BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Demam Berdarah Dengue - Prevalensi Demam Berdarah Dengue Di Kota Medan Berdasarkan Data Di Dinas Kesehatan Kota Medan Tahun 2011

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Demam Berdarah Dengue

  Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah peyakit demam akut disertai dengan manifestasi perdarahan berpotensi menimbulkan syok dan dapat menyebabkan kematian umumnya menyerang pada anak <15 tahun, namun tidak tertutup kemungkinan menyerang orang dewasa. Tanda-tanda penyakit ini adalah demam mendadak 2 sampai dengan 7 hari tanpa penyebab yang jelas, lemah. Lesu, gelisah, nyeri ulu hati. disertai tanda-tanda perdarahan di kulit (petechiae), lebam ( echymosis, ) atau ruam (purpura). Kadang-kadang mimisan, berak darah, kesadaran menurun atau renjatan (shock) (Depkes RI. 2003).

  Menurut WHO dikenal penyakit Demam Dengue (DD). yaitu penyakit akut yang disebabkan oleh virus dengan gejala-gejala seperti sakit kepala, sakit pada sendi, tulang dan otot. Sedangkan DBD ditunjukkan oleh 4 (empat) manifestasi klinis yang utama, demam tinggi, fenomena perdarahan, sering dengan hepatomegali dan tanda-tanda kegagalan sirkulasi darah (WHO. 1997).

2.1.1. Etiologi

  Penyakit demam berdarah dengue pada seseorang disebabkan oleh virus dengue termasuk famili Flaviviridae dan harus dibedakan dengan demam yang disebutkan virus Japanese Encephalitis dan Yellow Fever (demam kuning) (Soegijamu, 2003).

  Demam Berdarah Dengue disebabkan oleh virus dengue yang temasuk kelompok B Arthropoda Borne Virus (Arboviroses). Dikenal sebagai genus

  

FIavivirus , famili Flaviviridae dan mempunyai 4 jeniss serotipe, yaitu : DEN-l.

  DEN-2,. DEN-3 dan DEN 4. Infeksi salah satu serotipe akan menimbulkan anti bodi terhadap serotipe yang bersangkutan, sedangkan antibodi yang terbentuk terhadap serotipe lain sangat kurang, sehingga tidak dapat memberikan perlindungan yang memadai terhadap serotipe yang lain tersebut. Keempat serotipe virus dengue dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. Serotipe DEN-3 merupakan serotipe yang dominan dan diasumsikan banyak yang menunjukkan manifestasi klinis yang berat. Serotipe DEN-3 berasal dari Asia ditemukan pada populasi dengan tingkat imun rendah dengan tingkat penyebaran yang tinggi, meski sudah diketahui sejak 300 tahun yang lalu penanggulangannya belum juga tuntas (Depkes RI 2004).

2.1.2 Patogenesis dan Patofisiologi

  Virus Dengue masuk ke dalam tubuh manusia 1ewat gigitan nyamuk atau Aedes albopictus. Virus merupakan mikroorganisme yang hanya

  Ae.aegypti

  dapat hidup di dalam sel hidup. Maka demi kelangsungan hidupnya, virus harus bersaing dengan sel manusia sebagai pejamu (host) terutama dalam mencukupi kebutuhan akan protein. Persaingan tersebut sangat tergantung pada daya tahan penjamu, bila daya tahan baik maka akan terjadi berlawanan dan tintbul antibody, namun bila daya tahan rendah maka perjalanan penyakit menjadi makin berat dan bahkan dapat menimbulkan kematian (Depkes RI. 2001). Organ sasaran dari virus adalah organ hepar nodus limfaticus, sumsum tulang, serta paru-paru. Data dari berbagai penelitian mnenunjukan bahwa sel-sel monosit dan makrofag mempunyai peranan besar pada infeksi ini. Dalam peredaran darah virus tesebut akan difagosit oleh se1 monosit perifer (Soegijanto, 2003).

  Virus DEN mampu bertahan hidup dan mengadakan multifikasi di dalam sel tersebut. Infeksi virus Dengue dimulai dengan menempelnya virus genom yang masuk ke dalam sel dengan bantuan organel-organel sel, genom virus membentuk komponen-komponennya antara komponen struktural virus. Setelah komponen struktural dirakit virus dilepaskan dari dalam sel. Proses perkembangan virus DEN terjadi di sitoplasma sel. Infeksi oleh satu serotipe virus DEN menimbulkan imunitas protektif terhadap serotipe virus tersebut, tetapi tidak ada “cros protective” terhadap serotipe virus yang lain (Soegijanto. 2003).

  Patogenesis DBD terdapat dua perubahan patofisiologi yang menyolok yaitu : meningkatnya permeabelitas yang mengakibatkan bocornya plasma ke dalam rongga pleura dan rongga peritoneal yang terjadi singkat (24-48jam), hipovolemia dan terjadi syok. Hemostasis abnormal yang disebabkan oleh vaskulopati, trombositopenia dan koagulopati, mendahului terjadinya manifestasi perdarahaan (Depkes RI. 2003).

2.1.3. Nyamuk Aedes Aegypti

  

Aedes aegypti dikenal dengan sebutan black white mosquito atau tiger

mosquito karena tubuhnya memiliki ciri khas yaitu adanya garis-garis dan bercak-

  bercak putih keperakan di atas dasar warna hitam. Sedangkan yang menjadi ciri khas utamanya adalah dua garis lengkung yang berwarna putih keperakan di kedua sisi lateral dan dua buah garis putih sejajar di garis median dari punggungnya yang berwarna dasar hitam (Soegeng, 2006). Spesies nyamuk Aedes aegypti tersebar luas di dunia di daerah yang terletak antara 40° Lintang Utara dan 40° Lintang Selatan, dan hanya hidup pada suhu antara 8°-37° Celcius. Aedes aegypti hidup dan berkembang biak di tempat yang berair bersih. Masa pertumbuhan nyamuk Aedes aegypti dapat dibagi menjadi 4 tahap, yaitu telur, larva, pupa, dan dewasa, sehingga termasuk metamorfosis sempurna (Wulandari, 2001).

  A.

  Telur Telur nyamuk Aedes aegypti berbentuk ellips atau oval memanjang, warna hitam, ukuran 0,5–0,8 mm, permukaan poligonal, tidak memiliki alat pelampung, dan diletakkan satu per satu pada benda–benda yang terapung atau pada dinding bagian dalam tempat penampungan air (TPA) yang berbatasan langsung dengan permukaan air. Telur yang dilepas, sebanyak 85% melekat di TPA, sedangkan 15% lainnya jatuh ke permukaan air. Telur nyamuk ini dalam keadaan kering mampu tetap hidup selama bertahun-tahun di berbagai tempat berair bersih. Nyamuk dewasa memerlukan waktu 7 hari untuk mengeluarkan telur (Soegeng, 2006).

  B.

  Larva Telur berkembang menjadi larva setelah 1-2 hari, larva nyamuk

  Aedes aegypti tubuhnya memanjang tanpa kaki dengan bulu-bulu sederhana yang tersusun bilateral simetris. Larva ini dalam pertumbuhan dan perkembangannya mengalami 4 kali pergantian kulit (ecdysis), dan larva yang terbentuk berturut-turut disebut larva instar I, II, III, IV. Larva instar I, tubuhnya sangat kecil, warna transparan, panjang 1-2 mm, duri- duri (spinae) pada dada (thorax) belum begitu jelas, dan corong pernapasan (siphon) belum menghitam. Larva instar II dan III bertambah besar, ukuran 2,5 – 3,9 mm, duri dada belum jelas, dan corong pernapasan sudah berwarna hitam. Larva instar IV telah lengkap struktur anatominya dan tubuhnya dapat dibagi menjadi bagian kepala (chepal), dada (thorax), dan perut (abdomen) (Soegeng, 2006).

  C.

  Pupa Larva berkembang menjadi pupa selama 4–9 hari, pupa nyamuk

  Aedes aegypti bentuk tubuhnya bengkok, dengan bagian kepala–dada

  (cephalothorax) lebih besar bila dibandingkan dengan bagian perutnya, sehingga tampak seperti tanda baca ”koma”. Pada bagian punggung (dorsal) dada terdapat alat pernapasan seperti terompet. Pada ruas perut ke- 8 terdapat sepasang alat pengayuh yang berguna untuk berenang. Alat pengayuh tersebut berjumbai panjang dan bulu di nomor 7 pada ruas perut ke–8 tidak bercabang (Soegeng, 2006).

  D.

  Dewasa Pupa berkembang menjadi dewasa setelah 2–3 hari, tubuh nyamuk dewasa Aedes aegypti tersusun dari tiga bagian, yaitu kepala, dada dan perut. Pada bagian kepala terdapat sepasang mata majemuk dan antena yang berbulu. Bagian mulut nyamuk betina tipe penusuk–penghisap (piercing–sucking) dan termasuk lebih menyukai manusia (anthropophagus), sedangkan nyamuk jantan bagian mulutnya lebih lemah sehingga tidak mampu menembus kulit manusia, karena itu tergolong lebih menyukai cairan tumbuhan (phytophagus) (Soegeng, 2006).

2.1.4. Tanda dan Gejala Klinik

  Menurut Soeaijanto (2003) gejala klinik utama pada DBD adalah deman dan manifestasi perdarahan baik yang timbul secara spontan maupun setelah uji

  torniquet.

  Gejala klinik : 1. Demam tinggi mendadak yang berlangsung selama 2-7 hari 2. Manifestasi perdarahan a.

  Uji torniquet positif b. Perdarahan spontan berbentuk purpura, ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis, melena.

3. Hepatomegali 4.

  Ranjatan, nadi cepat dan lemah, tekanan nadi menurun (< 20 mmHg) atau nadi tak teraba, kulit dingin dan anak gelisah.

  Menurut Depkes RI (2003), secara klinis ditemukan demam, suhu tubuh

  O O

  pada umumnya antara 39 C – 40 C menetap 5 – 7 hari, pada fase awal demam terdapat ruam yang tampak di muka, leher dan dada. Selanjutnya pada fase penyembuhan suhu turun dan timbul patekia yang menyeluruh pada tangan dan kaki. Perdarahan pada kulit pada DBD terbanyak dilakukan uji tourniquet positif.

  Diagnosis DBD ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis WHO tahun 1997 terdiri dari kriteria dan laboratorium. Penggunaan kriteria ini dimaksudkan untuk mengurangi diagnosis yang tidak berhubungan dengan penyakit DBD (over diagnosis) .

  1. Kriteria klinis tersebut seperti demam tinggi tanpa sebab yang jelas yang berlangsung 2 - 7 hari. Terdapat manifestasi perdarahan yang ditandai dengan uji tourniquet positif, petechiae, echymosis, pupura, perdarahan mukosa, epitaksis, perdarahan gusi, hematemesis dan melena, pembesaran hati. Adanya syok yang ditandai dengan nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi, hipotensi, kaki dan tangan dingin, kulit lembab dan penderita tampak gelisah.

  2. Kriteria laboratorium seperti trombositopenia 100.000 sel/ml atau kurang dan hemokonsentrasi yang dapat dilihat dari peningkatan hemotokrit 20% atau lebih. Dua kriteria klinis ditambah peningkatan hemotokrit cukup teknik menegakkan diagnosa klinss DBD. WHO (1997) membagi derajat DBD dalam 4 (empat) tingkat, yaitu sebagai berikut: tidak khas dan satu-satunya

   Derajat I : Demam disertai gejala manifestasi perdarahan ialah uji tourniquet positif.  Derajat II : Derajat I disertai perdarahan spontan di kulit dan atau pendarahan lain.  Derajat III : Ditemukannya kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lembut, tekanan nadi menurun (< 20 mm Hg) atau hipotensi disertai kulit yang dingin, lembab dan penderita menjadi gelisah.

   Derajat IV : Renjatan berat dengan nadi yang tidak dapat diraba dan tekanan darah yang tidak dapat diukur.

2.1.5. Mekanisme Penularan

  Faktor-faktor yang memegang peranan dalam penularan infeksi virus dengue yaitu manusia, vektor perantara dan lingkungan. Virus dengue ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk Ae. aegypti. Nyamuk Aedes tersebut mengandung virus dengue pada saat menggigit manusia yang sedang mengalami viremia. Kemudian virus yang berada di kelenjar liur berkembang biak dalam waktu 8 - 10 hari (Extrinsic incubation period) sebelum dapat ditularkan kembali kepada manusia pada gigitan berikutnya. Virus dalam tubuh nyamuk betina dapat ditularkan kepada telurnya (transavaria transmition) namun perananya tidak penting (Suroso, 2000). Sekali virus dapat masuk dan berkembang biak dalam tubuh nyamuk maka nyamuk tersebut akan dapat menularkan virus selama hidupnya (infiktif). Dalam tubuh manusia virus memerlukan waktu tunas 4- 6 hari (intrinsik incubation period) sebelum menimbulkan penyakit.

  Seseorang di dalam darahnya mengandung virus dengue menimpakan sumber penularan penyakit DBD. Virus dengue berada dalam darah selama 4 - 7 hari setelah 1 sampai 2 hari baru mulai demam. Bila penderita tersebut digigit nyamuk penular, maka virus dalam darah akan ikut terhisap masuk ke dalam lambung nyamuk. Selanjutnya virus akan memperbanyak diri dan tersebar diberbagai jaringan tubuh nyamuk temasuk di dalam kelenjar liurnya.

  Penularan ini dapat terjadi setiap nyamuk menusuk (menggigit), sebelum rnenghisap darah, nyamuk akan mengeluarkan air liur rnelalui saluran alat hisapnya (proboscis), agar darah yang dihisap tidak membeku. Bersama air liur inilah virus dengue dipindahkan kepada orang lain (Depkes RI, 2004c).

2.1.6. Tempat Potensial bagi Penularan Nyamuk DBD

  Penularan nyamuk DBD dapat terjadi di semua tempat yang terdapat nyamuk penularnya. Tempat-tempat potensial untuk terjadinya penularan DBD adalah : Tempat-tempat umum merupakan tempat berkumpulnya orang-orang yang datang dari berbagai wilayah sehingga kemungkinan terjadinya pertukaran beberapa tipe virus dengue cukup besar yaitu : 1.

  Sekolah Anak sekolah merupakan kelompok umur yang paling rentan untuk terserang penyakit DBD.

  2. Puskesmas/Rumah sakit dan Unit pelayanan kesehatan lainnya Orang datang dari berbagai wilayah dan kemingkinan diantaranya adalah penderita DBD, demam dengue (DD) atau carrier virus dengue.

  3. Tempat-tetnpat umum lainnya : a.

  Tempat-tempat perbelanjaan, pasar, restoran, hotel, bioskop dan tempat-tempat ibadah.

  b.

  Wilayah rawan DBD (endemis) c. Pemukiman baru di pinggir kota.

  Pada daerah ini penduduk umumnya berasal dari berbagai wilayah yang 2.1.7.

   Pengobatan Penyakit DBD

Haus dan dehidrasi terjadi akibat demam tinggi, anoreksia dan muntah.

  Sehingga masukan cairan per oral harus diberikan. Penggantian larutan elektrolit atau jus buah lebih dipilih dari pada air. Selama fase demam akut terdapat resiko kejang. Antipirektik dapat diberikan pada pasien hiperpireksia, terutama bagi mereka yang memiliki riwayat kejang demam. Parasetamol lebih dipilih untuk menurunkan demam tetapi harus digunakan selama suhu tubuh lebih tinggi 39° C, tetapi tidak lebih dari 6 dosis dalam 24 jam (WHO, 1999). Pasien harus diobservasi dengan ketat terhadap tanda–tanda syok. Periode kritis adalah transisi dari demam ke fase tidak demam, dimana biasanya terjadi setelah hari ketiga. Penentuan hematokrit adalah pedoman penting untuk terapi pada tahap ini, karena pemeriksaan ini secara tidak langsung menunjukkan derajat rembesan plasma dan menunjukkan kebutuhan terhadap cairan intravena. Peningkatan hematokrit harus didahului dengan perubahan tekanan darah dan nadi. Hematokrit harus ditentukan setiap hari dari hari ketiga penyakit sampai demam pasien berkurang selama 1 atau 2 hari (Hadinegoro, 1999). Terapi cairan parenteral dapat diberikan di unit rehidrasi pasien rawat jalan untuk pasien yang demam, muntah, atau anoreksianya menimbulkan dehidrasi. Cairan yang digunakan untuk mengatasi dehidrasi dipilih sesuai dengan sifat kehilangan cairan, berupa cairan Kristaloid (Ringer Laktat, Ringer Asetat, dan NaCl) dan Koloid (Dekstran 40 dan Plasma). Antibiotik dapat diberikan apabila terjadi infeksi sekunder, untuk pemberian oksigen diberikan pada saat pasien syok atau pingsan (Soegeng, 2006).

2.1.8. Pencegahan Penyakit DBD

  

Sebagaimana telah diketahui Aedes aegypti merupakan vektor utama

  penyakit DBD. Untuk mengatasi penyakit DBD sampai saat ini belum ada cara yang efektif, karena sampai saat ini masih belum ditemukan obat anti virus dengue. Oleh karena itu perlu dipikirkan cara penanggulangan penyakit DBD dengan melalui pengendalian terhadap nyamuk Aedes aegypti. (Dinkes Medan, 2010).

  A.

  Pengendalian Secara Lingkungan menurut WHO (2004), adalah: 1. Tempat penyimpanan air

  Sumber utama perkembangbiakan Aedes aegypti disebagian besar daerah perkotaan di Asia Tenggara adalah wadah penyimpanan air untuk kebutuhan rumah tangga yang mencakup gentong air dari tanah liat, dan tempat–tempat penampungan air lainnya yang dapat menampung 200 liter air. Jika persediaan air pipa tidak ada dan hanya keluar pada jam–jam tertentu atau tekanan airnya rendah, ada anjuran untuk menyimpan air dalam berbagai jenis wadah. Hal ini akhirnya akan memperbanyak tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti. Sebagian besar wadah yang digunakan memliki ukuran yang besar dan berat dan tidak mudah untuk dibuang dan dibersihkan.

  2. Pot / vas bunga dan jebakan semut Pot bunga, vas bunga, dan jebakan semut merupakan tempat utama perkembangbiakan Aedes aegypti. Benda–benda tersebut harus dilubangi untuk saluran air keluar. Tindakan lainnya, bunga hidup dapat ditempatkan di atas wadah yang berisi pasir atau air. Bunga tersebut harus diganti dan dibuang setiap minggu dan vas digosok serta dibersihkan sebelum dipakai kembali.

  3. Bagian luar bangunan Desain bangunan penting untuk mencegah perkembangbiakan nyamuk

  Aedes aegypti . Pipa aliran air talang atap sering tersumbat dan menjadi

  lokasi perkembangbiakan nyamuk. Dengan demikian perlu dilakukan pemeriksaan berkala terhadap bangunan selama musim hujan untuk menemukan lokasi potensial perkembangbiakan.

  4. Pembuangan sampah padat Sampah padat, seperti kaleng, botol, ember, atau benda tak terpakai lainnya yang berserakan di sekeliling rumah harus dibuang dan dikubur di tempat penimbunan sampah. Barang–barang pabrik dan gudang yang tak terpakai harus disimpan dengan benar sampai saatnya dibuang. Peralatan rumah tangga dan kebun (ember, mangkuk, dan alat penyiram tanaman) harus disimpan dalam kondisi terbalik untuk mencegah tergenangnya air.

  Botol kaca, kaleng, dan wadah lainnya harus ditimbun di tempat penimbunan sampah atau dihancurkan dan didaur ulang untuk industri.

  5. Ban bekas Ban bekas kendaraan merupakan lokasi utama perkembangbiakan nyamuk Aedes aegytpi di daerah pertokoan sehingga menimbulkan suatu masalah kesehatan masyarakat yang penting. Depot ban bekas harus tertutup untuk mencegah tergenangnya air hujan dalam ban.

  6. Pengisian rongga pada pagar Pagar yang terbuat dari kayu berongga seperti bambu harus dipotong di bagian ruasnya, dan rongga yang tampak harus diisi dengan pasir, pecahan kaca, atau beton agar tidak menjadi habitat Aedes aegypti.

  B.

  Pengendalian Secara Kimiawi menurut WHO (2004), adalah: 1. Pemberian larvasida kimiwawi

  Pemberian larvasida pada nyamuk Aedes aegypti biasanya terbatas pada wadah air yang digunakan di rumah tangga yang tidak dapat dihancurkan, dimusnahkan, ataupun dikelola. Larvasida kimiawi paling baik digunakan dalam situasi saat hasil surveilans penyakit dan vektor menunjukan adanya periode tertentu yang memiliki rasio tinggi.

  2. Butiran pasir temefos 1% Butiran pasir temefos 1% diberikan pada wadah dengan menggunakan sendok plastik penakar untuk memberikan dosis 1 ppm.

  Dosis ini terbukti ampuh untuk 8–12 minggu, terutama dalam gentong tanah liat yang memiliki lubang aliran, dalam pola penggunaan air yang normal.

  3. Pengaturan pertumbuhan serangga Pengatur pertumbuhan serangga (insect growth regulator, IGRs) akan mengganggu perkembangan tahap imatur nyamuk dengan memutus sintensis kitin selama proses pergantian kulit atau pada saat pembentukan pupa atau dalam proses pengalihan ke nyamuk dewasa.

  4. Pengasapan wilayah Metode ini melibatkan pengasapan droplet–droplet kecil insektisida ke dalam udara untuk membunuh nyamuk dewasa, teknik ini sudah dijadikan metode utama pengendalian DBD di beberapa negara selama 25 tahun.

  Sayangnya, hasilnya tidak begitu memuaskan, ditunjukkan dengan adanya peningkatan dramatis insidensi DBD dalam waktu yang bersamaan.

  5. Pengasapan dengan uap panas Pengasapan dengan uap panas mengandung insektisida yang biasanya diproduksi saat formulasi yang sesuai berkondensasi setelah diuapkan dalam suhu yang tinggi. Umumnya, mesin pengasapan dengan uap panas menerapkan prinsip denyut resonansi untuk menghasilkan gas panas (di atas 200°C) dengan kecepatan tinggi. Gas ini akan mengatominasi formula insektisida dengan cepat sehingga langsung menguap dan berkondensasi dengan cepat. Formulasi pengasapan dengan uap panas dapat didasarkan pada minyak atapun air. Formulasi yang di dasarkan pada minyak (diesel) akan menghasilkan kabut asap putih yang tebal, sedangkan yang didasarkan pada air akan menghasilkan kabut tipis berwarna.

  6. Penerapan dari rumah ke rumah dengan menggunakan peralatan yang portabel Unit pengasapan yang portabel dapat digunakan jika wilayah yang akan ditangani tidak terlalu besar atau wilayah yang tidak dapat digunakan mesin diatas kendaraan secara efektif. Peralatan ini ditujukan untuk penggunaan luar ruangan yang terbatas dan untuk ruangan yang tertutup (bangunan) dengan ukuran tidak kurang dari 14 m³.

  7. Pengasapan dari kendaraan Kendaraan bergenarator aerosol dapat digunakan untuk daerah perkotaan atau pinggiran kota dengan kondisi jalan yang baik. Satu mesin dapat mencakup 1.500–2.000 rumah (kurang dari 80 ha) sehari. Waktu terbaik untuk menerapkannya adalah pada pagi hari atau sore hari.

  C.

  Pengendalian Secara Biologis menurut WHO (2004), adalah: 1. Ikan

  Ikan pemakan larva (Gambusia affinis dan Poecillia reticulata) sebagai predator pemangsa nyamuk Aedes aegypti. Sudah semakin banyak digunakan untuk mengendalikan nyamuk Aedes aegypti di kumpulan air yang banyak atau dikontainer air yang besar di negara–negara Asia

  Tenggara. Kegunaan dan efisiensi alat pengendali ini bergantung pada jenis pelampung yang dipakai.

  2. Bakteri Ada dua spesies bakteri penghasil endotoksin, Bacillus thuringiensis streotipe H-14 (Bt.H-14) dan Bacillus sphaerius (Bs) adalah agens yang efektif untuk mengendalikan nyamuk. Bt.H-14 terbukti paling efektif terhadap nyamuk Aedes stephensi dan Aedes aegypti, sedang kan Bs paling efektif terhadap nyamuk Cullex quinquefasciatus. Bt.H-14 memiliki kadar toksisitas yang sangat rendah terhadap mamalia dan telah diterima sebagai preparat pengendali populasi nyamuk dalam penampung air untuk kebutuhan rumah tangga.

  3. Perangkap telur autosidal Metode perangkap telur autosidal (perangkap telur pembunuh) menunjukkan hasil yang memuaskan sebagai alat pengendali dalam pemberantasan nyamuk Aedes aegypti. Hasil lebih baik diharapkan jika jumlah larva yang potensial berkurang, atau semakin banyak perangkap autosidal yang ditempatkan di wilayah pengawasan. Akan tetapi, keberhasilan penerapan metode perangkap nyamuk autosidal ini bergantung pada jumlah alat yang dipasang, lokasi pemasangan, dan daya tarik bagi nyamuk Aedes aegypti betina sebagai tempat bertelur.

  D.

  Perlindungan Diri menurut WHO (2004), adalah: 1. Pakaian pelindung

  Pakaian mengurangi resiko tergigit nyamuk, jika pakaian cukup tebal atau longgar. Baju lengan panjang dan celana panjang dengan kaus kaki dapat melindungi tangan dan kaki, yang merupakan tempat paling sering terkena gigitan nyamuk. Menambahkan zat kimia pada pakaian, misalanya dengan permentrin, merupakan tindakan yang sangat efektif untuk mencegah gigitan nyamuk

  2. Tikar, obat nyamuk bakar, dan aerosol Produk insektida untuk konsumsi rumah tangga, seperti obat nyamuk bakar, semprotan piretrum, dan aerosol sudah banyak dipakai untuk perlindungan diri terhadap nyamuk. Raket beraliran listrik dan obat nyamuk beraroma merupakan temuan baru yang praktis dipasarkan disemua daerah perkotaan.

3. Insektisida untuk kelambu dan gorden

  Kelambu yang diberi insektisida (insecticide-treated mosquito nets,

  ITMN) kegunaannya sangat terbatas dalam program pengendalian penyakit DBD karena nyamuk Aedes aegypti mengigit di siang hari. Akan tetapi, kelambu ini dapat memberikan pelindungan yang efektif bagi bayi dan orang yang tidur di siang hari.