BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Status Sosial Ekonomi - Pengaruh Status Sosial Ekonomi, Budaya Dan Pemeriksaan Kehamilan Ibu Terhadap Kejadian Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) Di Wilayah Kerja Puskesmas Pancur Kabupaten Deli Serdang Tahun 2012

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Status Sosial Ekonomi

  Faktor sosial ekonomi yaitu meliputi data sosial yaitu, keadaan penduduk, keadaan keluarga, pendidikan, perumahan, dapur penyimpanan makanan, sumber air, kakus. Sementara data ekonomi meliputi pekerjaan, pendapatan keluarga, kekayaan, pengeluaran dan harga makanan yang tergantung pada pasar dan variasi musim (Supriasa, 2002).

  Menurut Dalimunthe (1995), kehidupan sosial ekonomi adalah suatu kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang menggunakan indikator pendidikan, pekerjaan dan penghasilan sebagai tolak ukur.

  Menurut pendapat Junaidi (1999), keluarga adalah individu dengan jati diri yang khas yang memiliki karakteristik tersendiri. Karakteristik adalah sifat individu yang relatif tidak berubah, atau yang dipengaruhi lingkungan seperti umur, jenis kelamin, suku bangsa, kebangsaan, pendidikan dan lain-lain. Perkembangan intelektual akan kesadaran lingkungan seorang individu seringkali dilepaskan dan bahkan dipisahkan dengan masalah keluarga. Hal – hal semacam inilah yang sering menimbulkan masalah-masalah sosial, karena kehilangan pijakan. Oleh karena itu adalah bijaksana kalau dilihat dan dikembalikan peranan keluarga dan proporsi yang sebenarnya dengan skala prioritas yang pas. Fungsi ekonomi yaitu : 1). kebutuhan makan dan minum, 2). kebutuhan pakaian untuk menutup tubuh, 3). kebutuhan tempat tinggal. Sehubungan dengan fungsi tersebut maka orang tua diwajibkan untuk berusaha keras agar supaya setiap anggota keluarga dapat cukup makan dan minum, cukup pakaian serta tempat tinggal.

  Masalah gizi di Indonesia dan di negara berkembang pada umumnya masih didominasi oleh masalah Kurang Energi Protein (KEP), Masalah Anemia Besi, masalah Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY), masalah Kurang Vitamin A (KVA) (Nyoman S, dkk 2002).

  Rawan pangan dan gizi masih menjadi salah satu masalah besar bangsa ini. Masalah gizi berawal dari ketidakmampuan rumah tangga mengakses pangan, baik karena masalah ketersediaan di tingkat lokal, kemiskinan, pendidikan dan pengetahuan akan pangan dan gizi, serta perilaku masyarakat. Kekurangan gizi mikro seperti vitamin A, zat besi dan yodium menambah besar permasalahan gizi di Indonesia. Dengan demikian masalah pangan dan gizi merupakan permasalahan berbagai sektor dan menjadi tanggung jawab bersama pemerintah dan masyarakat (Suzeta, 2007).

  Salah satu akibat kemiskinan adalah ketidakmampuan rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam jumlah dan kualitas yang baik; lebih dari 10 persen penduduk di setiap provinsi mengalami rawan pangan, kecuali di Provinsi Sumatera Barat, Bali, dan Nusa Tenggara Barat. Hal ini berakibat pada kekurangan gizi, baik zat gizi makro maupun mikro, yang dapat diindikasikan dari status gizi anak balita dan wanita hamil (Suzeta, 2007)

  Salah satu akibat kemiskinan adalah ketidak mampuan rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam jumlah dan kualitas yang baik; lebih dari 10 persen penduduk di setiap provinsi mengalami rawan pangan, kecuali di Provinsi Sumatera Barat, Bali, dan Nusa Tenggara Barat. Hal ini berakibat pada kekurangan gizi, baik zat gizi makro maupun mikro, yang dapat diindikasikan dari status gizi anak balita dan wanita hamil (BPPN, 2006)

  Menurut pendapat Mulyaningrum dan Alchadi (2009) pentingnya status gizi ibu perlu dilihat dari berbagai aspek. Selain akses terhadap keamanan pangan dan terhadap pelayanan kesehatan setinggi-tingginya merupakan hak azasi dasar setiap orang, status gizi ibu juga mempunyai dampak secara sosial dan ekonomi.

  Berbagai penelitian semakin menunjukkan bahwa status kesehatan dan resiko kematian dirinya, tetapi juga terhadap kelangsungan hidup dan perkembangan janin yang dikandungnya dan lebih jauh lagi terhadap pertumbuhan janin tersebut sampai usia dewasa. Status sosial ekonomi ini meliputi : Pendidikan dan pendapatan (Syafrudin & Mariam 2010)

2.1.1. Pendidikan

  Pendidikan secara umum adalah upaya persuasi atau pembelajaran yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain baik individu, kelompok atau masyarakat sehingga mau melakukan tindakan-tindakan (praktik) untuk memelihara (mengatasi masalah-masalah), dan meningkatkan kesehatannya. Perubahan atau tindakan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan yang dihasilkan oleh pendidikan kesehatan ini didasarkan kepada pengetahuan dan kesadarannya melalui proses pembelajaran (Notoatmodjo, 2005) Pendidikan mempunyai pengaruh nyata terhadap kesehatan ibu. Hamil melalui usia perkawinan dan pengetahuan akan gejala kehamilan dengan risiko tinggi.

  Perlu dipertimbangkan bahwa faktor tingkat pendidikan turut pula menentukan mudah tidaknya sesorang menyerap dan memahami pengetahuan gizi yang mereka peroleh. Dalam kepentingan gizi keluarga pendidikan amat diperlukan agar seseorang lebih tanggap terhadap adanya masalah gizi didalam keluarga dan bisa mengambil tindakan secepatnya (Sandra & Syafiq, 2007).

  Pendidikan yang dimiliki oleh seorang ibu akan mempengaruhi pengetahuan dalam pengambilan keputusan dan juga akan berpengaruh pada prilakunya. Ibu dengan pengetahuan gizi yang baik kemungkinan akan memberikan gizi yang cukup bagi dia dan bayinya. Hal ini terlebih lagi kalau seorang ibu tersebut memasuki masa ngidam, di mana perut rasanya tidak mau diisi, mual dan rasa yang tidak karuan. Walaupun dalam kondisi yang demikian jika seseorang memiliki pengetahuan yang baik maka ia akan berupaya untuk memenuhi gizinya dan juga bayinya (Proverawati & Asfuah, 2009)

  Rendahnya pendidikan dan pengetahuan berpengaruh pada tingkat kesadaran dan kesehatan, pencegahan penyakit (wanita dengan tingkat pendidikan yang tinggi cenderung lebih memperhatikan kesehatan dalam dan keluarganya (Syafrudin & Mariam 2010).

  Tingkat pendidikan itu sangat mempengaruhi kemampuan penerimaan informasi gizi. Masyarakat dengan tingkat pendidikan yang rendah akan lebih baik mempertahankan tradisi-tradisi yang berhubungan dengan makanan, sehingga sulit menerima informasi baru bidang gizi (Rahardjo 1996).

  Latar belakang pendidikan seseorang merupakan salah satu unsur penting yang dapat memengaruhi keadaan gizinya karena dengan tingkat pendidikan lebih tinggi diharapkan pengetahuan atau informasi tentang gizi yang dimiliki menjadi lebih baik. Sering masalah gizi timbul karena ketidaktahuan atau kurang informasi tentang gizi yang memadai. Perlu dipertimbangkan bahwa faktor tingkat pendidikan turut pula menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap dan memahami pengetahuan gizi yang mereka peroleh (Fikawati & Syafiq, 2012)

  Hasil penelitian yang dilakukan oleh Kusumawati & Mutalazimah tahun 2004 di RSUD Dr. Moewardi Surakarta menyimpulkan bahwa terdapat hubungan antara pendidikan ibu dengan BBLR.

  Penelitian yang dilakukan oleh Djaja dkk, di kabupaten Cirebon tahun 2004 didapatkan hasil bahwa 57% ibu dari bayi yang BBLR berpendidikan SD – SMP.

  Senada dengan penelitian yang dilakukan oleh Sihombing & Riyandina, di Jakarta nahwa ada hubungan bermakna antara tingkat pendidikan dengan anemia pada ibu hamil responden yang berpendidikan rendah (SD, SMP) beresiko anemia 3,3 kali dibandingkan dengan responden yang berpendidikan tinggi (SMA, D3, PT) (95%).

2.1.2. Pendapatan

  Faktor yang berperan dalam menentukan status kesehatan seseorang adalah tingkat sosial ekonomi, dalam hal ini adalah daya beli keluarga. Kemampuan keluarga untuk membeli bahan makanan antara lain tergantung pada besar kecilnya pendapatan keluarga, harga bahan makanan itu sendiri, serta tingkat pengelolaan sumber daya lahan dan pekarangan. Keluarga dengan pendapatan terbatas kemungkinan besar kurang dapat memenuhi kebutuhan makanannya terutama untuk memenuhi kebutuhan zat gizi dalam tubuhnya (Fikawati & Shafiq, 2012).

  Pendapatan merupakan faktor yang paling menentukan kualitas dan kuantitas hidangan. Semakin banyak mempunyai uang berarti semakin baik makanan yang diperoleh. Dengan kata lain semakin tinggi penghasilan, semakin besar pula persentase dari penghasilan tersebut untuk membeli daging, buah, sayuran dan beberapa jenis bahan makanan lainnya (Fikawati & Shafig, 2012)

  Kemiskinan sebagai penyebab gizi kurang menduduki posisi pertama pada kondisi umum di masyarakat. Masalah utama penduduk miskin pada umumnya sangat tergantung pada pendapatan perhari yang pada umumnya tidak mencukupi kebutuhan dasar secara normal. Penduduk miskin cenderung tidak mempunyai cadangan panagan karena daya belinya rendah. Pada tahun 1998, ada 51,0% rumah tangga didaerah perkotaan dan 47,5% rumah tangga didaerah, pedesaan mengalami masalah kekurangan konsumsi pangan (Ernawati, 2006)

  Pada umumnya, dengan meningkatnya pendapatan perorangan, terjadilah perubahan-perubahan dalam susunan makanan. Akan tetapi, pengeluaran uang lebih banyak untuk pangan yang tidak terjamin lebih beragamnya konsumsi pangan (Suhardjo, 1999)

  Keterbatasan penghasilan keluarga turut menentukan mutu makanan yang disajikan. Tidak dapat disangkal bahwa penghasilan keluarga akan turut menentukan hidangan yang disajikan untuk keluarga sehari-hari, baik kualitas maupun jumlah makanan (Proverawati & Asfuah, 2009)

  Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Provinsi Sumatera Utara Nomor 188.44/988/KPTS/2011 tanggal 17 Nopember 2011 tentang Upah Minimum Provinsi Sumatera Utara Tahun 2012 sebesar Rp. 1.200.000,- / bulan.

2.2. Budaya Ibu Hamil

  Budaya adalah satu kesatuan yang kompleks, termasuk pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum adat dan kesanggupan serta kebiasaan yang diperoleh oleh manusia sebagai anggota sebuah masyarakat. Atau dengan kata lain konsep dari suatu sistem serta peraturan dan makna, yang pernyataannya tergambar melalui cara manusia menjalani kehidupan. Latar belakang budaya mempunyai pengaruh yang penting terhadap bermacam aspek kehidupan manusia yaitu, kepercayaan, tanggapan, emosi, bahasa, agama bentuk keluarga, diet, pakaian, bahasa tubuh. Konsep tentang kehidupan dan sikap terhadap kehidupan, sakit dan bentuk kemalangan lain, yang mempunyai implikasi yang penting terhadap kesehatan dan pemeliharaan kesehatan (Syafrudin & Mariam 2010)

  Banyak sekali pengaruh atau faktor – faktor yang menyebabkan berbagai aspek kesehatan di negara kita, bukan hanya karena pelayanan medik yang tidak memadai atau kurangnya perhatian dari instansi kesehatan. Tetapi banyak yang mempengaruhi kesehatan di Indonesia, anatara lain masih adanya pengaruh sosial budaya yang turun temurun masih dianut sampai dengan saat ini. Selain itu ditemukan pula sejumlah pengetahuan dan prilaku budaya yang dinilai tidak sesuai dengan prinsip – prinsip kesehatan menurut ilmu kedokteran atau bahkan memberikan dampak kesehatan yang kurang menguntungkan bagi ibu dan anaknya (Syafrudin & Mariam 2010). Adapun budaya yang berpengaruh terhadap kejadian BBLR adalah :

2.2.1. Pola Makan

  Pola makan adalah cara seseorang atau kelompok orang dalam memilih makanan dan memakannya sebagai tanggapan terhadap pengaruh fisiologi, psikologi budaya dan sosial (Waryana, 2010). Pola makan yang baik akan cukup menyediakan gizi yang dibutuhkan untuk kesehatan kehamilan, dan mengurangi risiko lahirnya bayi cacat. Pola makan yang salah pada ibu hamil membawa dampak terhadap terjadinya gangguan gizi antara lain anemia, pertambahan berat badan kurang pada ibu hamil dan gangguan pertumbuhan janin (Samhadi, 2011)

  Gambaran pola makan dapat diperoleh dengan metode riwayat makan (Diettary History Methode) adalah untuk memperoleh data tentang frekuensi konsumsi sejumlah bahan makanan atau makanan jadi selama periode tertentu seperti hari, minggu, bulan atau tahun. Dengan menggunakan metode riwayat makan angka kecukupan gizi juga harus disesuaikan dengan kebutuhan selama kehamilan.

Tabel 2.1. Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan (Per Orang Perhari) Menurut Ukuran Rumah Tangga

  Ibu Hamil Bahan Makanan Ukuran Rumah Tangga Makanan pokok (Nasi, Jagung, Ubi) 4-5 piring Lauk hewani (Ikan, Telur, Daging, dan 3-4 potong sebagainya) Lauk nabati (Tempe, Tahu dan sebagainya) 2-3 potong Sayur-sayuran

  2-3 mangkuk Buah-buahan

  3 potong

  Sumber : Penilaian status gizi

  Pola makan merupakan hasil budaya masyarakat yang bersangkutan, dan mengalami perubahan terus-menerus menyesuaikan diri dengan lingkungan dan tingkat kemajuan budaya masyarakat tersebut, Pola makan yang baik akan cukup menyediakan gizi yang dibutuhkan untuk kesehatan kehamilan, dan mengurangi resiko lahirnya bayi cacat. Selain itu makanan yang baik akan membantu sistem pertahanan tubuh ibu hamil terhadap infeksi, makanan yang baik juga akan melindungi ibu hamil dari akibat buruk zat – zat yang mungkin ditemui seperti obat – obatan, toksin, polutan (Sediaoetama, 2009)

  Tambahan makanan untuk ibu hamil dapat diberikan dengan cara meningkatkan kualitas maupun kuantitas makanan ibu sehari – hari, bisa juga dengan memberikan tambahan formula khusus untuk ibu hamil. Pada kehamilan, adanya kenaikan volume darah akan meningkatkan kebutuhan zat besi (terbanyak) dan asam folat (lebih sedikit) (Soetjiningsih, 1995)

  Pola makan telah diketahui sebagai salah satu faktor risiko dari masalah gizi pada ibu hamil hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh St. Fatimah dkk, di Kabupaten Maros Sulawesi Selatan tahun 2011 menyatakan bahwa pola makan ibu hamil memiliki hubungan yang signifikan terhadap rendahnya kadar haemoglobin ibu hamil (St. Fatimah dkk, 2011).

  Rendahnya tingkat konsumsi besi sesuai dengan hasil penelitian Subagio, 2004, pada ibu hamil di Kecamatan Karangawen Kabupaten Demak yang menderita defisiensi besi sebesar 59,3% begitu pula hasil penelitian Wahyuni di Kabupaten Bantul Jogjakarta menyatakan bahwa rerata konsumsi besi pada ibu hamil 15,54 setara dengan 33,78% dari AKG yang dianjurkan (Harnany, 2006)

  Pola makan yang tidak baik akan meyebabkan asupan gizi ibu hamil tidak tercukupi sehingga berkontribusi terhadap bayi yang dilahirkan yaitu BBLR hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Rahmawati dan Nur jaya di RSUD Ajjatpannge Watan Soppeng tahun 2010 menunjukkan bahwa adanya hubungan antara status gizi ibu dengan kejadian BBLR.

2.2.2. Makanan Pantangan

  Budaya berperan dalam status gizi masyarakat karena ada beberapa kepercayaan, seperti tabu mengonsumsi makanan tertentu oleh kelompok umur tertentu yang sebenarnya makanan tersebut justru bergizi dan dibutuhkan oleh kelompok umur tersebut. Seperti ibu hamil yang tabu mengonsumsi ikan ( Hartriyanti & Triyanti, 2012)

  Tidak tercukupinya zat gizi sebagai penyebab anemia karena masalah pangan, terkait ketersediaan pangan dan kerawanan konsumsi pangan yang dipengaruhi oleh kemiskinan, rendahnya pendidikan, dan adat/kepercayaan yang terkait dengan tabu makanan ( Harnany, 2006).

  Pantangan atau tabu adalah suatu larangan untuk mengkonsumsi jenis makanan tabu makanan adalah suatu kebudayaan yang menentukan kapan seseorang boleh atau tidak boleh memakan suatu makanan (Suhardjo, 2003).

  Pada dasarnya larangan atau tabu yang mengenai makanan dapat dibagi 2 kategori: (a) pantangan atau larangan mengkonsumsi suatu jenis makanan berdasarkan agama atau kepercayaan, dan (b) pantangan atau larangan pangan yang bukan berdasar agama, tetapi ditunkan dari nenek moyang sejak jaman dahulu, yang tidak diketahui lagi kapan dimulainya. Ada makanan pantangan yang sesuai dengan pendapat para ilmuwan tetapi ada juga yang merugikan kesehatan dan kondisi gizi (Sediaoetama, 2009)

  Biasanya pangan pantangan ini ditujukan untuk anak kecil, ibu hamil dan ibu menyusui. Misal anak kecil dilarang makan ikan karena takut cacingan, sakit mata atau sakit kulit. Seperti di Kalimantan Tengah terdapat 27 jenis ikan yang menjadi pantangan ibu hamil karena dapat menyebabkan gangguan kesehatan, mabuk, merusak badan, sulit melahirkan, dan peranakan bisa keluar (Hartati, 2006).

  Di beberapa negara berkembang umumnya ditemukan larangan, pantangan atau tabu tertentu bagi makanan ibu hamil. Latar belakang pantangan atau tabu tersebut didasarkan pada kepercayaan agar tidak mengalami kesulitan pada waktu melahirkan dan bayinya tidak terlalu besar. Ada pula penduduk di negara- negara Asia yang mempunyai kepercayaan bahwa makanan yang mengandung protein hewani menyebabkan air susuibu beracun bagi anak bayinya (Suhardjo, 2003).

  Di dalam wilayah Indonesia ada keyakinan bahwa wanita yang masih hamil tidak boleh makan lele, ikan sembilan, udang, telur, dan nanas. Sayuran tertentu tak boleh dikonsumsi, seperti daun lembayung, pare, dan makanan yang digoreng dengan minyak. Setelah melahirkan atau operasi hanya boleh makan tahu dan tempe tanpa garam/nganyep, dilarang banyak makan dan minum, makanan harus disangan/dibakar, bahkan setelah maghrib samasekali ibu tidak diperbolehkan makan (Dinkes Pemalang, 2000). Hasil penelitian yang dilakukan Harnany di kota Pekalongan tahun 2006 dibuktikan responden yang memiliki pantangan makan sebagian besar (85%) masuk kelompok anemia.

2.2.3. Pembagian Makanan dalam Keluarga

   Pembagian makanan berkenaan dengan pembagian pangan yang dikonsumsi

  oleh perorangan, anggota suatu keluarga. Di sini pun sering pembagian pangan tersebut tidak merata. Yang dimaksud merata disini bukanlah bahwa setiap anggota keluarga tersebut mendapat jatah bagian makanan yang sama banyak, tetapi bahwa setiap anggota keluarga itu mendapat jumlah makanan yang sesuai dengan tingkat kebutuhannya, menurut umur dan keadaan fisik serta jenis kelaminnya (Sediaoetama, 2008).

  Struktur kekuasaan di dalam keluarga dan berbagai makanan pantangan, berpengaruh pula atas pola pembagian makanan dalam keluaraga. Ayah biasanya dianggap paling berkuasa dan paling penting di dalam keluarga, sehingga kepadanya diberikan hak-hak khusus dalam banyak hal, termasuk hak khusus untuk mendapat bagian makanan yang paling baik dan paling banyak. Bahkan ada beberapa suku bangsa di Asia dan Afrika di mana ayah makan sendirian terdahu lu dan setelah ayah selesai, barulah sisanya dibagikan di antara para anggota keluarga lainnya (Sediaoetama, 2008)

  Secara tradisional, ayah mempunyai prioritas utama atas jumlah dan jenis makanan tertentu dalam keluarga. Jika kebiasaan budaya tersebut diterapkan, maka setelah kepala keluarga anak pria dilayani, biasanya dimulai dari yang tertua. Wanita, anak wanita dan anak yang masih kecil boleh makan bersama anggota keluarga pria, tetapi dibeberapa lingkunan budaya, mereka makan terpisah pada meja lain bahkan setelah anggota pria selesai makan. Pada beberapa kasus wanita dan anak kecil hanya memperoleh makanan yang disisakan setelah anggota keluarga pria makan. Untuk bayi, anak – anak yang masih muda dan wanita selama tahun – tahun penyapihan, pengaruh tambahan dari pembagian pangan yang tidak merata dalam unit keluarga, dapat merupakan bencana, baik bagi kesehatan maupun kehidupan (Suhardjo, 2003).

  Wanita yang sedang hamil dan telah berkeluarga biasanya lebih memperhatikan kecukupan gizi dari anggota keluarga yang lain. Padahal sebenarnya dirinyalah yang memerlukan perhatian serius mengenai penambahan gizi. Ibu harus teratur dalam mengkonsumsi makanan yang bergizi demi pertumbuhan dan perkembangan (Proverowati & Asfuah, 2009)

  Banyak penemuan yang menyatakan bahwa budaya sangat berperan dalam proses terjadinya masalah gizi diberbagai masyarakat dan negara. Dalam hal pangan, ada budaya yang memprioritaskan keluarga tertentu untuk mengkonsumsi hidangan keluarga yang telah disiapkan yaitu kepala keluarga. Anggota keluarga lain menempati prioritas berikutnya dan yang paling umum mendapatkan prioritas terakhir adalah ibu rumah tangga. Apabila hal demikian masih dianut oleh suatu budaya, maka dapat saja terjadi distribusi pangan yang tidak baik antara anggota keluarga. Apabila hal demikian masih dianut oleh suatu budaya, maka dapat saja terjadi distribusi pangan yang tidak baik di antara anggota keluarga. Apabila keadaan tersebut berlangsung dalam waktu yang lama dapat berakibat timbul masalah gizi kurang didalam keluarga yang bersangkutan (Suhardjo, 2003).

  Distribusi makanan akan berpengaruh terhadap anemia pada ibu hamil, hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Juraida Roito Harahap di Kabupaten Kampar dengan hasil yang didapatkan bahwa anemia lebih banyak ditemukan pada ibu hamil yang pembagian makanannnya kurang baik dik arenakan pembagian makanan ini tidak sesuai dengan kebutuhan ibu selama hamil.

  Tradisi pembagian makanan yang mengutamakan kaum pria dibanding dengan wanita terjadi juga di papua yang dibuktikan dengan hasil penelitian Alwi dkk, bahwa 81,37% ibu hamil anemia yang dikarenakan seorang wanita lebih mengutamakan bagian terbaik dari makanan untuk kaum pria walaupun dia sendiri yang mengolah makanan dan dalam keadaan hamil.

2.3. Pemeriksaan Kehamilan (Ante Natal Care)

  Kehamilan merupakan sebuah proses alami yang akan dialami oleh wanita yang telah dewasa dan tidak tergantikan oleh laki-laki. Proses alamiah ini terkadang berjalan tidak semestinya, Sehingga muncul adanya kelainan. Untuk mengantisipasi hal-hal tersebut seorang ibu hamil harus secara rutin memeriksakan kehamilannya kepada dokter, bidan atau petugas kesehatan yang berkompeten. Selain dapat berkonsultasi bermacam hal yang terkait kehamilan, seorang ibu hamil juga dapat mengetahui kondisi kesehatan dirinya maupun janin yang dikandungnya. (Nurhaeni, 2008)

  Pelayanan antenatal selengkapnya mencakup anamnesis, pemeriksaan fisik (umum dan kebidanan), pemeriksaan laboratorium atas indikasi, serta intervensi dasar dan khusus (sesuai risiko yang ada termasuk penyuluhan dan konseling) Akan tetapi dalam penerapan sehari-hari pelayanan antenatal secara minimal terstandar sehingga dapat diakui sebagai pelayanan antenatal. Dalam penerapan operasionalnya dikenal dengan “7T” yang terdiri dari, Timbang berat badan dan ukur tinggi badan, (ukur) Tekanan darah, (ukur) Tinggi fundus uteri (pemeberian imunisasi) Tetanus Toksoid (TT), (pemberian) Tablet Besi, Tes laboratorium, Temu wicara (konseling) (Meilani dkk, 2009)

  Pemeriksaan kehamilan dianjurkan untuk dilakukan oleh ibu hamil minimal 4 kali selama kehamilan. Pemeriksaan pertama atau kunjungan pertama dilakukan sebelum usia kehamilan mencapai 4 bulan atau antara 0-3 bulan (trimester I), kunjungan keuda pada usia kehamilan natara 4-6 bulan (trimester II), sedangkan untuk kunjungan ketiga dan keempat dilakukan pada usia kehamilan 7-9 bulan (trimester III). Pemeriksaan kehamilan dapat dilakukan di Polindes, Posyandu, Puskesmas, Rumah sakit, Praktek dokter atau bidan swasta. (Kusmiyati, 2008).

  Penelitian yang dilakukan Marissa, dkk di kelurahan kramat jati dan ragunan ternyata menunjukkan hasil bahwa 60,0% ibu hamil tidak memeriksakan kehamilannya sesuai anjuran minimal 4 kali selama kehamilan dan 89,0% responden tidak mendapatkan pelayanan “7T” (Jurnal Gizi & Pangan, 2008)

  Penelitian Joeharno (2006), yang menunjukkan bahwa pemanfaatan pelayanan ante natal care merupakan faktor resiko terhadap kejadian BBLR dimana ibu yang tidak melaksanakan pemeriksaan kehamilan secara lengkap beresiko 5 kali untuk melahirkan bayi dengan berat lahir rendah.

  Penelitian yang dilakukan oleh Roudbari di Zahedan Iran tahun 2009, yang manyatakan bahwa ternyata 59% yang mempengaruhi terjadinya BBLR adalah kualitas pemeriksaan kehamilan saat ibu melakukan kunjungan ANC.

2.4. BBLR

  Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) masih merupakan masalah di bidang kesehatan terutama kesehatan perinatal. BBLR terdiri atas BBLR kurang bulan dan BBLR cukup bulan/lebih bulan. BBLR kurang bulan/prematur, biasanya mengalami penyulit, dan memerlu perawatan yang memadai . BBLR yang cukup/lebih bulan umumnya organ tubuhnya sudah matur sehingga tidak terlalu bermasalah dalam perawata nnya.

  BBLR adalah bayi dengan berat lahir kurang dari 2500 gram, berat badan lahir merupakan prediktor yang baik untuk pertumbuhan bayi dan kelangsungan hidupnya. Seorang bayi yang cukup bulan pada umumnya lahir dengan berat badan 2500 gran atau lebih, Bayi dengan berat badan lahir rendah merupakan salah satu faktor resiko yang mempunyai kontribusi terhadap kematian bayi khususnya pada masa perinatal, Angka kejadian dan kematian BBLR akibat komplikasi seperti asfiksia, infeksi, hipotermia, hiperbilirubinemia masih tinggi (Sulani, 2011).

  BBLR termasuk faktor utama dalam peningkatan mortalitas, morbiditas dan disabilitas neonatus, bayi, dan anak serta memberikan dampak jangka panjang terhadap kehidupannya di masa depan. Bayi dengan berat lahir rendah umumnya mengalami proses hidup masa depan kurang baik, memiliki resiko tinggi untuk meninggal dalam usia balita jika dibandingkan dengan bayi non BBLR. Bila tidak meninggal pada awal kelahiran, bayi BBLR akan tumbuh dan berkembang lebih lambat, apalagi jika kekurangan ASI eksklusif dan makanan pendamping ASI yang tidak cukup. Maka bayi BBLR cenderung besar menjadi balita dengan status gizi rendah. Bayi BBLR yang dapat bertahan hidup, dalam lima tahun pertama akan mempunyai resiko lebih tinggi dalam tumbuh kembang secara jangka panjang kehidupannya jika dibandingkan dengan bayi non BBLR (Aisyah, dkk 2010).

  BBLR tergolong kelompok bayi yang mempunyai risiko tinggi untuk mengalami sakit bahkan meninggal karena faktor – faktor yang berpengaruh perlu diperhatikan. Pertumbuhan dan pematangan (maturasi) organ dan alat – alat tubuh bayi yang BBLR belum sempurna akibatnya bayi yang BBLR sering mengalami komplikasi yang berahir dengan kematian Bayi dengan BBLR mempunyai daya tahan tubuh yang rendah sehingga mudah terinfeksi. Risiko meninggal sebelum usia 1 tahun adalah 17 kali lebih tinggi dibandingkan dengan bayi normal. Bayi dengan BBLR cendrung mempunyai pertumbuhan fisik yang terhambat (Nurhaeni Arif, 2008)

  Beberapa penelitian menunujukkan bahwa risiko untuk menjadi gizi kurang 8- 10 kali lebih besar dari anak normal. Tingkat kecerdasan rendah karena adanya gangguan pada tumbuh kembang otak sejak dalam kandungan. Selain itu bayi BBLR dapat mengalami gangguan mental dan fisik pada usia tumbuh kembang selanjutnya sehingga membutuhkan biaya perawatan yang tinggi. Bayi BBLR adalah bayi yang lahir dengan berat badan kurang 2.500 gram tanpa memandang masa kehamilan.

  BBLR dapat dibagi menjadi 2 (dua) golongan, bayi dengan berat berat badan lahir sangat rendah (BBLSR) yaitu dengan yaitu dengan berat lahir 1000 – 1500 gram dan berat badan lahir amat sangat rendah (BBLASR) yaitu dengan berat lahir kurang 1000 gram. Secara umum bayi BBLR ini berhubungan dengan usia kehamilan yang belum cukup bulan (prematur) disamping itu juga disebabkan dismaturitas artinya bayi lahir cukup bulan (usia kehamilan 38 minggu) tapi Berat Badan (BB) lahirnya lebih kecil ketimbang masa kehamilannya, yaitu tidak mencapai 2500 gram (Proverowati & Sulistyorini, 2010)

  BBLR secara tidak langsung dapat disebabkan karena status sosial ekonomi yang rendah hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan Hidayat dkk di RSU Dr. Hasan Sadikin Bandung tahun 2001 dimana ada terjadi peningkatan BBLR pada masa krisis ekonomi, tetapi berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Yuliva dkk, di RSUP Dr. M. Djamil Padang bahwa tidak terdapat perbedaan yang bermakna BBLR antara ibu dengan status sosial ekonomi rendah dengan ibu yang memiliki status sosial ekonomi tinggi hal ini dikarenakan bahwa ibu dengan status sosial ekonomi rendah pada umumnya lebih suka mengkonsumsi makanan dari hasil olahan sendiri berupa makanan yang segar dan alami tanpa adanya bahan pengawet seperti makanan yang siap saji yang tersedia ditoko-toko dan supermarket.

2.5. Landasan Teori

  WHO merumuskan determinan perilaku sangat sederhana. Bahwa seseorang berperilaku karena adanya 4 alasan pokok yaitu: 1) hasil pemikiran dan perasaan. 2) adanya acuan atau refrensi dari seseorang atau pribadi. 3) sumber daya yang tersedia merupakan untuk terjadinya prilaku seseorang. 4) sosio budaya setempat biasanya sangat berpengaruh terhadap terbentuknya prilaku seseorang (Notoatmodjo, 2005).

  M.S. Kramer mengemukakan faktor penyebab terjadinya BBLR adalah faktor genetik, demografi dan psikologi, faktor obstetri, faktor makanan, faktor penyakit ibu, faktor terpapar racun, faktor pemeriksaan kehamilan (Ante Natal Care)

  2.6. Kerangka Teori

Gambar 2.1. Kerangka Teori Penyebab Terjadinya BBLR

  2.7. Kerangka Konsep

  Pengaruh status sosial ekonomi, budaya dan pemeriksaan kehamilan ibu terhadap kejadian BBLR di wilayah kerja Puskesmas Pancur Batu Kabupaten Deli Serdang digambarkan dalam kerangka konsep sebagai berikut : Variabel Independen Variabel Dependen

  • Tingkat Pendidikan - Tingkat Pendapatan (BBLR) Budaya - Pola Makan - Makanan Pantangan
  • Pembagian makanan dalam keluarga
  • Jumlah Kunjungan - Komponen Pemeriksaan (7T)

Gambar 2.2 : Kerangka Konsep Penelitian

  Status Sosial Ekonomi

  Pemeriksaan Kehamilan

  BBLR Genetik Demografi & Psikologi

  Obstetrik Makanan Penyakit Ibu Terpapar Racun Pemeriksaan Kehamilan

  Variabel independen dalam penelitian ini adalah status sosial ekonomi yang terdiri dari pendidikan, pendapatan, budaya yaitu pola makan, makanan pantangan dan pembagian makanan dalam keluarga dan pemeriksaan kehamilan yaitu jumlah kunjungan, komponen pemeriksaan 7T. Variabel dependen adalah BBLR.

  Status sosial ekonomi dilihat dari keadaan masyarakat bahwa ibu memiliki pendidikan yang rendah sehingga pengetahuannya kurang tentang kesehatan terutama kehamilannya dan dengan pendapatan yang rendah daya beli terhadap makanan bergizi juga rendah sehingga kontribusi pada bayi yang dikandungnya beresiko BBLR.

  Budaya tampak dari tradisi pola makan sehari-hari, makanan pantangan dan pembagian makanan dalam keluarga. Akibatnya asupan zat gizi untuk ibu hamil tidak memadai sehingga ibu hamil mengalami anemia dengan kontribusi BBLR pada bayi yang dilahirkan.

  Pemeriksaan kehamilan dilihat dari jumlah kunjungan ibu melakukan pemeriksaan kehamilan selama hamil dan komponen pemeriksaan kehamilan yang didapatkan ibu pada saat melakukan kunjungan pemeriksaan kehamilan.

Dokumen yang terkait

Pengaruh Status Sosial Ekonomi, Budaya Dan Pemeriksaan Kehamilan Ibu Terhadap Kejadian Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) Di Wilayah Kerja Puskesmas Pancur Kabupaten Deli Serdang Tahun 2012

4 68 134

Pengaruh Status Sosial Ekonomi, Budaya dan Pemeriksaan Kehamilan Terhadap Kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Pancur Batu Kabupaten Deli Serdang Tahun 2012

8 64 134

Pengaruh Pemeriksaan Kehamilan (Ante Natal Care) dan Status Gizi pada Ibu Hamil terhadap Luaran Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) di Rumah Bersalin Kota Medan Tahun 2010

0 40 116

Faktor Risiko Kejadian Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan Tahun 2012- 2014

1 25 164

Pertambahan Berat Badan Ibu Hamil dan Kejadian Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR) di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2013-2015

0 7 140

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) 2.1.1 Pengertian - Pengaruh Faktor Gizi, Merokok, Minum Kopi, Minum Teh dan Antenatal Care terhadap Kejadian Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Batang Kuis Kabupate

0 0 21

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Bayi Berat Lahir Rendah - Pengaruh Karakteristik Ibu dan Pelayanan Antenatal Care Terhadap Kejadian Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) di Desa Bukit Rata Kecamatan Kejuruan Muda Kabupaten Aceh Tamiang

0 0 22

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) 2.1.1. Definisi Bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah - Profil Kelahiran Bayi Dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) di RSUP Haji Adam Malik MedanTahun 2011-2012

0 0 6

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) 2.1.1. Definisi Bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah - Profil Kelahiran Bayi Dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) di RSUP Haji Adam Malik Medan Tahun 2011-2012.

0 1 6

BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian - Pengaruh Status Sosial Ekonomi, Budaya Dan Pemeriksaan Kehamilan Ibu Terhadap Kejadian Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) Di Wilayah Kerja Puskesmas Pancur Kabupaten Deli Serdang Tahun 2012

0 0 40