BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penyakit Demam Berdarah Dengue - Analisis Determinan Kinerja Petugas Surveilans Demam Berdarah Dengue di Kota Pematang Siantar Tahun 2013

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penyakit Demam Berdarah Dengue

  Demam Berdarah atau Demam Berdarah Dengue adalah penyakit febril akut yang ditemukan di daerah tropis, dengan penyebaran geografis yang mirip dengan malaria. Penyakit ini disebabkan oleh salah satu dari empat serotipe virus dari genus

  

Flavivirus , famili Flaviviridae. Demam berdarah disebarkan kepada manusia oleh

nyamuk Aedes aegypti dan Ae albopictus (Depkes RI, 2007).

2.1.1. Bionomik Vektor Penular DBD

  Karakteristik Ae. aegypti dan Ae albopictus sebagai penular utama virus DBD adalah kedua spesies tersebut termasuk Genus Aedes dari Famili Culicidae. Secara morfologis keduanya sangat mirip, namun dapat dibedakan dari strip putih yang terdapat pada bagian skutumnya (Merrit & Cummins, 1978). Skutum Ae. aegypti berwarna hitam dengan dua strip putih sejajar di bagian dorsal tengah yang diapit oleh dua garis lengkung berwarna putih. Sementara skutum Ae. albopictus yang juga berwarna hitam hanya berisi satu garis putih tebal di bagian dorsalnya. Roche (2002) melaporkan bahwa Ae.aegypti mempunyai dua subspesies yaitu Ae. aegypti

  

queenslandensis dan Ae. aegyptiformosus. Subspesies pertama hidup bebas di Afrika

  sementara subspecies kedua hidup didaerah tropis yang dikenal efektif menularkan virus DBD. Subspesies kedua lebih berbahaya dibandingkan subspecies pertama (Roche, 2002). Informasi tentang karakteristik tersebut sangat membantu mengenali

  11 jenis nyamuk tersebut terutama bagi petugas surveilen dan masyarakat dalam rangka mengendalikan penyakit DBD yang ditularkan oleh kedua nyamuk tersebut.

  Karakteristik telur Aedes adalah berbentuk bulat pancung yang mula-mula berwarna putih kemudian berubah menjadi hitam. Telur tersebut diletakkan secara terpisah di permukaan air untuk memudahkannya menyebar dan berkembang menjadi bersih yang stagnan (tidak mengalir) dan tidak berisi spesies lain sebelumnya (Mortimer, 1998). Sejauh ini, informasi mengenai pemilihan air bersih stagnant sebagai habitat bertelur Ae. aegypti banyak dilaporkan oleh peneliti searangga vekktor tersebut dari berbagai negeri. Demikian juga oleh peneliti Indonesia. Informasi tersebut telah mengarahkan fokus perhatian para surveilen pada tipe-tipe habitat seperti itu. Sementara Ae. albopictus meletakkan telurnya dipinggir kontener atau lubang pohon di atas permukaan air (Lutz, 2000). Oleh karena itu, kegiatan surveilen tidak terbatas pada media atau kontener yang berisi air atau air bersih.

  Larva nyamuk semuanya hidup di air yang stadianya terdiri atas empat instar. Keempat instar itu dapat diselesaikan dalam waktu 4 hari – 2 minggu tergantung keadaan lingkungan seperti suhu air persediaan makanan. Pada air yang agak dingin perkembangan larva lebih lambat, demikian juga keterbatasan persediaan makanan juga menghambat perkembangan larva. Setelah melewati stadium instar ke empat larva berubah menjadi pupa. Sebagaimana larva, pupa juga membutuhkan lingkungan akuatik (air). Pupa adalah fase inaktif yang tidak membutuhkan makan, namun tetap membutuhkan oksigen untuk bernafas. Untuk keperluan pernafasannya pupa berada di dekat permukaan air. Lama fase pupa tergantung dengan suhu air dan spesies nyamuk yang lamanya dapat berkisar antara satu hari sampai beberapa minggu.

  Setelah melelewati waktu itu maka pupa membuka dan melepaskan kulitnya kemudian imago keluar ke permukaan air yang dalam waktu singkat siap terbang.

  Imago yang lebih awal keluar adalah jantan yang sudah siap melakukan kopulasi bila dekat inang imago betina dengan harapan memudahkan mendapatkan cairan darah (Hawley, 1988 dalam Lutz, 2000). Imago betina membutuhkan cairan darah sebelum meletakkan telurnya yang fertil. Cairan darah itu diperlukan oleh imago betina setiap akan meletakkan sejumlah telurnya. Siklus pengisapan darah itu dilakukan setiap akan meletakkan telur, sehingga pengisapan cairan darah itu dapat dilakukan berkali- kali selama hidupnya (Lutz, 2000).

  Lama hidup imago itu dapat berkisar antara 1 sampai 2 bulan. Selama hidupnya, nyamuk tersebut menunjukkan preferernsi bervariasi terhadap sumber darah yang dibutuhkan. Ae. albopictus cenderung memilih makan pada manusia atau binatang peliharaan seperti burung bila inang utama tidak ada (Hawley, 1988 dalam Lutz, 2000).

  Kegiatan itu biasanya dilakukan pada siang hari atau kadang-kadang pada pagi hari. Untuk menyelesaikan satu siklus hidupnya diperlukan waktu antara 9 – 12 hari atau rata-rata 10 hari dari telur sampai imago menghasilkan telur kembali (Borror & Long, 1954). Untuk mengefektifkan usaha pencegahan penyakit DBD melalui penanganan vector itu diperlukan pelatihan intensif kepada petugas surveilen tentang pengetahuan dasar ini.

2.1.2. Habitat Vektor Penyebab DBD

  Habitat dan Kebiasaan Hidup. Secara bioekologis kedua spesies nyamuk tersebut mempunyai dua habitat yaitu aquatic (perairan) untuk fase pradewasanya habitat imago di daratan atau udara, namun juga mencari tempat di dekat permukaan air untuk meletakkan telurnya. Bila telur yang diletakkan itu tidak mendapat sentuhan air atau kering masih mampu bertahan hidup antara 3 bulan sampai satu tahun. Masa hibernasi telur-telur itu akan berakhir atau menetas bila sudah mendapatkan lingkungan yang cocok pada musim hujan untuk menetas. Terlur itu akan menetas antara 3 – 4 jam setelah mendapat genangan air menjadi larva. Habitat larva yang keluar dari telur tersebut hidup mengapung di bawah permukaan air. Perilaku hidup larva tersebut berhubungan dengan upayanya menjulurkan alat pernafasan yang disebut sifon menjangkau permukaan air guna mendapatkan oksigen untuk bernafas. Habitat seluruh masa pradewasanya dari telur, larva dan pupa hidup di dalam air walaupun kondisi airnya sangat terbatas.

  Berbeda dengan habitat imagonya yaitu hidup bebas di daratan (terrestrial) atau udara (aborial). Walaupun demikian masing-masing dari spesies itu mempunyai kebiasaan hidup yang berbeda yaitu imago Ae. aegypti lebih menyukai tempat di dalam rumah penduduk sementara Ae. albopictus lebih menyukai tempat di luar rumah yaitu hidup di pohon atau kebun atau kawasan pinggir hutan. Oleh karena itu,

  

Ae. albopictus sering disebut nyamuk kebun. Sementara Ae. aegypti yang lebih

  memilih habitat di dalam rumah sering hinggap pada pakaian yang digantung untuk beristirahat dan bersembunyi menantikan saat tepat inang datang untuk mengisap darah. Informasi tentang habitat dan kebiasaan hidup nyamuk tersebut sangat penting untuk mempelajari dan memetakan keberadaan populasinya untuk tujuan

  Dengan pola pemilihan habitat dan kebiasaan hidup imago tersebut Ae.

  aegypti dapat berkembang biak di tempat penampungan air bersih seperti bak mandi,

  tempayan, tempat minum burung dan barang-barang bekas yang dibuang sembarangan yang pada waktu hujan terisi air. Sementara Ae. albopictus dapat berkembang biak di habitat perkebunan terutama pada lubang pohon atau pangkal babu yang sudah dipotong yang biasanya jarang terpantau di lapangan. Kondisi itu dimungkinkan karena larva nyamuk tersebut dapat berkembang biak dengan volume air minimum kira-kira 0.5 sentimeter setara atau dengan dengan satu sendok teh (Judarwanto, 2007).

  Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap kehidupan vektor adalah faktor abiotik dan biotik. Menurut Barrera et al. (2006) faktor abiotik seperti curah hujan, temperatur, dan evaporasi dapat mempengaruhi kegagalan telur, larva dan pupa nyamuk menjadi imago. Demikian juga faktor biotik seperti predator, parasit, kompetitor dan makanan yang berinteraksi dalam kontener sebagai habitat akuatiknya pradewasa juga sangat berpengaruh terhadap keberhasilannya menjadi imago.

  Keberhasilan itu juga ditentukan oleh kandungan air kontainer seperti bahan organik, komunitas mikroba, dan serangga air yang ada dalam kontainer itu juga berpengaruh terhadap siklus hidup Ae. aegypti. Selain itu bentuk, ukuran dan letak kontener (ada atau tidaknya penaung dari kanopi pohon atau terbuka kena sinar mata hari langsung) juga mempengaruhi kualitas hidup nyamuk. Faktor curah hujan mempunyai pengaruh nyata terhadap flukstuasi populasi Ae. aegypti (Irpis 1972). Suhu juga berpegaruh larva, larva menjadi pupa dan pupa menjadi imago (Rueda et al. 1990). Faktor suhu dan curah hujan berhubungan dengan evaporasi dan suhu mikro di dalam kontainer (Barrera et al., 2006). Di Indonesia, faktor curah hujan itu mempunyai hubungan erat dengan laju peningkatan populasi di lapang. Pada musim kemarau banyak barang bekas seperti kaleng, gelas plastic, ban bekas, keler plastic, dan sejenisnya yang dibuang atau ditaruh tidak teratur di sebarang tempat. Sasaran pembuangan atau penaruhan barang-barang bekas tersebut biasanya di tempat terbuka seperti lahan- lahan kosong atau lahan tidur yang ada di daerah perkotaan maupun di daerah perdesaan. Ketika cuaca berubah dari musim kemarau ke musim hujan sebagian besar permukaan dan barang bekas itu menjadi sarana penampung air hujan. Bila di antara tempat atau barang bekas itu berisi telur hibernasi maka dalam waktu singkat akan menetas menjadi larva Aedes yang dalam waktu (9-12 hari) menjadi imago.

  Fenomena lahan tidur dan lahan kosong sering menjadi tempat pembuangan sampah rumah tangga termasuk barang kaleng yang potensial sebagai tempat pembiakan nyamuk.

  Pada musim hujan imago bertina memperoleh habitat air jernih yang sangat luas untuk meletakkan telurnya. Setiap benda berlekuk atau lekukan pohon atau bekas potongan pakal pohon bambu juga potensial sebagai penampung air jernih yang dapat dijadikan tempat peletakkan telur bagi serangga vector terutama Ae. albopictus yang biasa hidup di luar rumah. Terlebih lagi cuaca dalam keadaan mendung dapat meningkat drastis pada awal musim hujan yang diikuti oleh meningkatnya kasus DBD di daerah tersebut.

2.1.3. Penularan Penyakit DBD

  Perilaku Makan dan Cara Penularan Penyakit. Imago Ae. aegypti dan

  

Ae.albopictus mempunyai perilaku makan yang sama yaitu mengisap nectar dan jus

  tanaman sebagai sumber energinya. Selain energi, imago betina juga membutuhkan pasokan protein untuk keperluan produksi (anautogenous) dan proses pematangan telurnya. Pasokan protein tersebut diperoleh dari cairan darah inang (Merrit & Cummins, 1978). Di dalam proses memenuhi kebutuhan protein untuk proses pematangan telurnya ditentukan oleh frekuensi kontak antara vector dengan inang.

  Frekuensi kontak tersebut dapat dipengaruhi oleh jenis dan kepadatan inang. Ada perbedaan perilaku makan darah antara imago yang belum dan sudah terinfeksi virus DBD. Perbedaan itu berimpilkasi terhadap frekuensi kontak nyamuk dengan inang. Imago betina terinfeksi lebih sering kontak dengan inang untuk mendapatkancairan darah untuk produksi dan proses pematangan telurnya. Kejadian itu meningkatkan frekuensi kontaknya dengan inang sehingga peluang penularan virus DBD semakin cepat dan singkat. Meningkatnya frekuensi kontak antara vektor dengan inang tersebut dapat dipengaruhi juga oleh kisaran dan freferensinya terhadap inang.

  Walaupun Ae. Aegypti diketahui bersifat antropofilik (Harrington et al., 2001) namun penelitian tentang pola makan terhadap inangnya selain manusia, banyak dilakuan untuk mencari frekuensi kontak vektor tersebut dengan inang utama yaitu manusia.

  2003 dan 2004 di Thailand menunjukkan bahwa Ae. aegypti hampir sepenuhnya (99%, 658/664) mengisap darah manusia. Sementara hasil penelitian di Afrika yang dilakukan oleh Weitz (1960) dalam Ponlawat & Harington (2005) juga menyebutkan inang nyamuk selain manusia adalah kucing, anjing, kambing, anak sapi jantan dan kera. Sama dengan Ae. albopictus yang dikenal sebagai vector kedua virus DBD tersebut diasumsikan sebagai pemakan yang lebih generalis dibandingkan dengan Ae. aegypti. Anggapan tersebut diperkuat oleh penemuan Niebylski et al. dan Savage

  

et al. dalam Ponlawat & Harington (2005) bahwa inang nyamuk tersebut selain

  manusia adalah kelinci, tikus, anjing, rusa, lembu, bajing tanah, penyu, tupai, sapi jantan, kucing, dan burung. Walaupun demikian ada juga fakta yang menunjukkan bahwa di daerah tertentu nyamuk Ae. albopictus hanya menjadikan manusia sebagai inang tunggalnya seperti yang dilaporkan oleh Ponlawat & Harington (2005) dari hasil penelitiannya di Sebelah Selatan Thailand pada tahun 2003 dan 2004. Oleh karena itu, kisaran inang dan preferensi vector terhadap inang tersebut menentukan status spesies tersebut sebagai vector utama virus DBD.

  Cara Menularkan Virus. Cara penularan virus DBD adalah melalui cucukan stilet nyamuk Aedes betina terhadap inang penderita DBD. Nyamuk Aedes yang bersifat “antropofilik” itu lebih menyukai mengisap darah manusia dibandingkan dengan darah hewan. Darah yang diambil dari inang yang menderita sakit mengandung virus DBD, kemudian berkembang biak di dalam tubuh nyamuk sekitar menularkan virus. Apabila nyamuk terinfeksi itu mencucuk inang (manusia) untuk mengisap cairan darah, maka virus yang berada di dalam air liurnya masuk ke dalam sistem aliran darah manusia. Setelah mengalami masa inkubasi sekitar empat sampai enam hari, penderita akan mulai mendapat demam yang tinggi. Untuk mendapatkan inangnya, nyamuk aktif terbang pada pagi hari yaitu sekitar pukul 08.00-10.00 dan sore hari antara pukul 15.00-17.00. Nyamuk yang aktif mengisap darah adalah yang betina untuk mendapatkan protein. Tiga hari setelah menghisap darah, imago betina menghasilkan telur sampai 100 butir telur kemudian siap diletakkan pada media. Setelah itu nyamuk dewasa, mencari inang luntuk menghisap darah untuk bertelur selanjutnya.

  Selain itu Ae. Aegypti mempunyai kemampuan untuk menularkan virus terhadap keturunannya secara transovarial atau melalui telurnya (Yulfi, 2006).

  Namun Roche (2002) melaporkan bahwa hanya A. albopictus yang mampu menularkan virus melalui keturunanya sementara Ae. Aegypti tidak. Sementara Yulfi, (2006) menyimpulkan pendapat dari Maurya et al., Joshi et al. dan Rohani et al. yang menyatakan bahwa kedua spesies itu dapat menularkan virus pada keturunannya.

  Rohani et al. (2005) menemukan larva terinfeksi virus DBD tersebut di 16 lokasi penelitiannya di Malaysia dengan laju infeksi virusnya lebih tinggi pada Ae. aegypti (13,7%) dibandingkan pada Ae. albopictus (4,2%). Keturunan nyamuk yang menetas dari telur nyamuk terinfeksi virus DBD secara outomatis menjadi nyamuk terinfeksi yang dapat menularkan virus DBD kepada inangnya yaitu manusia.

  Siklus hidup nyamuk adalah proses perkembangbiakan dan pertumbuhan nyamuk mulai dari telur, jentik, kepompong sampai dengan dewasa. Siklus hidup nyamuk dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 2.1 Siklus Hidup Nyamuk Aedes aegypti

  Sumber : Anggraeni, 2010 a.

  Telur Setiap kali bertelur , nyamuk betina dapat mengeluarkan telur sebanyak 100 butir. Nyamuk Ae. aegypti meletakkan telur pada permukaan air yang bersih atau menempel pada dinding tempat penampung air secara individual. Telur berbentuk elips berwarna hitam dengan panjang ± 0,80 mm. Telur Ae. aegypti tahan kekeringan dapat menetas menjadi jentik dalam 1 sampai 2 hari.

  b.

  Jentik Pada jentik sangat membutuhkan air yang cukup untuk perkembangannya.

  Kondisi jentik saat berkembang dapat memengaruhi kondisi nyamuk dewasa yang dihasilkan. Sebagai contoh, populasi jentik yang meledak sehingga kurang ketersediaan makanannya akan menghasilkan nyamuk dewasa yang cenderung lebih rakus dalam menghisap darah. Ada 4 (empat) instar atau tahapan perkembangan jentik tersebut, yaitu: Instar I berukuran paling kecil, yaitu 1 – 2 mm; 2) Instar II 2,5 – 3,8 mm; 3) Instar III berukuran besar sedikit dari larva instar II; 4) Instar IV berukuran paling besar 5 mm. Setelah mencapai instar ke-4, jentik berubah menjadi pupa dalam 5 sampai 7 hari.

  c.

  Pupa / Kepompong Pupa berbentuk seperti ‘koma’. Bentuknya lebih besar namun lebih ramping dibanding jentiknya. Pupa berukuran lebih kecil jika dibandingkan dengan rata-rata pupa nyamuk lain. Pupa bertahan selama 1-2 hari sebelum akhirnya menjadi nyamuk dewasa (Anggraeni, 2010).

2.1.5. Pengaruh Faktor Lingkungan

  Faktor lingkungan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kesakitan akibat DBD, karena berkaitan dengantempat perindukan nyamuk penular DBD, faktor lingkungan tersebut antara lain: 1.

  Lingkungan Biologik kontainer, pada kontainer dengan air yang lama biasanya terdapat kuman patogen atau parasit yang akan mempengaruhi pertumbuhan larva tersebut. Adanya infeksi patogen dan parasit pada larva akan mengurangi jumlah larva yamg hidup untuk menjadi nyamuk dewasa, masa pertumbuhan larva bias menjadi lebih lama dan umur nyamuk dewasa yang berasal dari larva yang terinfeksi patogen atau parasit biasanya lebih pendek.

2. Lingkungan Fisik

  Lingkungan fisik yang mempengaruhi kehidupan nyamuk penular DBD antara lain jarak antar rumah, macam kontainer, suhu udara, curah hujan, pengaruh angin dan kelembaban.

  a) Jarak Antar Rumah Jarak antar rumah mempengaruhi penyebaran nyamuk dari satu rumah kerumah yang lain. Semakin dekat jarak antar rumah semakin mudah nyamuk menyebar ke rumah yang lain. b) Suhu Udara Suhu udara merupakan salah satu faktor lingkungan yang mempengaruhi kehidupan Aedes aegypti. Nyamuk Aedes akan meletakkan telurnya pada temperature udara sekitar 20 C – 30

  C. Telur yang diletakkan dalam air akan menetas pada 1 sampai 3 hari pada suhu 30 C, tetapi pada suhu udara 16 C dibutuhkan waktu selama atau bahkan berhenti apabila suhu turun sampai dibawah suhu kritis. Pada suhu lebih tinggi dari 35 C juga mengalami perubahan dalam arti lebih lambatnya proses-proses fisiologi, rata-rata suhu optimum untuk pertumbuhan nyamuk adalah 25-27

  C. Pertumbuhan nyamuk akan terhenti sama sekali pada suhu kurang dari 10 C atau lebih dari 40

  C. Kecepatan perkembangan nyamuk tergantung dari kecepatan proses metabolismanya yang sebagian diatur oleh suhu. Karenanya kejadian-kejadian biologis tertentu seperti: lamanya pradewasa, kecepatan pencernaan darah yang dihisap dan pematangan indung telur dan frekensi mengambil makanan atau menggigit berbeda-beda menurut suhu, demikian pula lamanya perjalanan virus di dalam tubuh nyamuk.

  c) Kelembaban Udara Kelembaban udara adalah banyaknya uap air yang terkandung dalam udara yang biasanya dinyatakan dalam persen. Dalam kehidupan nyamuk kelembaban udara mempengaruhi kebiasaan meletakkan telurnya. Hal ini berkaitan dengan nyamuk atau serangga pada umumnya bahwa kehidupannya ditentukan oleh faktor kelembaban. Sistem pernafasan nyamuk Aedes aegypti yaitu dengan menggunakan pipa-pipa udara yang disebut trachea, dengan lubang pada dinding tubuh nyamuk yang disebut spiracle.

  Adanya spirakel yang terbuka lebar tanpa ada mekanisme pengaturnya, maka pada kelembaban rendah akan menyebabkan penguapan air dalam tubuh nyamuk, dan salah satu musuh nyamuk dewasa adalah penguapan. Pada kelembaban kurang dari cukup waktu untuk perpidahan virus dari lambung ke kelenjar ludah.

  d) Intensitas Cahaya Cahaya merupakan faktor utama yang mempengaruhi nyamuk beristirahat pada suatu tempat intensitas cahaya yang rendah dan kelembaban yang tinggi merupakan kondisi yang baik bagi nyamuk intensitas cahaya merupakan faktor terbesar yang mempengaruhi aktivitas terbang nyamuk, nyamuk terbang apabila intensitas cahaya rendah (<20 Ft-cd). Larva dari nyamuk Aedes aegypti dapat bertahan lebih baik di ruangan dalam kontainer yang gelap dan juga menarik nyamuk betina untuk meletakkan telurnya. Dalam bejana yang intensitas cahaya rendah atau gelap rata-rata berisi larva lebih banyak dari bejana yang intensitas cahanya besar atau terang.

  e) Pengaruh Hujan Hujan akan mempengaruhi kelembaban udara dan menambah jumlah tempat perindukan nyamuk alamiah. Perindukan nyamuk alamiah di luar rumah selain sampah-sampah kering seperti botol bekas, kaleng-kaleng, juga potongan bambu sebagai pagar sering dijumpai di rumah-rumah penduduk serta daun-daunan yang memungkinkan menampung air hujan merupakan tempat perindukan yang baik untuk bertelurnya Aedes aeegypti.

  f) Pengaruh Angin Secara tidak langsung angina akan mempengaruhi evaporasi atau penguapan air dan suhu udara atau konveksi. Angin berpengaruh terhadap jarak terbang nyamuk. aktivitas nyamuk akan terpengaruh oleh angin pada kecepatan mencapai 8,05 km/jam (2,2 meter/detik) atau lebih.

2.2. Penanggulangan DBD

  2.2.1. Pengendalian Vektor Penyebab DBD

  Saat ini hanya cara pengendalian yang tepat menanggulangi penyakit DB dan DBD adalah menurunkan populasi vector untuk mengurangi kontak antara vector dengan manusia dan mengendalikan habitat larva dari beragam lokasi.

  Cara ini memerlukan pengetahuan yang memadai untuk mengenali jenis dan karakter, habitat dan perilaku hidup atau bioekologinya dan arti penting nyamuk vector tersebut sebagai penular penyakit yang mematikan itu. Untuk itu diperlukan pengembangan teknologi dan strategi berbasis masyarakat untuk menjamin keberlanjutan usaha pengendalian tersebut (Depkes RI, 2005).

  2.2.2. Pemberantasan Sarang Nyamuk Penyebab DBD

  Dengan melakukan kegiatan PSN DBD secara rutin oleh semua masyarakat maka perkembang biakan penyakit di suatu wilayah tertentu dapat di cegah atau dibatasi. Upaya pemberantasan sarang nyamuk (PSN) DBD adalah upaya untuk memberantas nyamuk Ae aegypti, dilakukan dengan cara: a.

  Menguras dengan menggosok tempat-tempat penampungan air sekurang- kurangnya seminggu sekali yang bertujuan untuk merusak telur nyamuk, sehingga jentik-jentik tidak bias menjadi nyamuk atau menutupnya rapat-rapat agar b.

  Mengganti air vas bunga, perangkap semut, air tempat minum burung seminggu sekali dengan tujuan untuk merusak telur maupun jentik nyamuk.

  c.

  Mengubur atau menyingkirkan barang-barang bekas dan sampah-sampah lainnya yang dapat menampung air hujan sehingga tidak menjadi tempat berkembang biaknya nyamuk.

  d.

  Mencegah barang-barang/pakaian-pakaian yang bergelantungan di kamar ruang yang remang-remang atau gelap.

  Pendekatan pemberantasan terpadu menurut Kalra dan Bang adalah suatu strategi pemberantasan vektor penyakit yang dilakukan dengan menggunakan beberapa metode yaitu dengan pengendalian biologi, pengendalian secara kimiawi, perlindungan diri, pengelolaan lingkungan, dan penyuluhan kesehatan secara terpadu.

  Pemberantasan sarang nyamuk DBD merupakan upaya pemberantasan vektor dengan metode pendekatan terpadu karena menggunakan beberapa cara yaitu secara kimia dengan menggunakan larvasida, secara biologi dengan mengguanakan predator, dan secara fisik yang dikenal dengan kegiatan 3 M (Menguras, Menutup, dan Mengubur).

  Pengurasan tempat penampungan air perlu dilakukan secara teratur sekurang- kurangnya seminggu sekali agar nyamuk tidak berkembang biak ditempat itu. Apabila PSN-DBD dilakukan oleh seluruh masyarakat maka diharapkan nyamuk

  

Aedes aegypti dapat dibasmi. Untuk itu diperlukan upaya penyuluhan dan motivasi

  kepada masyarakat secara terus-menerus dalam jangka waktu yang lama, karena keberadaan Aedes aegypti berkaitan erat dengan perilaku masyarakat.

  Surveilans DBD adalah bagain dari surveilans kesehatan masyarakat atau surveilans epidemiologi. Surveilans epidemiologi adalah pengumpulan, analisis, dan analisis data secara terus-menerus dan sistematis yang kemudian didiseminasikan (disebarluaskan) kepada pihak-pihak yang bertanggungjawab dalam pencegahan penyakit dan masalah kesehatan lainnya (DCP2, 2008). Surveilans memantau terus- menerus kejadian dan kecenderungan penyakit, mendeteksi dan memprediksi outbreak pada populasi, mengamati faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian penyakit, seperti perubahan-perubahan biologis pada agen, vektor, dan reservoir. Selanjutnya surveilans menghubungkan informasi tersebut kepada pembuat keputusan agar dapat dilakukan langkah-langkah pencegahan dan pengendalian penyakit (Last, 2001).

  Menurut Depkes RI (2003), surveilans epidemiologi adalah kegiatan secara sistematis dan terus menerus terhadap penyakit atau masalah-masalah kesehatan dan kondisi yang mempengaruhi terjadinya peningkatan dan penularan penyakit atau masalah-masalah kesehatan tersebut, agar dapat melakukan tindakan penanggulangan secara efektif dan efisien melalui proses pengumpulan data, pengolahan dan penyebaran informasi epidemiologi kepada penyelenggara program kesehatan. Sedang sistem surveilans epidemiologi adalah merupakan tatanan prosedur penyelenggaraan surveilans epidemiologi yang terintegrasi antara unit-unit penyelenggara surveilans dengan laboratorium, sumber-sumber data, pusat penelitian, pusat kajian dan penyelenggara program kesehatan, meliputi tata hubungan surveilans

  Ada banyak definisi surveilans yang dijabarkan oleh para ahli, namun pada dasarnya mareka setuju bahwa kata “surveilans” mengandung empat unsur yaitu: koleksi, analisis, interpretasi dan diseminasi data. WHO mendefiniskan surveilans sebagai suatu kegiatan sistematis berkesinambungan, mulai dari kegiatan mengumpulkan, menganalisis dan menginterpretasikan data yang untuk selanjutnya dijadikan landasan yang esensial dalam membuat rencana, implementasi dan evaluasi suatu kebijakan kesehatan masyarakat.

  Dengan demikian, di dalam suatu sistem surveilans, hal yang perlu digaris bawahi adalah:

1. Surveilans merupakan suatu kegiatan yang dilakukan secara berkesinambungan, bukan suatu kegiatan yang hanya dilakukan pada suatu waktu.

  2. Kegiatan surveilans bukan hanya berhenti pada proses pengumpulan data, namun yang jauh lebih penting dari itu perlu adanya suatu analisis, interpretasi data serta pengambilan kebijakan berdasarkan data tersebut, sampai kepada evaluasinya.

  3. Data yang dihasilkan dalam sistem surveilans haruslah memiliki kualitas yang baik karena data ini merupakan dasar yang esensial dalam menghasilkan kebijakan/ tindakan yang efektif dan efisien. 1)

  Tujuan Surveilans Surveilans bertujuan memberikan informasi tepat waktu tentang masalah dilakukan respons pelayanan kesehatan dengan lebih efektif.

  Tujuan khusus surveilans: (1) Memonitor kecenderungan (trends) penyakit; (2) Mendeteksi perubahan mendadak insidensi penyakit, untuk mendeteksi dini outbreak; (3) Memantau kesehatan populasi, menaksir besarnya beban penyakit (disease burden) pada populasi; (4) Menentukan kebutuhan kesehatan prioritas, membantu perencanaan, implementasi, monitoring, dan evaluasi program kesehatan; (5) Mengevaluasi cakupan dan efektivitas program kesehatan; (6) Mengidentifikasi kebutuhan riset (Last, 2001; Giesecke, 2002; JHU, 2002).

  Menurut Depkes RI (2003), surveilans juga penting untuk mengamati kecenderungan dan memperkirakan besar masalah kesehatan, mendeteksi serta memprediksi adanya KLB, mengamati kemajuan program pencegahan dan pemberantasan penyakit yang akan dilakukan, memperkirakan dampak program intervensi, mengevaluasi program intervensi dan mempermudah perencanaan program pemberantasan penyakit.

  2) Kegiatan-kegiatan Surveilans

  Berdasarkan pemahaman terhadap surveilans, konsep dasarnya meliputi:

  (1) Pengumpulan data Pengumpulan data surveilans dapat dilakukan secara aktif maupun pasif.

  Surveilans aktif dimana unit surveilans mengumpulkan data dengan cara mendatangi unit pelayanan kesehatan, masyarakat atau sumber lain sedang surveilans pasif dimana unit surveilans mengumpulkan data dengan cara menerima data tersebut dari

  (2) Pengolahan data, analisis dan interpretasi data

  Aspek kualitatif yang perlu dipertimbangkan dalam pengolahan data dan analisis data surveilans yaitu ketepatan waktu dan sensitifitas data. Ketepatan waktu pengolahan data sangat berkaitan dengan waktu penerimaan data.

  (3) Umpan balik dan diseminasi informasi yang baik serta respon yang tepat

  Kunci keberhasilan surveilans adalah umpan balik dan diseminasi kepada sumber-sumber data dan pengguna informasi tentang pentingnya proses pengumpulan data. Bentuk umpat balik biasanya berupa ringkasan informasi dari analisis data serta tindakan korektif kepada sumber laporan

  3) Uraian Tugas Petugas Surveilans

  Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Petugas Surveilans DBD Puskesmas mempunyai uraian tugas sesuai dengan kegiatan-kegiatan surveilans epidemiologi penyakit menular, yaitu:

  1) Menyusun rencana kegiatan surveilans DBD

  Petugas merencanaan kegiatan surveilans DBD dengan menyiapkan sumber daya manusia yang terlibat, fasilitas yang dibutuhkan serta bentuk kegiatan operasional lainnya yang berkaitan dengan kegiatan surveilans DBD di lapangan.

  2) Pengumpulan data / Pencarian Kasus

  Pengumpulan data dapat dilakukan secara aktif yaitu melakukan kajian-kajian epidemiologi DBD dengan menggunakan form atau lembar ceklist yang telah berdasarkan karakteristik penduduk, dan berdasarkan wilayah. pengumpulan data dapat dilakukan di dalam dan diluar gedung puskesmas. Pengumpulan data secara tidak aktif biasanya dilakukan didalam gedung puskesmas dengan merekaptulasi seluruh kunjungan penderita DBD di Puskesmas, serta data dari catatan laboratorium. Umumnya di Indonesia, pencarian kasus DBD menggunakan teknik Passive Case Finding (PCD). Pada teknik PCD si penderita dengan gejala DBD datang ke di rumah sakit, Puskesmas, Puskesmas Pembantu dan Poliklinik untuk berobat, kemudian dilakukan pemeriksaan hingga didiagnosa penyakit DBD. PCD biasanya diperuntukkan di daerah endemis termasuk Kota Pematangsiantar. Apabila ada laporan dari RS mengenai kasus DBD dan dicurigai akan adanya wabah, maka akan dilakukan penelitian ke lapangan. Ini gunanya untuk mengetahui adanya penderita lain ataupun tersangka DBD yang perlu dikonfirmasi laboratorium, menentukan luas daerah yang terkena dan luas daerah yang perlu ditanggulangi, menilai sumber-sumber (inventory) mengenai keadaan umum setempat, mengenai fasilitas dan faktor-faktor yang berperanan penting pada timbulnya wabah serta setiap kasus demam berdarah/tersangka demam berdarah perlu dilakukan kunjungan rumah oleh petugas untuk penyuluhan dan pemeriksaan jentik di rumah kasus tersebut dan 20 rumah di sekelilingnya (radius 100 meter). Bila terdapat jentik, masyarakat diminta melakukan pemberantasan sarang nyamuk (Pada umumnya adalah pada areal dengan kasus-kasus demam berdarah yang mengelompok, dan yang meninggal). 3)

  Pengolahan dan Penyajian Data Pengolahan data dilakukan terhadap seluruh data yang telah dikumpulkan dengan pendekatan Epidemiologi, dan mendistribusikan dalam bentuk tabel dan grafik serta narasi yang sesuai sebagai bentuk dalam penyajian informasi

  4) Penyebarluasan Informasi (diseminasi informasi)

  Upaya ini adalah menyampaikan seluruh informasi yang berkaitan dengan epidemiologi DBD dan langkah strategis penanggulangan DBD dalam bentuk laporan rutin, laporan mingguan, maupun jenis bentuk laporan lain sesuai pedoman surveilans DBD.

2.3. Kinerja

2.3.1. Pengertian Kinerja

  Kata kinerja merupakan terjemahan dari kata performance yang dalam bahasa Indonesia seringkali juga diterjemahkan dengan unjuk kerja, hasil karya, pelaksanaan kerja maupun hasil pelaksanaan kerja. Beach (Putti, 1990) menyebutkan kinerja adalah: “a systematic evaluation on an individual employee regarding his/her

  

performance on his/her job and his/her potentials for development.” Jadi, kinerja

  adalah penilaian sistematis atas diri pegawai terkait dengan prestasinya dan potensinya yang dapat dikembangkan. Belows (Putti, 1990) mengemukakan definisi atau pihak lain yang diberi tugas melakukan penilaian. Dikemukakannya, kinerja adalah : “evaluation on the value of an individual employee for his/her organization

  

conducted by his/her superior or by someone in position to evaluate his/her

performance.”

  Menurut Amstrong dan Baron (1998), kinerja merupakan hasil pekerjaan yang berhubungan kuat dengan tujuan strategis organisasi, kepuasan konsumen dan memberikan kontribusi ekonomi. Menurut Bernadin dan Russell (Sulistiyani dan Rosidah, 2003), kinerja merupakan catatan outcome yang dihasilkan dari fungsi pegawai atau kegiatan yang dilakukan selama periode waktu tertentu. Hasibuan (2001) menyatakan, kinerja (prestasi kerja) adalah suatu hasil kerja seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman dan kesungguhan serta waktu. Gibson, et al., (1996) menyebutkan kinerja adalah hasil yang diinginkan dari perilaku dan kinerja individu adalah dasar kinerja organisasi. Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kinerja adalah tingkat keberhasilan seorang pegawai dalam menjalankan tugas dan fungsinya.

  Dalam penelitian ini, kinerja petugas surveilans DBD adalah tingkat keberhasilan mereka dalam menjalankan tugas dan fungsinya dalam upaya pencegahan dan penanggulangan DBD sesuai dengan kemampuan yang dibutuhkan.

2.3.2. Penilaian Kinerja

  Blanchard dan Spencer (1982) menjelaskan bahwa, penilaian prestasi kerja atau kinerja merupakan proses organisasi yang mengevaluasi karyawan terhadap terus menerus. Kebanyakan mereka mengacu pada prestasi kerja sebelumnya dan mengevaluasi untuk mengetahui apa yang akan dilakukan selanjutnya. Ketika kinerja atau prestasi kerja tidak memenuhi syarat, maka manajer atau supervisor harus mengambil tindakan, demikian juga apabila prestasi kerjanya bagus maka perilakunya perlu dipertahankan.

  Penilaian kinerja dilaksanakan dengan beberapa tujuan. Menurut Ruky (2006), tujuannya adalah: (1) meningkatkan prestasi kerja seseorang dengan memberikan kesempatan untuk memenuhi kebutuhan aktualisasi diri dalam kerangka pencapaian tujuan, (2) merangsang minat dalam pengembangan pribadi agar meningkatkan hasil karya dan prestasi serta potensi laten dengan cara memberikan umpan balik tentang prestasi yang bersangkutan, (3) membantu menyusun program pengembangan dan pelatihan yang lebih tepat guna, dan (4) sebagai pertimbangan obyektif dalam sistem penghargaan (reward -punishment).

  Melakukan penilaian kinerja akan bemanfaat untuk memperoleh umpan balik atas kinerja, identifikasi kekuatan dan kelemahan individu, penghargaan, dan evaluasi pencapaian tujuan (Kreitner dan Kinicki, 2001), memberikan informasi sebagai pertimbangan untuk promosi dan penetapan gaji dan memberikan peluang bagi atasan dan bawahan untuk meninjau perilaku yang berhubungan dengan kerja bawahan, dan membantu menilai perkembangan seorang dalam melaksanakan tugasnya (Mckirchy, 2004). Penilaian kinerja juga bermanfaat untuk: (1) penyesuaian dalam kompensasi, (2) perbaikan kinerja, (3) kebutuhan latihan dan pengembangan, (4) pengambilan perencanaan tenaga kerja, dan (5) membantu diagnosis terhadap kesalahan dalam disain pegawai (Sulistiyani dan Rosidah, 2003).

  Dalam konteks organisasi, penilaian kinerja juga sangat membantu pimpinan mengambil langkah perbaikan program-program kepegawaian yang telah dibuat maupun program-program organisasi secara menyeluruh (Ruky, 2006).

  Dalam upaya pengembangan sumberdaya manusia, menurut Ruky (2006) beberapa manfaat penilaian kinerja terutama dalam: (1) penyusunan program pelatihan dan pengembangan karyawan; karena dengan penilaian kinerja akan teridentifikasi pelatihan tambahan yang masih diperlukan untuk membantu tercapai standar prestasi yang ditetapkan, (2) penyusunan program suksesi dan kaderisasi; karena dengan catatan (record) kinerja dapat mengetahui potensi untuk dikembangkan kariernya, dan (3) pembinaan karyawan; karena dengan penilaian kinerja dapat diketahui hambatan-hambatan untuk meningkatkan prestasinya.

  Dalam konteks perilaku, penilaian kinerja membantu mengidentifikasi faktor yang membentuk pola perilaku yang menjadi ciri individu, sehingga berguna untuk mengomunikasikan ikhwal mengapa individu berperilaku dan bertindak dengan cara- cara tertentu.

  Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penilaian kinerja sangat dibutuhkan tidak saja bagi pengembangan organisasi, melainkan juga bagi individu yang bersangkutan. Bagi organisasi publik, kinerja pegawai yang tinggi di samping masyarakat. Jadi, penilaian terhadap kinerja petugas Surveilans DBD diharapkan akan mendorong peningkatan upaya penyelidikan epidemiologi kasus DBD, pencatatan dan pelaporan serta upaya peningkatan daerah bebas jentik.

2.3.3. Cara Menilai Kinerja Penilaian kinerja dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan atau kriteria.

  Memilah metode penilaian kinerja berdasarkan konsep Input–Process–Output. Metode penilaian berorientasi input disebut person centered approach. Metode ini bersifat individual yang menekankan pada penilaian ciri-ciri atau karakteristik kepribadian seperti; kejujuran, ketaatan, disiplin, loyalitas, inisiatif, kreativitas, adaptasi, komitmen, motivasi (kemauan), sopan santun dan sebagainya. Faktor-faktor tersebut bukanlah sebagai prestasi, tetapi lebih tepat disebut persyaratan atau karakteristik yang harus dipenuhi oleh seseorang agar mereka mampu atau akan melaksanakan tugas-tugasnya dengan tepat, benar, dan sempurna sehingga akhirnya mempunyai prestasi yang bagus.

  Pada metode yang memfokuskan penilaiannya pada proses (disebut job centered approach), yang menjadi tolok ukurnya adalah tanggung jawab dan persyaratan. Prestasi diukur dengan cara menilai sikap dan perilaku serta tanggung jawabnya. Dengan kata lain, penilaian masih tetap difokuskan langsung pada kuantitas dan kualitas hasil yang dicapainya. Jadi cara ini merupakan pergeseran fokus penilaian dari input ke proses. Adapun cara yang ketiga yaitu yang berbasis pencapaian hasil individu (result oriented performance), yang memfokuskan pada

  Menurut Ainsworth et al., (2002) pengukuran kinerja menggunakan skala dua faktor, yakni skala hasil dan skala usaha, di mana ukuran ini memfokuskan pada: (1) produktivitas; yang mempertimbangkan ukuran seperti volume dan hasil kerja, (2) biaya; yang diperlukan bagi manusia, pemrosesan, dan bahan mentah, (3) mutu; yaitu hasil yang dapat diterima, kedekatan dengan spesifikasi, tingkat apkiran (produk yang tidak mendekati standar), dan standar yang terpenuhi, (4) kepuasan pelanggan, apakah ditemukan keluhan atau pujian, dan tingkat kepuasan, dan (5) tenggat waktu, mencapai tenggat waktu dan jadwal yang disepakati.

  Menurut Klinger dan Nalbandian dalam Ilyas (2006), fokus penilaian kinerja dapat dikelompokkan menjadi tiga yakni: (1) penilaian berdasarkan hasil akhir (resultbased performance), yakni penilaian yang didasarkan pada pencapaian tujuan atau hasil akhir (end result); (2) penilaian berdasarkan perilaku (behavior-based

  

performance ), yang memfokuskan pada sarana (means) dan sasaran (goals), bukan

  pada hasil akhir; dan (3) penilaian berdasarkan pendapat (judgment based

  

performance ), yang melakukan penilaian dengan menggunakan peringkat penilaian: sangat bagus – sangat tidak bagus (rating method) dan pengurutan: dari paling baik – paling buruk (ranking method).

  Menurut K-State Cooperative Extension Service (Khalil et al., 2008), ukuran kinerja dapat dicapai melalui dimensi: (1) kualitas kerja, (2) kuantitas kerja, (3) keterikatan pada jadwal kerja, (4) alokasi kerja, (5) sikap dan ketenangan, dan (6) menyatakan bahwa peningkatan/pengembangan kualitas kerja mengacu pada dimensi yang paling efektif dalam memengaruhi kinerja pegawai. Dari uraian di atas dapat dirangkum bahwa penilaian kinerja dapat dilakukan dari aspek input-proses-output ataupun dari aspek hasil dan usaha..

  Tujuan Pengukuran Kinerja antara lain:a).Membantu memperbaiki kinerja pemerintahan agar kegiatan pemerintah terfokus pada tujuan dan sasaran program unit kerja. b). Pengalokasian sumber daya dan pembuatankeputusan. c).Mewujudkan pertanggungjawaban public dan memperbaiki komunikasi kelembagaan.

  Manfaat Pengukuran Kinerja: a). Membawa organisasi dekat pada pelanggannya dan seluruh anggota organisasi terlibat dalam upaya memberi kepuasan kepada pelanggan. b).Memotivasi pegawai untuk melakukan pelayanan kepada para pelanggan secara maksimal. c).Menidentifikasi berbagai factor untuk mempengaruhi hasil kinerja organisasi yang dapat dicapai. d). Membuat tujuan strategis untuk mempertinggi kepuasan pelanggan. e).Membangun konsensus bagi intervensi terencana bagi pengembangan organisasi.

2.3.4. Determinan Kinerja Petugas DBD

  Keberhasilan pelaksanaan tugas pegawai sangat ditentukan oleh banyak faktor, baik faktor internal maupun faktor eksternal. Menurut Ainswort et al., (2002), kinerja adalah fungsi dari kemampuan dan motivasi. Artinya, kinerja adalah hasil akhir dari kemampuan dan keinginan seseorang. Jadi, model kinerja adalah:

  Menurut Robbins (1996), kinerja tidak saja ditentukan oleh kedua faktor tersebut, melainkan juga oleh kesempatan (opportunity). Jadi, kinerja adalah fungsi interaksi antara kemampuan atau ability (A), motivasi atau motivation (M) dan kesempatan atau opportunity (O), atau kinerja = ƒ (A, M, O). Kesempatan merujuk pada tiadanya rintangan-rintangan yang mengendalakan karyawan itu. Meskipun seorang mungkin bersedia dan mampu, bisa saja ada rintangan yang menghambat.

  Untuk itu, kinerja adalah kesediaan seseorang atau kelompok orang untuk melakukan sesuatu kegiatan dan menyempurnakannya sesuai dengan tanggung jawabnya dengan hasil seperti yang diharapkan.

  Menurut Sulistiyani dan Rosidah (2003) menyebutkan bahwa kinerja adalah kombinasi kemampuan, usaha dan kesempatan yang dapat dinilai dari hasil kerjanya.

  Lorsch dan Laurence dalam Wibowo (2007) menyatakan bahwa kinerja adalah fungsi dari atribut individu, organisasi dan lingkungan, sehingga dirumuskan sebagai: kinerja = f(atribut individu,organisasi, lingkungan). Hersey dan Blanchard (1982) dalam Simamora (2006) merumuskan tujuh faktor yang memengaruhi kinerja yang dirumuskan dengan akronim ”ACHIEVE”, yakni: pengetahuan dan keterampilan

  (Ability), pemahaman atau persepsi (Clarity), dukungan organisasi (Help), motivasi atau kemauan (Incentive), bimbingan dan umpan balik kinerja (Evaluation), validitas (legal personal practice), dan dukungan lingkungan (environment fit).

  Atmosoeprapto (2001) merinci beberapa aspek yang berhubungan dengan kinerja, antara lain: kemampuan (competence) merupakan fungsi dari pengetahuan

  Confidence ialah rasa keyakinan diri seseorang mampu melakukan tugas dengan baik

  tanpa banyak diawasi. Adapun motivation adalah minat atau antusias seseorang untuk melakukan suatu tugas dengan baik.

  Gibson et al., (1996) menyebutkan bahwa faktor pengaruh kinerja individu: (1) faktor individu: kemampuan, keterampilan, latar belakang keluarga, pengalaman kerja, tingkat sosial dan demografi, (2) faktor psikologis: persepsi, peran, sikap, kepribadian, motivasi, dan kepuasan kerja, dan (3) faktor organisasi: struktur organisasi, desain pekerjaan, kepemimpinan, dan sistem penghargaan. Ketiga variabel tersebut mempengaruhi perilaku kerja yang pada akhirnya berpengaruh pada kinerja pegawai. Kinerja atau penampilan kerja adalah perilaku yang berkaitan langsung dengan tugas pekerjaan dan yang perlu diselesaikan untuk mencapai sasaran pekerjaan. Bagi seorang manajer hubungan perilaku dan kinerja mencakup beberapa kegiatan seperti identifikasi masalah, perencanaan, pengorganisasian dan pengendalian karyawan.

  Model teori kerja melakukan analisis terhadap sejumlah variabel yang menjelaskan perilaku dan kinerja individu. Variabel individu dikelompokkan pada sub variabel kemampuan dan ketrampilan merupakan faktor utama yang mempengaruhi perilaku dan kinerja individu, sedangkan variabel demografi mempunyai efek tidak langsung pada perilaku dan kinerja individu.

  Variabel Psikologik dikelompokkan pada sub variabel sikap, persepsi, kepribadian, belajar dan motivasi, variabel ini banyak dipengaruhi oleh keluarga, sikap, kepribadian dan belajar merupakan hal yang kompleks dan sulit diukur, karena seorang individu masuk dan bergabung dalam organisasi kerja pada usia, etnis latar belakang budaya, ketrampilan berbeda satu dengan yang lainnya.

  Variabel Organisasi dikelompokkan pada sub variabel sumberdaya, kepemimpinan, imbalan, struktur dan desain pekerjaan. Sub variabel imbalan atau kompensasi akan berpengaruh untuk meningkatkan motivasi kerja yang pada akhirnya secara langsung akan meningkatkan kinerja individu.

2.4. Landasan Teori

  Kinerja adalah sesuatu yang dicapai atau prestasi yang diperlihatkan. Menurut Gibson yang dikutip Illyas (2001) kinerja merupakan proses yang dilakukan dan hasil yang dicapai dari seluruh bentuk kegiatan yang dilakukan dalam menjalankan tugas-tugas organisasi. Kinerja dalam surveilans DBD merupakan bentuk hasil kerja yang dicapai petugas surveilans dalam menjalankan serangkaian tugas-tugas sebagai petugas surveilans. Adapun kerangka teori determinan kinerja petugas DBD dapat merujuk pada beberapa pendapat Gibson (1996), berikut ini:

Gambar 2.2. Determinan Kinerja Sumber Daya Manusia Gibson (1996)

  Menurut Gibson dalam Ilyas (2001) ada tiga faktor yang mempengaruhi kinerja seseorang, yaitu :

  1. Faktor individu terdiri dari kemampuan dan ketrampilan, latar belakang dan demografis. Variabel kemampuan dan ketrampilan merupakan faktor utama yang mempengaruhi perilaku dan kinerja individu, variabel demografis mempunyai efek tidak langsung pada perilaku dan kinerja individu.

  2. Faktor Psikologis terdiri dari persepsi, sikap, kepribadian dan motivasi. Variabel ini banyak dipengaruhi oleh keluarga, tingkat sosial, pengalaman kerja sebelumnya dan variabel demografis. Variabel seperti persepsi, sikap, kepribadian dan belajar merupakan hal yang kompleks yang sulit untuk diukur.

3. Faktor organisasi berefek tidak langsung terhadap perilaku dan kinerja individu terdiri dari sumber daya, kepemimpinan, imbalan, struktur dan desain pekerjaan.

  WHO mendefiniskan surveilans sebagai suatu kegiatan sistematis berkesinambungan, mulai dari kegiatan mengumpulkan, menganalisis dan menginterpretasikan data yang untuk selanjutnya dijadikan landasan yang esensial masyarakat. Surveilans DBD adalah tindakan terus-menerus dan berkesinambungan dalam menganalisis seluruh upaya pendataan kasus DBD, analisis, penyusunan laporan, dan umpan balik. Kinerja petugas surveilans adalah keseluruhan dari hasil kerja petugas surveilans sesuai dengan uraian tugasnya.

2.5. Kerangka Konsep

  Kerangka konsep dalam penelitian ini adalah :

Gambar 2.3. Kerangka Konsep Penelitian

  Faktor Intrinsik Petugas Surveilans 1.

  Pendidikan 2. Pelatihan 3. Pengetahuan 4. Sikap 5. Masa Kerja 6. Motivasi Kerja

  Faktor Ekstrinsik Petugas Surveilans 1.

  Beban Kerja 2. Dukungan Pimpinan 3. Imbalan