Pengaruh Keadaan Iklim terhadap Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kota Medan

(1)

PENGARUH KEADAAN IKLIM TERHADAP KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI KOTA MEDAN

TESIS

Oleh

SYAFRIDA HANIM SARAGIH 117032179/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

THE INFLUENCE OF CLIMATE ON THE INCIDENT OF DENGUE HEMORRHAGIC FEVER (DHF) IN MEDAN

THESIS

BY

SYAFRIDA HANIM SARAGIH 117032179/IKM

MAGISTER OF PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM FACULTY OF PUBLIC HEALTH

UNIVERSITY OF SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

PENGARUH KEADAAN IKLIM TERHADAP KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI KOTA MEDAN

T E S I S

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Manajemen Kesehatan Lingkungan Industri

pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

Oleh

SYAFRIDA HANIM SARAGIH 117032179/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N


(4)

Judul Tesis : PENGARUH KEADAAN IKLIM TERHADAP KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI KOTA MEDAN Nama Mahasiswa : Syafrida Hanim Saragih

NIM : 117032179

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi : Manajemen Kesehatan Lingkungan Industri

Menyetujui Komisi Pembimbing

( Prof. Dr. Ir. Darma Bakti, M.S )

Ketua Anggota

( dr. Taufik Ashar, M.K.M )

Dekan,

( Dr. Drs. Surya Utama, M.S )


(5)

Telah diuji

Pada Tanggal : 30 Juli 2013

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Ir. Darma Bakti, M.S Anggota : 1. dr. Taufik Ashar, M.K.M

2. Ir. Indra Chahaya, M.Si 3. Ir. Evi Naria, M.Kes


(6)

PERNYATAAN

PENGARUH KEADAAN IKLIM TERHADAP KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI KOTA MEDAN

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka.

Medan, Oktober 2013

(Syafrida Hanim Saragih 117032179/IKM


(7)

ABSTRAK

Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit menular disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui nyamuk Aedes aegypti banyak ditemukan di daerah beriklim tropis dan subtropis. Faktor yang memengaruhi penyakit DBD adalah faktor iklim. Prevalensi DBD di Indonesia menempati urutan kedua dari sepuluh penyakit rawat inap di Rumah Sakit.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh keadaan iklim lingkungan terhadap kejadian DBD di Kota Medan. Metode penelitian ini adalah studi ekologi komparasi multi group. Objek penelitian adalah seluruh data iklim kota Medan yang tercatat di Stasiun Klimatologi Sampali Medan dan data kasus DBD yang tercatat di bidang Pengendalian Masalah Kesehatan Dinas Kesehatan Kota Medan. Analisis data menggunakan uji regresi linier ganda.

Hasil penelitian menunjukkan variabel iklim di Kecamatan Medan Barat yaitu temperatur udara (p=0,000),variabel iklim di Kecamatan Medan Perjuangan yaitu temperatur udara (p=0,012), kelembaban udara (p=0,007) memiliki pengaruh terhadap kejadian DBD. Sedangkan tidak ada variabel iklim di Kecamatan Medan Tuntungan yang berpengaruh terhadap kejadian DBD. Di Kecamatan Medan Barat variabel curah hujan (p=0,447), kelembaban udara (p=0,058), kecepatan angin (p=0,165), di Kecamatan Medan Perjuangan variabel curah hujan (p=0,871), kecepatan angin (p=0,875) yang tidak memiliki pengaruh terhadap kejadian DBD.

Variabel yang dominan berpengaruh terhadap kejadian DBD di Kecamatan Medan Barat adalah kecepatan angin dengan nilai koefisien (Exp.β) -2,943. Di Kecamatan Medan Perjuangan kelembaban udara dengan nilai koefisien (Exp.β) 0,512.

Disarankan kepada Program Pengendalian Masalah Kesehatan Dinas Kesehatan Kota Medan, agar melaksanakan kegiatan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) pada bulan Mei, Juni, Juli di Kecamatan Medan Barat, Medan Perjuangan dan Medan Tuntungan mengingat pada bulan tersebut kejadian Demam Berdarah Dengue meningkat.


(8)

ABSTRACT

Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) is a contagious disease which is caused by dengue virus and infected through Aedes aegypti mosquitoes; this kind of mosquitoes is mostly found in the tropical and subtropical regions. One of the factors which cause hemorrhagic fever is climate. The prevalence of DHF in Indonesia ranks second to ten of inpatient illness in hospitals.

The aim of the research was to analyze the influence of climate on the incidence of DHF in Medan. The research used comparative ecology study of multi group method. The object of the research was all climatologic data in Medan listed in Sampali Climatology Station Medan and the data of DHFcases found in the field of Controlling Health Problems at Healthy Department of the city of Medan. The data were analyzed by using multiple linear regression tests.

The result of the research showed that the variable of air temperature (p=0.000) in Medan Barat Subdistrict and the variables of air temperature (p=0.012) and humidity (p=0.007) in Medan Perjuangan Subdistrict had influence on the incident of DHF, while there was no variable of climate in Medan Tuntungan Subdistrict which influenced the incident of DHF. The variables of rainfall (p=0.447), humidity (p=0.058) and the velocity of wind (p=0.165) in Medan Barat Subdistrict and the variables of rainfall (p=0.871) and the velocity of wind (p=0.875) in Medan Perjuangan Subdistrict did not have any influence on the incident of DHF.

The result of dominant variable showed that the influence on the incident of DHF in Medan Barat Subdistrict was velocity of wind with coefficient value (Exp.β) of -2.943. The variable which had the most dominant influence on the incident of DHF in Medan Perjuangan Subdistrict was humidity with coefficient value (Exp.β) of 0.512.

Is suggested to Program Operation Problem Healthy Department of the city Medan, executing activity Eradication of Den Mosquito (PSN) in May, June, July in District of Medan Baratt, Medan Perjuangan and Medan Tuntungan remember the in occurence of Dengue mount.


(9)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmatNya penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul “Pengaruh Keadaan Iklim terhadap Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kota Medan” tepat pada waktunya.

Penulis menyadari bahwa apa yang disajikan dalam Tesis ini masih terdapat banyak kekurangan yang harus diperbaiki. Untuk itu penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Darma Bakti, M.S dan dr. Taufik Ashar, M.K.M selaku dosen pembimbing yang selalu meluangkan waktu untuk membimbing penulis sehingga penulisan tesis ini selesai.

Dalam penulisan Tesis ini, penulis banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak untuk itu pada kesempatan ini penulis juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A (K), Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Dr. Drs. Surya Utama, MS selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

3. Dr. Ir. Evawany Y Aritonang, M.Si selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.


(10)

4. Ir. Indra Chahaya, M.Si dan Ir. Evi Naria, M.Kes selaku dosen penguji yang telah banyak memberikan arahan dan masukan demi kesempurnaan penulisan tesis ini.

5. Ir. Manat Panggabean Selaku Kepala Seksi Data dan Informasi Stasiun Klimatologi Kelas I Sampali Medan yang telah berperan dalam membantu penulis menyelesaikan penulisan tesis ini.

6. drg. Hj. Usma Polita Nasution, MKes Selaku Kepala Kepala Dinas Kesehatan Kota Medan yang telah berperan dalam membantu penulis menyelesaikan penulisan tesis ini.

7. dr. Erna Ningsih selaku Kepala Puskesmas Sei Rampah yang telah memberi izin kepada penulis untuk menyelesaikan pendidikan ini.

8. Kedua orang tua tercinta ayahanda M. Saragih dan Ibunda Aliyah yang senantiasa memberi perhatian dukungan serta doa selama penulis dalam masa pendidikan dan dapat menyelesaikan penulisan tesis ini dan rekan-rekan seperjuangan Mahasiswa Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat angkatan 2011.

Penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis sangat mengharapkan saran serta masukan yang mendukung. Harapan penulis, semoga tesis ini bermanfaat bagi pembaca.

Medan, Oktober 2013 Penulis

Syafrida Hanim Saragih 117032179


(11)

RIWAYAT HIDUP

Syafrida Hanim Saragih dilahirkan di Desa Bantan pada tanggal 31 Mei 1985, anak kedua dari pasangan Ayahanda M. Saragih dan Ibunda Aliyah. Anak ke 2 dari 3 bersaudara dr. Elviana Saragih dan Lely Saragih AMKeb.Memulai pendidikan di SD Negeri No.104314 Kp. Bantan lulus tahun 1996, melanjutkan pendidikan di SLTP Negeri 1 Martebing Dolok Masihul lulus tahun 2000, melanjutkan pendidikan di SMU Negeri 1 Dolok Masihul lulus tahun 2003. Kemudian melanjutkan pendidikan di Akademi Kebidanan Deli Husada Deli Tua Medan selesai tahun 2006, tahun 2007 melanjutkan ke pendidikan S1 di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara selesai tahun 2010. Selanjutnya meneruskan pendidikan di Sekolah Pasca Sarjana tahun 2011 sampai sekaraang.

Pernah bekerja sebagai pegawai di Klinik Bersalin Restu Bunda Medan pada tahun 2006, selanjutnya bekerja di Puskesmas Dolok Masihul sejak tahun 2007 – 2010, kemudian bekerja sebagai staf pengajar di Akademi Kebidanan Budi Mulia Medan tahun 2010 - 2011, selanjutnya tahun 2011 pindah ke Puskesmas Sei Rampah Kabupaten Serdang Bedagai sampai dengan sekarang.


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1.Latar Belakang ... 1

1.2.Permasalahan ... 7

1.3.Tujuan Penelitian ... 7

1.4.Hipotesis ... 7

1.5.Manfaat Penelitian ... 8

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1. Demam Berdarah Dengue (DBD) ... 9

2.1.1. Definisi ... 9

2.1.2. Epidemiologi Demam Berdarah Dengue... 9

2.2. Vektor Penularan DBD ... 13

2.2.1. Karakteristik Nyamuk Aedes aegypti ... 14

2.2.2. Taksonomi dan Morfologi ... 14

2.2.2.1. Taksonomi ... 14

2.2.2.2. Morfologi ... 15

2.2.3. Siklus Hidup Nyamuk ... 16

2.2.4. Etiologi ... 18

2.2.5. Manifestasi Klinis DBD ... 18

2.2.6. Gejala Demam Berdarah Dengue ... 19

2.2.7. Mekanisme Penularan... 20

2.2.8. Patogenesis dan Patofisiologi... 23

2.2.8.1. Patogenesis ... 23

2.2.8.2. Patofisiologi ... 24

2.2.9. Gambaran Klinis ... 24


(13)

2.2.11. Pengendalian Vektor... 26

2.3. Ekologi Vektor ... 27

2.3.1. Faktor Host (Penjamu) ... 29

2.3.2. Faktor Lingkungan ... 29

2.4. Bionomik Vektor ... 29

2.5. Nyamuk sebagai Vektor ... 33

2.6. Faktor yang Memengaruhi Penularan DBD ... 34

2.7. Faktor yang Memengaruhi Pertumbuhan dan Perkembangan Ae. aegypty ... 35

2.8. Iklim Lingkungan ... 37

2.8.1. Definisi ... 37

2.8.2. Unsur Iklim ... 39

2.8.3. Iklim dan Kejadian Penyakit ... 43

2.8.4. Dampak Perubahan Iklim terhadap Kesehatan ... 44

2.8.4.1. Curah Hujan dengan Demam Berdarah Dengue ... 47

2.8.4.2. Kelembaban dengan Demam Berdarah Dengue ... 48

2.8.4.3. Kecepatan Angin dengan Demam Berdarah Dengue ... 48

2.8.4.4. Temperatur dengan Demam Berdarah Dengue ... 49

2.9. Kerangka Teori ... 50

2.10. Kerangka Konsep ... 52

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 53

3.1. Jenis Penelitian ... 53

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 53

3.3. Objek Penelitian ... 54

3.4. Metode Pengumpulan Data ... 54

3.4.1. Pengumpulan Data Iklim ... 54

3.4.2. Pengumpulan Data Kasus Demam Berdarah Dengue 55 3.5. Variabel dan Definisi Operasional ... 55

3.6. Metode Analisis Data ... 56

BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 61

4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 61


(14)

4.1.2. Kecamatan Medan Perjuangan ... 62

4.1.3. Kecamatan Medan Tuntungan ... 62

4.2. Hasil Analisis Univariat ... 63

4.2.1. Iklim Kecamatan Medan Barat ... 63

4.2.2. Iklim Kecamatan Medan Perjuangan ... 66

4.2.3. Iklim Kecamatan Medan Tuntungan ... 69

4.3. Analisa Bivariat ... 73

4.3.1. Hubungan Iklim (Curah Hujan, Temperatur Udara, Kelembaban Udara, Kecepatan Angin) dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kecamatan Medan Barat per tahun (2010-2012) ... 73

4.3.2. Hubungan Iklim (Curah Hujan, Temperatur Udara, Kelembaban Udara, Kecepatan Angin) dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kecamatan Medan Perjuangan per tahun (2010-2012) ... 76

4.3.3. Hubungan Iklim (Curah Hujan, Temperatur Udara, Kelembaban Udara, Kecepatan Angin) dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kecamatan Medan Tuntungan per tahun (2010-2012) ... 80

4.4. Analisa Multivariat ... 82

BAB 5. PEMBAHASAN ... 87

5.1. Kejadian Demam Berdarah Dengue di Kecamatan Medan Barat, Medan Perjuangan dan Medan Tuntungan Tahun 2010-2012... 87

5.2. Pengaruh Iklim terhadap Kejadian Demam Berdarah Dengue ... 87

5.2.1. Pengaruh Curah Hujan terhadap Kejadian Demam Berdarah Dengue Tahun 2010-2012... 89

5.2.2. Pengaruh Temperatur Udara terhadap Kejadian Demam Berdarah Dengue Tahun 2010-2012 ... 93

5.2.3. Pengaruh Kelembaban Udara terhadap Kejadian Demam Berdarah Dengue Tahun 2010-2012 ... 96

5.2.4. Pengaruh Kecepatan Angin terhadap Kejadian Demam Berdarah Dengue Tahun 2010-2012 ... 99


(15)

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 101

6.1. Kesimpulan ... 101

6.2. Saran ... 101

DAFTAR PUSTAKA ... 102 LAMPIRAN


(16)

DAFTAR TABEL

No Judul Halaman

3.1 Kekuatan Hubungan Dua Variabel Secara Kualitatif ... 58 4.1 Hasil Analisis Hubungan Iklim (Curah Hujan, Temperatur

Udara, Kelembaban Udara dan Kecepatan Angin) dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue di Kecamatan Medan Barat Tahun 2010-2012... 73 4.2. Hasil Analisis Hubungan Iklim (Curah Hujan, Temperatur

Udara, Kelembaban Udara dan Kecepatan Angin) dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue di Kecamatan Medan Perjuangan Tahun 2010-2012 ... 76 4.3. Hasil Analisis Hubungan Iklim (Curah Hujan, Temperatur

Udara, Kelembaban Udara dan Kecepatan Angin) dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue di Kecamatan Medan Tuntungan Tahun 2010-2012 ... 80 4.4. Pengaruh Keadaan Iklim Lingkungan terhadap Kejadian Demam

Berdarah Dengue di Kota Medan ... 83 4.5. Pengaruh Variabel Independen (Temperatur Udara dan

Kecepatan Angin) terhadap Variabel Dependen (Kejadian Demam Berdarah Dengue) di Kecamatan Medan Barat Tahun 2010-2012 ... 84 4.6. Hasil Analisis Regresi Linier Ganda Pengaruh Temperatur Udara

dan Kecepatan Angin terhadap Kejadian Demam Berdarah Dengue di Kecamatan Medan Barat Tahun 2010-2012 ... 84 4.7. Pengaruh Variabel Independen (Kelembaban Udara) terhadap

Variabel Dependen (Kejadian Demam Berdarah Dengue) di Kecamatan Medan Perjuangan Tahun 2010-2012 ... 85 4.8. Hasil Analisis Regresi Linier Ganda Pengaruh Kelembaban

Udara terhadap Kejadian Demam Berdarah Dengue di Kecamatan Medan Barat Tahun 2010-2012 ... 85


(17)

DAFTAR GAMBAR

No Judul Halaman

2.1. Peta Kasus DBD di Kota Medan Tahun 2010 dan 2011… ... 12

2.2. Peta Kasus DBD di Kota Medan Tahun 2012 ... 13

2.3. Siklus Hidup Nyamuk Aedes aegypti ... 18

2.4. Bagan Kejadian Infeksi Virus Dengue ... 21

2.5. Bagan Spektrum Demam Berdarah Dengue ... 23

2.6. Kerangka Teori ... 52

2.7. Kerangka Konsep ... 53

4.1. Gambaran Curah Hujan di Kecamatan Medan Barat Tahun 2010-2012 ... 63

4.2. Gambaran Temperatur Udara di Kecamatan Medan Barat Tahun 2010-2012 ... 63

4.3. Gambaran Kelembaban Udara di Kecamatan Medan Barat Tahun 2010-2012 ... 64

4.4. Gambaran Kecepatan Angin di Kecamatan Medan Barat Tahun 2010-2012 ... 65

4.5. Gambaran Kasus Demam Berdarah Dengue di Kecamatan Medan Barat Tahun 2010-2012 ... 65

4.6. Gambaran Curah Hujan di Kecamatan Medan Perjuangan Tahun 2010-2012 ... 66

4.7. Gambaran Temperatur Udara di Kecamatan Medan Perjuangan Tahun 2010-2012 ... 67

4.8. Gambaran Kelembaban Udara di Kecamatan Medan Perjuangan Tahun 2010-2012 ... 67


(18)

4.9. Gambaran Kecepatan Angin di Kecamatan Medan Perjuangan Tahun 2010-2012 ... 68 4.10. Gambaran Kasus Demam Berdarah Dengue di Kecamatan Medan

Perjuangan Tahun 2010-2012 ... 69 4.11. Gambaran Curah Hujan di Kecamatan Medan Tuntungan Tahun

2010-2012 ... 69 4.12. Gambaran Temperatur Udara di Kecamatan Medan Tuntungan

Tahun 2010-2012 ... 70 4.13. Gambaran Kelembaban Udara di Kecamatan Medan Tuntungan

Tahun 2010-2012 ... 71 4.14. Gambaran Kecepatan Angin di Kecamatan Medan Tuntungan Tahun

2010-2012 ... 71 4.15. Gambaran Kasus Demam Berdarah Dengue di Kecamatan Medan

Tuntungan Tahun 2010-2012... 72 4.16. Gambaran Temperatur Udara dan Kasus Demam Berdarah Dengue di

Kecamatan Medan Barat Tahun 2010-2012 ... 75 4.17. Gambaran Kelembaban Udara dan Kasus Demam Berdarah Dengue

di Kecamatan Medan Barat Tahun 2010-2012 ... 78 4.18. Gambaran Kelembaban Udara dan Kasus Demam Berdarah Dengue


(19)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Halaman

1. Izin Survei Pendahuluan……… 107 2. Surat Balasan Survei Pendahuluan……… 109 3. Hasil Pengolahan Data ………. 117


(20)

ABSTRAK

Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit menular disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui nyamuk Aedes aegypti banyak ditemukan di daerah beriklim tropis dan subtropis. Faktor yang memengaruhi penyakit DBD adalah faktor iklim. Prevalensi DBD di Indonesia menempati urutan kedua dari sepuluh penyakit rawat inap di Rumah Sakit.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh keadaan iklim lingkungan terhadap kejadian DBD di Kota Medan. Metode penelitian ini adalah studi ekologi komparasi multi group. Objek penelitian adalah seluruh data iklim kota Medan yang tercatat di Stasiun Klimatologi Sampali Medan dan data kasus DBD yang tercatat di bidang Pengendalian Masalah Kesehatan Dinas Kesehatan Kota Medan. Analisis data menggunakan uji regresi linier ganda.

Hasil penelitian menunjukkan variabel iklim di Kecamatan Medan Barat yaitu temperatur udara (p=0,000),variabel iklim di Kecamatan Medan Perjuangan yaitu temperatur udara (p=0,012), kelembaban udara (p=0,007) memiliki pengaruh terhadap kejadian DBD. Sedangkan tidak ada variabel iklim di Kecamatan Medan Tuntungan yang berpengaruh terhadap kejadian DBD. Di Kecamatan Medan Barat variabel curah hujan (p=0,447), kelembaban udara (p=0,058), kecepatan angin (p=0,165), di Kecamatan Medan Perjuangan variabel curah hujan (p=0,871), kecepatan angin (p=0,875) yang tidak memiliki pengaruh terhadap kejadian DBD.

Variabel yang dominan berpengaruh terhadap kejadian DBD di Kecamatan Medan Barat adalah kecepatan angin dengan nilai koefisien (Exp.β) -2,943. Di Kecamatan Medan Perjuangan kelembaban udara dengan nilai koefisien (Exp.β) 0,512.

Disarankan kepada Program Pengendalian Masalah Kesehatan Dinas Kesehatan Kota Medan, agar melaksanakan kegiatan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) pada bulan Mei, Juni, Juli di Kecamatan Medan Barat, Medan Perjuangan dan Medan Tuntungan mengingat pada bulan tersebut kejadian Demam Berdarah Dengue meningkat.


(21)

ABSTRACT

Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) is a contagious disease which is caused by dengue virus and infected through Aedes aegypti mosquitoes; this kind of mosquitoes is mostly found in the tropical and subtropical regions. One of the factors which cause hemorrhagic fever is climate. The prevalence of DHF in Indonesia ranks second to ten of inpatient illness in hospitals.

The aim of the research was to analyze the influence of climate on the incidence of DHF in Medan. The research used comparative ecology study of multi group method. The object of the research was all climatologic data in Medan listed in Sampali Climatology Station Medan and the data of DHFcases found in the field of Controlling Health Problems at Healthy Department of the city of Medan. The data were analyzed by using multiple linear regression tests.

The result of the research showed that the variable of air temperature (p=0.000) in Medan Barat Subdistrict and the variables of air temperature (p=0.012) and humidity (p=0.007) in Medan Perjuangan Subdistrict had influence on the incident of DHF, while there was no variable of climate in Medan Tuntungan Subdistrict which influenced the incident of DHF. The variables of rainfall (p=0.447), humidity (p=0.058) and the velocity of wind (p=0.165) in Medan Barat Subdistrict and the variables of rainfall (p=0.871) and the velocity of wind (p=0.875) in Medan Perjuangan Subdistrict did not have any influence on the incident of DHF.

The result of dominant variable showed that the influence on the incident of DHF in Medan Barat Subdistrict was velocity of wind with coefficient value (Exp.β) of -2.943. The variable which had the most dominant influence on the incident of DHF in Medan Perjuangan Subdistrict was humidity with coefficient value (Exp.β) of 0.512.

Is suggested to Program Operation Problem Healthy Department of the city Medan, executing activity Eradication of Den Mosquito (PSN) in May, June, July in District of Medan Baratt, Medan Perjuangan and Medan Tuntungan remember the in occurence of Dengue mount.


(22)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit menular yang sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia, sering muncul sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB) dan menimbulkan kepanikan di masyarakat karena menyebar dengan cepat dan dapat menyebabkan kematian (Profil P2PL, 2005). Demam Berdarah Dengue/Dengue hemorrhagic fever (DHF) disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui nyamuk Aedes aegypti yang banyak ditemukan di daerah beriklim tropis dan subtropis (Rahayu dkk, 2012).

Penyakit ini merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang jumlah penderitanya cenderung meningkat dan penyebarannya semakin luas (Widoyono, 2008). Virus dengue endemis dibeberapa Negara yakni India, Sri Lanka, Thailand, Myanmar dan Indonesia. Di Negara tersebut ditemukan ke empat tipe virus yakni Den-1, Den-2, Den-3 dan Den-4 (Yatim, 2007).

Kasus Demam Berdarah Dengue di Indonesia, tercatat masih tinggi bahkan paling tinggi dibanding negara lain di ASEAN. Di wilayah pengawasan WHO Asia Tenggara, Indonesia termasuk peringkat kedua berdasarkan jumlah kasus DBD yang dilaporkan. Sejak tahun 1980 jumlah kasus yang dilaporkan lebih dari 10.000 setiap tahunnya. Jumlah penderita cenderung meningkat dan penyebarannya semakin luas


(23)

menyerang tidak hanya anak-anak tetapi juga golongan umur yang lebih tua (Soegijanto, 2006).

Demam Berdarah Dengue pertamakali dilaporkan pada tahun 1968 melalui pelabuhan Surabaya (Sutanto, dkk 2008). Sejak saat itu penyakit tersebut menyebar keberbagai daerah sehingga sampai tahun 1980 seluruh propinsi di Indonesia telah terjangkit DBD (Depkes, 2007). Angka kejadian DBD meningkat dan menyebar keseluruh daerah kabupaten di wilayah Republik Indonesia termasuk kabupaten yang berada di wilayah Propinsi Timor-timur. Pada pengamatan selama kurun waktu 20-25 tahun sejak awal ditemukan kasus DBD, angka KLB penyakit DBD diestimasikan setiap lima tahun dengan angka kematian tertinggi pada tahun 1968 awal ditemukan kasus DBD dan angka kejadian penyakit DBD tertinggi pada tahun 1988 (Soegijanto, 2006).

Angka kesakitan dan kematian DBD diberbagai negara sangat bervariasi dan tergantung pada berbagai macam faktor seperti status kekebalan populasi, kepadatan vektor dan frekuensi penularan (seringnya terjadi penular virus Dengue), prevalensi serotipe virus Dengue dan keadaan cuaca. Di daerah yang sangat endemik di negara Filipina, Thailand, Myanmar, Malaysia, Singapura dan Vietnam musim epidemik terjadi disaat musim hujan yang hampir setiap tahun terjadi. Banyaknya penderita sesuai dengan keadaan curah hujan yang hampir setiap tahun terjadi (WHO, 2005). Di Indonesia pengaruh musim terhadap demam berdarah dengue meningkat antara bulan September sampai Nopember dengan mencapai puncaknya antara bulan Maret sampai Mei (Soedarmo, 2009).


(24)

Hampir seluruh kota propinsi sudah terjangkit penyakit DBD dan hampir tiap tahun terjadi wabah meskipun bergantian dari satu kota ke kota lain (Yatim, 2007). Salah satunya adalah Propinsi Sumatera Utara dimana jumlah kabupaten/kota yang terjangkit DBD ada 22 kab/kota tahun 2008, tahun 2009 ada 22 kab/kota, tahun 2010 ada 22 kab/kota dan tahun 2011 ada 23 kab/kota. Jumlah kasus DBD di Sumatera Utara tahun 2011 sebanyak 5.987 kasus, jumlah kasus meninggal 78 kasus, Case Fatality Rate (CFR) 1,30% dan Incidence Rate (IR) 45,64 per 100.000 penduduk (Ditjen P2PL, 2012).

Berdasarkan data Ditjen Bina Upaya Kesehatan Kemenkes RI (2012), menyatakan bahwa tahun 2010 penyakit Demam Berdarah Dengue menempati urutan kedua dari sepuluh penyakit rawat inap di Rumah Sakit dengan rincian penderita laki-laki sebanyak 30.232 kasus (proporsi kasus 51,14%), perempuan sebanyak 28.883 kasus (proporsi kasus 48,86%), 325 kasus meninggal dan CFR 0,55%. Jumlah penderita DBD yang dilaporkan pada tahun 2005 sebanyak 91.089 kasus dengan Incidance Rate (IR) tertinggi di Propinsi DKI Jakarta yaitu 296,87/ 100.000 penduduk dan terendah Propinsi Maluku Utara yaitu 0,1/ 100.000 penduduk sedangkan angka kematian/Case Fatality Rate (CFR) tertinggi di Propinsi Riau sebesar 4,82% (Profil P2PL, 2005).

Berdasarkan data Profil Dinas Kesehatan Kota Medan (2005), pada tahun 2003 kota Medan mengalami KLB Demam Berdarah Dengue dengan Incidance Rate (IR) sebesar 30,09/100.000 penduduk dengan jumlah kasus DBD sebanyak 594 kasus


(25)

dengan 9 kasus meninggal (CFR 1,5%). Tahun 2004, KLB Demam Berdarah Dengue dengan IR 36,68/100.000 penduduk dengan kematian 14 kasus (CFR 1,89%).

Kota Medan merupakan daerah endemis DBD hal ini didukung oleh data penyakit DBD yang semakin meningkat setiap tahunnya. Berikut data keadaan penyakit DBD di Kota Medan untuk tiga tahun yaitu Januari 2010 sampai Desember 2012, pada tahun 2010 kasus DBD sebanyak 3.122 kasus diantaranya 22 kasus meninggal (CFR 0,70%) dengan IR 148/100.000 penduduk, tahun 2011 jumlah kasus sebanyak 2.384 kasus diantaranya 18 kasus meninggal (CFR 0,75%) dengan IR yaitu 113,65/100.000 penduduk dan tahun 2012 jumlah kasus sebanyak 1.202 kasus diantaranya 5 kasus meninggal (CFR 0,40%) dengan IR yaitu 53,82/100.000 penduduk.

Sesuai target RPJM Depkes, indikator Incidance Rate (IR) DBD adalah sebesar 5 per 100.000 penduduk dan untuk Case Fatality Rate (CFR) sebesar < 1% (Subdis P2M Dinkes Prop.SU dan Profil Kesehatan Kab/Kota, 2010). Untuk Incidance Rate DBD Kota Medan adalah 5 per 10.000 penduduk (Dinas Kesehatan Kota Medan, 2010).

Berdasarkan data tiga tahun (2010-2012) tercatat tiga kecamatan di Kota Medan dengan jumlah kasus DBD berturut-turut rendah, sedang dan tinggi periode tahun 2010-2012 yaitu Kecamatan Medan Perjuangan, Medan Barat dan Medan Tuntungan. Dimana jumlah kasus DBD tahun 2010 di Medan Perjuangan sebanyak 96 kasus, tahun 2011 sebanyak 74 kasus dan tahun 2012 sebanyak 63 kasus. Kecamatan Medan Barat dengan jumlah kasus DBD tahun 2010 sebanyak 112 kasus,


(26)

tahun 2011 sebanyak 124 kasus dan tahun 2012 sebanyak 38 kasus. Kecamatan Medan Tuntungan jumlah kasus DBD tahun 2010 sebanyak 189 kasus, tahun 2011 sebanyak 113 kasus dan tahun 2012 sebanyak 78 kasus (PMK Dinas Kesehatan Kota Medan).

Banyak faktor yang mempengaruhi DBD antara lain faktor hospes (host), lingkungan (environtment) dan faktor virus itu sendiri. Faktor hospes yaitu kerentanan (susceptability) dan respons imun. Faktor lingkungan meliputi kondisi geografis (ketinggian dari permukaan laut, curah hujan, angin, kelembaban), kondisi demografis (kepadatan, mobilitas, perilaku, adat istiadat, sosial ekonomi penduduk), jenis dan kepadatan nyamuk sebagai vektor penular penyakit (Soegijanto, 2006). Iklim dan musim merupakan faktor utama yang mempengaruhi terjadinya penyakit infeksi. Iklim dan variasi musim dapat mempengaruhi kehidupan agen penyakit, reservoir dan vektor (Chandra, 2005).

Brisbois dan Ali (2010) menyatakan bahwa penularan beberapa penyakit menular sangat dipengaruhi oleh faktor iklim. Menurut Chandra (2012) variasi musim juga mempengaruhi penyebaran penyakit melalui arthropoda. Contoh virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes selama musim penghujan karena musim tersebut merupakan saat terbaik bagi nyamuk untuk berkembang biak. Wabah penyakit dengue terjadi diakhir tahun sampai awal tahun depan yaitu September sampai Maret.

Parasit dan vektor penyakit sangat peka terhadap faktor iklim khususnya suhu, curah hujan, kelembaban, permukaan air dan angin. Penyakit yang tersebar melalui


(27)

vektor (vector borne disease) seperti malaria dan Demam Berdarah Dengue (DBD) perlu diwaspadai karena penularan penyakit seperti ini akan semakin meningkat dengan perubahan iklim. Di banyak negara tropis penyakit ini merupakan penyebab kematian utama (Dini dkk, 2010). Habitat vektor DBD di Indonesia dipengaruhi oleh musim penghujan dan tersedianya air di pemukiman. Musim hujan dengan frekuensi hujan yang tinggi akan meningkatkan jumlah habitat vektor. Sehingga pada musim hujan kemungkinan jumlah kasus penyakit DBD akan meningkat (Fathi dkk, 2005).

Bahaya perubahan variabilitas iklim terkait kesehatan diantaranya temperatur dan curah hujan yang ekstrim, peningatan banjir dan kekeringan, perubahan distribusi vektor penyakit (vector borne diseases), peningkatan malnutrisi dan peningkatan bencana terkait iklim. Variabilitas iklim dapat berpengaruh terhadap epidemiologi penyakit yang ditularan vektor (ICCSR, 2010 dalam Adriyani, 2012).

Menurut Wijayanti (2008), diperkirakan suhu akan meningkat 30C pada tahun 2100, maka akan terjadi peningkatan proses penularan penyakit oleh nyamuk dua kali lipat. Peningkatan penyebaran penyakit terkait dengan perubahan iklim terjadi karena semakin banyak media, lokasi dan kondisi yang menduung perkembangbiakan bibit penyakit dan media pembawanya. Selain suhu, curah hujan yang lebat juga meningkat hingga 3% per tahun. Perubahan tersebut mempengaruhi pola kehidupan nyamuk Ae.aegypti dan Ae.albopictus yaitu masa perkembangbiakan nyamuk dewasa menjadi lebih lama.

Menurut Gould dan Higgs (2009) dalam Adriyani (2012), menyatakan bahwa iklim adalah faktor utama dalam menentukan distribusi geografis dari Arthropoda,


(28)

karakteristik dan siklus hidup Arthropoda, pola hubungan Arbovirus dan transmisi Arthropoda ke host vertebrata.

Berdasarkan survai awal di Stasiun Klimatologi Sampali Medan bahwa Kota Medan mempunyai iklim tropis dengan suhu minimum 23,6-24,40C dan suhu maksimum berkisar antara 30,2-32,50C. Kelembaban udara 78-82%, kecepatan angin rerata 0,42 m/detik, curah hujan per bulan 230,3 mm.

1.2 Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaruh keadaan iklim (curah hujan, temperature udara, kelembaban udara dan kecepatan angin) terhadap Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kota Medan.

1.3Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh keadaan iklim meliputi curah hujan, temperature udara, kelembaban udara dan kecepatan angin terhadap kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kota Medan serta upaya yang akan dilakukan untuk mengatasinya.

1.4Hipotesis

Berdasarkan variabel-variabel penelitian yang dilakukan maka hipotesis pada penelitian ini adalah ada pengaruh keadaan iklim terhadap kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kota Medan.


(29)

1.5Manfaat Penelitian 1.5.1 Bagi Ilmu Pengetahuan

Sebagai bahan informasi dasar dalam pengembangan ilmu pengetahuan mengenai pengaruh keadaan iklim lingkungan terhadap Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kota Medan.

1.5.2 Bagi Instansi Pemerintahan yang terkait dan berwenang (Dinas Kesehatan Kota Medan). Sebagai bahan masukan dan informasi dalam perencanaan dan evaluasi program dalam upaya pengendalian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kota Medan.

1.5.3 Bagi Masyarakat

Sebagai bahan informasi kepada masyarakat mengenai pentingnya mengetahui pengaruh keadaan iklim lingkungan terhadap Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD).


(30)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Demam Berdarah Dengue (DBD) 2.1.1 Definisi

Menurut WHO (2005), definisi Demam Berdarah Dengue adalah penyakit demam akut selama 2-7 hari dengan dua atau lebih manifestasi seperti sakit kepala, nyeri retro-orbital, mialgia, atralgia, ruam kulit, manifestasi perdarahan, leukopenia, trombositopenia (100.000 sel per mm3 atau kurang).

Menurut Depkes (2005), Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang disebabkan virus dari golongan Arbovirus yang ditandai dengan demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas berlangsung terus menerus selama 2-7 hari manifestasi perdarahan (peteke, purpura, perdarahan konjungtiva, epistaksis, perdarahan mukosa, perdarahan gusi, hematemesis, melena, hematuri) termasuk uji tourniquet (Rumple leede) positif, trombositopeni (jumlah trombosit ≤ 100.000/µl), hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit ≥ 20%) disertai atau tanpa pembesaran hati (hepatomegali).

2.1.2 Epidemiologi Demam Berdarah Dengue

Aedes aegypti adalah spesies nyamuk tropis dan subtropis yang ditemukan di bumi biasanya antara garis lintang 35 Utara dan 35 Selatan kira-kira berhubungan dengan musim dingin isoterm 100C (WHO, 1999). Ae. aegypti tersebar luas di wilayah Asia Tenggara dan terutama di daerah perkotaan. Di wilayah yang agak


(31)

kering misalnya India, Ae. aegypti merupakan vektor perkotaan dan populasinya secara khas berfluktuasi bersama air hujan dan kebiasaan penyimpanan air. Pada negara lain di Asia Tenggara yang curah hujannya melebihi 200 mm/tahun, populasi Ae. aegypti ternyata lebih stabil dan ditemukan di daerah perkotaan, pinggiran kota dan daerah pedesaan karena kebiasaan penyimpanan air secara tradisional di Indonesia, Myanmar dan Thailand kepadatan nyamuk mungkin lebih tinggi di daerah pinggiran kota daripada di daerah perkotaan (WHO, 2005).

Distribusi Ae. aegypti juga dibatasi oleh ketinggian. Ketinggian merupakan faktor yang terpenting untuk membatasi penyebaran nyamuk Ae. aegypti. Ini biasanya ditemukan di atas ketinggian 1000 meter di atas permukaan laut. Ketinggian yang rendah (kurang dari 500 meter) memiliki tingkat kepadatan nyamuk sedang sampai berat. Sementara daerah pegunungan (di atas 500 meter) memiliki populasi nyamuk yang rendah. Di negara-negara Asia Tenggara ketinggian 1000 sampai 1500 meter di atas permukaan laut merupakan batas bagi penyebaran Ae. aegypti. Di bagian dunia lain spesies ini dapat ditemukan di wilayah yang jauh lebih tinggi misalnya di Colombia sampai mencapai 2200 meter (WHO, 2005).

Ae. aegypti adalah salah satu vektor nyamuk yang paling efisien untuk arbovirus (arthropod-borne viruses) karena nyamuk ini sangat antropofilik dan hidup dekat manusia dan sering hidup di dalam rumah. Wabah dengue juga telah disertai dengan Aedes albopictus, Aedes polynesiensis dan banyak spesies kompleks Aedes scutellaris. Setiap spesies mempunyai distribusi geografisnya masing-masing namun mereka adalah vektor epidemik yang kurang efisien dibanding Ae. aegypti. Faktor penyulit pemusnahan vektor adalah bahwa telur-telur Ae. aegypti dapat bertahan


(32)

dalam waktu lama terhadap desikasi (pengawetan dengan pengeringan), kadang selama lebih dari satu tahun (WHO, 2005).

Ae. aegypti tersebar luas di seluruh Indonesia walaupun spesies ini ditemukan di kota-kota pelabuhan yang penduduknya padat nyamuk ini juga ditemukan di pedesaan. Penyebaran Ae. aegypti dari pelabuhan ke desa disebabkan larva Ae. aegypti terbawa melalui transportasi (Sutanto dkk, 2008).

Menurut Soedarmo (2009), Arthropoda akan menjadi sumber infeksi selama hidupnya sehingga selain menjadi vektor virus tersebut juga menjadi hospes reservoir virus itu. Penyelidikan ekologi di Malaysia membuktikan bahwa sejenis kera liar di hutan merupakan reservoir virus dengue (Soedarmo, 2009). Demam dengue dapat terjadi di daerah perkotaan maupun pedesaan. Di daerah perkotaan yang bertindak sebagai vektor utama adalah nyamuk Ae. aegypti sedangkan di daerah pedesaan nyamuk Aedes albopictus namun tidak jarang kedua spesies tersebut dijumpai baik di daerah pedesaan maupun perkotaan. Hewan primata merupakan sumber infeksi Dengue di daerah hutan (Soedarto,2007).

Kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kota Medan yang ditularkan melalui Ae. aegypti di tiga kecamatan yaitu Kecamatan Medan Barat, Medan Perjuangan dan Medan Tuntungan merupakan kategori wilayah yang rendah, sedang dan tinggi kasus DBD secara berturut-turut selama tiga periode (Januari 2010 sampai Desember 2012) terlihat pada gambar 2.1 dan gambar 2.2 dibawah ini :


(33)

Gambar 2.1. Peta Kasus DBD di Kota Medan Tahun 2010 dan 2011 Sumber : (Bidang PMK, DKK Medan)

Kasus Demam Berdarah Dengue pada tahun 2010 di Kecamatan Medan Perjuangan dengan Incidance Rate berada di warna kuning range IR 5 sampai 10/10.000 penduduk, Kecamatan Medan Barat berada pada warna biru range IR 11 sampai 16/10.000 penduduk, Kecamatan Medan Tuntungan berada pada warna merah dengan range IR 16 sampai 37/10.000 penduduk. Pada tahun 2011 di Kecamatan Medan Perjuangan dengan Incidance Rate berada di warna kuning range IR 5 sampai 10/10.000 penduduk, Kecamatan Medan Barat berada pada warna biru range IR 11 sampai 16/10.000 penduduk, Kecamatan Medan Tuntungan berada pada warna merah dengan range IR 16 sampai 37/10.000 penduduk.


(34)

Gambar 2.2. Peta Kasus DBD di Kota Medan Jan-Sept Tahun 2012 Sumber :(Bidang PMK DKK Medan)

Kasus Demam Berdarah Dengue pada tahun 2012 di Kecamatan Medan Perjuangan dengan Incidance Rate berada di warna kuning range IR 5 sampai 10/10.000 penduduk, Kecamatan Medan Barat berada pada warna biru range IR 11 sampai 16/10.000 penduduk, Kecamatan Medan Tuntungan berada pada warna merah dengan range IR 16 sampai 37/10.000 penduduk.

2.2 Vektor Penularan DBD

Vektor utama penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah nyamuk Ae. Aegypti. Ae. aegypti merupakan vektor epidemi yang paling penting sementara spesies lain seperti Aedes albopictus, Aedes polynesiensis anggota kelompok Aedes scutellaris dan Aedes (Finlaya) nives juga merupakan sebagai vektor sekunder. Semua spesies tersebut kecuali Ae. aegypti memiliki wilayah penyebarannya sendiri


(35)

walaupun mereka merupakan vektor yang sangat baik untuk virus dengue, epidemi yang ditimbulkannya tidak separah yang diakibatkan oleh Ae. aegypti (WHO, 2005). 2.2.1 Karakteristik Nyamuk Aedes aegypti

a. Sayap dan badannya belang-belang atau bergaris-garis putih,

b. Berkembangbiak di air jernih yang tidak beralaskan tanah seperti bak mandi, WC, tempayan drum, barang-barang penampung air seperti kaleng, ban bekas, pot tanaman air, tempat minum burung dan lain-lain,

c. Jarak terbang ± 100 meter,

d. Nyamuk betina bersifat ‘multiple biters‘ (menggigit beberapa orang karena sebelum nyamuk tersebut kenyang sudah berpindah tempat),

e. Tahan dalam suhu panas dan kelembaban tinggi (Widoyono, 2008). 2.2.2 Taksonomi dan Morfologi

2.2.2.1 Taksonomi

Menurut Richard dan Davis (1977) dalam Soegijanto (2006), kedudukan nyamuk Ae. aegypti dalam klasifikasi animalia adalah sebagai berikut :

Filum : Arthropoda Kelas : Insecta Bangsa : Diptera Suku : Culicidae Marga : Aedes


(36)

2.2.2.2. Morfologi

1. Telur : berbentuk ellips atau oval memanjang, warna hitam, ukuran 0,5-0,8 mm, permukaan polygonal, tidak memiliki alat pelampung dan di letakkan satu persatu pada benda-benda yang terapung atau pada dinding bagian dalam tempat penampungan air yang berbatasan langsung dengan permukaan air. Seekor nyamuk betina meletakkan rata-rata 100 butir tiap kali bertelur (Sutanto dkk, 2008).

2. Larva : tubuhnya memanjang tanpa kaki dengan bulu-bulu sederhana yang tersusun bilateral simetris. Larva ini dalam pertumbuhan dan perkembangannya mengalami empat kali pergantian kulit (ecdysis) dan larva yang terbentuk berturut-turut disebut larva instar I, II, III dan IV. Larva instar I tubuhnya sangat kecil, warna transparan, panjang 1-2 mm, duri-duri (spinae) pada thorax belum begitu jelas dan corong pernafasan belum menghitam. Larva instar II bertambah besar, ukuran 2,5-3,9 mm, duri dada belum jelas dan corong pernafasan sudah berwarna hitam. Larva instar IV telah lengkap struktur anatominya dan jelas tubuh dapat dibagi menjadi bagian kepala (chepal), dada (thorax) dan perut (abdomen) (Soegijanto, 2006).

3. Pupa : bentuknya bengkok dengan bagian kepala-dada (chepalothorax) lebih besar bila dibandingkan dengan bagian perutnya sehingga tampak seperti tanda baca “koma“. Pada bagian punggung (dorsal) dada terdapat alat bernafas seperti trompet. Pupa adalah masa istirahat atau periode tidak aktif pada semua insecta holometabola (metamorphosis sempurna), tampak gerakannya lebih lincah bila


(37)

dibandingkan dengan larva. Waktu istirahat pupa sejajar dengan bidang permukaan air. Menetas dalam 1-2 hari menjadi nyamuk.

4. Dewasa/imago : tubuhnya tersusun dari tiga bagian yaitu kepala, dada dan perut. Terdapat tiga pasang tungkai pada toraks, terdapat sayap pada toraks (1-2 pasang) atau tidak ada, memiliki sepasang antena, memiliki mata majemuk dan atau mata tunggal, respirasi melalui stigma atau spirakel, organ reproduksinya terdapat pada ujung abdomen, alat mulut terdiri atas satu pasang mandible (rahang), satu pasang maksila, sebuah labrum (bibir atas) dan labium/bibir bawah (Sembel, D.T.,2009). Alat mulut nyamuk betina tipe penusuk-penghisap (pierching-sucking) dan lebih menyukai manusia (anthropophagus) sedangkan nyamuk jantan bagian mulut lebih lemah sehingga tidak mampu menembus kulit manusia karena itu tergolong lebih menyukai cairan tumbuhan /phytophagus (Soegijanto, 2006). Pertumbuhan dari telur sampai menjadi dewasa memerlukan waktu sekitar 9 hari (Sutanto, 2008).

2.2.3 Siklus Hidup Nyamuk

Menurut Achmadi (2011), pada dasarnya siklus hidup nyamuk berawal dari peletakan telur oleh nyamuk betina. Dari telur muncul fase kehidupan air yang masih belum matang disebut larva yang berkembang melalui empat tahap kemudian bertambah ukuran hingga mencapai pupa nyamuk dewasa membentuk diri sebagai betina atau jantan dan tahap nyamuk dewasa muncul dari pecahan dibelakang kulit pupa. Nyamuk dewasa makan, kawin dan nyamuk betina memproduksi telur untuk melengkapi siklus dan memulai generasi baru. Beberapa spesies nyamuk hanya satu


(38)

generasi pertahun yang lainnya bisa mempunyai beberapa generasi selama musim dengan kondisi iklim yang menguntungkan. Mereka sangat bergantung pada iklim dari kondisi lingkungan lokal terutama suhu dan curah hujan.

Menurut Wijaya (2010) pada awal dan akhir musim penghujan, setelah hujan turun akan timbul genangan-genangan kecil air seperti ban-ban bekas, kaleng bekas,vas bunga bekas, bak yang sudah tidak terpakai lagi. Genangan-genangan air biasanya dimanfaatkan oleh nyamuk Ae.aegypti betina untuk meletakkan telur-telurnya. Telur Ae.aegypti yang belum sempat menetas pada musim penghujan sanggup bertahan terhadap kekeringan pada musim panas selama beberapa bulan. Pada awal musim penghujan telur-telur ini akan digenangi air kemudian menetas menjadi larva yang mengakibatkan peningkatan kasus Demam Berdarah Dengue sering terjadi pada awal musim penghujan.

Suhu dapat mempengaruhi tingkat perkembangan dan ketahanan hidup parasit dan vector nyamuk (Zhuo et al, 2003). Suhu optimum dalam perkembangbiakan nyamuk berkisar 20-30 0C. Pada suhu hangat periode larva sekitar 4-7 hari dan di daerah tropis periode kepompong (pupa) sekitar 1-3 hari (Rozendal, 1997). Secara umum suhu yang lebih panas dengan kelembaban yang tinggi merupakan stimulus perluasan secara geografis dan musim bagi vector penyakit seperti insecta, tikus dan siput (Wawolumayo dan Irianto, 2004). Berikut gambar siklus hidup nyamuk Ae. aegypti :


(39)

Gambar 2.3. Siklus Hidup Nyamuk Ae. aegypti (Soegijanto, 2006) 2.2.4 Etiologi

Menurut Sembel (2009) yang mengutip dari Harwood dan James (1979), Demam Berdarah Dengue disebabkan oleh salah satu dari empat antigen yang berbeda tetapi sangat dekat satu dengan yang lain yaitu Den-1, Den-2, Den-3 dan Den-4 dari genus Flavivirus. Keempat serotipe virus dapat ditemukan diberbagai daerah di Indonesia. Serotipe Den-3 merupakan serotipe yang dominan dan diasumsikan banyak menunjukkan manifestasi klinik yang berat.

2.2.5 Manifestasi Klinis DBD

Masa inkubasi dengue pada manusia sekitar 4-5 hari. Gejala keluhan awal dengue tidak spesifik berlangsung sekitar 1-5 hari berupa demam ringan, sakit kepala dan malaise. Demam yang terjadi berlangsung secara mendadak kemudian dalam waktu 2-7 hari menuju suhu normal. Bersamaan dengan berlangsungnya demam gejala klinik yang tidak spesifik misalnya anoreksia, nyeri punggung, nyeri tulang dan sendi, rasa lemah dan nyeri kepala dapat menyertainya (Soedarto, 2003).


(40)

Kasus khas DHF ditandai oleh empat manifestasi klinis mayor yaitu demam tinggi, fenomena hemorragis, sering hepatomegali dan kegagalan sirkulasi. Trombositopenia sedang sampai nyata dengan hemokonsentrasi secara bersamaan adalah temuan laboratorium klinis khusus dari DHF (WHO, 1999). Walaupun umurnya pendek yaitu kira-kira 10 hari Ae. aegypti dapat menularkan virus dengue yang masa inkubasinya 3-10 hari (Sutanto, 2008).

2.2.6 Gejala Demam Berdarah Dengue

Menurut Sembel (2009) mengemukakan gejala-gejala fase akut Demam Berdarah Dengue sebagai berikut :

a. Gejala awal : demam, sakit kepala, gatal-gatal pada otot, gatal-gatal pada persendian, rasa tidak enak badan (malaise), kehilangan nafsu makan, muntah-muntah.

b. Gejala fase akut : status seperti terguncang (shock-like state) berkeringat banyak (diaphoretic), keringat basah. Ketidaktenangan (restlessness) yang diikuti dengan gejala yang lebih parah, bintik-bintik darah pada permukaan kulit (petechiae), bintik-bintik darah di bawah kulit (ecchymosis), ruam (rash).

Menurut WHO (1995), tanda dan gejala klinis DBD adalah sebagai berikut : a. Gejala klinis : demam tinggi mendadak yang berlangsung 2-7 hari, manifestasi

perdarahan (uji tourniquet, perdarahan spontan berbentuk peteke, purpura, ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis, melena), hepatomegali, renjatan, nadi cepat dan lemah, tekanan darah menurun, nadi tidak teraba, kulit dingin dan anak gelisah.


(41)

b. Laboratorium : Trombositopeni (< 100.000 sel/ml), hemokonsentrasi (kenaikan Ht 20% dibandingkan fase konvalesen).

Menurut WHO (1995) Demam Berdarah Dengue/Dengue Hemorrhagic Fever diklasifikasikan menjadi empat tingkatan keparahan dimana derajat III dan IV dianggap Sindrom Syok Dengue (DSS). Adanya trombositopenia dengan disertai hemokonsentrasi membedakan derajat I dan II dari DHF dan DF (Dengue Fever). Derajat I : Demam disertai dengan gejala konstitusional non spesifik,

satu-satunya manifestasi perdarahan adalah tes tourniquet positif dan/atau mudah memar.

Derajat II : Perdarahan spontan selain manifestasi pasien pada Derajat I, biasanya pada bentuk perdarahan kulit atau perdarahan lain.

Derajat III : Gagal sirkulasi dimanifestasikan dengan nadi cepat dan lemah serta penyempitan tekanan nadi atau hipotensi dengan adanya kulit dingin dan lembab serta gelisah.

Derajat IV : Syok hebat dengan tekanan darah atau nadi tidak terukur. 2.2.7 Mekanisme Penularan

Virus masuk ke dalam tubuh manusia melalui gigitan nyamuk Ae.aegypti. Sewaktu menggigit untuk menghisap darah virus berkembangbiak di dalam kelenjar liur dipangkal belalai nyamuk. Virus hidup dan berkembang subur di dalam darah manusia. Keadaan ini disebut viremia yaitu berkembang virus di dalam darah (Yatim, 2007).

Virus kemudian berkembang di dalam nyamuk selama periode 8-10 hari sebelum ini dapat ditularkan ke manusia lain selama menggigit atau menghisap darah


(42)

selanjutnya. Lama waktu yang diperlukan untuk inkubasi ekstrinsik tergantung pada kondisi lingkungan sekitarnya (WHO, 1999). Sebagai reaksi tubuh melawan benda asing didalam tubuh timbul panas badan yang secara alami maksudnya untuk melebarkan lumen pembuluh darah untuk mempercepat aliran darah hingga zat penangkal yang secara normal ada di dalam darah bisa segera memusnahkan benda asing tersebut (Yatim, 2007).

Menurut Soegijanto (2006), virus ditularkan ke manusia melalui kelenjar saliva nyamuk kemudian virus bereplikasi dalam organ target, virus menginfeksi sel darah putih dan jaringan limfatik, virus dilepaskan dan bersikulasi dalam darah manusia, virus yang ada dalam darah tertelan nyamuk kedua virus bereplikasi atau melipatgandakan diri dalam perut nyamuk lainnya menginfeksi kelenjar saliva dan virus bereplikasi dalam kelenjar saliva. Berikut bagan kejadian infeksi virus dengue (Gambar 2.4) :


(43)

Jika nyamuk Ae. aegypti menggigit penderita demam berdarah maka virus dengue masuk ke dalam tubuh nyamuk, virus berkembangbiak dan menyebar ke seluruh tubuh bagian nyamuk dan sebagian besar berada di kelenjar liur. Selanjutnya waktu nyamuk menggigit orang lain air liur bersama virus dengue dilepaskan terlebih dahulu agar darah yang dihisap tidak membeku dan pada saat inilah virus dengue ditularkan ke orang lain. Di dalam tubuh manusia virus berkembangbiak dalam system retikuloendotelial dengan target utama virus dengue adalah APC (antigen presenting cells) dimana pada umumnya berupa monosit atau makrofag jaringan seperti sel Kupffer dari hepar dapat juga terkena. Viremia timbul pada saat menjelang gejala klinis tampak hingga 5-7 hari setelahnya. Virus bersikulasi dalam darah perifer di dalam sel monosit/makrofag, sel limfosit B dan sel limfosit T. Manifestasi klinis infeksi virus dengue tergantung pada berbagai faktor yang mempengaruhi daya tahan tubuh penderita. Terdapat berbagai keadaan mulai dari tanpa gejala (asimtomatis), demam dengue, demam berdarah dengue dan sindrom syok dengue (Soegijanto, 2006 ). Berikut bagan spektrum klinis infeksi virus dengue (Gambar 2.5):


(44)

Gambar 2.5. Bagan Spektrum Demam Berdarah Dengue (WHO, 2005)

2.2.8 Patogenesis dan Patofisiologi 2.2.8.1 Patogenesis

Infeksi virus terjadi melalui gigitan nyamuk, virus memasuki aliran darah manusia untuk kemudian bereplikasi (memperbanyak diri). Sebagai perlawanan tubuh akan membentuk antibodi selanjutnya akan terbentuk kompleks virus-antibodi dengan virus yang berfungsi sebagai antigennya. Kompleks antigen-antibodi tersebut akan melepaskan zat-zat yang merusak sel-sel pembuluh darah yang disebut dengan proses autoimun. Proses tersebut menyebabkan permeabilitas kapiler meningkat yang salah satunya ditunjukkan dengan melebarnya pori-pori pembuluh darah kapiler. Hal


(45)

tersebut akan mengakibatkan bocornya sel-sel darah antara lain trombosit dan eritrosit. Akibatnya tubuh akan mengalami perdarahan mulai dari bercak sampai perdarahan hebat pada kulit, saluran pencernaan (muntah darah, berak darah), saluran pernafasan (mimisan, batuk darah) dan organ vital (jantung, hati, ginjal) yang sering mengakibatkan kematian (Widoyono, 2008).

2.2.8.2 Patofisiologi

Menurut WHO (2004), Patofisiologi Demam Berdarah Dengue ada dua perubahan yang terjadi yaitu :

a. Meningkatnya permeabilitas pembuluh darah mengakibatkan kebocoran plasma, hipovolemia dan syok. Demam Berdarah Dengue memiliki ciri yang unik karena kebocoran plasma khusus ke arah rongga pleura dan peritoneum selain itu periode kebocoran cukup singkat (24-48 jam).

b. Hemostasis abnormal terjadi akibat vaskulopati, trombositopenia sehingga terjadi berbagai jenis manifestasi perdarahan.

2.2.9 Gambaran Klinis

Gambaran klinis penderita dengue terdiri atas tiga fase yaitu fase febris, fase kritis dan fase pemulihan.

a. Fase Febris : demam mendadak tinggi 2-7 hari, disertai muka kemerahan, eritema kulit, nyeri seluruh tubuh, mialgia, artralgia dan sakit kepala. Pada beberapa kasus ditemukan nyeri tenggorok, infeksi faring dan konjungtiva, anoreksia, mual dan muntah. Pada fase ini dapat pula ditemukan tanda perdarahan seperti petekie, perdarahan mukosa walaupun jarang dapat pula terjadi perdarahan pervaginam dan perdarahan gastrointestinal.


(46)

b. Fase Kritis : terjadi pada hari 3-7 sakit dan ditandai dengan penurunan suhu tubuh disertai kenaikan permeabilitas kapiler dan timbulnya kebocoran plasma yang biasanya berlangsung selama 24-48 jam. Kebocoran plasma sering didahului oleh lekopeni progresif disertai penurunan hitung trombosit. Pada fase ini dapat terjadi syok.

c. Fase Pemulihan : bila fase kritis terlewati maka terjadi pengembalian cairan ekstravaskuler ke intravaskuler secara perlahan pada 48-72 jam setelahnya. Keadaan umum penderita membaik, nafsu makan pulih kembali, hemodinamik stabil dan diuresis membaik (Sudjana, 2010).

2.2.10 Penatalaksanaan

Pada dasarnya terapi DBD adalah bersifat suportif dan simtomatis. Penatalaksanaan ditujukan untuk mengganti kehilangan cairan akibat kebocoran plasma dan memberikan terapi substitusi komponen bilamana diperlukan (Chen dkk, 2009 ). Pengobatan yang spesifik untuk DBD tidak ada karena obat terhadap virus dengue belum ada. Oleh karena itu prinsip dasar pengobatan penderita DBD adalah penggantian cairan tubuh yang hilang karena kebocoran plasma (Depkes, 2005). Menurut Soedarto (2007), sampai saat ini untuk virus dengue tidak ada obat yang spesifik untuk memberantasnya. Pengobatan ditujukan untuk mengatasi akibat perdarahan atau syok dan untuk meningkatkan daya tahan tubuh penderita serta terapi simtomatis untuk mengurangi gejala dan keluhan penderita. Menurut Soegijanto (2006) penatalaksanaan Demam Berdarah Dengue yang disertai syok yang mengidap penyulit perdarahan, sepsis yang dimungkinkan untuk dapat ditolong dengan temuan


(47)

obat baru yang dapat mencegah proses pembekuan darah dan obat antibiotika generasi baru yang masih dapat mengatasi resistensi kuman. Penatalaksanaan kasus DBD yang memungkinkan untuk berobat jalan dan kasus DBD yang dianjurkan rawat tinggal yaitu kasus DBD derajat I dan II. Sedangkan kasus DBD derajat III dan IV merupakan kasus DBD dengan penyulit.

2.2.11 Pengendalian Vektor DBD

Menurut Sukowati (2010), Vaksin untuk pencegahan terhadap infeksi virus dan obat untuk penyakit Demam Berdarah (DB)/DBD belum ada dan masih dalam proses penelitian sehingga pengendaliannya terutama ditujukan untuk memutus rantai penularan yaitu dengan pengendalian vektornya. Beberapa metode pengendalian vektor di tingkat pusat dan di daerah adalah :

1) Manajemen Lingkungan adalah upaya pengelolaan lingkungan untuk mengurangi bahkan menghilangkan habitat perkembangbiakan nyamuk vektor sehingga akan mengurangi kepadatan populasi.

2) Pengendalian Biologis merupakan upaya pemanfaatan agen biologi untuk pengendalian vektor DBD. Beberapa agen biologis tersebut adalah dari kelompok bakteri yang mengandung endotoksin dan mampu membunuh larva adalah Bacillus thuringiensis serotipe H 14 (Bt.H-14) dan Bacillus sphaericus (Bs), predator seperti ikan pemakan jentik (ikan kepala timah, ikan cupang) dan cylop (Copepoda).

3) Pengendalian Kimiawi yaitu pengunaan insektisida yaitu malathion, Permethrin, Lambdacyhalothrin dan Pirimiphos methyl.


(48)

4) Partisipasi Masyarakat merupakan proses panjang dan memerlukan ketekunan, kesabaran dan upaya dalam memberikan pemahaman dan motivasi kepada individu, kelompok, masyarakat bahkan pejabat secara berkesinambungan. Program yang melibatkan masyarakat adalah melakukan 3 M Plus atau Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN).

5) Perlindungan Individu untuk melindungi pribadi dari risiko penularan virus DBD dengan menggunakan repellent, pakaian yang mengurangi gigitan nyamuk, baju lengan panjang, memasang kelambu saat tidur, memasang kawat kasa. Insektisida rumah tangga seperti semprotan aerosol dan repellent (obat nyamuk bakar) dan repellent oles.

6) Peraturan Perundangan diperlukan untuk memberikan payung hukum dan melindungi masyarakat dari risiko penularan DB/DBD. Seluruh Negara mempunyai undang-undang tentang pengawasan penyakit yang berpotensi wabah seperti DBD dengan memberikan kewenangan kepada petugas kesehatan untuk mengambil tindakan atau kebijakan untuk mengendalikannya (Sukowati, 2010).

2.3 Ekologi Vektor

Ekologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara organisme dengan habitat lingkungannya (Setiono, dkk, 2007). Penyakit DBD melibatkan tiga organisme yaitu virus dengue, nyamuk Ae. aegypti dan host manusia. Untuk memahami penyakit yang ditularkan vektor dan untuk pengendalian penyakit


(49)

sebagai ekosistem alam dimana subsistem yang terkait dalam ekosistem ini adalah virus, nyamuk Ae. aegypti, manusia, lingkungan fisik dan lingkungan biologi (Depkes, 2007).

a. Virus dengue. Virus ini termasuk dalam genus Flavivirus dari family Flaviviridae terdiri dari 4 serotipe yaitu Den-1, Den-2, Den-3 dan Den-4.

b. Nyamuk Ae. aegypti merupakan vektor yang menularkan virus dengue melalui gigitan nyamuk dari orang sakit ke orang sehat.

c. Manusia merupakan sebaran inang (organisme dimana mendapatkan makanan) untuk penyakit DBD.

d. Lingkungan fisik meliputi :

1) Tempat Penampungan Air (TPA) baik di dalam maupun di luar rumah sebagai tempat perindukan nyamuk Ae. aegypti.

2) Ketinggian tempat, dengan ketinggian 1000 meter di atas permukaan laut tidak ditemukan nyamuk Ae. aegypti.

3) Curah hujan menambah genangan air sebagai tempat perindukan dan kelembaban udara terutama untuk daerah pantai.

4) Kecepatan angin juga mempengaruhi pelaksanaan pemberantasan vektor dengan cara fogging.

5) Suhu udara mempengaruhi perkembangan virus di dalam tubuh nyamuk (Depkes, 2007).


(50)

2.3.1 Faktor Host (Penjamu)

WHO (2005), virus dengue menginfeksi manusia dan beberapa spesies primata yang lebih rendah. Manusia merupakan reservoir utama virus di wilayah perkotaan. Penelitian yang dilakukan di Malaysia dan Afrika menunjukkan bahwa bangsa kera juga dapat terinfeksi dan kemungkinan merupakan penjamu reservoir walaupun signifikansi epidemiologi dan observasi tersebut tetap dibuktikan. Strain virus dengue dapat tumbuh dengan baik pada kultur jaringan insecta dan sel mamalia setelah diadaptasikan.

2.3.2 Faktor lingkungan

Lingkungan adalah kondisi atau faktor yang berpengaruh yang bukan bagian dari agen maupun penjamu tetapi mampu menginfeksi agen penjamu. Lingkungan dalam penelitian ini meliputi lingkungan fisik (curah hujan, kecepatan angin, kelembaban dan temperatur/suhu udara). Kualitas dan kuantitas berbagai komponen lingkungan yang utamanya berperan sebagai faktor yang menentukan terjadinya atau tidak terjadinya transmisi agen ke host (Soemirat, 2005).

2.4 Bionomik Vektor

Bionomik adalah ilmu biologi yang menerangkan hubungan organisme dengan lingkungannya. Bionomik nyamuk meliputi perilaku bertelur, larva, pupa dan dewasa. Misalnya perilaku menggigit, tempat dan waktu kapan bertelur, perilaku perkawinan. Iklim dalam hal ini berperan besar dalam menentukan bionomik nyamuk (Achmadi,2008).


(51)

1) Perilaku Makan

Menurut Sutanto (2008), Ae. aegypti sangat antropofilik (menghisap darah manusia), walaupun ia bisa makan dari hewan (zoofilik). Menurut Achmadi (2011), nyamuk betina membutuhkan protein untuk memproduksi telur yang didapatkannya dari darah. Nyamuk tertarik pada host berdasarkan faktor-faktor yang berbeda. Semakin hangat suhu dan semakin tinggi kelembaban sekitar host ditambah dengan gerakan host dan perbedaan warna disekitar mereka akan lebih mempermudah nyamuk untuk mendekati host dan menghisap darahnya demi kelangsungan keturunannya. Sumber darah secara epidemiologis adalah penting karena beberapa mikroorganisme patogen dan parasit yang menyebabkan penyakit dihubungkan dengan host tertentu. Nyamuk yang mencari makan pada burung dan/atau host mamalia dan juga pada manusia disebut perilaku mencari makan oportunistik.

Menurut Sutanto (2008), sebagai hewan nocturnal (kebiasaan yang aktif pada malam hari) nyamuk betina memiliki dua periode aktivitas menggigit, pertama di pagi hari (diurnal) selama beberapa jam setelah matahari terbit dan sore hari selama beberapa jam sebelum gelap. Ae. aegypti biasanya tidak menggigit di malam hari tetapi akan menggigit saat malam di kamar yang terang. Kebiasaan menggigit Ae. aegypti pada pagi hari hingga sore yaitu pukul 08.00 - 10.00 dan pukul 15.00 -17.00. Lebih banyak menggigit di dalam rumah daripada di luar rumah.


(52)

2) Perilaku Istirahat

Ae. aegypti suka beristirahat di tempat yang gelap, lembap dan tersembunyi dalam rumah atau bangunan termasuk kamar tidur, kamar mandi, kamar kecil maupun di dapur (Achmadi, 2008). Tempat istirahat nyamuk ada yang memilih di dalam rumah (endofilik) yaitu dinding rumah, adapula yang memilih di luar rumah (eksofilik) yaitu tanaman, kandang binatang, tempat-tempat dekat tanah atau tempat-tempat-tempat-tempat yang agak tinggi (Sutanto, 2008). 3) Jarak Terbang

Menurut Achmadi (2011), Nyamuk betina dari berbagai spesies dapat terbang tidak lebih dari 100 meter dari habitat larva, sementara yang lain bergerak dengan jarak 1-5 km, seperti Oc. Vigilax nyamuk yang umum ditemukan pada pesisir rawa asin dapat terbang melebihi 50 km, nyamuk Culex annulirostris dapat terbang 5-10 km. Sutanto (2008), Penyebaran nyamuk Ae. aegypti betina dewasa dipengaruhi oleh beberapa faktor termasuk ketersediaan tempat bertelur dan darah tetapi tampaknya terbatas sampai jarak 100 meter dari lokasi kemunculan. Nyamuk betina mempunyai jarak terbang lebih jauh daripada nyamuk jantan.

4) Lama Hidup

Menurut Achmadi (2011), semakin tua nyamuk semakin penting dalam penyebaran penyakit. Nyamuk harus bertahan selama mungkin agar cukup bagi mikroorganisme yang dikandungnya cukup waktu untuk ditransmisikan. Ketika nyamuk ada kesempatan menggigit manusia atau hewan untuk kedua kali, maka transmisi akan terjadi. Masa inkubasi ini bervariasi tergantung dari


(53)

mikroorganisme yang bersangkutan apakah parasit atau virus serta habitat nyamuk seperti suhu lingkungan. Lazimnya 1-2 minggu. Menurut WHO (2004) Nyamuk Ae. aegypti dewasa memiliki rerata lama hidup hanya 8 hari. Selama musim hujan saat masa bertahan hidup lebih panjang risiko penyebaran virus semakin besar. Menurut Sutanto (2008) umur nyamuk dewasa betina di alam bebas rerata 10 hari sedangkan di laboratorium mencapai dua bulan.

5) Kepadatan Musiman

Sebagian besar spesies nyamuk menunjukkan pola kepadatan musiman dengan fluktuasi yang dihubungkan dengan kondisi meteorologi. Banyak spesies yang bersifat musiman dengan puncak kepadatan nyamuk dewasa pertengahan musim panas dan tidak ada pada musim dingin sedangkan di Negara tropis bisa bersifat aktif sepanjang tahun. Faktor terpenting yang menentukan kepadatan populasi nyamuk dewasa adalah produksi larva seperti keberadaan habitat air dan makanan larva. Suhu dan kelembaban juga menguntungkan pertahanan hidup nyamuk dewasa untuk menjadi padat (Achmadi (2011).

Nyamuk merupakan hewan berdarah dingin, proses metabolisme dan siklus hidupnya tergantung pada suhu lingkungan. Suhu rerata optimum untuk perkembangannya adalah 25-300C dengan kelembaban rerata 60-80%. Pertumbuhan nyamuk akan terhenti bila suhu kurang dari 100C dan lebih dari 400C. Toleransi terhadap suhu tergantung pada spesies nyamuk umumnya di atas 5-60C batas dimana spesies secara normal dapat beradaptasi


(54)

(Depkes,2005). Tergantung dari iklim, beberapa nyamuk bereproduksi sepanjang tahun. Sebagian besar cenderung menghabiskan masa hidup pada kondisi yang berlawanan pada musim dingin atau selama musim kemarau dalam keadaan tidur atau istirahat (Achmadi, 2011).

Menurut Michael (2006) yang dikutip oleh Achmadi (2010) bahwa perubahan iklim menyebabkan perubahan curah hujan, suhu, kelembaban, arah udara sehingga berefek terhadap ekosistem daratan dan lautan serta berpengaruh terhadap kesehatan terutama terhadap perkembangbiakan vektor penyakit seperti nyamuk Aedes, malaria dan lainnya. Faktor perilaku dan partisipasi masyarakat yang masih kurang dalam kegiatan PSN serta faktor pertambahan jumlah penduduk dan faktor peningkatan mobilitas penduduk sejalan dengan semakin membaiknya transportasi menyebabkan penyebaran virus DBD semakin mudah dan semakin luas.

2.5 Nyamuk sebagai Vektor

Saat nyamuk betina mencari mangsa untuk menghisap darah maka nyamuk tersebut dapat membawa dan mentransmisikan/menularkan mikroorganisme yang dapat menyebabkan penyakit. Spesies nyamuk yang menghisap darah secara berkala/oportunitik pada manusia akan lebih besar kemungkinannya menjadi vektor penular penyakit. Insecta tersebut harus dapat terinfeksi terlebih dahulu oleh mikroorganisme patogen dan kemudian hidup dalam waktu yang cukup lama untuk menularkannya (Achmadi, 2011).


(55)

2.6 Faktor yang Memengaruhi Penularan Demam Berdarah Dengue

a) Umur nyamuk atau longevity, nyamuk betina berumur rerata 10 hari, waktu itu cukup bagi nyamuk untuk makan, bagi virus cukup untuk berkembangbiak dan selanjutnya menyebarkan virus ke manusia lain.

b) Peluang kontak dengan manusia.

c) Frekuensi menggigit seekor nyamuk. Nyamuk mempunyai kebiasaan menggigit berulang (multiple biters) yaitu menggigit beberapa orang secara bergantian dalam waktu singkat (Soedarmo, 2009).

d) Keberadaan manusia di sekitar nyamuk.

e) Kepadatan nyamuk. Umur nyamuk serta pertumbuhan dipengaruhi suhu. Suhu lingkungan dianggap kondusif berkisar antara 25-300C dan kelembaban 60-80% (Bruce dalam Susanna 2005). Kalau populasi nyamuk terlalu banyak sedangkan ketersediaan pakan misalnya populasi binatang atau manusia di sekitar tidak ada maka kepadatan nyamuk akan merugikan populasi nyamuk itu sendiri. Sebaliknya bila pada satu wilayah cukup padat maka akan meningkatkan kapasitas vektorial yakni kemungkinan tertular akan lebih besar (Achmadi, 2008).

f) Lingkungan. Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap kehidupan vektor adalah abiotik dan biotik. Faktor abiotik meliputi iklim yaitu curah hujan, suhu, kelembaban dan evaporasi dapat mempengaruhi kegagalan telur, larva dan pupa nyamuk menjadi imago. Demikian juga faktor biotik seperti predator, parasit dan makanan yang berinteraksi dalam kontainer sebagai habitat akuatiknya pradewasa sangat berpengaruh terhadap keberhasilannya


(56)

menjadi imago (Daryono, 2004). Suhu udara mempengaruhi panjang pendeknya masa inkubasi ekstrinsik. Kelembaban udara yang rendah akan memperpendek umur nyamuk. Hujan yang diselingi panas semakin besar kemungkinan perkembangbiakannya sedangkan pengaruh sinar matahari terhadap pertumbuhan larva nyamuk berbeda-beda (Achmadi, 2008).

2.7 Faktor yang Memengaruhi Pertumbuhan dan Perkembangan Ae. aegypti

Nyamuk berasal dari kategori insecta yang dikenal sebagai Ordo Diptera atau hewan bersayap dua. Dalam diptera, seluruh nyamuk berasal dari kelompok Famili yang dikenal sebagai Culicidae yaitu dengan rentang karakter yang mirip dikelompokkan dalam Subfamili misalnya Culicinae dan Anophelinae, dengan Genus Anopheles dalam subfamili Anophelinae dan Aedes, Culex dan Ochelerotatus pada subfamili Culicinae (MCAA, 2006 dalam Achmadi 2011). Menurut Sutanto dkk (2008) Nyamuk termasuk kelas insecta, ordo diptera dan famili culicidae. Arthropoda mempunyai empat tanda morfologi yang jelas yaitu badan beruas-ruas, umbai-umbai yang juga beruas-ruas, eksoskelet dan bentuk badan simetris bilateral. Arthropoda memiliki sistem pencernaan, pernapasan (trakhea), saraf (otak dan ganglion), peredaran darah (terbuka) dan sistem reproduksi. Nyamuk adalah arthropoda yang menyebabkan penyakit (parasit) pada manusia dan binatang penyebabnya terdiri atas berbagai macam parasit. Perkembangan nyamuk dialam dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor dalam dan faktor luar. Tinggi rendahnya


(57)

populasi suatu jenis insecta pada suatu waktu merupakan hasil antara pertemuan dua faktor tersebut.

1) Faktor dalam

a) Kemampuan berkembangbiak dipengaruhi oleh keperidian (natalitas) yaitu besarnya kemampuan suatu jenis insecta untuk melahirkan keturunan baru. Sedangkan fekunditas adalah kemampuan yang dimiliki oleh insecta betina untuk memproduksi telur.

b) Perbandingan kelamin pada umumnya 1:1, akan tetapi karena pengaruh tertentu baik faktor dalam maupun faktor luar seperti keadaan musim dan kepadatan populasi maka perbandingan kelamin ini dapat berubah.

c) Sifat mempertahankan diri. Untuk mempertahankan hidup insecta memiliki alat/kemampuan untuk mempertahankan dan melindungi dirinya dari serangan musuh.

d) Siklus hidup merupakan suatu rangkaian berbagai stadia yang terjadi pada seekor insecta selama pertumbuhannya sejak menjadi telur sampai menjadi dewasa (imago).

e) Umur imago umumnya memiliki umur yang pendek. Misalnya Ae. aegypti memiliki umur sepuluh hari.

2) Faktor luar (faktor fisik, faktor makanan dan faktor hayati)

a) Faktor fisik : suhu dan kisaran suhu. Pada umumnya kisaran suhu yang efektif adalah suhu minimum 150C, suhu optimum 250C dan suhu


(58)

maksimum 450C. Suhu 20-30 0C dengan kelembaban > 60 % merupakan suhu ideal bagi kehidupan nyamuk. Diperkirakan apabila suhu meningkat 30C maka akan terjadi proses penularan penyakit yang ditularkan oleh nyamuk sebanyak dua kali lipat (Achmadi, 2011). b) Kelembaban/hujan. Kelembaban yang dimaksud adalah kelembaban

tanah, udara dan tempat hidup insecta dimana merupakan faktor penting yang mempengaruhi distribusi dan perkembangan insecta. c) Cahaya/warna/bau. Beberapa aktivitas insecta dipengaruhi oleh

responnya terhadap cahaya sehingga timbul jenis insecta yang aktif pada pagi, siang, sore atau malam hari. Cahaya matahari dapat mempengaruhi aktivitas dan distribusi lokalnya.

d) Angin berperan dalam membantu penyebaran insecta terutama insecta yang berukuran kecil. Selain itu angin juga mempengaruhi kandungan air dalam tubuh insecta karena angin mempercepat penguapan dan penyebaran udara (Jumar, 2000).

2.8 Iklim Lingkungan 2.8.1 Definisi

Iklim adalah rerata keadaan cuaca dalam jangka waktu yang cukup lama minimal 30 tahun yang sifatnya menetap. Iklim merupakan kebiasaan alam yang digerakkan oleh gabungan beberapa unsur yaitu radiasi matahari/lama penyinaran, temperatur/suhu udara, kelembaban, awan, presipasi/hujan, evaporasi/penguapan, tekanan udara dan angin (Kartasapoetra, 2008 ).


(59)

Menurut National Research Council US (2001) yang dikutip Achmadi (2008), Iklim adalah rerata cuaca pada suatu wilayah tertentu. Rerata cuaca meliputi semua gambaran yang berhubungan dengan suhu, pola angin, curah hujan yang terjadi di permukaan bumi. Cuaca lebih menggambarkan variasi beberapa kondisi variabel secara harian seperti cuaca cerah, mendung, panas dan lain-lain. Sedangkan musim merupakan kondisi harian dalam kurun waktu tertentu misalnya musim kemarau, musim hujan, musim peralihan dan semuanya ini disebut iklim.

Iklim di Sumatera Utara termasuk iklim tropis yang dipengaruhi oleh angin Passat dan angin Muson. Ketinggian permukaan daratan Propinsi Sumatera Utara sangat bervariasi, sebagian daerahnya datar hanya beberapa meter dari permukaan laut beriklim cukup panas bisa mencapai 33,9 0C sebagian daerah berbukit dengan kemiringan yang landai, beriklim sedang dan sebagian lagi berada pada daerah ketinggian yang suhu minimalnya bisa mencapai 13,4 0C. Kelembaban udara rata-rata 78%-91%, curah hujan 800-4000 mm/tahun dan penyinaran matahari 43%. Propinsi Sumatera Utara memiliki musim kemarau dan musim penghujan. Musim kemarau biasanya terjadi pada bulan Juni sampai dengan September dan musim penghujan biasanya terjadi pada bulan November sampai dengan bulan Maret, diantara kedua musim itu diselingi oleh musim pancaroba (BLH Propinsi Sumatera Utara, 2010).

Menurut Koesmaryono (1999) dalam Fitriyani (2007) iklim dan cuaca memiliki peranan penting secara langsung maupun tidak langsung terhadap penyebaran, pemencaran, kelimpahan dan perilaku serangga. Ae. aegypti termasuk kedalam jenis serangga sehingga iklim dan cuaca juga berpengaruh terhadap


(60)

penyebaran/distribusi DBD. Menurut Achmadi (2008), akibat suhu global yang semakin panas maka mengakibatkan makin cepatnya perkembangbiakan nyamuk, pendeknya masa kematangan parasit dalam nyamuk, angka gigitan (biting rate) rerata juga meningkat dan meningkatnya kegiatan reproduksi nyamuk.

2.8.2 Unsur Iklim

Menurut Kartasapoetra (2008) unsur-unsur iklim adalah sebagai berikut : a. Curah hujan

Merupakan salah satu bentuk presipitasi uap air yang berasal dari awan yang terdapat di atmosfer. Bentuk presipitasi lainnya adalah salju dan es. Agar terjadinya hujan diperlukan titik-titik kondensasi, amoniak, debu dan asam belerang. Curah hujan 1 mm artinya air hujan yang jatuh setelah 1 mm tidak mengalir, tidak meresap dan tidak menguap. Hari hujan artinya suatu hari dimana curah hujan kurang dari 0,5 mm per hari. Intensifikasi hujan artinya banyaknya curah hujan per satuan jangka waktu tertentu. Apabila intensitasnya besar berarti hujan lebat dapat mengakibatkan banjir (Kartasapoetra, 2008). Indeks Curah Hujan (ICH) tidak secara langsung mempengaruhi perkembangbiakan nyamuk, tetapi berpengaruh terhadap curah hujan ideal. Curah hujan ideal artinya air hujan tidak sampai menimbulkan banjir dan air menggenang di suatu wadah/media yang menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk yang aman dan relatif masih bersih (misalnya cekungan dipagar bambu, pepohonan, kaleng bekas, atap atau talang rumah). Tersedianya air dalam media menyebabkan telur nyamuk menetas dan setelah


(61)

10-12 hari akan berubah menjadi nyamuk (Achmadi, 2010). Curah hujan merupakan salah satu variabel meteorologi yang dapat digunakan sebagai early warming “ pengendalian nyamuk. Curah hujan memiliki pengaruh yang lebih signifikan (Prihatnolo,2009).

Menurut Achmadi (2010) bahwa faktor yang mempengaruhi tingginya kejadian DBD di Kalimantan Timur (2005-2009) kemungkinan karena curah hujan yang tinggi sepanjang tahun dan adanya lingkungan biologi yang menyebabkan nyamuk lebih mudah berkembangbiak. Berdasarkan pengamatan terhadap ICH yang dihubungkan dengan kenaikan jumlah kasus DBD maka pada daerah dengan ICH tinggi perlu kewaspadaan sepanjang tahun sedangkan daerah yang terdapat musim kemarau maka kewaspadaan terhadap DBD dimulai saat masuk musim hujan.

b. Kelembaban (humiditas) udara adalah banyaknya kadar uap air yang ada di udara. Besarnya kelembaban suatu daerah merupakan faktor yang dapat menstimulasi curah hujan. Di Indonesia kelembaban udara tertinggi dicapai pada musim hujan dan terendah pada musim kemarau. Besarnya kelembaban disuatu tempat pada musim erat hubungannya dengan perkembangan organisme (Guslim, 2007). Kelembaban dan curah hujan merupakan faktor penting yang mempengaruhi penyebaran aktivitas dan perkembangan insecta. Pada kelembaban yang sesuai akan membuat insecta lebih tahan terhadap suhu ekstrim. Umumnya insecta lebih tahan terhadap kelebihan air bahkan beberapa insecta yang bukan insecta air dapat menyebar dengan cara hanyut


(62)

bersama air. Akan tetapi kebanyakan air seperti banjir dan hujan deras yang terus menerus dapat berbahaya pada beberapa insecta. Kelembaban juga berpengaruh pada kemampuan bertelur dan pertumbuhan insecta (Jumar, 2000). Kelembaban mempengaruhi usia nyamuk, masa kawin, penyebaran, kebiasaan makan dan kecepatan virus bereplikasi. Pada kelembaban tinggi umumnya nyamuk hidup lebih lama dan cepat menyebar. Oleh karena itu, nyamuk mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk makan pada orang yang terinfeksi dan menularkan virusnya kepada orang lain (Promprou, 2005 dalam Adriyani, 2012). Nyamuk dapat bertahan pada kelembaban 60-80% (Rumbiak, 2006).

c. Temperatur/suhu udara adalah derajat panas atau dingin yang diukur berdasarkan skala tertentu dengan menggunakan thermometer. Satuan suhu yang biasa digunakan adalah derajat celcius sedangkan di Inggris dan beberapa negara lainnya dinyatakan dalam derajat Fahrenheit (Kartasapoetra, 2008). Musim hujan dan musim kemarau memiliki pengaruh pada tingkat suhu lingkungan. Saat pergantian musim penghujan ke musim kemarau konsdisi suhu udara berkisar antara 23-310C, ini merupakan range suhu yang optimum untuk perkembangbiakan nyamuk (24-280C). Perubahan iklim yang ditandai dengan peningkatan suhu rerata dapat mempengaruhi perkembangbiakan nyamuk Ae.aegypti dengan memperpendek waktu yang diperlukan untuk berkembang dari fase telur menjadi nyamuk dewasa (Daryono, 2004).


(1)

2. Disarankan kepada masyarakat di Kecamatan Medan Barat agar berada di rumah dan mengurangi aktivitas di luar rumah apabila angin bertiup kencang agar nyamuk tidak dapat berlindung sehingga dapat menghambat persebaran nyamuk Ae. Aegypti dan mengurangi Demam Berdarah Dengue.

3. Kepada masyarakat di Kecamatan Medan Perjuangan agar memangkas pepohonan disekitar rumah yang terlalu rimbun untuk mengurangi kelembaban udara agar perkembangbiakan nyamuk Ae. aegypti dapat dihentikan sehingga dapat mengurangi Demam Berdarah Dengue.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, U.F., 2011. Dasar-dasar Penyakit Berbasis Lingkungan, Jakarta: Rajawali Press.

_________, 2010. Buletin Jendela Epidemiologi, Volume 2, Jakarta: Kepmenkes RI. _________,2008.Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah, Jakarta: Universitas

Indonesia.

_________,2007. Dampak Perubahan Iklim Dalam Perspektif Kesehatan Lingkungan, Makalah.

Andriani, D.K., 2001. Hubungan Faktor-faktor Perubahan Iklim dengan Kepadatan Vektor Demam Berdarah Dengue dan Kasus serta Angka Insidens Demam Berdarah Dengue di DKI Jakarta Tahun 1997-2000. Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia.

Adriyani, S., 2012. Hubungan Antara Faktor Iklim Dengan Kejadian Penyakit Chikungunya di Wilayah Jawa Barat Tahun 2002-2010. Tesis. Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia.

Arikunto, S., 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik Edisi Revisi 2010, Jakarta: Rineka Cipta.

Awida. R. 2008. Hubungan Sosiodemografi dan lingkungan dengan kejadian penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kecamatan Bukit Raya Kota Pekanbaru Tahun 2008.Tesis. Pekanbaru: Universitas Sumatera Utara.

BPS, 2012. Badan Pusat Statistik Propinsi Sumatera Utara.

Boesri, H., Boewono, D.T., 2008. Situasi Nyamuk Aedes aegypti dan Pengendalian di Daerah Endemis Demam Berdarah Dengue di Kota Salatiga: Artikel, Media Litbang Kesehatan Volume XVIII No. 2.

Brisbois, B.W., Ali, S.H., 2010. Climate Change, Vector Borne Disease and Interdiciplinary Research : Social Science Perspectives on an Environtment and Health Controversy. Ecohealth, Heidelbergh : Springer.


(3)

_________., 2005. Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan, Jakarta : EGC

Dahlan, M,S., 2009. Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan Edisi 4,Jakarta: Salemba Medika.

Depkes, RI Republik Indonesia, 1992. Pemeriksaan Kuman Penyakit Menular. DitJen PPM & PLP Dep.Kes. RI.

Dini, A.M.V., Fitriany, R.N., Wulandari, R.A., 2010. Faktor Iklim dan Angka Insiden Demam Berdarah Dengue di Kabupaten Serang, Makara Kesehatan, Volume 14 No. 1, hal 31-38.

Ethiene Arruda Pedrosa et all., 2010. Impact of small variations in temperature and humidity on the reproductive activity and survival of Aedes aegypti (Diptera, Culicidae). Jurnal Revista Brasileira de Entomologia vol 54 no 3.

Fathi, Keman, S., Wahyuni, C.U., 2005. Peran Faktor Lingkungan dan Perilaku Terhadap Penularan Demam Berdarah Dengue di Kota Mataram, Jurnal Kesehatan Lingkungan, Volume 2, No.1.

Felipe J. Colón-González et al., 2011. Climate Variability and Dengue Fever in Warm and Humid Mexico. School of Environmental Sciences, University of East Anglia, Norwich, United Kingdom.

Guslim, 2007. Agroklimatologi, Medan: USU Press.

Hastono, S.P., Sabri, L., 2010. Statistik Kesehatan, Jakarta : Rajawali Press.

Hopp, M.J.,Foley, J.A., 2001. Global-Scale Relationships Between Climate change and the Dengue Fever Vector, Aedes aegypti. Kluwer Academic Publishers, Number 48. Page 441-463.

Iriani, Y., 2012. Hubungan Antara Curah Hujan dan Peningkatan Kasus Demam berdarah Dengue Anak di Kota Palembang, Jurnal Sari Pediatri, Volume. 13 No. 6.

Jumar, 2000. Entomologi Pertanian, Jakarta: Rineka Cipta.

Kartasapoetra, A.G., 2008. Klimatologi Pengaruh Iklim Terhadap Tanah dan Tanaman Edisi Revisi, Jakarta: Bumi Aksara.

Keman, S.,2007. Perubahan Iklim Global, Kesehatan Manusia dan Pembangunan Berkelanjutan, Jurnal Kesehatan Lingkungan Volume 3 No. 2.


(4)

Laporan Status Lingkungan Hidup Daerah Propinsi Sumatera Utara, 2010. Pemerintah Propinsi Sumatera Utara ; Medan.

Meiviana, A; Sulistiowati, D; Soejachmoen, M.H., 2004. Bumi Makin Panas, Ancaman Perubahan Iklim di Indonesia, Jakarta: Pelangi.

Mu-Jean Chen et al., 2012. Effects Of Extreme Precipitation To The Distribution Of Infectious Diseases in Taiwan, 1994–2008. Jurnal Plosone. Volume 7.

Notoatmodjo, S., 2010. Metode Penelitian Kesehatan, Jakarta: Rineka Cipta.

Oktri, H., 2008. Demam Berdarah Dengue Penyakit dan Cara Pencegahannya, Yogyakarta: Kanisius.

Pemprou 2005. Climatic factors affecting dengue hemorraghic fever incidence in southern Thailand. Dengue bulletin-vol 29 (online). Diakses 7 mei 2013.

Profil Kesehatan., 2011. Dinas Kesehatan Kota Medan. _____________., 2012. Dinas Kesehatan Kota Medan.

Profil PP&PL, 2005. Pengembangan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Jakarta. Profil Kesehatan, Propinsi Sumatera Utara., 2011. Dinas Kesehatan Propinsi

Sumatera Medan.

Rahayu, D., Winahju, W.S., Mukarromah, A., 2012. Pemodelan Pengaruh Iklim Terhadap Angka Kejadian Demam Berdarah Dengue di Surabaya, Jurnal Sains dan Seni ITS, Volume 1.

Riyanto, A., 2009. Pengolahan Dan Analisis Data Kesehatan,Yogyakarta: Nuha Medika.

Sastroasmoro, S., Ismael S., 1995. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis, Jakarta: Binarupa Aksara.

Sembel, D.T., 2009. Entomologi Kedokteran, Yogyakarta: ANDI OFFSET.

Silaban, D., 2006. Hubungan iklim dengan Insidens Demam Berdarah Dengue di Kota Bogor Tahun 2004-2005. Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia.


(5)

Sintorini, M.M., 2007. Pengaruh Iklim Terhadap Kasus Demam Berdarah Dengue, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol.2, No.1, Agustus.

Sitio, A., 2008. Hubungan Perilaku Tentang Pemberantasan Sarang Nyamuk dan Kebiasaan Keluarga dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue di Kecamatan Medan Perjuangan Kota Medan. Tesis. Program Studi Magister Kesehatan Lingkungan. Universitas Diponegoro. Semarang.

Sitorus, J., 2003. Hubungan Iklim dengan Kasus Penyakit Demam Berdarah Dengue di Kotamadya Jakarta Timur Tahun 1998-2002. Tesis. Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia.

Soedarmo, S.S.P., 2009. Demam Berdarah Dengue pada Anak, Jakarta: Universitas Indonesia.

Soedarto, 2003. Zoonosis Kedokteran, Surabaya: Airlangga University. ________, 2007. Sinopsis Kedokteran Tropis, Surabaya: Airlangga University.

Soegijanto, S., 2006. Demam Berdarah Dengue Edisi II, Surabaya: Airlangga University.

Soemirat, J., 2005. Epidemiologi Lingkungan, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Sudjana, P., 2010. Buletin Jendela Epidemiologi, Volume 2, Jakarta : Kepmenkes RI. Sukamto., 2007. Studi karakteristik wilayah dengan Kejadian DBD di Kecamatan

Cilacap Selatan Kabupaten Cilacap Tesis. Semarang: Universitas Dipenogoro; 2007.

Sungono,V., 2004. Hubungan Iklim dengan ABJ dan Insiden Demam Berdarah Dengue di Kotamadya Jakarta Utara Tahun 1999-2003. Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia.

Sukowati, P., 2010. Buletin Jendela Epidemiologi, Volume 2, Jakarta : Kepmenkes RI.

_________., 2008. Hubungan Iklim, Kepadatan Nyamuk Anopheles dan Kejadian Penyakit Malaria. Jurnal Entomologi Indonesia. Diakses April 2013, Vol. 7, No. 1, halaman 42-53.


(6)

Suroso, T., 1983. Tinjauan Keadaan dan Dasar-dasar Pemikiran dalam Pemberantasan Demam Berdarah Dengue di Indonesia, Sub.Dit.Arbovirosis, Direktorat P3M, Dep..Kes RI, Jakarta.

Sutanto, I ;Ismid, I.S; Sjarifuddin, P.K,; Sungkar, S., 2008. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran Edisi Keempat, Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

WHO, 1999. Demam Berdarah Dengue Diagnosis, Pengobatan, Pencegahan dan Pengendalian edisi II, Jakarta: EGC.

_______, 2005. Panduan Lengkap Pencegahan & Pengendalian Dengue & Demam Berdarah Dengue, Jakarta: EGC.

Widoyono, 2008. Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan dan Pemberantasannya, Jakarta: Erlangga.

Yatim, F, 2007. Macam-macam Penyakit Menular dan Cara Pencegahannya Jilid 2, Jakarta: Pustaka Obor Populer.

Yuniati, 2012. Pengaruh Sanitasi Lingkungan Permukiman terhadap Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Daerah Aliran Sungai Deli Kota Medan. Tesis. Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatera Utara.

Zubaedah, T., 2012. Climate change impact on dengue haemorrhagic fever in Banjarbaru South Kalimantan between 2005-2010, Jurnal Epidemiologi dan Penyakit Bersumber Binatang (Epidemiology and Zoonosis Journal), Vol. 4, No. 2.

__________., 2011. The Analysis of Climate Change Effect on Dengue Haemorrhagic Fever Cases for Early Warning System Development Efforts on Banjarbaru Municipal During The Years 2001- 2010.