi Notaris sampai dengan penjatuhan sanksi bagi Notaris yang dinyatakan melakukan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan yang berlaku. Terdapat perbedaan kewenangan antara kedua lembaga tersebut dikarenakan keduanya terbentuk dari lembaga yang berbeda, namun keduanya tetap tidak dapat di pisahkan dari keberadaan organisasi Notaris.††††††††††††

††††††††††††


(46)

Pengawasan dan pemeriksaan terhadap Notaris yang dilakukan oleh Majelis Pengawas, yang di dalamnya ada unsur Notaris, dengan demikian setidaknya Notaris diawasi dan diperiksa oleh anggota Majelis Pengawas yang memahami dunia Notaris. Adanya anggota Majelis Pengawas dari kalangan Notaris merupakan pengawasan internal, artinya dilakukan oleh sesama Notaris yang memahami dunia Notaris luar dalam. Sedangkan unsur lainnya merupakan unsur eksternal yang mewakili dunia akademik, pemerintah dan masyarakat. Perpaduan keanggotaan Majelis Pengawas diharapkan dapat memberikan sinergi pengawasan dan pemeriksaan yang objektif sehingga setiap pengawasan dilakukan berdasarkan aturan hukum yang berlaku, dan para notaris dalam menjalankan tugas jabatannya tidak menyimpang dari UUJN karena diawasi secara internal dan eksternal.‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡

Dewan kehormatan dan Majelis Pengawas Notaris merupakan dua lembaga yang berbeda dan mempunyai kewenangan yang berbeda pula dalam hal pelaksanaan pengawasan bagi Notaris. Dewan kehormatan dibentuk sebagai alat perlengkapan organisasi Ikatan Notaris Indonesia, sedangkan Majelis Pengawas Notaris dibentuk oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Dari kewenangannya, maka Dewan Kehormatan berwenang untuk melakukan pengawasan dan pemeriksaan atas pelanggaran kode etik organisasi yang bersifat tidak berkaitan secara langsung dengan masyarakat atau hanya bersifat internal organisasi saja, sedangkan Majelis Pengawas Notaris berwenang melakukan pengawasan dan pemeriksaan terhadap pelanggaran jabatan Notaris, dan kode etik jabatan Notaris apabila berkaitan langsung dengan masyarakat yang

‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡


(47)

menggunakan jasa notaris, meskipun dalam kewenangan masing-masing tercantum bahwa kedua lembaga tersebut berwenang melakukan pengawasan dan pemeriksaan terhadap pelaksanaan dan pelanggaran kode etik Notaris, namun lingkup kewenangannya berbeda berdasarkan bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris. Apabila pelanggaran kode etik yang dilakukan bersifat internal, maka Dewan Kehormatan bertugas untuk melakukan pemeriksaan atas pelanggaran tersebut dan bila sifat pelanggaran yang dilakukan telah merugikan klien atau masyarakat, maka Majelis Pengawas Notaris yang bertugas untuk melakukan pemeriksaan. Namun demikian, Dewan Kehormatan tetap bertugas untuk membantu Majelis Pengawas Notaris dalam hal pemerikasaan pelanggaran kode etik dan jabatan Notaris. §§§§§§§§§§§§

Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris menentukan bahwa pengawasan terhadap pelaksanaan jabatan Notaris dilakukan oleh Menteri yang membawahi bidang kenotariatan, dan dalam pelaksaan pengawasan teersebut menteri membentuk suatu lembaga tersendiri yang disebut Majelis Penagawas Notaris. Mengenai Majelis Pengawas, menurut UUJN memberi batasan sebagai suatu badan yang mempunyai kewenangan dan kewajiban untuk melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap Notaris. Pengertian pengawasan dalam ketentuan ini termasuk pembinaan yang dilakukan oleh menteri terhadap Notaris. Pengawasan itu sendiri adalah kegiatan yang bersifat preventif dan kuratif termasuk kegiatan pembinaan yang dilakukan oleh Majelis Pengawas terhadap Notaris. Majelis Pengawas ini dibentuk oleh menteri

§§§§§§§§§§§§


(48)

dalam rangka pelaksanaan pengawasan terhadap Notaris yang terdiri atas :*************

a. Majelis Pengawas Daerah, yang dibentuk dan berkedudukan di Kabupaten atau Kota;

b. Majelis Pengawas Wilayah, yang dibentuk dan berkedudukan di Propinsi; dan

c. Majelis Pengawas Pusat yang dibentuk dan berkedudukan di Ibu Kota Negara

Adapun wewenang MPD yang diatur dalam UUJN, Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2014, dan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M. 39-PW.07.10. Tahun 2004. Dalam pasal 66 UUJN diatur mengenai wewenang MPD yang berkaitan dengan :

1. Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah berwenang: a. mengambil fotokopi Minuta Akta dan surat-surat yang

dilekatkan pada Minuta atau Protokol Notaris dalam Penyimpanan Notaris;

b. memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris

*************


(49)

2. pengambilan fotokopi Minuta Akta atau surat-surat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dibuat berita acara penyerahan.

Ketentuan pasal 66 UUJN ini mutlak kewenangan MPD yang tidak dipunyai oleh MPW maupun MPP. Subtansi Pasal 66 UUJN imperatif dilakukan oleh penyidik, pejabat umum, atau hakim. Dengan batasan sepanjang berkaitan dengan tugas jabatan Notaris dan sesuai dengan kewenangan Notaris sebagaimana tersebut dalam Pasal 15 UUJN. Ketentuan tersebut berlaku hanya dalam perkara pidana, karena dalam pasal tersebut berkaitan dengan tugas penyidik dan penuntut umum dalam ruang lingkup perkara pidana. Jika seseorang Notaris digugat perdata, maka izin dari MPD tidak diperlukan, karena setiap orang untuk mengajukan gugatan jika ada hak-haknya terlanggar oleh suatu akta Notaris.

Dalam kaitan ini MPD harus objektif ketika melakukan pemeriksaan atau meminta keterangan dari Notaris untuk memenuhi permintaan peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim, artinya MPD harus menempatkan akta Notaris sebagai objek pemeriksaan yang berisi pernyataan atau keterangan para pihak, bukan menempatkan subjek Notaris sebagai objek pemeriksaan, sehingga tata cara atau prosedur pembuatan akta harus dijadikan ukuran dalam pemeriksaan tersebut. Dengan demikian diperlukan anggota MPD, baik unsur Notaris, pemerintahan dan akademis yang memahami akta Notaris, baik dari prosedur maupun subtansinya. Tanpa ada izin dari MPD penyidik, penuntut umum dan hakim tidak dapat memanggil atau meminta Notaris dalam suatu perkara pidana.†††††††††††††

†††††††††††††


(50)

Adapun Pasal 70 UUJN mengatur wewenang MPD yang berkaitan dengan:‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡

a. Menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran Kode Etik Notaris atau pelanggaran pelaksanaan jabatan Notaris;

b. Melakukan pemeriksaan terhadap protokol Notaris secara berkala 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun atau waktu yang dianggap perlu; c. Memberikan izin cuti untuk waktu sampai dengan 6 (enam) bulan; d. Menentapkan Notaris Pengganti dengan memperhatikan usul

Notaris yang bersangkutan;

e. Menentukan tempat penyimpanan Protokol Notaris yang pada saat serah terima Protokol Notaris telah berumur 25 (dua puluh lima) tahun atau lebih;

f. Menunjuk Notaris yang akan bertindak sebagai pemegang sementara Protokol Notaris yang diangkat sebagai pejabat negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 ayat (4);

g. Menerima laporan dari masyarakat mengenai adanya dugaan pelanggaran Kode Etik Notaris atau pelanggaran ketentuan dalam undang-undang ini;

h. Membuat dan menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan g kepada Majelis Pengawas Wilayah.

‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡


(51)

Wewenang MPD dalam Pasal 16 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004, mengatur mengenai pemeriksaan terhadap Notaris yang dilakukan oleh Tim Pemeriksa, yaitu:§§§§§§§§§§§§§

1. Pemeriksaan secara berkala dilakukan oleh Tim Pemeriksa yang terdiri atas 3 (tiga) orang anggota dari masing-masing unsur yang dibentuk oleh Majelis Pengawas Daerah yang dibantu oleh 1 (satu) orang sekretaris;

2. Tim Pemeriksa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menolak untuk memeriksa Notaris yang mempunyai hubungan perkawinan atau hubungan dara dalam garis lurus ke atas atau ke bawah tanpa pembatasan derajat, dan garis lurus ke samping sampai dengan derajat ketiga dengan Notaris;

3. Dalam hal Tim Pemeriksa mempunyai hubungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Ketua Majelis Pengawas daerah menunjuk penggantinya.

Hasil pemeriksaan Tim Pemeriksa sebagaimana tersebut di atas wajib dibuat Berita Acara dan dilaporkan kepada MPW, pengurus organisasi jabatan Notaris dan MPW, hal ini berdasarkan pasal 17 peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004, yaitu:**************

§§§§§§§§§§§§§

Ibid,. hal 182 **************


(52)

1. Hasil pemeriksaan Tim Pemeriksa sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 dituangkan dalam berita acara pemeriksaan yang ditandatangani oleh Ketua Tim Pemeriksa dan Notaris yang diperiksa;

2. Berita Acara Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Majelis Pengawas Wilayah setempat dengan Tembusan kepada Notaris yang bersangkutan, Pengurus Daerah Ikatan Notaris Indonesia, dan Majelis Pengawas Pusat.

Wewenang MPW di samping diatur dalam UUJN, juga diatur dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004, dan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.39-PW.07.10.Tahun 2004. Dalam Pasal 73 ayat (1) UUJN diatur mengenai wewenang MPD yang berkaitan dengan:††††††††††††††

a. Menyelengarakan sidang untuk memeriksa dan mengambil keputusan atas laporan masyarakat yang disampaikan melalui Majelis Pengawas Wilayah;

b. Memanggil Notaris terlapor untuk dilakukan pemeriksaan atas laporan sebagaimana dimaksud pada huruf a;

c. Memberikan izin cuti lebih dari 6 (enam) bulan sampai 1 (satu) tahun;

d. Memeriksa dan memutus atas keputusan Majelis Pengawas Daerah yang, memberikan sanksi berupa teguran lisan atau tertulis;

††††††††††††††


(53)

e. Mengusulkan pemberian sanksi terhadap Notaris kepada Majelis Pengawas Pusat berupa:

1. Pemberhentian sementara 3 (tiga) bulan sampai dengan 6 (enam) bulan atau

2. Pemberhentian dengan tidak hormat

f. Membuat berita acara atas setiap keputusan penjatuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada huruf e dan huruf f.

Menurut Pasal 73 ayat (2) UUJN, Keputusan Majelis Pengawas Wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e bersifat final, dan terhadap setiap keputusan penjatuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dan huruf f dibuatkan berita acara (Pasal 73 ayat (3) UUJN).

Wewenang MPW menurut Pasasl 26 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004, berkaitan dengan pemeriksaan yang dilakukan oleh MPW, yaitu:‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡

1. Majelis Pengawas Wilayah memeriksa dan memutuskan hasil pemeriksaan Majelis Pemeriksaan Daerah;

2. Majelis Pengawas Wilayah mulai melakukan pemeriksaan terhadap hasil pemeriksaan Majelis Pengawas Daerah dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kalender sejak berkas diterima;

3. Majelis Pemeriksa Wilayah berwenang memanggil Pelapor dan Terlapor untuk di dengar keterangannya;

‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡


(54)

4. Putusan diucapkan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender sejak berkas diterima.

Dalam angka 2 butir 1 Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.39-PW.07.10. Tahun 2004, mengenai Tugas Majelis Pengawas menegaskan bahwa MPW berwenang untuk menjatuhkan sanksi yang tersebut dalam pasal 73, 85 UUJN, dan Pasal 26 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004, kemudian angka 2 butir 2 keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.39-PW.07.10. Tahun 2004 mengatur pula mengenai kewenangan MPW, yaitu:§§§§§§§§§§§§§§

1. Mengusulkan kepada Majelis Pengawas Pusat pemberian sanksi pemberhentia dengan hormat;

2. Memeriksa dan memutuskan keberatan atas putusan penolakan cuti oleh Majelis Pengawas Pusat;

3. Mencatat izin cuti yang diberikan dalam sertifikat cuti;

4. Melaporkan kepada instansi yang berwenang adanya dugaan unsur pidana yang telah diberitahukan oleh Majelis Pengawas Daerah. Atas laporan tersebut, setelah dilakukan pemeriksaan oleh Majelis Pemeriksa Wilayah hasilnya disampaikan kepada Majelis Pengawas Pusat;

5. Menyampaikan Laporan kepada Majelis Pengawas Pusat, yaitu :

a. Laporan berkala setiap enam (6) bulan sekali dalam bulan Agustus dan Febuari;

§§§§§§§§§§§§§§


(55)

b. Laporan Insidentil paling lambat 15 (lima belas) hari setelah putusan Majelis Pemeriksa.

Mengenai mekanisme yang dilakukan oleh Majelis Pengawas Notaris dalam rangka laporan masyarakat tentang adanya dugaan pelanggaran kode etik Notaris atau pelanggaran pelaksanaan jabatan Notaris adalah sebagai berikut : untuk keperluan pemeriksaan sehubungan dengan ada dan diterimanya laporan masyarakat, Ketua Majelis Pengawas Daerah membentuk Majelis Pemeriksa yang berasal dari setiap unsur, dan terdiri dari seorang ketua dan dua orang anggota yang dibantu oleh seorang sekretaris dalam waktu paling lambat lima hari kerja sejak diterimanya laporan, Majelis Pemeriksa harus menolak melakukan pemeriksaan terhadap Notaris terlapor yang mempunyai hubungan perkawinan dan hubungan darah dalam garis tanpa pembatasan derajat dan garis ke samping sampai derajat ketiga, laporan masyarakat tersebut harus dilakukan secara tertulis dan dalam bahasa Indonesia disertai bukti-bukti yang dapat pertanggung jawabkan, sebelum pemeriksaan dilakukan baik ke dalam pelapor maupun terlapor atau Notaris yang hendak diperiksa diberi tahu secara tertulis, dalam waktu sekurang-kurangnya lima hari kerja sebelum pemeriksaan dilakukan, apabila terlapor tidak hadir, sekalipun telah dipanggil secara patut maka dilakukan pemanggilan kedua, apabila setelah dilakukan pemanggilan kedua ternyata terlapor tetap tidak bisa hadir maka pemeriksaan tetap dilakukan dan putusan diambil serta laporan dinyatakan gugur dan tidak dapat diajukan lagi, pemeriksaan dilakukan paling lambat dalam jangka pertama dimana pelapor hadir Majelis Pemeriksa mulai melakukan pemeriksaan dengan membacakan laporan dan keterangan pelapor, majelis memberikan kesempatan yang cukup kepada terlapor


(56)

untuk melakukan pembelaan diri, pelapor maupun terlapor dapat mengajukan bukti-bukti dalil yang diajukan Majelis Pemeriksa membuat berita acara pemeriksaan yang ditandatangani oleh ketua dan sekretaris sedapat mungkin sebanyak dua rangkap, dimana satu rangkap untuk disampaikan kepada Majelis Pengawas Wilayah.

Agar pemeriksaan dapat berjalan dengan lancar dan sesuai dengan yang ditentukan oleh Undang-Undang Jabatan Notaris berikut peraturan pelaksanannya, maka perlu dilakukan hal-hal atau dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut: untuk pihak pemeriksa atau Majelis Pemeriksa, setiap anggota Majelis Pemeriksa dituntut untuk menguasai hal-hal yang berkenaan dan/atau berhubungan dengan materi yang hendak diperiksa, maupun teknik pemeriksaan terutama dalam rangka mendapatkan data yang diperlukan, sebelum atau pada waktu pemeriksaan dilakukan, sebaiknya Majelis Pemeriksa menjelaskan tentang maksud dan tujuan pebentukan, serta wewenang dan kewajiban Majelis Pengawas, termasuk di dalamnya wewenang dan kewajiban Majelis Pemeriksa.

Dalam melaksanakan pemeriksaan, kewajiban Majelis pemeriksa tidak semata-mata mencari dan menemukan data/atau yang berhubungan dengan materi laporan masyarakat yang disampaikan kepada majelis, namun yang tidak kalah pentingnya adalah menyampaikan informasi dengan maksud untuk memberikan pemahaman yang benar tentang materi laporan tersebut baik ditinjau dari aturan hukum materill yang berlaku maupun dari hukum yang mengatur tentang pelaksanaan tugas jabatan Notaris serta kode etik Notaris, kepada Notaris yang sedang diperiksa, apabila dipandang perlu dapat diberi penjelasan mengenai hal-hal yang dipandang sangat penting, misalnya tentang tanggung jawab Notaris


(57)

terhadap akta yang dibuat oleh atau dihadapannya sekalipun pada prinsipnya Notaris hanya bertugas mengkonstatir hal-hal yang dikehendaki dan dinyatakan oleh para pihak atau penghadap, sebab ada bagian tertentu dari akta yang merukapan tanggung jawab sepenuhnya dari Notaris pembuat akta, yaitu mengenai awal dan akhir kata.***************

***************


(58)

BAB III

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA NOTARIS DALAM HAL PEMALSUAN AKTA AUTHENTIK

A. Pengertian pertanggungjawaban pidana

Moeljatno mengatakan bahwa pengertian perbuatan pidana adalah perbuatan yang di larang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Pada kesempatan yang lain, dia juga mengatakan dengan subtansi yang sama bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang di larang dan diancam dengan pidana, barangsiapa yang melanggar larangan tersebut.†††††††††††††††

Menurut buku Prof. Mr. Roeslan Saleh pengertian perbuatan pidana tidak termasuk hal pertanggungjawaban. Perbuatan pidana hanya menunjuk kepada dilarangnya perbuatan. Apakah orang yang telah melakukan perbuatan itu kemudian juga dipidana, tergantung pada soal apakah dia dalam melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau tidak. Apabila orang yang melakukan perbuatan pidana itu memang mempunyai kesalahan, walaupun dia telah melakukan perbuatan yang terlarang dan tercela, dia tentu tidak dipidana. Asas yang tidak tertulis: “ Tidak dipidana jika tidak ada kesalahan”, merupakan dasar daripada dipidananya si pembuat.‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡

†††††††††††††††

Mahrus Ali., Op.Cit., hlm 97 ‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡


(1)

paling lama tujuh tahun.” Di karenakan saksi tersebut telah menyuruh Notaris untuk membuat akta tersebut tanpa sepengetahuan Tuan Edi Fadhil.


(2)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

1) Akta Authentik adalah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya.”

Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam udang-undang ini atau berdasarkan udang-undang-udang-undang lainnya. Wewenang membuat akta otentik ini hanya dilaksanakan oleh notaris sejauh pembuatan akte otentik tertentu tidak dikhususkan bagi pejabat umum lainnya. Peranan Notaris dalam pembuatan Akta Authentik diatur dalam Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 02 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris berdasarkan Undang-Undang tersebut mengartikan bahwa Notaris berperan penting dalam pembuatan Akta Authentik di karenakan Notaris merupakan Pejabat Umum yang berwenang membuat Akta Authentik tersebut.

2. Pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban yang harus dilakukan oleh seseorang yang melakukan tindak pidana, pertanggungjawaban pidana notaris dalam tindak pidana pemalsuan yaitu sanksi berupa hukuman penjara dan sanksi administratif yang bersifat pidana yang terdapat pada pasal 9 huruf (e) dimana apabila seorang notaris yang di tahan oleh Kepolisian maka jabatannya di berhentikan sementara. Oleh karena itu apabila Notaris di tahan oleh Kepolisian maka kantor kenotariatannya berhenti sementara sampai Notaris tersebut keluar dari tahanan.


(3)

B. Saran

Pengaturan hukum di indonesia haruslah di tegaskan dan hakim harus mempertimbangkan segala sesuatu yang harus dipertimbangkan. Seharusnya hukuman yang menyangkut profesi haruslah di beri hukuman yang lebih berat dikarenakan ia telah mengerti akan perbuatannya dan ia telah mengetahui sanksi apa saja yang terjadi apabila ia melakukan tindak pidana tersebut. Dan setiap Acara Pengadilan harus sesuai dengan Berita Acara yang telah di atur jangan sampai cacat hukum.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

A.BUKU

Ali, Mahrus, 2012, Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta.

Hamzah, Andi, 1994, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta.

Moeljatno, 1983, Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana, Bina Aksara, Jakarta.

Saleh, Roeslah, 1983, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Dua Pengertian Dasar Dalam Hukum Pidana, Aksara Baru, Jakarta.

Adjie, Habib, 2011, Hukum Notaris Indonesia Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, Rafika Aditama, Bandung.

Tobing, G.H.S.L, 1983, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta.

Chazawi, Adam & Ardi ferdinan, 2014, Tindak Pidana Pemalsuan, PT. Raja Grafika Persada, Jakarta.

Soekanto,Soerjono & Sri Mamudji, 2007, Penelitian Hukum Normatif : Suatu Tinjauan Singatan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Sjaifurrahman, 2011, Pertanggungjawaban Notaris Dalam Pembuatan Akta, CV. Mandar Madju, Bandung

Adjie, Habib, 2009, Hukum Notaris Indonesia, PT. Refika Aditama, Bandung.

R, Putri A, 2011, Perlindungan Hukum Terhadap Notaris, PT. Soft Media, Jakarta.


(5)

Adjie, Habib, 2009, Sekilas Dunia Notaris Dan PPAT Indonesia, CV. Mandar Madju, Bandung.

Mulyadi,Mahmud, Surbakti, Feri Antoni ,2010, Politik Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Korporasi, PT. Softmedia, Jakarta.

Sianturi,S.R., 1996, Azas-Azas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Cetakan Keempat, Alumni Aheam, Jakarta.

Tresna, R, 1959, Asas-Asas Hukum Pidana, PT. Tiara Ltd, Jakarta.

Chazawi, Adami, 2000, Kejahatan Mengenai Pemalsuan, PT. Raja Grafindo, Jakarta.

Budiono, Herlien, 2008, kumpulan tulisan hukum perdata di bidang kenotariatan, PT Citra Adtya Bakti, Bandung.

Prodjodikoro, Wirjono, 2010, Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, , PT Refika Aditama, Jakarta

UNDANG-UNDANG:

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris.

Undang-Undang Kode Etik Notaris.

Kitap Undang-Undang Hukum Pidana.

Kitap Undang-Undang Hukum Perdata.

JURNAL :

Ikhsan, Edy & Mahmul Siregar, Bahan Kuliah Metode Penelitian Hukum


(6)

Agustining, Tanggung Jawab Notaris Terhadap Akta otentik yang dibuat dan berindikasikan perbuatan pidana.

INTERNET: