BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA PEMALSUAN SIM - Kajian Yuridis Tindak Pidana Pemalsuan Surat Izin Mengemudi (Study Putusan Nomor 600/PID.B/2009/PN.Mdn)

  

BAB II

PENGATURAN TINDAK PIDANA

PEMALSUAN SIM

A.

Pengaturan Tindak Pidana Pemalsuan Surat yang Diatur Di Dalam

KUHP 1. Pemalsuan surat pada umumnya (Pasal 263 KUHP) Perbuatan pemalsuan merupakan suatu jenis pelanggaran terhadap

  kebenaran dan kepercayaan, dengan tujuan memperoleh keuntungan bagi diri sendiri atau bagi orang lain. Suatu pergaulan hidup yang teratur di dalam masyarakat yang teratur dan maju tidak dapat berlangsung tanpa adanya jaminan kebenaran atas beberapa bukti surat dan alat tukarnya. Karenanya perbuatan pemalsuan dapat merupakan ancaman bagi kelangsungan hidup dari masyarakat

  

  tersebut. Perbuatan pemalsuan dapat digolongkan pertama-tama dalam kelompok kejahatan “penipuan”, tetapi tidak semua perbuatan penipuan adalah pemalsuan. Perbuatan pemalsuan tergolong kelompok kejahatan penipuan, apabila seseorang memberikan gambaran tentang sesuatu keadaan atas sesuatu barang (surat) seakan-akan asli atau kebenaran tersebut dimilikinya. Karena gambaran ini orang lain terpedaya dan mempercayai bahwa keadaan yang digambarkan atas

  

  barang/surat tersebut itu adalah benar atau asli. Pemalsuan terhadap tulisan/surat terjadi apabila isinya atas surat itu yang tidak benar digambarkan sebagai benar. 44

  Pembahasan tentang pemalsuan surat yang tertuang di dalam Pasal 263 KUHP terlebih dahulu diuraikan aspek-aspek tentang unsur-unsur di dalam suatu tindak pidana atau perbuatan pidana itu. Seperti diketahui bersama bahwa terdapat beberapa istilah yang merupakan terjemahan dari istilah Belanda "Strafboarfrii" ke dalam bahasa Indonesia. Istilah "peristiwa pidana" adalah sebagai terjemahan dari istilah Belanda "Strafbaar feit" atau "delict". Dalam perumusan unsur-unsur delik atau tindak pidana, perbuatan pidana maupun peristiwa pidana, dikenal beberapa cara. Oleh Junkers disebutkan empat jenis metode rumusan delik di

  

  datum undang-undang, yang terdiri atas : a.

  Cara yang paling lazim adalah menerangkan isi delik dari keterangan itu dapat dijabarkan unsur-unsur perbuatan yang dapat di pidana, seperti misalnya Pasal 279, 281, 286, 242 dan sebagainya dari KUHP.

  b.

  Dengan cara menerangkan/memberikan unsur-unsur dan memberikan pensifatan/kualitikasi, seperti misalnya pemalsuan Pasal 263, pencurian Pasal 362, penggelapan Pasal 372, penipuan Pasal 378 dari KUHP.

  c.

  Cara yang jarang dipakai adalah hanya memberikan pensifatan kualifikasi saja seperti misalnya penganiayaan Pasal 351, pembunuhan Pasal 338 dari KUHP.

  d.

  Kadangkala undang-undang merumuskan ancaman pidana- nya saja untuk peraturan-peraturan yang masih akan dibuat kemudian seperti misalnya, Pasal 521 dan Pasal 122 ayat 1 KUHP).

  46 Tentang elemen-elemen "Strajbaar fell" oleh Vos disebutkan kemungkinan

  

  adanya beberapa elemen, yaitu: a.

  Elemen perbuatan atau kekuatan orang, dalam hal berbuat atau tidak berbuat (een doen of een whiten).

  b.

  Elemen akibat dari perbuatan, yang terjadi dalam delik selesai.

  c.

  Elemen subyektif yaitu kesalahan, yang diwujudkan dengan kata-kata sengaja (opzet) atau alpa (culpa).

  d.

  Elemen melawan hukum (wederrelutellikeheid).

  e.

  Dan sederetan elemen-elemen lain menurut rumusan undang-undang, dan dibedakan menjadi segi obyektif misalnya di dalam Pasal 160 KUHP diperlukan elemen di muka umum (in het openbaar) dan segi subyektif misalnya Pasal 340 KUHP diperlukan unsur direncanakan lebh dahulu

  (voorbedachterdaad) .

  Suatu tindak pidana atau perbuatan pidana itu juga dibagi unsur-unsurnya ke

  

  dalam dua golongan, yaitu: a.

  Unsur-unsur yang obyektif; b. Unsur-unsur yang subyektif.

  Satochid Kartanegara, menerangkan tentang unsur-unsur yang obyektif adalah unsur-unsur yang terdapat di luar manusia, yaitu yang berupa : a. suatu tindak tanduk, jadi suatu tindakan; b. suatu akibat tertentu (eem bepaald gevolg); 47 _ Bambang Poernomo, Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Cetakan III, Jakarta, 1978. c. keadaan (omstanddigheid), yang kesemuanya ini dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang.

  Sedangkan unsur-unsur yang subyektif, dapat berupa :

   a.

  Toerekeningsvaibawbeid (dapat dipertanggungjawabkan).

  b.

  Schuld (kesalahan). Dari uraian-uraian di atas, marilah kita kaji dan bahas tentang Pasal 263 KUHP dan unsur-unsurnya di mana bunyi daripada Pasal 263 KUHP, sebagai berikut : (1) “Barangsiapa membuat surat palsu atau memalsukan surat, yang dapat menerbitkan sesuatu hak, sesuatu perjanjian (kewajiban) atau sesuatu pembebasan utang, atau yang boleh dipergunakan atau menyuruh orang lain mempergunakan surat-surat itu seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, maka kalau mempergunakannya dapat mendatangkan sesuatu kerugian dihukum karena pemalsuan surat, dengan hukuman penjara selama-lamanya enam tahun.

  (2) “Dengan hukuman serupa itu juga dihukum, barangsiapa dengan sengaja menggunakan surat palsu atau yang dipalsukan itu seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, kalau hal mempergunakan dapat mendatangkan sesuatu kerugian.

  Unsur-unsur daripada Pasal 263 ayat (1) KUHP ini adalah meliputi:

   a.

  Unsur Objektif: 49 R.Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-

  1) Perbuatan:

  a) membuat surat palsu; b) memalsu. 2)

  Objeknya yakni surat:

  a) yang dapat menimbulkan hak; b) yang menimbulkan suatu perikatan; c) yang menimbulkan suatu pembebasan hutang; d) yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal.

3) Dapat menimbulkan akibat kerugian dari pemakaian surat tertentu.

  b.

  Unsur Subjektif: Dengan maksud untuk menggunakannya sebagai surat yang asli dan tidak dipalsukan atau untuk membuat orang lain menggunakan orang tersebut.

   Adapun penjelasan terhadap Pasal 263 ayat (1) KUHP ini adalah: a.

  Yang diartikan surat dalam Pasal 263 ayat (1) KUHP ini adalah segala surat yang baik ditulis tangan, dicetak, maupun ditulis memakai mesin dan lain- lainnya. Namun oleh penulis, dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sekarang ini, surat tidak hanya ditulis, dicetak dan lainnya, tetapi telah ada pula surat elektronik yang tidak ditulis atau tertera pada selembar

  

  kertas. Sedangkan menurut H.A.K. Moch. Anwar diberikan pengertian

  51 bahwa surat atau tulisan adalah sesuatu yang terdiri atas serangkaian huruf- huruf yang mengandung arti dan yang memuat sesuatu isi tertentu.

   Di dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) dibedakan dua

  macam surat, yakni : 1)

  Surat berharga, terjemahan dari istilah aslinya dalam bahasa Belanda "waarde papier", di negara-negara Anglo Saxon dikenal dengan istilah “negotiable instruments”;

  2) Surat yang mempunyai harga atau nilai, terjemahannya dari istilah aslinya dalam bahasa Belanda "papier van waarde"; dalam bahasa Inggrisnya

54 Oleh Abdulkadir Muhammad, disebutkan adalah tiga fungsi utama dari surat

  "letter of value".

  berharga, yaitu: 1)

  Sebagai alat pembayaran (alat tukar uang); 2)

  Sebagai alat untuk memindahkan hak tagih (diperjualbelikan dengan mudah atau sederhana);

   b.

3) Sebagai surat bukti hak tagih (surat legitimasi).

  Surat yang dipalsu itu harus suatu surat yang: 1) dapat menerbitkan suatu hak (misalnya: ijazah, karcis tanda masuk, surat andil dan lain-lain),

  2) dapat menerbitkan suatu perjanjian (misalnya: surat perjanjian piutang, perjanjian jual beli, perjanjian sewa dan sebagainya), 53 H.A.K. Moch. Anwar, Hukum Pidana Bagian Khusus KUHP Buku II, Log. Cit. 54 Abdulkadir Muhammad, Hukum Dagang tentang Surat-surat Berharga, Citra Aditya

  3) dapat menerbitkan suatu pembebasan utang (kwitansi atau surat semacam itu) atau,

  4) suatu surat yang boleh dipergunakan sebagai suatu keterangan bagi sesuatu perbuatan atau peristiwa (misalnya: surat tanda kelahiran, buku tabungan pos, buku kas, buku harian kapal, surat angkutan, obligasi dan masih banyak lagi). Walaupun pada umumnya sebuah surat tidak melahirkan secara langsung adanya suatu hak, melainkan hak itu timbul dari adanya perikatan hukum (perjanjian) yang tertuang dalam surat itu, tetapi ada surat-surat tertentu yang disebut surat formil yang langsung melahirkan suatu hak tertentu, misalnya cek, bilyet giro, wesel, surat izin mengemudi, ijazah dan lain sebagainya.

  Surat yang berisi suatu perikatan pada dasarnya adalah berupa surat yang karena perjanjian itu melahirkan hak. Misalnya surat jual beli melahirkan hak si penjual untuk menerima uang pembayaran harga benda, dan pembeli mempunyai hak untuk memperoleh atau menerima benda yang dibelinya. Begitu juga dengan surat yang berisi pembebasan hutang. Lahirnya pembebasan hutang pada dasarnya disebabkan karena dan dalam hubungannya dengan suatu perikatan. Misalnya suatu Kuitansi yang bersisi penyerahan sejumlah uang tertentu dalam hal dan dalam hubungannya dengan misalnya jual beli, hutang piutang dan lain sebagainya.

  Mengenai unsur “surat yang diperuntuhkan sebagi bukti akan adanya sesuatu hal” di dalamnya ada 2 (dua) hal yang perlu dibicarakan, yakni:

  • Mengenai diperuntuhkan sebagai bukti; • Tentang sesuatu hal.

  Sesuatu hal, adalah berupa kejadian atau peristiwa tertentu baik yang karena diadakan (misalnya perkawinan) Maupun karena peristiwa alam (misalnya kelahiran dan kematian), peristiwa mana mempunyai

  

  suatu akibat hukum. HR dalam suatu arrestnya (22-10-1923) menyatakan bahwa “yang diperhatikan sebagai bukti suatu hal adalah kejadian yang menurut hukum mempunyai, jadi yang berpengaruh terhadap hubungan hukum orang-orang yang bersangkutan”.

  c.

  Perbuatan yang dicantum hukuman di sini ialah “membuat surat palsu” atau “memalsukan surat”.

  “Membuat surat palsu” sama dengan membuat yang isinya bukan semestinya (tidak benar), atau membuat surat demikian rupa, sehingga menunjukkan asal surat itu yang tidak benar. Pegawai polisi membuat prosesperbal yang berisi sesuatu cerita yang tidak benar dari orang yang menerangkan kepadanya, tidak masuk pengertian membuat proses-perbal palsu. Ia membuat proses- perbal palsu, apabila pegawai polisi itu menuliskan dalam proses perbalnya lain daripada hal yang diceritakannya kepadanya oleh orang tersebut.

  “Memalsu surat” sama dengan mengubah surat demikian rupa, sehingga isinya menjadi lain dari isi yang asli atau sehingga surat itu menjadi lain dari 56 yang asli. Adapun caranya bermacam-macam, tidak senantiasa perlu, bahwa surat itu diganti dengan yang lain. Dapat pula dilakukan dengan jalan mengurangkan, menambah atau merubah sesuatu dari surat itu. Memalsu tandatangan masuk pengertian memalsu surat dalam pasal ini. Demikian pula penempelan foto orang lain daripada pemegang yang tidak berhak dalam suatu surat ijazah sekolah, ijazah mengemudi (rijbewijs), harus dipandang dalam suatu pemalsuan. Sedangkan perbuatan memalsu surat menurut Soenarto Soerodibroto adalah berupa perbuatan mengubah dengan cara bagaimanapun oleh orang yang tidak berhak atas sebuah surat yang berakibat sebagian atau seluruh isinya menjadi lain/berbeda dengan isi surat semula. Tidak penting apakah dengan perubahan itu lalu isinya menjadi benar atau tidak ataukah bertentangan dengan kebenaran ataukah tidak, bila perbuatan mengubah itu dilakukan oleh orang yang tidak berhak, memalsu surat telah terjadi. Orang yang tidak

   berhak itu adalah orang selain si pembuat surat.

  Yurisprudensi di Jawa Barat, Mahkamah Agung R.I (MARI) membenarkan bahwa pengertian pemalsuan surat dalam Pasal 263 KUHP adalah termasuk mengubah surat asli sedemikian rupa sehingga isinya atau tanggalnya atau tanda tangannya bertentangan dengan kebenaran yang mempunyai maksud

   tertentu, seumpamanya untuk membuktikan suatu perkara.

  Dan dalam Yurisprudensi Tetap MARI No. 40/Kr/1973, tertanggal 5 Juni 1975, menyatakan bahwa mengisi blangko kuitansi tidak mempunyai unsur 57 58 Ibid, hlm. 100.

  melawan hukum sepanjang pengisiannya tidak bertentangan dengan maksud

   dari si-penandatangan untuk apa kuitansi itu ditandatanganinya.

  Ditambahkan lagi menurut Soenarto Soerodibroto dalam hal ini ada suatu

  arrest HR (14-4-1913) yang menyatakan bahwa “barang siapa di bawah suatu

  penulisan membubuhkan tanda tangan orang lain sekalipun atas perintah dan

  

  persetujuan orang tersebut telah memalsukan tulisan itu” Perbedaan prinsip antara perbuatan membuat surat palsu dan memalsu surat, adalah bahwa membuat surat palsu/membuat palsu surat sebelum perbuatan dilakukan belum ada surat, kemudian di buat suatu surat yang isinya sebagaian atau seluruhnya adalah bertentangan dengan kebenaran atau palsu.

  Seluruh tulisan dalam tulisan itu di hasilkan membuat surat palsu. Surat yang demikian di sebut dengan surat palsu atau surat tidak asli. Tidak demikian dengan perbuatan memalsu surat. Sebelum perbuatan ini dilakukan, sudah ada sebuah surat disebut surat asli. Kemudian pada surat yang asli ini, terhadap isinya (termasuk tanda tangan dan nama si pembuat asli) dilakukan perbuat memalsu yang akibatnya surat yang semula benar menjadian surat yang semula benar dan bertentangan dengan kebenaran atau palsu. Menurut Adami Chazawi, membuat surat palsu adalah membuat sebuah surat yang seluruh atau sebagian isinya palsu. Membuat surat palsu ini dapat

  

  berupa:

59 Yurisprudensi Tetap Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 40/Kr/1973, tertanggal 5 Juni 1975.

  60

  • Membuat sebuah surat yang sebagian atau seluruh isi surat tidak sesuai atau bertentangan dengan kebenaran. Membuat surat yang demikian disebut dengan pemalsuan intelektual.
  • Membuat sebuah surat yang seolah-olah surat itu berasal dari orang lain selain si pembuat surat. Membuat surat palsu yang demikian ini disebut dengan pemalsuan materil. Palsunya surat atau tidak benarnya surat terletak pada asalnya atau si pembuat surat d.

  Supaya dapat dihukum menurut pasal ini, maka pada waktu pemalsuan surat itu harus dengan maksud akan menggunakan atau suruh orang lain menggunakan surat itu seolah-olah asli dan tidak palsu. Jadi pemalsuan surat untuk kepentingan pelajaran, penyelidikan atau percobaan dilaboratorium,

  

  tidak dapat dikenakan pasal ini. Dengan demikian memiliki makna bahwa: 1) adanya orang-orang yang terpedaya dengan digunakannya surat-surat yang demikian;

  2) surat itu berupa alat yang digunakan untuk memperdaya orang, orang mana adalah orang yang menganggap surat itu asli dan tidak dipalsu, orang terhadap siapa maksud surat itu digunakan, bisa orang-orang pada umumnya dan bisa juga orang tertentu. Seperti membuat SIM (Surat Ijin Mengemudi) dirinya secara palsu, yang terpedaya adalah Polisi, dan bila penggunaannya dengan maksud untuk diterimanya bekerja sebagai sopir, maka yang terpedaya adalah majikannya yang akan mempekerjakan orang itu. e.

  Penggunaannya itu harus dapat mendatangkan kerugian. “Dapat” maksudnya tidak perlu kerugian itu betul-betul sudah ada, baru kemungkinan saja akan adanya kerugian itu sudah cukup, yang diartikan dengan “kerugian” di sini tidak saja hanya meliputi kerugian materiil, akan tetapi juga kerugian dilapangan kemasyrakatan, kesusilaan, kerhormatan dan sebagainya. Menurut Soenarto Soerodibroto “Kerugian yang dapat timbul akibat dari pemakaian surat palsu atau surat dipalsu, tidak perlu diketahui atau disadari oleh petindak”. Hal ini ternyata dari adanya suatu arrest HR (8-6-1897) yang menyatakan bahwa “petindak tidak perlu mengetahui terlebih dulu kemungkinan timbulnya kerugian ini”. Tidak ada ukuran-ukuran tertentu untuk menentukan akan adanya kemungkinan kerugian jika surat palsu atau surat dipalsu itu dipakai, hanya berdasarkan pada akibat-akibat yang dapat dipikirkan oleh orang-orang pada umumnya yang biasanya terjadi dari adanya

   penggunaan surat semacam itu.

  Di samping isi dan asalnya sebuah surat disebut surat palsu, apabila tanda tangannya yang tidak benar. Hal ini dapat terjadi dalam hal misalnya: a.

  Membuat dengan meniru tanda tangan seseorang yang tidak ada orangnya, seperti orang yang telah meninggal dunia atau secara fiktif; b.

  Membuat dengan meniru tanda tangan orang lain baik dengan persetujuannya

   ataupun tidak.

  Tanda tangan yang dimaksud di sini termasuk tanda tangan dengan menggunakan cap/stempel tanda tangan. Hal ini ternyata dari suatu arrest HR (12-2-1920) yang 63 menyatakan bahwa disamakan dengan menandatangani suatu surat ialah

  

membubuhkan stempel tanda tangannya.

  Unsur-unsur daripada Pasal 263 ayat (2) KUHP ini adalah meliputi: a.

  Unsur Objektif

1) Perbuatan: Memakai.

  2) Objeknya:

  a) Surat palsu;

b) Surat yang dipalsukan.

3) Pemakaian surat tersebut dapat menimbulkan kerugian.

  b.

  Unsur Subjektif yakni dengan sengaja.

  Adapun penjelasan dalam Pasal 263 ayat (2) KUHP ini tersebut menurut R. Soesilo adalah: Yang dihukum menurut pasal ini tidak saja “memalsukan” surat (ayat 1), tetapi juga “sengaja mempergunakan” surat palsu (ayat 2), “sengaja” maksudnya, bahwa orang yang menggunakan itu harus mengetahui benar-benar bahwa surat yang ia

  

  Pengertian kesengajaan yang dirumuskan oleh Satochid Kartanegara, ialah melaksanakan sesuatu perbuatan, yang didorong oleh suatu keinginan untuk 65

  

  berbuat atau bertindak. Oleh Bambang Poernomo, dikemukakannya bahwa kesengajaan itu secara alternatif dapat ditujukan kepada tiga elemen perbuatan pidana sehingga terwujud kesengajaan terhadap perbuatan, kesengajaan terhadap

   akibat dan kesengajaan terhadap hal ikhwal yang menyertai perbuatan pidana.

  Sebab dianggap sebagai mempergunakan, ialah misalnya menyerahkan surat itu kepada orang lain yang harus mempergunakan lebih lanjut atau menyerahkan surat itu ditempat dimana surat tersebut harus dibutuhkan. Dalam hal ini menggunakan surat palsu inipun harus pula dibuktikan, bahwa orang itu bertindak seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, demikian pula perbuatan itu harus

   dapat mendatangkan kerugian.

  2. Pemalsuan surat yang diperberat ( Pasal 264 KUHP)

   Dalam Pasal 264 KUHP merumuskan sebagai berikut:

  (1) Pemalsuan surat di pidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun, jika dilakukan terhadap:

  • Akta-akta otentik;
  • Surat hutang atau sertifikat hutang dari suatu negara atau bagiannya ataupun dari suatu lembaga umum;

  67 Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Bagian Satu, Balai Lektur Mahasiswa, Jakarta, 1890. hlm. 183. 68 69 Bambang Poernomo, Log. Cit.

  • Surat sero atau surat hutang atau sertifikat sero atau hutang dari suatu perkumpulan, yayasan, perseroan, atau maskapai;
  • Talon, tanda bukti deviden atau bunga dari salah satu surat yang diterangkan dalam 2 (dua) dan 3 (tiga), atau tanda bukti yang dikeluarkan sebagai pengganti surat-surat itu;
  • Surat kredit atau surat dagang yang diperuntukkan unutk diedarkan; (2) Di pidana dengan pidana yang sama barangsiapa dengan sengaja memakai surat tersebut dalam ayat pertama, yang isinya tidak asli atau dipalsukan seolah-olah benar dan tidak dipalsu, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.

   Adapun penjelasan terhadap Pasal 264 KUHP tersebut adalah: a.

  Sudah barang tentu perbuatan yang diancam hukuman dalam pasal ini harus memuat segala elemen-elemen atau syarat-syarat yang termuat dalam Pasal 263 KUHP dan selain daripada itu ditambah dengan syarat, bahwa surat yang dipalsukan itu terdiri dari surat autentik dan sebagainya, yang tersebut berturut-turut pada sub 1 (satu) sampai 5 (lima) dalam pasal ini, surat-surat mana bersifat umum dan harus tetap membahayakan kepercayaan umum, sehingga menurut pasal ini diancam hukuman yang lebih berat dari pemalsuan surat biasa. b.

  Akta otentik adalah akte yang dibuat dihadapan seorang pegawai negeri umum yang berhak untuk itu, biasanya notaris, pegawai pencatatan jiwa dan sebagainya.

  Kepercayaan yang lebih besar terhadap kebenaran akan isi dari macam- macam surat itulah yang menyebabkan diperberat ancaman pidananya.

  Penyerangan terhadap kepercayaaan masyarakat yang lebih besar terhadap isi surat-surat yang demikian dianggap membahayakan kepentingan umum masyarakat yang lebih besar pula.

  3. Menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam akta autentik ( Pasal 266 KUHP)

  Dalam Pasal 266 KUHP merumuskan sebagai berikut:

  

  (1) Barangsiapa menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam suatu akta autentik mengenai sesuatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu, dengan maskud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai akta itu seolah-olah keterangannya sesuai dengan kebenaran, di pidana, jika pemakaian itu dapat menimbulkan kerugian, dengna pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun;

  (2) Di pidana dengan pidana yang sama, barangsiapa dengan sengaja memakai akta tersebut seolah-olah isinya sesuai dengan kebenaran, jika karena pemakaian tersebut dapat menimbulkan bukan kerugian.

   Adapun penjelasan terhadap Pasal 266 KUHP tersebut adalah: a.

  Yang dinamakan akta autentiek yaitu suatu surat yang dibuat menurut bentuk dan syarat-syarat yang ditetapkan oleh undang-undang, oleh pegawai umum.

  b.

  Yang dapat dihukum menurut pasal ini misalnya orang yang memberikan keterangan tidak benar kepada pegawai Burgerlijke Stand untuk dimasukkan kedalam akte kelahiran yang harus dibuat oleh pegawai tersebut, dengan maksud untuk mempergunakan atau menyuruh orang lain menggunakan akte itu seolah-olah keterangan yang termuat di dalamnya itu benar.

  c.

  Yang diancam hukuman itu tidak hanya orang yang memberikan keterangan tidak benar dan sebagainya, akan tetapi juga orang yang dengan sengaja menggunakan surat (akte) yang memuat keterangan tidak benar itu. Dalam dua hal ini senantiasa harus dibuktikan, bahwa orang itu seakan-akan isi surat itu benar dan perbuatan itu dapat mendatangkan kerugian.

  d.

  Orang yang memberikan keterangan palsu (tidak benar) kepada pegawai polisi untuk dimasukkan kedalam proses-perbal itu tidak dapat dikenakan pasal ini, karena proses-perbal itu gunanya bukan untuk membuktikan kebenaran dari keterangan orang itu, tetapi hanya untuk membuktikan bahwa keterangan yang diberikan orang itu demikianlah adanya. Ini beda sekali dengan surat (akte) kelahiran yang gunanya benar-benar untuk membuktikan kebenaran kelahiran itu. e.

  Dapat dihukum menurut pasal ini misalnya pedagang yang menyuruh membuat persetujuan dagang kepada seorang notaris mengenai sebidang tanah, jika terlebih dahulu ia menjual tanah itu kepada orang lain. Dalam hal ini maka akte notaris merupakan suatu surat yang digunakan sebagai bukti terhadap suatu pemindahan hak milik. Kerugian yang akan diderita oleh pembeli sudah terang, ialah jumlah uang yang telah dibayar untuk pembelian itu yang bukan semestinya, biaya notaris dan sebagainya pun dapat dihukum pula seorang yang menyuruh pegawai kantor pencatatan jiwa untuk membuat suatu akte tentang kelahiran seorang anak dari istrinya dengan nama kecil A, sedangkan anak itu sebenarnya telah dilahirkan oleh perempuan lain daripada istrinya itu, sehingga pemakaian akte itu dapat menimbulkan kerugian bagi anaknya yang sebenarnya. Akan tetapi menurut keputusan ketua Pengadilan Negeri Indramayu 17 Januari 1939, demikian tulis W.F.L. Buschkens, maka seorang terdakwa yang telah menikah dihadapkan penghulu, sambil tidak mengatakan pada ketika itu, bahwa antara mereka ada hubungan paman dan keponakan, hubungan kekeluargaan mana menurut hukum islam merupakan penghalang untuk menikah tidak menimbulkan pemalsuan surat oleh karena dalam apa yang biasa dinamakan “surat kawin” itu hubungan kekeluargaan yang ada antara pihak-pihak yang menikah tidak pernah disebutkan.

  Untuk selesainya perbuatan menuyuruh memasukkan dalam arti selesainya kejahatan secara sempurna, tidak cukup dengan selesainya perbuatan memberikan keterangan tentang sesuatu hal/kejadian, melainkan harus sudah tenyata tentang hal/kejadian itu telah nyata-nyata dimuatnya dalamakta autentik yang dimaksudkannya.

  Objek kejahatan ini adalah keterangan palsu, artinya suatu keterangan yang bertentangan dengan kebenaran, keterangan mana mengenai sesuatu hal/kejadian. Tidak semua hal/kejadian berlaku di sini, melainkan kejadian yang harus dibuktikan oleh akta autentik itu. Suatu hal atau kejadian yang dimaksud adalah sesuatu hal yang menjadi isi pokok dari akta autentik yang dibuat itu. Akta nikah isi pokoknya adalah perihal pernikahan, akta jual beki isi pokoknya perihal jual beli, akta kelahiran isi pokoknya adalah perihal kelahiran, dan bukan mengenai hal-hal di luar mengenai isi pokok dari akta.

  Memberikan keterangan palsu dalam Pasal 266 KUHP memang berkaitan erat dengan ketentuan-ketentuan serta unsur-unsur yang ada dalam Pasal 263 dan Pasal 264 KUHP. Bahwa Pasal 264 ayat (1) KUHP memiliki unsur-unsur yang sama dengan Pasal 263 ayat (1) KUHP, sedangkan perbedaannya terletak dalam obyek daripada pemalsuan. Obyek daripada pemalsuan ini adalah beberapa jenis

   surat tertentu, seperti akta otentik, dan sebagainya.

  Tentang Pasal 266 KUHP ini, dapat dijelaskan lebih lanjut apabila seorang yang memiliki sebidang tanah datang menghadap kepada pejabat umum yakni Notaris untuk dibuatkan suatu akte tanah sebagai bukti pemilikannya, padahal batas-batas tanahnya dilebihkan dari batas-batas tanah sebenarnya dengan cara menambah beberapa bagian dari tanah tetangganya. Kepada Notaris dikemukakan batas-batas tanah termasuk tanah tambahan yang sebenarnya bukan miliknya tetapi milik tetangganya. Di sini si pelaku telah memberikan keterangan yang tidak benar kepada Notaris. Apabila kemudian Notaris membuatkan bukti kepemilikan tanah dari keterangan palsu tersebut, lalu orang yang memberikan keterangan palsu itu menjual kembali tanah yang dibuatkan aktanya oleh Notaris, kemudian digugat oleh si pemilik tanah (tetangganya), maka di sini telah ada kerugian yang diderita. Namun lebih prinsipil dari kajian ini, bukan unsur kerugiannya, melainkan memberikan keterangan palsu atau tidak benar, dan yang lebih penting lagi keterangan itu diberikannya dengan sengaja (opzet). Ini yang penting sehubungan dengan unsur-unsur dalam Pasal 266 KUHP tersebut.

  4. Pemalsuan surat tertentu ( Pasal 269 KUHP dan Pasal 270 KUHP)

   Dalam Pasal 269 KUHP merumuskan sebagai berikut:

  (1) Barangsiapa membuat surat palsu atau memalsu surat keterangan tanda kelakuan baik, kecakapan, kemiskinan, kecacatan atau keadaan lain, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat itu supaya diterima dalam pekerjaan atau supaya menimbulkan kemurahan hati dan pertolongan, di pidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 4 (empat) bulan.

  (2) Di pidana dengan pidana yang sama barangsiapa yang dengan sengaja memakai surat keterangan yang palsu atau yang dipalsukan tersebut dalam ayat pertama, seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsu.

  Adapun penjelasan terhadap Pasal 269 KUHP tersebut adalah:

   a.

  Orang yang membuat palsu atau memalsukan surat keterangan tentang kekuasaan baik, kecakapan, kemiskinan, cacat atau keadaan lain-lain dengan maksud akan menggunakan satu menyuruh menggunakan surat itu supaya dapat masuk pekerjaan, menerbitkan kemurahan hati atau perasaan suka member pertolongan; b. Orang yang menggunakan surat semacam itu sedang ia tahu akan kepalsuaannya.

  Jenis surat yang menjadi objek kejahatan Pasal 269 KUHP tersebut di atas yang menurut kebiasaan dikeluarkan oleh pejabat umum yang berwenang.

  Misalnya surat keterangan tanda kelakuan baik yang dikeluarkan Pejabat Kepolisian setempat, surat tentang kemiskinan atau tidak mampu oleh Kepala Desa atau Lurah setempat, bahkan kadang juga dikeluarkan oleh Camat atas surat Kepala Desa atau Lurah setempat. Subjek hukum kejahatan ini dapat pejabat itu sendiri, orang lain selain pejabat yang bersangkutan.

  Pasal 270 KUHP merumuskan sebagai berikut:

  

  (1) Barangsiapa membuat secara palsu atau memalsu surat jalan atau surat penggantinya, kartu keamanan, surat perintah jalan atau surat yang diberikan menurut ketentuan undang-undang tentang pemberian izin kepada orang asing untuk masuk dan menetap di Indonesia, ataupun barangsiapa menyuruh memberikan surat serupa itu atas nama palsu atau nama kecil yang palsu atau dengan menunjuk pada keadaan palsu, dengan maksud untuk memakai atau 76 menyuruh orang lain memakai surat itu seolah-olah asli dan tidak dipalsukan atau seolah-olah isinya sesuai dengna kebenaran, di pidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun 8 (delapan) bulan. (2) Di pidana dengan pidana yang sama, barangsiapa yang dengan sengaja memakai surat yang tidaka benar atau yang dipalsu tersebut ayat pertama, seolah-olah benar dan tidak dipalsu atau seolah-olah isinya sesuai dengan kebenaran.

   Adapun penjelasan terhadap Pasal 270 KUHP tersebut adalah: a.

  Yang menjadi objek pemalsuan dalam pasal ini ialah surat pas jalan, surat pengganti pas jalan, surat keselamatan (jaminan atas keamanan diri), surat perintah, surat-surat izin yang diberikan menurut peraturan undang-undang izin masuk ke Indonesia tersebut dalam L.N. 1949 No. 331, misalnya: surat izin masuk paspor, surat izin mendarat, surat izin berdiam dan sebagainya.

  b.

  Seorang pembesar polisi atau pembesar lain-lainya mengeluarkan surat perintah jalan yang tidak betul, umpanya kepada seorang partikulir disebutkan sebagai berpangkat agen polisi, atau sebenarnya untuk kepentingan prive disebutkan untuk kepentingan dinas, agar supaya mendapat ongkos jalan dari dinas, dapat dikenakan pasal ini. Bukan pembesar itu saja, akan tetapi orangnya yang sengaja mempergunakan surat perintah jalan palsu itu dapat dikenakan pasal ini pula.

  Pemalsuan tehadap surat-surat seperti ini dapat dilakukan baik oleh pejabat tersebut maupun orang lain selain pejabat, maupun oleh pemilik maupun orang lain selain pemilik. Kejahatan membuat secara palsu atau memalsu dan kejahatan menyuruh memberi surat jenis paspor palsu beserta kejahatan menggunakannya sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 270 KUHP dapat terjadi secara berbarengan dengan kejahatan mengenai objek paspor menurut Undang-undang

   Nomor 9 Tahun 1992 Tentang Keimigrasian. Misalnya seorang waga negara

  asing memiliki paspor palsu atau paspor dipalsu (hasil kejahatan Pasal 270 ayat (1) KUHP), kemudian ia menggunakannya untuk masuk dan berada di Indonesia, maka ia telah melanggar sekaligus Pasal 270 ayat (2) KUHP dan Pasal 1 Undang- undang Keimigrasian.

  Pada kejahatan yang dimaksud Pasal 270 ayat (1) KUHP, yang di pidana adalah orang-orang yang melakukan perbuatan minta dikeluarkannya surat-surat yang disebutkan dalam ayat (1). Sedangkan pada pejabat pembuat surat-surat palsu itu, apabila sikap batinnya sama dengan orang yang meminta dibuatkan surat semacam ini, maka ia dapat di pidana berdasarkan kejahatan ayat (1).

  Mengenai unsur kesalahan, yakni maksud untuk menggunakan surat seperti itu seolah-olah surat yang isinya benar dan tidak palsu (ayat 1) maupun dengan sengaja (ayat 2) telah dibahas secara cukup pada pembicaraan pasal-pasal sebelumnya.

  5. Menyimpan bahan atau benda untuk pemalsuan surat ( Pasal 275 KUHP)

   Dalam Pasal 275 KUHP merumuskan sebagai berikut:

  79

  (1) Barangsiapa menyimpan bahan atau benda yang diketahuinya bahwa diperentukkan untuk melakukan salah satu kejahatan berdasarkan Pasal 264 No.2-5, di pidana dengan pidana penjara paling lama 9 tahun atau pidana denda paling banyak Rp 4.500,.

  (2) Bahan-bahan dan benda-benda itu dirampas.

  Perbuatan menyimpan adalah berupa perbuatan membuat benda berada dalam kekuasaanya sedemikian rupa yang bilamana diperlukan ia dapat segera

  

  mempergunakannya. Dalam menyimpan tidak perlu benda itu berada langsung dalam kekuasaannya, dapat juga berada dalam tangan orang lain atas permintaannya atau perintahnya, dan orang lain itu tunduk sepenuhnya atas perintah orang itu mengenai benda tadi. Benda yang dimaksudkan adalah benda- benda yang digunakan sebagai alat dalam membuat palsu atau memalsu surat objek cetak, stempel, pulpen, dan sebagainya. sedangkan bahan berupa bahan pembuat surat palsu atua surat yang dipalsu, misalnya tinta dan kertas.

  Unsur kesalahan dalam kejahatan ini adalah berupa yang diketahuinya bahwa bahan atau benda itu dipergunakan untuk melakukan pemalsuan surat Pasal

   264 butir 2-5 KUHP.

B. Pemalsuan SIM Dalam Hukum Pidana Di Indonesia

  Adapun hukum positif di Indonesia yang mengatur wajibnya kepemilikan SIM sesuai dengan jenis Kendaraan Bermotor dalam mengendarai/mengemudikan kendaraan bermotor di jalan adalah sebagaimana tertulis di dalam Pasal 77 ayat (1) Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan 81 Jalan yakni setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan wajib memiliki Surat Izin Mengemudi sesuai dengan jenis Kendaraan Bermotor yang

  

  dikemudikan. Dan dalam Pasal 288 ayat (2) Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yakni dijelaskan bahwa setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di jalan yang tidak dapat menunjukkan Surat Izin Mengemudi yang sah di pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan

   dan/atau denda paling banyak Rp. 250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).

  Dikeluarkannya Undang-undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diharapkan akan menjadi suatu perbaikan dari aturan yang sebelumnya yaitu Undang-undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas. Jika membandingkan antara kedua undang-undang tersebut, bahwa dalam Undang-undang Nomor 22 tahun 2009 telah mengalami perubahan tetapi perubahan tersebut hanya sedikit dan tidak signifikan terhadap tindak pidana pelanggaran lalu lintas dari undang-undang yang lama. Perundang-undangan lalu lintas dan angkutan jalan, diarahkan untuk menciptakan peraturan yang mampu melandasi dan menjamin tahap-tahap pelaksanaan sistem perhubungan nasional secara menyeluruh.

   Adapun SIM berfungsi sebagai berikut: 1.

  Legitimasi kompetensi Pengemudi

  83 Pasal 77 ayat (1) Undang-undang No. 22 Thn. 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. 84 Pasal 288 ayat (2) Undang-undang No. 22 Thn. 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. 85 yakni merupakan bentuk pengakuan dan penghargaan dari Negara Republik Indonesia kepada para peserta uji yang telah lulus Ujian Teori, Ujian Keterampilan melalui Simulator, dan Ujian Praktik.

  Ujian Teori adalah penilaian terhadap tingkat pengetahuan dan pemahaman mengenai peraturan perundang-undangan di bidang lalu lintas, teknis dasar Ranmor, cara mengemudikan Ranmor, dan tata cara berlalu lintas bagi peserta uji sedangkan Ujian Praktik adalah penilaian terhadap tingkat kemampuan dan keterampilan mengemudi Ranmor dan berlalu lintas di jalan bagi peserta uji.

  2. Identitas Pengemudi yakni memuat keterangan identitas lengkap pengemudi.

  3. Kontrol kompetensi Pengemudi yakni merupakan alat penegakan hukum dan bentuk akuntabilitas pengemudi.

  4. Forensik kepolisian yakni memuat identitas pengemudi yang dapat digunakan untuk mendukung kegiatan penyelidikan dan penyidikan pelanggaran dan kecelakaan lalu lintas serta tindak pidana lain.

  Satuan Penyelenggara Administrasi SIM (Satpas) adalah unsur pelaksana Polri di bidang lalu lintas yang berada di lingkungan kantor Kepolisian setempat atau di luar lingkungan kantor Kepolisian, yang dimana SIM yang diterbitkan oleh

   Satpas di Indonesia berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang.

  86

  SIM tidak mempunyai kekuatan berlaku apabila:

   1.

  habis masa berlakunya; 2. dalam keadaan rusak dan tidak terbaca lagi; 3. diperoleh dengan cara tidak sah; 4. data yang terdapat dalam SIM diubah; dan/atau 5. SIM dicabut berdasarkan putusan pengadilan.

  Adapun persyaratan pendaftaran SIM bagi peserta uji meliputi:

   1.

  Usia

  • berusia 17 (tujuh belas) tahun untuk SIM A, SIM C, dan SIM D;
  • berusia 20 (dua puluh) tahun untuk SIM B I dan berusia 21 (dua puluh satu) tahun untuk SIM B II;
  • berusia 20 (dua puluh) tahun untuk SIM A Umum;
  • berusia 22 (dua puluh dua) tahun untuk SIM B I Umum dan berusia 23 (dua puluh tiga) tahun untuk SIM B II Umum.

  2. Administrasi yakni terdiri atas persyaratan pengajuan:

  • SIM baru;
  • perpanjangan SIM;
  • pengalihan golongan SIM;
  • perubahan data pengemudi;
  • penggantian SIM hilang atau rusak;
  • 87 Pasal 12 Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia No. 9 Thn. 2002 tentang Surat Izin Mengemudi. 88

    • penerbitan SIM akibat pencabutan SIM 3.

      Kesehatan meliputi:

    • Kesehatan Jasmani • Kesehatan Rohani Adapun persyaratan dan tata cara memperoleh SIM Golongan C baru sebagai berikut:

       1.

      Sehat Jasmani dan rohani dinyatakan dengan surat keterangan Dokter.

      2. Berusia sekurang-kurangnya 16 tahun.

      3. Membayar formulir di BII/BRI.

      4. Mengisi formulir permohonan 5.

      Dapat menulis dan membaca huruf latin.

      6. Melampirkan foto copy KTP.

      7. Memiliki pengetahuan yang cukup mengenai lalu-lintas jalan dan memiliki ketrampilan mengemudikan kendaraan bermotor.

      8. Lulus ujian teori dan praktek.

      89

Dokumen yang terkait

Pertanggungjawaban Pidana Notaris Dalam Hal Tindak Pidana Pemalsuan Surat Akta Authentik (Studi Putusan Nomor: 40/Pid.B/2013/Pn.Lsm)

11 126 102

Kajian Yuridis Tindak Pidana Pemalsuan Surat Izin Mengemudi (Study Putusan Nomor 600/PID.B/2009/PN.Mdn)

10 96 95

Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Pemalsuan Surat Kuasa Yang Dibuat Notaris (Study Kasus Putusan MA NO. 303 K/PID/2004)

9 140 135

Analisi Yuridis Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Pembunuhan Dan Pemalsuan Surat.

0 3 278

BAB II PERANAN DAN PENGATURAN HUKUM TERHADAP NOTARIS - Pertanggungjawaban Pidana Notaris Dalam Hal Tindak Pidana Pemalsuan Surat Akta Authentik (Studi Putusan Nomor: 40/Pid.B/2013/Pn.Lsm)

0 0 36

BAB II TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DAN PENGATURAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA A. Sejarah dan Tahapan Tindak Pidana Pencucian Uang 1. Sejarah Tindak Pidana Pencucian Uang - Tinjauan Yuridis Terhadap Penyitaan Aset Yang Tidak Terkait Tindak P

0 0 25

BAB II PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN A. Ketentuan Pidana Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) - Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Pencabulan (Analisis Yuridis Putusan Pengadilan Negeri Boyolali No. 142/P

0 9 21

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERBANKAN DALAM HUKUM INDONESIA A. PENGERTIAN DAN UNSUR -UNSUR TINDAK PIDANA - Tinjauan Yuridis Mengenai Peranan Perbankan Dalam Mencegah Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering)

0 0 20

BAB II PENGATURAN MENGENAI SANKSI PIDANA BERSYARAT TERHADAP ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN A. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Pembunuhan, Pidana, dan Pemidanaan 1. Tindak Pidana Pembunuhan - Analisis Putusan Pengadilan Terkait Penerapan

0 0 32

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA TERORISME YANG DILAKUKAN OLEH ANAK - Penjatuhan Sanksi Pidana Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Terorisme (Studi Putusan Pengadilan Negeri Klaten Nomor : 19 /Pid.Sus /11/PN.Klt )

0 0 45