BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karakteristik Tanaman Cabai - Enkapsulasi Bakteri Kitinolitik pada Benih Cabai untuk Menghambat Serangan Sclerotium rolfsii

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Karakteristik Tanaman Cabai

  Cabai merupakan tanaman perdu dari famili terung-terungan (Solanaceae) yang diduga memiliki 90 genus dan sekitar 2.000 spesies yang terdiri dari tumbuhan herba, semak, dan tumbuhan kerdil lainnya. Tanaman cabai sendiri diperkirakan ada sekitar 20 spesies yang sebagian besar tumbuh di tempat asalnya Amerika. Di antaranya yang sudah dimanfaatkan baru beberapa spesies saja, yaitu cabai besar (Capsicum annuum), cabai kecil (Capsicum frustescens), Capsicum baccatum,

  Capsicum pubescens, dan Capsicum chinense (Setiadi, 2004). Beberapa sifat

  tanaman cabai yang dapat digunakan untuk membedakan antar varietas di antaranya adalah percabangan tanaman, pembungaan tanaman, ukuran ruas, dan tipe buahnya (Prajnanta, 1999). Bunga pada tanaman cabai terdapat pada ruas batang dan jumlahnya bervariasi antara 1-8 bunga tiap ruas tergantung pada spesiesnya. Cabai besar (C. Annuum) mempunyai satu bunga tiap ruas, sedangkan cabai rawit (C. frutescens) mempunyai 1-3 bunga tiap ruas. Ukuran ruas tanaman cabai bervariasi dari pendek sampai panjang. Makin banyak ruas makin banyak jumlah bunganya, dan diharapkan semakin banyak pula produksi buahnya. Buah cabai bervariasi antara lain dalam bentuk, ukuran, warna, tebal kulit, jumlah rongga, permukaan kulit dan tingkat kepedasannya.

  Berdasarkan sifat buahnya, terutama bentuk buah, cabai besar dapat digolongkan dalam tiga tipe, yaitu cabai merah, cabai keriting dan cabai paprika (Prajnanta, 1999). Karakteristik agronomi cabai merah (besar) buahnya rata atau halus, agak gemuk, kulit buah tebal, berumur genjah, kurang tahan simpan dan tidak begitu pedas. Tipe ini banyak diusahakan di Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali dan Sulawesi, sedangkan cabai merah keriting buahnya bergelombang atau keriting, ramping, kulit buah tipis, berumur lebih lama, lebih tahan simpan, dan rasanya pedas. Tipe ini banyak diusahakan di Jawa Barat dan Sumatera. Cabai paprika buahnya berbentuk segi empat panjang dan biasa dipanen saat matang hijau (Semangun, 2007). Umur cabai sangat bervariasi tergantung jenis cabai. Tanaman cabai besar dan keriting yang ditanam di dataran rendah sudah dapat dipanen pertama kali umur 70 –75 hari setelah tanam, sedangkan waktu panen di dataran tinggi lebih lambat yaitu sekitar 4 – 5 bulan setelah tanam. Panen dapat terus-menerus dilakukan sampai tanaman berumur 6 – 7 bulan. Pemanenan dapat dilakukan dalam 3 – 4 hari sekali atau paling lama satu minggu sekali (Setiadi, 2004).

  Tanaman cabai akan tumbuh baik pada lahan dataran rendah yang tanahnya gembur dan kaya bahan organik, tekstur ringan sampai sedang, pH tanah berkisar antara 5.5 – 6.8, drainase baik dan cukup tersedia unsur hara bagi

  o

  pertumbuhannya. Kisaran suhu optimum bagi pertumbuhannya adalah 18 – 30 C Secara geografis tanaman cabai dapat tumbuh pada ketinggian 0 – 1200 m di atas permukaan laut. Pada dataran tinggi yang berkabut dan kelembabannya tinggi, tanaman cabai mudah terserang penyakit. Cabai akan tumbuh baik pada daerah yang rata-rata curah hujan tahunannya antara 600–1250 mm dengan bulan kering 3–8,5 bulan dan pada tingkat penyinaran matahari lebih dari 45 % .

2.2. Penyakit Rebah Kecambah (Damping-off) pada Tanaman Cabai Rebah kecambah (damping–off) sering terjadi di persemaian cabai maupun terung.

  Biji dapat membusuk di dalam tanah, atau semai-semai dapat mati sebelum muncul ke permukaan tanah. Batang semai muda yang masih lunak jika terserang rebah kecambah pangkalnya menjadi basah dan mengkerut sehingga menyebabkan semai rebah dan mati (Semangun, 2007).

  Penyakit ini sudah lama dikenal tetapi pada umumnya orang menduga bahwa penyakit ini disebabkan oleh bakteri namun kemudian sudah banyak dilaporkan bahwa penyakit rebah kecambah juga bisa disebabkan oleh jamur patogen tanaman diantaranya dari genus Phytium, Rhizoctonia dan Sclerotium (Singh, 1998; Agrios, 1997). S. rolfsii merupakan salah satu jamur patogen yang dapat menyebabkan rebah kecambah pada tanaman cabai (Semangun, 2007; Lamidi, 1986; Dange, 2006; Yusniawaty, 2009). Jamur ini merupakan jamur tular tanah yang dapat bertahan lama dalam bentuk sklerotia di dalam tanah, pupuk kandang, dan sisa-sisa tanaman sakit. Di samping itu, jamur tersebut dapat menyebar melalui air irigasi dan benih pada lahan yang ditanami secara terus menerus dengan tanaman inang yang sama, sehingga mengakibatkan turunnya produksi tanaman yang akan dipanen (Timper et al., 2001).

  Jamur S. rolfsii menyebabkan gejala rebah kecambah pada persemaian dan busuk batang pada tanaman inang yang lebih tua. Apabila tanaman muda yang terserang maka akan cepat mati, tetapi bila tanaman yang lebih tua terserang, pucuk tanaman menjadi kuning, layu dan kemudian mati. Akibatnya bagian dari batang dan akar pada batas tanah menjadi busuk dan sebagian ditutupi oleh bercak putih yaitu miselium yang berwarna putih (Gambar 1) sampai terbentuk sklerotia coklat (Agrios, 1997).

  Gambar 1. Gejala serangan S. rolfsii adanya miselium pada batang tua (Thu et al., 2013)

  Menurut Maryudani dan Sudarmadi (1976), gejala serangan S. rolfsii mula-mula diawali dengan menguning dan melayunya daun-daun, kemudian diikuti dengan membusuknya batang. Kulit dan kayu pada pangkal batang serta akar tanaman yang terserang rusak. Pada tingkat penyerangan belum lanjut, bila tanaman tersebut dicabut akan terlihat benang-benang halus pada bagian yang sakit. Benang-benang ini berwarna putih dan padanya terdapat butiran yang mula- mula berwarna putih kemudian coklat dan akhirnya coklat tua. Butir ini disebut sklerotium yang sangat mudah terlepas dari benang-benangnya. Miselium putih yang terjalin mengelilingi jaringan tanaman yang terserang sering terlihat seperti jalinan benang halus pada bagian tanaman yang sakit berwarna coklat tua dan dikelilingi oleh benda-benda kecil yang bentuknya menyerupai biji lada, yang dihasilkan pada bagian permukan tanaman yang terinfeksi dan dekat permukaan tanah. Tanaman muda dapat dikelilingi sklerotia dan mati. termasuk dalam subdivisi Deuteromycotina, Kelas

  Sclerotium rolfsii

  Deuteromycetes, subkelas Hyphomycetidae dan ordo Agonomycetales (Alexopoules dan Mims, 1979). S. rolfsii adalah sejenis jamur yang mempunyai miselium yang terdiri dari benang-benang, berwarna putih, tersusun seperti bulu atau kipas. S. rolfsii tidak membentuk spora. Untuk pemencaran dan untuk mempertahankan diri jamur membentuk sejumlah sklerotium yang semula berwarna putih, kelak menjadi coklat. Butir-butir ini mudah sekali lepas dan terangkut oleh air. Sklerotium mempunyai kulit yang kuat sehingga tahan terhadap suhu tinggi dan kekeringan. Di dalam tanah sklerotium dapat bertahan sampai 6 - 7 tahun. Ukuran diameter sklerotia 0,05-2 mm dan bentuk perkecambahan sklerotia dispersif seperti kapas berwarna putih. Ukuran terkecil dari diameter koloni sclerotium adalah 0,61 cm dan ukuran terbesarnya 1,71 cm sedangkan untuk pengukuran kecepatan pertumbuhan miselium yang terlambat adalah 3,1 mm/hari dan yang tercepat adalah 8,54 mm/hari yang dapat dilihat pada hari kedua dan hari ketujuh penelitian (Magenda, 2011).

2.3. Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Jamur

  Sclerotium rolfsii dilaporkan sebagai jamur tular tanah yang menyebabkan

  penyakit pada banyak tanaman khususnya di daerah tropis dan subtropis (Mukherjee dan Raghu, 1997). Perkembangan penyakit tergantung pada lingkungan, kondisi yang sesuai untuk perkembangan penyakit rebah kecambah adalah pada kelembaban relatif (Rh) 12% - 15%. Pertumbuhan optimum S. rolfsii

  o o

  pada suhu 27-30 C dan sklerotia tidak dapat bertahan pada suhu dibawah 0 C sehingga suhu dingin bisa membatasi penyebaran jamur ini (Singleton et al., 1992; Singh, 1998). Sklerotia yang dihasilkan memiliki kemampuan yang baik dalam beradaptasi dengan lingkungan sehingga penyebaran sklerotia di sekitar inang dapat menjangkau wilayah yang cukup luas. Tingkat pertumbuhan sklerotia pada tanah dipengaruhi oleh bentuk perkecambahan hifa, kerusakan jaringan tanaman, dan kelarutan nutrisi (Punja dan Gregon, 1981; Punja et al., 1985).

  Pada media biakan, jamur dapat tumbuh pada pH 1.4 – 8.8 (Agrios, 1997),

  o

  dengan suhu optimum pertumbuhan 30 - 35 C sedangkan suhu minimumnya

  o o

  adalah 8 C dan suhu maksiumnya 40

  C. Hifa vegetatif tidak dapat bertahan pada

  o

  suhu dibawah 0

  C. Pada kondisi tersebut hifa akan mati dalam jangka waktu 24

  o

  jam. Sedangkan sklerotianya dapat tahan selama 48 jam pada suhu -10 C (Watkins, 1961). Miseliumnya mampu tumbuh dan menyerang biji-biji dalam tanah dengan kandungan air yang jauh lebih rendah dari pada kandungan air yang dibutuhkan untuk pertumbuhan biji (Epps et al., 1951). Keadaan suhu, kelembaban dan aerasi yang baik di atas permukaan tanah atau beberapa sentimeter dalam tanah dapat menguntungkan perkembangan miselia jamur dan akan meningkatkan patogenitas jamur. Jamur S. rolfsii memiliki dua fase pertumbuhan yang secara ekologi berbeda. Pertama adalah fase perkembangan miseliun yang berupa miselium putih dan tebal dan sering disebut sebagai jamur putih. Fase tersebut juga dikenal sebagai fase pertumbuhan atau fase patogenik dari jamur. Fase yang kedua adalah fase produksi sklerotia jamur yang memungkinkan jamur dapat bertahan pada keadaan yang tidak cocok (Boyle, 1961).

2.4. Potensi Bakteri sebagai Biokontrol

  Pengendalian secara biologi dengan menggunakan mikroorganisme sudah banyak diteliti. Kepedulian dalam kesehatan dan lingkungan akibat menggunakan fungisida mendorong peneliti dalam mencari alternatif lain untuk mengontrol penyakit dengan menggunakan mikroorganisme sebagai agen biokontrol (Martin dan Hancock, 1987; Wijayanti, 2003; Harni, 2007). Mikroorganisme yang digunakan sebagai agen biokontrol adalah mikroorganisme yang mampu menggunakan dinding sel jamur patogen sebagai sumber nutrisinya. Dinding sel jamur terdiri dari glukan, selulosa, kitin, manosa, glukosa, asam amino dan lemak (Landecker, 1996). Salah satu pengembangan teknologi yang cocok untuk mengendalikan jamur patogen tanaman adalah pemanfaatan mikroba kitinolitik yang memiliki aktivitas kitinase. Mikroba kitinolitik mampu menghidrolisis senyawa kitin yang merupakan salah satu penyusun dinding sel kapang patogen. Terdegradasinya senyawa tersebut menyebabkan jamur patogen menjadi lemah atau mati. Dengan demikian mikroba kitinolitik berpotensi digunakan sebagai biofungisida untuk mengendalikan kapang patogen yang memiliki kitin sebagai struktur dinding selnya (Nildayanti, 2011). Bakteri kitinolitik merupakan mikroba yang memiliki kemampuan mendegradasi kitin karena menghasilkan enzim kitinase. Berbagai kelompok bakteri dilaporkan memiliki aktivitas kitinolitik diantaranya yaitu Pseudomonas fluorescens, Bacillus dan Streptomyces (Djatmiko

  et al., 2007; Papuangan, 2009). Bacillus apiarius (Muharni dan Hary, 2011) Serratia marcescens (Wijayanti, 2003).

  Pengendali hayati patogen tanaman yaitu bakteri yang disebarkan melalui tanah sudah dipelajari sebagai suatu alternatif untuk mengendalikan jamur patogen tanaman. Beberapa bakteri yang dimanfaatkan sebagai biokontrol yaitu P.

  putida terhadap Fusarium oxysporum (Boer et al., 2003), P. fluorescens, Bacillus

  spp, Streptomyces terhadap Ralstonia solanacearum (Djatmiko et al., 2007)

  Lactobacillus plantarum terhadap jamur Fusarium (Laitila et al., 2002). Bacillus subtilis. Bacillus polymixa, dan P. fluorescens), terhadap Xanthomonas oryzae

  dan Rhizoctonia solani (Machmud et al., 2002). Streptomyces RKt5 terhadap F.

  oxysporum (Yurnaliza et al., 2011), Bacillus sp terhadap Vibrio harveyi (Umar,

  2009). Bacillus sp. dan Bacillus apiarius terhadap Rigidoporus lignosus (Muharni dan Hary, 2011). Streptomyces terhadap Colletotrichum sublineolum (Quecine et

  al ., 2008).

  Pemanfaatan bakteri kitinolitik sebagai pengendali jamur patogen tanaman diterapkan dengan cara enkapsulasi pada benih tanaman yang akan dijadikan target penelitian (Bashan, 1986; Schisler et al., 2004; Dawar et al., 2008; Hameeda et al.,2010; Suarez et al., 2011). Metode enkapsulasi ini diharapkan dapat meningkatkan ketahanan benih tanaman terhadap jamur patogen yang menyerang tanaman, sehingga pemanfaatan mikroorganisme sebagai pengendali hayati dapat lebih efektif dan berkesinambungan.

2.5. Enkapsulasi

  Enkapsulasi adalah suatu proses pembungkusan suatu bahan atau campuran beberapa bahan dengan bahan lain. Bahan yang dibungkus atau bahan yang ditangkap biasanya berupa cairan, walaupun ada juga yang berbentuk partikel padat atau gas yang disebut sebagai bahan inti atau bahan aktif atau bahan internal, sedangkan bahan yang berfungsi sebagai pembungkus disebut sebagai dinding atau bahan pembawa atau membran. Proses enkapsulasi banyak digunakan untuk mempertahankan flavor, asam, lipida, enzim, mikroorganisme, pemanis buatan, vitamin, mineral, air, bahan pengembang, warna dan garam (Risch, 1995).

  Ukuran partikel yang dibentuk selama proses enkapsulasi terdiri dari beberapa kisaran ukuran. Apabila ukuran partikelnya > 5000 mm disebut makrokapsul, ukuran partikelnya antara 15 – 20 mikron atau kurang dari setengah diameter rambut manusia disebut mikrokapsul (Yoshizawa, 2004) dan apabila ukuran partikelnya antara <0,2 mm – 2000 Ao disebut nanokapsul (King, 1995). Bentuk enkapsulasi dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu berbentuk bubuk dengan teknik pengeringan dan yang berbentuk cair. Teknik pengeringan yang biasa digunakan untuk enkapsulasi dalam bentuk bubuk adalah pengeringan semprot, sedangkan teknik untuk enkapsulasi dalam bentuk cairan biasanya menggunakan teknik koaservasi (pemisahan fase), emulsi dan ekstruksi dalam bentuk basah. Selain yang telah disebutkan di atas teknik enkapsulasi lain dapat berupa proses suspensi udara (fluidized bed atau spray coating), spray cooling, ekstruksi sentrifugal, pemisahan suspensi rotasional, dan

  spray chilling, kompleksasi inklusi.

  Beberapa bahan yang bisa digunakan untuk enkapsulasi yaitu:

  a. Alginat Alginat adalah zat koloidal hidrofilik yang diekstrasi dari ganggang laut

  Macrocystis pyrifera dan Ascophyllum nodosum yang bersifat biokompatibel dan

  biodegradabel terdiri dari β-D manuronat dan α–L guluronat yang dihubungkan dengan ikatan (1-4) dengan berbagai perbandingan (Colwell et al., 1985). Alginat yang tersedia secara komersial adalah dalam bentuk garamnya yaitu natrium alginat (Gambar 2). Keunikan natrium alginat yaitu perubahannya menjadi hidrogel dengan 95% molekul air di dalamnya, yang merupakan syarat penting untuk penggunaan dalam menjebak senyawa. Ketika natrium alginat bertemu

  • 2

  dengan kation divalent seperti Ca menghasilkan pembentukan gel dimana residu

  • 2 G dari alginat yang mengikat ion Ca (Wang et al., 2006).

  Gambar. 2. Struktur natrium alginat Beberapa contoh penelitian yang menggunakan alginat sebagai bahan enkapsulasi, seperti yang dilakukan oleh Purwandhani et al. (2007) melakukan enkapsulasi sel menggunakan metoda pelapisan (coating), dengan dua metode, yaitu metoda ekstrusi dan emulsi. Pada masing-masing metoda dilakukan enkapsulasi satu lapis (single coating) dan dua lapis (double coating). Metoda satu lapis menggunakan alginat dan metoda dua lapis yaitu menggunakan protein (susu skim) sebagai lapis yang pertama dan alginat sebagai lapisan kedua. Beberapa laporan penelitian lainnya yang telah memanfaatkan alginat sebagai bahan enkapsulasi benih pada beberapa tanaman diantaranya kacang panjang dengan isolat Methylobacterium spp. (Eka, 2009), tomat dengan B. substilis (Suarez et al., 2011), bunga matahari dengan isolat Bacillus thuringiensis (Dawar

  ., 2008), cabai dengan isolat Bacillus sp. (Suryanto et al., 2012), padi dengan

  et al isolat Bacillus megaterium (Chumthong et al., 2008).

  b. Karboksimetil Selulosa (CMC) Karboksimetil selulosa atau Carboxymethyl Cellulose (CMC) banyak digunakan pada berbagai industri seperti: detergen, cat, keramik, tekstil, kertas dan makanan.

  Fungsi CMC disini adalah sebagai pengental, penstabil emulsi atau suspensi dan bahan pengikat (Wijayani et al., 2005). CMC adalah polisakarida anionik linear yang larut dalam air dan merupakan gom alami yang dimodifikasi secara kimia. Bubuk CMC yang telah dimurnikan berwarna putih sampai krem, mengalir bebas, tidak berasa, dan tidak berbau (Yundhana, 2008). Fungsi dasar CMC adalah untuk mengikat air, menstabilkan komponen lain, dan mencegah pengerutan. Struktur CMC mempunyai kerangka D-glukopiranosa yang berikatan β- (1,4) dari polimer selulosa (Gambar 3).

  Gambar. 3 Struktur CMC Perbedaan cara membuat CMC mempengaruhi derajat substitusi, tetapi secara umum derajat substitusi berkisar dari 0.4 sampai 1.4 per unit monomer

  CMC diproduksi dengan cara mencampurkan selulosa dari pulp kayu atau kapas dengan larutan NaOH. Selulosa-alkali ini kemudian direaksikan dengan Namonokloroasetat atau asam monokloroasetat menghasilkan Na- CMC dan NaCl (Awalludin, 2004). Berbeda dengan turunan selulosa lainnya. CMC mengandung garam karboksil yang membuatnya lebih mudah larut dalam air.

  Secara umum larutan CMC dalam air bersifat pseudoplastik, tetapi larutan CMC dengan derajat polimerisasi tinggi dan derajat substitusi rendah menunjukkan sifat tiksotropik. Pada pH rendah, CMC kehilangan viskositasnya dan cenderung mengendap. Stabilitas maksimum CMC terjadi pada pH 7 sampai

  9. CMC dengan tingkat kemurnian tinggi yang dikenal sebagai gom selulosa, telah digunakan secara luas dalam bidang industri makanan dan farmasi. Dalam industri makanan, CMC digunakan sebagai pengental, pencegah pengerutan, dan pencegah pembentukan kristal es. Sifat CMC yang tidak larut dalam asam lambung, tetapi larut dalam cairan basa di usus, menyebabkan CMC digunakan untuk pembuatan tablet atau serbuk obat dengan cara salut enteric (Awalludin 2004).

  Natrium CMC adalah garam dari asam karboksilat. Pada pH 3.0 atau lebih rendah, CMC akan kembali menjadi bentuk asam bebas tidak larut. Sifat yang paling berguna dari CMC adalah daya pengentalannya. Viskositas larutan hampir tidak terpengaruh pada pH 5−7; pada pH<3, viskositas mungkin meningkat dan pengendapan bentuk asam bebas dari CMC dapat terjadi; pada pH>10 terjadi sedikit penurunan viskositas. Viskositas larutan CMC menurun dengan meningkatnya suhu (Yundhana, 2008). Beberapa penelitian yang telah memanfaatkan CMC sebagai bahan enkapsulasi diantaranya pada benih padi dengan isolat P. fluorescens (Nandakumar et al., 2001), benih jagung dengan isolat B. substilis (Muis dan Arcadio, 2006).

  c. Tapioka Tapioka adalah pati yang banyak dihasilkan di Brazil, Thailand, Malaysia, Indonesia, dan Nigeria. Tapioka berasal dari umbi singkong (Manihot esculenta) yang diambil patinya melalui proses penggilingan umbi singkong, dekantasi, pemisahan ampas dengan konsentrat, pengendapan, dan pengeringan (Dziedzic dan Kearsley, 1995). Komponen utama dari tapioka adalah pati, yaitu 73,3– 84,9%, yang terdiri dari amilosa sebanyak 17% dan amilopektin 83%. Selain itu, tapioka juga mengandung lemak sebesar 0,08-1,54%, protein (0,03-0,60%), abu (0,02- 0,33%), dan sedikit fosfor (0,8 -4,0% x 102) (Rickard et al., 1991). Amilosa merupakan bagian polimer linier dengan ikatan α-(1:4) unit glukosa. Derajat polimerisasi (DP) amilosa berkisar antara 500−6.000 unit glukosa (Gambar 4), bergantung pada sumbernya. Adapun amilopektin merupakan

  : :

  polimer α-(1 4) unit glukosa dengan rantai samping α-(1 6) unit glukosa Ikatan α-

  (1 : 6) unit glukosa ini jumlahnya sangat sedikit dalam suatu molekul pati, berkisar antara 4−5%. Namun, jumlah molekul dengan rantai cabang, yaitu amilopektin, sangat banyak dengan DP berkisar antara 105 dan 3x106 unit glukosa (Jacobs dan Delcour, 1998).

  Granula pati tapioka berbentuk semi bulat sampai bulat dengan salah satu dari bagian ujungnya mengerucut dengan ukuran 5-35 mm. Suhu gelatinisasi berkisar antara 52-64

  C, kristalinitas 38%, kekuatan pembengkakan sebesar 42 dan kelarutan 31%. Kekuatan pembengkakan dan kelarutan tapioka lebih kecil dari pati kentang, tetapi lebih besar dari pati jagung (Rickard et al., 1991). Suhu gelatinisasi pati tapioka berada di antara pati jagung waxy dan pati jagung reguler. Viskositasnya lebih rendah dibandingkan dengan pati jagung waxy. Apabila dilakukan pendinginan, larutan pati mengalami retrogradasi untuk menghasilkan suatu gel yang halus. Larutan pati tapioka lebih jernih dibandingkan pati-pati native yang lainnya (National Starch, 2005).

  Gambar. 4. Struktur penyusun pati Pati tapioka dapat digunakan pada industri pangan dan industri nonpangan. Pada industri non-pangan, tapioka digunakan pada industri kertas, tekstil, kayu lapis, farmasi dan komestik, sedangkan pada industri pangan dapat digunakan pada industri bakery, konfeksionari, es krim, saus dan mi instan. Pati tapioka digunakan sebagian besar dalam bentuk pati modifikasinya atau turunannya. Pati tapioka native terbatas penggunaannya pada produk bakery saja. Adapun apabila pati tapioka sudah dimodifikasi, maka dapat digunakan dengan berbagai fungsi, seperti bahan pengisi, pengikat, pembentuk tekstur, stabiliser, pemanis, dan pengganti lemak (Hustiany, 2006). Penggunaan tapioka sebagai bahan enkapsulasi telah dilakukan oleh beberapa peneliti diantaranya Azospirillum brasilense sebagai pupuk organik (Wijayanti, 2010). Benih cabai terhadap F. oxysporum (Suryanto et al., 2012). Enkapsulasi terhadap P. fluorescens dan B. putida (Charpentier et al., 1998).

  d. Gum Arabik Gum arabik telah digunakan selama setidaknya 4.000 tahun (FAO, 1999). Substansi gum Arabik merupakan suatu metabolit sekunder yang dihasilkan olah tanaman yang berasal dari spesies Acacia senegal dan tanaman lainnya yang masih dekat kekerabatannya. Pohon Acacia senegal banyak ditemukan di Sudan, Senegal, Nigeria dan daerah semiarid. Eksudat kering tidak berbau, tidak berwarna dan hambar, dan sering teerjadi sebagai respons terhadap infeksi pada bagian pohon yang luka. Larut dalam air walaupun dalam air dingin dan air panas dengan konsentrasi mencapai 50 %. Viskositas larutan bervariasi tergantung tipe gum arabik, pH dan ikatan ionik. pH memiliki peranan penting dalam memodifiksi viskositas gum arabik. pH < 5 dan pH > 9,5 menyebabkan pengurangan viskositas ion arabates. Namun pH yang mendekati pH netral dapat meningkatkan viskositas gum arabik (Mahmoud, 2000). Viskositas maksimum dicapai antara pH 6 dan 7. Gum arabik digunakan sebagai koloid protektif dan emulsifier.

  Untuk merangsang produksi eksudat ini dapat dilakukan perlukaan pada bagian batangnya. Karakteristik yang membedakannya dengan getah alam adalah bahwa Gum arabik larut dengan cepat dalam air. Gum arabik disebut juga sebagai getah acasia yang merupakan tanaman yang tertua dan paling dikenal dibandingkan tanaman lainnya. Eksudat kering ini diperoleh dari batang dan cabang seyal Acacia senegal atau Acacia (FAO, 1999). Namun, nama ini juga digunakan untuk getah lainnya yang dihasilkan oleh spesies Acacia lainnya (Verbeken et al., 2003). Meskipun ada lebih dari 500 jenis pohon akasia, Gum arabik yang paling banyak dikomersialkan dari Acacia seyal dan Acacia seneal, yang dibudidayakan secara komersial di seluruh Sahel dari Senegal dan Sudan.

  Gum arabik adalah campuran kompleks dari oligosakarida arabinogalactan, polisakarida, glikoprotein. Strukur kimianya bersifat netral atau sedikit asam pada rantai cabang. Komposisi kimia yang terikat pada rantai utama gum arabik berbeda-beda, hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu musim, iklim, umur pohon, curah hujan, waktu eksudasi, dan faktor lainnya. Rantai utama gum arabik terdiri dari β-(1→3) berikatan dengan unit D- galactopyranosyl. Rantai sampingnya terdiri dua sampai lima β-(1→3) berikatan dengan unit D-galactopyranosyl, berikatan dengan rantai utama pada ikatan 1,6. Baik rantai utama dan rantai samping dari gum arabik mengandung unit dari α-L- arabinofuranosyl-, α-L-rhamnopyranosyl, β-D-glucuronopyranosyl, dan 4-O- methyl β-D-glucuronopyranosyl (Gambar 5) (Verbeken et al., 2003; Ali et al., 2009). Tergantung pada sumber tanamannya, glycan pada gum arabik pada seyal acacia mengandung proporsi L-arabinosa yang lebih besar terhadap D-galaktosa (Motlagh et al., 2006; Chaplin, 2007). Penggunaan gum arabik sebagai bahan enkapsulasi mikroba telah banyak dilakukan diantaranya pada benih jagung dengan isolat B. substillis (Muis dan Arcadio, 2006), benih kacang hijau terhadap B. thuringiensis (Sheikh et al., 2006).

  Gambar. 5 Struktur penyusun gum arabik

Dokumen yang terkait

Viabilitas dan Kemampuan Bakteri Kitinolitik Bacillus sp. BK17 dalam Formulasi Tablet untuk Mengurangi Layu Fusarium pada Benih Cabai Merah (Capsicum annuum L.)

1 76 46

Penghambatan Serangan Sclerotium Rolfsii Penyebab Rebah Kecambah pada Kedelai dengan Bakteri Kitinolitik

0 47 50

Viabilitas dan Kemampuan Bakteri Kitinolitik NR09 Dan Bacillus sp. BK17 Pada Berbagai Media Pembawa Dalam Menghambat Pertumbuhan Sclerotium rolfsii Dan Fusarium oxysporum Pada Benih Cabai Merah (Capsicum annuum L.)

0 52 72

Enkapsulasi Bakteri Kitinolitik pada Benih Cabai untuk Menghambat Serangan Sclerotium rolfsii

7 88 67

Penghambatan Layu Fusarium Pada Benih Cabai Merah (Capsicum annuum L.) Yang Dienkapsulasi Alginat-Kitosan Dan Tapioka Dengan Bakteri Kitinolitik

2 54 54

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Jamur Patogen Tanaman - Uji Kemampuan Bakteri Kitinolitik dari Nepenthes tobaica dan Nepenthes gracilis dalam Menghambat Pertumbuhan Beberapa Jamur Patogen Tanaman

0 0 7

Viabilitas dan Kemampuan Bakteri Kitinolitik Bacillus sp. BK17 dalam Formulasi Tablet untuk Mengurangi Layu Fusarium pada Benih Cabai Merah (Capsicum annuum L.)

0 1 8

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Karet - Kemampuan Isolat Bakteri Kitinolitik dalam Mengendalikan Penyakit Jamur Akar Putih (Rigidoporus Microporus) Pada Tanaman Karet

0 0 7

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Mentimun - Pemanfaatan Bakteri Kitinolitik dalam Menghambat Pertumbuhan Curvularia sp. Penyebab Penyakit Bercak Daun pada Tanaman Mentimun

1 3 7

Enkapsulasi Bakteri Kitinolitik pada Benih Cabai untuk Menghambat Serangan Sclerotium rolfsii

0 0 9