Kajian Hukum Terhadap Tindak Pidana Pemalsuan Uang Di Indonesia(Studi Putusan No. 1129/Pid.Sus/2013/Pn.Jkt.Tim)

(1)

KAJIAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA

PEMALSUAN UANG DI INDONESIA

(STUDI PUTUSAN NO. 1129/PID.SUS/2013/PN.JKT.TIM)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH :

IKHSAN MAULANA B. 100200059

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

KAJIAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA

PEMALSUAN UANG DI INDONESIA

(STUDI PUTUSAN NO. 1129/PID.SUS/2013/PN.JKT.TIM)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Syarat Untuk mencapai Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH

IKHSAN MAULANA B. NIM : 100200059

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

Disetujui oleh :

Ketua Departemen Hukum Pidana

Muhammad Hamdan, S.H., M.Hum NIP. 195703261986011001

Disetujui oleh :

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Madiasa Ablisar, S.H., M.S Syafruddin, S.H., M.H., D.F.M

NIP: 196104081986011002 NIP: 196305111989031001

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2015


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah Swt, karena atas berkat,

rahmat, dan hidayah-Nya skripsi dengan judul “Kajian Hukum Terhadap Tindak

Pidana Pemalsuan Uang di Indonesia (Studi Putusan No. 1129/Pid.Sus/2013/PN. Jkt.Tim) ini dapat terselesaikan. Adapun skripsi ini disusun guna memenuhi tugas-tugas dan melengkapi syarat-syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna, tak ada pengetahuan penulis yang dapat diandalkan kecuali ketekunan dan kesungguhan. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati penulis mohon kepada pembaca agar kiranya sudi memberikan kritik dan saran yang membangun bagi penyempurnaan karya ilmiah ini.

Penulis juga menyadari bahwa dalam penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan arahan dari berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang tulus kepada :

1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum, selaku Wakil Dekan I Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH, MH, DFM, selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Bapak Dr. OK Saidin, SH, M.Hum, selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(4)

3. Bapak Muhammad Hamdan, SH, M.Hum, selaku Kepala Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. Madiasa Ablisar SH, MS selaku Dosen Pembimbing I yang

telah memberikan bimbingan, masukan dan arahan kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.

5. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH, MH, DFM, selaku Dosen Pembimbing II

yang telah memberikan bimbingan, masukan dan arahan kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.

6. Seluruh Dosen / Staff Pengajar dan Pegawai Administrasi Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, yang telah memberikan ilmunya selama masa perkuliahan.

7. Kedua orangtua, Imran Butar-Butar dan Khairannur Lubis yang selalu

memberikan dukungan dan nasihat selama proses penyusunan skripsi ini.

8. Teman-teman seperjuangan di Group A Angkatan 2010, Don Kengon,

Don Okto, Bobby Keyser Soze, Ammar Rasyad, Idin Manahan, Along Prayudha, Daniel Cobra, serta teman-teman lainnya yang tak bisa disebutkan satu per satu.

Akhir kata penulis memohon maaf apabila ada kesalahan, baik berupa kata maupun perbuatan. Semoga kiranya apa yang penulis sajikan dalam skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.


(5)

Medan, Februari 2015


(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

ABSTRAK ... vii

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang... 1

B. Perumusan Masalah... 6

C. Tujuan Penulisan... 6

D. Manfaat Penulisan... 6

E. Keaslian Penulisan…... 7

F. Tinjauan Kepustakaan... 7

1. Pengertian Tindak Pidana……… 7

2. Pengertian Uang, Jenis Uang dan Fungsi Uang….. 8

3. Pengertian Pemalsuan Uang……… 14

G. Metode Penelitian…... 14

H. Sistematika Penulisan... 16

BAB II : PERATURAN-PERATURAN HUKUM YANG BERKAITAN DENGAN TINDAK PIDANA PEMALSUAN UANG A. Aturan Hukum Tindak Pidana Pemalsuan Uang dalam Kitab Undang - Undang Hukum Pidana... 19

1. Meniru atau Memalsu Uang (Pasal 244 KUHP).... 20

2. Mengedarkan Uang Palsu (Pasal 245 KUHP)…... 24

3. Merusak Uang (Pasal 246 KUHP)………. 32


(7)

5. Mengedarkan Uang Palsu yang Lain dari Pasal

245, 247 (Pasal 249 KUHP)………... 34

6. Membuat atau Mempunyai Persediaan Benda atau Bahan Untuk Memalsu Uang (Pasal 250 KUHP)……… 35

7. Menyimpan Kepingan Perak yang Dianggap Mata Uang (Pasal 251 KUHP)……… 37

B. Aturan Hukum Tindak Pidana Pemalsuan Uang dalam Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Mata Uang ... 38

1. Larangan………. 39

2. Ketentuan Pidana………... 42

C. Perbedaan Antara Pengaturan Tindak Pidana Pemalsuan Uang dalam KUHP dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang ... ... 46

BAB III : PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN SANKSI PADA TINDAK PIDANA PEMALSUAN UANG (STUDI PUTUSAN NO. 1129/PID.SUS/PN.JKT. TIM) A. Posisi Kasus... 50

1. Kronologi Kasus………. 50

2. Dakwaan………. 53

3. Tuntutan Pidana……….. 60

4. Pertimbangan Hakim……….. 61

5. Amar Putusan……….. 69

B. Analisis Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Sanksi pada Tindak Pidana Pemalsuan Uang (Studi Putusan No. 1129/Pid.Sus/2013/PN.Jkt.Tim)... 69


(8)

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan... 74 B. Saran ... 75


(9)

ABSTRAK

Dr. Madiasa Ablisar, S.H., M.S.1

Syafruddin, S.H., M.H., D.F.M

Ikhsan Maulana B. 

Uang memiliki peranan yang sangat besar pada masa sekarang ini. Uang kini sudah merupakan kebutuhan, bahkan saat ini uang sudah menjadi penentu stabilitas dan kemajuan perekonomian suatu negara. Tingginya kebutuhan akan uang mendorong masyarakat melakukan tindakan guna memperoleh uang sebanyak-banyaknya. Tindakan tersebut seringkali justru bertentangan atau melawan hukum, contohnya adalah dengan melakukan tindak pidana pemalsuan uang.

Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah: Pertama, Apakah

perbedaan antara pengaturan tindak pidana pemalsuan uang dalam KUHP dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang?

Kedua, Bagaimanakah pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan sanksi

pada tindak pidana pemalsuan uang (Studi Putusan Nomor

1129/Pid.Sus/2013/PN.Jkt.Tim)?

Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif adalah penelitian hukum dengan cara meneliti bahan pustaka. Data yang digunakan adalah data sekunder seperti buku-buku, peraturan perundang-perundangan, dan data-data lain yang diperoleh dari situs-situs internet.

Hasil pembahasan dalam skripsi ini, bahwa yang menjadi pembeda utama antara aturan hukum pemalsuan uang di KUHP dan UU RI No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang dapat dilihat dari segi objek mata uang yang dilindungi dari perbuatan pemalsuan. Objek mata uang yang dilindungi dari perbuatan pemalsuan dalam KUHP adalah uang kertas dan uang logam dari seluruh negara, baik itu mata uang lokal (Rupiah) maupun mata uang asing. Sedangkan UU RI No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang mengkhususkan perlindungan dari perbuatan pemalsuan hanya bagi mata uang Rupiah saja. Larangan dan ketentuan pidana dalam UU Mata Uang sebenarnya hampir sama dengan yang berada di KUHP, hanya saja beberapa pasal di UU Mata Uang menerapkan hukuman penjara seumur hidup sebagai ancaman maksimalnya, berbeda dengan aturan KUHP tentang pemalsuan uang yang ancaman maksimal pidananya adalah 15 (lima belas) tahun penjara (Pasal 244 dan 245).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap satu putusan atas tindak pidana pemalsuan uang (Studi Putusan No. 1129/Pid.Sus/2013/PN.Jkt.Tim), untuk menjatuhkan pidana kepada terdakwa hakim telah memiliki berbagai pertimbangan, dan atas suatu keyakinan menyatakan bahwa perbuatan terdakwa memenuhi unsur-unsur sebagaimana tercantum dalam Pasal 36 ayat (2) UU RI

* Dosen Pembimbing I, Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU



Dosen Pembimbing II, Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU




(10)

No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. Atas pertimbangan-pertimbangan itu, Terdakwa dijatuhi hukuman berupa pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 6 (enam) bulan serta denda sebesar Rp. 60.000.000,- oleh Majelis Hakim.


(11)

ABSTRAK

Dr. Madiasa Ablisar, S.H., M.S.1

Syafruddin, S.H., M.H., D.F.M

Ikhsan Maulana B. 

Uang memiliki peranan yang sangat besar pada masa sekarang ini. Uang kini sudah merupakan kebutuhan, bahkan saat ini uang sudah menjadi penentu stabilitas dan kemajuan perekonomian suatu negara. Tingginya kebutuhan akan uang mendorong masyarakat melakukan tindakan guna memperoleh uang sebanyak-banyaknya. Tindakan tersebut seringkali justru bertentangan atau melawan hukum, contohnya adalah dengan melakukan tindak pidana pemalsuan uang.

Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah: Pertama, Apakah

perbedaan antara pengaturan tindak pidana pemalsuan uang dalam KUHP dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang?

Kedua, Bagaimanakah pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan sanksi

pada tindak pidana pemalsuan uang (Studi Putusan Nomor

1129/Pid.Sus/2013/PN.Jkt.Tim)?

Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif adalah penelitian hukum dengan cara meneliti bahan pustaka. Data yang digunakan adalah data sekunder seperti buku-buku, peraturan perundang-perundangan, dan data-data lain yang diperoleh dari situs-situs internet.

Hasil pembahasan dalam skripsi ini, bahwa yang menjadi pembeda utama antara aturan hukum pemalsuan uang di KUHP dan UU RI No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang dapat dilihat dari segi objek mata uang yang dilindungi dari perbuatan pemalsuan. Objek mata uang yang dilindungi dari perbuatan pemalsuan dalam KUHP adalah uang kertas dan uang logam dari seluruh negara, baik itu mata uang lokal (Rupiah) maupun mata uang asing. Sedangkan UU RI No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang mengkhususkan perlindungan dari perbuatan pemalsuan hanya bagi mata uang Rupiah saja. Larangan dan ketentuan pidana dalam UU Mata Uang sebenarnya hampir sama dengan yang berada di KUHP, hanya saja beberapa pasal di UU Mata Uang menerapkan hukuman penjara seumur hidup sebagai ancaman maksimalnya, berbeda dengan aturan KUHP tentang pemalsuan uang yang ancaman maksimal pidananya adalah 15 (lima belas) tahun penjara (Pasal 244 dan 245).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap satu putusan atas tindak pidana pemalsuan uang (Studi Putusan No. 1129/Pid.Sus/2013/PN.Jkt.Tim), untuk menjatuhkan pidana kepada terdakwa hakim telah memiliki berbagai pertimbangan, dan atas suatu keyakinan menyatakan bahwa perbuatan terdakwa memenuhi unsur-unsur sebagaimana tercantum dalam Pasal 36 ayat (2) UU RI

* Dosen Pembimbing I, Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU



Dosen Pembimbing II, Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU




(12)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Jauh sebelum dikenalnya uang sebagai alat pembayaran, masyarakat melakukan perdagangan dengan sistem barter, yaitu suatu sistem perdagangan dengan pertukaran antara barang dengan barang, jasa dengan jasa, barang dengan jasa, atau sebaliknya. Bahkan hingga saat ini barter itu masih dilakukan, namun praktiknya yang terkesan membuang waktu dan tenaga, seringkali membuat tidak

banyak perdagangan mungkin dilaksanakan.2 Perlahan praktik barter ditinggalkan

sebab sudah tidak lagi sesuai dengan keadaan.

Terdapat beberapa kendala yang sering terjadi dalam sistem barter, antara

lain sebagai berikut.3

1. Sulit menemukan orang yang mau menukarkan barangnya yang sesuai

dengan kebutuhan yang diinginkan.

2. Sulit untuk menentukan nilai barang yang akan ditukarkan terhadap barang

yang diinginkan.

3. Sulit menemukan orang yang mau menukarkan barangnya dengan jasa yang

dimiliki atau sebaliknya.

4. Sulit untuk menemukan kebutuhan yang mau ditukarkan pada saat yang

cepat sesuai dengan keinginan. Artinya untuk memperoleh barang yang diinginkan memerlukan waktu yang terkadang relatif lama.

2

Stephen M. Goldfeld dan Lester V. Chandler, Ekonomi Uang dan Bank, Bina Aksara, Jakarta, 1988, hlm. 6.

3


(13)

Beberapa kendala dari praktik barter tersebut memberikan pengaruh besar bagi masyarakat sebagai pelakunya. Tujuan utama dari pertukaran adalah agar terpenuhi kebutuhan masing-masing pihak, namun barter dengan segala kekurangannya justru mengakibatkan pertukaran kebutuhan menjadi memakan waktu bahkan bisa berakhir dengan gagalnya pertukaran. Dengan tujuan mempermudah transaksi perdagangan, maka kemudian muncul alat tukar yang jauh lebih efisien yang dikenal dengan sebutan Uang.

Uang memberikan kemudahan dalam setiap proses pemenuhan kebutuhan hidup manusia karena diterima secara luas oleh masyarakat. Dalam perekonomian yang semakin modern seperti sekarang ini, uang memainkan peranan yang sangat penting bagi semua kegiatan masyarakat. Uang sudah merupakan suatu kebutuhan, bahkan saat ini, uang telah menjadi salah satu penentu stabilitas dan

kemajuan perekonomian di suatu negara.4

Peran uang dalam kehidupan manusia semakin hari semakin meningkat. Semakin tingginya kebutuhan hidup manusia umumnya sejalan dengan peningkatan kebutuhan akan uang. Hal ini mendorong masyarakat untuk melakukan tindakan, yang sering kali justru bertentangan dengan hukum, sebagai upaya untuk mencari dan mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya. Salah satunya adalah dengan cara melakukan pemalsuan uang.

Karena peredaran uang palsu yang begitu cepat, kejahatan pemalsuan uang dapat dianggap sebagai salah satu jenis kejahatan dengan dampak kerugian besar yang tak terbatas lingkupnya. Negara sebagai otoritas yang berwenang dalam

4


(14)

mencetak dan mengedarkan uang akan merugi. Masyarakat sebagai penerima dan pengguna uang juga akan menjadi korban apabila karena kurang teliti atau tanpa sepengetahuannya telah mendapatkan uang palsu dari transaksi yang telah mereka lakukan sebelumnya.

Modus peredaran uang palsu saat ini semakin beragam dan hasil dari proses pemalsuan uang (uang palsu) juga semakin baik. Secara sekilas bahkan tampak seperti uang asli. Peralatan canggih hasil dari perkembangan teknologi memungkinkan para pelaku kejahatan untuk menciptakan uang palsu yang semakin baik kualitasnya.

Meskipun Bank Indonesia sebagai satu-satunya lembaga yang berwenang dalam melakukan pengeluaran, pengedaran, dan/atau pencabutan dan penarikan Rupiah telah melakukan berbagai bentuk sosialisasi terkait ciri dari Rupiah asli, tetap saja masyarakat sering tertipu karena kualitas dari uang palsu yang mereka terima hampir serupa dengan uang asli pada umumnya. Tingkat peredaran uang palsu terus saja meningkat dari waktu ke waktu.

Pembahasan mengenai aturan hukum terkait pemalsuan uang sangat diperlukan. Dengan keberadaan hukum maka akan terciptalah keamanan dalam kehidupan masyarakat. Hukum memberi petunjuk tentang apa yang harus diperbuat dan tidak diperbuat, sehingga segala sesuatunya dapat berjalan tertib

dan teratur.5 Dengan begitu, pembahasan terhadap aturan hukum tindak pidana

pemalsuan uang adalah penting mengingat keberadaan aturan hukum merupakan

5


(15)

salah satu instrumen penting dalam memberantas dan mengurangi tingkat kejahatan pemalsuan uang.

Praktik pemalsuan uang yang kerap berkembang secara pesat, harus terus diimbangi dengan perkembangan peraturan hukum. Selain dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), sekarang permasalahan tindak pidana pemalsuan uang juga dibahas secara khusus dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang.

Aturan mengenai pemalsuan uang dalam KUHP terdapat pada buku kedua, tentang kejahatan, tepatnya pada bab X. Tindak pidana pemalsuan uang, atau pemalsuan objek lainnya, dapat di golongkan sebagai bentuk penyerangan terhadap kepercayaan atas kebenaran sesuatu hal yang di yakini sebagai asli. Dibentuknya aturan mengenai kejahatan pemalsuan pada pokoknya ditujukan bagi perlindungan hukum atas kepercayaan masyarakat terhadap kebenaran sesuatu: keterangan di atas sumpah, atas uang sebagai alat pembayaran, materai dan merek, serta surat-surat. Karena kebutuhan hukum masyarakat terhadap kepercayaan atas kebenaran pada objek-objek tadi, maka Undang-Undang menetapkan bahwa kepercayaan itu harus dilindungi dengan cara mencantumkan perbuatan berupa penyerangan tadi sebagai suatu larangan dengan disertai

ancaman pidana.6

Dalam Pasal 4 bagian kedua Kitab Undang-Undang Hukum Pidana juga diterangkan bahwa pada kejahatan terhadap mata uang (uang logam) dan uang kertas Indonesia (Rupiah) yang dilakukan diluar wilayah Indonesia, berlaku

6

Adami Chazawi, Kejahatan Mengenai Pemalsuan, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm. 5.


(16)

ketentuan pidana sebagaimana yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana Indonesia (asas universaliteit). Hal ini mengindikasikan bahwa

pemalsuan uang adalah kejahatan yang berat dan dianggap serius oleh pembuat hukum.

Sementara itu pada aturan hukum terbaru, yaitu dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, pada bagian penjelasan umum di sebutkan bahwa tindakan pemalsuan uang dapat mengancam kondisi moneter dan perekonomian nasional. Hal ini merupakan salah satu alasan mendasar terciptanya aturan yang lebih khusus mengenai tindak pidana pemalsuan uang tersebut.

Dengan lahirnya aturan hukum baru yang lebih bersifat khusus dalam mengatur kejahatan pemalsuan uang, maka perlu untuk diperhatikan mengenai aplikasi dari aturan hukum itu sendiri. Pada salah satu kasus pemalsuan uang yang terjadi dan telah diputus di tahun 2013, kepada pelaku telah diberikan dakwaan, tuntutan, dan hukuman atas dasar Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang (Putusan Nomor 1129/Pid.Sus/2013/PN.Jkt.Tim). Pembahasan yang lebih merinci tentang putusan dari kasus tersebut diatas dirasa penting untuk mengetahui bagaimana penerapan aturan hukum pemalsuan uang yang baru dan pertimbangan hukum hakim terhadap dalam menjatuhkan sanksi pidana pada Putusan Nomor 1129/Pid.Sus/2013/PN.Jkt.Tim.

Berdasarkan uraian-uraian yang sudah disebutkan sebelumnya, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini.


(17)

B. Perumusan Masalah

Adapun yang menjadi permasalahan dalam skripsi yang berjudul Kajian Hukum Terhadap Tindak Pidana Pemalsuan Uang (Studi Putusan No. 1129/Pid.Sus/2013/PN.Jkt.Tim) adalah:

1. Apakah perbedaan antara pengaturan tindak pidana pemalsuan uang dalam

KUHP dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang?

2. Bagaimanakah pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pada tindak

pidana pemalsuan uang (Studi Putusan No. 1129/Pid.Sus/2013/PN.Jkt.Tim)?

C. Tujuan Penulisan

Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan skripsi ini adalah:

1. Untuk mengetahui aturan-aturan hukum yang berkaitan dengan tindak

pidana pemalsuan uang di Indonesia dan perbedaan antara masing-masing aturan tersebut.

2. Untuk mengetahui pertimbangan hukum yang dilakukan oleh hakim

terhadap pertanggungjawaban pidana berdasarkan Studi Putusan Nomor 1129/Pid.Sus/2013/PN.Jkt.Tim.

D. Manfaat Penulisan

Adapun yang menjadi manfaat dari penulisan skripsi ini adalah:

1. Secara teoritis, yaitu: memberikan informasi kepada semua kalangan bahwa


(18)

dampak besar berupa kerugian bagi negara sebagai pihak yang berwenang dalam mencetak dan mengedarkan uang, juga bagi masyarakat sebagai pengguna uang.

2. Secara praktis, yaitu: hasil dari penilitian ini diharapkan dapat menjadi

referensi dalam proses penyelesaian perkara pemalsuan uang di Indonesia.

E. Keaslian Penulisan

Skripsi yang berjudul “Kajian Hukum Terhadap Tindak Pidana Pemalsuan Uang (Studi Putusan No. 1129/Pid.Sus/2013/PN.Jkt.Tim)” sepengetahuan penulis belum pernah dikemukakan oleh penulis lain, dan hal ini telah dikonfirmasikan kepada Sekretariat Departemen Pidana.

F. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Tindak Pidana

Tindak pidana merupakan salah satu pengertian dari istilah „Strafbaar Feit‟.

Istilah ini berasal dari bahasa Belanda yang terdiri dari penggabungan kata

Strafbaar dan Feit. Strafbaar yang berarti dapat dihukum,7 dan Feit yang berarti

kejadian, peristiwa, keadaan.8

Tidak terdapatnya di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia penjelasan mengenai definisi dari tindak pidana menimbulkan lahirnya berbagai pendapat dari sarjana .

7

Google Translate., https://translate.google.com/#nl/id/Strafbaar., diakses pada tanggal 8 November 2014.

8

J.C.T. Simorangkir, Rudy T. Erwin, dan J.T. Prasetyo, Kamus Hukum, Aksara Baru, 1980, Jakarta, hlm. 54.


(19)

Hazewinkel-Suringa misalnya, telah membuat suatu rumusan yang bersifat

umum dari ‘strafbaar feit’ sebagai suatu perilaku manusia yang pada suatu saat

tertentu telah ditolak didalam pergaulan hidup tertentu dan dianggap sebagai perilaku yang harus dibedakan oleh hukum pidana dengan menggunakan

sarana-sarana bersifat memaksa yang terdapat di dalamnya.9

Van Hamel merumuskan ‘strafbaar feit’ sebagai „suatu serangan atau suatu

ancaman terhadap hak-hak orang lain‟.10

Menurut Pompe, ‘strafbaar feit’ adalah suatu tindakan yang menurut suatu

rumusan undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum.11

2. Pengertian Uang, Jenis Uang, dan Fungsi Uang A. Pengertian Uang

Uang adalah segala sesuatu yang secara umum diterima di dalam pembayaran untuk pembelian barang-barang dan jasa-jasa serta untuk

pembayaran hutang-hutang.12

Uang sebagaimana dimaksud dalam aturan hukum pidana Indonesia dalam bagian pemalsuan uang, dibedakan menjadi 2 macam, yaitu mata uang dan uang kertas. Keduanya memiliki pengertian yang berbeda.

Mata uang diartikan sebagai jenis uang yang terbuat dari logam, berbentuk koin, dan umumnya memiliki nilai nominal yang kecil. Sedangkan uang kertas adalah uang yang terbuat dari bahan berupa kertas.

9

P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Adya Bakti, Bandung, 1997, hlm. 181.

10

Ibid., hlm. 182.

11

Ibid., hlm. 183.

12


(20)

B. Jenis Uang

Adapun jenis-jenis uang dapat dilihat dari berbagai sisi.13

a) Berdasarkan bahan

Jika dilihat dari bahan untuk membuat uang maka jenis uang terdiri dari 2 macam, yaitu uang logam dan uang kertas.

Uang logam, merupakan uang dalam bentuk koin yang terbuat dari logam, baik dari aluminium, emas, perak, atau perunggu dan bahan lainnya. Biasanya uang yang terbuat dari logam bernominal kecil.

Uang kertas, merupakan uang yang bahannya terbuat dari kertas atau bahan sejenis kertas. Uang dari kertas biasanya dalam nominal yang besar sehingga mudah dibawa untuk keperluan sehari-hari. Uang jenis ini terbuat dari kertas yang berkualitas tinggi, yaitu bahan yang tahan terhadap air, tidak mudah robek atau luntur.

b) Berdasarkan nilai

Jenis uang ini dapat dilihat dari nilai yang terkandung pada uang tersebut, apakah nilai intrinsiknya (bahan uang) atau nilai nominalnya (nilai yang tertera dalam uang tersebut). Uang jenis ini terbagi

kedalam dua jenis, yaitu uang bernilai penuh (full bodied money) dan

uang tidak bernilai penuh (representatif full bodied money).

13


(21)

Uang bernilai penuh (full bodied money), merupakan uang yang nilai intrinsiknya sama dengan nilai nominalnya, sebagai contoh uang logam, di mana nilai bahan untuk membuat uang tersebut sama dengan nominal yang tertulis di uang.

Uang tidak bernilai penuh (representatif full bodied money)

merupakan uang yang nilai intrinsiknya lebih kecil dari nilai nominalnya. Sebagai contoh uang yang terbuat dari kertas. Uang jenis ini sering disebut „uang bertanda‟ atau token money. Kadangkala nilai intrinsiknya jauh lebih rendah dari nilai nominal yang terkandung di dalamnya.

c) Berdasarkan lembaga

Berdasarkan lembaga maksudnya adalah badan atau lembaga yang menerbitkan atau mengeluarkan uang. Jenis uang yang diterbitkan berdasarkan lembaga terdiri dari uang kartal dan uang giral.

Uang kartal merupakan uang yang diterbitkan oleh Bank Sentral, baik uang logam maupun uang kertas.

Uang giral, merupakan uang yang diterbitkan oleh bank umum

seperti cek, bilyet giro, traveller cheque, dan credit card.

Perbedaan mendasar antara uang kartal dan uang giral antara lain sebagai berikut.


(22)

1. Uang kartal berlaku dan digunakan di seluruh lapisan masyarakat, sedangkan uang giral hanya digunakan dan berlaku di kalangan masyarakat tertentu saja.

2. Nominal dalam uang kartal sudah tertera dan terbatas,

sedangkan nominal dalam uang giral harus ditulis lebih dulu sesuai dengan kebutuhan dan nominalnya tidak terbatas.

3. Uang kartal dijamin oleh pemerintah tertentu, sedangkan uang

giral hanya dijamin oleh bank yang mengeluarkan saja.

4. Uang kartal memeiliki kepastian pembayaran seperti yang

tertera dalam nominal uang, sedangkan uang giral belum ada kepastian pembayaran, hal ini masih tergantung dari beberapa hal termasuk lembaga yang mengeluarkannya.

d) Berdasarkan kawasan

Uang jenis ini dilihat dari daerah atau wilayah berlakunya suatu uang. Artinya bisa saja suatu jenis mata uang hanya berlaku dalam satu wilayah tertentu dan tidak berlaku di daerah lainnya atau berlaku di seluruh wilayah.

Jenis uang berdasarkan kawasan bisa di bedakan dalam bentuk Uang Lokal, Uang Regional, dan Uang Internasional.

Uang Lokal merupakan uang yang berlaku di suatu negara tertentu, seperti Rupiah di Indonesia atau Ringgit di Malaysia.


(23)

Uang Regional merupakan uang yang berlaku di kawasan tertentu yang lebih luas cakupannya daripada uang lokal, seperti untuk

kawasan benua Eropa berlaku mata uang tunggal Eropa, yaitu Euro.

Uang Internasional merupakan uang yang berlaku antar negara seperti US Dollar dan menjadi standar pembayaran internasional.

Dalam pembahasan mengenai pemalsuan uang, yang merupakan objek dari pemalsuan uang adalah uang kartal, yaitu uang yang dikeluarkan oleh bank sentral dan dipergunakan sebagai alat pembayaran yang sah. Uang kartal yang dimaksud dapat berupa uang logam maupun uang kertas.

C. Fungsi Uang

Pada awalnya fungsi uang hanyalah sebagai alat guna memperlancar pertukaran. Namun, seiring dengan perkembangan zaman fungsi uang pun sudah beralih dari alat tukar ke fungsi yang lebih luas. Uang sekarang ini telah memiliki berbagai fungsi sehingga benar-benar dapat memberikan banyak manfaat bagi pengguna uang. Beragamnya fungsi uang berakibat penggunaan uang yang semakin penting dan semakin dibutuhkan dalam berbagai kegiatan masyarakat luas.

Fungsi dari uang secara umum yang ada dewasa ini adalah sebagai berikut.14

a) Alat tukar-menukar

Dalam hal ini uang digunakan sebagai alat untuk membeli atau menjual suatu barang maupun jasa. Dengan kata lain, uang dapat

14


(24)

dilakukan untuk membayar terhadap barang yang akan dibeli atau diterima sebagai akibat dari penjualan barang dan jasa. Maksudnya penggunaan uang sebagai alat tukar dapat dilakukan terhadap segala jenis barang dan jasa yang ditawarkan.

b) Satuan hitung

Fungsi uang sebagai satuan hitung menunjukkan nilai dari barang dan jasa yang dijual atau dibeli. Besar kecilnya nilai yang dijadikan sebagai satuan hitung dalam menentukan harga barang dan jasa secara mudah. Dengan adanya uang akan mempermudah keseragaman dalam satuan hitung.

c) Penimbun kekayaan

Dengan menyimpan uang berarti kita menyimpan atau menimbun kekayaan sejumlah uang yang disimpan, karena nilai uang tersebut tidak akan berubah. Uang yang disimpan menjadi kekayaan dapat berupa uang tunai atau uang yang disimpan di bank dalam bentuk rekening. Menyimpan atau memegang uang tunai di samping sebagai penimbun kekayaan juga memberikan manfaat lainnya. Memegang uang tunai biasanya memiliki beberapa tujuan seperti

untuk memudahkan melakukan transaksi, berjaga-jaga atau

melakukan spekulasi. Kemudian dengan menyimpan uang di bank justru akan menambah kekayaan karena akan memperoleh uang jasa berupa bunga.


(25)

d) Standar pencicilan utang

Dengan adanya uang akan mempermudah menentukan standar pencicilan utang piutang secara tepat dan cepat, baik secara tunai maupun secara angsuran. Begitu pula dengan adanya uang, secara mudah dapat ditentukan berapa besar nilai utang piutang yang harus diterima atau di bayar sekarang atau di masa yang akan datang.

3. Pengertian Pemalsuan Uang

Pemalsuan uang adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau kumpulan orang dengan cara meniru atau memalsu uang yang menghasilkan uang yang tidak asli (uang palsu). Objek dari kejahatan pemalsuan uang adalah uang kartal, yaitu mata uang dan uang kertas. Dalam KUHP, yang dimaksud dengan mata uang adalah uang yang terbuat dari bahan logam, sedangkan uang kertas merupakan uang yang terbuat dari bahan berupa kertas.

Kejahatan pemalsuan uang dapat dipahami sebagai suatu bentuk penyerangan terhadap kepentingan hukum atas kepercayaan terhadap uang

sebagai alat pembayaran yang sah.15 Masyarakat sebagai pengguna uang harus

memperoleh jaminan akan keaslian uang yang mereka gunakan sebagai alat pembayaran, untuk itulah kejahatan pemalsuan uang diatur dalam hukum pidana Indonesia.

15


(26)

G. Metode Penelitian

Dalam penyusunan serta penulisan suatu karya ilmiah atau skripsi haruslah didukung dengan bukti, data, dan fakta yang akurat. Metode penelitian yang penulis pergunakan dalam skripsi ini adalah yuridis normatif, yaitu penelitian hukum dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder.

1. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penulisan suatu karya ilmiah atau skripsi dapat dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Pada skripsi ini, penulis memilih pengumpulan data dengan cara penelitian kepustakaan.

Penelitian kepustakaan, adalah teknik penelitian dengan cara

mengumpulkan data dari buku-buku, peraturan perundang-undangan, majalah, makalah, serta internet, yang berhubungan dengan objek yang akan diteliti.

2. Sumber Data

a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum berupa Kitab Undang-undang

Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang dan peraturan hukum lain yang tingkatannya berada di bawah Undang Undang.

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum berupa buku, hasil penelitian,

laporan-laporan, artikel, majalah, jurnal, hasil-hasil seminar, dan situs internet yang dapat memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer.

c. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk

maupun penjelasan terhadap bahan primer dan sekunder seperti kamus, ensiklopedia, dan lain-lain.


(27)

3. Analisis Data

Data sekunder yang telah diperoleh kemudian dianalisa secara kualitatif, yaitu semaksimal mungkin memakai bahan-bahan yang ada berdasarkan asas-asas, pengertian, serta sumber-sumber hukum yang ada untuk mencapai kejelasan dari permasalahan yang akan dibahas.

H. Sistematika Penulisan

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini menguraikan tentang latar belakang, perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II : PERATURAN-PERATURAN HUKUM YANG BERKAITAN DENGAN TINDAK PIDANA PEMALSUAN UANG

Bab ini menguraikan penjelasan mengenai peraturan hukum yang terkait dengan tindak pidana pemalsuan uang, baik yang di atur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), juga yang di atur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. Bab ini juga memuat bahasan tentang perbedaan antara kedua peraturan hukum tersebut.


(28)

BAB III : PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN SANKSI PADA TINDAK PIDANA PEMALSUAN UANG (STUDI PUTUSAN NO. 1129/PID.SUS/2013/PN.JKT.TIM)

Bab ini menguraikan sebuah putusan pengadilan terkait tindak pidana pemalsuan uang (Putusan No. 1129/Pid.Sus/2013/PN.Jkt.Tim) dan analisa terhadap pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pada kasus tindak pidana pemalsuan uang tersebut.

BAB IV : PENUTUP

Bab ini merupakan bab terakhir yang menguraikan tentang inti dari pembahasan pada bab-bab sebelumnya dalam bentuk kesimpulan dan saran.


(29)

BAB II

PERATURAN-PERATURAN HUKUM YANG BERKAITAN DENGAN TINDAK PIDANA PEMALSUAN UANG DI INDONESIA

Salah satu usaha penanggulangan kejahatan ialah menggunakan hukum

pidana dengan sanksinya yang berupa pidana.16 Keberadaan hukum adalah

penting guna memelihara ketertiban sekaligus sebagai bentuk perlindungan dari suatu tindak kejahatan. Pada kasus tindak pidana pemalsuan uang juga demikian, perbuatan pemalsuan uang adalah tindakan yang dapat merugikan masyarakat dan negara. Peraturan hukum yang memadai adalah salah satu sarana yang dapat digunakan sebagai bentuk penanggulangan sekaligus pencegahan terjadinya tindak pidana serupa di masa yang akan datang. Keberadaan hukum akan membuat masyarakat tahu tentang boleh tidaknya suatu perbuatan di lakukan. Dengan adanya hukum yang berlaku, maka pelaku kejahatan dapat diberi sanksi, dan dengan adanya pelaku yang dijatuhi sanksi karena melanggar hukum adalah sekaligus sebagai bentuk peringatan bagi masyarakat yang tidak dan/atau belum melakukan kejahatan agar berpikir ulang sebelum melakukan perbuatan serupa.

Peraturan hukum yang menyangkut tindak pidana pemalsuan uang bisa di lihat pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang.

16

Teguh Prasetyo, Kriminalisasi Dalam Hukum Pidana, Nusa Media, Bandung, 2011, hlm. 19.


(30)

A. Aturan Hukum Tindak Pidana Pemalsuan Uang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Kejahatan pemalsuan mata uang dan uang kertas diatur dalam Pasal 244 s.d. 252 KUHP, ditambah Pasal 250bis. Pasal 248 telah dihapus melalui Stb. Tahun 1938 Nomor 593. Di antara pasal-pasal tersebut, terdapat 7 pasal yang

merumuskan tentang kejahatan, yakni: 244, 245, 246, 247, 249, 250, 251.17

Pemalsuan Uang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana di atur dalam buku kedua tentang Kejahatan pada Bab X. Dalam sistem hukum pidana kita, kejahatan terhadap mata uang dan uang kertas dikategorikan sebagai kejahatan

berat. Alasan yang mendukung pernyataan tersebut antara lain adalah:18

1. Ancaman pidana maksimum pada kejahatan ini rata-rata berat. Ada 7 bentuk

rumusan kejahatan mata uang dan uang kertas dalam Bab X buku II KUHP, dua diantaranya diancam dengan pidana penjara maksimum 15 tahun (Pasal 244 dan 245), dua dengan pidana penjara maksimum 12 tahun (Pasal 246 dan 247), satu dengan pidana penjara maksimum 6 tahun (Pasal 250). Selebihnya, diancam dengan pidana penjara maksimum 1 (satu) tahun (Pasal 250bis) dan maksimum pidana penjara 4 bulan dua minggu (Pasal 249).

2. Untuk kejahatan mengenai mata uang dan uang kertas berlaku asas

universaliteit, artinya hukum pidana Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan kejahatan ini di luar wilayah Indonesia di manapun. (Pasal

17

Adami Chazawi, op.cit., hlm. 22

18


(31)

4 sub 2 KUHP). Mengadakan kejahatan-kejahatan yang oleh Undang-

undang ditentukan berlaku asas universaliteit bukan saja berhubungan

terhadap kepentingan hukum masyarakat Indonesia dan kepentingan hukum negara RI, juga bagi kepentingan hukum masyarakat internasional. Sebagai contoh hukum pidana Indonesia dapat digunakan untuk menghukum seorang warga negara asing yang memalsukan uang negaranya yang kemudian melarikan diri ke Indonesia, di mana negara tersebut tidak mempunyai perjanjian ekstradisi dengan Indonesia.

1. Meniru atau Memalsu Uang (Pasal 244 KUHP) Berikut adalah rumusan dari Pasal 244 KUHP:

“Barangsiapa meniru atau memalsu mata uang atau uang kertas yang dikeluarkan oleh negara atau bank, dengan maksud untuk mengedarkan atau menyuruh mengedakan mata uang atau uang kertas itu sebagai yang asli dan tidak

dipalsu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.”

Apabila dirinci rumusan tersebut terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut19.

a. Unsur-unsur objektif:

1) Perbuatan: a) meniru; b) memalsu;

2) Objeknya: a) mata uang;

b) uang kertas negara; c) uang kertas bank;

b. Unsur subjektif dengan maksud untuk:

a) mengedarkan; atau

19


(32)

b) menyuruh mengedarkan mata uang dan uang kertas itu seolah-olah asli dan tidak dipalsu.

a) Perbuatan Meniru

Dalam perbuatan meniru, haruslah ada sesuatu barang yang asli sebelumnya, lalu kemudian barang itu dibuat tiruannya yang menyerupai barang aslinya. Dalam kejahatan Pasal 244, sesuatu barang yang ditiru itu adalah mata uang atau uang kertas yang dikeluarkan oleh negara.

Membuat uang kertas baru yang sebelumnya tidak terdapat aslinya bukanlah merupakan perbuatan meniru. Meskipun dalam keadaan tersebut terdapat niat dari pelaku untuk mengedarkan uang tersebut, tetapi perbuatan membuat uang itu bukanlah perbuatan meniru karena sama sekali tidak ada uang sebelumnya untuk ditiru.

b) Perbuatan Memalsu

Berbeda dengan perbuatan meniru yang berupa perbuatan menghasilkan suatu mata uang atau uang kertas baru (tapi palsu atau tidak asli), yang artinya sebelum pembuatan dilakukan sama sekali tidak ada uang. Pada perbuatan

memalsu (vervalschen) sebelum perbuatan dilakukan sudah ada uang (asli). Pada

uang asli ini dilakukan perbuatan menembah sesuatu baik tulisan, gambar maupun warna, menambah atau mengurangi bahan pada mata uang sehingga menjadi lain dengan yang asli. Tidak menjadi syarat apakah dengan demikian uang kertas atau mata uang itu nilainya menjadi lebih rendah ataukah menjadi lebih tinggi.


(33)

Demikian juga tidak merupakan syarat bagi motif apa ia melakukan perbuatan itu.

Apabila terkandung maksud untuk mengedarkannya atau menyuruh

mengedarkannya sebagai uang asli dan tidak dipalsu, maka perbuatan itu termasuk perbuatan yang dilarang dan dipidana.

Kejahatan Pasal 244 dirumuskan secara formil, maksudnya ialah melarang melakukan perbuatan tertentu, dan tidak secara tegas menimbulkan akibat tertentu. Sebagai tindak pidana formil, terwujudnya atau selesainya kejahatan ini bergantung pada selesainya perbuatan meniru atau memalsu. Untuk dapat selesai atau terwujudnya perbuatan meniru atau memalsu diperlukan suatu syarat yakni hasil atau akibat dari perbuatan. Perbuatan meniru menghasilkan mata uang atau uang kertas yang palsu atau tidak asli, sedang dari perbuatan memalsu

menghasilkan mata uang atau uang kertas yang dipalsu. 20

c) Mata Uang dan Uang Kertas

Pengertian mata uang negara dan uang kertas negara masing-masing terdiri dari logam dan uang kertas yang merupakan alat pembayaran yang sah, baik mata uang dan uang negara Republik Indonesia maupun mata uang dan uang negara asing.21

20

Ibid., hlm. 25.

21

Marwan Effendy, Tipologi Kejahatan Perbankan dari Perspektif Hukum Pidana, Sumber Ilmu Jaya, Jakarta, 2012, hlm. 54.


(34)

d) Maksud untuk: a) Mengedarkan dan b) Menyuruh mengedarkan mata uang dan uang kertas itu sebagai asli dan tidak dipalsu

Unsur kesalahan dalam kejahatan peniruan dan pemalsuan mata uang dan uang kertas negara maupun uang kertas bank sebagaimana yang dirumuskan

dalam Pasal 244 KUHP adalah unsur kesengajaan sebagai maksud (opzet als

oogmerfk) berupa kesalahan dalam arti yang sempit. Pelaku dalam melakukan perbuatan meniru dan memalsu uang kertas negara atau uang kertas bank atau mata uang, didorong oleh suatu kehendak (maksud) yang ditujukan untuk mengedarkan atau menyuruh orang lain mengedarkan mata uang atau uang kertas negara atau uang kertas bank palsu (uang kertas yang tidak asli) atau uang kertas negara atau uang kertas bank atau mata uang yang dipalsu tersebut sebagai uang kertas negara atau uang kertas bank atau mata uang asli dan tidak dipalsu.

Memperhatikan unsur kesalahan dalam rumusan Pasal 244 KUHP, dapat disimpulkan bahwa: a) di samping pelaku menghendaki untuk mengedarkan atau menyuruh mengedarkan; dan b) juga ia harus mengetahui atau mata uang atau uang kertas itu adalah tidak asli atau dipalsu. Tidak asli atau palsunya itu diketahuinya sebagai hasil dari perbuatannya sendiri berupa meniru atau memalsu. Kesadaran pelaku juga harus ditujukan pada palsunya uang, sedangkan penyebab palsunya itu disadarinya sebagai hasil dari perbuatannya sendiri, maka sikap batin pelaku terhadap perbuatan meniru atau memalsu yang menghasilkan tidak asli atau palsunya mata uang atau uang kertas itu adalah sikap batin sebagaimana yang dimaksud oleh unsur kesengajaan yang menurut MvT sebagai


(35)

unsur kesengajaan terhadap perbuatan meniru atau memalsu, secara tersirat unsur kesengajaan terhadap kedua perbuatan materil itu sesungguhnya ada. Kesengajaan terhadap kedua perbuatan itu adalah berupa unsur yang terselubung.

Oleh karena unsur kesengajaan yang ditujukan pada perbuatan meniru atau memalsu tidak dicantumkan dalam rumusan, kesengajaan yang ditujukan pada perbuatan itu tidak perlu dibuktikan. Cukup membuktikan bahwa telah terjadinya perbuatan, maka dianggap unsur kesengajaan itu telah terbukti pula.

Berdasarkan pada pandangan ini, hal yang tidak mungkin terjadi pada

pemalsuan uang yang dilakukan oleh sebab atau karena kelalaian/culpa.

Perbuatan mengedarkan atau menyuruh mengedarkan uang palsu tidak perlu telah terwujud. Perihal mengedarkan atau menyuruh mengedarkan adalah berupa apa yang dituju oleh maksud pelaku belaka, berupa unsur subjektif. Selesainya kejahatan ditentukan oleh perbuatan meniru atau memalsu, bukan pada telah terjadinya perbuatan mengedarkan atau menyuruh mengedarkan.

Uang palsu yang telah diedarkan tidak termasuk kejahatan Pasal 244 KUHP

tetapi masuk dalam kejahatan Pasal 245 KUHP.22

2. Mengedarkan Uang Palsu (Pasal 245 KUHP) Berikut adalah rumusan dari Pasal 245 KUHP:

“Barangsiapa dengan sengaja mengedarkan mata uang atau uang kertas yang dikeluarkan oleh negara atau bank sebagai mata uang atau uang kertas asli dan tidak dipalsu, padahal ditiru atau dipalsu olehnya sendiri, atau waktu diterima diketahuinya bahwa tidak asli atau dipalsu, ataupun barangsiapa menyimpan atau memasukkan ke Indonesia mata uang dan uang kertas yang demikian, dengan

22


(36)

maksud untuk mengedarkan atau menyuruh mengedarkan sebagai uang asli dan

tidak dipalsu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.”

Dalam rumusan pasal 245 tersebut di atas, ada 4 bentuk kejahatan

mengedarkan uang palsu, yaitu:23

1. Melarang orang yang dengan sengaja mengedarkan mata uang atau uang

kertas negara atau uang kertas bank palsu sebagai mata uang atau uang kertas asli dan tidak dipalsu, uang palsu yang ditiru atau dipalsu olehnya sendiri.

2. Melarang orang yang waktu menerima mata uang atau uang kertas negara

atau uang kertas bank yang diketahuinya sebagai palsu, dengan sengaja mengedarkannya sebagai mata uang atau uang kertas asli dan tidak dipalsu.

3. Melarang orang yang dengan sengaja menyimpan atau memasukkan ke

Indonesia mata uang atau uang kertas negara atau uang kertas bank palsu, yang mana uang palsu itu ditiru atau dipalsu olehnya sendiri dengan maksud untuk mengedarkan atau menyuruh mengedarkan sebagai uang asli dan tidak dipalsu.

4. Melarang orang yang dengan sengaja menyimpan atau memasukkan ke

Indonesia mata uang atau uang kertas negara atau uang kertas bank yang waktu diterimanya diketahuinya sebagai uang palsu, dengan maksud untuk mengedarkan atau menyuruh mengedarkan seperti uang asli dan tidak dipalsu.

Keempat bentuk kejahatan mengedarkan uang palsu tersebut, bila bentuk

satu per satu dirinci, terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut:24

23


(37)

Bentuk Pertama

a) Unsur unsur objektif:

1. Perbuatan: Mengedarkan sebagai asli dan tidak dipalsu;

2. Objeknya:

a) Mata uang tidak asli atau dipalsu;

b) Uang kertas negara tidak asli atau dipalsu; c) Uang kertas bank tidak asli atau dipalsu;

3. Tidak asli atau palsunya uang itu karena ditiru atau dipalsu olehnya

sendiri;

b) Unsur subjektif:

4. Dengan sengaja.

Bentuk Kedua

a) Unsur unsur objektif:

1. Perbuatan: Mengedarkan sebagai asli dan tidak dipalsu;

2. Objeknya:

a) Mata uang tidak asli atau dipalsu;

b) Uang kertas negara tidak asli atau dipalsu; c) Uang kertas bank tidak asli atau dipalsu;

3. Yang tidak asli atau palsunya itu diketahuinya pada saat diterimanya.

b) Unsur subjektif:

4. Dengan sengaja.

24


(38)

Bentuk Ketiga

a) Unsur-unsur objektif:

1. Perbuatan:

a) Menyimpan;

b) Memasukkan ke Indonesia;

2. Objeknya:

a) Mata uang tidak asli atau dipalsu;

b) Uang kertas negara tidak asli atau dipalsu; c) Uang kertas bank tidak asli atau dipalsu;

3. Yang ditiru atau dipalsu olehnya sendiri.

b) Unsur subjektif:

4. Dengan maksud untuk mengedarkan atau menyuruh mengedarkan

sebagai asli dan tidak dipalsu.

Bentuk Keempat

a) Unsur-unsur objektif:

1. Perbuatan:

a) Menyimpan;

b) Memasukkan ke Indonesia;

2. Objeknya:

a) Mata uang palsu atau dipalsu;

b) Uang kertas negara palsu (tidak asli) atau dipalsu; c) Uang kertas negara tidak asli atau dipalsu;


(39)

c) Unsur subjektif:

4. Dengan maksud untuk mengedarkan atau menyuruh mengedarkan

sebagai asli dan tidak dipalsu.

Berdasarkan penjabaran mengenai bentuk-bentuk kejahatan yang dimaksud dalam Pasal 245 KUHP, dapat diketahui terdapat beberapa persamaan dan perbedaan.

Dalam kejahatan mengedarkan uang palsu bentuk pertama dan bentuk kedua, unsur objektif berupa perbuatan dan objeknya adalah sama. Selain itu unsur subjektifnya juga sama, yaitu dengan sengaja.

Yang menjadi pembeda adalah di unsur objektif yang ketiga. Dalam kejahatan mengedarkan uang palsu bentuk pertama, pelaku yang mengedarkan uang palsu berperan juga sebagai pemalsu atau peniru uang palsu itu. Sedangkan pada kejahatan mengedarkan uang palsu bentuk kedua, ada pelaku lain yang membuat uang palsu. Jadi, pengedar dan pembuat adalah dua pelaku yang berbeda.

Pada bentuk kejahatan mengedarkan uang palsu bentuk ketiga dan keempat, persamaannya terdapat pada unsur perbuatan, objeknya, dan unsur subjektif. Sedangkan perbedaannya adalah sama dengan perbedaan antara yang bentuk pertama dan bentuk kedua.

Bahwa pada bentuk ketiga tidak asli atau palsunya uang itu disebabkan oleh perbuatan meniru atau memalsu yang dilakukannya sendiri. Berarti sebelum


(40)

pelaku melakukan perbuatan menyimpan atau memasukkan ke Indonesia, ia

terlebih dulu melakukan perbuatan meniru atau memalsu terhadap uang itu.25

Kejahatan mengedarkan uang palsu bentuk keempat tidak mengharuskan pelaku penyimpan atau pelaku yang memasukkan uang palsu ke Indonesia tersebut berperan sekaligus sebagai pembuat atau peniru. Pelaku pembuatan atau peniruan uang palsu itu bisa merupakan orang lain yang sama sekali tidak perlu dikenalnya. Yang dijadikan pertimbangan pada kejahatan bentuk keempat adalah kesadaran pelaku saat menerima uang, bahwa uang yang disimpan atau dibawa masuk ke Indonesia olehnya adalah uang palsu.

a) Perbuatan: (a) Mengedarkan, (b) Menyimpan dan (c) Memasukkan ke Indonesia

Perbuatan mengedarkan, menyimpan, dan memasukkan ke Indonesia haruslah terjadi setelah adanya uang kertas yang tidak asli atau dipalsu. Perbuatan mengedarkan terdapat pada bentuk kejahatan pertama dan kedua. Untuk terwujudnya kejahatan maka perbuatan mengedarkan harus sudah selesai dilakukan. Artinya uang palsu (tidak asli atau dipalsu) tersebut sudah tidak berada

dalam kekuasaannya lagi.26

Berlainan dengan perbuatan menyimpan dimana perbuatannya sangat berlawanan dengan mengedarkan. Jika dalam perbuatan mengedarkan pelaku melepas uang palsu dari kekuasaanya kepada orang lain, maka dalam perbuatan menyimpan justru sebaliknya dimana kekuasaan atas uang palsu beralih dari orang lain kepada si pelaku.

25

Ibid., hlm. 32.

26


(41)

Perbuatan menyimpan sebetulnya tidak termasuk dalam pengertian mengedarkan karena pengertiannya berlawanan dengan pengertian mengedarkan. Perbuatan itu dimasukkan dalam rumusan Pasal 245 berhubung dengan maksud dari penyimpanannya itu adalah untuk diedarkan atau menyuruh mengedarkan

sebagai uang asli dan tidak dipalsu.27

Perbuatan yang ketiga yaitu memasukkan uang palsu ke Indonesia. Maksud dari perbuatan ini adalah bahwa sebelumnya uang palsu berasal dari luar negara Indonesia.

b) Mata Uang, Uang Kertas Negara dan Uang Kertas Bank

Uang terdiri dari mata uang dan uang kertas. Mata uang berupa uang yang terbuat dari bahan logam seperti emas, tembaga, perak, dan lain sebagainya. Uang kertas dibedakan menjadi dua macam, yakni uang kertas negara dan uang kertas bank. Uang kertas negara adalah uang kertas yang dikeluarkan oleh negara, dan uang kertas bank adalah uang kertas yang dikeluarkan oleh suatu bank yang ditunjuk oleh pemerintah. Di Indonesia bank yang ditunjuk pemerintah ini adalah

Bank Indonesia.28

Objek uang yang dimaksud dalam Pasal 245 tidak hanya mata uang dan uang kertas Indonesia (Rupiah) saja, tetapi juga termaksud bagi mata uang dan uang kertas asing.

c) Palsunya Uang Disebabkan karena Perbuatan Meniru atau Memalsu yang Dilakukan Olehnya Sendiri

27

Ibid., hlm. 35.

28


(42)

Dalam melakukan pengedaran uang palsu, pelaku bisa juga berperan sebagai pemalsu. Maksudnya adalah sebelum tindak pengedaran uang palsu terjadi, pelaku sendiri lah yang membuat uang palsu.

d) Dengan Sengaja

Unsur kesengajaan ini berarti si pelaku harus tahu bahwa barang-barang tersebut adalah uang palsu. Pelaku tidak perlu mengetahui bahwa, berhubung dengan barang-barang itu, telah dilakukan tindak pidana pembuatan uang palsu

atau memalsukan uang asli.29

e) Pada Saat Menerima Diketahuinya Bahwa Uang itu Palsu

Pada kejahatan mengedarkan uang palsu bentuk kedua dan keempat, ada unsur pada saat menerima diketahuniya bahwa uang itu palsu (tidak asli dan atau dipalsu). Dalam kalimat ini ada 3 hal yakni: (1) pada saat menerima uang, (2) adanya kenyataan uang itu palsu atau dipalsu dan (3) kenyataan palsunya uang

diketahui olehnya.30

f) Dengan Maksud untuk Mengedarkan atau Menyuruh Mengedarkan sebagai Uang Asli dan Tidak Dipalsu

Dalam kalimat dengan maksud untuk mengedarkan atau menyuruh mengedarkan sebagai uang asli dan tidak dipalsu, mengandung pengertian: (a)

29

Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2010, hlm. 178.

30


(43)

perbuatan menyimpan dan memasukkan ke Indonesia dilakukan dengan sengaja dan bukan dengan atau karena culpa, (b) dalam menyimpan dan memasukkan uang palsu ke Indonesia didorong oleh suatu kehendak untuk mengedarkannya atau menyuruh mengedarkannya sebagai uang asli dan tidak dipalsu, dan (c) ia

mengetahui bahwa uang itu tidak asli dan dipalsu.31

3. Merusak Uang (Pasal 246 KUHP)

Berikut adalah rumusan dari Pasal 246 KUHP:

“Barangsiapa mengurangi nilai mata uang dengan maksud untuk mengedarkan atau menyuruh mengedarkan uang yang dikurangi nilainya itu,

dipidana karena merusak uang dengan pidana penjara paling lama 12 tahun.”

Kejahatan yang dirumuskan dalam Pasal 246 memiliki unsur-unsur sebagai berikut:32

a) Unsur-unsur Objektif

1. Perbuatan: mengurangi nilai;

2. Objeknya: mata uang;

b) Unsur Subjektif

3. Dengan maksud untuk mengedarkan atau menyuruh mengedarkan

uang yang dikurangi nilainya.

Pasal ini ditujukan pada uang yang dibuat dari logam, baik emas maupun perak atau jenis lainnya, yang dirusak dengan berbagai cara dan berakibat kepada berkurangnya nilai uang.

31

Ibid., hlm. 40.

32


(44)

Unsur objektif mengurangi nilai maksudnya adalah, akibat dari tindakan si pelaku nilai intrinsik dari mata uang menjadi berkurang, bukan nilai nominalnya. Contohnya seperti melakukan perusakan terhadap uang logam dengan cara melubangi atau mengikirnya. Hal itu akan mengurangi nilai intrinsik dari uang logam. Namun pelaku perusak uang logam tetap berniat/bermaksud untuk mengedarkan atau menyuruh mengedarkan uang yang sudah berkurang nilainya akibat perusakan yang sudah terjadi sebelumnya.

Perbuatan mengedarkan dan menyuruh mengedarkan tidak perlu

diwujudkan, karena unsur ini hanya dituju oleh maksud pelaku.33 Perbuatan yang

diatur dalam Pasal ini sudah dapat dipidana apabila terbukti ada suatu niat untuk mengedarkan atau menyuruh mengedarkan dari si pelaku.

4. Mengedarkan Uang Rusak (Pasal 247 KUHP) Berikut adalah rumusan dari Pasal 247 KUHP:

“Barangsiapa dengan sengaja mengedarkan mata uang yang dikurangi nilainya olehnya sendiri atau yang kerusakannya waktu diterima diketahui, sebagai uang yang tidak rusak; ataupun barangsiapa menyimpan atau memasukkan ke Indonesia uang yang demikian itu, dengan maksud untuk mengedarkan atau menyuruh mengedarkan sebagai uang yang tidak rusak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun.”

Kejahatan mengedarkan uang rusak pada dasarnya sama dengan kejahatan mengedarkan uang palsu (Pasal 245), masing-masing mempunyai unsur

perbuatan, kesalahan dan cara merumuskan yang sama.34

Perbedaannya dapat dilihat dari beberapa sudut, yaitu:

33

Ibid., 41.

34


(45)

1. Objek dalam Pasal 245 adalah mata uang atau uang kertas palsu, sedangkan dalam Pasal 247 objeknya adalah berupa mata uang rusak.

2. Dalam Pasal 245 penyebab uang tersebut palsu adalah perbuatan meniru

atau memalsu, sedangkan dalam Pasal 247 penyebab rusaknya uang adalah karena perbuatan mengurangi nilai.

3. Ancaman pidana maksimal terhadap kejahatan yang diatur dalam Pasal 245

adalah 15 tahun penjara, sedangkan ancaman pidana maksimal bagi kejahatan Pasal 247 adalah 12 tahun penjara.

4. Kejahatan Pasal 245 terjadi setelah timbulnya kejahatan Pasal 244.

Sedangkan kejahatan Pasal 247 terjadi setelah timbulnya kejahatan Pasal 246.

5. Mengedarkan Uang Palsu yang Lain dari Pasal 245, 247 (Pasal 249 KUHP)

Berikut adalah rumusan dari Pasal 249 KUHP:

“Barangsiapa dengan sengaja mengedarkan mata uang yang tidak asli, dipalsu atau dirusak, atau uang kertas negara atau bank yang palsu atau dipalsu, dipidana, kecuali berdasarkan Pasal 245 dan 247, dengan pidana penjara paling lama 4 bulan 2 minggu atau pidana denda paling banyak Rp. 4.500.”

Unsur-unsur dari kejahatan sebagaimana yang dirumuskan pada Pasal 249

KUHP diatas adalah:35

a) Unsur-unsur Objektif

1. Perbuatan: mengedarkan;

35


(46)

2. Objeknya:

a) Mata uang tidak asli atau dipalsu; b) Mata uang yang dirusak;

c) Uang kertas negara tidak asli atau dipalsu; d) Uang kertas bank tidak asli atau dipalsu;

b) Unsur Subjektif

3. Dengan sengaja.

Pada KUHP Pasal 245 dan Pasal 247, palsu atau rusaknya uang diketahui oleh pelaku pengedaran uang karena perbuatan memalsu atau merusak uang itu dilakukan oleh dirinya sendiri. Selain itu, pelaku pengedar uang juga bisa mengetahui mengenai palsu atau rusaknya uang pada saat dia menerima uang itu. Pasal 249 memiliki maksud yang berbeda dari Pasal 245 dan Pasal 247.

Penyebab palsunya uang pada Pasal 249 bukan karena dipalsu oleh si pengedar, juga bukan karena dia mengetahui saat menerima uang, melainkan diketahui akan palsunya atau rusaknya uang itu beberapa saat setelah uang tersebut diterimanya.

6. Membuat atau Mempunyai Persediaan Benda atau Bahan Untuk Memalsu Uang (Pasal 250 KUHP)

Berikut adalah rumusan dari Pasal 250 KUHP:

“Barangsiapa membuat atau mempunyai persediaan bahan atau benda yang diketahuinya bahwa itu digunakannya untuk meniru, memalsu, atau mengurangi nilai mata uang, atau untuk meniru atau memalsu uang kertas negara atau bank, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun atau pidana denda paling


(47)

Dari rumusan pasal 250 KUHP, dapat dilihat unsur-unsurnya, yang adalah:36

a) Unsur-unsur Objektif

1. Perbuatan:

a) Membuat;

b) Mempunyai persediaan;

2. Objeknya:

a) Bahan; b) Benda;

b) Unsur Subjektif

Yang diketahuimya bahwa itu digunakan untuk

1) Meniru, memalsu, atau mengurangi nilai mata uang; 2) Meniru atau memalsu uang kertas negara;

3) Meniru atau memalsu uang kertas bank.

Dari rumusan dan rincian unsur-unsur diatas, dapat dilihat bahwa Pasal 250 KUHP ini adalah bentuk persiapan sebelum dilakukannya kejahatan Pasal 244 KUHP (meniru atau memalsu uang) dan Pasal 246 KUHP (merusak uang).

Perbuatan „membuat bahan atau benda‟ adalah membuat bahan-bahan atau benda-benda yang selanjutnya akan digunakan untuk memalsu atau mengurangi

nilai mata uang. Perbuatan „mempunyai persediaan bahan atau benda‟ maksudnya

adalah bahan atau benda yang diketahuinya untuk meniru uang, memalsu uang,

36


(48)

atau mengurangi nilai mata uang disimpan atau berada dalam kekuasaannya

dalam jumlah tertentu, yang bila diperlukan segera dapat digunakan.37

7. Menyimpan Kepingan Perak yang Dianggap Mata Uang (Pasal 251 KUHP)

Berikut adalah rumusan dari Pasal 251 KUHP:

“Dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 10.000,-, barangsiapa dengan sengaja dan tanpa izin pemerintah, menyimpan atau memasukkan ke Indonesia keping-keping atau lembar-lembaran perak, baik yang ada maupun tidak ada capnya atau dikerjakan sedikit, mungkin dianggap sebagai mata uang, padahal tidak nyata-nyata akan

digunakan sebagai perhiasan atau tanda peringatan.”

Unsur-unsur dari kejahatan sebagaimana yang dirumuskan pada Pasal 251

KUHP diatas adalah:38

a) Unsur-unsur Objektif

1. Perbuatan:

a) Menyimpan;

b) Memasukkan ke Indonesia;

2. Objeknya:

a) Keping-kepingan perak; b) Lembar-lembaran perak;

(1) ada capnya; (2) tidak ada capnya: (3) diulang capnya;

37

Ibid., hlm. 49.

38


(49)

(4) setelah dikerjakan sedikit tampak seperti mata uang;

3. Padahal tidak nyata-nyata akan digunakan sebagai perhiasan atau

tanda peringatan.

4. Tanpa izin pemerintah.

b) Unsur Subjektif: dengan sengaja

Tujuan dari perumusan Pasal 251 adalah agar tidak ada barang yang menyerupai mata uang beredar di Indonesia. Menyimpan atau memasukkan benda berupa keping-kepingan perak atau lembar-lembaran perak harus mendapatkan izin terlebih dahulu dari pemerintah. Namun, izin tidak harus diperlukan apabila barang-barang yang dimasukkan ke Indonesia itu secara jelas memang diperuntukkan sebagai perhiasan seperti cincin, kalung, dan sejenisnya.

B. Aturan Hukum Tindak Pidana Pemalsuan Uang dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Mata Uang Lahirnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang didasari oleh pertimbangan bahwa Rupiah adalah salah satu simbol kedaulatan negara yang harus dihormati dan dibanggakan oleh seluruh warga Negara Indonesia.

Penggunaan dan peranan uang yang terus berkembang, merupakan salah satu alasan mengapa pentingnya aturan mengenai mata uang ini. Pengelolaan perekonomian tak akan lepas dari peranan uang, untuk itulah pengelolaan uang juga harus terus diperbaiki, salah satu caranya adalah dengan pembentukan hukum. Kehadiran UU tentang mata uang ini adalah salah satu cara untuk menciptakan peraturan hukum yang lebih baik tentang pengelolaan Rupiah.


(50)

Dalam bagian penjelasan UU RI Nomor 7 tahun 2011, isu mengenai kejahatan terhadap mata uang, terutama pemalsuan uang, dianggap sebagai salah satu keadaan yang merisaukan karena dampaknya dapat mengancam kondisi moneter dan perekonomian nasional.

Pemalsuan uang dianggap seringkali menjadi awal dari kejahatan berat

lainnya seperti terorisme, kejahatan politik, pencucian uang (money laundering),

pembalakan kayu secara liar (illegal logging), dan perdagangan orang (human

trafficking), baik yang dilakukan oleh perseorangan maupun yang dilakukan oleh korporasi.

Modus dan bentuk kejahatan terhadap mata uang, terutama pemalsuan uang, semakin berkembang. Sementara itu, ketentuan tindak pidana pemalsuan uang yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dianggap belum mengatur secara komprehensif jenis perbuatan dan sanksi yang diancamkan. Dengan dasar pemikiran tersebut, lahirnya peraturan hukum baru yang membahas mengenai Rupiah sebagai mata uang Indonesia, berikut larangan dan sanksi dalam suatu undang-undang, diharapkan dapat menjadi suatu langkah baru dalam upaya pemberantasan tindak pidana pemalsuan uang di Indonesia.

1. Larangan

Isi dari bab VII dari UU RI Nomor 7 Tahun 2011 merupakan larangan atas beberapa perbuatan terhadap Rupiah sebagai mata uang Indonesia yang terdiri dari 5 pasal, mulai dari Pasal 23 sampai Pasal 27.


(51)

a) Menolak Rupiah Sebagai Alat Pembayaran (Pasal 23) Berikut adalah rumusan dari Pasal 23:

(1) Setiap orang dilarang menolak untuk menerima Rupiah yang penyerahannya dimaksudkan sebagai pembayaran atau untuk menyelesaikan kewajiban yang harus dipenuhi dengan Rupiah dan/atau untuk transaksi keuangan lainnya di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, kecuali karena terdapat keraguan atas keaslian Rupiah.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan untuk pembayaran atau untuk penyelesaian kewajiban dalam valuta asing yang telah diperjanjikan secara tertulis.

Aturan ini bukan merupakan aturan mengenai pemalsuan uang, melainkan tentang kewajiban menerima mata uang Rupiah (baik uang kertas Rupiah maupun uang logam Rupiah) pada suatu pembayaran (sebagaimana disebutkan dalam Pasal 21). Tapi pasal ini juga memiliki keterkaitan dengan tindak pidana pemalsuan uang, dimana apabila ada keragu-raguan atas keaslian dari rupiah yang diterima dari suatu pembayaran, maka diberikan pengecualian untuk mereka yang menolak Rupiah sebagai alat pembayaran.

b) Meniru Rupiah (Pasal 24)

Berikut adalah rumusan dari Pasal 24:

(1) Setiap orang dilarang meniru Rupiah, kecuali untuk tujuan pendidikan dan/ atau promosi dengan memberi kata spesimen.

(2) Setiap orang dilarang menyebarkan atau mengedarkan Rupiah Tiruan. Perbuatan meniru rupiah menghasilkan Rupiah Tiruan yang dalam UU Mata Uang mengandung arti sebagai suatu benda yang bahan, ukuran, warna, gambar, dan/atau desainnya menyerupai Rupiah yang dibuat, dibentuk, dicetak, digandakan, atau diedarkan, tidak digunakan sebagai alat pembayaran dengan merendahkan kehormatan Rupiah sebagai simbol negara.


(52)

c) Merusak Rupiah (Pasal 25)

Berikut adalah rumusan dari Pasal 25:

(1) Setiap orang dilarang merusak, memotong, menghancurkan, dan/atau mengubah Rupiah dengan maksud merendahkan kehormatan Rupiah sebagai simbol negara.

(2) Setiap orang dilarang membeli atau menjual Rupiah yang sudah dirusak, dipotong, dihancurkan, dan/atau diubah.

(3) Setiap orang dilarang mengimpor atau mengekspor Rupiah yang sudah dirusak, dipotong, dihancurkan, dan/atau diubah.

Perbuatan merusak Rupiah dianggap sebagai bentuk merendahkan kehormatan Rupiah sebagai simbol negara. Untuk itu setiap orang dilarang melakukan perbuatan merusak, memotong, menghancurkan, dan/atau mengubah Rupiah. Uang yang telah dirusak itu juga dilarang untuk diperdagangkan atau diedarkan.

d) Memalsu Rupiah (Pasal 26)

Berikut adalah rumusan dari Pasal 26: (1) Setiap orang dilarang memalsu Rupiah.

(2) Setiap orang dilarang menyimpan secara fisik dengan cara apa pun yang diketahuinya merupakan Rupiah Palsu.

(3) Setiap orang dilarang mengedarkan dan/atau membelanjakan Rupiah yang diketahuinya merupakan Rupiah Palsu.

(4) Setiap orang dilarang membawa atau memasukkan Rupiah Palsu ke dalam dan/atau ke luar Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

(5) Setiap orang dilarang mengimpor atau mengekspor Rupiah Palsu.

Pada bagian ketentuan umum UU RI Nomor 7 Tahun 2011, Pasal 1 butir ke 9, Rupiah Palsu diartikan sebagai suatu benda yang bahan, ukuran, warna, gambar, dan/atau desainnya menyerupai Rupiah yang dibuat, dibentuk, dicetak, digandakan, diedarkan, atau digunakan sebagai alat pembayaran secara melawan hukum.


(53)

Pasal 26 ini melarang setiap orang untuk menyimpan, mengedarkan, membelanjakan, membawa atau memasukkan ke dalam dan/atau ke luar Wilayah Indonesia, dan mengimpor atau mengekspor Rupiah Palsu.

e) Memproduksi atau Memiliki Persediaan Bahan untuk membuat Rupiah Palsu (Pasal 27)

Berikut adalah rumusan dari Pasal 27:

(1) Setiap orang dilarang memproduksi, menjual, membeli, mengimpor, mengekspor, menyimpan, dan/atau mendistribusikan mesin, peralatan, alat cetak, pelat cetak, atau alat lain yang digunakan atau dimaksudkan untuk membuat Rupiah Palsu.

(2) Setiap orang dilarang memproduksi, menjual, membeli, mengimpor, mengekspor, menyimpan, dan/atau mendistribusikan bahan baku Rupiah yang digunakan atau dimaksudkan untuk membuat Rupiah Palsu.

Larangan yang dimaksud dalam Pasal 27 dapat dipahami sebagai bentuk pencegahan terhadap pemalsuan Rupiah. Pasal 27 ini bukan merupakan salah satu kejahatan terhadap Rupiah karena terjadi sebelum adanya peniruan, pemalsuan, atau perusakan Rupiah.

2. Ketentuan Pidana

Sanksi hukum terhadap kejahatan Mata Uang, khususnya pemalsuan Rupiah, pada UU RI Nomor 7 Tahun 2011 semakin diperberat guna menimbulkan efek jera bagi pelaku sebab dampak yang ditimbulkannya sangat besar, baik bagi negara dan masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari beberapa aturan Pasal yang menerapkan hukuman seumur hidup sebagai ancaman maksimalnya, sedangkan dalam KUHP ancaman maksimal bagi kejahatan yang menyangkut pemalsuan uang adalah 15 tahun penjara. Sanksi denda bagi pelaku pemalsuan uang dalam


(54)

UU Mata Uang ini juga sangat besar jumlahnya, hal ini menunjukkan keseriusan dari pembentuk undang-undang untuk memberantas kejahatan pemalsuan uang.

Pasal 33

(1) Setiap orang yang tidak menggunakan Rupiah dalam:

a. setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran;

b. penyelesaian kewajiban lainnya yang harus dipenuhi dengan uang;

dan/atau

c. transaksi keuangan lainnya,

Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

(2) Setiap orang dilarang menolak untuk menerima Rupiah yang penyerahannya dimaksudkan sebagai pembayaran atau untuk menyelesaikan kewajiban yang harus dipenuhi dengan Rupiah dan/ atau untuk transaksi keuangan lainnya di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, kecuali karena terdapat keraguan atas keaslian Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Pasal 34

(1) Setiap orang yang meniru Rupiah, kecuali untuk tujuan pendidikan dan promosi dengan memberi kata spesimen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

(2) Setiap orang yang menyebarkan atau mengedarkan Rupiah Tiruan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Pasal 35

(1) Setiap orang yang dengan sengaja merusak, memotong, menghancurkan, dan/atau mengubah Rupiah dengan maksud merendahkan kehormatan Rupiah sebagai simbol negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

(2) Setiap orang yang membeli atau menjual Rupiah yang sudah dirusak, dipotong, dihancurkan, dan/ atau diubah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).


(55)

(3) Setiap orang yang mengimpor atau mengekspor Rupiah yang sudah dirusak, dipotong, dihancurkan, dan/atau diubah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Pasal 36

(1) Setiap orang yang memalsu Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

(2) Setiap orang yang menyimpan secara fisik dengan cara apa pun yang diketahuinya merupakan Rupiah Palsu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

(3) Setiap orang yang mengedarkan dan/atau membelanjakan Rupiah yang diketahuinya merupakan Rupiah Palsu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).

(4) Setiap orang yang membawa atau memasukkan Rupiah Palsu ke dalam dan/atau ke luar Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana. dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).

(5) Setiap orang yang mengimpor atau mengekspor Rupiah Palsu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (5) dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup dan pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah)

Pasal 37

(1) Setiap orang yang memproduksi, menjual, membeli, mengimpor, mengekspor, menyimpan, dan/ atau mendistribusikan mesin, peralatan, alat cetak, pelat cetak atau alat lain yang digunakan atau dimaksudkan untuk membuat Rupiah Palsu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup dan pidana denda paling banyak Rp.100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).

(2) Setiap orang yang memproduksi, menjual, membeli, mengimpor, mengekspor, menyimpan, dan/ atau mendistribusikan bahan baku Rupiah yang digunakan atau dimaksudkan untuk membuat Rupiah Palsu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup, dan pidana denda paling banyak Rp.100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).


(56)

Pasal 38

(1) Dalam hal perbuatan tindak pidana se bagaimana dimaksud dalam Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, serta Pasal 36 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) dilakukan oleh pegawai Bank Indonesia, pelaksana Pencetakan Rupiah, badan yang mengoordinasikan pemberantasan Rupiah Palsu, dan/atau aparat penegak hukum, pelaku dipidana dengan pidana penjara dan pidana denda maksimum ditambah 1/3 (satu per tiga).

(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) dilakukan secara terorganisasi, digunakan untuk kejahatan terorisme, atau digunakan untuk kegiatan yang dapat mengakibatkan terganggunya perekonomian nasional, pelaku dipidana dengan pidana penjara

paling lama seumur hidup dan pidana denda paling banyak

Rp.100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).

Pasal 39

(1) Pidana yang dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan ketentuan ancaman pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal.36, atau Pasal 37 ditambah 1/3 (satu per tiga).

(2) Dalam hal terpidana korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mampu membayar pidana denda, dalam putusan pengadilan dicantumkan perintah penyitaan harta benda korporasi dan/atau harta benda pengurus korporasi. (3) Selain sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, atau Pasal 37, setiap orang dapat dikenai pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha dan/atau perampasan terhadap barang tertentu milik terpidana.

Pasal 40

(1) Dalam hal terpidana perseorangan tidak mampu membayar pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, serta Pasal 36 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), pidana denda diganti dengan pidana kurungan dengan ketentuan untuk setiap pidana denda sebesar Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah) diganti dengan pidana kurungan selama 2 (dua) bulan.

(2) Lama pidana kurungan pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dicantumkan dalam putusan pengadilan.

Pasal 41

(1) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 dan Pasal 34 adalah pelanggaran.

(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35, Pasal 36, dan Pasal 37 adalah kejahatan.


(57)

C. Perbedaan Antara Pengaturan Tindak Pidana Pemalsuan Uang Dalam KUHP dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang

Tindak pidana pemlasuan uang merupakan perbuatan yang menimbulkan kerugian bagi banyak pihak. Negara sebagai pembuat dan pengelola uang akan mengalami kerugian, bagi masyarakat yang merupakan penerima sekaligus pengguna uang juga demikian. Dampak yang ditimbulkan dari kejahatan pemalsuan uang sangat besar dan tak terbatas ruang lingkupnya. Selama uang palsu masih beredar di pasaran, maka kerugian juga masih berpotensi memakan korban.

Pada setiap perbuatan pemalsuan (tidak hanya pemalsuan uang, melainkan semua jenis pemalsuan), dapat dilihat bahwa sudah terjadi pelanggaran terhadap 2

(dua) norma dasar, yaitu:39

- Kebenaran (kepercayaan) yang pelanggarannya dapat tergolong dalam

kelompok kejahatan penipuan;

- Ketertiban masyarakat yang pelanggarannya tergolong dalam kelompok

kejahatan terhadap Negara / ketertiban umum.

Mengingat pentingnya menjaga kepercayaan masyarakat kepada uang yang merupakan simbol dari kedaulatan Negara, maka aturan hukum yang cukup atau memadai adalah hal yang penting agar terjadi suatu ketertiban di lingkungan masyarakat, dan para pelaku tindak pidana pemalsuan uang dapat dihukum, timbul penyesalan pada dirinya sehingga jera dan tidak lagi mau melakukan

39

A. K. Moch. Anwar, Hukum Pidana Bagian Khusus, Alumni, Bandung, 1980, hlm. 155.


(1)

keterangan-keterangan tersebut hakim dapat mengetahui bahwa tindakan

menyimpan secara fisik Rupiah Palsu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat

(2) benar telah dilakukan oleh Terdakwa. Selain itu, pada kasus ini juga dapat

diketahui bahwa disaat penangkapan dilakukan, pelaku tertangkap tangan sedang

menyimpan 20 lembar uang palsu (6 lembar pecahan Rp. 100.000,- dan 14 lembar

pecahan Rp. 50.000,-). Barang bukti lembaran uang palsu tersebut juga dibawa

pada proses persidangan, meskipun kekuatan pembuktiannya tidak tercantum

dalam KUHAP, keberadaan barang bukti tersebut dapat memberikan keyakinan

kepada hakim bahwa memang benar perbuatan tersebut telah dilakukan oleh

Terdakwa.

Dari pemeriksaan yang telah dilakukan di persidangan, maka hakim

memperoleh fakta tentang perkara yang sedang ditanganinya dan meyakini bahwa

perbuatan Terdakwa telah memenuhi semua unsur dalam Pasal 36 ayat (2) UU RI

No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. Dari keterangan saksi-saksi dan keterangan

terdakwa, diketahui bahwa Terdakwa Dedi Junaedi telah melakukan perbuatan

menyimpan secara fisik dengan cara apapun yang diketahuinya merupakan

Rupiah Palsu. Dengan begitu, penjatuhan pidana bagi Terdakwa dapat dilakukan.

Pada perkara ini, akhirnya Terdakwa Dedi Junaedi dinyatakan terbukti

dengan sah dan meyakinkan, bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana

diatur dalam Pasal 36 ayat (2) UU RI No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang.

Kepada Terdakwa dijatuhkan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 6 (enam)

bulan dan denda sebesar Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) subsider 1


(2)

Pidana penjara yang dijatuhkan kepada Dedi Juanedi tergolong rendah

mengingat ancaman pidana maksimal sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat (2)

adalah pidana penjara (sepuluh) 10 tahun. Namun, Majelis Hakim memiliki

pertimbangan-pertimbangan lain seperti sikap sopan yang ditunjukkan Terdakwa

selama persidangan, pengakuan Terdakwa pada kesaksiannya yang secara terus

terang mengakui perbuatannya, dan juga Terdakwa belum pernah dihukum

sebelumnya. Beberapa hal yang disebutkan diatas merupakan hal-hal yang

meringankan Terdakwa pada perkara ini, dan hal itu juga termasuk dalam


(3)

BAB V PENUTUP

Berdasarkan uraian dan pembahasan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat

ditentukan yang menjadi kesimpulan dan saran sebagai penutup dari tulisan ini

adalah:

A. Kesimpulan

1. Aturan hukum tentang pemalsuan uang di Indonesia pada UU RI No. 7

tahun 2011 tentang Mata Uang, sebenarnya memiliki banyak kesamaan dari

sisi isi atau materi jika dibandingkan dengan aturan hukum pemalsuan uang

dalam KUHP. Perbedaan mendasarnya adalah UU Mata Uang

mengkhususkan ketentuan hukumnya pada mata uang Indonesia saja, yaitu

Rupiah. Sedangkan pemalsuan uang di KUHP, objeknya juga meliputi uang

dari negara asing. Selain itu perbedaan juga dapat dilihat dari ancaman

maksimal pidana penjara, dimana pada KUHP ancaman maksimal bagi

kejahatan pemalsuan uang adalah 15 tahun, sedangkan pada UU Mata Uang

terdapat beberapa pasal yang menerapkan ancaman maksimal berupa

penjara seumur hidup.

2. Hakim harus meneliti berbagai keterangan dan mencari fakta atas suatu

kasus yang dihadapkan kepadanya. Untuk terciptanya keadilan, putusan dari

seorang Hakim haruslah berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang

relevan dengan fakta-fakta di persidangan. Adapun yang menjadi


(4)

pemalsuan uang (Studi Putusan No. 1129/Pid.Sus/2013/PN.Jkt.Tim) adalah

mengenai terpenuhinya unsur-unsur kejahatan sebagaimana yang

dituduhkan kepada terdakwa, alat-alat bukti, dan

pertimbangan-pertimbangan lain yang tercantum pada salinan Putusan. Pada Putusan No.

1129/Pid.Sus/2013/PN.Jkt/Tim pertimbangan yang dibuat hakim sudah

tepat dimana dari fakta-fakta yang terungkap di persidangan Terdakwa Dedi Junaedi memang terbukti bersalah dengan melakukan tindak pidana “Mata Uang Palsu” sehingga penjatuhan hukuman kepadanya adalah suatu tindakan yang tepat.

B. Saran

1. Masyarakat harus bersikap kooperatif dengan melaporkan temuan uang

palsu agar pihak yang berwenang dapat mengambil tindakan.

2. Penegak hukum harus memandang kejahatan pemalsuan uang ini secara

serius dengan berani mengancam dan menjatuhkan hukuman yang berat

bagi pelaku pemalsuan uang mengingat dampak yang ditimbulkan dari


(5)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

A.K. Moch. Anwar. Hukum Pidana Bagian Khusus. Bandung: Alumni. 1980.

Adami Chazawi. Kejahatan Mengenai Pemalsuan. Jakarta: RajaGrafindo Persada. 2005.

Antonius Sudirman. Hati Nurani Hakim dan Putusannya. Bandung: Citra Aditya Bakti. 2007.

Iswardono Sardjonopermono. Uang dan Bank. Yogyakarta: BPFE. 1984.

J.C.T. Simorangkir, Rudy T. Erwin, dan J.T. Prasetyo. Kamus Hukum. Jakarta: Aksara Baru. 1980.

Kasmir. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya. Jakarta: Rajawali Pers. 2013.

Marwan Effendy. Tipologi Kejahatan Perbankan dari Perspektif Hukum Pidana. Jakarta: Sumber Ilmu Jaya. 2012.

P.A.F. Lamintang. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Citra Adya Bakti. 1997.

R. Soeroso. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika. 2011.

R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia. 1991.

Stephen M. Goldfeld dan Lester V. Chandler. Ekonomi Uang dan Bank. Jakarta: Bina Aksara. 1988.


(6)

Teguh Prasetyo. Kriminalisasi Dalam Hukum Pidana. Bandung: Nusa Media. 2011.

Wirjono Prodjodikoro. Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia. Bandung: Refika Aditama. 2010.

B. Peraturan Perundang-undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata

Uang

C. Internet

https://translate.google.com/#nl/id/Strafbaar., diakses pada tanggal 8 November 2014.